Kamis, 23 Maret 2017

SERPIHAN-SERPIHAN MANUSIA

Serpihan-Serpihan Manusia

      Setelah merasa cukup berbagi keberlebih-kelimpahan di Kabhumian, Abdul Jalil dengan didampingi istri melakukan perjalanan ke arah timur melintasi gunung, bukit, lembah, ngarai, sungai, hutan, dan padang hijau dengan istirahat sekadarnya di desa-desa, dukuh-dukuh, padepokan-padepokan dan asrama-asrama yang berkenan menerima kehadirannya. Laksana seekor sapi membagi-bagi susunya kepada siapa saja yang membutuhkan, ia membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya tanpa sedikit pun meminta imbalan jasa. Dengan ketulusan dalam berbagi, tanpa dikehendaki ia telah menimbulkan perubahan-perubahan pada manusia-manusia di berbagai tempat yang di kunjunginya: perampok, begal, penggarong, maling, pembunuh, dan pelacur yang selama itu dianggap sebagai hama masyarakat, tiba-tiba banyak yang bertobat dan kembali ke jalan yang benar; wiku-wiku yang mengikuti upacara mediksha dengan sukarela mengikrarkan dua kalimah syahadat diikuti upacara memotong kulup kemaluan; beralih fungsinya ksetra-ksetra menjadi kuburan-kuburan penduduk; dan munculnya dukuh-dukuh baru bercitra caturbhasa mandala.

Setelah bulan-bulan dan tahun-tahun berlalu, dalam perjalanan panjang membagi keberlebih-kelimpahannya, Abdul Jalil yang dikenal orang dengan nama Syaikh Jabarantas telah menjadi buah bibir masyarakat. Sejak kawasan barat Pasir Luhur hingga perbatasan Mataram, Pengging, dan Pajang, tidak ada orang yang tidak kenal nama Syaikh Jabarantas yang mengajarkanajaran-ajaran aneh: belajar mati, menaklukkan setan, Sasyahidan, dan menjadi adimanusia. Suatu ajaran aneh yang telah mengobrak-abrik kejumudan dan kemandekan Kehidupan ruhani di pedalaman Nusa Jawa. Bahkan bukan sekadar ajaran anehnya, tapi penampilan, perilaku, dan kekeramatannya yang luar biasa telah menjadikannya dikenal dan dihormati orang dengan sangat berlebihan. Di mana pun ia berada, ia selalu dijadikan pergunjingan yang tak ada habis-habisnya. Hanya saja, keberadaannya yang selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain telah menghindarkannya dari pemberhalaan sebagaimana telah terjadi di Caruban. Penduduk di pedalaman Nusa Jawa kebanyakan hanya satu dua kali melihat sosok Syaikh Jabarantas atau bahkan hanya mendengar nama itu dari cerita mulut ke mulut.

Sebagaimana saat berada di wilayah Pasir Luhur, ketika memasuki wilayah perbatasan Pasir Luhur, Mataram, Pengging, dan Pajang yang membentang sejak lembah selatan pegunungan Dihyang hingga lembah gunung Sindara � Sumbing, di kaki gunung Candrageni (Merapi), dan Candramuka (Merbabu), Abdul Jalil disambut dengan penghormatan berlebih setiap kali datang ke dukuh-dukuh, padepokan-padepokan, asrama-asrama. Namun, di tengah sanjungan dan pujian yang ditujukan kepada dirinya itu, Abdul Jalil menangkap sasmita mengerikan tentang bakal terjadinya azab Allah dalam bentuk bencana dahsyat yang akan melanda wilayah tersebut.

Sepanjang perjalanan memasuki wilayah yang bakal diterjang bencana itu, Abdul Jalil menyaksikan jungkir baliknya tatanan nilai-nilai yang dianut penduduk di kawasan tersebut. Ia menduga, kemerosotan Majapahit yang diikuti tumbuh suburnya kerajaan-kerajaan kecil dan kadipaten-kadipaten gurem yang saling berselisih telah menjadi penyebab utama bagi lahirnya sebuah tatanan baru masyarakat yang kabur dan tidak jelas kekuatan tiang-tiang penyangganya. Kehidupan masyarakat telah teraduk-aduk dan berantakan karena pilar-pilar kekuasaan, hukum, keamanan, dan ketertiban telah runtuh serta hilang tersapu badai keserakahan dan keganasan para penguasa yang berselisih memperebutkan kuasa dan wibawa. Kekuasaan sudah berbaur dengan ketidakteraturan. Hukum sudah bercampur dengan perdagangan. Keadilan sudah sama dan sebangun dengan keberpihakan. Kejujuran telah menyatu dengan dusta. Kebaikan telah bercampur aduk dengan kejahatan. Kebenaran telah tumpang tindih dengan kebatilan. Semua nilai telah kabur. Buram. Gelap. Menyesakkan.

Di tengah perselisihan para penguasa serpihan-serpihan wilayah Majapahit yang sebagian besar telah menjadi kekuasaan-kekuasaan gurem itu, memang terjadi kesepakatan para penguasa untuk membagi wilayah kekuasaan masing-masing dengan batas-batas wilayah yang tegas. Namun, akibat tidak adanya kekuasaan tertinggi yang memiliki kuasa dan wibawa, maka kesepakatan-kesepakatan itu sering kali dilanggar. Lalu, terjadi tumpang tindih dalam pengaturan daerah kekuasaan baik menyangkut batas tanah, pajak, cacah jiwa, administrasi, hingga status warga dan jumlah nayakapraja. Di tengah ketumpangtindihan itu, rakyat sengaja dibiarkan hidup dengan pilihan-pilihannya sendiri, termasuk dalam hal melindungi diri sendiri dari berbagai masalah berat yang seharusnya menjadi kewajiban penguasa. Akibatnya, kerusuhan-kerusuhan kerap kali terjadi, baik dalam bentuk perampokan, penyerobotan tanah, tawuran antardesa, pembunuhan-pembunuhan, dan penjarahan-penjarahan. Para penguasa biasanya pura-pura menutup mata seolah tidak mengetahui keadaan carut marut yang terjadi di wilayah kekuasaannya.

Sebagaimana perilaku alam, seiring perjalanan waktu, tatanan Kehidupan di wilayah yang sarat perselisihan itu telah melahirkan kenyataan hidup manusia yang sesuai dengan dasar-dasar hukum alam: siapa yang kuat akan muncul sebagai pemenang. Di tengah kehidupan yang mirip rimba raya itu, bermunculan makhluk-makhluk mengerikan yang ganas, buas, rakus, dan keji, laksana mayat-mayat hidup bangkit dari kubur bergentayangan menakuti manusia. Atau, makhluk-makhluk buas yang curang, licik, kejam, tamak, dan serakah, laksana kawanan lintah berkeriap dari rawa-rawa mencari manusia untuk diisap darahnya. Atau, makhluk-makhluk pemakan bangkai, laksana kawanan biawak merayap-rayap dengan lidah bercabang terjulur meneteskan liur keserakahan. Atau makhluk-makhluk dekil pemakan sampah, laksana lalat beterbangan menebarkan bau busuk dan penyakit. Makhluk-makhluk ganas itulah yang dikenal orang dengan nama: tuan tanah, lintah darat, pemungut pajak, tukang tagih, centeng, maling, penggarong, pemeras, orang-orang bayaran, dan penjarah. Semua makhluk menjijikkan itu hidup saling membahu, tolong-menolong, manfaat-memanfaatkan, dukung-mengukung, pendek kata saling bekerja sama dengan sesama maupun dengan para penguasa. Mereka membangun kuasa dan wibawa yang menakutkan bagi Kehidupan manusia karena kekuatan mereka saling berjalin berkelindan, laksana dinding-dinding labirin yang berliku-liku membingungkan dan menyesatkan.

Kemunculan makhluk-makhluk mengerikan itu ternyata akibat keadaan tidak pasti yang membuat semua orang saling berlomba memenuhi kepentingan pribadinya masing-masing di luar batas kewajaran. Seperti sedang berpacu mengadu kecepatan, orang-orang berlomba saling mendahului untuk meraih keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Siapa yang tercepat akan berada pada urutan terdepan. Dalam perlombaan mengedepankan kepentingan pribadi itu, muncul makhluk-makhluk mengerikan yang membahayakan Kehidupan manusia. Sementara penduduk desa yang selama berbilang abad merupakan orang-orang tangguh yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, ternyata ikut berubah menjadi kawanan makhluk pemalas rakus dan ganas akibat tanah-tanah yang mereka garap secara turun-temurun bergantian dirampas oleh penguasa yang berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain. Bagaikan kawanan lalat berkerumun mengitari bangkai yang dimangsa serigala, begitulah penduduk desa-desa yang sebelumnya dikenal sebagai komunitas yang mandiri tiba-tiba menjelma menjadi kawanan pencoleng yang suka menangguk keuntungan di tengah kekacauan. Selama kurun perselisihan yang panjang itu, banyak desa yang semula penduduknya terkenal ramah dan suka menolong tiba-tiba berubah menjadi desa para pelucut mayat. Perangai ramah dan suka menolong serta merta lenyap digantikan wajah seram dari serpihan-serpihan manusia yang suka melucuti barang-barang prajurit yang tewas dalam pertempuran, seperti keris, sarung keris, pedang, sarung pedang, busur, mata tombak, cincin, gelang, dan kantung jimat. Bahkan, yang lebih banyak tumbuh lagi di samping desa-desa pelucut mayat adalah desa-desa penggarong dan penjarah, yakni desa dari serpihan-serpihan manusia ganas pembawa binatang buas yang menjarah dan membiadab di tengah kekacauan.

Melucuti mayat dan menjarah. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus di tengah perselisihan kuasa dan wibawa yang berlangsung berpuluh-puluh tahun akhirnya mewujud menjadi sebuah mentalitas kaum. Sebab, dengan melucuti mayat dan menjarah, segala hal yang sulit menjadi mudah. Segala hal yang rumit menjadi sederhana. Segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Bukankah di dalam melakukan perlucutan mayat dan penjarahan, orang hanya butuh sedikit kekuatan dan sekeping keberanian untuk melakukan aksinya? Bukankah seorang pemalas dekil pun tidak perlu mengeluarkan tenaga banyak untuk melakukan tindakan perlucutan mayat atau aksi penjarahan? Melucuti mayat. Menjarah. Melucuti mayat. Menjarah. Itulah mentalitas kaum yang terus tumbuh subur baik di kalangan kawula maupun di tingkat penguasa yang hidup di tengah konflik. Semakin porak-porandan dan jungkir balik tatanan nilai-nilai kehidupan yang sudah dirobek-robek perselisihan itu, semakin suburlah mentalitas rendah itu dengan pertanda seringnya pecah kekacauan yang bermuara ke perlucutan dan penjarahan besar-besaran. Demikianlah, di wilayah persilangan Pasir Luhur, Mataram, Pengging, dan Pajang yang ditebari kadipaten-kadipaten gurem seperti Bocor, Taji, Surabhuwana, Pakem, Semanggi, Wanabhaya, Wirasabha, Bhagahalin, Jatinom, Kajoran, dan Tembayat itu nyaris tidak pernah sepi dari kekacauan yang tampaknya sengaja dicipta oleh para penjarah.

Di lembah selatan gunung Candrageni yang selalu mengeluarkan asap, yang menurut penduduk di sekitar gunung tersebut terdapat kerajaan gaib bangsa lelembut, yang dirajai Sang Kala Rudra, yang pada waktu-waktu tertentu menyemburkan lahar panas dari kepundan, terdapat pemukiman penduduk yang tersebar begitu dekat jaraknya satu sama lain. Sejak berbilang abad, kawasan tersebut dikenal sebagai daerah sangat subur karena muntahan lahar dari gunung Candrageni telah menjadi pupuk bagi tanah yang ditebarinya. Lantaran berlimpah kesuburan yang laksana berkah tercurah dari langit, penduduk di kawasan tersebut hidup dalam kemakmuran berlebihan. Namun, sejak ketidakpastian hidup mulai mengambang seiring merosotnya kekuasaan Majapahit, seluruh kemakmuran yang dinikmati penduduk tiba-tiba terampas oleh tangan-tangan kekar bersenjata. Petani-petani penggarap sawah diusir dan tanahnya dirampas oleh orang-orang kuat yang kelak mendudukkan diri sebagai penguasa wilayah. Lalu, seiring menguatnya penguasa wilayah, bermunculan para tuan tanah, pemungut pajak, penagih sewa tanah, tukang kepruk, dan lintah darat. Kemiskinan pun merebak menjadi keniscayaan yang melahirkan manusia-manusia pemalas yang mengedepankan kepentingan pribadi, yang dengan cara sangat ajaib menjelma menjadi serpihan-serpihan manusia dekil berjiwa perampok, penggarong, pencuri, pelucut mayat, pengutil, dan penjarah.

Ketika Abdul Jalil dan istri dalam perjalanan membagi keberlebih-kelimpahan tiba di kawasan lembah selatan gunung Candrageni, ia menyaksikan kejahatan demi kejahatan dilakukan oleh manusia-manusia yang sudah menjadi serpihan-serpihan berjiwa kawanan binatang buas. Yang paling menderita dari keadaan itu tentu saja orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang tak berdaya. Mereka meringkuk ketakutan di sudut-sudut rumah dengan tubuh lemah diterkam rasa lapar dan putus asa. Dengan tatap mata kosong, beberapa ibu yang kurus mendekap mayat bayinya yang sudah kaku. Sementara orang-orang yang masih kuat acapkali terlihat berlari tak tentu arah ketika rumah-rumah mereka dibakar para perusuh yang laksana kawanan serigala haus darah menjarah dan memburu siapa saja di antara manusia yang bisa dijadikan mangsa. Demikianlah, di tengah jerit kematian, pekik kesakitan, dan rintih keputusasaan orang-orang lemah tak berdaya itu, terdengar gelak tawa para tuan tanah, lintah darat, tukang tagih, pemungut pajak, tukang kepruk, para penjarah, dan tentu saja para penguasa bermental penjarah.

Bagi kebanyakan orang yang tinggal di daerah lembah gunung Candrageni dan Candramukha, compang-camping dan porak-porandanya kehidupan penduduk dengan nilai-nilai yang jungkir balik itu dianggap sebagai suatu hal biasa dan bahkan sangat menyenangkan. Namun, bagi Abdul Jalil yang terbiasa berbagi keberlebih-kelimpahan, keadaan itu sangat melukai jiwanya. Ia merasa seolah-olah berdiri di tengah bentangan cermin yang mengelilingi seperti lingkaran. Lalu, di dalam cermin itu ia melihat bayangan mengerikan dari manusia-manusia berkurang-kesusutan yang meraung-raung, melolong-lolong, dan melenguh-lenguh dengan mata menyala dan liur menetes, ingin melahap mangsa. Betapa mengerikan bayangan makhluk-makhluk buas berwujud manusia itu karena mereka lebih ganas dan lebih liar dibanding binatang paling buas. Mereka tidak takut kepada sesuatu karena di dalam diri mereka bersembunyi sesuatu yang sangat menakutkan manusia.

Sesungguhnya, sebagai makhluk hidup, serpihan-serpihan manusia itu memiliki naluri rasa takut. Sebab sebuas dan seliar apa pun makhluk hidup, entah itu manusia atau binatang, tidak akan pernah dapat membebaskan diri dari naluri rasa takut. Demikianlah, serpihan-serpihan manusia dekil berkurang-kesusutan yang dari waktu ke waktu mengumbar kejahatan demi kejahatan itu ternyata lehernya dililit oleh rantai-rantai rasa takut, yang diikat pada tiang api raksasa di puncak gunung Candrageni, yang merupakan singgasana Sang Kala Rudra. Rasa takut kepada Sang Kala Rudra itulah yang membuat mereka dapat berubah menjadi kumpulan dari serpihan manusia yang dengan takzim mempersembahkan sesaji kepada penguasa gunung serta mematuhi pantangan-pantangan, terutama di saat mereka menangkap tanda-tanda kemarahan Sang Penguasa Gunung.

Sementara, tercekam oleh penderitaan manusia akibat kejahatan manusia lain, Abdul Jalil berusaha memberi peringatan kepada semua orang agar mereka sadar bahwa tindak kejahatan yang mereka lakukan dengan semena-mena itu telah membuat Yang Mahakuasa murka. Dengan cara yang aneh, muncul mendadak seperti orang terbawa tiupan angin, ia datang ke tengah para pendeta dan pemuka penduduk yang sibuk mengadakan upacara persembahan bagi Sang Kala Rudra, penguasa gaib gunung Candrageni, yang belakangan terlihat murka dengan pertanda terbatuk-batuk dan menggeram-geramnya sang gunung. Ketika semua terheran-heran dengan kemunculannya yang aneh itu, Abdul Jaliln dengan cara yang aneh pula menyatakan bahwa ia adalah punggawa kraton gaib gunung Candrageni, yang diutus Sang Kala Rudra untuk memperingatkan manusia.

Di tengah rasa takut yang sedang menerkam, dengan menunjukkan sedikit kekeramatan yang menakjubkan, Abdul Jalil berhasil meyakinkana para pendeta dan pemuka penduduk. Mereka yang meyakini bahwa dewa-dewa sering muncul di dunia dalam wujud manusia, benar-benar yakin jika manusia yang berpakaian compang-camping yang datang dengan cara aneh dan mampu menunjukkan kesaktian itu adalah punggawa kepercayaan Sang Kala Rudra. Dengan penuh ketundukan dan kepatuhan, mereka menyembah dan kemudian duduk takzim bagaikan nayaka sedang menunggu sabda rajanya.

Sadar orang-orang sudah meyakini dirinya adalah punggawa kepercayaan Sang Kala Rudra, Abdul Jalil kemudian memberikan wejangan-wejangan yang intinya adalah peringatan dan ancaman kepada para pelaku kejahatan yang telah membuat murka Penguasa gunung, sungai, hutan, lautan, dan langit. Dengan suara nyaring laksana jeritan camar di tengah deburan ombak lautan, ia berkata dengan suara lantang diliputi wibawa yang aneh.

�Dengar! Dengarlah sabdaku, o pemimpin-pemimpin manusia yang tinggal di wilayah kekuasaanku! Bukalah telingamu lebar-lebar sebelum aku tusuk dengan batang bambu! Camkan peringatan yang aku sampaikan ini! Pertama-tama, untuk apa engkau sekalian melakukan upacara persembahan kepada Tuanku, Sang Kala Rudra, dengan cara berlebihan? Untuk apa tumpeng, ayam panggang, domba sembelihan, arak wangi, dan dupa harum engkau suguhkan untuk Tuanku, jika apa yang kalian persembahkan itu adalah hasil rampokan dan jarahan? Apakah kalian menganggap Tuanku pemimpin perampok yang memerintahkan kalian untuk merampas dan menjarah? Sungguh, persembahan kalian adalah penistaan dan kejijikan bagi Tuanku. Sungguh, perayaan upacara yang kalian adakan ini adalah suatu kejahatan yang memalukan bagi Tuanku.�

�Dengar! Dengar sabdaku, o manusia-manusia memuakkan. Telah bertahun-tahun Tuanku menahan murkanya atas penghinaan yang kalian lakukan. Tuanku muak melihat kalian. Muak. Muak. Seribu kali muak. Sehingga, kalau Tuanku mendapati kalian menengadahkan tangan untuk berdoa kepadanya maka dia akan memalingkan muka dan menutup telinganya. Dia tidak akan mendengar doa kalian. Sebaliknya, dia murka dan akan menebarkan kemurkaannya atas kalian semua. Tanpa kenal orang tua, perempuan, anak-anak, dan bahkan bayi sekali pun, dia akan mencurahkan amarahnya ke atas kepala tiap-tiap makhluk hidup di sekitarnya. Dia, Sang Kala Rudra, Penguasa Waktu, akan turun kepada kalian dalam wujud Yama, Sang Maut, Yang Maha Membinasakan. Dia akan menyaksikan Kebinasaan manusia akibat kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.�

�Sekarang dengarkan! Dengarkan, o manusia-manusia jahat. Jika kalian ingin selamat dari murka Tuanku maka ikutilah apa yang aku tunjukkan ini: pertama-tama, sucikanlah dirimu dari semua perbuatan jahat. Lalu, dermakan semua harta benda yang telah kalian kumpulkan dengan cara tidak hak itu kepada mereka yang membutuhkanu. Berbuat baiklah dengan menolong siapa saja di antara manusia yang membutuhkan pertolongan. Lalu, tegakkan keadilan dan cegah orang-orang dari perbuatan jahat. Lindungi orang-orang tua tak berdaya. Bela hak anak-anak yatim dan terlantar. Perjuangkan hak janda-janda tua dan orang-orang tertindas. Berikan keberlebih-kelimpahan yang kalian miliki kepada siapa saja di antara makhluk yang membutuhkan. Lalu, jangan sekali-kali kalian melakukan upacara persembahan untuk Tuanku lagi. Sebab, Tuanku telah berkata kepadaku bahwa Dia jijik dengan persembahanmu. Sebaliknya, Dia menginginkan kalian untuk menyembah-Nya dalam perwujudan Sanghyang Taya, Hyang Tunggal, Tuhan sesembahan leluhurmu sejak awal zaman. Kembalilah kalian kepada jalan Kebenaran yang pernah diajarkan Danghyang Semar beribu tahun silam.

Kembalilah kalian kepada ajaran Kapitayan. Tinggalkan upacara-upacara tak berguna yang menista Tuanku. Upacaramu itu tidak mendatangkan kebaikan, tetapi malah menurunkan bencana dahsyat bagi kalian.�

�Jika kalian ikuti petunjukku maka kalian akan selamat dari murka Tuanku. Sekalipun kesalahan kalian sudah sehitam jelaga, jika mengikuti petunjukku dengan benar maka kesalahan kalian akan dibersihkan dan disucikan seputih kapas. Jika kalian mau mendengar dan menuruti petunjukku maka kelimpahan yang Tuanku berikan akan semakin bertambah-tambah. Tetapi sebaliknya, jika kalian menentang dan melawan petunjukku maka kalian akan dimangsa oleh naga api raksasa yang bakal keluar dari kraton Tuanku. Sekarang dengarkan dan ikuti seruanku: seibarat kecepatan awan yang berarak ditiup angin kencang, begitulah engkau dengan keluargamu hendaknya pergi jauh-jauh dari wilayah kekuasaan Tuanku! Pergilah kalian menjauh dari tempat ini karena murka Tuanku sudah tidak tertahankan lagi. Dia akan menumpahkan murka-Nya ke empat penjuru negeri.�

Tiap-tiap umat memiliki ajal. Jika ajal suatu umat sudah datang menghampiri, waktunya tidak dapat diundur atau dimajukan. Sebagaimana keniscayaan hukum kehidupan, suatu umat yang sedang menunggu ajal selalu menampakkan tanda-tanda yang nyaris sama: mata nuraninya buta, telinga jiwanya tuli, lidah kebenaran-hatinya bisu, cakrawala kesadaran ruh manusiawinya tertutup gumpalan kabut pekat kejahilan. Sehingga, tidak seberkas pun keindahan wejangan yang dapat mereka lihat, tidak secuil pun kemerduan nasihat dapat mereka dengar, tidak sekerat pun kelezatan petunjuk dapat mereka nikmati, dan tidak sebersit pun bentangan cahaya Kebenaran dapat mereka ketahui. Mereka seperti orang buta, tuli dan bisu yang berada di dalam sel penjara yang gelap sehingga seberkas apa pun orang berusaha mengingatkan mereka tentang terangnya Kebenaran pastilah tidak akan mereka hiraukan.

Sebagai seorang manusia yang memiliki kepekaan dalam membaca tanda-tanda Kehidupan, Abdul Jalil sebenarnya menangkap sasmita bakal terjadinya bencana sejak kali pertama ia menginjakkan kaki di tanah yang dikerudungi kabut kejahatan. Keluh kesah penduduk tentang serbuan hama tikus dan belalang di sawah-sawah, disusul serangan penyakit ganas yang menewaskan ternak, dan disambung terjangan angin puyuh yang merusakkan tanah pertanian dan pemukiman, adalah tengara awal yang ditangkapnya tentang bakal terjadinya bencana dahsyat di daerah itu akibat kejahatan manusia. Ia tidak terkejut ketika kemudian mendapati kejahatan demi kejahatan yang dilakukan manusia-manusia dekil dan yang sudah buta nurani, tuli jiwa, dan bisu batinnya itu tergelar di depan matanya. Ia hanya merasakan dadanya sesak ketika dari waktu ke waktu menyaksikan ruh kejahatan terus datang membadai dan sambung-menyambung, menyelimuti jiwa manusia laksana embusan angin menggiring gumpalan awan yang bakal menghamburkan prahara; badai Kematian ganas yang ditunggangi Sang Maut, Penguasa Kematian, Pembinasa Yang mengangkat cakar-cakar Kehancuran dan akan menyantap nyawa semua makhluk yang ditemui-Nya.

Di tengah kebutaan mata hati, ketulian telinga batin, kebisuan lidah ruhani manusia yang sudah menghitam, di antara kejahatan yang tercurah laksana hujan deras dari langit, Abdul Jalil dengan diikuti tiga puluh sembilan orang yang meyakini ucapannya, yang kesemuanya adalah orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang lemah, berjalan beriringan tersuruk-suruk melewati pematang sawah, jalan setapak, semak belukar, hutan, bukit-bukit terjal dan menyeberangi sungai-sungai berair deras. Tanpa mempedulikan rasa lelah yang melumpuhkan jaringan otot tubuh dan rasa lapar yang menerkam perutnya, ia dan istri terus berjalan cepat dan secara bergantian menggendong anak-anak yang menangis ketakutan mendengar raungan gunung Candrageni yang menggemuruh. Ia berjalan sambil sesekali berteriak, menyemangati orang-orang yang mengikutinya agar tidak putus asa, meski kelelahan dan kelaparan telah menguras habis tenaga mereka. �Jangan putus asa! Teruslah bergerak! Bergerak! Ingat, di belakang kita Sang Maut sedang menggeliat dan akan memangsa siapa saja yang berada di dekat-Nya. Sedikit saja terjadi keterlambatan dari gerakan kita, tidak syak lagi, kita akan menjadi santapan-Nya. Ayo percepat langkahmu!� seru Abdul Jalil memapah seorang orang tua yang lemah kehabisan tenaga.

Setelah berjalan beberapa lama, Abdul Jalil beserta orang-orang lemah yang mengikutinya mencapai lembah Martani, yang membentang antara sungai Kuning dan sungai Gendol di kaki selatan gunung Candrageni, terjadilah peristiwa mengerikan yang sudah mereka tunggu dengan cemas: sebuah gempa dahsyat tiba-tiba mengguncang bumi sekeras-kerasnya diikuti runtuhnya bangunan-bangunan dan hiruk pikuk manusia yang bergelimpangan di atas tanah. Lalu, jerit kepanikan sambung-menyambung di tengah suara gemuruh runtuhnya segala sesuatu. Suasana mendadak berubah sangat mencekam dan menegangkan. Bayangan Kematian berkeliaran mengejar setiap jiwa. Wajah Sang Maut yang mengerikan menyeringai sangat menyeramkan, seolah kelaparan dan ingin melahap jiwa-jiwa yang ketakutan melarikan diri dari amukan alam. Ke mana pun manusia menghadapkan wajah, di situ mereka menyaksikan wajah Kematian yang tak tergambarkan dahsyatnya.

Ketika guncangan gempa yang dahsyat mulai mereda, semua orang yang selamat dari runtuhan bangunan-bangunan ambruk dengan kepala pening dan tatap mata kabur berhamburan keluar, berjalan hilir-mudik tak tentu arah, berlari kebingungan memanggili anak-anak, istri, suami, saudara, orang tua, dan handai taulannya. Arus manusia tiba-tiba berpusar dengan cepat di bawah seringai wajah Kematian. Kepanikan tersebar di mana-mana laksana air lautan di aduk-aduk gelombang. Manusia-manusia yang jiwanya sudah menjadi serpihan-serpihan tidak dapat berbuat sesuatu kecuali berlari. Berlari. Berlari tanpa tahu ke mana arah hendak dituju karena ke mana pun mereka berlari, bayangan Kematian terlihat menunggu mereka di ujung jalan.

Sementara, Abdul Jalil dan orang-orang yang mengikutinya yang sudah mengetahui bakal terjadi bencana, terlihat jauh lebih tenang. Mereka tidak sebingung dan sepanik orang-0rang yang tak mengetahui bakal terjadinya bencana tersebut. Saat orang-orang berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri atau mencari sanak-keluarganya, mereka dengan tenang berjalan beriringan ke arah timur menuju perbatasan Pajang yang jauh dari jangkauan gunung Candrageni. Belum lagi mereka cukup jauh berjalan, tiba-tiba terjadi sesuatu yang membuat semua mata terbelalak dan semua mulut bungkam: sebuah ledakan dahsyat terdengar dari puncak gunung diikuti suara gemuruh dari semburan lahar berapi yang menjulang tinggi laksana tiang raksasa menggapai langit. Sekejap kemudian, tiang api raksasa itu tumbang ke bawah menjadi cairan lahar berapi yang turun ke lereng dengan suara mengerikan, berpacu mengadu kecepatan bagaikan kawanan raksasa api berkejaran dan berlompatan saling mendahului, membentuk aliran merah membara, dan menjelma dalam wujud naga api raksasa yang merayap ganas, menyantap segala sesuatu yang dilewatinya. Dalam beberapa jenak, pada bekas jejak naga api raksasa itu terlihat beribu-ribu batang pohon tumbang yang hangus, kayu-kayu hitam menyala berserakan, mayat-mayat sehitam arang yang tak karuan lagi bentuknya, desa-desa yang rata dengan tanah dan mengepulkan asap, dan sayap-sayap Kematian yang terentang gagah menaungi kabut Kebinasaan yang bergumpal-gumpal memenuhi cakrawala.

Tanpa peduli Kebinasaan yang memporak-porandakan Kehidupan makhluk, Abdul Jalil dan orang-orang yang mengikutinya terus bergerak menerobos kegelapan debu yang menyelimuti permukaan bumi sambil terus mengagungkan kebesaran Ilahi. Dengan keyakinan bahwa Kebinasaan yang menghambur dari gunung Candrageni itu senapas dengan Kebinasaan yang pernah melanda kaum �Ad dan kaum T�samut di zaman Nabi Luth a.s., ia mewanti-wanti semua orang untuk tidak menoleh ke arah bencana. �Arahkan kiblat hati dan pikiran kalian hanya kepada-Nya! Jangan menoleh-noleh ke samping atau ke belakang! Barangsiapa yang melanggar akan binasa dimangsa Sang Maut.�

Sekalipun sejak awal sudah mengetahui bakal datangnya bencana, dalam perjuangan keras membawa orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak untuk menghindar dari amukan gunung yang marah, Abdul Jalil merasakan jiwanya dicekam ketegangan yang membuat tubuhnya basah kuyup diguyur keringat dingin. Sebab, secepat apa pun usaha yang dilakukannya untuk membawa orang-orang yang kelelahan dan kelaparan itu menjauh dari bencana, tak urung ia harus berhadapan dengan hambatan-hambatan yang sangat berat dan menekan terutama menyangkut kelambanan gerak. Sampai saat lahar berapi yang membludak dari puncak gunung laksana naga api raksasa itu meluncur ke bawah, melahap segala sesuatu yang menghadang jalannya, Abdul Jalil dan mereka yang mengikutinya masih berada di daerah aliran lahar. Ibarat sekumpulan anak-anak yang kelelahan dikejar naga api raksasa, begitulah mereka berlari terseok-seok, jatuh bangun diikuti aliran lahar berapi yang melaju cepat dengan suara gemuruh.

Kejar-mengejar antara aliran lahar berapi dengan Abdul Jalil dan mereka yang mengikutinya berlangsung sangat seru. Tanpa mempedulikan rasa sakit akibat terjatuh atau rasa lelah dan kehabisan napas, mereka berlari untuk menjauhi kejaran lahar berapi yang membinasakan. Namun, apalah daya orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang sudah lapar dan kelelahan. Jarak mereka dengan lahar berapi makin lama makin dekat sehingga gemuruh amukan sang naga api raksasa itu dapat mereka dengar, seolah-olah berada di belakang punggung. Kekuatan mereka nyaris habis manakala tebaran panas dari naga api raksasa itu mereka rasakan mulai menyengati tubuh. Sewaktu jarak mereka dengan aliran lahar berapi itu sudah sangat dekat, kira-kira sekitar tiga puluh tombak, Abdul Jalil tidak melihat kemungkinan lain untuk menghindar. Ia sudah membayangkan terjangan lahar berapi itu akan melahap dan melumat para pengikut dan bahkan dirinya.

Manusia boleh berusaha, tetapi Tuhanlah penentu segala. Saat bayangan Kematian sudah mengambang di permukaan bumi dan wajah-Nya menyeringai sangat menyeramkan di depan mata, tiba-tiba Abdul Jalil melihat secercah cahaya Kehidupan bersinar di atas sebuah bukit kecil yang tegak di sisi sebalah kirinya. Seperti digerakkan oleh kekuatan tak kasatmata, ia tiba-tiba saja berhenti dan memerintahkan orang-orang untuk berbelok arah, bergerak menyilang ke sisi kiri bukit yang memiliki jalan setapak menanjak ke tebing. Orang-orang yang panik dan hanya melihat Abdul Jalil sebagai satu-satunya penyelamat yang harus mereka ikuti tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti perintah panutannya. Mereka berlari sekuat kuasa dengan sisa-sisa tenaga terakhir. Lalu, terjadi suatu keajaiban: pada saat semua sudah mencapai puncak bukit yang terletak di sisi timur sungai Gendol di dekat tempuran sungai Opak, sampailah ujung lahar berapi itu ke sisi-sisi bukit dan menerjang segala sesuatu di aliran sungai dengan suara gemuruh. Aliran lahar berapi yang membinasakan itu meluncur ganas dan hanya berjarak sekitar sepuluh tombak dari atas bukit tempat Abdul Jalil dan pengikutnya berada.

Abdul Jalil yang tengah termangu-mangu menyaksikan hasil amukan alam yang menyisakan Kebinasaan mengerikan di sekitarnya, tiba-tiba dikejutkan oleh penglihatan batin yang membuat jantungnya berdentam-dentam dan aliran darahnya tersirap. Nun jauh di gugusan pantai selatan yang membentang di selatan kutaraja Mataram, terjadi Kebinasaan lain yang tidak kalah dahsyat ketika sebuah gempa mengguncang samudera dan memunculkan barisan gelombang besar yang bergerak hiruk-pikuk sangat mengerikan menerjang pantai, menjelma dalam wujud naga air raksasa yang menjulur ke tengah daratan dengan mulut ternganga, menyapu segala sesuatu yang dilewatinya, dan sewaktu kembali ke tengah lautan telah menyisakan bekas jejak menggiriskan: rumah-rumah berantakan dan rata dengan tanah, pohon-pohon tumbang bergulingan, pedati dan kereta bergelimpangan, sampah-sampah membukit, air berlumpur yang menggenang, mayat-mayat manusia berserakan, dan jiwa-jiwa yang beterbangan ke langit.

�Ya Allah, hamba berlindung dari murka-murka-Mu. Hamba percaya bahwa kasih-Mu lebih besar dari murka-Mu. Lindungilah kami, o Sang Pelindung!� seru Abdul Jalil di tengah gemuruh amukan Sang Maut. Namun, belum lagi bayangan Kematian terhapus dari penglihatan batinnya, ia menyaksikan bayangan Sang Maut berkeliaran ganas di antara garis langit dan permukaan bumi. Seperti belum puas dengan amukan naga api dan naga air raksasa yang menghamburkan Kebinasaan, murka Tuhan muncul lagi dalam wujud amukan naga tanah raksasa yang menyeruak di tengah kegelapan. Seiring tumpahnya air hujan dari langit yang meluapkan sungai-sungai dan meggenangi puluhan bukit dan lereng gunung, menjelmalah butir-butir air hujan yang lembut itu menjadi kawanan raksasa tambun yang tidak dapat bergerak karena tertahan bongkahan lahar berapi yang sudah padat. Tidak kuat menahan beban yang makin berat seiring makin tambunnya raksasa-raksasa air yang bergelantungan di punggungnya, runtuhlah tebing-tebing puluhan bukit itu ke bawah dengan suara gemuruh, menjelma menjadi naga tanah raksasa yang bergerak cepat menerjang pohon-pohon, hutan-hutan, lembah-lembah, padang hijau, sawah-sawah, desa-desa, rumah-rumah, dan semua makhluk yang berada di jalur lintasannya. Dalam sekejap, beribu-ribu manusia hilang tertelan di dalam perut naga tanah raksasa yang mengganas tak kenal ampun.

Ketika hari menjelang sore dan Abdul Jalil berdiri di atas bukit dikerumuni orang-orang yang mengikutinya, orang-orang meyakini bahwa dirinya adalah dewa yang turun ke dunia untuk menyelamatkan mereka. Dengan tatap nanar ia memandang Kebinasaan yang terhampar di sekitarnya. Setelah diam beberapa lama, ia dengan suara lain yang aneh berkata, menasihati orang-orang yang begitu mencintai dan memujanya.

�Wahai sahabat-sahabatku! Sesungguhnya, kita baru saja terhindar dari sergapan Sang Maut dan sekarang ini kita saksikan bersama padang Kebinasaan yang dipenuhi potongan dan serpihan tubuh manusia yang hangus menghitam. Aku tidak tahu apakah serpihan-serpihan itu tubuh manusia atau bangkai hewan karena semua tidak karuan lagi bentuknya. Semua sudah menjadi sekadar gumpalan atau serpihan daging hangus. Semua kecantikan, kemolekan, ketampanan, kegagahan, keperkasaan, dan kesempurnaan jasad ragawi manusia telah hilang, digantikan gumpalan-gumpalan daging hangus tak berharga. Tak berharga. Tak berharga. Seribu kali tak berharga.�

�Inilah pemandangan mengerikan bagi manusia yang memiliki penglihatan batin. Sebab, jauh sebelum pemandangan mengerikan ini terjadi sebagai kenyataan, mata batin mereka telah menyaksikan terlebih dahulu pemandangan ini. Mereka sudah menyaksikan keberadaan serpihan-serpihan jiwa manusia yang terkoyak-koyak dan hangus terbakar sehitam jelaga. Mereka sudah menangkap sasmita tentang bakal terjadinya Kebinasaan mengerikan karena Penguasa dunia tidak sudi lagi melihat citra-Nya berantakan menjadi serpihan-serpihan ragawi yang kehilangan jiwa insani. Lantaran itu, hendaknya kalian mengingat bahwa kemuliaan ragawi yang selama ini diagungkan oleh kaum sebangsamu, pada dasarnya tidak lebih dari kemuliaan palsu, ibarat cerminan azab neraka yang memantul ke dunia. Semakin kuat seorang manusia ingin mewujudkan Kehidupan surga di dunia dengan diri dan keluarganya menjadi penghunianya, sesungguhnya dia sedang membangun neraka yang mengerikan.�

�Kalian yang melihat apa yang terjadi saat ini hendaknya menjadikannya sebagai pelajaran, bahwa yang terbaik dari Kehidupan manusia adalah berada di tengah-tengah. Madya. Wasathan. Jangan terperangkap pada pesona benda-benda, tetapi juga jangan meninggalkannya. Janganlah mencintai dunia berlebih, tetapi jangan pula membencinya. Madya. Madya. Seribu kali madya. Ituah jalan hidup yang harus kalian lalui.�

�Tahukah kalian tentang hakikat dari benda-benda, o Sahabat-Sahabatku? Tahukah kalian tentang nisbinya hukum keberadaan benda-benda? Aku beri tahukan kepada kalian, wahai Sahabat-Sahabat, bahwa hakikat dari benda-benda adalah pantulan gambar maya dari Yang Wujud. Benda-benda adalah �wujud tergantung� yang akan lenyap jika Wujud sejati-Nya terbenam di balik cermin pengetahuan-Nya. Lantaran itu, jangan sekali-kali kaian menggantungkan kiblat jiwa dan pikiran pada benda-benda yang hanya bayangan maya dari Yang Wujud. Barangsiapa yang mengarahkan atau bahkan menggantungkan kiblat hati dan pikirannya pada benda-benda bayangan maya Yang Wujud maka dia sudah musyrik. Musyrik. Musyrik. Seribu kali musyrik.�

�Lihatah ke sekelilingmu, o Sahabat-Sahabatku! Lihatlah semua benda-benda rongsokan yang hangus di sekitar kalian! Lihatlah bangkai benda-benda yang berserak tak berharga setelah dilahap naga api raksasa! Lihatlah semua! Itukah benda-benda yang telah memesona jiwa manusia? Itukah benda-benda yang ingin dimiliki manusia? Itukah benda-benda yang dengan segala cara dikumpulkan manusia tanpa kenal hak dan batil atau halal dan haram? Itukah benda-benda yang dicintai dan digandrungi manusia? Adakah sekarang sisa keindahan dan kelangkaan dari benda-benda hangus yang selama ini mempesona kesadaran manusia?�

�Sunggu, aku katakan kepada kalian semua, benda-benda memesona yang dikumpulkan manusia dengan menghalalkan segala cara itu pada hakikatnya tak lebih dari potongan, serpihan, kepingan, dan gumpalan benda hangus tak berharga. Semua tidak lebih dari tumpukan arang hitam, sehitam Kegelapan malam tergelap yang menjadi persemayaman Sang Maut. Dan, saat Sang Maut membentangkan sayap-sayap Kematian yang mengerikan, lalu membalikkan Wajah dari cermin pengetahuan-Nya, maka tertelanlah semua benda karena pantulan bayangan pada cermin akan terhapus saat Kegelapan meliputi seluruh permukaan cermin. Seiring lenyapnya benda-benda para pecinta benda-benda pun akan kehilangan miliknya yang paling berharga: ruh dan jiwa.�

�Wahai serpihan-serpihan manusia! Wahai pemburu benda-benda! Wahai pengumpul benda-benda! Apakah yang akan engkau banggakan jika benda-benda kecintaanmu berubah menjadi kepingan dan gumpalan arang tak berharga? Apakah yang akan engkau katakan jika Yang Wujud membalikkan Wajah dari cermin hingga lenyap bayangan maya-Nya? Sungguh celaka engkau sekalian, o pecinta benda-benda yang dengan segala kebodohan mengumpulkan benda-benda dengan menghalalkan segala cara. Sungguh bodoh. Bodoh. Seribu kali bodoh. Sebab, seiring hancurnya benda-benda yang engkau kumpulkan ke pusaran Kebinasaan, hancur pula benda-benda milikmu yang berharga: anak-anak, istri-istri, saudara-saudara, orang tua, dan handai taulan kembali ke haribaan-Nya, meninggalkan dirimu yang terkucil di dalam terali penjara kebodohanmu yang gelap. Engkau telah kehilangan segala-galanya, o makhluk bodoh pecinta bayangan maya.�

Abdul Jalil menghentikan kata-kata sambil memandang ke arah gumpalan lahar berapi yang sudah membeku dan padat yang mgengitari bukitnya. Dengan mata penuh kasih ia kemudian mengalihkan pandangan ke arah orang-orang kelaparan dan kelelahan yang mengerumuninya. Ia menarik napas panjang ketika melihat anak-anak tertidur dengan senyuman, seolah bermimpi menyantap sekerat makanan di tengah kelaparan yang menerkam perutnya. Lalu, dengan senyum lebar ia berkata-kata, memberi hiburan dan penguatan jiwa kepada mereka yang memujanya.

�Wahai sahabat-sahabatku yang baik! Sungguh beruntung engkau yang telah menyaksikan Keagungan, Kemuliaan, dan Kemahakuasaan Tuhan, Zat Pencipta, Yang telah menyelamatkan kita dari Kematian. Beruntunglah engkau yang telah menyaksikan manusia-manusia cerdik tetapi tumbang kecerdikannya karena ditebang kecurangan dan kelicikan nafsunya. Semoga, semua hal yang telah engkau saksikan itu akan membawamu ke masa depan yang penuh harapan, masa depan adimanusia. Jadikanlah peristiwa Kebinasaan ini sebagai pedoman bahwa engkau yang telah diselamatkan dari Kematian hendaknya makin sadar untuk berjalan pada jalan Kebenaran. Sebab, tidak kurang di antara manusia yang diselamatkan dari Kematian justru menjauh dari jalan Kebenaran dan bahkan lupa bagaimana berjalan yang Benar.�

Read More ->>

BERBAGI

Berbagi Keberlebih-Kelimpahan

     Setelah meninggalkan Caruban, tanah kelahiran yang telah mengukir beribu-ribu kenangan manis dan pahit, Abdul Jalil dengan didampingi Shafa, istrinya, pergi ke pedalaman Nusa Jawa, dengan mula-mula memasuki tlatah Galuh Pakuwan yang sudah menjadi bagian Caruban. Hari-hari dan pekan-pekan selama perjalanan dilaluinya dalam kesendirian dua anak manusia, yang seperti leluhurnya, Adam dan Hawa, hidup berdua di alam perawan berkawan burung-burung dan margasatwa yang bergembira menyanyikan senandung Kehidupan memuji Yang Mahahidup. Lalu, tanpa sadar ia merasakan semacam pesona Kehidupan surgawi: bentangan gunung dan bukit, lembah dan ngarai, jeram dan aliran sungai, padang rumput dan hutan perawan dengan gemericik air, kicau burung, jerit margasatwa, dengung serangga, ranum buah-buahan, wangi bunga-bunga, harum ilalang, dan segar embun yang memukau kesadaran manusiawi.

Abdul Jalil yang selama bertahun-tahun terseret pusaran arus Kehidupan, teraduk-aduk di tengah gelombang perubahan yang diciptanya, tertegun dan tersilap oleh pesona ketenang-tenteraman alam yang membentangkan keindahan ciptaan Ilahi tak tergambarkan. Setiap pagi menjelang, ketika matahari merekah diufuk timur dan hangat cahayanya mengangkat gumpalan kabut dari permukaan bumi, ia menghirup keharuman napas hutan yang wangi. Ia menangkap kebijaksanaan hutan mengalir memenuhi jiwanya, laksana mata air memenuhi telaga dan mengalir ke sungai. Setiap siang membentangkan cakrawala, ketika burung-burung beterbangan dan margasatwa berkejaran mencari makan, ia menyantap buah-buahan hutan dan meminum madu hutan yang menyegarkan kesadaran manusiawinya. Setiap malam datang mengerudungi bumi dengan selimut hitam, ketika hewan malam bersenandung merindukan bulan dan bintang-bintang, ia menikmati hangatnya pelukan Sang Kekasih yang acapkali kerahiman-Nya mengejawantah dalam wujud manusiawi sang istri: Shafa.

Di tengah hamparan alam bebas, Abdul Jalil merasakan kebebasan elangnya terbang tinggi di angkasa meninggalkan hiruk pikuk kehidupan di bumi. Ia terpesona oleh keleluasaan langit ruhani yang membentangkan kesunyian tanpa batas. Ia terpesona oleh citra keperawanan alam yang telanjang, seolah melemparkannya ke gugusan ingatan purba kehidupan manusiawi leluhur, Adam dan Hawa. Di tengah keterpesonaan itu, ia bersyair memuji Keagungan dan Kemuliaan Sang Pencipta. Suaranya yang merdu tetapi tegar menggema di tengah suara alam yang mendendangkan nyanyian pepujian atas Keagunngan Sang Pencipta.

Wahai Kekasih / di dalam hutan rimba-Mu / di tengah hewan-hewan-Mu / di tengah alam ciptaan-Mu / Engkau limpahkan kenyamanan melebihi kuta, desa dan gubukku // seluruh makhluk ciptaan-Mu / hadir telanjang tanpa topeng-topeng / nyanyian pepujian yang mereka lantunkan memuji-Mu / polos dan terbuka tanpa polesan / merdu tanpa kepalsuan // di hutan bebas inikah kediaman akhirku di dunia? / di alam bebas inikah elangku bisa terbang tinggi menggapai citra hampa-Mu? / di sini, dihutan-Mu, aku bersimpuh tanpa daya menghadap-Mu / aku persembahkan diriku, utuh, meski kehidupan palsu duniawi telah mencabik-cabik jiwaku //

Keindahan alam ciptaan Ilahi bagaimanapun bukanlah sesuatu yang langgeng. Baik keindahan alam yang terbentang maupun makhluk yang terpesona memandangnya, semua tidaklah abadi. Semua terbatas dan dibatasi oleh waktu yang ganas yang selalu menghancurkan tiap-tiap ciptaan tanpa belas kasihan. Keindahan bumi, bulan, bintang, matahari, hewan, manusia, bahkan surga pun pasti berakhir jika waktunya tiba. Hanya keindahan Sang Penguasa waktu yang selalu kekal dan abadi. Sebagaimana hukum alam (sunnatullah) yang berlaku, keindahan perjalanan Abdul Jalil yang memesona laksana perjalanan di surga itu pun akhirnya berakhir sesuai waktunya.

Ketika suatu pagi Abdul Jalil berjalan ke sungai kecil berair jernih untuk mengambil air dengan tabung bambu, tiba-tiba ia tersentak kaget ketika melihat bayangannya terpantul di permukaan air. Ia merasakan sekujur tubuhnya gemetar dan dadanya berdegup keras. Ia menajamkan pandangan. Jelas sudah, bayangan itu bukan bayangan dirinya: wajah sangar, kulit gelap, tubuh bongkok, tangan sangat panjang sampai melebihi lutut, mata terbelalak lebar, hidung besar, dan mulut jelek dengan gigi tak beraturan. Lalu, bayangan itu secara menakjubkan bangkit dari dalam air tanpa basah tubuhnya. Tanpa mengucap salam atau memperkenalkan diri, bayangan manusia buruk rupa itu sekonyong-konyong bertanya, �Siapakah engkau, o manusia jelek pengambil air?�

Terheran-heran Abdul Jalil menajamkan pandangan untuk menegaskan sosok bayangan itu. Dengan suara bergetar ia berkata, �Aku seorang pengembara papa bernama Abdul Jalil. Asalku dari Caruban Larang. Balik, siapakah engkau ini, o makhluk yang muncul dari air?�

�Aku? Namaku Abdul Jalil seperti engkau. Asalku juga dari Caruban Larang. Tapi aku tidak mengenalmu. Perwujudanmu sangat buruk, sampai-sampai hatiku gemetar ketakutan melihat sosokmu.�

�Engkau mengatakan perwujudanku buruk?�

�Ya, engkau manusia buruk rupa. Kenapa? Apakah engkau tidak sadar jika perwujudanmu sangat buruk dan menakutkan? Apakah engkau tidak melihat keberadaan bayangan dirimu yang palsu? Aku tahu siapa engkau sebenarnya. Engkau adalah makhluk jejadian yang membayangkan keberadaan dirimu sebagai Abdul Jalil, guru manusia asal Caruban Larang. Padahal, engkau hanyalah orang yang terseret angan-angan kosongmu menjadi orang lain. Engkau terperangkap khayalan nirwujudmu. Engkau tidak mengenal dengan benar guru manusia itu,� kata manusia buruk rupa itu dengan suara menggetarkan seolah diiringi bunyi derik ribuan jangkrik dari napasnya.

�Bukankah Abdul Jalil, guru manusia itu, adalah aku?� tukas Abdul Jalil terheran-heran.

�Aku tidak mengenalmu, o Pengaku-aku,� seru manusia buruk rupa itu sembari menunjukkan giginya yang tak teratur dan bibirnya yang tebal dalam seringai mengerikan. �Sebab, Abdul Jalil, guru manusia, yang pernah aku kenal adalah seorang manusia berlebih-kelimpahan. Dia manusia yang selalu merasa berat menanggung keberlebih-kelimpahannya, sehingga hari-hari dari hidupnya tidak pernah dilaluinya tanpa membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya. Ia terus membagi. Membagi. Seribu kali membagi. Dengan membagi, beban keberlebih-kelimpahannya akan berkurang.�

�Jika engkau bertanya kepada hutan, sungai, pohon, batu, matahari, bulan, bintang dan margasatwa tentang siapa Abdul Jalil maka engkau akan mendapati jawaban yang sama: dia, Abdul Jalil, adalah guru sang pembagi keberlebih-kelimpahan. Dia, guru manusia, yang selalu berkorban tanpa pamrih. Sebab, berkorban membagi-bagi diri, baginya, adalah membebaskan diri dari beban yang terus melimpahinya. Ya, itulah Abdul Jalil yang aku kenal, guru manusia yang selalu membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya. Sementara, engkau, manusia buruk rupa yang mengaku-aku Abdul, apakah yang engkau sudah lakukan selama di hutan ini? Bukankah hari-harimu hanya engkau isi dengan menerima dan menikmati keramahan alam, seolah engkau orang yang berkurang-kesusutan. Siapakah engkau ini sesungguhnya, o manusia buruk rupa?�

Abdul Jalil terperangah kaget. Ia merasakan wajahnya panas tertampar oleh ucapan makhluk buruk rupa itu. Bukan. Bukan hanya tamparan yang ia rasakan menghantam wajahnya. Rasa malu pun ia rasakan tiba-tiba menyesaki jiwanya. Rasa malu yang bergelegak dan meluap-luap membanjiri seluruh jaringan tubuhnya mulai dari ujung kaki naik terus ke ubun-ubun. Sekejap kemudian, ia tiba-tiba mendapati sekujur tubunya sudah basah diguyur keringat dingin. Lalu dengan hati risau ia membalikkan badan dan pergi meninggalkan manusia buruk rupa yang telah membuatnya malu itu. Namun, manusia buruk rupa itu mengejar dan memanggil-manggilnya dengan suara serak, �Abdul Jalil! Abdul Jalil! Berhentilah! Tunggu aku! Aku bukanlah orang lain. Aku adalah bayang-bayangmu! Jangan tinggalkan aku!�

Dengan keringat bercucuran, Abdul Jalil berjalan menembus kelengangan hutan. Ia tidak melihat lagi bayangan manusia buruk rupa yang mengejarnya. Namu, saat ia melintasi sebuah tikungan jalan setapak berbatu di lereng sebuah bukit, tiba-tiba ia terpekik kaget. Rupanya, di tengah kecamuk pikirannya yang galau ia telah menabrak seseorang yang sedang tersungkur di jalan. Raung kesakitan dan makian kemarahan terdengar bersahutan seperti pekik elang dan desau angin yang menampar tebing batu yang tinggi menjulang.

Dengan mata ditajamkan, Abdul Jalil menegaskan pandangannya ke sosok yang baru saja ditabraknya. Ia terkejut dan merasakan bulu kuduknya meremang saat mendapati kenyataan betapa sosok orang yang ditabraknya itu, wajah dan perawakannya sangat mirip dengannya. Anehnya, sosok itu luar biasa tambun. Saking tambunnya, tubuh sosok itu seperti terbentuk dari gumpalan daging. Hanya wajah sosok tambun itu saja yang mirip dengannya. Lalu, dengan suara yang direndahkan dan hati kebat-kebit ia berkata, �Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Siapakah engkau ini, o Tuan? Kenapa engkau tersungkur di tengah jalan?�

Sosok tambun mirip Abdul Jalil itu dengan gerakan lamban dan sangat susah payah, berkata terbata-bata dengan suara serak seperti kambing mengembik, �Maafkan aku, o Saudara. Bukan maksudku tidur-tiduran di jalan untuk menikmati hangatnya matahari sebagaimana anjing berjemur kehangatan matahari. Bukan pula maksudku menghalang-halangi orang-orang yang berjalan. Sebaliknya, ini yang harus engkau ketahuhi, aku adalah manusia malang yang tidak kuat lagi menanggung beban keberlebih-kelimpahan yang menghimpitku laksana bongkahan batu gunung. Kakiku tidak cukup kuat menahan beban keberlebih-kelimpahan yang memberati tubuhku. Itu sebabnya, aku tersungkur tak berdaya karena napas dan tenagaku hampir habis menahan beban keberlebih-kelimpahan yang terus bertambah menindihku dari waktu ke waktu. Aku sudah tidak kuat menahan. Aku merasakan diriku seperti jembatan bambu rapuh yang tidak kuat lagi menahan arus sungai yang meluap ganas akibat banjir di hulu. Aku hanya bisa menunggu datangnya orang-orang yang dengan suka rela menolongku; membagi keberlebih-kelimpahanku kepada mereka yang membutuhkan. Aku hanya bisa menunggu. Menunggu. Seribu kali menunggu. Dan engkau barusan tadi malah menabrakku. Apakah dengan suka rela mau menolongku? Apakah engkau bersedia membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada mereka yang membutuhkan?�

�Maafkan aku, o Saudaraku,� sahut Abdul Jalil dengan hati diliputi kepedihan, �Aku akan membawamu berkeliling ke mana pun engkau inginkan. Aku akan membagi-bagi keberlebih-kelimpahanmu kepada mereka yang membutuhkan. Apa pun akan aku lakukan untuk membantumu. Tetapi, izinkan aku akan berpamitan kepada istri yang sedang menungguku,� dengan tanpa menoleh sedikit pun ia berlari meninggalkan sosok tambun itu. Ia berlari ke tempat istrinya menunggu.

Ketika Abdul Jalil mendapati istrinya sedang duduk memakan buah-buahan dan meminum madu hutan, ia mendekat dan berkata, �Tadi aku ke sungai untuk mengambil air. Sekarang aku sudah kembali. Tapi tidak setetes pun air yang kubawa.�

�Apakah yang telah terjadi dalam perjalananmu, o Suamiku?� tanya Shafa menangkap sasmita bahwa suaminya telah mengalami sesuatu.

�Di pinggir sungai tadi aku melamu dan jatuh tertidur di bawah pohon besar. Aku terbangun ketika seekor kucing hutan mencakar dan menggigit dadaku. Waktu ia melihat aku terbangun, ia lari ketakutan. Tetapi, buru-buru ia kuhentikan dan kutanya kenapa lari ketakutan dariku. Bukankah ia telah berjasa membangunkan aku dari tidur lelap? Lalu ia menjawab, ia lari karena telah melukaiku. Lalu kukatakan kepadanya begini: masakan seekor kucing hutan dapat melukai singa? Kubuka jubahku, dadaku memang tidak luka oleh cakaran dan gigitannya. Lalu kucing hutan itu merunduk malu dan menjilati kakiku.�

�Ketika kucing hutan itu pergi ke hutannya dan aku mengisi tabung bambu dengan air, tiba-tiba muncul seekor sapi betina yang berjalan terseok-seok dan menangis kesakitan. Dia mengeluh kepadaku telah berbilang pekan ini sekujur tubuhnya meriang kesakitan. Pasalnya, air susunya tidak ada yang mengisap dan tidak pula ada yang memerah. Dia meratap dan memohon kepadaku untuk menolongnya: memeras air susunya dan membagi-bagikan air susu itu kepada siapa pun di antara bayi yang membutuhkan susu. Aku tidak kuasa menolak keinginan makhluk mulia yang menderita sakit karena tidak bisa mendermakan keberlebih-kelimpahannya kepada sesama. Lalu aku menemuimu, meminta pendapatmu apakah engkau berkenan membantuku memerah susu sapi yang kesakitan itu, dengan imbalan engkau akan beroleh manfaat dari susunya. Itulah sebabnya, o Istriku, aku kembali tanpa membawa air setetes pun,� kata Abdul Jalil.

Shafa tertawa. Lalu dengan manja ia bertanya, �Adakah sesuatu pesan di balik ceritamu itu, o Suamiku?�

Abdul Jalil memandang ke atas, melihat langit dari sela-sela rimbunan pohon. Setelah itu, ia menunduk dan berkata dengan suara lain, �Dalam perjalananku mengambil air di sungai tadi, aku melihat bayanganku di permukaan air. Tapi, aku tidak lagi mengenalinya karena dia begitu buruk rupa dan mengerikan. Lalu seperti seekor kucing hutan liar yang ganas, ia mencakar dan menggigit kesadaranku. Aku terbangun. Dan, kudapati betapa diriku telah menjadi orang lain yang tidak kukenal. Aku, Abdul Jalil, guru manusia, yang dikenal orang sebagai sang pemberi yang selalu membagi-bagi tubuh dan jiwanya laksana Raja Bagiratha tiba-tiba telah menjelma menjadi makhluk papa, sang penerima dan penikmat kelezatan dunia. Sungguh muak aku melihat cermin diriku seperti itu.�

�Bayanganku telah membangunkan kesadaranku bahwa aku adalah manusia yang dianugerahi keberlebih-kelimpahan, seperti sapi perah betina dianugerahi keberlebih-kelimpahan susu. Dan seperti sapi perah betina yang kesakitan tidak diperah, begitulah kesakitan kurasakan merejam tubuh dan jiwaku saat aku tidak membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada sesama. Sungguh, telah berkali-kali aku sampaikan kepadamu bahwa Kehidupan makhluk tidaklah kekal. Bukan hanya bumi, bulan, bintang, matahari, dan planet-planet yang tidak kekal, bahkan surga dan neraka pun tidak kekal. Sebagaimana yang telah engkau yakini, Kehidupan di bumi ini hanya sekejap. Kita semua sedang berjalan menuju persemayaman Sang Maut, alamat Cinta Sejati bertakhta. Kita tidak boleh dan tidak bisa bahkan tidak mungkin berhenti. Kita harus berjalan menuju-Nya sambil melepas segala sesuatu yang melekat pada diri kita. Kita harus melepas semua sampai kita telanjang seperti bayi yang tidak mengenal sesuatu yang lain kecuali puting susu ibunya. Begitulah sebaiknya kita dalam kembali kepada-Nya. Sebagai orang yang sedang berjalan menuju-Nya, tetapi menanggung beban keberlebih-kelimpahan dari-Nya, maka wajiblah bagiku untuk meneruskan perjalanan di bawah naungan-Nya dan membagi-bagi keberlebih-kelimpahan yang dianugerahkan-Nya itu kepada yang membutuhkan. Aku tidak ingin menjadi makhluk tambun yang terkapar sekarat di jalanan, akibat menanggung derita tertimbun oleh keberlebih-kelimpahan yang tidak dibagi.�

Shafa tersenyum dan bangkit. Sambil menunduk menyentuh kaki Abdul Jalil, dia berkata lembut, �Aku tahu siapa sejatinya engkau, o Suamiku. Aku telah menyaksikan keindahan telaga sunyi di matamu. Aku telah merasakan kesejukan angin di desah napasmu. Aku telah menyaksikan kegagahan sayap-sayapmu yang laksana rajawali terbang mengarungi langit sunyi. Aku telah mendengarkan bagaimana merdu suaramu menyanyikan pepujian atas keagungan-Nya. Bahkan di atas semua penyaksian itu, aku telah merasakan keberadaan dirimu secara utuh. Sungguh, telah kukenal engkau melebihi yang lain. Karena itu, o Suamiku, ke mana pun engkau pergi aku akan selalu ikut. Apa pun yang engkau perintahkan aku akan patuhi. Apa pun yang engkau teladankan aku akan ikuti. Bagiku, berlaku ketentuan suci seorang istri setia laksana Sati, yang mengabdi kepada suami ibarat pepatah �ke surga ikut ke neraka tersangkut-paut�. Demikianlah ungkapan dari lubuk jiwaku terdalam terhadapmu, o Suamiku.�

Setelah meninggalkan Kehidupan hutan, Abdul Jalil dengan didampingi istri berjalan melintasi lembah, gunung, sungai, sawah, dan padang belantara, dengan sesekali singgah di desa, dukuh, padepokan, dan asrama-asrama. Sepanjang perjalanannya itu ia laksana gumpalan awan di angkasa, dengan kegembiraan raya mencurahkan keberlebih-kelimpahannya seperti hujan kepada siapa saja yang membutuhkannya: ia mengobati yang sakit, menghibur yang dirundung kesedihan, memberi obor yang dalam kegelapan, menguatkan yang lemah, memberi makan yang lapar, mengulurkan tangan kepada yang meminta, memberi petunjuk kepada yang sesat jalan, mengajarkan jalan Kebenaran yang lurus, memacu kesadaran manusia agar berjuang mewujudkan diri menjadi adimanusia, dan yang tak pernah terlupakan adalah memberitakan kabar langit tentang bakal datangnya kawanan Ya�juj wa Ma�juj, pengikut Dajjal, yaitu kawanan �manusia berekor�, binatang yang berpikir, manusia pembawa hewan buas yang bakal menjatuhkan umat manusia ke jurang kebinasaan.

Sebagai guru manusia, Abdul Jalil paham jika manusia-manusia yang dihadapinya adalah kawanan-kawanan manusia tak berpribadi yang akal budi dan jiwanya dibentuk oleh lingkungan yang penuh diliputi rasa takut, yaitu manusia-manusia yang sejak bayi sudah ditakut-takuti takhayul dan kurafat. Ia paham bahwa manusia satu dengan manusia yang lain diikat oleh jalinan tali-temali nilai yang sama, yakni nilai-nilai yang dibangun di atas rasa takut pada sesuatu di luar diri manusia. Itu sebabnya, di dalam membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya kepada masyarakat semacam itu, ia memutuskan untuk mengikat rangkaian itu pada satu simpul utama yang kuat, yaitu mengikat kabar langit tentang kawanan manusia berekor yang membahayakan Kehidupan umat manusia sebagai simpul utama. Ia barharap, rasa takut orang-orang terhadap kabar langit itu mengalahkan semua rasa takut mereka terhadap hantu takhayul di sekitar mereka. Lalu, melalui simpul utama itu ia berharap dapat memperkuat simpul yang lain dari semua jalinan nilai yang akan diubahnya. Demikianlah, tanpa kenal siang dan malam, di tengah kesibukan membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya, ia menyampaikan kabar langit yang dahsyat itu kepada siapa saja yang datang kepadanya.

Read More ->>

KEMENANGAN TAK TERDUGA

Bermula dari Kemenangan Tak Terduga

   
      Awan putih berarak rendah di langit biru. Matahari bersinar terang di atas bukit-bukit yang membentang di kaki gunung Ciremai. Cahayanya yang kuning keperakan menyinari tanah basah berlumpur yang diguyur hujan semalaman. Di lereng gunung Gundul di sebuah hamparan tanah berumput alang-alang yang sudah diaduk-aduk dengan gumpalan tanah dan genangan air keruh, terbaring ribuan tubuh tak bernyawa terbalut lumpur dan dibasahi darah segar. Dilihat dari pakaian yang dikenakan dan panji-panji yang berserak di sekitarnya, tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa nyawa itu adalah prajurit Galuh Pakuwan.

Suasana pagi itu, meski terang, terasa sangat mencekam. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya tubuh-tubuh manusia tak bernyawa yang bergelimpangan di antara bangkai-bangkai kuda dan gajah, tombak-tombak patah, perisai-perisai belah, pedang-pedang bertindihan, anak-anak panah bertancapan, dan panji-panji yang berserakan penuh lumpur. Sejauh telinga menguping tidak terdengar kicau burung atau suara margasatwa di sekitar tempat itu. Satu-satunya suara yang terdengar adalah dengung beribu-ribu kawanan lalat yang beterbangan mengerumuni mayat-mayat dan bangkai-bangkai hewan yang berserak.

Di tengah suasana mencekam, di antara hamparan tanah lumpur yang teraduk-aduk, di sela-sela tubuh-tubuh manusia tak bernyawa dan bangkai-bangkai yang berserakan, Abdul Jalil dan Raden Mahdum Ibrahim berdiri termangu-mangu sambil sesekali memuji kebesaran Ilahi karena mereka menangkap �bekas jejak� Sang Maut melingkupi tempat itu. Tapi belum lama mereka meresapi �bekas jejak� Sang Maut yang mengerikan itu, tiba-tiba dari arah puncak gunung terlihat iring-iringan orang menuruni jalanan berlumpur yang terjal. Iring-iringan itu tidak lain dan tidak bukan adalah prajurit dan pejuang Caruban yang terluka. Jumlah mereka sekitar tiga puluh orang. Sebagian di antara mereka adalah penduduk Kalisapu, Jatimerta, Babadan, dan Muara. Di antara mereka terlihat Syaikh Duyuskhani, Abdul Karim Wang Tao, dan Ki Anggasura yang terluka agak parah.

Ketika para prajurit dan pejuang Caruban itu melihat Abdul Jalil, mereka tampak terkejut dan terperangah kebingungan. Mereka saling pandang. Lalu, seperti tidak peduli dengan luka yang diderita dan rasa sakit yang dirasakan, mereka berhamburan menghapiri Abdul Jalil sambil berteriak-teriak kegirangan seperti anak kecil. Mereka berebut menyalami dan mencium tangannya. Sebagian lagi merangkul kaki Abdul Jalil dengan isak tangis dan yang lain menarik-narik jubahnya atau mengusap kakinya. Abdul Jalil yang heran melihat tindakan mereka, dengan suara ditekan tinggi bertanya, �Ada apa ini? Apa sesungguhnya yang telah terjadi sampai kalian bertindak berlebihan seperti ini?�

Para prajurit dan pejuang Caruban yang mengerumuni Abdul Jalil diam. Satu pun tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, mereka malah bersujud beramai-ramai dan menangis terisak. Abdul Jalil yang terheran-heran melangkah ke depan mendekati Syaikh Duyuskhani sambil bertanya, �Apakah sesungguhnya yang telah terjadi, Tuan Syaikh? Kenapa mereka berlebihan seperti itu menyambut aku? Bukankah yang seharusnya dielu-elukan sebagai pahlawan adalah mereka?�

Syaikh Duyuskhani yang dipapah dua orang muridnya diam tak menjawab. Sejurus kemudian dia berkata, �Semalaman kami baru saja mengalami sebuah peristiwa yang sangat menggetarkan. Sebuah peristiwa ajaib yang tidak bakal kami lupakan seumur hidup.�

�Peristiwa ajaib apakah itu, o Tuan Syaikh?� tanya Abdul Jalil ingin tahu.

�Malam tadi, andaikata tidak terjadi keajaiban, kami semua tidak akan bertemu dengan Tuan Syaikh di sini,� papar Syaikh Duyuskhani menjelaskan peristiwa menggetarkan itu. Kemarin, sepanjang hari, langit terlihat redup dan suram, diliputi gumpalan awan hitam yang berdesak-desak dengan awan kelabu. Sejak pagi matahari tidak terlihat. Seperti redup dan suramnya langit itulah hati para prajurit dan pejuang Caruban. Sejak subuh, dengan perasaan tertekan, mereka menunggu datangnya badai pertempuran yang bakal melanda mereka. Perasaan mereka makin tertekan manakala di pagi yang suram itu terlihat lautan panji, bendera, umbul-umbul, dan tombak beriap-riap di lembah yang membentang di kaki selatan gunung Gundul, timbul tenggelam di tengah hamparan rumput alang-alang dan semak-belukar.

Sesungguhnya, perasaan tertekan itu bukan hanya dirasakan para prajurit dan pejuang Caruban. Para tetunggul Caruban pun diam-diam merasa tertekan luar biasa karena mereka harus bertempur tanpa didampingi pemimpin tertinggi yang mereka jadikan kiblat panutan: Sri Mangana. Jiwa mereka tertekan, keyakinan mereka goyah, dan semangat tempur mereka padam. Bahkan, tanpa sadar, tiba-tiba mereka semua merasakan semacam ketidakpedulian menjerat jiwa mereka, terutama akibat santernya kabar yang menyatakan bahwa Sri Mangana sebenarnya sudah tewas dibunuh menantunya. Mereka semua merasa tidak perlu lagi bertempur menghadapi musuh karena tidak ada lagi junjungan yang perlu mereka bela. Di tengah ketidakpedulian itu, mereka merasa seperti anak ayam kehilangan induk; anak ayam yang berciap-ciap dan berlari tak tentu arah mencari perlindungan saat diserang kawanan musang dan burung elang.

Di tengah suasana yang menekan itu, Angga, wali nagari Kuningan, manggalayudha Caruban, mengambil keputusan mengejutkan, yaitu menawarkan pertarungan antartetunggul. Pertempuran dua belah pihak yang hanya dilakukan oleh para tetunggul masing-masing tanpa melibatkan prajurit. Wali nagari Kuningan yakin, dalam pertarungan antartetunggul itu pihaknya akan meraih kemenangan karena memiliki pendekar-pendekar yang termasyhur kehebatannya di medan tempur. Tanpa syak sedikit pun ia percaya para tetunggul Caruban akan mudah mematahkan kehebatan tetunggul-tetunggung Galuh Pakuwan yang kebanyakan sangat mengandalkan ilmu kawedukan, ilmu karosan, pangerutan, dan pangabaran.

Dalam pertarungan itu, wali nagari Kuningan berhadapan dengan musuh lamanya, Adipati Kiban. Keduanya, adalah seteru lama yang saling berhasrat menghancurkan. Mereka bertarung sengit seperti harimau kelaparan dan banteng luka. Dalam sekejap, di tengah sorak-sorai prajuri kedua pihak, arena pertarungan berubah menjadi palagan menggetarkan. Serpihan tanah dan batu barhamburan di tengah kepulan debu yang bergumpal-gumpal. Kelebatan tubuh dan senjata beradu teraduk-aduk di tengah suara menggiriskan, seperti cangkul ditancapkan berulang-ulang pada tumpukan kerikil. Akibat sengitnya pertarungan, tanpa sadar keduanya telah berlaga keluar jauh dari arena. Beberapa puluh prajurit dari kedua pihak diperintah untuk mengikuti dan sekaligus mengawal dua orang manggalayuddha itu.

Selama menunggu akhir pertarungan wali nagari Kuningan dengan Adipati Kiban, Ki Anggasura maju ke tengah arena berhadapan dengan Ki Dipasara. Namun, jauh dari perhitungan wali nagari Kuningan, Ki Anggasura yang sejak awal sudah tertekan, semakin kehilangan semangat tempur dan ketrampilan bertarung sebelum tampil di palagan. Dalam dua tiga kali gebrakan, ia tumbang dengan luka tikaman di punggungnya. Ki Dipasara yang berada di atas angin tidak membunuhnya. Sebaliknya, dengan sikap jumawa dan merendahkan ia meminta para prajurit Caruban untuk membawa tetunggulnya itu ke belakang arena. �Obati lukanya. Kalau sudah sembuh suruh dia berguru lagi. Aku tunggu lima belas tahun lagi di sini untuk menjajal ilmunya.� Sekumpulan prajurit Caruban dengan muka merah karena menahan malu menggotong Ki Anggasura yang berlumuran darah.

Tampaknya, hari itu adalah hari keberuntungan bagi pihak Galuh Pakuwan. Dalam waktu hanya satu hari, mereka sudah memperlihatkan kehebatannya di arena pertarungan. Satu demi satu tetunggul Caruban yang maju ke tengah arena, tanpa kesulitan berarti dapat mereka kalahkan. Para tetunggul seperti Syaikh Magelung, Pangeran Karang Kendal, Pangeran Kapethakan, Pangeran Kandhayaksan, Ki Anggarunting, Li Han Siang, Haji Shang Su, Abdul Karim Wang Tao, Abdul Razak Wu Lien, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Demang Singagati, Tumenggung Jaya Orean, Abdul Qadir, dan Abdul Qahar al-Baghdady, bahkan Adipati Suranenggala yang diunggulkan, bertumbangan tak berdaya dikalahkan tetunggul-tetunggul Galuh Pakuwan. Tragisnya, sebagaimana sikap Ki Dipasara, para tetunggul Galuh Pakuwan yang lain sengaja tidak membunuh lawan, tetapi menghinakan mereka sebagai pecundang nista. Rupanya para tetunggul Galuh Pakuwan telah sepakat: tidak memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk gugur sebagai ksatria di arena pertarungan, sebaliknya membiarkan mereka menjadi pecundang nista yang akan menanggung malu seumur hidup karena setelah kalah dihina dengan ejekan-ejekan merendahkan.

Ketika sangkakala dibunyikan pertanda pertarungan usai, terjadi kericuhan kecil saat sebagian prajurit Caruban terlibat tantang-menantang dengan prajurit Galuh Pakuwan. Lalu terjadi perkelahian kecil yang merembet menjadi besar, terutama ketika Sanghyang Gempol memerintahkan pasukan Galuh Pakuwan untuk menyerang perkemahan pasukan Caruban di puncak gunung Gundul. Beribu-ribu prajurit Galuh Pakuwan yang membawa obor mengepung puncak. Perlahan-lahan tetapi pasti, lautan obor yang memenuhi delapan penjuru lereng itu terus bergerak mengerucut ke atas laksana lautan api sabut yang belum terbakar.

Menyaksikan gelombang lautan api yang terus mengerucut, semua orang yang berada di puncak gunung dicekam rasa ketakutan, bahkan sebagian sudah putus asa. Semua sadar bahwa Sang Maut saat itu sudah terbang di angkasa merentangkan sayap-sayap-Nya yang setajam pedang. Semua sadar Kematian bakal datang secepat hitungan jari. Semua sadar, mereka hanya bisa menunggu. Menunggu. Menunggu. Bahkan, prajurit dan pejuang yang tak dapat menahan rasa takut dan putus asa berteriak-teriak meminta tolong kepada Sri Mangana dan Syaikh Lemah Abang. Di tengah hiruk pikuk teriakan para prajurit dan pejuang yang memanggil-manggil, disusul ledakan halilintar, disambung turunnya hujan deras, dan berembusnya badai. Obor-obor yang dibawa musuh padam, tersiram hujan. Lalu, terdengar teriakan dan jeritan dan caci maki musuh yang saling bunuh karena kegelapan malam dan hujan badai telah membutakan mereka.

Ketika semua orang Caruban terheran-heran menyaksikan musuh yang saling berperang sendiri itu, terjadi peristiwa ajaib yang tak kalah mengherankan. Tiba-tiba, terdengar seruan sambung-menyambung di tengah kegelapan yang menyatakan bahwa Sri Mangana telah muncul beserta bala bantuan dan menyerbu gunung Gundul dari lembah utara. Orang-orang Caruban yang memalingkan pandangan ke lembah utara melihat beribu-ribu titik api memenuhi lembah dan bergerak cepat ke selatan. Semangat pihak Caruban yang sudah surut mendadak berkobar kembali. Takbir dikumandangkan sahut-menyahut.

Di tengah hiruk suara takbir, tiba-tiba terdengar seruan-seruan lantang bersahutan yang memerintahkan pasukan Galuh Pakuwan untuk mundur. Seperti digerakkan oleh kekuatan gaib, beribu-ribu prajurit Galuh Pakuwan yang saling bertarung itu berhenti serentak. Dan seperti dikomando, mereka berebut turun secara berbarengan. Lalu terjadilah malapetaka tak terduga: tanah polos yang memagari tebing-tebing di seputar gunung Gundul yang sudah basah oleh air hujan ternyata tidak kuat menahan beban. Di tengah berdesak-desaknya pasukan Galuh Pakuwan menuruni tebing-tebing tanah itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang menggiriskan. Rupanya, satu demi satu tebing tanah itu longsor menimpa apa saja yang berada di bawahnya dan mengubur apa saja yang tersambar oleh runtuhannya yang dahsyat. �Demikianlah, Tuan Syaikh, kami yang sudah terjepit antara hidup dan mati bisa lolos dari maut dan bahkan merebut kemenangan,� kata Syaikh Duyuskhani.

�Bukankah semua itu Af�al Allah dan tidak terkait dengan keterlibatan makhluk-Nya?�

�Bagi mereka yang sudah tinggi Tauhidnya, peristiwa itu memang merupakan perbuatan Allah mutlak. Tetapi bagi kebanyakan orang awam, terutama yang berada pada keadaan antara hidup dan mati, peristiwa semalam itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai keajaiban yang tidak bisa tidak mesti terkait dengan keterlibatan orang suci kekasih Allah. Sejak semalam, sebagian prajurit dan pejuang kita menganggap peristiwa ajaib itu terjadi berkat kekeramatan Tuan Syaikh. Sebab sambaran petir, curahan hujan, dan embusan badai itu terjadi saat mereka berteriak-teriak meminta pertolongan Tuan Syaikh. Sehingga, saat mereka turun dan kemudian mendapati Tuan Syaikh di tempat ini, mereka makin yakin bahwa kekeramatan Tuanlah yang telah menyebabkan keajaiban itu,� kata Syaikh Duyuskhani.

�Sesungguhnya, mereka telah terjebak ke dalam lingkaran prasangka-prasangka.�

�Tapi Tuan Syaikh, kami berharap Tuan tidak menafikan pandangan mereka itu dengan sikap yang keras. Kami berharap Tuan Syaikh berkenan memahami keadaan mereka yang belum sepenuhnya mampu mewadahi ajaran Sasyahidan yang Tuan ajarkan,� kata Syaikh Duyuskhani merendah.

Abdul Jalil menatap puncak gunung Gundul dan kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, �Berapakah jumlah pasukan Caruban yang semalam terkepung di puncak, Tuan Syaikh?�

�Kurang dari dua belas ribu orang, Tuan Syaikh.�

�Lalu pihak Galuh Pakuwan yang mengepung berapa jumlahnya?�

�Kami tidak bisa menghitung dengan pasti, Tuan Syaikh. Yang jelas, seputar gunung ini semalam sudah menjadi lautan api karena obor-obor yang dibawa prajurit Galuh tak terhitung jumlahnya.�

�Apakah pasukan Caruban masih di atas? Aku tidak melihat mereka.�

�Sejak subuh tadi Sri Mangana memimpin mereka ke Galuh Pakuwan.�

Sri Mangana, khalifah Caruban, selain dikenal sebagai negarawan ulung yang adil dan bijaksana, juga dikenal sebagai manggalayuddha gagah perkasa dan tak tertandingi dalam mengatur siasat perang. Hal itu paling tidak telah ia buktikan untuk kali ke sekian ketika pasukan Caruban yang sudah terkepung di puncak gunung Gundul, tetapi kemudian beroleh kemenangan tak terduga-duga.

Ketika pasukan Galuh Pakuwan masih sibuk menyelamatkan diri dari amukan alam yang mengerikan itu, diam-diam Sri Mangana memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengenakan pakaian prajurit Galuh Pakuwan yang tewas. Lalu, di tengah hiruk orang-orang yang berebut turun ke lembah di selatan gunung, prajurit-prajurit penyamar itu menyebarkan berita yang intinya: pasukan Galuh Pakuwan diperintahkan untuk menyusul Prabu Surawisesa ke Pakuwan Pajajaran, sebab ibu kota Galuh Pakuwan telah jatuh ke tangan Prabu Banyak Belanak, Yang Dipertuan Pasir Luhur, yang menyerbu kutaraja Galuh secara mendadak. Di tengah suasana hiruk yang membingungkan itu, baik prajurit maupun tetunggul Galuh Pakuwan ternyata percaya begitu saja dengan kabar itu. Dengan kalang-kabut dan tak teratur, masing-masing pasukan Galuh Pakuwan membentuk barisan-barisan dari prajurit-prajurit yang tersisa. Dengan buru-buru, satuan-satuan kecil itu bergerak ke arah barat, ke Pakuwan Pajajaran. Sementara, sebagian sisanya masih terlihat berkeliaran di kaki gunung Gundul, sibuk menolong kawan-kawannya yang terluka.

Selain memerintah prajurit untuk menyebar kabar palsu, Sri Mangana malam itu juga memerintahkan prajuritnya untuk membangunkan penduduk yang tinggal di sekitar gunung Gundul. Penduduk diminta keluar rumah dan mengibarkan kain apa saja yang mereka punyai sebagai bendera atau umbul-umbul di sepanjang jalan-jalan desa. Saat matahari terbit, pasukan Galuh Pakuwan yang masih berkeliaran di lembah selatan gunung Gundul terkejut menyaksikan bendera dan umbul-umbul aneka warna menghiasi segenap penjuru gunung. Mereka makin terkejut manakala menyaksikan hiruk pikuk pasukan Caruban yang turun dari puncak gunung sambil menggoyang-goyang panji-panji, bendera, dan tombak.

Siasat cemerlang Sri Mangana ternyata membuahkan hasil mengejutkan. Dalam waktu singkat, tanpa menumpahkan darah setetes pun, pasukan Galuh Pakuwan terusir tanpa sisa. Hanya tubuh-tubuh tak bernyawa dan bangkai-bangkai hewan yang menebarkan bau anyir yang menampakkan sisa keberadaan pasukan Galuh Pakuwan di situ. Saat pasukan Galuh Pakuwan tersuruk-suruk menyusuri jalan yang melintasi lembah-lembah, bukit-bukit, dan hutan-hutan menuju Pakuwan Pajajaran, orang melihat Sri Mangana beserta sebelas ribu pasukannya beriringan melintasi lembah dan bukit-bukit yang membentang di selatan gunung Gundul. Bagaikan ular raksasa menerobos rimbunan hutan dan belukar, iring-iringan pasukan Caruban bergerak cepat ke arah timur dan kemudian berbelok ke selatan. Setelah bergerak tanpa henti selama sehari dan semalam, pada hari ketiga iring-iringan terlihat menyeberangi sungai Sanggarung.

Selama perjalanan ke selatan tanpa kenal istirahat itu, iring-iringan pasukan Caruban terlihat bertambah panjang. Setiap kali melewati desa-desa di kawasan perbatasan selatan, pasukan selalu mendapat tambahan warga desa yang dipimpin kuwu masing-masing. Saat iring-iringan pasukan itu berhenti di sisi utara sungai Julang, jumlahnya sudah membengkak dari sekitar sebelas ribu menjadi dua puluh ribu orang. Meski jumlahnya semakin besar, iring-iringan itu bergerak tanpa suara. Para prajurit dan pejuang sepanjang perjalanan tidak berbicara. Derap langkah kaki pun terdengar ringan. Bahkan, keempat kaki kuda-kuda tunggangan para tetunggul dibebat kain supaya tidak menimbulkan suara.

Memasuki hari keempat, setelah melintasi bukit-bukit terjal di gunung Manik, iring-iringan pasukan Caruban berhenti di Padahurip, di utara sungai Julang. Sri Mangana memerintahkan pasukan untuk beristirahat di situ. Namun, saat malam menjelang ia memerintahkan Abdul Halim Tan Eng Hoat, Pangeran Karang Kendal, dan Syaikh Magelung untuk pergi ke Tangkolo dengan membawa tiga ribu pasukan yang sebagian besar berasal dari Kendal. Mereka ditugaskan merebut kubu pertahanan Galuh Pakuwan di Situmandala, yang letaknya di sisi selatan sungai Julang. Selama penyerangan itu semua diperintahkan untuk berbicara dan memberi aba-aba dalam bahasa Jawa.

Gerakan senyap pasukan Caruban ke Tangkolo tidak diketahui pasukan Galuh Pakuwan yang mempertahankan kubu Situmandala. Saat dinihari ketika permukaan bumi diselimuti kabut tebal, sewaktu iring-iringan tiga ribu orang pasukan Caruban bergerak menyeberangi sungai Julang, tidak sedikit pun menimbulkan kecurigaan pihak Galuh Pakuwan bahwa musuh bakal datang. Itu sebabnya, ketika pasukan Caruban menyerang kubu saat subuh, pasukan Galuh Pakuwan yang sedang mendengkur sangat terkejut. Tanpa perlawanan berarti, kubu Situmandala jatuh. Sekitar tujuh ratus orang prajurit ditawan. Yang lain sengaja dibiarkan meloloskan diri.

Setelah merebut Situmandala, pasukan Caruban pada pagi hari hingga siang merebut Patakarajya, Rancah, dan Kawunglarang tanpa perlawanan. Serangan mendadak pasukan Caruban ini ternyata menimbulkan kegemparan di kutaraja Galuh Pakuwan. Laporan-laporan yang disampaikan prajurit-prajurit dari kubu Situmandala yang lolos menyebutkan para penyerbu menggunakan bahasa Jawa dengan logat aneh. Prajurit dari Patakarajya serta penduduk Rancah dan Kawunglarang pun menyampaikan laporan yang sama. Tidak syak lagi, Prabu Surawisesa dan para menterinya menganggap penyerangan itu dilakukan Prabu Banyak Belanak dari Pasir Luhur.

Di tengah kegemparan kabar serbuan orang-orang Pasir Luhur, terjadi sesuatu yang lebih menggemparkan. Ketika matahari naik sepenggalah, sewaktu prajurit-prajurit Galuh Pakuwan sedang memperkuat pertahanan di sekitar Kraton Surawisesa, tersiar kabar bahwa Sri Mangana dengan pasuka Caruban yang berjumlah sekitar lima puluh ribu orang menyeberangi sungai Julang dan langsung merebut pertahanan Galuh Pakuwan di kubu Karangpaningal. Prajurit-prajurit dari kubu Karangpaningal yang berhasil lolos melaporkan jika pasukan Caruban saat itu sedang bergerak ke Kraton Surawisesa.

Prabu Surawisesa terperangah kaget mendengar kabar serangan bertubi-tubi itu. Ia tidak pernah menduga jika penguasa Pasir Luhur dan penguasa Caruban bakal berkomplot untuk menyerang kratonnya dalam waktu bersamaan. Padahal, seluruh kekuatan Galuh Pakuwan saat itu sedang dipusatkan di Caruban. Itu sebabnya, dengan terburu-buru ia mengumpulkan para menteri dan penasihat untuk membicarakan masalah pelik itu. �Apa yang bisa kita lakukan sekarang ini? Seluruh pasukan kita berada di Caruban dan kabarnya sudah dikalahkan. Apa yang harus kita lakukan?� tanya Prabu Surawisesa kebingungan.

Para menteri dan nayaka Galuh Pakuwan tidak dapat menjawab pertanyaan junjungan mereka. Mereka pun saat itu sedang dicekam ketakutan dengan datangnya kabar bertubi-tubi serangan dari Caruban dan Pasir Luhur. Akhirnya, dalam pertemuan singkat itu, semua yang hadir termasuk Prabu Surawisesa tidak memiliki pilihan lain kecuali dengan tegas mengambil satu keputusan: menyingkir dari kutaraja Galuh Pakuwan secepat-cepatnya sebelum musuh datang menyerang. Demikianlah, dengan dikawal sekitar dua ribu pasukan, Prabu Surawisesa dan keluarga serta pejabat Galuh Pakuwan meninggalkan kutaraja. Dengan menyusuri jalan berliku di lereng selatan gunung Sawal, iring-iringan penguasa Galuh Pakuwan itu bergerak ke barat menuju Pakuwan Pajajaran.

Ketika Sri Mangana dan pasukan Caruban memasuki kutaraja dan menduduki Kraton Surawisesa, mereka mendapati kraton itu dalam keadaan kosong dan semrawut. Peti-peti perhiasan, cerana dan piring berlapis emas, bertumpuk-tumpuk kain, ikatan-ikatan naskah rontal, dan karas tanah terlihat berserakan di halaman beserta busur, perisai, pedang, tombak, dan tahi kuda. Sementara kayu-kayu dan tali-temali yang bakal dijadikan alat pertahanan berserakan di berbagai sudut kraton menambah kesemrawutan. Rupanya, Prabu Surawisesa lari dari kratonnya dengan terburu-buru sehingga banyak barang bawaannya yang tertinggal. Sekitar lima-enam orang dayang-dayang masih membawa cerana, cermin, dan alat-alat rias.

Setelah seluruh tempat di kutaraja Galuh Pakuwan terkuasai, siang itu juga Sri Mangana memaklumkan wilayah Galuh Pakuwan sebagai bagian dari kekuasaan Caruban dengan batas-batas sesuai yang berlaku atas wilayah Galuh Pakuwan sebelumnya, yaitu batas timur dari gunung Gunatiga di utara sampai ke muara sungai Tanduy di selatan. Batas selatan samudera. Batas barat gunung Cakrabuwana di utara dan muara sungai Panerang di selatan. Dengan demikian, seluruh wilayah kekuasaan Caruban sudah terpisah sedemikian rupa dengan wilayah kerajaan Sunda, laksana buah semangka dibagi dua. Batas wilayah Caruban di utara sepanjang sungai Cimanuk dan berakhir di sungai Panerang yang bermuara di samudera raya. Sebagaimana yang berlaku di Rajagaluh dan Talaga, penaklukkan Galuh Pakuwan itu ditandai dengan pembagian tanah kepada seluruh penduduk yang bersedia menaungkan diri di bawah lindungan khalifah Caruban Sri Mangana.

Bermula dari kemenangan beruntun pasukan Caruban, yang ditandai dengan awal kemenangan tak terduga di puncak gunung Gundul, terjadilah sesuatu yang membingungkan dan sekaligus merisaukan Abdul Jalil. Di tengah semarak kabar kemenangan tak terduga pasuka Caruban di gunung Gundul, tersebar di bawah permukaan tentang kabar burung yang menyatakan bahwa kemenangan ajaib itu adalah berkat kekeramatan Syaikh Lemah Abang. Lalu, seperti hempasan air bah tak terbendung, kabar burung itu dengan deras melanda seluruh negeri. Tanpa ada yang menduga sebelumnya, tiba-tiba kediaman Abdul Jalil di Lemah Abang diserbu beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang dari berbagai tempat yang memiliki tujuan utama: mencari berkah keselamatan dan bermacam-macam keperluan lain.

Ketika Abdul Jalil melihat orang-orang yang bergerombol mengerumuni kediamannya makin lama makin beriap-riap, ia menangkap sasmita tidak baik tentang bakal terjadinya sesuatu yang tidak diharapkannya. Sambil mengelus-elus janggutnya, ia menyapukan pandangan ke kerumunan orang di sekitarnya. Lalu dengan suara lain ia berbisik kepada Ki Luwung Seta, yang duduk di sampingnya, �Betapa aneh orang-orang yang kusaksikan hari ini. Wajah mereka sedungu keledai. Punggung mereka sebongkok unta. Kaki mereka sependek kura-kura. Tangan mereka sepanjang lutung. Suara mereka separau bebek. Apa yang membuat mereka beriap-riap datang ke gubukku?�

�Mereka menginginkan berkah keselamatan dari Kangjeng Syaikh,� sahut Ki Luwung Seta lirih.

�Sungguh celaka jika keinginan mereka itu dikabulkan,� gumam Abdul Jalil tiba-tiba menyaksikan seluruh pemandangan di sekitarnya berubah dalam beberapa kejap. Ia menyaksikan rumah-rumah berubah menjadi gundukan tanah kering dan batu-batu sungai. Pohon-pohon berubah menjadi tanah kering berwarna merah dan hitam. Sementara mendung kelabu yang menggantung di langit berubah menjadi gumpalan hitam seolah gunung batu digantung di awang-awang.

Ketika pemandangan mengerikan yang melintas sesaat itu telah berganti semula, Abdul Jalil berdiri dengan perasaan berat. Dengan langkah goyah ia melangkah ke arah masjid. Namun, baru berjalan beberapa langkah, orang-orang yang berkerumun di gubuknya tiba-tiba menyerbu. Mereka berebut mendekati Abdul Jalil. Ada yang menyalami dan menciumi tangannya. Ada yang merangkul dan mencium lututnya. Ada yang mengelus dan mencium kakinya. Ada yang menarik jubahnya. Bahkan, ada yang mencium bekas tapak kakinya.

Abdul Jalil terhenyak kaget. Ia tiba-tiba merasakan malu menerkam jiwanya. Ia malu melihat perilaku orang-orang yang menurutnya jauh dari kepantasan orang-orang beriman. Ia memalingkan pandangan dan berusaha lari cepat-cepat meninggalkan tempat laknat itu. Namun, gerakan tubuhnya terhalang kerumunan orang-orang. Malah dari kerumunan orang-orang itu terdengar suara aneh yang gaduh, seperti beribu-ribu suara bebek di tengah ringkikan kuda dan suara burung hantu. Dan lamat-lamat, suara aneh yang gaduh itu terdengar berbunyi:

�Syaikh Lemah Abang! Syaikh Lemah Abang! Limpahi kami berkah keselamatan! Limpahilah kami berkah rezeki! Limpahilah kami berkah kesehatan! Limpahilah kami berkah kekayaan! Limpahilah kami berkah kemuliaan! Limpahilah kami berkah keagungan!�

Abdul Jalil merasakan bulu kuduknya meremang mendengar suara-suara aneh itu. Ia merasakan dadanya tiba-tiba menggelegak seperti air direbus di ketel. Ia merasakan darahnya memuai. Namun, ia berusaha menahan gejolak jiwanya yang membakar itu. Ia menahan. Menahan. Dan hasilnya, ia merasa betapa kebingungan dan kerisauan tiba-tiba melingkar-lingkar bagaikan benang kusut menjerat kesadarannya. Kemudian, dengan hentakan kuat ia mendorong orang-orang yang mengerumuninya sambil berteriak lantang, �Tahukah engkau siapakah aku ini?�

�Kangjeng Syaikh Lemah Abang!� terdengar sahutan serempak.

�Syaikh Lemah Abang hanyalah nama,� Abdul Jalil terhenyak dan kemudian berkata dengan suara ditekan rendah, �Sewaktu-waktu aku bisa mengganti nama itu dengan nama lain. Engkau pun bisa menunjuk orang ini dan itu dengan nama Syaikh Lemah Abang. Semua orang di antara kalian boleh memakai nama Syaikh Lemah Abang. Tetapi, hendaknya kalian tahu bahwa Syaikh Lemah Abang juga memiliki nama lain pemberian guru agungnya, Syaikh Datuk Kahfi, yaitu Sang Pajuningrat, baji pembelah dunia.�

�Kenapa Syaikh Lemah Abang dinamai Sang Pajuningrat? Sebab, dengan baji ia diharapkan dapat membelah kerasnya hati manusia yang melebihi keras biji kemiri. Dengan baji, ia diharapkan dapat menumbangkan pohon-pohon kemusyrikan di dalam jiwa manusia. Dengan baji, ia diharapkan menghancurkan berhala-berhala sesembahan baik dari kayu pahatan, batu pahatan, maupun manusia pahatan. Dengan baji, ia diharapkan dapat memisahkan benalu kemusyrikan dari pohon Tauhid. Dan apa yang diharapkan dengan nama Pajuningrat itu telah aku genapi. Telah kubersihkan dan kusucikan Pohon Tauhid dari benalu kemusyrikan dan pemberhalaan.�

�Kini, engkau semua telah mengaku-aku sebagai murid-murid Syaikh Lemah Abang, Sang Pajuningrat. Engkau datang berduyun-duyun ke gubukku untuk meminta berkah keselamatan dariku. Aku tidak keberatan engkau semua mengaku-aku muridku. Tetapi, hendaknya engkau semua memahami dan mengamalkan ajaran inti yang kusampaikan. Tahukan engkau semua apakah ajaran inti Sang Pajuningrat? Pertama-tama, Sang Pajuningrat berkewajiban menjaga dan memelihara pertumbuhan Pohon Tauhid. Lalu, membersihkan Pohon Tauhid dari benalu-benalu dan hama kemusyrikan. Lalu, membagi-bagikan buah Tauhid sebagai rahmat kepada seluruh makhluk. Lalu, menanam benih-benih Tauhid di tempat-tempat lain agar tumbuh Pohon Tauhid yang lain.�

�Aku tegaskan kepada engkau semua dengan setegas-tegasnya, berkah yang akan aku berikan kepada murid-murid dan pengikutku bukanlah berkah khayal seperti yang dibayangkan orang kebanyakan. Berkah yang akan aku wariskan adalah berkah dalam bentuk nama Pajuningrat. Siapa saja di antara manusia yang mengaku sebagai murid atau pengikutku, hendaknya bersedia menjadi paju. Baji. Alat pembelah yang digunakan untuk mengawal kesucian Pohon Tauhid. Dengan demikian, jika satu saat nanti engkau semua mendapati siapa saja di antara manusia, termasuk orang yang menggunakan nama Syaikh Lemah Abang, disucikan dan dijadikan berhala sesembahan manusia, maka kewajiban kalianlah sebagai pemegang baji untuk menumbangkan dan meratakannya dengan tanah.�

Orang-orang yang berkerumun menyibak seolah memberi jalan untuk Abdul Jalil. Namun, saat Abdul Jalil melangkah, terdengar mereka berceloteh gaduh. Lalu, dengan berdesak-desak mereka berebut kembali mendekati Abdul Jalil. Sambil berteriak-teriak gaduh mereka mendesak-desak, mendorong-dorong, menindih-nindih, menarik-narik tubuh kawannya agar mereka dapat mendekati Abdul Jalil.

Celoteh-celoteh gaduh itu lamat-lamat terdengar berbunyi, �Syaikh Lemah Abang! Syaikh Lemah Abang! Kami memohon limpahan berkahmu! Kami tidak paham fatwamu! Kami tidak mampu menangkap butir-butir mutiara yang berhamburan dari mulutmu!�

Abdul Jalil termangu-mangu memandang orang-orang yang berebut mendekati dirinya. Ia memandang mereka seperti seekor elang memandang kerumunan anak ayam yang menciap-ciap ditinggal induknya. Ingin sekali rasanya ia menyantap anak-anak ayam itu, mengunyah, dan memamahnya sampai lembut lalu mengalir ke dalam darahnya. Ia ingin mengajak anak-anak ayam itu terbang ke angkasa menikmati kebebasan jiwa. Namun, anak-anak ayam itu terlalu lama menjadi anak ayam yang kecil, lembut, tak berdaya, dan butuh perlindungan. Mereka tidak mampu menangkap makna di balik suara jeritan elang, kecuali mendengarnya dengan rasa takut berlebih. Mereka hanya bisa menangkap makna suara ayam. Di tengah kerumunan anak-anak ayam itu, Abdul Jalil bersikukuh meyakinkan diri bahwa ia adalah elang perkasa yang sekali-kali tidak akan menjadi induk ayam meski untuk alasan luhur: melindungi anak-anak ayam tak berdaya.

Kedatangan beribu-ribu orang kegubuk Abdul Jalil ternyata tidak cukup meminta berkah keselamatan. Beberapa di antara mereka, yang umumnya datang dari tempat jauh, diam-diam berusaha memanfaatkan keadaan dengan menempatkan diri sebagai bujang Abdul Jalil. Tanpa malu sedikit pun mereka mengaku sebagai pembantu dan bahkan murid terkasih Syaikh Lemah Abang. Lalu dengan kesempitan wawasan yang menyedihkan, mereka menirukan semua kata, wejangan, dan fatwa Syaikh Lemah Abang. Untuk meyakinkan orang, dengan bekal pikiran picik dan diliputi khayalan-khayalan naif, mereka mengarang-ngarang cerita berlebihan tentang kekeramatan Syaikh Lemah Abang.

Sadar sesuatu sedang terjadi pada dirinya, sepekan setelah kediamannya yang terletak di samping masjid Lemah Abang itu diserbu ribuan orang yang meminta berkah keselamatan, Abdul Jalil diam-diam mengajak istri dan anaknya pergi ke kuta Caruban untuk menghadap Sri Mangana dan Nyi Indang Geulis di Pekalifahan. Di hadapan ayahanda dan ibunda asuh yang sangat dihormati dan dimuliakannya itu, ia menyembah dan berpamitan akan pergi meninggalkan Caruban dalam waktu yang tak terbatas. Sri Mangana dan permaisuri terkejut mendengar permintaan pamit Abdul Jalil yang tak terduga-duga itu.

Nyi Indang Geulis termangu-mangu dengan dada turun naik seperti menahan sesuatu yang berat. Sri Mangana, yang masih terlihat lelah setelah perjalanan kembali dari Galuh Pakuwan, dengan suara tersekat di leher bertanya lirih, �Kenapa engkau begitu terburu-buru meninggalkan negerimu, o Puteraku? Kenapa engkau tiba-tiba meninggalkan bangunan masyarakat yang sudah tegak dengan megah di negerimu ini? Kenapa engkau meninggalkan apa yang telah engkau rintis dengan susah payah, o Puteraku?�

�Mohon ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,� Abdul Jalil menyembah. �Sesungguhnya, ananda merasa berat hati meninggalkan Caruban, tanah tumpah darah ananda. Ananda merasa sedih harus berpisah dengan orang-orang yang ananda cintai. Ananda merasa berduka karena meninggalkan tatanan masyarakat ummah yang sudah terbentuk dengan baik ini. Tetapi, demi menghindari kesesatan umat akibat munculnya berhala baru, ananda dengan perasaan berat terpaksa harus meninggalkan Caruban. Sungguh, semua ini ananda lakukan semata-mata demi tetap terpeliharanya kemurnian ajaran Tauhid yang telah tumbuh subur di negeri ini.�

�Apakah yang engkau maksud dengan berhala baru itu, o Puteraku?� Sri Mangana heran, �Dan kenapa engkau malah menghindar darinya?�

�Sesungguhnya, yang ananda maksud berhala baru itu tidak lain dan tidak bukan adalah ananda sendiri. Lantaran itu, tidak ada pilihan lain bagi ananda untuk menghancurkan berhala itu kecuali pergi meninggalkan tanah kelahiran ananda. Ananda akan pergi karena orang-orang berdatangan ke kediaman ananda dengan tujuan utama menjadikan ananda berhala sesembahan,� kata Abdul Jalil tegas.

�Kenapa engkau merasa dirimu diberhalakan?� tanya Sri Mangana ingin penjelasan.

�Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu. Telah hampir sepekan ini kediaman ananda di Lemah Abang didatangi beribu-ribu orang dari berbagai tempat yang jauh. Mereka meminta berkah dan keselamatan dari ananda. Mereka menganggap ananda adalah wali Allah yang keramat yang bisa memberikan macam-macam manfaat bagi manusia. Bahkan, sebagian di antara mereka mengaku-aku sebagai murid, bujang, dan pengikut ananda. Mereka kemudian membesar-besarkan cerita bahwa kemenangan Caruban atas Galuh sejatinya disebabkan keramat ananda. Mereka bahkan mengarang-ngarang cerita takhayul murahan tentang kekeramatan ananda. Mereka sejatinya adalah pembohong-pembohong celaka karena telah menebarkan racun kejahilan ke tengah umat manusia.�

�Racun kejahilan yang ditebar oleh para pembohong itu, ternyata begitu dahsyat akibatnya. Seperti kawanan lalat mengerumuni bangkai, beribu-ribu orang berdatangan dan mengerumuni ananda. Seolah-olah ananda ini dewa. Mereka berdesakan mengerumuni ananda. Mereka berlomba mencium tangan, lutut, kaki, dan jubah ananda, seolah-olah pada diri ananda ini terdapat pancaran berkah gaib. Tindakan orang-orang itu sungguh berlebihan. Mereka sudah memberhalakan makhluk. Ananda telah berusaha mengusir mereka baik dengan cara halus maupun kasar, tetapi mereka terus berkerumun mengitari ananda seolah-olah ananda ini benar-benar bangkai busuk yang pantas dikerumuni lalat. Sungguh, Ramanda Ratu, paduka telah memahami bagaimana isi kepala dan isi hati ananda. Perbuatan orang-orang itu sungguh telah melukai jiwa ananda.�

Sri Mangana menarik napas berat dan menunduk. Setelah itu, dengan suara berat ia berkata, �Aku memang sudah mendengar kabar tentang kedatangan orang-orang dari penjuru negeri ke kediamanmu di Lemah Abang. Aku berpikir bahwa apa yang engkau alami itu adalah kehendak Allah semata. Aku tidak berprasangka lain kecuali menganggap bahwa semua itu adalah anugerah dari Allah.�

�Ananda justru merasa berkewajiban untuk secepatnya mengambil langkah tegas. Sebab, terlambat sedikit saja ananda bertindak tentu akan terjadi kekisruhan yang bakal merusak tatanan masyarakat ummah yang sudah terbangun dengan baik selama ini.�

�Bagaimana engkau bisa berpikir bahwa hal itu bisa menimbulkan masalah seserius itu?�

�Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,� kata Abdul Jalil dengan suara lain, �Jika ananda membiarkan orang-orang dari berbagai penjuru negeri berdatangan mengeramatkan ananda, bukan saja hal itu akan melahirkan berhala baru yang disebut Syaikh Lemah Abang. Sebaliknya, yang tak kalah membahayakan, hal itu bakal menjadi penyebab lahirnya matahari kembar di atas langit Caruban. Matahari yang satu memancar di Lemah Abang. Matahari yang lain memancar di Pekalifahan Caruban. Dan, kalau sudah seperti itu maka rusak binasalah tatanan masyarakat ummat yang dengan susah payah sudah ananda tegakkan, warga masyarakat yang sudah menerima ajaran Sasyahidan pun pada gilirannya akan ikut terpengaruh memberhalakan ananda sehingga Tauhid mereka yang sudah bersih itu akan rusak kembali.�

Sri Mangana diam. Ia memejamkan mata dan menarik napas berat berulang-ulang. Nyi Indang Geulis yang sejak tadi diam, dengan mata berkaca-kaca bertanya, �Akan pergi ke manakah engkau, o Puteraku?�

�Ampun seribu ampun, Ibunda Ratu,� Abdul Jalil menyembah dan berkata, �Ananda akan pergi ke mana pun aliran sungai nasib membawa ananda. Ananda hanya memohon doa dan restu Ibunda Ratu.�

�Doaku selalu menyertai ke mana pun engkau pergi, o Puteraku. Tetapi, apakah istri dan puteramu akan engkau bawa serta?�

�Ananda hanya pergi didampingi istri, Ibunda Ratu. Putera ananda, Bardud, akan ananda serahkan pengasuhan dan pengajarannya kepada menantu paduka, Syarif Hidayatullah.�

�Bagaimana dengan Zainab, puterimu?�

�Ananda telah menyerahkan semua urusan tentang dia kepada menantu paduka, Syarif Hidayatullah. Perlu ananda beri tahukan kepada Ibunda Ratu bahwa Zainab akan ananda nikahkan dengan Raden Sahid putera adipati Tuban. Soal pernikahannya, telah ananda serahkan sepenuhnya kepada menantu paduka pula,� kata Abdul Jalil.

�Sampai kapankah engkau meninggalkan Caruban, o Puteraku?�

�Ananda tidak tahu pasti, Ibunda Ratu. Ananda sudah bertekad tidak akan kembali ke Caruban jika citra ananda sebagai berhala belum pudar. Bahkan andaikata ananda kembali pun, ananda tidak akan lagi disebut orang dengan nama Syaikh Lemah Abang. Nama itu bagi ananda sudah mati dan harus dikubur dalam-dalam di dasar bumi.�

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers