Senin, 27 Maret 2017

BUAH DALIMA DAN MAKNA

Buah Dalima dan Makna-Makna


       Sesungguhnya, Abdul Jalil ingin menyampaikan wejangan lebih banyak kepada pengikut-pengikutnya. Namun sebelum keinginannya tercapai, di tengah ketakziman para pengikutnya mendengar wejangannya, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di kejauhan seperti sorak-sorai sambung-menyambung. Abdul Jalil mengarahkan pandangan ke pintu dan melihat beberapa orang pengikutnya berjalan cepat ke arahnya. Setelah dekat, pengikut itu menyampaikan kepadanya bahwa seorang alim dari Demak bernama Syaikh Maulana Maghribi dengan tiga ratus orang pasukan bersenjata tombak saat itu berada di luar dukuh Lemah Abang. �Mereka ingin bertemu dengan kepala dukuh Lemah Abang, Kangjeng Syaikh,� kata mereka gelisah.

Abdul Jalil terdiam sejenak dan kemudian angkat tangan kanan ke atas memberi isyarat agar semua diam. Setelah menarik napas dua tiga kali, ia melangkah ke luar diikuti pengikut-pengikutnya. Sepanjang perjalanan, ia menggumamkan nama Syaikh Maulana Maghribi berulang-ulang di tengah ucapan menyebut Asma Allah. Saat berada di ujung dukuh, ia melihat seorang lelaki tinggi jangkung berkulit gelap dengan hidung sebengkok paruh burung elang berdiri tegak sambil menggenggam pedang. Di kanan kirinya terlihat beberapa orang pengawal membawa tombak memperlihatkan wajah garang. Sementara beratus orang di belakangnya berkerumun dengan hutan tombak sambil sesekali meneriakkan takbir dan caci maki:

�BUNUH! HANCURKAN! BAKAR! ALLAHU AKBAR! BUNUH KAUM MURTAD!�

Teriakan sambung-menyambung laksana gelombang laut itu tidak sedikit pun menggoyahkan Abdul Jalil. Dengan langkah lebar dan tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut, ia bergegas mendekati Syaikh Maulana Maghribi. Setelah menyampaikan salam dan berhadapan muka dengan muka dalam jarak sekitar dua depa, ia seketika menghamburkan kata-kata dalam bahasa Arab secara bertubi-tubi seolah tidak memberi kesempatan kepada Syaikh Maulana Maghribi untuk menangkis.

�Aku sungguh merasa heran melihat alim, citra al-�Alim di muka bumi, ke mana-mana membawa pedang dan membunuhi manusia yang dianggapnya sesat dan murtad. Sungguh aku merasa heran melihat seorang mursyid, citra ar-Rasyid di muka bumi, berkeliaran ke mana-mana menebarkan Kematian dan kebinasaan. Aku sungguh merasa heran sebab, seingatku, Rasulullah Saw. hanya berwasiat: �Sampaikan apa yang dari aku meski hanya satu ayat (balighu �ani walau ayat).�

�Bagaimana Tuan, al-�alim billah, bisa menafsirkan sabda Rasulullah Saw. itu menjadi amanat pembunuhan? Bagaimana Tuan, al-�arif billah, yang menduduki derajat paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya (QS. Al-Fathir: 28) justru takut kepada sultan? Bagaimana Tuan yang kedudukannya ditinggikan beberapa derajat di antara manusia (QS. Al-Mujadalah: 11) justru merendahkan diri dengan bersujud menyembah sultan? Bagaimana Tuan yang termasuk golongan alim yang tegak di atas keadilan Mengesakan Allah (QS. Ali Imran: 18) justru merajakan manusia? Sementara, Tuan tahu bahwa Dia adalah raja manusia (QS. An-Nas: 2). Rupanya, Tauhid Mulukiyyah sudah runtuh dari iman Tuan. Bagaimana Tuan selaku alim tidak menghiasi citra Tuan dengan qalam, tetapi dengan pedang? Bagaimana Tuan yang seharusnya menumpahkan tinta di atas kertas justru menumpahkan darah di atas bumi? Apakah Tuan ini seorang alim ataukah tukang jagal? Apakah Tuan ini seorang alim wakil al-�Alim yang bertugas utama menyampaikan pengetahuan ataukah seorang pencabut nyawa yang menggantikan tugas Izrail?�

�Aku tahu bahwa tugas yang diberikan sultan kepada Tuan dan kawan-kawan Tuan adalah menjadikan manusia di Nusa Jawa tunduk dan setia hanya kepadanya. Mereka yang mengingkari kekuasaan sultan harus dibinasakan. Tetapi, Tuan telah bertindak berlebihan dan melampaui batas. Tuan telah memerintahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang Tuan anggap pengikut Syi�ah. Tuan telah memerintahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang menurut Tuan berbeda akidah. Tidakkah Tuan tahu bahwa Kebenaran di dalam Islam adalah pribadi sifatnya? Tidakkah Tuan tahu bahwa ketakwaan orang seorang tidak bisa diukur dengan paham, firqah, madzhab, jama�ah? Tidakkah Tuan tahu bahwa pertanggung jawaban manusia di hadapan Allah adalah bersifat pribadi dan bukan jama�ah? Apakah Tuan dapat menunjukkan dalil-dalil kepada aku bahwa seluruh pengikut Syi�ah akan masuk neraka dan Tuan beserta pengikut Tuan yang membunuhi penganut Syi�ah itu akan masuk surga? Apakah Tuan punya dalil bahwa Allah mencipta surga semata-mata diperuntukkan bagi Tuan dan pengikut Tuan?�

�Apa yang Tuan lakukan dengan pembunuhan-pembunuhan tanpa hak itu, menurutku, sudah sangat melampaui batas kewajaran. Tuan yang dangkal pengetahuan tentang kehidupan di Nusa Jawa telah beranggapan bahwa siapa saja di antara manusia yang menyembah Tuhan dengan menjalankan sembahyang tiga waktu adalah pengikut Syi�ah, dan lantaran itu, Tuan memerintahkan pengikut Tuan untuk membunuh mereka. Sungguh sebuah kebodohan yang tidak terampunkan. Sebab, para wiku beragama Hindu-Budha pun jika bersembahyang menyembah Tuhan mereka lakukan tiga kali sehari (tri-sandya). Kenapa mereka yang bukan muslim tanpa alasan yang jelas Tuan bunuh? Apakah Tuan bisa menunjukkan dalil bahwa Muhammad Saw. pernah memerintahkan umat Islam untuk membunuh umat beragama lain tanpa alasan yang jelas? Asal Tuan tahu, akibat kecerobohan dan kebodohan Tuan, sekarang ini agama Islam yang Tuan anut telah dijadikan ejekan dan olok-olok penduduk. Islam dianggap sebagai agama haus darah yang sama menjijikkannya dengan agama Bhairawa-Tantra. Islam yang damai dan pembawa keselamatan telah dihina penduduk sebagai agama pembawa ketidakselamatan dan kematian. Semua itu gara-gara tindakan Tuan.�

Syaikh Maulana Maghribi yang merasa terpojok tampak memerah wajahnya dan matanya berkilat-kilat. Ingin rasanya ia memakan dan mengunyah-kunyah Abdul Jalil dan kemudian menelannya bulat-bulat. Namun, baru saja dia akan membuka mulut, tiba-tiba Abdul Jalil sudah bergerak mendekatinya. Kemudian dengan memegang kedua bahunya, Abdul Jalil berbisik lirih, �Aku tahu, Tuan tidak pantas melakukan tindakan memalukan ini apalagi dengan mengatasnamakan demi kesucian Islam. Sebab, Tuan sendiri sesungguhnya telah melakukan tindakan yang lebih keji dan lebih memalukan: menghamili seorang gadis tanpa hak dan meninggalkannya begitu saja tanpa tanggung jawab. Aku tahu, Tuan telah menghamili gadis bernama Nyi Mas Rasa Wulan dan membuatnya sangat menderita. Dan asal Tuan tahu, kakak kandung gadis malang itu, seorang laki-laki gagah bernama Raden Sahid, adalah menantuku. Mereka berdua adalah putera-puteri Adipati Tuban. Jika menantuku itu sampai tahu perbuatan terkutuk Tuan, aku kira dia akan memburu Tuan sampai ke ujung dunia. Dia akan membawa pasukan dari Tuban. Dia akan mengejar Tuan sambil menyebarkan aib Tuan itu ke segenap penjuru dunia.�

Wajah Syaikh Maulana Maghribi yang semula merah padam tiba-tiba menjadi pucat pasi. Matanya yang semula berkilat-kilat dikobari nyala api amarah tiba-tiba redup. Dia bungkam tidak bisa berbicara. Keringat dingin sebutiran kacang mendadak bercucuran dari keningnya. Abdul Jalil yang melihat perubahan itu buru-buru tegak kembali dan berkata dengan suara lantang, kali ini dalam bahasa Jawa, �Aku tahu bahwa orang-orang seperti Tuan selalu merasa diri sebagai pusat kebenaran. Batin Tuan selalu berkata: aku yang paling benar. Aku yang paling mulia. Aku yang paling baik. Yang lain sesat, keliru, rendah, jahat. Padahal, sebagai alim wakil al-�Alim, Tuan seharusnya tahu bahwa makhluk Tuhan yang pertama mengaku-aku paling baik adalah Iblis (QS. Shad: 76). Aku tidak peduli apakah Tuan itu manusia yang benar-benar paling baik ataukah Tuan sebenarnya pengejawantahan dari dia yang dikutuk karena pengakuan sepihaknya. Aku tidak peduli itu. Tetapi, jika Tuan memang merasa benar dan surga itu hak Tuan, maka aku ingin bukti dengan meminta kematian Tuan sebagaimana disyaratkan Allah (QS. al-Baqarah: 94). Maksudku, bagaimana kalau aku dan Tuan mati bersama sekarang juga? Siapkah Tuan bersama aku mati sekarang juga untuk membuktikan kebenaran anggapan Tuan?�

Syaikh Maulana Maghribi yang sudah runtuh keyakinan dirinya akibat duiungkap aibnya tidak berkata sesuatu untuk membela diri. Dia malah memandang Abdul Jalil dengan mata sayu seolah minta dikasihani. Abdul Jalil yang sudah merasa di atas angin menyapukan pandang ke arah para pengikut Syaikh Maulana Maghribi. Kemudia, dengan suara ditekan tinggi ia berteriak menantang, �Adakah di antara kalian yang bersedia mati bersama aku sekarang ini untuk membuktikan apakah kalian masuk surga atau neraka? Ayo siapa yang berani mati sekarang?�

Semua diam. Semua menunduk. Ternyata, tidak ada satu pun di antara orang-orang yang suka membunuh itu siap mati saat itu. Syaikh Maulana Maghribi sendiri hanya menunduk seperti pesakitan. Abdul Jalil yang tidak sampai hati mempermalukan lebih jauh manusia yang sudah tidak berdaya itu akhirnya mengakhiri keadaan yang menegangkan itu. Setelah menarik napas berat beberapa kali, dengan suara agak ditekan ia berkata, �Aku kira, kita tidak perlu lagi memperdebatkan tentang masalah agama. Kita akhiri perbedaan pandangan kita sampai di sini. Hanya satu yang perlu Tuan ketahui bahwa penghuni dukuh Lemah Abang bukanlah pengikut Syi�ah. Mereka adalah para pengamal tarekat yang dibangsakan kepada hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Meski demikian, mereka semua tidak pernah memusuhi manusia dari agama apa pun, apalagi terhadap saudara-saudara seagama yang berkitab suci satu, berkiblat satu, dan bernabi satu.�

Syaikh Maulana Maghribi merasa lega. Dia menjabat tangan Abdul Jalil. Kemudian, dengan erat dia mendekap tubuh Abdul Jalil sambil berbisik lirih, �Bagaimana Tuan bisa tahu masalah saya dengan Nyi Mas Rasa Wulan?�

�Aku tidak bisa menjelaskan kepada Tuan. Tapi, jika di akhirat nanti Tuan dihisab pada bagian itu maka Tuan hendaknya ingat bahwa Allah Mahatahu. Maha Menghisab.�

�Apakah Nyi Mas Rasa Wulan memberitahu Tuan Syaikh?�

Abdul Jalil menggeleng. Kemudian dengan berbisik ia berkata, �Aku telah dikaruniai Allah sedikit pengetahuan untuk membaca kitab rahasia di dalam diri Tuan,� kata Abdul Jalil.

Tuan bisa membaca catatan amaliah saya?�

�Bukan membaca seperti tulisan, tetapi menyaksikan gambaran perbuatan Tuan. Semuanya. Semuanya. Bahkan, saat Tuan mengintip Nyi Mas Rasa Wulan yang sedang mandi pun telah aku saksikan.�

�Jika begitu, Tuan Syaikh adalah salah seorang kekasih-Nya.�

�Itu adalah rahasia-Nya. Tuan jangan menduga-duga.�

�Tuan Syaikh,� kata Syaikh Maulana Maghribi mempererat pelukannya, �Doakan dan berkahilah saya, semoga saya bisa menebus semua kesalahan saya. Saya akan bertobat. Saya akan meninggalkan semua pekerjaan sia-sia ini,� Syaikh Maulana Maghribi membasahi jubah Abdul Jalil dengan air mata. Sesaat setelah itu, dia membalikkan badan dan memberi isyarat kepada para pengikutnya untuk pergi meninggalkan dukuh Lemah Abang. Abdul Jalil memandang para pembunuh itu sambil sesekali menarik napas lega.

Ketika bayangan Syaikh Maulana Maghribi dan pasukannya sudah tidak terlihat, Abdul Jalil dan para pengikutnya kembali ke dukuh. Di jalan yang akan menuju tajug, ia melihat pohon dalima sedang berbuah. Ia memetik sebuah dan memberikannya kepada salah seorang pengikutnya sambil berkata, �Sampaikan dalima ini ke dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Kajenar. Katakan bahwa dalima inilah perlambang keterlepasanku yang terakhir dengan dukuh-dukuh dan pengikut-pengikutku. Mereka yang memperoleh petunjuk Ilahi akan paham dengan perlambang ini. Tetapi, mereka yang bebal dan tidak memperoleh petunjuk Ilahi akan menafsirkan lain sesuai nafsunya.�

Kabar kegagalan Syaikh Maulana Maghribi menyerang dukuh Lemah Abang karena kalah berdebat dengan Syaikh Lemah Abang dalam waktu singkat telah terdengar oleh setiap telinga. Cerita-cerita yang dilebih-lebihkan pun merebak tanpa ada yang tahu siapa yang menambah-nambah bumbunya. Semua mata pun di arahkan ke dukuh-dukuh Lemah Abang seolah menunggu tindakan apa yang akan dilakukan oleh alim ulama Demak setelah salah seorang rekan mereka dikalakan Syaikh Lemah Abang, semua menunggu-nunggu apa yang akan terjadi dengan mereka setelah terjadinya peristiwa yang memalukan alim ulama Demak itu. Namun, di tengah ramainya orang membicarakan hal tersebut dengan kemungkinan-kemungkinannya, penduduk dukuh Lemah Abang justru dikejutkan oleh munculnya buah dalima kiriman guru ruhani mereka. Mereka bertanya-tanya tentang makna apa yang sejatinya terkandung di dalam perlambang buah dalima itu.

Karena Abdul Jalil tidak memberikan pesan apa pun di balik pengiriman buah dalima tersebut, terjadi penafsiran-penafsiran makna yang saling berbeda antar para pemuka dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Kajenar di berbagai kadipaten. Sebagian di antara mereka memaknai buah dalima itu sebagai isyarat peringatan dari sang guru, yang mengandung makna kata da-lima, dina-lima, dali-ma, duma-lima, yang dikaitkan dengan suatu perubahan dalam tatanan kehidupan beragama mereka. Mereka menafsirkan bahwa guru ruhani mereka, Syaikh Lemah Abang, telah menitahkan perubahan dalam tata cara beribadah. Jika semula mereka bersembahyang tiga kali sehari, yaitu Subuh dan Siang dan Malam, sebagaimana dilakukan para pendeta Syiwa-Budha, kini mereka diharuskan mengubah menjadi sembahyang lima waktu (da-lima). Ibadah sembahyang Jum�at (dina-lima) yang semula dilakukan di dukuh Lemah Abang yang diikuti dukuh yang lain dan dianggap sunnah, tiba-tiba diselenggarakan di tiap-tiap dukuh. Karena dianggap sunnah, usai sembahyang Jum�at mereka masih melakukan sembahyang zhuhur. Setelah itu, mereka bersiaga meninggalkan kediamannya untuk membangun dukuh baru ibarat burung dadali (dali-ma) membuat sarang baru karena sarang lamanya dirampas tangan kejahatan. Mereka membagi diri dalam lima kelompok warga yang saling berhubungan. Kepada semua penghuni dukuh diberi suatu peringatan bahwa mereka harus ikhlas menerima nasib untuk hijrah karena dukuh yang mereka cintai itu bakal binasa diselimuti asap (duma-lima), sehingga mereka harus pergi jauh dari dukuh mereka.

Pemuka dukuh yang lain menafsirkan buah dalima kiriman Abdul Jalil sebagai lambang dari kata da-lima, dama, dama-lima, dana-lima. Mereka menganggap guru mereka menitahkan para penghuni dukuh untuk meninggalkan sembahyang tiga waktu dan selanjutnya menggantinya dengan lima dharma (dharma-lima), yaitu kebajikan (alpadharma), kesalehan (atidharma), kebaikhatian (budidharma), kemurahatian (punyadharma), dan kedermawanan (danadharma). Mereka berpikir: menjalankan lima dharma adalah lebih baik daripada menjalankan sembahyang tiga waktu tapi hidup penuh kejahatan. Dengan menjalankan lima dharma, mereka merasa lebih bermanfaat bagi keselamatan dan keselarasan kehidupan di alam semesta (memayu hayuning bhawana). Bagi mereka, ikatan kasih sayang (dama) adalah perbuatan termulia yang harus dilakukan manusia yang ingin membebaskan diri dari anasir-anasir nafsu keduniawian.

Pemuka dukuh yang lain lagi memaknai buah dalima kiriman guru ruhaninya sebagai perlambang permata mirah dalima yang disatukan di dalam wadah laksana biji-biji dalima di dalam kulit buah. Mereka berusaha mendapatkan permata mirah dalima sebagai tanda pengikut Syaikh Siti Jenar. Mereka akan menolak siapa pun di antara manusia yang mengaku pengikut Syaik Siti Jenar jika tidak bisa menunjukkan permata mirah dalima sebagai tanda kemuridan mereka. Sementara pemuka dukuh yang lain menafsirkan buah dalima sebagai perlambang bahwa mereka harus berperilaku seperti buah dalima; kesat dan padat kulit luarnya tetapi jernih laksana biji permata di dalamnya.

Sekalipun para pemuka dukuh memiliki penafsiran berbeda dalam memaknai buah dalima yang dikirim Abdul Jalil, mereka memiliki arah yang sama dalam bersikap: berjalan di atas garis Tauhid dan akhlak serta rela berkorban demi keselamatan sesama. Mereka memandang tindak kekerasan dalam menentukan Kebenaran adalah sebuah kejahatan yang harus dijauhi. Mereka menilai pembunuhan dengan atas nama agama adalah sama seperti penyembelihan korban di atas mezbah persembahan; sebuah upacara yang jelas-jelas bertentangan dengan jiwa Islam. Sehingga, mereka sepakat untuk mengorbankan jiwa dan raga mereka demi keselamatan sesama dari tindak kekerasan yang dilakukan alim ulama Demak.

Salah seorang di antara pengikut Abdul Jalil yang merelakan nyawanya untuk keselamatan orang lain itu adalah Ki Wanabaya, seorang sesepuh marga Bajul, kepala dukuh Lemah Abang di Pajang. Dengan suka rela dia mengorbankan jiwanya untuk menghentikan tindak kekerasan para alim Demak. Saat para pemuka agama di desa-desa sekitar dukuh Lemah Abang lari ketakutan dikejar-kejar pasukan tombak asal Demak, Ki Wanabaya dengan gagah berani mendatangi Kiai Ageng Kalipitu yang memimpin satuan bersenjata itu. Tanpa basa-basi dengan meniru tindakan gurunya yang menantang mengajak mati Syaikh Maulana Maghribi, dia menantang Kiai Ageng Kalipitu untuk mati bersama guna membuktikan Kebenaran yang dijadikan alasan membunuh orang-orang tak bersalah. Saat Kiai Ageng Kalipitu tidak menanggapi tantangannya, dia meminta agar nyawanya dicabut sebagai ganti pemuka-pemuka agama di desa-desa yang dituduh sesat dan diburu-buru, �Jika nyawaku dapat menghentikan nafsu membunuhmu, bunuhlah aku!� tantang Ki Wanabaya tanpa sedikit pun menunjukkan kegentaran.

Seorang anggota satuan tombak yang tersinggung ulama panutannya dipermalukan, tidak dapat menahan diri. Dengan teriakan keras, ia hujamkan tombak yang digenggamnya ke dada Ki Wanabaya sekuat tenaga. Terdengar suara derak tulang patah ketika mata tombak menembus dada Ki Wanabaya. Lelaki berusia setengah abad itu tersentak ke belakang. Namun, dia tidak tumbang. Dengan memegangi dadanya yang dihiasi batang tombak, dia menatap tajam ke arah Kiai Ageng Kalipitu sambil tersenyum. Setelah itu dengan napas tersengal-sengal dia berkata, �Lihatlah Tuan, apa yang aku alami ini. Sang Maut datang menjemputku dengan senyum kegembiraan. Dia tersenyum gembira. Ya tersenyum gembira. Sebab, Dia tidak aku sambut dengan ketakutan dan kegentaran, melainkan dengan cinta dan kerinduan. Kehadiran Sang Maut adalah pertanda cinta.� Lalu, dengan teriakan keras dia berseru, �Aku pasrahkan hidupku kepada Engkau, o Penguasa Yang Mahahidup,� dan tubuhnya tumbang ke atas tanah tanpa nyawa.

Kiai Ageng Kalipitu terkesima menyaksikan peristiwa tak terduga-duga yang begitu cepat kejadiannya. Ia merasa seolah-olah sedang bermimpi. Setelah termangu beberapa jenak, ia benar-benar terkesan dengan keberanian Ki Wanabaya menyongsong kematian. Hanya mereka yang sudah mengenal Kematian dengan akrab yang begitu mesra menyambut-Nya, gumamnya dalam hati. Sebagai bukti tanda hormatnya kepada laki-laki pemberani dan tabah itu, ia memutuskan untuk memenuhi permintaannya. Hari itu juga, usai memakamkan Ki Wanabaya, ia memerintahkan para pengikutnya untuk kembali ke Demak. Ia tidak pernah lagi memerintahkan pengejaran kepada pemuka-pemuka agama yang dituduh sesat dan murtad.

Hampir bersamaan waktu dengan terbunuhnya Ki Wanabaya, Kyayi Tapak Menjangan, kepala dukuh Lemag Abang di Kadipaten Kendal, melakukan hal yang sama tetapi dengan cara Kematian berbeda. Ketika pasukan alim ulama Demak yang dipimpin Syaikh Abdullah Sambar Khan mengobrak-abrik desa sekitar dukuh Lemah Abang untuk memburu pemuka-pemuka agama yang dituduh sesat dan murtad, Kyayi Tapak Menjangan yang berusia hampir lima puluh tahun, seorang diri maju menantang Syaikh Abdullah Sambar Khan untuk mati bersama guna membuktikan Kebenaran yang diakui sepihak oleh alim asal Kerala itu. Namun, berbeda dengan kematian Ki Wanabaya yang sangat singkat, Kyayi Tapak Menjangan sempat terlibat perdebatan dengan Syaikh Abdullah Sambar Khan dalam masalah Kebenaran menurut sudut pandang Islam. Dalam perdebatan itu, berkali-kali Kyayi Tapak Menjangan menertawakan Syaikh Abdullah Sambar Khan sebagai penganut tarekat Quburiyyah wa Sulthaniyyah, yaitu tarekat pemuja kuburan dan penyembah sultan.

Syaikh Abdullah Sambar Khan yang terpojok sedianya akan memerintahkan pengikutnya untuk membunuh Kyayi Tapak Menjangan. Namun, kepala dukuh Lemah Abang itu menyatakan bahwa dia akan mati menurut kehendaknya sendiri. �Tuan tidak perlu mengotori tangan Tuan dengan darahku. Akan aku tunjukkan kepada Tuan bahwa manusia yang sudah mengenal jalan Kebenaran dan telah menemukan Kebenaran Sejati akan dikaruniai kehendak untuk mati. Sebab, mereka yang sudah menyatu dengan Kebenaran pada hakekatnya menyatu pula dengan Maut dan Hidup beserta kudrat dan iradat-Nya,� kata Kyayi Tapak Menjangan tegar.

�Dengan cara bagaimana Tuan akan mati?� tanya Syaikh Abdullah Sambar Khan sinis, �Dengan alat bantu apa Tuan akan mati? Apakah itu tidak termasuk bunuh diri?�

�Aku mati dengan kehendakku sendiri tanpa alat bantu apa pun. Bagi mereka yang terhijab, menghendaki Kematian diri sendiri adalah bunuh diri. Sedang bagi yang sudah tercelikkan mata batinnya, menghendaki Kematian adalah bagian dari kehendak-Nya. Sebab, di saat �aku� sudah tenggelam ke dalam �Aku� maka �kehendakku� tenggelam ke dalam �kehendak-Ku�. Kehidupan �aku� akan kembali kepada �Aku� Yang Mahahidup, melalui pintu yang disebut Kematian yakni citra bayangan Sang Maut (al-Mumit). Siapa yang menganggap Yang Mahahidup (al-Hayy) dan yang Maha Membinasakan (al-Mumit) adalah dua zat yang berbeda, mereka adalah musyrik.�

�Tunjukkan kepadaku kehebatan Tuan yang bisa menentukan waktu Kematian diri sendiri tanpa alat bantu apa pun. Tunjukkan Kebenaran ucapan Tuan itu kepadaku,� kata Syaikh Abdullah Sambar Khan penasaran.

Kyayi Tapak Menjangan melakukan sembahyang dua rakaat. Setelah itu, dia duduk bersila mengatur pernapasan dengan mata terpejam. Syaikh Abdullah Sambar Khan dan pengikut-pengikutnya mendekat dan mengamati apa yang dilakukan kepala dukuh Lemah Abang itu. Mereka tidak melihat keajaiban apa pun kecuali sosok seorang laki-laki yang duduk bersila mengatur napas. Mereka terus mengamati naik dan turunnya dada Kyayi Tapak Menjangan. Mereka seolah ingin menyaksikan bagaimana nyawa Kyayi Tapak Menjangan lepas dari raganya. Namun, semua harapan mereka tidak kesampaian. Mereka tidak menyaksikan keajaiban apa-apa. Mereka hanya mendapati tubuh Kyayi Tapak Menjangan sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan duduk bersila.

Syaikh Abdullah Sambar Khan terkejut menyaksikan kenyataan yang tak pernah dibayangkannya itu. Ia sangat menyesali kematian Kyayi Tapak Menjangan. Ia yang sejak kecil akrab dengan kisah-kisah absurd tentang wali-wali Allah, tidak syak lagi menganggap Kyayi Tapak Menjangan sebagai salah seorang di antara kekasih-kekasih Allah. Ia semakin yakin bahwa lelaki yang mati dengan kehendaknya sendiri itu adalah kekasih Allah manakala ia menyadari betapa Kematian tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan demi menyelamatkan orang lain. Saat itulah ia ingin menguburkan jenasah Kyayi Tapak Menjangan dengan cara yang baik sebagaimana lazimnya orang-orang Kerala menguburkan alim ulama mereka. Namun, keinginannya itu tidak kesampaian karena warga dukuh Lemah Abang dan keluarga Kyayi Tapak Menjangan menyatakan akan menguburkan sendiri di tempat yang tidak diketahui orang. �Guru kami, Kyayi Tapak Menjangan, telah berwasiat: jika mati ia tidak ingin kuburnya diberi tanda. Ia tidak ingin diziarahi dan dijadikan sesembahan manusia,� ujar seorang warga, seolah menyindir Syaikh Abdullah Sambar Khan yang suka bermujahadah di kuburan-kuburan keramat.

Selain Ki Wanabaya dan Kyayi Tapak Menjangan, pengikut-pengikut Syaikh Lemah Abang yang terbunuh dalam peristiwa kekerasan yang dilakukan alim ulama Demak adalah Ki Bhisana, Ki Canthuka, Ki Pringgabhaya, Ki Ageng Panawangan, Kyayi Ageng Brati Lemah Putih. Kematian mereka tidak saja telah menyelamatkan dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Putih, Lemah Ireng, dan Kajenar karena mereka semua mencegat alim ulama Demak dan pasukannya di luar dukuh, melainkan juga telah membuat berhenti kaki tangan Tranggana itu dalam menebar Kematian.

Tanpa ada yang menduga, ternyata Kematian sejumlah kepala dukuh Lemah Abang itu mengundang simpati luas di kalangan penduduk Nusa Jawa. Bibit-bibit kebencian terhadap alim ulama asing yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk tumbuh semakin subur dan tak jelas menjalarnya. Jika pada awalnya kebencian itu hanya diarahan kepada para alim beserta pengikut bersenjatanya, belakangan kecaman, caci maki, umpatan, ejekan, dan olok-olok diarahkan kepada agama mereka. Di tengah hiruk kebencian penduduk itu terjadi sesuatu yang tak terduga-duga: para mualaf yang belum memahami secara baik ajaran Islam tiba-tiba banyak yang menyatakan tidak mau lagi mengikuti agama yang dianggapnya mengajarkan kejahatan kepada manusia itu. Mereka menyatakan kembali ke agama semula.

Di kuta Juwana, sejumlah pemuka masyarakat Cina muslim menyatakan kembali ke agama leluhur karena mereka tidak mau menodai tangan mereka dengan darah orang-orang tak bersalah. Tindakan itu diikuti sejumlah besar muslim pribumi yang juga menyatakan kembali ke agama leluhur. Tindakan penduduk Juwana itu mengundang kemarahan alim ulama Demak. Mereka menganggap tindakan itu sebagai kemurtadan yang harus diganjar dengan Kematian. Lalu, terjadilah pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan terhadap penduduk Juwana yang dianggap telah murtad dari Islam. Tidak pedulu Cina tidak peduli penduduk asli, siapa di antara penduduk Juwana yang diketahui murtad digeret ke alun-alun untuk dijadikan tontonan dan kemudian dijagal beramai-ramai. Beberapa tajug yang diubah menjadi kelenteng dibakar. Pura-pura dan asrama-asrama pun dibakar. Semua yang dianggap terkait kemurtadan dibakar dan diratakan dengan tanah.

Penduduk yang ketakutan berbondong-bondong menyelamatkan diri ke hutan-hutan di pedalaman. Sebagian meminta perlindungan ke Wirasari dan Pengging, sebagian lagi kepada Yang Dipertuan Majapahit di Daha. Patih Mahodara yang marah mendapat laporan tentang pembantaian penduduk beragama Syiwa-Budha serta penghancuran sejumlah pura dan asrama di Juwana, segera mengirim satu detasemen pasukan. Dengan gerakan sangat cepat, pasukan asal Daha itu menyerang kuta Juwana. Alim ulama Demak dan pasukannya yang tak menduga bakal diserang mendadak, kelabakan dan berusaha menahan serangan tentara kafir Daha itu dengan segenap daya dan kuasa mereka. Namun, apalah arti perlawanan para petani, perajin, tukang, nelayan, penyadap enau, dan pedagang kecil yang dipersenjatai tombak dalam melawan prajurit-prajurit Daha yang terlatih. Dalam waktu tidak lama, kuta Juwana telah penuh mayat. Darah menggenang di mana-mana. Bahkan, seperti tidak puas membunuh alim ulama dan pengikut bersenjatanya, pasukan Daha yang dikirim Patih Mahodara membakar seluruh bangunan yang tegak di kuta Juwana sehingga seluruh kuta nyaris rata dengan tanah.

Seiring menyebarnya kabar serbuan pasukan Daha ke Juwana, di tlatah Pasir terjadi pergolakan. Pangeran Mangkubhumi, putera mahkota Prabu Banyak Belanak Yang Dipertuan Pasir, tiba-tiba mengangkat senjata bersama pengikutnya dengan didukung pendeta-pendeta Syiwa-Buda, seperti Ajar Carang Andul, Wiku Ragadana, Ajar Pohkombang, dan Binatang Karya. Perlawanan putera mahkota Pasir itu sendiri semula tidak diketahui karena serangan-serangan yang dilakukan alim ulama Demak dan pasukannya itu berlangsung di wilayah yang sangat luar dari Wirasabha, Manoreh, sampai Bocor. Namun, saat diketahui bahwa di balik penyerangan-penyerangan itu terdapat perintah Pangeran Mangkubhumi, tuduhan murtad pun buru-buru dialamatkan kepadanya. Namun, pangeran yang sudah muak dengan kekejaman yang dipamerkan-pamerkan alim ulama itu tidak peduli. Ia terus melakukan perlawanan bersenjata, meski harus menghadapi risiko kehilangan takhta yang diwariskan ayahandanya.

Sementara di Samarang, di tengah hiruk kembalinya para mualaf Cina ke agama leluhur, Raden Kaji Adipati Samarang yang sangat terpukul dengan kekalahan armada Japara di Malaka, atas saran guru ruhaninya, Syaikh Malaya, mengundurkan diri dari jabatan adipati Samarang. Ia digantikan oleh adiknya, Raden Ketib. Ia sadar dan paham pada nasihat guru ruhaninya bahwa cepat atau lambat, Tranggana akan semakin kuat dan dipastikan akan menggilas semua kekuatan yang mendukung Adipati Hunus. Itu sebabnya, demi menyelamatkan kadipaten yang dipimpinnya, ia mundur untuk digantikan adiknya. Lalu, putera Raden Sahun itu, cucu Ario Damar Palembang, diam-diam pergi meninggalkan Samarang dan tinggal di pedalaman, di perbatasan Pajang dan Mataram, yaitu di tempat yang disebut Tembayat. Ia menjadi guru suci di situ dan karena itu ia disebut orang sebagai Susuhunan Tembayat.

Hampir bersamaan dengan mundurnya Raden Kaji sebagai Adipati Samarang, di Pengging terjadi pengungsian besar-besaran warga muslim mualaf dari kalangan Sasak, Domba, Kewel, dan Dapur ke Blambangan dan Bali. Penduduk kalangan bawah itu rupanya sangat ketakutan karena tersebar kabar burung yang menyatakan bahwa siapa saja di antara penduduk yang menjalankan sembahyang tiga waktu akan dituduh pengikut Syi�ah dan akan disembelih oleh alim ulama Demak. Meski tidak paham apa yang dimaksud Syi�ah dan apa yang bukan Syi�ah, kisah menyangkut pembantaian pengikut Syi�ah beberapa tahun silam telah membuat mereka ketakutan. Mereka beramai-ramai menyelamatkan diri meninggalkan kediamannya. Mereka dipimpin oleh tiga bersaudara pemuka-pemuka keluarga Bajul, yang menjadi pasukan perairan (angreyok) Pengging, yaitu KiReyok Bhaya, Ki Kawuk Bhaya, dan Ki Lendang Bhaya. Melalui jaringan keluarga Bajul yang menguasai sungai dan pantai, para pengungsi berhasil mencapai tanah Blambangan dan sebagian lagi melanjutkan perjalanan ke Bali. Di Blambangan mereka dilindungi oleh Ki Juru, kakek Prabu Andayaningrat yang menjadi pertapa di gunung Argapura. Sedang di Bali mereka meminta perlindungan kepada Danghyang Nirartha, murid Syaikh Siti Jenar yang menjadi guru suci di Bali.

Sementara, mengetahui reaksi kebencian penduduk terhadap alim ulama Demak dan pasukan bertombaknya, Tranggana buru-buru memerintahkan mereka untuk kembali ke Demak. Kebijakannya menarik alim ulamanya ke Demak tampaknya terkait dengan laporan-laporan yang menyatakan sejak tersebarnya kabar keberanian pemuka-pemuka dukuh Lemah Abang menghadapi kematian, penduduk dari berbagai tempat selalu terlihat datang berduyun-duyun ketika mendengar kabar akan adanya perdebatan antara pemuka Lemah Abang dan alim ulama Demak. Bahkan yang berkembang kemudian terdapat laporan yang mengatakan bahwa prajurit-prajurit dari Kadipaten Samarang, Tetegal, Rembang, Tedunan, Pati, Kendal, dan Siddhayu diam-diam menyelundup ke desa-desa di sekitar dukuh Lemah Abang dengan menyamar sebagai penduduk. Mereka mengawasi semua gerak-gerik alim ulama asal Demak beserta satuan-satuan bersenjatanya. Keadaan itulah yang membuat Tranggana memutuskan alim ulamanya kembali ke Demak. Pada saat itu pula ia semakin yakin jika dukuh-dukuh Lemah Abang adalah bagian dari kekuatan yang mendukung kekuasaan Adipati Hunus. Lantaran itu, di balik titah penarikan mundur para alim dan pasukannya itu, ia diam-diam menyiapkan kemungkinan-kemungkinan untuk menghancurkan dukuh-dukuh penggalang perlawanan seperti Lemah Abang itu jika keadaan sudah memungkinkan.

Dukuh Lemah Abang baginya merupakan ancaman besar. Sebab, pemuka-pemuka dukuh tersebut tidak saja telah mengajarkan kepada penduduk tentang kesederajatan, kesamaan hak, kebebasan berpikir, kebebasan memilih pemimpin, dan gagasan-gagasan yang sangat berbahaya bagi sebuah kekuasaan, melainkan telah memberi contoh pula bagaimana mengorbankan nyawa untuk melawan kekuasaan yang semena-mena.

Read More ->>

WEJANGAN TERAKHIR

Wejangan Terakhir

    Di tengah gemuruh suara Sang Maut mengisap napas-Nya di permukaan bumi Demak, bertiup angin dari barat yang membawa kabar sangat mengejutkan: gabungan armada Jawa yanga menyerang Malaka mengalami kekalahan telak. Dari 90 kapal yang berangkat, hanya sepuluh kapal perang jenis jung yang berlapis besi dan sepuluh kapal perbekalan yang kembali. Beribu-ribu prajurit asal Samarang, Tetegal, Tedunan, Rembang, Tuban, Siddhayu, Demak, Japara, Kendal, dan Pati tenggelam bersama kapal yang mereka tumpangi ke dasar laut.

Ketika semua dada terasa sesak dan semua mata meneteskan air mata kepedihan akibat peristiwa memalukan itu, terjadi peristiwa yang membuat semua mata terpejam dan semua hati tergetar. Satuan-satuan bersenjata yang dipimpin alim ulama Demak, yang dengan ganas telah menertibkan Kehidupan beragama di setiap sudut Kadipaten Demak, tiba-tiba mengarahkan pandangan ke kadipaten lain: Samarang, Japara, Tetegal, Kendal, Rembang, Siddhayu, dan Tedunan. Lalu, dengan gerakan sangat menakjubkan laksana kawanan hewan buas keluar sarang, mereka beriringan dengan suara gemuruh menerjang desa-desa yang terletak di sekitar Lemah Abang sambil meneriakkan takbir. Para alim dan pasukan tombaknya itu rupanya mendapat perintah untuk menyerang desa-desa di sekitar dukuh-dukuh Lemah Abang dengan tuduhan-tuduhan tanpa dasar. Sebagaimana peristiwa mengerikan yang telah terjadi di Demak, dengan alasan menertibkan agama Islam yang telah disimpangkan penduduk, satuan-satuan bersenjata tombak pimpinan alim ulama itu melakukan perburuan dan penjagalan terhadap siapa saja di antara manusia yang dituduh mengajarkan agama tanpa izin, menyelewengkan agama, menyebarkan ajaran sesat, atau murtad dari agama Islam.

Warga di kadipaten-kadipaten yang kebanyakan hanya mendengar kabar burung tentang kekejaman satuan-satuan bersenjata itu, dengan terheran-heran menyaksikan sendiri bagaimana tindakan ganas dan brutal manusia-manusia tak berjiwa yang menyebut diri barisan alim ulama pengawal agama Islam itu. Mereka saling pandang dan saling bertanya dengan keheranan.

Bagaimana mungkin alim ulama yang merupakan tokoh agama bisa memiliki pasukan bersenjata dan menggunakannya untuk menekan, menakuti, mengancam, dan bahkan membunuh orang-orang yang tidak sepaham? Bukankah sejak zaman purwakala belum pernah ada agamawan yang memiliki pasukan? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku pengawal agama Islam yang suci memiliki kebiasaan meminum dan menjilati darah orang-orang yang dibunuhnya? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku beriman gemar merusak mayat, memotongi telinga dan alat kemaluan orang-orang yang dibunuh sebagai kesenangan? Bagaimana mungkin sebuah agama ditertibkan lewat tekanan, ancaman, teror, dan pembunuhan? Bagaimana mungkin citra sebuah agama yang damai yang menjanjikan keselamatan justru menimbulkan ketakutan dan kepanikan, karena orang-orang yang mengaku pengawal agama tersebut dengan keberingasan dan kebengisan tak terbayangkan menciptakan ladang mayat dan sungai darah?

Bagi sebagian besar penduduk yang keluarga, kerabat, tetangga, kawan, atau kenalannya menjadi korban keganasan satuan-satuan bersenjata pimpinan alim ulama Demak itu, mereka tidak bisa memahami peristiwa biadab itu sebagai sesuatu yang bisa dibenarkan oleh nurani. Mereka seumumnya menganggap peristiwa itu sebagai sesuatu yang sangat membingungkan. Sebab, citra Islam yang selama itu mereka pahami sebagai penyempurnaan ajaran Syiwa-Buda ternyata sangat berbeda dengan citra Islam yang dipahami alim ulama yang memiliki satuan-satuan bersenjata, baik dalam amaliah ibadah maupun istilah-istilah keagamaan sehari-hari. Mereka yang sehari-hari biasa menggunakan istilah-istilah sembahyang, puasa, swarga, neraka, langgar, tajug, Hyang Manon, Kangjeng, Nabi, pandhita, susuhunan, wiku, kiai, ki, dukuh, destar, aksamala, bebet, dan dodot cukup kebingungan dengan istilah-istilah yang digunakan anggota-anggota satuan bersenjata dan alim ulamanya seperti shalat, shaum, firdaus, jahannam, mushala, masjid, Allah Subhanahu wa Ta�ala, Muhammad Saw, alim ulama, syaikh, habaib, khwajah, tasbih, ghamis, surban, sarung, kopiah.

Istilah-istilah itu makin membingungkan ketika orang menyaksikan keganasan anggota satuan-satuan bersenjata tombak yang memaklumkan diri sebagai pengawal Islam agama Keselamatan. Mereka heran dengan kepongahan orang-orang bersenjata yang mengaku-aku bahwa Tuhan yang paling Benar adalah Tuhannya, sedang tuhan orang lain adalah tuhan-tuhanan alias tuan palsu. Mereka heran dan menganggap pengakuan sepihak itu sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin agama Islam yang menjanjikan keselamatan, di tangan para pengaku-aku itu justru menjadikan banyak manusia tidak selamat? Bagaimana mungkin agama Islam yang digembar-gemborkan sebagai agama kedamaian justru menimbulkan kekisruhan? Bagaimana mungkin Kebenaran Ilahi dan keimanan orang seorang dalam mengenal Tuhan diukur dengan bilah tombak? Betapa mengherankan, tanpa alasan yang jelas sejumlah pemuka agama Islam di berbagai desa disembelih begitu saja karena dituduh murtad.

Tindak kekerasan yang dilakukan alim ulama asing dengan satuan-satuan bersenjatanya itu memunculkan kesan miring bagi penduduk pedalaman Jawa dalam memaknai Islam. Bagian terbesar penduduk yang semula memahami Islam sebagai ajaran penyempurna Syiwa-Buda, yaitu ajaran yang damai penuh toleransi dan pembawa keselamatan sebagaimana telah disampaikan para guru suci terdahulu, terutama ajaran Syaikh Siti Jenar dan pengikut-pengikutnya, ternyata mendapati wajah dan jiwa yang berbeda dengan agama Islam yang dianut alim ulama bersenjata asal Demak. Islam yang mereka saksikan datang bersama para alim itu adalah citra sebuah agama yang ganas tak kenal ampun dan berlumur darah. Islam yang mereka saksikan datang dari Demak sama menjijikkannya dengan ajaran Bhairawa-Tantra yang dianut bhairawa-bhairawi peminum darah. Muara dan ketidakpahaman penduduk atas citra Islam yang dibawa alim ulama Demak dan satuan-satuan bersenjatanya itu adalah tumbuh suburnya sikap antipati terhadap sesuatu yang bersifat asing yang dibayangkan akan menjajah dan membahayakan keberadaan penduduk bumiputera. Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba istilah-istilah agama Jawa dan agama Arab mulai digunakan orang untuk membedakan wajah agama yang dianut penduduk asli dan agama yang dianut warga asing.

Abdul Jalil yang menyaksikan adegan demi adegan kekerasan aitu dengan perasaan malu tak terlukiskan tidak dapat berbuat sesuatu kecuali diam, laksana sebongkah batu di sungai dangkal berair jernih. Ia benar-benar sebongkah batu yang menyaksikan semua tindakan alim ulama yang bertopeng agama, tapi melumuri tangannya dengan darah manusia. Ia menyaksikan semua gerak-gerik alim ulama yang melakukan kejahatan atas titah seorang penguasa duniawi. Ia menyaksikan semua tindaka alim ulama yang melakukan pembunuhan demi imbalan sepetak tanah perdikan dan hadiah-hadiah dari sultan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Diam. Seribu kali diam. Namun, di tengah kecamuk perasaannya yang teraduk-aduk dalam diam itu, ia sadar betapa citra dirinya sebagai salah seorang pendakwah ajaran Kebenaran Islam sesungguhnya telah hilang bersama terbangnya nyawa-nyawa kaum muslimin yang menjalankan Islam menurut ajaran yang didakwahkannya. Ia yang dulu telah mendakwahkan bahwa Islam adalah penyempurna ajaran Syiwa-Buda, ternyata tidak berbuat sesuatu ketika apa yang didakwahkannya itu dihancurbinasakan oleh orang-orang terbawa badai yang terbuang dari negerinya dan mencari kemapanan hidup di negeri orang. Ia tidak melakukan apa pun � bahkan sekedar mengingatkan lewat lisan � untuk mencegah kekeliruan tindakan yang dilakukan para alim beserta pasukan tombaknya. Ia merasa semua yang telah dirintisnya telah sirna tersapu prahara bersama lenyapnya citra dirinya sebagai juru dakwah. Ia merasa benar-benar telah menjadi sebongkah batu.

Ketika ia meresapi keterkaitan makna antara peristiwa memalukan itu dan keterlepasan-keterlepasan citra diri yang dialaminya, hingga membuat keberadaan dirinya tak lebih dari sebongkah batu, terjadilah sesuatu yang selama ini sudah ditunggu-tunggunya sebagai bagian dari keterlepasan yang sangat berat.

Badai Kebinasaan yang diembuskan Sang Maut telah berpusar-pusar melanda permukaan bumi dan perlahan-lahan mulai mendekati caturbhasa mandala dan lemah larangan yang telah ditegakkannya selama berpuluh tahun dengan taruhan nyawa. Seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan sandiwara, ia menyaksikan bagaimana para pemuka agama di desa-desa yang berhasil meloloskan diri dari serangan satuan-satuan bersenjata asal Demak beriringan mencari perlindungan ke dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Kajenar. Lantaran dukuh Lemah Abang jumlahnya lebih banyak dibanding Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Kajenar, maka mereka hampir semuanya bersembunyi dan meminta perlindungan ke Lemah Abang.

Abdul Jalil sadar, cepat atau lambat ia bakal menyaksikan kehancuran dukuh-dukuh yang mengabadikan karya besarnya itu. Untuk itu, ia berusaha melepaskan segala keterkaitan dirinya dengan tempat-tempat bersejarah itu. Ia ingin melupakan semua kenangan yang menghubungkan dirinya dengan dukuh-dukuh yang ditinggali murid-muridnya itu. Namun, hal itu tentu saja tidak mudah. Sebab, rangkaian kenangan yang menandai jejak langkahnya di dukuh-dukuh itu telah menjadi taman indah Tauhid yang menebarkan wangi bunga-bunga Kebenaran. Menghapus rangkaian kenangan yang telah mewujud menjadi keindahan akan menimbulkan rasa kehilangan yang menyesakkan dada. Itu sebabnya, pada saat ia menyaksikan para alim dengan satuan-satuan bersenjatanya yang memburu orang-orang yang mereka tuduh ahli bid�ah dan penyeleweng agama mendekat ke dukuh-dukuh Lemah Abang, tanpa ia sadari tiba-tiba ia sudah bergerak dan tahu-tahu sudah berada di dukuh Lemah Abang yang terletak di Kadipaten Samarang. Hiruk pun pecah ketika Ki Wujil Kunting, pemimpin dukuh dan pengikut-pengikutnya mengetahui kedatangan Abdul Jalil. Beramai-ramai mereka mengerumuninya. Menyaksikan wajah pengikut-pengikutnya yang diliputi ketegangan itu, ia merasa trenyuh. Lalu, dengan penuh kasih ia berkata kepada mereka dengan suara lain yang terdengar aneh.

�Sebagaimana perilaku alam yang terus berulang bersama putaran waktu, begitulah waktu senja dari hidupku telah datang menjemput. Dia akan mengajakku terbang ke langit hampa yang luas tanpa batas. Melayang-layang sendiri memaknai kesendirian di tengah liputan Yang Mahasendiri. Aku akan kembali bersama waktu senjaku menikmati ketenag-damaian di mahligai keabadian-Nya yana azali. Bersama waktu senjaku, hendaknya diketahui oleh semua manusia yang memiliki keterkaitan denganku, bahwa aku yang disebut manusia dengan berbagai nama; San Ali, Syaikh Datuk Abdul Jalil, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jabarantas, Syaikh Siti Jenar, Syaikh Sitibrit, dan Susuhunan Binang adalah manusia biasa yang lahir ke dunia dalam keadaan telanjang tidak membawa apa-apa. Lantaran itu, aku kembali pun dalam keadaan telanjang tidak membawa apa-apa. Aku datang dari Allah dan akan kebali kepada-Nya. Inna li Alahi wa inna ilaihi raji�un.�

�Buka telinga indriawimu dan buka pula telinga batinmu untuk mengingat-ingat pesanku yang terakhir. Aku yang lahir telanjang dan bakal kembali kepada Sang Pencipta dalam keadaan telanjang tidak akan pernah meninggalkan sesuatu yang bersifat kebendaan yang bisa engkau kaitkan denganku. Aku tidak meninggalkan warisan apa-apa dalam bentuk benda-benda duniawi; rumah, harta benda, kitab, pusaka, murid, keluarga, dukuh, atau apa pun. Yang aku wariskan kepada manusia hanyalah ajaran rahasia berupa awrad yang tidak boleh ditulis atau disimpan di dalam sesuatu yang bisa dibendakan. Lantaran itu, jika di suatu masa ada manusia mengaku-aku pengikutku dengan menunjukkan bukti ini dan itu berupa benda atau bukti-bukti pengakuan nasab, sesungguhnya dia itu pendusta yang bakal menyesatkan banyak orang.�

�Jika ada yang bertanya tentang makna apa di balik awrad yang aku wariskan. Aku katakan, ia ibarat sebutir biji nangka, yang aku tinggalkan sebagai satu-satunya warisan. Seperti biji nangka yang memuat hakikat batang, dahan, ranting, daun, bunga, akar, dan buah yang akan tumbuh dengan baik di tanah subur yang terawat, begitulah awrad rahasia itu jika kalian tanam di jiwa yang baik dan dirawat dengan baik akan tumbuh menjadi pohon ruhani Kemanusiaan Sempurna. Buah dari pohon ruhani Kemanusiaan Sempurna itu bisa kalian bagi-bagi kepada siapa pun yang membutuhkan. Tetapi, biji dari buah nangka itu akan tumbuh lagi jika ditanam di tanah yang sesuai. Dengan demikian, selama kalian setia memelihara dan mewariskan awrad yang aku tinggalkan maka saat itu pula kalian telah mewarisi warisanku. Inilah pesan-pesanku terakhir yang hendaknya kalian pusakakan: jadikan awrad rahasia dariku itu sebagai satu-satunya warisan dariku untuk wahana kembali menuju Sang Pencipta. Jadikanlah ia wahana menuju inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un !�

�Pesanku yang hendaknya kalian ingat-ingat adalah yang terkait dengan keberadaan jasad dan tubuhku. Maksudnya, jika satu saat nanti kalian mendapati tubuh jasadku terbujur tanpa nyawa karena ruhku telah kembali kepada-Nya, hendaknya kalian kuburkan jenasahku tanpa tanda apa pun yang bersifat bendawi. Jangan biarkan siapa pun di antara manusia yang mengetahui jika itu kuburanku. Jangan buat manusia datang menziarahiku. Sebab, aku tidak ingin menjadi hijab setitik noktah pun bagi manusia dalam berhubungan dengan Penciptanya. Biarkan aku terkubur sebagai tanah yang diinjak-injak manusia. Biarkan jasad tubuh anak Adam a.s. ini kembali menjadi tanah.�

Para pengikut yang tak kuasa menahan haru mendengar wejangan guru ruhani yang mereka cintai serentak menjatuhkan diri dan merangkul kaki Abdul Jalil sambil mencucurkan air mata. Ki Wujil Kunting yang terlihat tegar pun tak kuasa menahan haru. Dengan napas tersengal menahan tangis, dia bersimpuh dan bertanya. �Jika Kangjeng Syaikh kembali kepada-Nya tanpa meninggalkan bekas bendawi, bagaimana kami dapat mengingat paduka yang telah menyalakan api kesadaran di jiwa kami tentang Tauhid? Bagaimana kami dapat melepaskan kerinduan kami kepada Kangjeng Syaikh?�

Abdul Jalil tertawa. Kemudian, dengan suara digetari kepahitan ia berkata, �Bukankah sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin menjadi hijab bagi manusia dalam memuja Penciptanya? Bukankah sudah aku katakan bahwa aku hanya meninggalkan awrad rahasia yang tak boleh ditulis? Apakah itu kurang cukup? Apakah kalian masih belum paham juga dengan maksudku?�

�Kami paham maksud paduka Syaikh. Tapi, kami hanya manusia biasa yang memiliki kerinduan pada rupa dan rasa. Sedang kami paham bahwa Sang Wujud tidak bisa dirupakan dan dirasakan kecuali melalui wahana ciptaan-Nya yang maujud. Jadi, bagaimana cara kami melampiaskan kerinduan jiwa kami kepada-Nya tanpa melalui ciptaan-Nya yang kami kenal seperti Kangjeng Syaikh?�

Abdul Jalil diam. Ia tidak memberikan jawaban. Ia paham, terlalu banyak hal yang tidak dapat dijelaskan kepada pengikut-pengikutnya. Namun, ia sadar bahwa semua itu adalah kehendak Allah semata. Lantaran itu, ia memasrahkan semua urusan yang terkait dengan pengikut-pengikunya itu kepada-Nya. Beberapa jenak kemudian, ia pun berkata dengan suara tegar diliputi getar-getar keanehan.

�Jika kalian membaca Kitab Suci Al-Qur�an dan memahami Sabda Suci Ilahi di kitab tersebut sebagai rangkaian huruf Arab dengan makna-makna yang terkandung di dalamnya, maka ia akan menjadi seperti pemahaman kalian. Ia akan menjadi Sabda Suci Ilahi yang dilafazkan mulut manusia. Ia hanya akan menjadi rangkaian huruf-huruf bermakna. Ia akan menjadi Kalam al-Lafzhiyyah. Tetapi, jika kalian memahami Sabda Suci Ilahi itu sebagai Firman Ilahi yang pernah terucap lewat lisan Muhammad Saw. Maka Ia akan menjadi seperti pemahaman kalian. Ia akan menjadi Sabda Ilahi yang terucap lewat lisan Yang Terpuji Saw.. Ia akan menjadi Kalam an-Nafsiyyah. Dan, jika kalian memahami bahwa Yang Terpuji Saw. adalah pancaran dari Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad), maka Sabda Suci Ilahi pun akan kalian pahami sebagai sabda-Nya. Ia akan menjadi Kalam Ilahiyyah.�

�Demikian pula dengan awrad rahasia yang telah aku tinggalkan kepada kalian sebagai warisan satu-satunya itu. Jika kalian mengamalkan awrad rahasia dengan pemahaman bahwa aku pun telah mengamalkannya maka kalian akan merasakan kehadiranku di situ. Sebab, seibarat biji nangka yang tumbuh di �tanah� bernama Abdul Jalil, demikianlah biji nangka itu akan tumbuh di jiwa mereka yang mengamalkannya. Jika kalian lewat awrad itu dapat merasakan kehadiranku maka satu saat kelak kalian akan merasakan kehadiran hadrath Abu Bakar ash-Shiddiq, yang mewariskan awrad rahasia itu kepadaku. Dan ujungnya, kalian akan merasakan kehadiran Dia yang mewariskan awrad rahasia itu kepada hadrath Abu Bakar ash-Shiddiq. Itu berarti, muara dari kerinduan kalian kepada aku adalah Yang Terpuji (Ahmad) yang merupakan pengejawantahan Yang Maha Terpuji (al-Hamid).�

�Dengan penjelasanku ini, hendaknya kalian sadar bahwa muara dari segala sesuatu yang terkait denganku adalah Dia, Yang Mahamutlak. Jika kalian menemukan manusia mengaku-aku sebagai pelanjut ajaranku tetapi muara daari pengakuannya itu terarah kepada dirinya pribadi, maka aku katakan bahwa dia adalah pendusta yang bakal menyesatkan manusia. Mulai sekarang ini hendaknya kalian ketahui bahwa siapa pun di antara manusia yang mengaku sebagai pengikut Syaikh Siti Jenar, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jabarantas, Syaikh Sitibrit, atau Susuhunan Binang, sesungguhnya gelar-gelar masyhur dari manusia bernama Abdul Jalil itu adalah tempelan sesaat yang menyelebungi makna terdalam dari jati diriku. Maksudnya, hendaknya kalian ketahui bahwa aku yang kalian ikuti sejatinya adalah pengikut Muhammad Saw., citra Kemuliaan dari Yang Maha Terpuji. Itu berarti, pengamal ajaranku yang paham dengan apa yang telah aku ajarkan tidak akan pernah membawa-bawa namaku. Mereka akan menisbatkan jalan ruhani (tarekat) yang diamalkannya kepada Allah semata. Demikianlah, kalian akan mendapati ajaranku dalam nama-nama yang dinisbatkan kepada-Nya, seperti Akmaliyyah (al-Kamal), Haqqmaliyyah (al-Haqq), Khaliqiyyah (al-Khaliq), Sattariyyah (as-Sattar), Kubrawiyyah (al-Kabir), Wahidiyyah (al-Wahid), dan sebagainya.�

�Kami memahami wejangan Kangjeng Syaikh. Tapi, apakah Kangjeng Syaikh akan benar-benar meninggalkan kami semua?� tanya Ki Wujil Kunting mengiba.

�Adakah Kehidupan di dunia ini yang tidak saling tinggal meninggalkan? Kenapakah engkau ini bertanya sesuatu yang menggelikan sepertinya engkau ini seorang anak kecil?�

�Kami tidak ingin berpisah dengan Kangjeng Syaikh. Kami rela berkorban nyawa asalkan kami tetap bersama-sama dengan Kangjeng Syaikh. Jika Kangjeng Syaikh kelak kembali kepada-Nya, kami ingin merawat dan menguburkan junjungan kami dengan tangan kami sendiri.�

Abdul Jalil tertawa. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, �Wujil � Wujil, bagaimana engkau bisa merawat dan mengubur jenasahku jika waktu kematianku saja engkau belum tahu? Apakah engkau yakin kalau aku mati lebih dulu daripada engkau? Sungguh aku minta, janganlah kepedihan membuat engkau melakukan hal-hal yang tidak benar. Jangan berandai-andai dengan masa depan. Sebab, apa yang aku ajarkan adalah kekinian. Kini. Masa depan adalah angan-angan. Masa lampau adalah kenang-kenangan. Semua akan bermakna jika ditarik ke masa kini.�

�Kami paham akan Kebenaran wejangan Kangjeng Syaikh. Kami mohon, sudilah Kangjeng Syaikh memberi kami wejangan terakhir sebelum kita saling berpisah. Sebab, kami menangkap sasmita yang sudah padukan sampaikan bahwa tidak lama lagi kita akan saling berpisah. Apakah yang sebaiknya kami lakukan, o Kangjeng Syaikh?� kata Ki Wujil Kunting sambil memegangi jubah Abdul Jalil.

�Ingat-ingatlah selalu bahwa dunia yang kita diami ini adalah kehinaan (danayah), rendah (daniyyun), bendawi (dunyawiyyun), dekat (adna). Kita semua di dunia ini hanya tinggal untuk sementara. Singkat. Kita semua tinggal di dunia ini sekadar menjalani �hukuman� yang diwariskan leluhur kita: Adam a.s. yang terperosok ke jurang kefanaan insani karena nafsu (hawa). Kita semua sejatinya berada di dalam kerangkeng nafsu. Tetapi, jika saatnya untuk pembebasan datang, kita semua bakal kembali kepada-Nya. Lantaran itu, tugas utama kita sebagai anak keturunan Adam adalah mencari jalan pembebasan untuk melepaskan diri dari kerangkeng nafsu. Agar kita dapat bebas dan kembali kepada-Nya sebagai manusia merdeka yang ridho dan diridhoi.�

�Hendaknya kalian camkan bahwa dengan berjuang membebaskan diri dari kerangkeng nafsu, dan jika kalian berhasil, maka kalian akan menjadi manusia baru. Laksana kupu-kupu yang terbebas dari kepompongnya, begitulah kalian akan lahir sebagai manusia baru yang disebut adimanusia: insan kamil, yakni citra wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-Ardh) sebagaimana dikehendaki-Nya. Hendaknya kalian ingat-ingat dan kalian pusakakan wejangan terakhirku ini: bahwa mereka yang disebut adimanusia bukanlah manusia raksasa yang memiliki kekuatan tubuh dan akal luar biasa, bukan pula manusia yang memiliki kemampuan menaklukkan dunia dengan kekuasaan tubuh dan akalnya itu. Sebaliknya, adimanusia adalah manusia-manusia yang sudah merdeka dari kerangkeng nafsunya dan mencapai tahap Tauhid tertinggi dalam mengenal Sang Pencipta dan mengejawantahkan citra kekhalifahan-Nya.�

�Aku pesankan dan aku wanti-wanti kepada kalian bahwa akan datang Dajjal dan bala tentaranya yang akan membalikkan kiblat penilaian umat manusia tentang adimanusia sebagaimana yang aku ajarkan. Dajjal dan balatentaranya akan menyatakan bahwa adimanusia adalah manusia yang memiliki kekuatan tubuh luar biasa akal cerdas tak tertandingi, harta benda berlimpah, pengetahuan ilmu duniawi mengagumkan, senjata-senjata pemusnah dahsyat, dan penakluk bangsa-bangsa lemah di dunia. Sungguh, aku katakan bahwa penilaian Dajjal tentang adimanusia itu adalah sesat. Sesat. Seribu kali sesat. Jika kalian mengikutinya maka kalian pun akan sesat pula.�

�Aku beri tahukan kepada kalian tentang makna adimanusia dalam pandangan Sang Pencipta melalui Sabda Suci-Nya yang termaktub dalam Kitab Suci al-Qur�an, yang jika ditafsirkan kira-kira begini maknanya:

�Ketahuilah, o manusia, di antara puak bangsa-bangsa manusia, yang paling mulia adalah manusia yang paling takwa (QS.al-Hujurat: 13). Siapakah manusia takwa itu? Dia adalah manusia yang selalu mengingat Aku, meski keteguhan jiwanya digoyahkan setan dan diperosokkan kawan-kawan dekatnya agar tersesat (QS.al-A�raf: 201 � 202). Dia hanya takut kepada Aku (QS.al-Baqarah: 41). Dia mentauhidkan Aku dan takut hanya kepada-Ku (QS.al-Nahl: 2). Dia hanya menyembah Aku dan takut hanya kepada-Ku (QS.al-A�raf: 65). Itulah adimanusia. Insan kamil. Itulah manusia-manusia unggul yang di mana pun berada selalu bersama Aku (QS.al-Baqarah: 194; at-Taubah: 123). Dia selalu berada di dalam lindungan-Ku (QS.al-Jatsiyah: 19). Dia tidak akan dihisab atas dosa-dosanya (QS.al-An�am: 69). Dia kelak akan menemui Aku (QS.al-Baqarah: 223).�

�Sekarang, jelaslah bagi kalian bahwa adimanusia yang aku maksudkan adalah manusia-manusia merdeka yang sudah berhasil membebaskan diri dari kerangkeng nafsunya. Itulah manusia-manusia yang sudah mentauhidkan Allah dalam makna yang sebenarnya. Itulah manusia-manusia unggul. Insan kamil. Manusia sempurna. Ingatkah kalian akan kisah Fir�aun, maharajadiraja Mesir yang memiliki kekuatan tubuh dan akal yang luar biasa, kekayaan tak terhitung, istana-istana megah dan mewah, bala tentara perkasa yang menakutkan, senjata-senjata pembunuh yang mematikan, kehormatan, dan kemuliaan atas bangsa-bangsa manusia? Ingatkah kalian akan Fir�aun yang disembah manusia? Meski ada yang mengatakan bahwa Fir�aun adalah adimanusia yang berkuasa di zamannya, aku katakan sebaliknya bahwa Fir�aun bukan adimanusia. Dia bukan adimanusia. Sebab, dia adalah seorang manusia yang terpenjara di dalam kerangkeng nafsunya. Jiwa Fir�aun adalah jiwa cacing yang menggeliat di dalam lumpur duniawi yang menjijikkan.�

�Sebaliknya, aku katakan kepada kalian, bahwa yang disebut adimanusia di zaman itu bukanlah Fir�aun dan bukan pula dukun-dukun sakti yang mengitarinya. Adimanusia pada zaman itu adalah Musa a.s.: laki-laki yang tidak punya rumah, tidak punya harta benda, tidak punya pangkat dan kedudukan, tidak punya tentara, tidak punya apa-apa. Manusia hanya mengenal dia sebagai salah seorang pemuka budak Bani Israil. Musa itulah adimanusia pada zamannya. Sebab, dia adalah pemuka di antara manusia-manusia merdeka yang dipilih-Nya. Musa adalah manusia yang takwa dan bertauhid kepada-Nya.�

�Ingatkah kalian akan detik-detik ketika Islam disampaikan Muhammad Saw. di jazirah Arabia? Ingatkah kalian tentang kekuasaan-kekuasaan duniawi yang mengitari jazirah Arabia saat itu? Siapakah manusia yang saat itu tidak mengenal keagungan an-Najasi Maharajadiraja Habasyah? Siapakah manusia yang tidak mengenal kebesaran Heraklius Maharajadiraja Rum? Siapakah manusia yang tidak mengenal kehebatan Chosroes II Maharajadiraja Persia? Siapakah manusia yang saat itu tidak mengenal para maharajadiraja yang kuat, cerdas, berlimpah harta benda, berkekuatan luar biasa, berpasukan mengerikan yang membawa senjata penghancur? Siapa manusia zaman itu yang tidak mengenal kehebatan mereka?�

�Tapi, aku katakan kepada kalian bahwa mereka para maharajadiraja itu bukanlah adimanusia yang aku maksudkan. Mereka hanyalah penguasa-penguasa duniawi yang terbelenggu dan terpenjara di dalam kerangkeng nafsunya. Jiwa mereka adalah jiwa hewan melata yang tak mampu melepaskan diri dari lumpur duniawi. Sedang adimanusia pada zaman itu yang aku maksudkan, tidak lain dan tidak bukan adalah Muhammad Saw.: laki-laki buta huruf dari padang pasir, tidak punya rumah, tidak punya harta benda, tidak punya pangkat dan kedudukan duniawi, tidak punya apa-apa yang bersifat duniawiyah, yang tinggal di masjid dan ketika wafat tidak meninggalkan secuil pun warisan harta. Dialah adimanusia. Insan kamil. Manusia sempurna. Manusia Yang Terpuji (Muhammad) citra pengejawantahan Yang Maha Terpuji (al-Hamid). Dialah, sang guru pengajar Tauhid, yang paling tinggi ketakwaannya di hadapan Allah. Dialah adimanusia terbesar sepanjang zaman. Dialah manusia Tauhid yang dipilih-Nya.�

�Dengan uraianku ini, jelaslah sudah bahwa sebagai manusia-manusia yang bakal menjadi adimanusia, hendaknya kalian tidak menimbun kesadaran Tauhid kalian dengan benda-benda duniawi yang menjijikkan. Kalian adalah para pejuang pembebasan yang akan menjadi orang-orang merdeka. Lantaran itu, jika ada di antara manusia ingin membangun kerajaan surga di dunia, hendaknya kalian jauhi mereka. Sebab, mereka itu sejatinya sedang membangun neraka bagi manusia dirinya dan manusia lain. Mereka sedang membangun kerangkeng-kerangkeng nafsu yang membahayakan manusia. Jika kalian dapati para pemuja duniawi sudah berkuasa dan merajalela dengan kejahatannya, hendaknya kalian hijrah! Hijrah! Hijrahlah kalian sebagaimana diteladankan Muhammad Saw.! Tinggalkan kediamanmu. Bumi Allah sangat luas. Di mana pun kalian berada dan kapan pun kalian hidup, selama kalian bertauhid kepada-Nya dan berjuang keras membebaskan diri dari kerangkeng nafsu-nafsu, maka kalian akan menjadi selamat sentosa menjadi adimanusia. Kalian akan selalu bersama-Nya.�

Read More ->>

TIUPAN BADAI KEMATIAN

Tiupan Badai Kematian

    Sadar dirinya sudah memegang kekuasaan di Nusa Jawa, meski hanya kekuasaan agama, Tranggana merasakan semangatnya terbang ke angkasa bersama ular hitam bermahkota emas yang bersemayam di relung jiwanya. Dari atas ketinggian hasratnya yang melayang-layang laksana burung alap-alap itu, ia menyapukan pandangan ke setiap sudut Kehidupan di wilayah kekuasaannya. Saat itulah ia menyaksikan secercah cahaya harapan yang membentang di garis cakrawala, yang menurut perhitungannya dapat digunakan untuk membangun kekuatan baru yang akan memperkokoh kuasa dan wibawanya sebagai sayidin panatagama di Nusa Jawa. Secercah harapan yang disaksikannya itu adalah keberadaan orang-orang terbawa badai, yaitu orang-orang yang terusir dari negeri kelahiran akibat perang dan mereka hidup tanpa harapan di rantau. Orang-orang terbawa badai itu pasti akan memasrahkan kesetiaan mutlak kepadanya jika ia bisa memberikan makna bagi kehidupan mereka. Sebab, mereka dipastikan akan setia mutlak kepada siapa saja yang bisa memberi makna dan harapan, sebagaimana kesetiaan Karna kepada Duryudana, raja Hastina, yang mengangkatnya sebagai raja Angga. Ya, kesetiaan mutlak Karna, anak kusir tanpa derajat dan tanpa pangkat yang tak punya harapan, yang baru beroleh makna hidup dan kehormatan setelah Duryudana mengangkatnya menjadi raja.

Salah satu langkah nyata Tranggana untuk membangun kekuatan yang mengukuhnak kuasa dan wibawanya adalah ia tidak segan mengawinkan sauradi-saudari, kemenakan, dan putera-puterinya dengan putera-puteri adipati-adipati, guru-guru suci, kepala-kepala marga, pemuka-pemuka penduduk berpengaruh. Setelah menikahkan adiknya yang bernama Nyi Mas Ratu Winong dengan Pangeran Arya Terung, Tranggana menikahkan lagi dua orang adiknya yang lain, Nyi Mas Ratu Pembayun dan Nyi Mas Ratu Nyawa, dengan dua orang putera Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati dari istri Syarifah Bahgdad, yaitu Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana. Syarif Hidayatullah yang merupakan anggota Majelis Wali Songo, sekaligus menantu yang mewakili Ratu Caruban Sri Mangana, menyatakan dukungan kepadanya. Itu berarti,Tranggana memiliki tiga kekuatan pendukung, yaitu Kerajaan Caruban Larang, Kerajaan Pasir, dan Kadipaten Sengguruh. Ia juga nikahkan seorang puterinya yang baru berusia sepuluh tahun, Nyi Mas Ratu Aria Japara, dengan seorang nakhoda asal negeri Cina bernama Thio Bin Tang. Dengan mengambil menantu seorang nakhoda Cina berpengaruh maka penduduk Cina pelarian di Nusa Jawa akan menjadi pendukungnya. Ia yakin, lewat menantunya itu, para pemukim Cina yang terhempas badai bakal menjadi abdi-abdinya yang setia.

Selain melalui pernikahan, Tranggana menempuh langkah lain untuk memperkuat pengaruh, yaitu mengangkat sejumlah guru tarekat yang memiliki banyak pengikut sebagai penasihat-penasihat utama di kesultanan. Mereka itu adalah Susuhunan Rajeg, Syaikh Maulana Maghribi, Susuhunan Mantingan, Syaikh Dara Putih, Susuhunan Udung, Syaikh Khwaja Zainal Akbar Badakhsi, Syaikh Najmuddin Bakharsi, dan Syaikh Abdullah Sambar Khan. Mereka dianugerahi tanah perdikan yang luas untuk mengembangkan ajarannya. Murid-murid terbaik para guru tarekat diangkat menjadi nayaka kesultanan yang akan bekerjasama dengan rekan-rekannya mengatur tata kehidupan beragama penduduk Nusa Jawa. Mereka diangkat sebagai kali (qadhi), ketib (khatib), penghulu, merbot, dan imamuddin yang merupakan pejabat keagamaan di tingkat pusat sampai desa. Lalu, dengan alasan demi tersebarluasnya dakwah Islam dan tertatanya Kehidupan beragama di Nusa Jawa, ia mengirim nayaka-nayaka keagamaannya ke kadipaten-kadipaten di luar Demak untuk menjalankan tugas membantu para adipati menata Kehidupan beragama di wilayah kekuasaan masing-masing. Melalui nayaka-nayaka keagamaannya itu ia dapat memantau dan mengawasi semua gerak-gerik para adipati di pesisir.

Sementara, untuk memperoleh dukungan lebih kuat dari orang-orang terbawa badai, Tranggana menganugerahkan tanah-tanah perdikan kepada alim ulama di antara mereka, terutama para alim yang memiliki banyak pengikut di antara penduduk setempat. Mereka diberi kewenangan untuk menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk di Nusa Jawa. Kepada mereka, Tranggana menganugerahi gelar-gelar kebangsawanan seperti Kyayi Ageng, Kyayi Anom, Kyayi, dan Raden. Tranggana berpikir, dengan gelar-gelar kebangsawanan itu mereka akan menjadi abdi-abdi setianya. Sebab, ia telah mengangkat derajat mereka dari kedudukan wong kabur kanginan menjadi bangsawan yang dihormati.

Anugerah tanah perdikan dan gelar kebangsawanan dari Tranggana disambut gembira oleh para alim di antara orang-orang terbawa badai itu. Namun demikian, karena yang tinggal lebih dahulu di Demak adalah alim ulama asal Campa dan Kerala yang sudah memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan penduduk bumi putera, maka merekalah yang paling beruntung dengan kebijakan tersebut. Di antara mereka yang beruntung itu adalah alim ulama yang kelak dikenal penduduk dengan nama terhormat: Kyayi Ageng Kali Podang, Kyayi Ageng Kaliputu, Kyayi Ageng Germi, Kyayi Ageng Medini, Kyayi Ageng Panawangan, Kyayi Ageng Hujung Semi, Kyayi Ageng Tajug, Kyayi Telingsing, Kyayi Sun Ging, Kyayi Anom Martani, Raden Ketib Anom Maranggi, dan Raden Pengulu Terkesi.

Ketika dukungan terhadap kedudukan Tranggana sebagai sayidin panatagama semakin kuat, terjadi langkah lanjutan untuk memperkuat kedudukan para pendukung tersebut. Tanpa ada yang menduga, tiba-tiba Tranggana membuat kebijakan aneh: memberi kebebasan kepada para guru tarekat dan para alim yang memiliki pengikut untuk membentuk satuan-satuan bersenjata yang anggotanya berasal dari pengikut-pengikut mereka. Lebih aneh lagi, Tranggana memberikan tugas khusus kepada pasukan Suranata, satuan pengawalnya yang bersenjata tombak, untuk melatih satuan-satuan bersenjata bentukan para guru tarekat dan para alim tersebut. Para petani, perajin, tukang, pedagang kecil, penyadap enau, dan nelayan berbondong-bondong ke kediaman para alim panutannya untuk bergabung ke dalam satuan-satuan bersenjata tombak yang memiliki tugas utama melindungi guru suci dan alim ulama panutan mereka. Dalam waktu singkat, di tlatah Demak bermunculan satuan-satuan bersenjata tombak di pesantren-pesantren, padepokan-padepokan, dan masjid-masjid. Satuan-satuan itu secara khusus dilatih dan dikoordinasi oleh pasukan Suranata, pengawal sultan.

Di tengah gemuruh bangkitnya satuan-satuan bersenjata itu, Tranggana menancapkan bayangan kekuasaannya di pedalaman Nusa Jawa dengan mengangkat Raja Pasir Prabu Banyak Belanak sebagai panglima Demak di pedalaman dengan gelar Senapati Mangkubhumi dan menghadiahinya seorang selir asal Kadipaten Pati. Selir itu adalah puteri almarhum Adipati Pati Kayu Bralit yang bersama saudara lelakinya, Raden Darmakusuma, melarikan diri dan meminta perlindungan ke Demak. Raja Pasir ditugaskan menjalankan dakwah Islam di pedalaman, sekaligus menggalang kekuatan dengan adipati-adipati di pedalaman yang belum tergabung dalam persekutuan adipati pesisir. Lalu, sebagaimana di Demak, di Pasir pun dibentuk satuan-satuan bersenjata tombak yang dipimpin alim ulama yang dikirim dari Demak.

Sementara, untuk memperkuat kedudukan di luar pesisir utara Jawa, Tranggana berusaha menancapkan kuasa dan wibawanya di ujung timur Madura di Kadipaten Sumenep. Menurut kabar, dengan alasan yang tidak masuk akal dan terkesan dibuat-buat, Pangeran Kanduruwan, adik tiri Tranggana, tiba-tiba mengaku menjalankan titah Ratu Stri Maskumambang, Yang Dipertuan Japan yang sudah tua, untuk menggempur Kadipaten Sumenep dengan didukung pasukan dari Wirasabha dan Japan. Pangeran Kanduruwan datang ke Sumenep untuk menghukum adipati Sumenep yang telah dianggap menolak keinginan nafsu syahwat Ratu Japan yang sudah tua itu.

Saat itu yang menjadi adipati Sumenep adalah Aria Wanabaya, putera Patih Sumenep, Aria Banyak Modang. Aria Wanabaya yang anak patih itu dapat menjadi adipati karena menikahi puteri Adipati Sumenep Aria Wigananda. Karena Aria Wigananda tidak memiliki putera maka saat ia meninggal kedudukannya digantikan sang menantu, Aria Wanabaya. Lalu, untuk memperkuat kekuasaannya, Aria Wanabaya mengangkat saudara kandungnya menjadi patih Sumenep dengan gelar: Tumenggung Tan Kondur. Kemudian untuk mensahkan kekuasaannya, Aria Wanabaya meminta perkenan Ratu Stri Maskumambang di Japan yang dianggap penerus Majapahit. Namun, tindakan Aria Wanabaya itu malah memunculkan masalah dengan Pangeran Kanduruwan, yang merasa lebih berhak atas Kadipaten Sumenep dibanding Aria Wanabaya, karena kakek buyutnya dari pihak ibu adalah raja Sumenep, Kuda Panolih. Adik tiri Tranggana itu menganggap Aria Wanabaya tidak lebih berhak menjadi adipati Sumenep dibanding dirinya yang keturunan Kuda Panolih.

Menurut gari nasab, Raden Ali Fida� yang termasyhur disebut Susuhunan Padusan, putera Raden Ali Murtadho Raja Pandhita Gresik, kakek Pangeran Kanduruwan dari pihak ibu, adalah menantu Kuda Panolih. Raden Ali Fida� menikahi puteri tertua Kuda Panolih, kakak kandung Aria Wigananda. Dari pernikahan itu lahir Nyi Malaka, ibunda Pangeran Kanduruwan, yang setelah dinikahi Raden Patah Adipati Bintara tinggal di Randu Sanga. Nyi Malaka adalah kemenakan Aria Wiraganda. Dengan demikian, ketika Aria Wiraganda meninggal tanpa meninggalkan keturunan laki-laki maka Pangeran Kanduruwan merasa lebih berhak atas takhta Sumenep dari pada anak patih. Namun, untuk mempersingkat jalan menuju Kadipaten Sumenep, Pangeran Kanduruwan menggunakan nama besar Ratu Japan yang masih dipatuhi di pedalaman Jawa dan Madura. Demikianlah, Pangeran Kanduruwan menggempur Aria Wanabaya. Adipati Sumenep itu terbunuh di purinya (kelak dikenal penduduk dengan nama Pangeran Sedeng Puri). Segera setelah Pangeran Kanduruwan menjadi adipati di Sumenep, ia menyatakan dukungan kepada kekuasaan Sultan Demak.

Setelah menangkap sasmita bahwa kilasan penglihatan batinnya atas citra Sang Maut yang memanjangkan bayang-bayang-Nya di langit Demak bakal mewujud dalam kenyataan, Abdul Jalil buru-buru menyingkir dari bumi sengketa yang sudah mulai basah oleh siraman minyak yang ditumpahkan Tranggana. Ia ingin menjauh dari tempat yang akan terbakar oleh amukan api ambisi sultan baru itu. Ia tidak ingin menyaksikan citra bayangan Sang Maut menebar Kebinasaan di depan matanya, tanpa sedikit pun ia boleh melakukan sesuatu. Ia tidak ingin menyaksikan manusia-manusia tak bersalah melolong-lolong ketakutan, berlari kebingungan menghindari kejaran makhluk-makhluk ganas berdarah dingin yang membiaskan bayangan wajah Sang Maut. Ia tidak ingian menyaksikan beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu bangsa jin sambil tertawa-tawa menyantap manusia-manusia tak berdaya. Ia tidak ingin menyaksikan tangan-tangan yang menggapai-gapai ke arahnya meminta tolong tanpa sedikit pun ia mampu memberikan pertolongan. Namun, semua keinginannya untuk menghindar dari apa yang sudah dikemukakan Ahmad at-Tawallud itu ternyata hancur. Saat itu tanpa sengaja ia menyasikan kilasan penglihatan batin yang lain lagi.

Wajah Sang Maut terpampang mengerikan di balik awarn kelabu yang bergumpal-gumpal dengan seringai wajah mengerikan. Citra wajah Sang Maut tampak menaungi bayangan kelam-Nya yang berkeliaran dalam wujud makhluk-makhluk bertubuh api yang melayang-layang dan turun ke permukaan bumi merasuki jiwa manusia. Lalu, mausia-manusia yang jiwanya sudah kerasukan makhluk-makhluk bertubuh api itu tiba-tiba menjadi garang. Mereka menyemburkan bara api dari mulutnya. Seiring gerakan manusia-manusia kerasukan itu, terlihatlah gumpalan asap hitam menyelimuti permukaan bumi yang dikobari nyala api yang membakar hangus jiwa manusia-manusia tak berdaya.

Usai menyaksikan kilasan penglihatan batin yang mencengangkan itu, Abdul Jalil memutuskan untuk menunda kepergiannya meninggalkan kuta Demak. Namun, belum lagi ia beranjak jauh, ia sudah didatangi orang-orang suruhan Gagak Cemani, yang menyampaikan pesan bahwa saat itu terjadi peristiwa-peristiwa janggal di Kadipaten Demak.

Di Kadipaten Demak, dalam beberapa hari belakangan muncul kasak-kusuk yang membicarakan kebiasaan-kebiasaan penduduk sekitar Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang yang dianggap tidak lazim, yaitu memperbincangkan masalah agama. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja berkembang anggapan bahwa kebiasaan itu merupakan sesuatu yang sangat tidak pantas. Melanggar tabu. Melanggar hukum. Padahal, sejak masa Sultan Abdurrahman Suryan Alam, kebiasaan penduduk membincang masalah agama tidak diganggu-gugat, malah dianjurkan demi cepatnya perkembangan agama Islam, sehingga bukan hal aneh ketika orang melihat penduduk membincang masalah agama di surau, tajug, bale banjar, bahkan di dangau di tengah sawah. Di antara penduduk yang paling giat membincang masalah agama adalah mereka yang tinggal di desa-desa yang terpengaruh ajaran Syaikh Lemah Abang.

Namun, kebiasaan yang sudah menguat itu tiba-tiba dianggap sebagai sesutau yang melanggar tabu dan hukum. Belakangan, sultan yang baru, Tranggana mengubah kebijakan ayahandanya itu. Tranggana kelihatannya sangat dipengaruhi alim ulama Mappila asal Kerala yang menekankan taklid buta kepada pengikutnya sehingga menganggap kebiasaan warga yang biasa membincang masalah-masalah agama sebagai sesuatu yang berbahaya. Tampaknya, para alim Mappila yang didewakan pengikutnya sebagai wali Allah itu merasa terancam dengan daya kritis warga. Selain itu, Tranggana sendiri kelihatannya tidak suka dengan sikap kesederajatan yang ditunjukkan oleh warga pengikut Syaikh Lemah Abang di Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang. Sejak terpuruk menjadi sultan yang hanya mengurusi masalah agama, ia mendapat banyak laporan tentang perilaku penduduk di sekitar Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang yang tidak sekadar membincang agama, tetapi juga masalah pemilihan sultan dan adipati-adipati. Seluruh penduduk yang tinggal di sekitar Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang, menurut laporan, mendukung kepemimpinan Adipati Hunus yang naik takhta karena dipilih. Semua laporan itu makin mengkhawatirkan Tranggana sebab dapat menjadi anasir penentang kekuasaannya kelak. Rupanya, pengaruh ajaran Syaikh Lemah Abang telah meracuni penduduk, termasuk saudaraku, kata Tranggana dalam hati.

Kemarahan Tranggana makin memuncak ketika alim ulama Mappila yang sejak tingga di negeri asalnya suka menjilat kepada penguasa, memanas-manasinya dengan perilaku penduduk yang sudah teracuni oleh ajaran Syaikh Lemah Abang. Mereka yang merasa terancam oleh daya kritis penduduk Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang itu, dengan alasan demi kepentingan kekuasaan dan dukungan dari alim ulama, memohon agar Tranggana membuat keputusan untuk melarang ajaran Syaikh Lemah Abang. Namun, Tranggana yang memahami masalah pemerintahan tidak mengabulkan permohonan alim ulama Mappila tersebut, dengan alasan waktu yang belum tepat dan jaringan persaudaraan para pengikut Syaikh Lemah Abang yang sangat luas dan kuat. Tranggana berjanji jika telah sampai waktu yang tepat, pastilah Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang akan ditundukkan baik dengan siasat pendekatan kekeluargaan maupun dengan kekerasan.

Ternyata, bukan hanya Tranggana yang dipengaruhi alim ulama Mappila. Adipati Hunus pun dipengaruhi pula oleh mereka yang diam-diam sudah menanamkan pengaruh kuat di kalangan penduduk pesisir lewat tradisi-tradisi yang sarat kurafat dan takhayul. Mereka berusaha membakar semangat jihad Adipati Hunus dengan dalil-dalil agama dan dongeng-dongeng takhayul Kerala, dengan tujuan agar sang pemegang kekuasaan atas angkatan perang Jawa itu mengambil tindakan tegas menggempur bangsa �kafir� Portugis. Adipati Hunus sendiri yang sebenarnya sudah mempersiapkan sebuah serangan ke Malaka, karena saudagar-saudagar Japara yang berniaga di bandar tersebut barang empat tahun lalu telah dihina oleh Sultan Malaka, seperti api disiram minyak saja menyikapi hasutan alim ulama Mappila itu. Tanpa berpikir panjang, ia berjanji secepatnya akan menggempur Portugis di Malaka dan kalau berhasil akan dilanjutkan menggempur Cochiza dan Kozhikode.

Sesungguhnya, tak berbeda dengan Tranggana, Adipati Hunus diam-diam memperkuat kedudukannya sebagai raja Jawa untuk mengimbangi langkah-langkah Tranggana dalam memperkuat kekuasaan. Beberapa saat ketika ia mendengar Tranggana menikahkan saudari-saudari iparnya dengan putera-putera Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati, buru-buru ia meminang puteri Syarif Hidayatullah yang lain dari pernikahan dengan Nyi Tepasari, ia berpikir, selain menjadi menantu seorang guru suci yang masyhur di Caruban, ia juga menjadi cucu menantu Menak Lampor Adipati Tepasana, sehingga kekuatan adipati-adipati di wilayah Blambangan yang umumya masih kafir akan berpihak kepadanya. Meski Yang Dipertuan Caruban Sri Mangana menyatakan dukungan kepada Tranggana, dengan menikahi puteri Syarif Hidayatullah yang juga menantu Sri Mangana, kedudukan Caruban akan berada di tengah-tengah jika sewaktu-waktu ia terlibat perselisihan bersenjata dengan Tranggana.

Ketika di Kadipaten Pati terjadi kemelut perebutan kekuasaan antara putera mahkota Raden Darmakusuma dan saudaranya Raden Jatikusuma, Adipati Hunus berpihak kepada Raden Jatikusuma yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya. Ia mengangkat Raden Jatikusuma sebagai adipati Pati, dengan nama Kayu Bralit II, mengikuti nama ayahandanya. Ia tidak sekadar mengangkat sahabatnya itu sebagai pejabat adipati, tetapi memperkuatnya pula dengan pasukan dari Japara. Raden Darmakusuma yang tersingkir lari ke Wirasari bersama keluarganya dan meminta perlindungan kepada sultan Demak. Adik perempuan Raden Darmakusuma inilah yang dihadiahkan Tranggana sebagai selir Raja Pasir Prabu Banyak Belanak.

Sementara, melalui Raden Muhammad Yusuf Adipati Siddhayu, yang merupakan kerabatnya dari pihak ayah, Adipati Hunus menyampaikan pinangan kepada puteri Sultan Malaka. Sultan yang saat itu mengungsi di Bentam menerima baik pinangannya. Sultan Malaka sangat berharap Yang Dipertuan Japara dapat mengambil tindakan tegas terhadap Portugis di Malaka. Demikianlah, dengan bergabungnya semua kekuatan yang bakal mendukungnya � persekutuan adipati ditambah Tepasana, Pati, Malaka, dan Lawe � Adipati Hunus merasa kebesaran Majapahit di masa lampau akan dapat ditegakkan kembali sehingga ia akan menjadi raja agung yang paling besar di zamannya.

Besarnya kekuasaan yang diterima Adipati Hunus yang masih sangat muda usia itu ternyata telah mendorong sikap gegabah dan cepat bangga dirinya. Dukungan dari kerabat dan sahabat-sahabat membuatnya besar kepala. Hari-hari dari kesibukannya memperkuat armada tempur nyaris tak pernah sepi dari puja dan puji tentang kehebatan pasukannya yang paling perkasa di dunia. Ia bangga dengan kapalnya yang dilengkapi meriam-meriam besar yang diikat di geladak kapal, tanpa peduli dengan laporan-laporan tentang bentuk kapal-kapal Portugis yang selalu unggul dalam pertempuran laut. Hari-hari dilewatinya dengan semangat bertempur yang menyala-nyala. Semangat tempurnya makin menyala dan berkobar-kobar ketika seorang Portugis muslim bernama Khwaja Zainal Abidin, yang sangat ahli dalam membuat dan mengoperasikan meriam, yang bekerja di galangan kapal Demak, diperbantukan Tranggana kepadanya untuk membantu perbaikan mutu pengecoran meriam di Japara. Meski awalnya ia curiga dan khawatir dengan orang kiriman Tranggana itu, pada akhirnya ia malah sangat mempercayainya. Bahkan, Khwaja Zainal Abidin yang memiliki nama asli Francisco Barbosa diangkat sebagai penasihat utamanya. Atas nasihat Khwaja, ia memerintahkan kapal-kapal perang Japara yang akan menggempur Malaka dilapisi bahan besi.

Di tengah kesibukan Pangeran Hunus mempersiapkan kekuatan untuk menggempur Malaka dan maraknya kasak-kusuk yang memasalahkan kebiasaan penduduk membincang agama, Tranggana tanpa alasan jelas mendadak memerintahkan para nayaka keagamaannya untuk menertibkan penduduk di kuta Demak yang mengajar agama maupun yang memperbincangkan masalah-masalah agama tanpa wewenang. Lalu, penangkapan-penangkapan pun dilakukan terhadap penduduk yang dianggap bersalah karena mengajarkan agama tanpa izin dari nayaka keagamaan yang ditunjuk sultan. Penangkapan juga dilakukan terhadap penduduk yang kedapatan memperbincangkan masalah agama tanpa melibatkan alim ulama yang ditunjuk sultan. Mereka yang ditangkap itu ada yang dikurung, dicambuk, diusir dari kampung, bahkan beberapa orang di antaranya tak pernah kembali ke desanya.

Ketika armada gabungan Japara, Demak, Pati, Tuban, Samarang, Siddhayu, Rembang, Tetegal, Kendal, dan Tedunan bergerak dan beriringan dari pelabuhan Japara ke barat dengan tujuan utama Malaka, di tengah hingar-bingar penduduk yang mengelu-elukan kegagahan dan kehebatan para pahlawan yang akan menghancurkan kaum kafir, Abdul Jalil yang terpusar aliran manusia di sepanjang pantai tiba-tiba menyaksikan lagi citra bayangan wajah Sang Maut menaungi langit Demak. Ia menangkap sasmita, bayangan wajah Sang Maut yang mengintai di balik gumpalan awan itu tidak lama lagi akan turun ke permukaan bumi, laksana kilatan halilintar yang menyambar-nyambar dalam wujud badai Kematian yang mengerikan.

Penglihatan batin yang berulang-ulang ditangkap Abdul Jalil, ternyata mewujud dalam kenyataan dua tiga hari setelah keberangkatan armada gabungan tersebut. Ketika semua ksatria, pahlawan, pendekar, dan prajurit yang berada di atas kapal-kapal itu sedang dibakar semangat tempur untuk menghalau orang-orang Peranggi (Portugis) dari Malaka, di tengah warga yang masih membincang keperkasaan kapal-kapal raksasa yang dilapisi besi dan dilengkapi meriam-meriam besar, di saat semua orang memuji keagungan dan kebesaran Adipati Hunus Sinuhun Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun Sabrang, penduduk kuta Demak justru melihat iring-iringan barisan orang berjubah putih mengibarkan panji-panji putih dan bersenjata tombak bergerak keluar dari kuta Demak. Lalu, seperti kawanan hewan buas haus darah yang kelaparan, iring-iringan demi iring-iringan barisan putih itu menyebar dan berkeliaran menuju desa-desa di tlatah Demak, terutama desa-desa yang terletak tidak jauh dari Randu Sanga, kediaman Pangeran Panggung.

Ketika sampai di ujung desa-desa yang dituju, alim ulama yang memimpin iring-iringan pasukan bertombak itu menghentikan langkah tepat di jalan utama desa. Kemudian, dengan suara lantang mereka berteriak keras menyitir ayat-ayat al-Qur�an, �Sesungguhnya, agama yang diridhoi di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran: 19). Barangsiapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidak akan diterima daripadanya (QS. Ali Imran: 85). Sebab itu, orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi masih mencari-cari tafsiran lain sehingga menjadikan Islam bukan Islam, akan sia-sialah usahanya itu. Orang muslim semacam itu sesungguhnya telah murtad karena membuat agama baru. Dan, tidak ada hukuman paling tepat dari orang-orang yang murtad kecuali Kematian.�

Seiring berakhirnya suara sang alim, terdengar suara gemuruh orang-orang meneriakkan takbir, mengagungkan kebesaran Allah, sambil mengacung-acungkan tombak. Disertai pekikan perang sahut-menyahut, iring-iringan barisan seba putih itu bergerak cepat dahulu-mendahului memasuki desa. Suara derap langkah dan pekikan yang membelah ketenangan mengejutkan penduduk. Semua mata diarahkan pada suara gemuruh. Semua mata pun membelalak ketika menyaksikan peristiwa tak tersangka-sangka yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan: tombak-tombak menghambur, mata-mata terbelalak, pedang-pedang berkelebat, mulut-mulut terngaga, tangan-tangan menggapai ke atas, leher-leher tersembelih, darah semburat ke mana-mana, dada-dada berlubang, kepala-kepala bergelindingan, serta tubuh-tubuh bertumbangan di atas bumi di tengah jerit Kematian dan lolongan ketakutan. Para alim dengan satuan-satuan bersenjata tombak, abdi setia Sultan Tranggana, sedang menjalankan tugas suci melakukan penertiban terhadap penduduk yang telah menyelewengkan agama, menghina alim ulama, membangun agama baru, murtad dari agama. Demikian kabar yang tersebar dari mulut ke mulut yang seketika menyulut rasa takut setiap orang.

Rupanya, setelah merasa waktu yang ditunggunya tiba, Tranggana, dengan tindakan yang sangat tidak terduga, menjulurkan tangan kekuasaannya untuk memperkukuh kuasa dan wibawanya sebagai sayidin panatagama. Para pemuka agama yang mengajar agama tanpa izin dan penduduk yang suka membincang masalah agama tanpa melibatkan alim ulama didatangi oleh satuan-satuan bersenjata tombak yang dipimpin alim ulama utusan sultan. Mula-mula para alim itu berusaha menggiring mereka untuk mengiblatkan kesetiaan hanya kepada sultan Demak. Para pemuka agama yang menerima akan diberikan izin mengajar dan diangkat menjadi abdi setia sultan dan beroleh hadiah-hadiah. Sementara, mereka yang menolak atau mereka yang dinilai masih menduakan kesetiaan kepada selain sultan dikenai tuduhan-tuduhan berat, seperti mengajarkan agama tanpa izin, menyelewengkan agama, mengikuti paham sesat, memberikan pelajaran agama yang berbahaya kepada umat, berseberangan dengan paham dan madzhab resmi yang dianut sultan, bahkan murtad. Para pemuka agama yang tidak menduga bakal diserang oleh orang-orang bersenjata itu tidak memiliki pilihan lain kecuali pasrah dan menerima kematian. Bagi yang sempat menyelamatkan diri, mereka menyelinap pergi meninggalkan rumah dan keluarga.

Di tengah tiupan badai Kebinasaan yang diembuskan Tranggana yang menyambar-nyambar ganas itu, Abdul Jalil berdiri tegak bagai tugu batu dengan rasa malu menguasai seluruh jiwanya. Ia benar-benar malu menyaksikan kekejaman dan kebrutalan kaki tangan Tranggana yang mengatasnamakan agama untuk melampiaskan desakan nafsu rendah kekuasaan duniawi. Ia malu dengan orang-orang yang menyandang gelar alim ulama dan bahkan guru suci, tetapi tugas utamanya merangkak di depan penguasa duniawi dan menjalankan semua tugas yang dititahkan sang penguasa kepada mereka. Ia sungguh merasakan bagaimana rasa malu itu menjalar di jiwanya dan perlahan-lahan naik dari telapak kaki menerobos ke ubun-ubun. Ia malu sungguh malu ketika menyaksikan tubuh-tubuh manusia tak bernyawa bertumbangan ke atas tanah di tengah tawa kegirangan orang-orang yang mengaku prajurit-prajurit Allah (jundullah), pengawal agama. Saat itu ia benar-benar ingin memalingkan muka dan menjauhi pemandangan terkutuk itu. Namun, ia segera sadar bahwa apa yang disaksikannya itu adalah bagian dari perjalanan dirinya menjadi �yang sendiri�, sehingga ia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali membiarkannya begitu saja sebagai sesuatu yang sudah dikehendaki-Nya. Bahkan ia hanya memejamkan mata dan menahan napas ketika mendapat kabar bahwa Pangeran Panggung, saudara sultan yang juga muridnya, dinyatakan buron dan desa Randu Sanga diratakan dengan tanah, seluruh penghuninya diusir keluar dari wilayah Kadipaten Demak.

Abdul Jalil sadar, derajat ruhani �yang sendiri� yang sudah diperolehnya dengan perlambang nawalah dari Misykat al-Marhum, pada hakikatnya bukanlah suatu kedudukan yang utuh dan sempurna sebagai penanda kedudukannya. Citra al-fard yang disandangnya bukan sesuatu yang �sudah jadi� sebagaimana pangkat dan jabatan yang diperoleh seorang punggawa dari rajanyae ia bukan buah yang sudah matang dan tinggal dipetik di pohonnya. Ia bukan pula seperti pengantin yang menggambarkan persatuan dua orang mempelai di pelaminan. Ia bahkan bukan suatu kedudukan (maqam), keadaan (hal), tingkatan (makanah), atau derajat (martabat) yang bisa disebut �sudah mapan� secara utuh dan sempurna. Sebaliknya, kedudukan ruhani �yang sendiri� yang disandangnya hendaknya dipahami sebagai suatu proses �untuk menjadi�. Itu berarti, ia yang sudah ditempatkan pada kedudukan ruhani �yang sendiri� dengan pertanda nawalah bukanlah seseorang yang sudah menjadi �yang sendiri� dalam makna utuh, melainkan ia adalah seseorang yang sedang berada pada kedudukan �akan menjadi� atau �untuk menjadi� atau �bakal menjadi� seseorang yang menduduki derajat ruhani �yang sendiri�.

Abdul Jalil sadar, menjadi �yang sendiri� tidak berarti harus hidup mengucilkan diri meninggalkan Kehidupan duniawi dengan menjadi pertapa yang mengasingkan diri di gua-gua atau hutan-hutan. Sebaliknya, menjadi �yang sendiri� harus dimaknai sebagai proses pelepasan dari segala sesuatu yang melekat, terikat, terhubung, terjalin, atau memiliki kaitan dengan keberadaan �aku� yang sedang mengalami proses menjadi �yang sendiri�. Lantaran itu, ia merasa dituntut oleh suatu keharusan untuk menyiapkan diri menjadi �aku� yang �tunggal�, �aku� yang �terkucil�, �aku� yang tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan segala citra kemanusiaan. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa keakuannya sedang mengalami �proses menjadi� sesuatu yang benar-benar tunggal, sebatang kara, mufrad, tiada duanya, esa yang unik; sebuah ketunggalan yang mencerminkan citra Keberadaan Yang Tunggal Tak Terbandingkan (al-Fard).

Sadar bahwa sebagai seseorang yang sedang mengalami proses menjadi �yang sendiri� akan melampaui proses pelepasan-pelepasan segala citra diri yang masih menempel pada dirinya, Abdul Jalil pun dalam menjalani proses tersebut membiarkan semuanya terjadi sesuai kehendak-Nya. Ia membiarkan keakuannya ditinggalkan, dilepaskan, dijauhkan, dibersihkan, dan disucikan dari segala sesuatu yang bersifat �tempelan� sementara, seperti nama besar, kedudukan dan derajat ruhani, karya, jasa, amaliah, dan segala sesuatu yang menyangkut citra diri kemanusiaan kecuali Yang Tunggal Tak Terbandingkan. Ia sadar, rentang waktu yang harus ia lampaui untuk menjadi �yang sendiri� adalah rentang waktu yang sangat panjang dan tidak diketahui kapan berak hirnya. Ia sadar, selama itu pula ia akan merasakan waktu berjalan sangat lambat dengan kehilangan demi kehilangan citra dirinya, sampai semua yang �menempel� pada keakuannya habis tak tersisa.

Read More ->>

DUA PENGUASA BEREBUT KUASA

Dua Penguasa Berebut Kuasa

    Paparan Ahmad Mubasyarah at-Tawallud tentang amukan badai Kebinasaan di berbagai negeri di barat seketika mengingatkan Abdul Jalil tentang pemukiman-pemukiman baru orang-orang asing di Surabaya, Gresik, Tuban, Lasem, dan Demak yang dijumpainya selama ia berkeliling mengunjugi dukuh-dukuh larangan dan caturbhasa mandala. Rupanya, tiupan dahsyat badai Kebinasaan yang melanda bumi Persia, Khanat Bukhara, Samarkand, Ferghana, dan Afghan telah menimbulkan ketakutan penduduk di negeri tersebut. Kekalahan, kekejaman, kemenangan, kebiadaban, kegagahan, ketertindasan, kepongahan, kebencian, keberanian, kekuatan, dan ketidakberdayaan yang tumpang tindih di tengah bayangan Kematian telah mengaduk-aduk jiwa manusia-manusia yang kalah. Di tengah hiruk Kebinasaan tersebut, para pemuka pihak yang kalah, para pemimpin marga yang enggan tunduk kepada pemenang, guru-guru ruhani dan murid-muridnya yang teraniaya, dan warga yang ketakutan terpusar dalam ketidakberdayaan yang membingungkan. Mereka saling pandang dan saling bincang. Lalu, mereka bersepakat meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk mencari keselamatan di negeri lain.

Seperti layaknya hewan yang mengetahui ke mana harus bersembunyi ketika bahaya mengancam, manusia-manusia kalah yang jiwanya didera ketakutan dan pikirannya diaduk-aduk kebingungan itu pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka, menuju negeri yang tersembunyi di balik kabut; negeri surgawi penuh harapan dengan gunung-gunungnya yang biru dilimpahi kesuburan, biji-bijian menguning membentuk bukit-bukit makanan, buah-buahan ranum menyegarkan, susu dan madu melimpah ruah, gemericik air sungai yang mengumandangkan nyanyian Kehidupan, dan senyuman ramah penghuninya yang setengah telanjang; surga dunia yang sejak zaman kuno disebut orang negeri Jawi (sebutan pelaut-pelaut Arab untuk pulau-pulau Nusantara di masa silam) yang terhampar laksana untaian permata zamrud di tengah lautan.

Ketika waktu berlalu dan cakrawala Kehidupan terbit dengan harapan baru, para pencari keselamatan itu telah terlihat bermunculan di sepanjang pantai negeri Jawi. Dengan ketakjuban luar biasa, mereka yang merasa telah sampai di negeri surgawi itu beramai-ramai tinggal di negeri harapan yang mereka impikan. Mereka mendatangi penguasa-penguasa negeri dan dengan bahasa isyarat mereka meminta izin tinggal di situ. Penduduk negeri Jawi yang terheran-heran melihat kehadiran orang-orang asing di negeri mereka, menyebut mereka sebagai wong kabur kanginan (orang-orang terbawa badai) asal negeri Rum, yaitu negeri kediaman orang-orang berwajah rupawan di negeri Atas Angin di angkasa.

Tercekam oleh paparan Ahmad at-Tawallud dan penglihatan batin yang disaksikannya di atas langit Demak, Abdul Jalil ingin mengetahui apakah gerangan yang sedang terjadi di negeri Demak sehingga memiliki kaitan dengan badai Kebinasaan yang sudah mengamuk lebih dulu di barat. Apakah kedatangan orang-orang yang terbawa badai dari negeri-negeri tersebut bakal menjadi salah satu penyebab berembusnya badai Kebinasaan di Nusa Jawa? Apakah yang sesungguhnya terjadi di Kesultanan Demak setelah mangkatnya Sultan Abdurrahman Surya Alam Senapati Jimbun Panembahan Palembang Sayidin Panatagama?

Usai mengantar guru terkasihnya, ia buru-buru menemui Gagak Cemani, seorang pengikutnya yang tinggal di kuta Demak. Ia menitipkan istri dan puteranya kepada Gagak Cemani. Setelah itu, seorang diri ia melangkahkan kaki menuju Masjid Agung Demak. Namun, saat berada di alun-alun ia merasakan hawa aneh melingkupi daerah tersebut. Tanpa sengaja ia menangkap kelebatan empat sosok bayangan hitam yang melintas cepat di depannya dalam jarak sekitar sepuluh tombak. Ia tahu bayangan yang berkelebat itu bukanlah manusia, melainkan bangsa jin. Lalu, dengan bahasa perlambang ia memanggil mereka. Keempat bayangan hitam itu berhenti seketika dan melesat berbalik arah. Ternyata, mereka adalah Ratu Rara Dhenok, jin penguasa Demak. Ia didampingi Ratu Banjaransari, jin penguasa Pengging, Sapujagad, jin penguasa Jipang, dan Barat Katiga, jin penguasa Samarang. Dengan terheran-heran, Abdul Jalil melihat keempat pemuka jin itu dan bertanya, �Ada keperluan apakah sehingga kalian yang datang dari Jipang, Pengging, dan Samarang berada di Demak?�

Ratu Banjaransari dengan sikap sangat hormat menjawab, �Kami sedang merencanakan pesta, paduka.�

�Pesta darah, maksudmu?� sergah Abdul Jalil.

�Benar Paduka.�

�Apakah itu karena ada kemelut pergantian kekuasaan di Demak?�

�Paduka sudah lebih tahu tentang itu.�

Abdul Jalil diam. Ia sadar, cepat atau lambat badai Kebinasaan akan berembus dengan dahsyat di Nusa Jawa. Ia sadar, berkuasanya dua orang raja setelah mangkatnya Sultan Abdurrahman Surya Alam akan berbuntut pesta darah para jin. Sebab, perebutan pengaruh masing-masing raja yang akan memanfaatkan apa saja yang bisa mereka gunakan untuk mengukuhkan kekuasannya. Orang-orang terbawa badai sangat mungkin akan dijadikan alat oleh salah satu di antara dua penguasa tersebut untuk memperkuat kekuasaannya. Itu berarti, embusan badai Kebinasaan yang akan memporak-porandakan keberadaan umat Islam di Nusa Jawa tidak akan dapat dihindari lagi. Para jin pasti akan mensyukuri Kebinasaan itu dalam pesta darah yang menjadi hak mereka dari zaman ke zaman.

Tengara bakal berembusnya badai Kebinasaan di Nusa Jawa makin kuat ditangkap Abdul Jalil manakala ia menyaksikan kenyataan-kenyataan yang berkaitan dengan keberadaan orang-orang terbawa badai itu, bagaikan sebuah rangkaian cerita yang sudah diatur.

Tidak lama setelah kedatangan orang-orang terbawa badai asal Persia, Khanat Bukhara, Samarkand, Ferghana, dan Afghan, datang pula orang-orang terbawa badai asal Goa dan Malaka yang negerinya jatuh ke tangan Portugis. Tidak lama setelah itu, di sepanjang pantai utara Nusa Jawa terlihat iring-iringan jung besar dan kecil yang memuat penduduk muslim asal daratan Cina. Mereka adalah saudagar-saudagar Cina yang lari dari tanah kelahiran akibat amukan badai Kebinasaan yang berembus dari istana Kaisar Langit. Menurut kabar yang beredar, berita pengkhianatan saudagar-saudagar Cina Cochizha yang menawarkan bantuan kepada Portugis yang disusul jatuhnya Malaka, telah membuat Kaisar Langit sangat murka, terutama ketika para pangeran tua asal Malaka, keturunan Sultan Mansyur Syah dan Puteri Hang Li Po, menghadap dan membenarkan kabar pengkhianatan tersebut.

Kaisar Langit yang ingin melindungi kerajaannya dari pengkhianatan kemudian mengambil tindakan tegas: mengeluarkan titah pembakaran atas semua kapal milik saudagar di seluruh negeri. Seiring bergemanya titah tersebut, berembuslah angin berapi yang makin lama makin membesar menjadi badai Kebinasaan yang menghancurleburkan semua kapal milik saudagar Cina yang berserak di sepanjang pantai daratan Cina. Tanpa peduli apakah saudagar tersebut memiliki hubungan dengan saudagar Cochizha, pembinasaan terus dilakukan dengan sangat ganas dan tak kenal ampun. Kepulan asap dan kobaran api memenuhi garis pantai Cina yang memanjang dari selatan ke utara, laksana naga api mengamuk. Celakanya, bagian terbesar saudagar Cina yang berniaga di lautan adalah muslim seperti saudagar-saudagar Cina Cochizha.

Di tengah amukan badai berapi yang tak memilih-milih sasaran itu, ikut terbakarlah perahu-perahu kecil dan sebagian rumah para saudagar. Bingung, panik, takut, dan rasa putus asa menerka jiwa orang-orang tak bersalah yang berlarian di tengah gemerecik runtuhnya benda-benda yang hangus menghitam. Bayangan wajah Kematian tampak menyeringai ganas di cakrawala negeri Cina. Ke mana pun orang berpaling, hanya bayangan wajah Kematian yang terpampang mengerikan. Sekumpulan demi sekumpulan manusia tak bersalah itu meloloskan diri dari terkaman Kematian. Dengan jung-jung dan perahu-perahu kecil yang tersisa, mereka berduyun-duyun membawa keluarganya pergi meninggalkan tanah kelahiran, mengarungi lautan menuju negeri surgawi harapan di laut selatan. Sebagaimana orang-orang terbawa badai sebelumnya, para saudagar Cina yang terusir dari negerinya itu tinggal di pantai-pantai negeri Jawi.

Di tengah hiruk menjamurnya pemukiman baru orang-orang terbawa badai itu, menyeruakah seekor ular hitam bermahkota emas dari reruntuhan jiwa pewaris kesultanan Demak: Tranggana. Penguasa yang diamuk amarah akibat kehilangan kuasa dan wibawa itu tiba-tiba merasakan tubuhnya digetari semangat berkobar-kobar ketika menyaksikan tumbuhnya hunian-hunian baru pemukim asing di wilayahnya. Ular hitam bermahkota emas yang selama bertahun-tahun selalu menggulung dalam tidur beku, tiba-tiba mendongakkan kepala dan mendorong jiwanya untuk mendaki puncak kekuasaan yang telah melemparkannya ke jurang memalukan sebagai raja tanpa mahkota. �Bangkit dan pimpinlah bangsa-bangsa yang datang terbawa angin itu untuk merebut kekuasaanmu!� titah ular hitam bermahkota emas kepada Tranggana dengan suara mendesis-desis.

Tranggana, putera Sultan Demak, belum genap dua puluh lima usianya ketika menggantikan takhta ayahandanya. Ia dikenal orang sebagai pangeran yang sangat suka mengumbar nafsu, menikmati kesenangan-kesenangan syahwat. Ia seolah tidak pernah peduli dengan masalah pemerintahan sebagaimana kakaknya, Pangeran Sabrang Lor. Ia sangat bangga dikelilingi perempuan cantik yang menyanjung dan memujinya. Dalam usia lima belas tahun ia sudah memiliki tiga empat orang anak dari selir-selirnya. Lantaran hari-hari hidupnya penuh warna-warni kesenangan, tidak satu pun orang menduga ia bakal naik takhta menggantikan ayahandanya. Sehingga, saat ia naik takhta menjadi Yang Dipertuan Demak, orang mendecakkan mulut menahan napas.

Memang banyak yang terkejut dengan kenaikan mendadak Tranggana ke takhta kesultanan. Pada saat ayahandanya mangkant, orang hanya memilih harapan kepada putera sultan tertua, Pangeran Sabrang Lor. Namun, tidak ada yang menyangka, belum genap tiga tahun berkuasa, ketika akan dinobatkan menjadi pemimpin persekutuan adipati-adipati pesisir dengan gelar sultan oleh Majelis Wali Songo, tiba-tiba Pangeran Sabrang Lor sakit keras dan meninggal secara mendadak. Kebingungan pun terjadi di antara keluarga sultan sebab sepeninggalnya, putera Sultan Abdurrahman Surya Alam dari permaisuri Ratu Asyiqah yang memiliki hak atas takhta hanyalah Tranggana, karena saudaranya yang lain, Pangeran Kanduruwan yang menjadi manghuri (sekretaris negara) Ratu Sri Maskumambang di Japan, dan adiknya, Pangeran Panggung, yang tinggal di Randu Sanga, adalah putera-putera sultan dari selir. Dengan demikian, meski semua mengetahui jika Tranggana bukan pemimpin dan negarawan unggul seperti ayahandanya dan kakaknya, semua tidak memiliki pilihan lain untuk tidak memilihnya sebagai penguasa baru Demak.

Sekalipun keluarga dan kerabat sultan akhirnya sepakat menunjuk Tranggana sebagai Yang Dipertuan Demak, untuk jabatan sultan-pemimpin tertinggi persekutuan adipati-adipati pesisir utara Jawa-dibutuhkan kesepakatan para adipati yang tergabung dalam persekutuan tersebut untuk memilihnya. Tapi, kabar tentang kelakuan buruk Tranggana sudah didengar tiap telinga dan disaksikan setiap mata sehingga diam-diam para adipati pesisir tidak bersimpati kepadanya. Pada saat seperti itu adipati Tedunan, Rembang, Tetegal, Samarang, dan Siddhayu memanfaatkan keadaan untuk mempengaruhi adipati yang lain agar tidak memilih Tranggana sebagai pemimpin tertinggi persekutuan. Lalu, terjadi perubahan sejarah yang tidak terduga-duga. Dengan alasan mengikuti kaidah-kaidah khalifah yang sudah disepakati bersama, para adipati pesisir utara Jawa yang berkumpul di Masjid Agung Demak memilih Pangeran Hunus Adipati Japara, adik ipar Tranggana, sebagai pemimpin tertinggi mereka. Mereka memberi gelar penguasa pilihan mereka itu: Adipati Hunus Senapati Jimbun Sabrang.

Kesepakatan para adipati pesisir utara Jawa untuk memilih Pangeran Hunus sebagai pemimpin tertinggi mereka adalah sama maknanya dengan menunjuk adipati Japara itu sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (adipati) dan komando angkatan perang (senapati) yang menggantikan kedudukan mertuanya, Sultan Abdurrahman Surya Alam. Itu berarti, Pangeran Hunuslah satu-satunya penguasa yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan kekuatan militer di seluruh kadipaten pesisir. Hal itu tidak bisa ditafsirkan lain, kecuali: kedudukan pemimpin tertinggi persekutuan adipati pesisir utara Jawa telah pindah dari Demak ke Japara. Bahkan, dengan naiknya Pangeran Hunus sebagai pengganti mertuanya, menunjuk bukti betapa persekutuan marga Orob yang berkuasa di Kadipaten Tedunan, Rembang, Tetegal, dan Siddhayu telah berhasil menggalang kekuatan besar di Nusa Jawa.

Tindakan para adipati memilih Pangeran Hunus adalah tamparan keras bagi Tranggana.ia menganggap tindakan itu merupakan usaha terang-terangan untuk meminggirkannya dari kekuasaan atas Jawa yang diwariskan ayahandanya. Tindakan para adipati itu bagi Tranggana adalah persengkongkolan jahat yang telah mengerdilkan kekuasaannya menjadi tidak lebih luas dari wilayah Kadipaten Demak. Itu adalah suatu penghinaan besar. Yang paling menyakitkan hati, Pangeran Panggung, saudara tirinya justru mendukung kepemimpinan Pangeran Hunus dengan alasan sesuai kaidah-kaidah khalifah, kekuasaan yang sah adalah yang sesuai dengan hasil pemilihan yang disepakati. Padahal kakak kandung Pangeran Panggung, yaitu Pangeran Kanduruwan, tegas-tegas menyatakan dukungan kepadanya.

Andaikata tidak disadarkan 0leh sahabatnya, Pangeran Zainal Abidin Susuhunan Dalem Timur, putera Prabu Satmata Susuhunan Giri Kedhaton, Tranggana yang sudah dibakar amarah akibat tersingkir dari takhta kesultanan itu akan mengambil jalan pintas: merebut kekuasaan dari tangan Pangeran Hunus dengan kekerasan. Ia akan menggempur adipati Samarang, Pangeran Mangkubhumi, putera Pangeran Pandanarang, saudara sepupu yang dianggapnya berkhianat. Ia juga akan menyingkirkan saudara tirinya, Pangeran Panggung, yang dianggapnya berkhianat pula. Jika hal itu terjadi, dipastikan ia akan terperosok ke jurang kehancuran karena Pangeran Hunus didukung oleh kerabat dan sahabat-sahabatnya yang menjadi adipati di Rembang, Tetegal, Japara, Tedunan, Siddhayu, Samarang. Sementara, Pangeran Panggung pun memiliki hubungan kuat dengan pemuka-pemuka dukuh Lemah Abang karena ia adalah murid Syaikh Lemah Abang.

Akhirnya, berkat nasihat dari Susuhunan Dalem Timur, Tranggana mengurungkan niat, baik merebut kekuasaan dari Pangeran Hunus maupun keinginan menggempur adipati Samarang dan membunuh saudara tirinya, Pangeran Panggung. Ia sadar, kedudukannya sebagai pewaris takhta sedang berada pada rentangan masa yang sulit. Ia sadar, dirinya tidak saja telah ditinggalkan kuasa dan wibawa, tetapi keluarganya pun sudah terpecah-belah dalam kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. Dibanding adik iparnya, Pangeran Hunus, ia bukanlah apa-apa karena keberadaannya tidak lebih dari seekor singa tanpa gigi tanpa cakar yang duduk di depan gua.

Tranggana yang sudah dikuasai nafsu berkuasa itu ternyata tidak menyerah. Ia yang sudah dicekam harapan untuk berkuasa sebagai raja Jawa sebagaimana ayahandanya, diam-diam melakukan usaha-usaha yang sangat hati-hati untuk menyusun kekuatan demi mewujudkan harapannya. Ia menyadari, saat itu satu-satunya tiang penopang kekuasaannya yang bisa diandalkannya hanyalah Majelis Wali Songo, yang kebetulan dipimpin oleh sahabatnya, Pangeran Zainal Abidin Susuhunan Dalem Timur. Ia juga menyadari hanya Majelis Wali Songolah satu-satunya majelis yang memiliki kewenangan untuk melantik seorang adipati pemimpin persekutuan dengan gelar sutan, selain berwenang menganugerahi gelar keagamaan Sayidin Panatagama kepada sultan.

Sadar dirisnya terjepit di tengah rentangan waktu yang makin mendesak, Tranggana diam-diam menggeliat untuk tidak berdiam diri menunggu nasib. Ia sadar, di tengah keterjepitan kedudukannya itu ia harus berpacu dengan waktu untuk berlomba kecepatan menghambat jadwal pelantikan Pangeran Hunus sebagai sultan. Diam-diam ia berusaha keras agar Pangeran Hunus hanya dilantik oleh Majelis Wali Songo sebagai adipati dan senapati, sebagaimana hasil pemilihan adipati-adipati. Itu berarti, jabatan sayidin panatagama yang belum diperoleh Pangeran Hunus dari Majelis Wali Songo akan direbutnya. Tranggana berpikir, biarlah untuk sementara dia menjadi pemimpin keagamaan asalkan memiliki wilayah kekuasaan di pesisir Jawa. Untuk menggapai tujuan itu, ia harus mendapatkan simpati dari Majelis Wali Songo. Lalu, Tranggana pun mengumumkan rencana perluasan Masjid Agung Demak yang akan dijadikan masjid agung terbesar dan termegah di Nusa Jawa sekaligus menjadi salah satu tempat pertemuan Majelis Wali Songo paling terhormat.

Siasat Tranggana memperluas Masjid Agung Demak terbukti membawa hasil tak terduga-duga. Pertama-tama, pelantikan sultan hasil pilihan adipati-adipati yang akan dilakukan di Masjid Agung Demak menjadi tertunda sampai pengerjaan perluasan masjid selesai. Selama rentang waktu perluasan masjid, Tranggana memperkuat kedudukan dengan memanfaatkan semuda hal yang dapat dimanfaatkan. Secara diam-diam ia mengirim saudarinya, Nyi Mas Ratu Winong, ke Wirasabha untuk dinikahi oleh saudara sepupunya, Pangeran Arya Terung, putera Raden Kusen. Alih-alih menikahkan adik perempuannya, Tranggana menyuruh Pangeran Arya Terung untuk meminta hak atas Kadipaten Sengguruh yang dikuasai Raden Pramana, putera Patih Mahodara. Merasa nasihat Tranggana itu sangat baik, Pangeran Arya Terung membawa pasukan dari Wirasabha dan menggempur Kadipaten Sengguruh dari arah utara. Tanpa kesulitan berarti, Pangeran Arya Terung mengalahkan dan mengusir Raden Pramana, yang menjadi adipati di Sengguruh. Pangeran Arya Terung kemudian mengangkat diri menjadi adipati Sengguruh. Para pemuka penduduk di Kadipaten Sengguruh menerima baik kepemimpinan Arya Terung, sebab mereka menganggap Kadipaten Sengguruh adalah bagian dari kekuasaan Bhre Tumapel, kakek buyut Pangeran Arya Terung dari pihak ibu, sehingga putera Raden Kusen itu dianggap lebih berhak menjadi adipati di Sengguruh daripada Raden Pramana yang hanya keturunan seorang patih. Dengan berkuasanya Pangeran Arya Terung di Sengguruh, Tranggana telah memiliki satu kekuatan pendukung di pedalaman Nusa Jawa.

Ketika perluasan masjid Demak selesai dan peresmiannya dihadiri Majelis Wali Songo, terjadilah peristiwa langka yang sebelumnya belum pernah terjadi: Majelis Wali Songo tiba-tiba melantik dua orang penguasa dengan kekuasaan dan kewenangan dan gelar berbeda. Pertama-tama, Majelis Wali Songo melantik Tranggana sebagai sultan dengan gelar kebesaran Sultan Ahmad Abdul Arifin Ki Mas Palembang Sayidin Panatagama. Dengan gelar itu, Tranggana secara sah telah memiliki kekuasaan ruhani untuk mengatur kehidupan beragama penduduk di Nusa Jawa. Itu berarti, Tranggana telah memegang otoritas kekuasaan di bidang agama, yakni sayidin panatagama yang merupakan pelaksana kekuasaan Majelis Wali Songo selaku pemimpin ruhani umat (imam al-ummah).

Setelah melantik Tranggana, Majelis Wali Songo melantik Pangeran Hunus yang telah dipilih para adipati-adipati persekutuan adipati dengan gelar kebesaran Adipati Hunus Sinihun Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun Sabrang. Dengan dikukuhkannya gelar Adipati Hunus pada Pangeran Hunus dan gelar Ki Mas Palembang pada Tranggana, sesungguhnya Majelis Wali Songo secara simbolik tidak saja telah memilahkan secara tegas kekuasaan sultan dan adipati dengan wewenangnya masing-masing, tetapi yang tak kalah penting adalah memilahkan kedudukan garis nasab masing-masing, di mana nama Hunus sama makna dengan Orob menunjuk bahwa pemilik nama tersebut adalah bagian dari marga Orob, bangsawan asal Lawe, Barunadwipa, sedang nama Ki Mas Palembang menunjuk bahwa pemilik nama adalah keturunan sultan pertama Demak, Panembahan Palembang. Dengan kebijakan itu, api di dalam sekam yang selama itu membara di bawah permukaan Kesultanan Demak untuk sementara dapat dipadamkan, karena dua orang penguasa pengganti Sultan Abdurrahman Surya Alam sudah memiliki kedudukan dan kewenangan sendiri-sendiri, baik kedudukan dalam garis nasab maupun kedudukan di dalam mengatur kekuasaan masing-masing; sultan Demak berkedudukan di Demak dan Adipati Hunus berkedudukan di Japara.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers