Kamis, 26 Januari 2017

PARA PENGHINDAR KEMATIAN

Para Penghindar Kematian

Pantai Kalisapu yang terletak di selatan pelabuhan Muara Jati adalah salah satu tempat yang dijadikan hunian sementara para pengungsi asal Kuta Caruban. Dilihat dari laut tampak gubuk-gubuk beratap ilalang dan tenda-tenda kain sejak tepian pantai hingga ke kaki Gunung Jati yang melatarbelakanginya. Bagaikan bercak-bercak hitam dan putih, berkerumun-kerumun di antara batang-batang pohon kelapa. Gubuk dan tenda itu sulit digambarkan karena sudah tak karuan warnanya, kumuh, penuh dilepoti tanah dan pasir berlumpur. Semakin didekati, kekumuhannya makin sulit digambarkan, karena bukan hanya warnanya yang tak karuan, melainkan bau menyengat yang mengitarinya membuat bulu kuduk meremang. Sapi, kerbau, dan kambing yang ditambat di batang-batang pohon kelapa dekat gubuk-gubuk telah membuat perut serasa diremas-remas dan kepala pening. Sementara puluhan bebek dan ayam yang ditempatkan di kandang-kandang bambu kotor, memberikan andil tidak sedikit dalam menebarkan kemuakan.

Di pengujung musim hujan ini deretan gubuk dan tenda kumuh itu terus-menerus diguyur hujan lebat disertai angin dan halilintar. Jika hujan melebat, debu merah yang menempel di daunan dan atap-atap terlihat berdesak-desakan turun menuju permukaan tanah, menggenang, dan kemudian menjadi kubangan keruh berwarna coklat kemerahan. Tidak hanya debu, tetapi tahi sapi, tahi kerbau, tahi kambing, tahi bebek, dan tahi ayam pun berbaris bersama air hujan menuju kubangan demi kubangan. Hujan yang tak kenal waktu telah mengubah tanah menjadi kubangan lumpur berupa gumpalan lempung bercampur kotoran mirip sawah yang baru dibajak dan ditaburi rabuk. Bagaikan kerumunan makhluk aneh, gubuk dan tenda kumuh itu meringkuk kedinginan di tengah kubangan lumpur raksasa. Tidak ada suara di situ selain rintik hujan, desau angin, gemuruh guruh, ledakan halilintar, tangis anak kecil, dan gerutu orang-orang yang mengutuk hujan tak kenal istirahat.

Selama empat pekan lebih tinggal di dalam gubuk-gubuk dan tenda-tenda kumuh itu, para pengungsi selalu menggerutu. Mereka menggerutu karena hujan telah membuat tanah becek dan berlumpur dan kemudian mengalir ke dalam gubuk. Mereka menggerutu pada nyamuk-nyamuk ganas yang mengisap darah. Mereka menggerutu karena persediaan makanan sudah habis dan air untuk minum pun sangat keruh. Mereka menggerutu dan bahkan berkeluh-kesah ketika salah satu anggota keluarga jatuh sakit.

Bagi para pengungsi, bukan hanya debu, pasir, tanah, dan hujan yang teraduk menjadi kubangan lumpur bergumpal lempung. Jiwa mereka pun dari waktu ke waktu diaduk-aduk oleh kecemasan, ketakutan, kegamangan, dan kebingungan akibat peperangan yang berkecamuk dengan simpang-siur berita yang tidak menentu. Jiwa mereka sekeruh lumpur dan teraduk-aduk. Ketidakpastian telah membanting-banting jiwa dan raga. Di tengah keremukluluhan itulah mereka dengan harap-harap cemas akan menanya siapa saja di antara orang yang datang ke situ tentang ini dan itu sekitar kecamuk perang. Bahkan di tengah hujan lebat pun, dengan bertudung daun pisang, para lelaki akan keluar dari gubuk untuk menanya siapa saja di antara orang-orang yang datang; apakah perang masih berlanjut atau sudah selesai.

Sebelum senja turun, ketika peperangan memasuki pekan kelima, serombongan orang sekitar lima belas jumlahnya terlihat beriringan melewati hunian para pengungsi di Kalisapu. Mereka berjalan dari arah pelabuhan Muara Jati ke Gunung Jati. Mereka adalah Abdul Jalil, Syarif Hidayatullah, Raden Qasim, Raden Sulaiman, Abdul Halim Tan Eng Hoat putera Abdurrahman Tan King Ham, Wiku Suta Lokeswara dan siswa-siswanya. Saat berangkat dari pelabuhan Kendal rombongan itu berjumlah empat puluh orang, namun di Kebon Pesisir rombongan itu dibagi dua. Yang pertama, Abdul Malik Israil dan istri cucunya, Nyi Tepasari, bersama para pengawal menuju Kuta Caruban melalui Sungai Suba. Rombongan kedua, Abdul Jalil dan kawan-kawan yang mendarat di Muara Jati dengan tujuan ingin menyaksikan kebenaran kabar yang menuturkan banyak pengungsi di Kalisapu menderita karena kekurangan makan dan diganyang penyakit.

Saat Abdul Jalil dan rombongan mendekati hunian para pengungsi, hujan sudah mulai reda, namun rintik-rintiknya masih tersisa membasahi apa saja yang ada di sana. Ketika kaki-kaki mereka yang kotor dilepoti lumpur melintas di atas jalan becek, beberapa kepala terjulur dari balik tenda untuk melihat kedatangan mereka.

Tiga orang lelaki Cina setengah baya terlihat melesat dari dalam tenda yang sebagian robek-robek. Kemudian, dengan sikap penuh selidik, mereka bertanya kepada Abdul Jalil dan rombongan tentang maksud dan tujuan datang ke tempat ini. Mereka juga bertanya ini dan itu, termasuk apakah perang sudah selesai atau belum. Namun, mereka menjadi terheran-heran dan curiga ketika mendapat jawaban bahwa rombongan itu akan ke Kuta Caruban.

�Kami ini orang Kuta Caruban, Tuan-Tuan,� kata lelaki yang mengenakan baju dan celana panjang hitam potongan Cina dengan wajah diliputi kecurigaan. �Di kuta sedang tidak aman. Kami mengungsi ke sini karena di kuta orang sedang perang. Kenapa Tuan-Tuan ini malah mau ke sana?�

�Kami ada urusan penting yang harus diselesaikan di Kuta Caruban,� sahut Syarif Hidayatullah.

�Kalau boleh tahu, urusan apa?� tanyanya dengan sorot mata makin diliputi kecurigaan.

�Kami mau menemui kalifah Caruban Larang, Sri Mangana,� Abdul Halim Tan Eng Hoat menyela dengan nada tinggi. Ia menangkap isyarat bahwa para lelaki Cina itu mencurigai mereka sebagai penjarah. �Kami ingin membantu perjuangan beliau melawan Yang Dipertuan Rajagaluh. Sebaliknya, Tuan-Tuan ini yang mengaku sebagai penduduk Kuta Caruban, kenapa berada di sini? Tidakkah Tuan-Tuan seharusnya wajib membantu pertahanan Kuta Caruban tempat rumah, tanah, dan harta benda Tuan-Tuan berada?�

�Pemimpin kami, Kongcu Ling Tan, telah mati terbunuh dalam perang. Kami yang tua-tua ini tidak pandai perang. Kami harus menjaga istri dan anak-anak juga keluarga kami. Kami tinggal di tempat ini karena ada kabar orang-orang Rajagaluh akan menyerbu Kuta Caruban,� katanya beralasan.

�Bagaimana dengan tanah, rumah, dan harta benda Tuan di Kuta Caruban?� tanya Raden Qasim menyela.

�Kami sudah tinggalkan budak di sana untuk jaga rumah dan barang-barang,� jawab lelaki Cina itu.

�Tuan mempercayakan rumah dan harta Tuan kepada budak-budak?� Raden Qasim minta penegasan.

�Ya, Tuan.�

�Tidakkah Tuan sudah mengetahui jika peraturan baru yang dibuat kalifah Caruban melarang semua penduduk untuk memelihara dan berjual beli budak-budak?� tanya Raden Qasim menatap tajam lelaki Cina itu.

�Ee, maksud kami bukan budak. Maksud kami, kacung. Ya, ya, maksud kami orang upahan.�

Raden Qasim mendengus dan berkata perlahan meminta pertimbangan kepada Abdul Halim Tan Eng Hoat, �Bagaimana ini? Orang-orang ini jelas sudah menyalahi peraturan kalifah.�

�Karena sudah ada bukti bahwa mereka adalah orang tak berguna, orang yang mau enak sendiri dan tidak mau susah, maka rumah dan hartanya hendaknya diberikan kepada orang-orang yang telah bertaruh nyawa menjaganya. Itu hukum perang yang berlaku di mana saja.� Abdul Halim Tan Eng Hoat sambil berpaling meminta pertimbangan Syarif Hidayatullah, �Bukankah demikian, Saudaraku?�

�Ya, sebagai wali nagari Kuta Caruban, engkau harus tegas memutuskan hal itu agar menjadi pelajaran bagi yang lain,� kata Syarif Hidayatullah kepada Raden Qasim. �Karena kalau sikap orang tak berguna itu ditiru yang lain, akan berat bagi perjuangan kita di kelak kemudian hari.�

�Aku akan lakukan itu setelah menghadap kalifah.�

Sementara itu, Abdul Jalil merasakan kepedihan menyayat hatinya saat mendengar Ling Tan gugur dalam perang. Sambil mengucapkan inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un, ia menarik napas panjang. Bayangan Ling Tan, Abdurrahman Ling Tan, pemimpin warga Cina asal Junti itu berkelebatan memasuki relung-relung ingatannya. Abdurrahman Ling Tan adalah peranakan Cina yang memiliki pengaruh kuat di kalangan penduduk setempat karena ayahandanya, Tumenggung Wangsanegara, adalah orang Sunda yang menjadi pejabat pangasalan (pengawal raja) di Caruban Larang. Ia dikenal sebagai orang yang jujur, tegas, pemberani, dan dermawan. Lantaran itu, warga Cina perantauan dan keturunannya di Junti lebih suka dipimpin Abdurrahman Ling Tan bahkan sampai saat mereka pindah ke Kuta Caruban. Sekalipun Abdurrahman Ling Tan seorang muslim yang taat, penduduk Cina yang dipimpinnya sebagian besar bukan muslim.

Membandingkan keempat lelaki Cina pengungsi itu dengan Abdurrahman Ling Tan memang seperti membandingkan bumi dan langit. Abdurrahman Ling Tan sejak kecil dididik di lingkungan bangsawan Sunda dan keluarga saudagar Cina jelas-jelas menunjukkan jiwa ksatria yang memiliki rasa tanggung jawab besar dan kerelaan untuk berkorban. Ia gugur dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Sementara ketiga lelaki Cina pengungsi itu, yang mungkin berasal dari kalangan orang kebanyakan, tidak sedikit pun menunjukkan jiwa ksatria yang bertanggung jawab dan rela berkorban, meski untuk sekadar melindungi rumah, tanah, dan harta benda milik sendiri. Mereka memang memelihara budak-budak, namun sesungguhnya mereka sendirilah orang-orang yang bermental budak. Mereka orang-orang yang mendamba kemapanan hidup di dunia, namun enggan bersusah payah. Mereka datang jika keadaan menguntungkan dan akan buru-buru menyingkir jika keadaan merugi.

Akhirnya, tanpa memperkenalkan diri dan tanpa menanyai ketiga orang Cina itu, Abdul Jalil dan rombongan meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan menyusuri tanah berlumpur dan berbau busuk di antara gubuk dan tenda yang tak karuan bentuk dan warnanya. Sepanjang perjalanan itu Abdul Jalil merenungkan keanehan pemikiran dan perilaku para pengungsi yang tercermin dari gerutu dan keluh-kesah mereka. Mereka mengatakan terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari Kematian yang berkeliaran akibat perang. Anehnya, mereka tidak mempersiapkan kemungkinan lain bahwa Kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja tanpa perlu ditandai perang. Tampaknya, para pengungsi secara merata hampir tidak ada yang mempersiapkan bekal untuk menghadapi Kematian yang sewaktu-waktu dapat merenggut hidup mereka. Hari-hari dari rentang kehidupan mereka disibukkan untuk mengurus sapi, kerbau, kambing, bebek, ayam, perhiasan, tikar butut, bantal, dan pakaian-pakaian kumal. Bukankah mereka sejatinya lebih tepat disebut sebagai orang-orang yang berusaha menyelamatkan harta benda dan ternak daripada orang yang menyelamatkan nyawa dari Kematian? Bukankah ucapan mereka tentang �menyelamatkan diri dari Kematian� itu pada hakikatnya hanya sebuah kebohongan? Sebab, mereka sejatinya tidak pernah ingat mati dan tidak siap menghadapi Kematian.

Liku-liku kehidupan yang dijalaninya dengan berbagai gambaran manusia dari aneka bangsa telah memahamkan Abdul Jalil tentang betapa kuat kalangan orang-orang kebanyakan terjajah oleh kekuasaan kebendaan (thaghut). Rupanya, pikir Abdul Jalil, kiblat hati dan pikiran dari kalangan itu lebih terarah pada kebendaan. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak diwarnai oleh ingatan tentang harta benda dan bayangan-bayangan kelezatan. Mereka adalah orang-orang lemah yang gampang terseret bayangan nafsu rendah duniawi. Mereka tidak pernah siap menghadapi kesulitan dan tantangan dalam dunia nyata yang tergelar di hadapannya. Mereka selalu menggerutu dan berkeluh kesah saat menghadapi ujian, namun lupa daratan jika beroleh kesenangan. Ya, merekalah manusia berderajat rendah pendamba dunia. Mereka adalah para pemimpi kenikmatan dunia tetapi dihajar oleh cambuk ganas kenyataan hidup. Mereka mendamba hidup abadi, namun yang diperoleh justru kebinasaan. Mereka para pengkhayal yang terperosok ke jurang kehidupan maya di bawah bayang-bayang Sang Penyesat. Mereka para penghindar Kematian, namun jalan yang mereka pilih justru menuju altar Kematian. Dan Kematian yang tak kenal kenyang dan lapar itu sepanjang waktu dengan lahap menyantap mereka sebagai hidangan kesukaan.

Sepanjang perjalanan melewati gubuk dan tenda pengungsi, baik Abdul Jalil maupun anggota rombongan yang lain terus-menerus mendengar gerutu dan keluh-kesah mereka yang menganggap tempat itu sebagai neraka. Malah tak kurang di antara pengungsi itu berdoa dengan suara keras, namun intinya seolah-olah menyalahkan Tuhan yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi mereka. Namun, di antara gerutu dan keluh-kesah itu ada yang sangat mengejutkan dan tak pernah disangka-sangka.

�Kalau saja Syaikh Lemah Abang tidak bikin ulah, pasti tidak akan ada perang laknat ini.�

�Memang, pangkal dari semua bencana ini adalah Tuan Syaikh celaka itu. Aku dengar-dengar orang satu itu memang bikin masalah terus. Kata orang, sejak kecil dia sudah menimbulkan kekisruhan di Caruban ini.�

�Aku memang pernah dengar cerita itu. Katanya, dia itu orang yang tidak tanggung jawab. Suka bikin kisruh. Setelah keadaan kisruh, dia minggat. Yang susah adalah orang-orang yang ditinggalkan.�

�Sekarang ini, kata orang-orang dia minggat entah ke mana.�

�Ee, hati-hati kau. Kalau bicara jangan keras-keras! Kata orang, dia itu tukang sihir yang jahat.�

�Alah, tukang sihir apa. Kalau dia sakti, pasti sudah disihirnya orang-orang Rajagaluh yang memusuhinya.�

�Ya, kita doakan saja mudah-mudahan tukang sihir laknat itu cepat-cepat mati disambar petir!�

Wiku Suta Lokeswara yang berjalan di samping Abdul Jalil dengan jelas mendengar kasak-kusuk dan gerutuan yang diucapkan keras-keras itu. Ia menghentikan langkah dan menajamkan telinga untuk mengetahui dari gubuk mana suara itu diucapkan. Sebagai seorang mantan juru demung (kepala rumah tangga kraton), ia menangkap gelagat tidak beres pada ucapan-ucapan itu. Tanpa terduga, dengan gerakan kilat ia melangkah ke pintu salah satu gubuk dan menjulurkan tangan kirinya ke dalam. Sedetik setelah itu ia menarik tangannya keluar dan terlihatlah pemandangan menakjubkan. Wiku Suta Lokeswara mencengkeram tengkuk seorang laki-laki muda yang pucat pasi. Kemudian dengan sekali sentakan, tubuh laki-laki tak berdaya itu terangkat ke atas. Namun, saat ia kelihatan akan membanting orang di cengkeramannya itu, Abdul Jalil buru-buru menyergah, �Apa yang akan Paduka Wiku lakukan?�

�Makhluk laknat ini seorang telik sandhi (mata-mata) yang menyusup ke kalangan pengungsi.�

�Kami mohon, sudilah kiranya Paduka Wiku melepaskannya,� Abdul Jalil memohon.

�Heh, bagaimana Tuan Syaikh ini? Bukankah tiap-tiap telik sandhi harus dibunuh? Bukankah seorang telik sandhi lebih berbahaya daripada seribu prajurit?�

�Paduka Wiku, jika dia memang terbukti telik sandhi maka biarlah prajurit Caruban yang menangkapnya. Tapi, kita belum punya cukup bukti jika dia seorang telik sandhi. Kita menduga dia telik sandhi karena kebetulan kita mendengar dia menggerutu dan mengumpat salah satu di antara kita. Kami menganggap yang dia lakukan itu bukan suatu kesalahan,� kata Abdul Jalil.

�Tapi Paman,� Syarif Hidayatullah menyela, �ucapan orang ini sangat berbahaya. Apa yang dia ucapkan bisa mempengaruhi orang lain.�

�Aku tidak melihat ada ucapannya yang berbahaya,� kata Abdul Jalil tenang, �sebab yang dia umpat adalah aku, Syaikh Lemah Abang. Andaikata yang dia umpat adalah Sri Mangana, kalifah Caruban Larang, atau engkau, wali nagari Gunung Jati, maka dia dapat dituduh melakukan tindakan yang membahayakan. Dia bisa dituduh telik sandhi. Tapi, yang dia umpat adalah aku. Ya, aku yang dia umpat. Dan aku ini orang biasa. Aku bukan pejabat negara. Aku bukan apa-apa. Aku hanya seorang guru di kampung kecil. Jadi menurutku, bukan suatu kesalahan jika dia mengumpat dan mencaci maki aku.�

Mendengar ucapan Abdul Jalil, Wiku Sura Lokeswara menghela napas panjang dan kemudian melemparkan tubuh laki-laki yang dicengkeramnya itu ke atas tanah. Tubuh laki-laki itu terguling-guling berlepot lumpur. Secepat itu dia berusaha bangkit, namun tubuhnya terguling. Akhirnya, dengan gemetaran dan tubuh kotor penuh lumpur laki-laki muda itu merangkak dan menyembah di hadapan Abdul Jalil sambil mengiba memohon ampun. Abdul Jali menarik bahu laki-laki itu ke atas dan berkata, �Berdirilah! Tidak boleh ada manusia berlutut dan menyembah kepada sesama manusia. Tetapi, mulai sekarang berhati-hatilah engkau jika berbicara. Sebab, celaka dan tidaknya seseorang sering kali disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menjaga mulut.�

Dengan membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih, laki-laki itu melangkah terseok-seok masuk ke dalam gubuknya. Setelah melihat laki-laki itu menghilang, Abdul Jalil berkata kepada Syarif Hidayatullah dan Raden Qasim, �Mulai sekarang kalian berdua harus bisa membiasakan diri untuk tahan mendengarkan aku dicaci maki dan diumpat-umpat oleh siapa pun di antara manusia. Sebab, dalam perubahan besar ini aku telah memilih kedudukan sebagai tanah pijakan bagi bangunan yang sedang kita tegakkan bersama, yaitu bangunan baru masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah.�

�Mulai sekarang, aku berharap kalian berdua memandang tatanan yang sedang kita tegakkan bersama ini dalam ibarat bangunan baru. Kita adalah anasir yang membentuk dan memberi daya hidup bangunan tersebut. Sri Mangana, misalnya, harus kita ibaratkan sebagai dinding bangunanyang berperan utama melindungi penghuni dan mencitrai keindahan bangunan. Raden Sahid dapat kita ibaratkan sebagai tiang saka yang menopang atap dan memperkuat bangunan. Raden Qasim dapat diibaratkan menjadi kusen pintu. Dan engkau, anakku, dapat diibaratkan menjadi atap yang memayungi dan memperindahnya. Sahabatku Abdul Malik Israil dapat diibaratkan sebagai salah satu tukangnya. Sementara yang lain adalah ibarat bagian-bagian yang melengkapi keutuhan bangunan tersebut. Dan di dalam usaha menegakkan bangunan baru itu, aku telah memilih peran sebagai tanah tempat bangunan baru itu ditegakkan.�

�Di Surabaya, aku sudah menyatakan kepada saudaraku, Raden Ali Rahmatullah, bahwa di dalam membangun tatanan baru di Majapahit, aku telah menetapkan kedudukan diriku sebagai tanah yang menjadi pijakan bagi bangunan baru tersebut. Dan sebagaimana lazimnya tanah maka menjadi kewajiban asasi bagi kedudukannya untuk diinjak-injak, dilukai dengan cangkul, dikencingi, diberaki, dijadikan tempat buangan sampah, namun sekaligus sebagai tempat orang bercocok tanam dan mendirikan bangunan. Sekalipun tidak pernah diperhitungkan dalam menegakkan bangunan, di atas tanah itulah sejatinya tiap-tiap bangunan bisa berdiri. Tanpa tanah yang diinjak-injak, tidak mungkin bagunan-bangunan bisa ditegakkan. Bahkan agar orang bisa berdiri tegak pun, dibutuhkan tanah untuk tempat berpijak.�

�Dengan memahami hakikat tatanan baru yang sedang kita tegakkan seibarat bangunan, hendaknya kalian sadar bahwa kedudukanku harus rendah di hadapan manusia sebagaimana kedudukan tanah. Bahkan andaikata nanti bangunan baru itu sudah tegak dengan megah dan orang-orang mengagumi keindahannya, pastilah orang tidak akan ada yang mengagumi dan memuji tanah tempat bangunan tersebut berdiri. Hanya bagian-bagian dari bangunan itulah yang menyadari dan dapat menghargai kedudukan tanah tempatnya berdiri. Karena itu, jika sewaktu-waktu kalian berdua mendapati aku dicaci maki, diumpat, dikutuk, dan direndahkan orang, hendaknya kalian tidak merasa tersinggung atau marah. Bahkan sebaliknya, jika kalian berdua mendapati aku dipuji orang seolah-olah aku adalah dewa dari langit maka kewajiban kalianlah untuk merendahkanku sesuai kedudukanku sebagai tanah. Ingat-ingatlah selalu kalian akan pesanku ini. Ingat-ingatlah bahwa aku adalah tanah. Tanah. Tanah. Seribu kali tanah. Sebagaimana kedudukan tanah, keberadaanku pun wajiblah diinjak-injak dan direndahkan oleh siapa pun yang ingin berdiri tegak di atasku. Hendaknya kalian ketahui bahwa sebutan Syaikh Lemah Abang yang diberikan orang kepadaku bukanlah suatu kebetulan, melainkan justru merupakan cerminan kedudukanku sebagaimana dikehendaki-Nya.�

Syarif Hidayatullah dan Raden Qasim tercengang mendengar uraian Abdul Jalil. Mereka menangkap sebuah kebenaran di dalam kata-kata Abdul Jalil. Namun, dengan kenyataan itu mereka tiba-tiba merasakan betapa berat tanggungan jiwa yang harus dipikul guru manusia yang sangat mereka hormati itu. Sejurus mereka tenggelam ke dalam lamunan diri; mengingat bagaimana para peserta pertemuan di Masjid Ampel Denta mengecam dan menjadikan sosok Abdul Jalil sebagai bahan ejekan. Masih segar dalam ingatan mereka bagaimana sebagian anggota Bhayangkari Islah menjadikan Abdul Jalil sebagai sasaran kemarahan dan gerutuan. Dan kini pun mereka baru saksikan para pengungsi yang tidak mengerti persoalan ikut mengumpat dan mencaci maki manusia malang itu. Akhirnya, baik Syarif Hidayatullah maupun Raden Qasim tidak berani membayangkan apa yang bakal dialami Abdul Jalil pada masa datang. Mereka tidak berani melewati batas angan-angan untuk membayangkan lebih jauh tentang rentang hidup penggagas tatanan baru itu. Namun, rekaman ingatan tentang liku-liku hidup yang telah mereka alami bersama Abdul Jalil, sebagaimana mereka saksikan dan mereka rasakan sendiri, telah membuat mereka terheran-heran dengan kumparan nasib yang membelit orang yang mereka hormati itu.

Ujian berat (bala�) selalu ditimpakan kepada para nabi, wali, dan orang-orang semisal mereka, demikian sabda Nabi Muhammad Saw.. Sebagai salah seorang anggota Jama�ah Karamah al-Auliya�, Abdul Jalil tampaknya tak luput dari keniscayaan sabda Nabi Saw. tersebut.

Ketika Caruban Larang diamuk peperangan, diterkam ketakutan, diguncang ketegangan, diintai ancaman kematian, dan diwarnai semrawut kehidupan para pengungsi yang berduyun-duyun menghindari keganasa perang, terjadi peristiwa yang tak tersangka-sangka. Barang dua pekan setelah perang berkecamuk, datanglah serombongan orang yang mengaku asal negeri Baghdad ke Giri Amparan Jati. Rombongan yang berjumlah sekitar empat puluh orang itu dipimpin oleh Abdul Qadir dan Abdul Qahhar bin Abdul Malik al-Baghdady, dua orang adik ipar Abdul Jalil, yakni adik lain ibu dari Fatimah, istri pertama Abdul Jalil. Yang tak terduga, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar datang dengan membawa serta puteri Abdul Jalil yang sudah berusia delapan tahun dan membawa pula kabar duka tentang kematian istri Abdul Jalil barang tiga bulan silam akibat sakit keras di Wadi al-Ubayyid, di tengah perjalanan dari Karbala ke Nukhayb sewaktu Syaikh Abdul Malik al-Baghdady dan pengikut-pengikutnya diburu-buru oleh penguasa Baghdad.

Karena Abdul Jalil tidak berada di tempat, rombongan asal Baghdad itu ditampung di Giri Amparan Jati. Abdul Qadir dan Abdul Qahhar al-Baghdady yang belum lepas dari rasa gentar akibat diburu-buru penguasa Baghdad, sangat cemas ketika mengetahui mereka berada di sebuah daerah yang sedang dicekam peperangan. Mereka selalu menanyakan kapan saudara ipar mereka kembali dengan harapan mereka akan diungsikan ke tempat yang lebih aman. Namun, harapan mereka tidak kesampaian karena Abdul Jalil yang mereka temui ternyata dengan tegas menolak mencarikan mereka tempat aman yang jauh dari perang. Dengan suara yang lain ia berkata, �Sesungguhnya, di mana pun tempat di dunia ini adalah aman selama kalian bernaung di bawah lindungan Sang Penyelamat (as-Salam). Betapa salahnya kalian memandang jika Kematian hanya berkeliaran di tengah peperangan. Sebab, tidak ada dalil yang mengatakan bahwa Sang Maut (al-Mumit) bersemayam di atas langit medan tempur, merentangkan sayap dan cakar-Nya untuk memangsa setiap orang yang berada di sana. Apakah kalian pikir di tempat yang jauh dari medan tempur tidak ada Sang Maut? Tidakkah kalian sadar bahwa Sang Maut berada di mana pun Sang Hidup berada, karena Sang Maut adalah Wajah yang lain dari Sang Hidup (al-Hayy).�

Merasa keinginannya tidak dipenuhi, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar al-Baghdady tidak menyerah. Mereka berusaha mempengaruhi Abdul Jalil melalui kemenakan mereka, Zainab, puteri Abdul Jalil. Mereka beralasan bahwa keinginan untuk jauh dari daerah perang itu sesungguhnya demi keselamatan kemenakan mereka, yakni darah dan daging Abdul Jalil sendiri. Kemenakan mereka itu telah piatu dan karenanya harus diselamatkan sesuai amanat kakak mereka, Fatimah. �Kami jauh-jauh ke negeri ini hanya memenuhi amanat kakak kami,� Abdul Qahhar berharap.

Abdul Jalil bergeming dari pandangannya. Dengan suara dingin ia berkata, �Jika kalian berdua takut maka kalian berdua akan aku tempatkan di Kalisapu atau di Pantai Mundu bersama-sama dengan para pengungsi yang berjiwa pengecut. Tetapi perlu kalian ketahui, puteriku akan aku tempatkan di sini, di tengah kancah peperangan ini agar dia bisa merasakan panasnya hawa perang yang akan menempa keberanian di dalam jiwanya. Aku akan ajarkan kepada dia bahwa di mana pun dia berada senantiasa berada dalam liputan Kematian dan Kehidupan. Tidak ada yang menjamin jika dia aku tunggui dan aku tempatkan di daerah aman maka dia akan selamat dan terus hidup. Sebaliknya, tidak ada yang menjamin bahwa dengan tinggal di daerah perang, dia akan celaka dan terbunuh.�

Akhirnya, setelah mendengar uraian Abdul Jalil secara panjang dan lebar, baik Abdul Qadir maupun Abdul Qahhar al-Baghdady menyatakan kesediaannya untuk tinggal di Caruban. Mereka merasa kepalang basah jauh dari tanah kelahiran dan mereka tentu saja tidak mau dinilai pengecut. Bahkan, mereka kemudian meminta untuk bergabung dengan laskar Caruban asal Baghdad yang dipimpin Syaikh Duyuskhani. Demikianlah, setelah menyerahkan Zainab kepada Abdul Jalil, kedua orang putera Syaikh Abdul Malik al-Baghdady beserta empat puluh orang pengikutnya itu diantar oleh tiga santri Giri Amparan Jati ke Pancalang, yaitu pangkalan pertahanan laskar muslim Caruban.

Sementara itu, Abdul Jalil diam-diam merasakan keanehan ketika ia diberi tahu oleh kedua orang adik iparnya tentang kematian istrinya. Aneh, katanya dalam hati, kabar kematian istriku ternyata tidak mengejutkan aku. Ya, aku tidak terkejut. Tidak menangis. Tidak pula meratap. Entah kenapa aku seolah-olah sudah menangkap tengara kematian istriku, Fatimah, barang setahun silam dari alam bawah sadarku. Lantaran itu, kabar duka dari Abdul Qadir dan Abdul Qahhar kurasakan seolah-olah hanya sebagai penyingkap selubung rahasia yang selama ini menutupi kenyataan kematian Fatimah.

Manusia hidup memang memiliki riwayat yang panjang dan berliku-liku, gumam Abdul Jalil dalam hati, namun adakalanya riwayat manusia sangat pendek dan tidak bersambung sebagaimana riwayat Nafsa dan Fatimah, dua orang perempuan yang pernah bersemayam penuh keindahan di dalam relung-relung jiwaku. Mereka berdua kini sudah kembali menghadap hadirat-Nya. Namun Fatimah, istriku, merki riwayatnya sangat pendek ternyata masih bersambung. Ia masih meninggalkan citra keindahannya dalam wujud puteri kecil kami, Aisyah, yang oleh kakeknya namanya diubah menjadi Zainab. Ya, inilah kebersambungan riwayat Fatimah, yang kini diserahkan kepadaku untuk kujaga dan kuantarkan ke gerbang kehidupan yang sesuai dengan jati dirinya.

Sekalipun Abdul Jalil tidak merasa terkejut mendengar kabar kematian istrinya, sebagai manusia ia tidak lepas dari rasa pedih yang mencakari jiwanya. Selama beberapa jenak ia termangu-mangu sambil membelai rambut puteri semata wayang yang duduk di pangkuannya. Ia bayangkan betapa berat perjalanan yang dilakukan istrinya saat melintasi padang gurun ganas dari Karbala hingga Wadi al-Ubayyid. Fatimah yang sejak kecil hidup penuh kemanjaan dan dilimpahi kasih orang-orang yang mencintainya tentu sangat menderita saat diterkam keganasan gurun yang buas.

Seperti rekaman bayangan yang terpampang di bentangan ingatannya, Abdul Jalil menyaksikan bayangan Fatimah mengelebat di dalam benaknya. Fatimah yang menggigil kedinginan di malam hari dan terengah-engah kepanasan di siang hari. Fatimah yang tubuhnya lemah tak berdaya, menggeliat sekarat terpanggang ganasnya gurun. Fatimah yang bibirnya pecah-pecah karena kehausan. Mata Fatimah yang mirip mata Nafsa itu meredup dengan linangan air mata pada saat-saat terakhir menyaksikan puterinya, Zainab, yang akan ditinggal untuk selamanya. Ah, betapa menderitanya engkau, Fatimah, setelah bertahun-tahun ditinggal suami dengan segala kerinduanmu, ternyata yang datang menjemputmu adalah Sang Maut.

Bayangan yang berkelebatan di dalam benaknya itu menyingsing dalam keremangan jiwa manakala dari kedalaman kalbunya terbit matahari kenangan yang menyinari sosok Fatimah. Fatimah binti Abdul Malik al-Baghdady adalah citra abadi seorang istri, seorang perempuan, yang kuat perkasa, penuh daya hidup, dan teguh dalam menghadapi tantangan. Meski merasa pahit saat ditinggalkan sebagai ibu muda, ia tetap tabah menjalani hidup dalam kesendirian mengasuh puterinya. Betapa kuat. Betapa tabah. Fatimah tidak pernah menyerah menghadapi kesulitan yang bagaimanapun rumitnya. Bahkan pada saat-saat terakhir menjelang ajal, menurut Abdul Qadir, ia masih sempat berpesan agar puterinya diserahkan kepada sang ayah supaya dibimbing ke jalan Kebenaran (al-Haqq).

Abdul Jalil sendiri hanya bisa menarik napas panjang saat Abdul Qadir menyampaikan amanat terakhir Fatimah. Di tengah kecamuk perang dan beban berat seorang penggagas pembaharuan yang dimusuhi banyak orang, menjadi seorang ayah dan sekaligus ibu bagi seorang puteri bukanlah hal ringan. Sementara ayahanda mertuanya, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, tidak ketinggalan menitipkan pula sebuah amanah berupa �perintah� agar ia memberikan hukuman kepada Ali Anshar at-Tabrizi. Rupanya Ali Anshar telah berkhianat hingga menyebabkan Syaikh Abdul Malik al-Baghdady dan pengikutnya diburu-buru penguasa Baghdad. Ali Anshar, menurut Abdul Qadir, ditengarai pergi ke Nusa Jawa untuk melampiaskan dendam kesumatnya kepada Abdul Jalil. Dan tentu saja, amanah istri dan ayahanda mertuanya itu menambah berat beban yang harus dipikulnya di tengah ketidakpastian keadaan yang membayanginya.

Andaikata Abdul Jalil orang biasa, pastilah dengan beban berat yang makin menumpuk di pundaknya itu ia akan tumbang dan jatuh ke dalam lumpur pekat kehidupan yang membuatnya sulit bernapas. Atau setidaknya, benak di kepalanya akan memuai dan meleleh. Atau hatinya terbakar dan meledak berkeping-keping. Namun, di tengah tumpukan beban itu ia terlihat sangat tabah. Sebagai anggota Jama�ah Karamah al-Aulia�, cermin pengejawantahan al-Waly, jiwanya ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dibanding jiwa manusia seumumnya. Jiwanya disemayamkan di sebuah gunung menjulang yang dilindungi tebing batu sangat kuat. Di tengah berat beban yang harus dipikulnya, jiwanya justru terluput dari percikan rasa takut, khawatir, dan sedih yang berkepanjangan.

Dengan kedudukan jiwa yang tinggi, ia dapat melihat dengan jelas segala pusaran kehidupan yang tergelar di bawahnya. Sehingga saat segunung masalah beriringan menaiki tangga menara dan menghampirinya, ia selalu menyambutnya dengan menengadahkan wajah ke atas. Ia memasrahkan segala sesuatu yang menghampirinya kepada al-Wakil, Zat yang memelihara penyerahan segala urusan. Dengan jiwanya yang sudah tercerahkan, ia senantiasa menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada al-Waly, Zat yang melindungi. Sebesar dan seberat apa pun beban masalah yang dipikulnya tak pernah dianggapnya sebagai sesuatu yang terpisah dari kehendak-Nya; Wama tasya�una illa an yasya�a Allahu rabb al-alamin. Ia senantiasa mengembalikan segala sesuatu yang berasal dari-Nya kepada-Nya; inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un.

Sekalipun jiwanya terpelihara di tempat tinggi, sebagai manusia yang dha�if, ia tidak luput dari terkaman rasa sedih dan duka. Namun berbeda dengan manusia seumumnya, rasa sedih dan duka itu tak pernah lama merajalela menguasai jiwanya. Beberapa jenak tenggelam dalam lamunan yang memedihkan akibat mendengar kabar kematian istrinya, ia sudah disentakkan oleh tarikan kesadaran akibat bisikan Ruh al-Haqq.

�Sadarlah engkau, o Rajawali, pengarung kesunyian sejati. Engkau bukan burung-burung kecil yang terbang dalam kawanan-kawanan untuk mencuri padi di sawah. Engkau juga bukan gurung gagak pemakan bangkai. Pun engkau bukan binatang melata yang merayap di muka bumi dengan perutnya. Engkau Rajawali, raja segala burung yang terbang tinggi di angkasa dan bersarang di tebing-tebing karang yang tegak menggapai langit. Engkau tidak makan jika tidak lapar. Engkau tidak minum jika tidak kehausan. Engka selalu memandang ke bawah dengan mata menyala, menyaksikan kehidupan makhluk yang melata di permukaan bumi. Engkau terbang sendiri tanpa kawan. Tetapi, engkau tidak bersedih karena kawanmu adalah Kehampaan. Ketika engkau menjerit: Haqq! Haqq! Kehampaan menjawab dengan pantulan gema yang menggetarkan penjuru langit dan bumi. Sadarilah, o Rajawali, bahwa kodratmu adalah sendiri dan berteman dengan Kehampaan.�

Dengan bisikan Ruh al-Haqq, ia tetap tersadarkan meski kesedihan dan derita mengepung segenap penjuru jiwa. Ia sadar tentang kehendak-Nya di balik rahasia kehidupan yang digelar di depannya. Betapa kematian istri dan kehadiran Zainab, puterinya, di tengah kecamuk perang itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bagian dari liku-liku ujian-Nya yang harus dilampaui. Puterinya yang telah piatu itu dihadirkan-Nya di tengah keadaan sulit ini untuk menguji keteguhannya dalam menjaga kiblat hati dan pikiran kepada Yang Maha Berkehendak. Dan sebagaimana rajawali, ia terus mengepakkan sayap-sayap jiwanya mengarungi kesunyian menuju Kehampaan Sejati.

Bagi para pengarung kesunyian seperti Abdul Jalil, makna suka dan duka, sedih dan gembira, bahagia dan menderita, hidup dan mati, sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan apa yang dipahami oleh orang kebanyakan. Sebab, duka cita dan kesedihan yang dikaitkan dengan penghiburan oleh orang kebanyakan sering dimaknai dengan arti kegembiraan yang menyenangkan hati; habis duka cita terbitlah sukacita, di mana ada suka di situ ada duka, sedih dan gembira ibarat siang dan malam yang saling berganti. Sementara bagi pengarung kesunyian seperti Abdul Jalil, duka cita dan kesedihan dipandang sebagai sesuatu yang terkait dengan keberadaan dan ketiadaan. Suka dan duka, sedih dan gembira, bahagia dan derita, hanya muncul ketika seseorang menganggap keakuan dirinya ada. Namun, kegandaan itu akan menyingsing manakala keakuan seseorang ditiadakan dan ditenggelamkan ke dalam Aku Semesta: Kehampaan Sejati.

Tidak berbeda dalam hal memaknai suka dan duka, dalam memaknai kehidupan pribadi pun orang seperti Abdul Jalil berbeda dengan manusia seumumnya. Baik ruang, baik waktu, baik kehidupan yang tergelar di dalamnya, dengan segala kekuatan alamiahnya seolah-olah menempatkan Abdul Jalil sebagai orang yang tidak diberi kesempatan cukup banyak untuk mengurus kehidupan pribadi. Bahkan, untuk meresapi kesedihan dan memanjakan puteri semata wayangnya pun ia seolah-olah tidak diberi peluang barang sejenak. Ketika ia baru tersentak oleh kesadaran setelah terlena beberapa saat mengenang istri dan melepas rindu kepada puterinya, ia sudah dikejutkan oleh kabar laskar muslim Caruban yang berduyun-duyun melarikan diri dari medan tempur di Jamaras. Abdul Malik Israil yang baru saja kembali dari Kuta Caruban muncul menemuinya. �Apa yang dulu engkau takutkan, o Sahabatku, kini telah terbukti menjadi kenyataan pahit.�

�Apakah yang telah terjadi, o Sahabat?� tanya Abdul Jalil minta penjelasan.

�Ratusan laskar muslim Caruban yang dipimpin Abdul Karim Wang Tao dan Abdul Razaq Wu Lien terbirit-birit melarikan diri dari medan tempur karena tidak kuasa mengendalikan setan takhayul yang menguasai jiwa dan pikiran mereka,� kata Abdul Malik Israil menggeleng-geleng kepala. �Mereka lari ketakutan demi mendengar kabar panglima Rajagaluh, Adipati Kiban, mengendarai gajah yang muncul dari Gunung Liman. Gajah itu konon bernama Sang Bango.�

�Kenapa pula dengan gajah tunggangan Adipati Kiban itu?�

�Para laskar berpikir gajah bernama Sang Bango itu adalah gajah siluman bersayap dan bisa terbang seperti burung bangau. Karena itu, saat mereka berhadap-hadapan dengan pasukan Rajagaluh yang dipimpin oleh Adipati Kiban, mereka lari tunggang langgang karena takut dengan gajah siluman itu,� kata Abdul Malik Israil.

�Astaghfirullah al-azhim,� Abdul Jalil mendecakkan mulut sambil menggeleng-gelengkan kepala. �Apa yang harus kita lakukan menghadapi manusia-manusia yang sudah dibodohkan dan dilemahkan oleh takhayul itu?�

�Menurut hematku, mereka harus diberi kekuatan baru yang sesuai dengan naluri mereka.�

�Apakah kita harus mengenalkan kepada mereka takhayul-takhayul baru?�

�Tentu saja tidak,� kata Abdul Malik Israil, �Mereka harus kita bawa secara perlahan-lahan untuk mengenal Tauhid melalui tahapan-tahapan, yaitu melalui pengenalan kekuatan gaib doa, hizb, wafak, dan khasiat ayat-ayat al-Qur�an untuk keperluan hidup sehari-hari. Aku kira, dengan cara itu mereka akan dapat kita arahkan ke pusat Kebenaran, meski harus melewati jalan berliku dan berbelit-belit.�

�Sesungguhnya, aku khawatir mereka akan terperangkap ke lingkaran takhayul lain. Tetapi, jika itu yang harus dilakukan maka sebaiknya engkau beserta Syaikh Ibrahim Akbar dan Syaikh Bentong bekerja sama membina mereka ke arah itu. Engkau bisa mengajari orang-orang dengan amalan-amalan yang pernah dijalankan Bani Israil di masa lampau, yang menggunakan bahasa Suryan (bahasa Arab kuno). Biarlah Syaikh Ibrahim Akbar dan Syaikh Bentong mengajari mereka tentang wafak dan hizb. Aku sendiri akan mengajar sasyahidan, karena aku tidak pandai dalam hal hizb, wafak, doa, dan pengenalan khasiat ayat-ayat al-Qur�an. Aku hanya mengajarkan sasyahidan sebagaimana tugas itu dibebankan Bhayangkari Islah kepadaku.� Abdul Jalil tiba-tiba teringat pada sosok Dang Hyang Semar, yang bagian terbesar di antara pengikutnya adalah kalangan Tu-gul yang awam dan hidupnya penuh dilingkari gegwantuhuan. Akankah Islam mengalami nasib seperti Kapitayan yang diajarkan Dang Hyang Semar, tanyanya dalam hati, yakni hanya dijadikan keyakinan �topeng� oleh kalangan awam yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Yang Mahatunggal.

Di tengah kegelapan malam Kematian membentangkan sayap dan mencengkeramkan kuku-kuku tajamnya di atas langit Caruban Larang, memperdengarkan suara-Nya yang melengking, meruntuhkan nyali seluruh makhluk hidup. Meski tidak semua orang mengetahui apa yang disebut Kematian, bagi mereka yang waskita, Kematian adalah sisi lain dari Kehidupan. Kematian dan Kehidupan ibarat sosok dan bayangan yang berhadap-hadapan di depan cermin yang sama. Sebagaimana Kehidupan yang tak pernah kekurangan dan berkurang dalam menumbuhkan segala sesuatu yang hidup, Kematian pun tidak pernah kekenyangan dan tidak pernah pula terpuaskan, meski setiap waktu Dia melahap jiwa-jiwa segala sesuatu yang hidup.

Di tengah intaian Kematian, di antara kesenyapan dan kegelapan yang melingkari Kuta Caruban, Abdul Jalil menggandeng puterinya menyusuri jalanan yang lengang. Di depannya berjalan Wiku Suta Lokeswara, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Abdul Malik Israil, Syarif Hidayatullah, Raden Sulaiman, dan Raden Qasim. Sepanjang menyusuri jalan-jalan tampaklah bahwa Kuta Caruban benar-benar ditinggalkan oleh sebagian besar penghuninya. Rumah dan bangunan yang teronggok di tengah kegelapan terlihat bagaikan bayangan hantu. Satu dua memang terlihat nyala pelita, namun selebihnya hanya kegelapan yang mengambang di permukaan bumi bersama selimut kabut.

Sekalipun pada malam hari Kuta Caruban sunyi dan lengang, jangan dikira orang tak dikenal dapat bebas masuk ke rumah-rumah yang kosong ditinggal penghuninya. Berpuluh-puluh dan bahkan beratus-ratus pasang mata setidaknya mengintai setiap gerakan di tengah kegelapan. Sesekali terlihat bayangan-bayangan hitam bergerak sangat cepat dari satu bangunan ke bangunan yang lain. Andaikata saat itu ada orang tak dikenal yang berniat jahat hendak mencuri atau menjarah kuta, dapat dipastikan mereka akan berhadapan dengan Kematian. Bahkan, karena keadaan itu para pemilik rumah yang sedang mengungsi pun tidak ada yang berani ke kuta dan masuk ke rumahnya pada malam hari.

Ketika Abdul Jalil menanyakan keadaan yang begitu mencekam di Kuta Caruban kepada Sri Mangana, ia diberi tahu jika mereka yang berkeliaran di malam hari itu adalah prajurit-prajurit Caruban. Jumlah mereka sekitar seribu orang. Mereka memang disiagakan untuk menjaga keamanan di kuta. Siang hari mereka ditugaskan berjalan seorang-seorang dari satu tempat ke tempat yang lain secara bergilir. Setiap kali mereka sampai di tempat yang ditentukan, mereka akan berganti pakaian dan berjalan lagi ke tempat yang lain. Dengan cara itu, pada pagi dan siang hari Kuta Caruban menjadi semarak seolah-olah masih dihuni oleh banyak penduduk. Menjelang sore, sebagian di antara prajurit-prajurit itu akan berbaris dengan pakaian prajurit menuju Pekalipan.

Siasat menempatkan seribu prajurit di Kuta Caruban, menurut Sri Mangana, terpaksa dilakukan karena sejak hari kedua pertempuran, Kuta Caruban sudah mulai ditinggalkan penduduk yang mendengar berita-berita menyeramkan tentang keganasan perang. Memasuki hari kelima terjadi lagi pengungsian lebih besar ketika tersebar bahwa Abdurrahman Ling Tan gugur. Saat itu tidak peduli penduduk Cina pengikut Abdul Karim Wang Tao dan Abdul Razaq Wu Lien, semua beramai-ramai meninggalkan Kuta Caruban. Memasuki hari ketujuh pertempuran, penduduk asal Baghdad di Kalijaga pengikut Syaikh Duyuskhani bersama penduduk Sunda dan Jawa ikut kabur meninggalkan kuta. Sebagian bergerak ke arah selatan, ke pantai Mundu dan Pangarengan, sebagian lagi ke arah utara, ke pantai Kalisapu dan Muara Jati.

Sri Mangana sendiri mengaku tidak menduga jika pertempuran akan terjadi secepat itu. Lantaran itu, akunya, ia sempat kelabakan menempatkan pasukan Caruban Larang yang berjumlah sekitar 30.000 orang untuk menjaga perbatasan yang begitu panjang. Pada saat pecah pertempuran di Bobos antara pasukan Rajagaluh dan Kuningan, ia mengutus Abdurrahman Ling Tan dan Abdul Karim Wang Tao untuk membantu pasukan Kuningan dengan kekuatan sekitar tiga ratus laskar. �Kekuatan Rajagaluh terlalu besar untuk dilawan Kuningan meski ditambah tiga ratus laskar. Sebab, Rajagaluh mendapat bantuan pasukan dari Talaga dan Galuh Pakuan. Akhirnya, pasukan Kuningan dan laskar Caruban berhasil dipukul mundur dan pecah menjadi dua. Pasukan Kuningan terpukul mundur ke selatan hingga ke Singkup. Sedangkan laskar yang dipimpin Abdurrahman Ling Tan dan Abdul Karim Wang Tao terpukul mundur hingga ke Plumbon. Bahkan, Abdurrahman Ling Tan gugur saat menghadang gerak maju musuh di Warugede,� kata Sri Mangana memaparkan lika-liku jalannya pertempuran.

�Apakah Rajagaluh menyerang dengan mendadak tanpa alasan sehingga Ramanda Ratu tidak siap menghadapinya?� tanya Abdul Jalil meminta penjelasan. �Kenapa pula yang bertempur adalah pasukan Kuningan? Dan bagaimana mungkin pertempuran pertama pecah di Bobos, yang termasuk ke dalam wilayah Palimanan?�

�Ya, itu semua gara-gara si Angga, wali nagari Kuningan yang tidak dapat menahan diri,� Sri Mangana memaparkan. �Saat dia hendak ke Giri Amparan Jati untuk memberi tahu Syarif Hidayatullah bahwa adik perempuannya, Ong Tien, istri Syarif Hidayatullah, telah melahirkan seorang putera, ia bertemu dengan wahuta (pemungut pajak) Rajagaluh, Ki Dipasara. Ki Dipasara ingin menemui Syarif Hidayatullah untuk membicarakan kewajiban membayar pajak kepada Yang Dipertuan Rajagaluh. Namun, Syarif Hidayatullah tidak ada di tempat. Penasaran mengetahui pejabat Rajagaluh berada di Giri Amparan Jati, Angga pun meminta penjelasan Ki Dipasara tentang kehadirannya di situ. Jawaban Ki Dipasara yang menyatakan bahwa kehadirannya di situ untuk kepentingan memungut pajak dari Giri Amparan Jati menyulut amarahnya. Menurutnya, Giri Amparan Jati adalah bagian dari Caruban Larang sehingga Rajagaluh tidak berhak memungut pajak. Lalu terjadi selisih paham yang berujung pecahnya peperangan.�

�Berarti pihak Rajagaluh sengaja mencari gara-gara.�

�Itu memang bagian dari perang siasat Rajagaluh. Tetapi, si Angga rupanya tidak bisa menahan sabar. Dia terpancing. Bahkan yang sangat aku sesalkan, dia memimpin pasukan Kuningan untuk menyerang pasukan Rajagaluh yang berpangkalan di Bobos tanpa memberi tahu aku,� kata Sri Mangana.

�Jadi, pihak Kuningan yang memulai serangan?� tanya Abdul Jalil kaget.

�Itulah kecerobohan anak muda yang terlalu bangga diri dan cenderung meremehkan orang lain. Angga sangat yakin bahwa sekuat apa pun pasukan kafir akan dapat dihancurkannya dengan pedang. Dan ternyata dia terkejut ketika pasukannya dihancurkan pasukan Rajagaluh di Bobos. Bahkan, dia mengaku seperti bermimpi saat menyaksikan pasukan yang dibanggakannya lari tunggang langgang dari medan tempur,� kata Sri Mangana.

�Tetapi, ananda dengar si Angga sampai sekarang ini masih memimpin pasukan di Singkup, sedangkan laskar muslim dipimpin Abdulkarim Wang Tao dan Abdul Razaq Wu Lien bertahan di Plumbon dan Jamaras. Sementara itu, laskar pimpinan Syaikh Duyuskhani bertahan di Pancalang.�

�Aku memang menghukum Angga dengan menempatkannya sebagai pemimpin perang pasukan Kuningan. Aku tidak ingin Caruban Larang terlibat pertempuran langsung dengan Rajagaluh. Karena itu, yang membantu pasukan Kuningan adalah laskar-laskar dan prajurit-prajurit yang menyamar sebagai laskar,� ujar Sri Mangana.

�Berarti perang ini hanya perang antara Kuningan dan Rajagaluh?� tanya Abdul Jalil heran.

�Ya. Tetapi, akhirnya nanti akan melibatkan Caruban. Karena itu, kita semua saat ini dituntut sabar dan kuat menahan tekanan-tekanan pihak luar yang berusaha memancing kita ke perang terbuka. Sekarang ini kita masih memiliki waktu untuk memperkuat pertahanan,� kata Sri Mangana.

Mendengar penjelasan Sri Mangana, bukan hanya Abdul Jalil yang kagum dengan kecerdikan sang kalifah dalam menyiasati keadaan yang genting itu, Wiku Suta Lokeswara yang mantan pejabat tinggi Majapahit pun tidak bisa menahan diri untuk tidak memuji langkah-langkah cemerlang tersebut. Bahkan, semua hadirin mendecakkan mulut penuh kekaguman ketika Sri Mangana memaparkan bagaimana ia menata 30.000 orang prajuritnya untuk menghadapi ancaman dari Galuh Pakuan, Talaga, Rajagaluh, dan Dermayu yang sewaktu-waktu dapat menyerang wilayah Caruban Larang. Dengan luasnya wilayah Caruban Larang dan ancaman musuh yang jumlahnya sepuluh kali lipat, sebenarnya keberadaan 30.000 orang prajurit tidaklah berarti apa-apa, namun dengan siasat yang sulit dibayangkan, Sri Mangana telah menatanya sebagai kekuatan yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Abdul Jalil sendiri sangat menyayangkan kecerobohan wali nagari Kuningan yang telah memulai perang. Namun, ia paham mengapa Angga sangat berani mengambil tindakan tanpa sepengetahuan Sri Mangana. Mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Ibu Angga, Ratu Siliwangi, adalah kakak lain ibu Sri Mangana yang sejak kecil diasuh bersama di Caruban. Ong Wi, ayah Angga, adalah putera saudagar Palembang bernama Ong Te yang kenal dengan Prabu Guru Dewata Prana melalui Tuan Milinadi, saudagar Palembang yang berniaga di negeri Sunda. Ong Wi dapat menjadi gedeng di Kuningan karena menikahi Ratu Siliwangi. Pernikahan Ratu Siliwangi dengan Ong Wi, meski disetujui Prabu Dewata Prana, tidak disukai oleh saudara-saudaranya. Itu sebabnya, saudara-saudara Ratu Siliwangi memanggil Ong Wi dengan sebutan Ngewalarang yang bermakna �orang yang paling dibenci�. Dari perkawinan dengan Ratu Siliwangi, Ong Wi mendapat dua orang anak yaitu Angga dan Selalarang. Sedang dari istrinya yang lain, yaitu seorang perempuan Cina, Ong Wi memiliki tiga orang anak, Ong Tien, Anggasura, dan Anggarunting. Rupanya, kedekatan darah dengan Sri Mangana itulah yang membuat Angga sering melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan dan kadangkala tidak terpuji.

Read More ->>

BHAYANGKARI ISLAH

Bhayangkari Islah

Raden Ali Rahmatullah di pengujung usianya yang senja hidup dalam kesahajaan. Dalam keseharian dia selalu tampil sangat bersahaja. Mengenakan sarung dan baju kurung serta kopiah putih sebagaimana layaknya pakaian orang Campa muslim. Hanya saat memimpin sembahyang di masjid atau menyampaikan pelajaran agama ia mengenakan jubah dan destar putih. Sebatang tongkat kayu berukir kepala burung digunakan untuk menopang tubuhnya yang sudah condong ke depan jika berjalan.

Sosok Raden Ali Rahmatullah yang sederhana tidak berbeda dengan sosok Syaikh Datuk Kahfi, Syaikh Datuk Ahmad, dan Syaikh Datuk Bayan; orang-orang mulia yang hidup dalam kezuhudan. Sekalipun pernah menjadi penguasa kraton Surabaya selama hampir setengah abad, Raden Ali Rahmatullah memilih hidup dalam kesederhanaan seorang imam masjid. Kraton yang megah dan indah dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya telah ditinggalkannya. Hari-hari dari sisa hidupnya dihabiskan di pondok kecil yang dibangun di samping masjid.

Meski dituakan dan dihormati oleh para penguasa Majapahit, adipati, dan raja muda di pesisir, tidak menjadikan Raden Ali Rahmatullah sebagai sosok yang hidup di menara gading. Dia tetap menjalin keakraban dengan penduduk sekitar masjid yang sebagian besar merupakan tetangga sekaligus pengikutnya. Semua diperlakukan sama sebagai kawan-kawan dekat tanpa membedakan apakah seorang bekerja sebagai tukang, perajin, pedagang kecil, buruh, maupun pejabat. Usai memimpin sembahyang isya, Raden Ali Rahmatullah biasanya terlihat duduk di teras masjid untuk menerima tamu atau berbincang-bincang dan berkelakar dengan tetangga-tetangganya. Bahkan pada saat ia mendongeng sambil rebahan, orang-orang biasanya mendengarkan dengan khidmat sambil memijiti kakinya. Kebiasaan untuk berakrab-akrab dengan penduduk di teras masjid itu adalah kebiasaan raja Surabaya terdahulu, Pangeran Arya Lembu Sura, yang dilanjutkan oleh penggantinya, Raden Ali Rahmatullah.

Bertolak belakang dengan kehidupan sehari-harinya yang bersahaja dan akrab dengan penduduk, di kalangan para adipati dan raja muda Majapahit Raden Ali Rahmatullah sangat dimuliakan dan dihormati layaknya rishi atau bhagawan suci. Para penguasa kadipaten yang kebanyakan adalah sanak kerabatnya, tidak peduli muslim tidak peduli Hindu, setiap menghadapnya selalu berlutut menyembah dan mencium kakinya. Bahkan, dia disebut hormat dengan gelar Kangjeng Susuhunan, yang bermakna Padukan Yang Mulia.

Rupanya, selama menduduki jabatan bupati di Surabaya baik penduduk setempat maupun sanak kerabatnya telah menganggapnya sebagai penerus Arya Lembu Sura, raja Surabaya pertama. Lantaran itulah, oleh penduduk Surabaya dan sanak kerabatnya dia dipanggil dengan sebutan susuhunan, yaitu gelar yang hanya boleh digunakan untuk menyebut seorang raja. Namun, agak berbeda dengan sanak kerabatnya yang menyebutnya Kangjeng Susuhunan, penduduk sekitar menyapanya dengan sebutan akrab: Mbah Sunan.

Usia tua dan kesahajaan ternyata tidak sedikit pun mengurangi pengaruh dan wibawa Raden Ali Rahmatullah. Meski sudah tidak menjadi penguasa Surabaya dan hidup dalam kesahajaan seorang imam masjid, orang tetap menghormati dan mematuhinya. Hal itu paling tidak terlihat saat Raden Ali Rahmatullah mengundang para adipati dan raja muda dari berbagai daerah untuk membicarakan perdamaian antara Terung dan Daha, yang disambut dengan takzim dan penuh hormat. Dalam pertemuan yang digelar di Masjid Ampel Denta itu, para adipati dan raja muda berbondong-bondong datang memenuhi undangannya.

Sebagian besar di antara para penguasa yang hadir itu adalah keturunan Prabu Kertawijaya yang diikuti keturunan Bhre Tumapel dan Bhre Wirabhumi. Yang terkenal di antara mereka adalah Raden Patah Adipati Demak, Raden Kusen Adipati Terung, Arya Danareja Orob Adipati Bojong (Tegal), Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Pangeran Pandanarang Adipati Semarang, Arya Timur Orob Adipati Japara, Kayubralit Adipati Pati, Arya Pikrama Orob Adipati Rembang, Adi-Andayaningrat Adipati Pengging, Arya Sidik Adipati Tuban, Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Zainal Abidin Adipati Gresik, Arya Bijaya Orob Adipati Tedunan, Lembu Wiraga Adipati Keniten, Kuda Panolih Adipati Sumenep, Arya Timbul Adipati Pamadegan, Bhre Jagaraga, Bhre Kabalan, Bhre Wengker, Nrpati Lasem, Prabu Satmata Ratu Giri Kedhaton, Lembu Peteng Ratu Gili Mandingan, Menak Pentor Ratu Anggabhaya Blambangan, Menak Gadru Ratu Prasadha Babadan, Arya Kedut Patih Majapahit di Japan, Bhima Nabrang Wijaya Juru Demung Majapahit di Japan.

Selain adipati dan raja muda yang sebagian besar adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Bhre Tumapel dan Bhre Wirabhumi, hadir pula undangan dari kalangan ulama dan pemuka masyarakat dari berbagai tempat. Di antara mereka itu yang terkenal adalah Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, Sayyid Husayn dari Arosbaya, Sayyid Maulana Gharib, Syaikh Kamarullah Imam Masjid Pinilih, Haji Ban Swi Juru Cina (kepala warga Cina) Surabaya, Tuan Pake Baolong, Juru Kmir (kepala warga Campa) Surabaya, Raden Makhmud Buyut di Wisaya Sepanjang, Raden Hamzah Buyut di Wisaya Tumapel, Raden Ahmad (Pangeran Mamad) Khatib Ampel Denta, Syaikh Manganti guru dan imam di Gribik, Abdul Malik Israil, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati, dan Raden Qasim Wali Nagari Caruban.

Sementara itu, undangan yang mewakili pihak Patih Mahodara hanya beberapa orang saja ditambah beberapa ruhaniwan. Mereka adalah Menak Supethak Adipati Garudha, Raden Pramana Adipati Sengguruh, Nila Suwarna Adipati Panjer, adipati Dengkol, adipati Srengat, adipati Rawa, adipati Mamenang, adipati Pesagi, adipati Mahespati, Ajar Arga Dewa dan Arga Dalem dari Merbabu, Ajar Citragati dari Tirang Amper, dan Empat Serangkai (caturgosthi) penguasa ruhani Pengging, yaitu Ajar Jayapurusa, Ajar Sabuk Janur, Ajar Malang Gati, dan Ajar Gadhung Melati. Mereka yang mewakili kepentingan Patih Mahodara ini dipimpin oleh Syaikh Maulana Gharib.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, gegap gempita pertemuan puluhan adipati dan raja muda untuk membahas masalah perdamaian Terung � Daha di Masjid Ampel Denta, dalam kenyataan tidak sesuai dengan semarak suasana yang terlihat. Pertemuan yang digelar pada pagi hari di Masjid Ampel Denta itu berlangsung sangat singkat. Mula-mula pertemuan diawali oleh sambutan Raden Ali Rahmatullah yang menyampaikan pandangannya tentang mudharat perang dan maslahat perdamaian bagi kehidupan di tengah perubahan. Anehnya, usai Raden Ali Rahmatullah berbicara, para adipati, raja muda, ulama, dan pemuka masyarakat yang hadir secara beramai-ramai menyatakan sepakat untuk patuh dan tunduk pada kehendak sang susuhunan yang menginginkan agar peperangan diakhiri. Meski syarat-syarat perdamaian yang disepakati jelas-jelas merugikan pihak Terung, kedua pihak yakin apa yang disampaikan Raden Ali Rahmatullah itu akan berakhir baik bagi semua pihak.

Para adipati, raja muda, ulama, dan pemuka masyarakat di Masjid Ampel Denta rupanya tidak sekadar diajak berbicara tentang perdamaian antara Terung � Daha. Usai pembahasan singkat tentang perdamaian Terung � Daha yang disetujui semua pihak, tiba-tiba Raden Ali Rahmatullah mengajak par hadirin untuk membicarakan masalah baru yang sama sekali tak terduga, yaitu tatanan baru yang digagas Abdul Jalil: masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah, yang ditawarkan untuk menggantikan tatanan lama: Kawula dan Kerajaan.

Sebagai penguasa Surabaya yang selama puluhan tahun mengenal dengan baik cara pandang dan cara pikir orang-orang Majapahit, Raden Ali Rahmatullah mula-mula mengajak hadirin untuk membuka cakrawala pikiran baru sehingga memungkinkan bagi lahirnya wacana baru. Setelah itu ia menyampaikan pengantar bagi gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah. Sampai akhir uraiannya Raden Ali Rahmatullah hanya menyampaikan gagasan tersebut sebagai tawaran-tawaran yang bersifat pemikiran. Maksudnya, gagasan itu ditawarkannya sebagai sebuah wacana masa depan yang tidak harus diterapkan pada kehidupan nyata dalam waktu dekat.

Sekalipun uraian Raden Ali Rahmatullah tentang gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah hanya berupa wacana, bagian terbesar hadirin tertegun-tegun heran mendengarnya. Mereka seolah-olah mendengarkan dongeng yang sangat asing. Keheranan mereka itu terjadi karena nilai-nilai yang mendasari pemikiran tatanan baru yang disebut masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah itu bertolak belakang dengan apa yang selama ini mereka ikuti. Lantaran gagasan baru itu mereka anggap mengada-ada maka mereka pun memberikan tanggapan yang keras. Lebih dari separo jumlah yang hadir tegas-tegas menolak gagasan yang tidak lazim itu. Tidak peduli adipati, raja muda, pemuka masyarakat, dan bahkan ulama menanggapi gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah sebagai pemikiran yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan kodrat hidup manusia. Sebagian lagi ada yang menyatakan bisa menerima gagasan masyarakat ummah, namun menolak gagasan wilayah al-Ummah. Hanya sedikit yang bisa menerima kedua gagasan itu. Pendek kata, sebagian besar hadirin belum bisa menerima gagasan baru tentang kepemimpinan berdasarkan pilihan.

Di tengah penolakan keras itu, tidak pelak Abdul Jalil sebagai penggagas masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah dijadikan sasaran utama dari kecaman dan hujatan hadirin yang menganggap gagasan tersebut sebagai hal yang aneh dan tidak masuk akal. Para hadirin yang selama ini hidup dengan segala kemapanan di atas tatanan kawula dan Kerajaan, telah menangkap gelagat yang membayakan dari gagasan �gila� yang tidak mereka pahami itu. Itu sebabnya, beberapa jenak seusai Raden Ali Rahmatullah memaparkan gagasan tersebut, Abdul Jalil sudah dihujani caci maki dan hujatan. Bahkan, sebagian di antara mereka menertawakan Abdul Jalil sebagai tukang mimpi yang mengigau di tengah hari.

Menghadapi reaksi keras sebagian besar hadirin, Abdul Jalil tidak melakukan pembelaan apa-apa untuk memperthankan hasil buah pikirnya itu. Ia sadar, bagian terbesar dari mereka yang hadir adalah orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa memandang segala sesuatu dengan nilai-nilai yang bersumber dari Hastabrata. Sejak awal menelusuri kehidupan orang-orang di pedalaman Majapahit, ia sudah menduga jika gagasannya bakal menghadapi tantangan sangat keras. Sebab, gagasannya itu jelas-jelas akan mengubah kerangka pandang dan kerangka pikir yang sudah menjajah alam pikiran dan alam kejiwaan bangsa yang sedang sekarat itu.

Dengan diamnya Abdul Jalil, ternyata tidak menjadikan masalah masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah mentah dan ditolak utuh oleh para hadirin. Raden Kusen yang sejak awal hanya berdiam diri tiba-tiba meminta izin kepada Raden Ali Rahmatullah untuk berbicara. Rupanya, kecaman dan hujatan para hadirin terhadap Abdul Jalil telah disalahpahaminya sebagai penghinaan kepada Raden Ali Rahmatullah yang menyampaikan gagasan tersebut. Itu sebabnya, dengan wajah merah padam dan suara menggelegar laksana halilinyar ia menyatakan mendukung dengan sepenuh jiwa gagasan baru yang disampaikan gurunya itu.

�Sebagai bukti bahwa aku mendukung gagasan itu,� ujar Raden Kusen berkobar-kobar. �Barang sebulan lalu, aku telah menghibahkan sebagian tanah milikku untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat ummah. Ketahuilah oleh kalian semua bahwa aku sudah membuat keputusan yang menyatakan bahwa mulai Wisaya Sumengka di selatan, Wisaya Kamalagi di barat, Wisaya Wanjang di utara, hingga Wisaya Sasawo di timur akan aku bagi-bagikan kepada penduduk yang disebut masyarakat. Aku juga telah menghadiahi Syaikh Lemah Abang sebidang tanah seluas 200 jung (560 hektar) yang terletak di antara Kedung Peluk dan Wayuwo untuk digunakan sebagai hunian bagi masyarakat ummah yang dibentuknya.�

Pernyataan adipati Terung tentu mengagetkan sebagian besar hadirin. Mereka tidak bisa memahami kenyataan bahwa Raden Kusen yang mereka hormati dan muliakan menerima gagasan �gila� yang sangat merugikan itu. Mereka tidak bisa memahami bagaimana Raden Kusen bisa memberikan secara Cuma-Cuma tanah di empat wisaya kepada penduduk. Namun, kekagetan mereka makin memuncak ketika Raden Patah tiba-tiba tampil ke depan dan membuat pernyataan serupa. Putera Prabu Kertawijaya dengan muslimah Cina bernama Ratna Subanci itu tanpa terduga-duga memaklumkan bahwa dia selaku penguasa Demak telah menyiapkan rencana untuk membagi-bagikan tanah di Kadipaten Demak seluas 1.200 jung (3360 hektar) kepada penduduk. �Tetapi, berbeda dengan adikku yang menghibahkan begitu saja tanahnya kepada masyarakat, aku akan tetapkan bahwa siapa saja di antara penduduk yang ingin mendapat bagian tanah di Demak wajib membelinya dengan bayaran dua kalimah syahadat,� kata Raden Patah berapi-api.

Kegaduhan tersulut seiring maklumat Raden Patah. Para hadirin dengan terheran-heran bertukar pandang satu sama lain. Setelah itu, mereka saling berbicara tentang hal-hal yang tak mereka pahami. Bahkan sebagian di antara mereka terlihat berceloteh dan menggerutu sambil menggeleng-gelengkan kepala kebingungan. Suasana di dalam Masjid Ampel Denta mendadak riuh dan gaduh bagaikan di tengah pasar.

Peristiwa tak terduga yang muncul susul-menyusul itu memang telah menyeret sebagian besar hadirin ke dalam lingkaran kebingungan yang tak terpahami. Bagaimana mungkin Raden Kusen dan Raden Patah bisa mendukung gagasan �gila� itu? Bukankah mereka berdua akan menderita kerugian besar dengan menerima dan menjalankan gagasan tersebut?

Lingkaran kebingungan yang tak terpahami itu pada gilirannya menyeret mereka ke suasana yang menegangkan manakala mereka mendapati kenyataan yang lebih �gila� berupa: pernyataan susul-menyusul dari Prabu Satmata Ratu Giri Kedaton, Raden Ahmad Khatib Ampel Denta, Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, Raden Makhmud Buyut Wisaya Sapanjang, Raden Hamzah Buyut Wisaya Tumapel, Sayyid Husayn dari Arosbaya, Arya Timbul Adipati Pamadegan, Lembu Peteng Ratu Gili Mandingan, Arya Timur Orob Adipati Japara, Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Pangeran Pandanarang Adipati Samarang, Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Zainal Abidin Adipati Tandhes, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati, dan Raden Qasim Wali Nagari Caruban, yang menyatakan dukungan mutlak terhadap gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah.

Puncak kebingungan hadirin terjadi ketika Raden Ali Rahmatullah yang mereka hormati dan muliakan menyatakan dukungan pada gagasan baru yang dikemukakan oleh Abdul Jalil tersebut. �Hendaknya kalian semua mengetahui, sejak tiga pekan lalu penduduk Surabaya di Wisaya Ampel Denta, Wisaya Sumber Urip, Wisaya Bukul, bahkan di tanah shima Kertawijaya telah menempati tanahnya sendiri sebagai hak milik pribadi. Mereka tidak perlu lagi membayar sewa tanah kepada para kepala wisaya dan wadana. Namun demikian, untuk memelihara keamanan atas tanah hak milik itu mereka semua dikenai pungutan pajak oleh pihak kadipaten.�

Lengkap sudah ketidakpahaman sebagian besar hadirin setelah Raden Ali Rahhmatullah menyatakan dukungannya atas gagasan �gila� itu. Mereka yang selama ini terlena oleh kemapanan tampaknya sangat sulit menerima segala sesuatu yang terkait dengan perubahan yang bakal menggugat kemapanan mereka. Namun, mereka menjadi penasaran dan memendam amarah di kedalaman jiwanya manakala mereka menyadari bahwa sesuatu yang bakal menggugat kemapanan mereka itu justru didukung oleh tokoh-tokoh yang mereka segani dan hormati.

Akhirnya, meski dalam pertemuan di Masjid Ampel Denta itu mereka tidak dapat berbuat sesuatu, jauh di kedalaman jiwa mereka telah tersulut nyala api ketidaksukaan dan bahkan kebencian terhadap sang penggagas: Syaikh Lemah Abang. Kenyataan itu setidaknya sempat mencuat saat beredar kasak-kusuk di antara hadirin yang menuduh Abdul Jalil sebagai tukang sihir yang telah mempengaruhi Raden Ali Rahmatullah dan murid-muridnya.

Abdul Jalil yang diberi tahu oleh Raden Sulaiman tentang kasak-kusuk yang menghangat di antara hadirin hanya tersenyum tanpa memberikan tanggapan apa pun. Ia menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Ia sangat sadar bahwa bagian terbesar dari peserta pertemuan itu adalah penguasa-penguasa yang picik dan mandek pemikiran maupun jiwanya karena lingkaran kemapanan. Mereka hanya bisa berpikir dangkal betapa mereka bakal kehilangan wibawa dan kekayaan jika menerima dan menerapkan tatanan baru masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah yang berbeda dengan tatanan Kawula dan Kerajaan. Memang, kata Abdul Jalil dalam hati, hampir tidak ada manusia yang mau menerima sesuatu yang baru yang jelas-jelas mengancam kepentingan pribadinya.

Sementara itu, di tengah ketidakpuasan dan rasa penasaran sebagian besar hadirin, Raden Ali Rahmatullah memberikan kebebasan kepada mereka yang sepakat mendukung gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah untuk segera melaksanakan gagasan tersebut. Demikianlah, diawali dari Madura, para adipati dan raja muda Madura sepakat memilih Sayyid Husayn sebagai wali al-Ummah Madura dengan gelar Kalifah ar-Rasul Sayyidin Panatagama. Setelah itu adipati Surabaya, adipati Tedunan, adipati Tandhes, adipati Siddhayu, adipati Tuban, adipati Rembang, adipati Demak, adipati Japara, adipati Samarang, dan adipati Kendal sepakat memilih Prabu Satmata Ratu Giri Kedhaton, murid tertua Raden Ali Rahmatullah sebagai wali al-Ummah dengan gelar Sri Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunngul Khalifatullah.

Sesungguhnya, kesepakatan para adipati pesisir menunjuk Prabu Satmata sebagai kalifah bukan hanya atas pertimbangan usia dan senioritas. Lebih dari itu, pengetahuan agamanya sangat luas dan mendalam di samping tentu saja garis nasabnya yang agung dan mulia: ayahandanya seorang sayyid keturunan Nabi Muhammad Saw. dan ibundanya keturunan Bhre Wirabhumi. Sejak kecil ia diasuh oleh Nyi Ageng Pinatih, janda Pangeran Arya Pinatih, bangsawan Bali dari trah Ksatria Manggis, yang memeluk Islam dan tinggal di Tandhes. Ia dididik oleh Raden Ali Rahmatullah dalam ilmu keagamaan dan tata negara, kemudian mendalami ilmu tasawuf kepada ayahandanya, Syaikh Maulana Ishak, di Pasai.

Ketika adzan dzuhur dikumandangkan, Masjid Ampel Denta telah sepi. Para adipati dan raja muda dan pemuka masyarakat telah kembali ke kediaman masing-masing. Hanya Raden Ali Rahmatullah dan beberapa kerabat serta murid-muridnya yang masih terlihat di situ. Rupanya, siang itu, tanpa istirahat sedikit pun Raden Ali Rahmatullah akan membahas berbagai masalah perubahan yang terjadi seiring makin memburuknya kehidupan di Majapahit. �Aku sudah berbicara banyak dengan saudaraku, Syaikh Lemah Abang, tentang pentingnya sebuah gerakan yang tertata dan terarah untuk melakukan islah guna menata kehidupan penduduk yang sudah memuakkan ini. Kami berdua sepakat untuk membentuk suatu syura (Dewan Musyawarah) tempat berkumpul para muslih (pelopor perbaikan) yang bisa bekerja sama seiya sekata untuk melakukan gerakan pebaikan.�

Para kerabat dan murid yang selama ini sangat patuh dan sangat memahami kehebatan Raden Ali Rahmatullah di dalam merancang suatu gerakan untuk perubahan, tidak sedikit pun menolak rencana pembentukan syura tersebut. Bahkan saat Raden Ali Rahmatullah mengusulkan nama Bhayangkari Islah untuk syura tersebut, semuanya menerima dengan takzim. Dan sesuai kesepakatan, mereka yang ditetapkan sebagai anggota Bhayangkari Islah adalah Syaikh Maulana Gharib, Raden Ahmad Khatib Ampel Denta, Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, Raden Patah Adipati Demak, Prabu Satmata Ratu Giri Kedhaton, Kalifah Husayn Arosbaya, Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Raden Zainal Abidin Adipati Tandhes, Pangeran Pandanarang Adipati Samarang, Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Raden Qasim Wali Nagari Caruban, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati, Raden Sulaiman Leba Wirasabha, Abdul Malik Israil, dan Syaikh Lemah Abang. Atas usul Abdul Jalil, Raden Sahid yang sedang �berjuang� di Galuh Pakuan dimasukkan ke dalam anggota Bhayangkari Islah.

Kelancaran pembentukan Bhayangkari Islah itu ternyata hanya berlangsung sampai saat penetapan keanggotaan syura. Sebab, pada saat para anggota Bhayangkari Islah membahas bidang garapan dan tugas masing-masing anggota, muncul persoalan rumit yang justru disulut oleh Abdul Jalil. Saat itu tiba-tiba Abdul Jalil mengemukakan masalah pelik yang harus ditangani sebagai bagian dari tugas utama Bhayangkari Islah. Dan yang dimaksud oleh Abdul Jalil sebagai masalah pelik itu adalah pengaruh kepercayaan Campa yang membahayakan akidah umat Islam. �Kami di Caruban tetap memegang prinsip �menerima yang baru tetapi tidak menghilangkan yang lama yang bermanfaat�. Maksudnya, segala sesuatu yang sudah ada dan bermanfaat tetap kita lestarikan, namun yang lama yang mudharat dan membahayakan akidah hendaknya kita tinggalkan. Oleh karena kami menilai takhayul asal Campa sebagai sesuatu yang mudharat dan membahayakan akidah maka kami menilai hal itu haruslah dijadikan bagian utama oleh Bhayangkari Islah. Terus terang, kami khawatir takhayul itu akan merusak tauhid dan kelak akan merancukan syarak.�

Masalah pelik sekitar takhayul Campa ternyata menimbulkan masalah tersendiri di tubuh Bhayangkari Islah. Sebab, sebagian anggota Bhayangkari Islah ternyata belum terbebas sama sekali dari pengaruh takhayul tersebut. Dengan berbagai alasan � tanpa dukungan dalil � mereka berusaha menolak usulan Abdul Jalil. Bahkan, mereka beralasan dengan takhayul asal Campa itu sesungguhnya perubahan di Majapahit dapat dilakukan secara berangsur-angsur tanpa menimbulkan konflik dengan kepercayaan setempat yang sudah ada.

Abdul Jalil yang sudah mengetahui dan memahami betapa berbahayanya pengaruh takhayul Campa tidak bisa menerima alasan anggota-anggota Bhayangkari Islah. Ia menolak tegas alasan-alasan mereka yang sedikit pun tidak didukung dalil. Ia tetap beranggapan bahwa sebuah perbaikan tidak sekadar berbentuk perubahan dalam tampilan, tapi yang lebih mendasar adalah perubahan cara berpikir, cara memandang, cara menilai, dan cara menyikapi sesuatu dalam kehidupan.

�Bagi kami, Islam adalah ajaran yang membebaskan manusia dari segala belenggu yang menjajah dan membenamkan manusia ke dalam relung-relung tergelap jiwanya. Islam membebaskan manusia dari rasa takut terhadap segala sesuatu selain Allah. Islam membebaskan manusia dari ketundukan atas segala sesuatu selain Allah. Karena itu, keyakinan takhayul asal Campa yang membawa manusia pada rasa takut terhadap hantu-hantu, hari naas, gegwantuhuan, ajaran klenik, hendaknya dibersihkan dari jiwa umat Islam. Demi Allah, kami tidak ingin menyaksikan di negeri ini kelak menjadi umat pemuja kuburan, penyembah arwah leluhur, yang meminta-minta berkah pada pohon-pohon, dan tunduk bertekuk lutut kepada hantu-hantu yang mereka cipta,� kata Abdul Jalil.

Perselisihan paham tentang penting dan tidaknya takhayul Campa diberantas akan meruncing dan menjadi perpecahan di antara anggota Bhayangkari Islah andaikata Raden Ali Rahmatullah selaku sesepuh tidak menengahi. Dengan sangat bijaksana Raden Ali Rahmatullah yang sudah kenyang merasakan pahitnya perselisihan dan mengunyah getirnya kehidupan menetapkan jalan tengah bagi kedua pihak yang berselisih. Pertama-tama, ia meminta kepada seluruh anggota Bhayangkari Islah untuk menempatkan usaha-usaha mengislamkan penduduk pada urutan pertama dari bidang garapan syura. Untuk itu, ia meminta agar Syaikh Lemah Abang menjadi pelopor bagi pelaksanaan tugas utama itu dengan didukung oleh seluruh anggota tanpa kecuali. �Aku berharap, dari sasyahidan (ajaran kesaksian; syahadat) yang benar akan tumbuh keislaman yang benar. Dengan demikian, jika iman tauhid seorang muslim sudah benar maka segala bentuk takhayul akan sirna dengan sendirinya. Dan aku kira, saudaraku Syaikh Lemah Abang pasti sudah mafhum jika hal itu butuh waktu lama,� ujar Raden Ali Rahmatullah.

Kebijakan Raden Ali Rahmatullah untuk menempatkan Abdul Jalil sebagai pelopor bagi usaha-usaha pengislaman dengan tugas utama mengajarkan sasyahidan, segera disambut gembira oleh anggota Bhayangkari Islah yang menolak gagasan pemberantasan takhayul Campa. Mereka berpikir, dengan tugas utama hanya mengajarkan syahadat, Abdul Jalil pastilah tidak bisa berbuat banyak untuk mencampuri bidang garapan yang lain seperti tauhid, mu�amalah, dan fiqh. Namun, pemikiran mereka itu tentu saja tidak tepat sebab menurut pemahaman Raden Ali Rahmatullah dan Abdul Jalil, justru pada syahadat itulah sejatinya terletak intisari Islam.

Akhirnya, dengan suara bulat Abdul Jalil disepakati menangani tugas utama untuk mensyahadatkan penduduk melalui pengajaran Sasyahidan. Namun, ketika para anggota Bhayangkari Islah akan membahas bidang garapan lain dan membagi-bagi tugas, tiba-tiba tersiar kabar yang dibawa oleh para saudagar Cina Surabaya tentang terjadinya serbuan Rajagaluh ke Caruban Larang. Menurut para pembawa kabar, prajurit-prajurit Caruban Larang masih bertahan di Kagedengan Plumbon dan Jamaras. Meski gerak maju pasukan Rajagaluh dapat ditahan, Kuta Caruban sudah ditinggalkan oleh sebagian besar penduduknya yang mengungsi ke pantai.

Read More ->>

PARA PENGUASA SURABAYA

Para Penguasa Surabaya

Ketika Abdul Jalil dan Raden Sulaiman beserta prajurit pengawal Terung memasuki Kadipaten Terung dari gerbang selatan, rembang senja sudah menggantung di langit barat; kegelapan mulai menyelimuti lembah dan bengawan Terung. Tidak seperti biasanya, Balai Witana (pendapa) Kadipaten Terung terlihat sangat sepi. Hanya tiga empat orang prajurit yang terlihat menyalakan lampu. Sementara, sekitar lima prajurit pengawal terlihat berjalan hilir mudik di halaman Balai Witana.

Saat Abdul Jalil meninggalkan Balai Witana dan melintas di depan Balai Rangkang, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Pangeran Kanduruwan, kemenakan dan menantu Raden Kusen, yang menjadi pejabat manghuri di Japan. Putera Raden Patah dari selir itu baru menginjak tujuh belas tahun. Dia ditugaskan menjaga Kadipaten Terung, khususnya mengawal Ratu Stri Maskumambang yang tengah berada di Terung.

Dalam perbincangan singkat dengan Pangeran Kanduruwan, Abdul Jalil mengetahui jika adipati Terung dan sejumlah sesepuh dari trah Prabu Kertawijaya sedang berada di Surabaya, tepatnya di Masjid Ampel Denta. Mereka akan bermusyawarah tentang peperangan yang terjadi antara adipati Terung dan Patih Mahodara. �Semua rombongan dari Caruban juga ikut ke Surabaya,� kata Pangeran Kanduruwan.

�Apakah rombongan dari Daha juga ikut ke Surabaya?� tanya Abdul Jalil.

�Maksud Paman, rombongan pendeta muda bernama Nirartha?�

�Ya.�

�Empat hari lalu rombongan pendeta muda Nirartha dari Daha tiba di sini dengan dikawal prajurit-prajurit Terung. Dia datang bersama istri-istri dan anak-anaknya. Tapi, dua hari lalu dia pergi bersama-sama dengan adipati Tepasana, Menak Lampor. Katanya, dia akan ke Bali karena padepokannya di Daha dihancurkan Patih Mahodara,� kata Pangeran Kanduruwan.

�Apakah Wiku Suta Lokeswara juga sudah sampai ke sini?� tanya Abdul Jalil.

�Maksud Paman, wiku tua ayahanda Nirartha?�

�Ya.�

�Dia sampai ke sini esok hari setelah kedatangan Nirartha.�

�Apakah dia ikut ke Bali?�

�Tidak, Paman,� kata Pangeran Kanduruwan. �Resi muda Nirartha berangkat ke Bali dengan anak-anak dan istri-istrinya, sedangkan wiku tua itu ikut rombongan Paman Adipati Terung ke Surabaya.�

�Jika boleh tahu, musyawarah apakah yang akan digelar di Surabaya? Kelihatannya penting sekali.�

�Mungkin untuk menghentikan peperangan, Paman,� jelas Pangeran Kanduruwan. �Sebab, Patih Mahodara telah mengutus menantunya, Syaikh Maulana Gharib, untuk menghadap Pangeran Ahmad, Imam Masjid, putera Susuhunan Ampel Denta, untuk mendamaikan peperangan yang menyengsarakan kawula itu. Sebagaimana perdamaian pada perang pertama dan kedua, Pangeran Ali Rahmatullah diharapkan berkenan menjadi juru damai.�

�Jadi Patih Mahodara punya menantu seorang syaikh?� Abdul Jalil heran. �Bukankah dia dikenal sebagai pejabat Majapahit yang sangat membenci orang-orang Islam?�

�Patih Mahodara itu cerdik, sekalipun oleh banyak orang dia dianggap keturunan seekor anjing. Dalam dua pertempuran yang tidak dimenangkannya itu, rupanya dia sadar tidak boleh lagi membentur kekuatan Islam yang terbukti sudah sangat kuat di pesisir. Itu sebabnya, dia kemudian berusaha memperkuat pertahanan dirinya dengan memanfaatkan dukungan pemuka-pemuka Islam,� kata Pangeran Kanduruwan.

�Kemudian dia menikahkan puterinya dengan Syaikh Maulana Gharib, begitu?�

�Kira-kira begitulah, Paman,� kata Raden Sulaiman. �Puteri Patih Mahodara yang bernama Niken Sundara yang masih kecil dinikahkan dengan Syaikh Maulana Gharib yang sudah sangat tua.�

�Tapi siapakah Syaikh Maulana Gharib itu? Aku belum pernah mendengar namanya.�

�Dia adalah adik Syaikh Maulana Ishak,� ujar Raden Sulaiman. �Dia juga paman Prabu Satmata, Yang Dipertuan Giri Kedhaton.�

�Jika demikian, Syaikh Maulana Gharib masih berkerabat dengan aku. Sebab ayahandanya, Syaikh Ibrahim al-Ghozi as-Samarkandy, adalah saudara sepupu ayahandaku,� kata Abdul Jalil. Dengan memahami lingkaran kekerabatan antara Syaikh Maulana Gharib dan para penguasa di pesisir, Abdul Jalil diam-diam memuji sang patih yang mengambil Maulana Gharib sebagai menantu. Dengan keberadaan Syaikh Maulana Gharib sebagai menantu berarti Patih Mahodara telah mendapatkan pengaruh imam Masjid Ampel Denta yang sekarang. �Ah, cerdik sekali Patih Mahodara.�

�Dia memang cerdik, licin, ulet, namun licik seperti ular yang menakutkan,� kata Pangeran Kanduruwan.

Dibanding pelabuhan Tuban, Surabaya hanyalah pelabuhan kecil yang tak berarti. Dermaga di pelabuhan Surabaya terlihat seperti lonjoran-lonjoran kayu yang menjorok ke laut dengan sejumlah balok yang dipancang untuk menambat kapal-kapal kecil. Meski kecil dan tak berarti, suasana di pelabuhan sangat ramai. Sederetan bangunan besar dengan atap menjulang seolah menggapai langit terletak di selatan dermaga. Di sekitarnya terlihat puluhan rumah yang lebih kecil. Itulah kediaman para perwira angkatan laut Majapahit yang dilingkari rumah para bintara.

Sekalipun sebagai pelabuhan niaga Surabaya tergolong kecil dan tidak berarti, sebagai pangkalan armada laut, Surabaya adalah yang terbesar dan tak tertandingi. Di belakang kediaman para perwira dan bintara angkatan laut yang terletak di selatan dermaga, terdapat dermaga rahasia yang luar biasa besar. Dermaga itu berada di laut buatan yang terbentang di antara Sungai Mas dan Sungai Patukangan. Jika orang melihat dari arah laut, agak jauh di belakang deretan atap kediaman para perwira yang terletak di tepi timur Sungai Mas itu, terlihat tiang-tiang kapal perang yang tegak menjulang bagaikan barisan tombak raksasa. Agak keselatan dari muara terlihat sebuah kanal laut buatan untuk pintu keluar bagi kapal-kapal perang Majapahit menuju muara Sungai Mas. Sedangkan pintu masuknya terletak di kanal di muara Sungai Patukangan.

Lantaran Surabaya merupakan pangkalan angkatan laut Majapahit maka kapal-kapal perang Majapahit, baik yang dibikin di galangan Surabaya, Tuban, Samarang, maupun yang dibeli dari Pegu (Burma) ditempatkan di Surabaya. Dari pangkalan di Surabayalah kapal-kapal Majapahit menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Jumlah pasukan laut Majapahit yang disiagakan di Surabaya diperkirakan sekitar lima puluh ribu orang. Mereka tinggal dirumah-rumah para perwira dan bintara serta di barak-barak prajurit.

Karena Surabaya adalah pangkalan utama angkatan laut yang menyimpan banyak rahasia militer, maka ia tertutup bagi perdagangan. Kapal-kapal dan perahu niaga yang diizinkan bersandar di dermaga pelabuhan Surabaya hanyalah kapal dan perahu niaga milik saudagar setempat. Mereka memuat barang-barang dagangan yang dibutuhkan oleh para anggota angkatan laut Majapahit seperti beras, garam, minyak kelapa, gula, kain, arang, dan alat-alat perbaikan kapal.

Keberadaan para pelaut di Surabaya itu mendorong penduduk untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Agak jauh di selatan dermaga rahasia berdiri puluhan warung-warung makan. Di kanan kiri warung-warung itu terdapat sejumlah rumah petak milik para mucikari yang dihuni pelacur-pelacur. Kawasan itu diawasi oleh seorang juru jalir (Jawa Kuno: pengawas pelacuran) yang selain mengutip pajak pelacuran juga berhak menangkap bangsawan dan perwira yang kedapatan masuk daerah tersebut. Sesuai penghuninya, tempat itu dinamai Srenggakarana (Jawa Kuno: pembangkit nafsu syahwat). Di seberang barat Srenggakarana, dipisahkan Sungai Patukangan, terdapat tempat orang-orang menggelar pertunjukan wayang, sandiwara, tayuban, dan berjenis-jenis tontonan. Kawasan ini diawasi oleh seorang tuha padahi (Jawa Kuno: pengawas seni pertunjukan). Dan sesuai kegunaannya, tempat itu disebut Panggung (Jawa Kuno: pentas pertunjukan). Kedua tempat itu ramai dikunjungi oleh para prajurit laut rendahan Majapahit.

Karena kedudukannya yang tertutup, penjagaan sejak di muara Sungai Mas sampai ke kawasan Supit Urang di tempuran Sungai Brantas di selatan sangatlah ketat. Kapal-kapal atau perahu niaga yang akan masuk ke muara Sungai Mas diperiksa terlebih dulu di dermaga utama. Selepas dari dermaga utama, kapal-kapal dan perahu niaga itu akan diperiksa lagi di Pabean. Jika ingin meneruskan pelayaran ke selatan, akan diperiksa lagi secara berturut-turut di Kabangsri, Bukul, dan Supit Urang.

Karena ketatnya pemeriksaan maka kapal-kapal niaga yang akan menuju kutaraja Majapahit untuk berdagang di pelabuhan Canggu nyaris tidak ada yang masuk melalui Sungai Mas. Mereka biasanya masuk lewat muara Sungai Brantas yang terletak sekitar dua puluh pal di timur Sungai Mas. Kapal-kapal itu akan masuk lewat Supit Urang, terus ke Gsang, Tda, dan Canggu tanpa diperiksa. Jalur lain yang juga ramai dan sejak zaman kuno digunakan oleh kapal-kapal ukuran besar adalah muara Sungai Porong dengan dermaga di Kambang Sri, Jedong, Terung, dan Canggu. Kapal-kapal dan perahu niaga itu baru dikenai pungutan cukai dan biaya sandar di Canggu.

Boleh jadi karena pangkalan angkatan laut lebih membutuhkan keterampilan dibidang pembuatan kapal, perbaikan, peralatan perang, pertukangan, dan pemenuhan kebutuhan prajurit maka bagian terbesar penduduk Surabaya adalah para pekerja yang sangat ahli dalam bidangnya. Mereka adalah para pembuat dan ahli memperbaiki kapal (undahagi; amaranggi; juru palwa; juru pelang), penggergaji kayu, pembuat berjenis-jenis senjata (gusali), pembuat kain layar (agawai layar, pembuat alat-alat pelontar api (juru gurnita), pembuat bangunan-bangunan untuk prajurit. Mereka didatangkan dari berbagai tempat di segenap penjuru negeri bahkan mancanegara. Kediaman para tukang itu terletak di selatan dermaga rahasia Surabaya. Orang-orang menyebut tempat itu dengan nama Patukangan.

Entah kebetulan entah tidak, keberadaan Surabaya sebagai pangkalan angkatan laut Majapahit seolah-olah memiliki pengaruh kuat dalam membentuk watak penduduknya. Adat kebiasaan penduduk Surabaya seolah-olah tumbuh dan berkembang di bawah bayang-bayang nilai keprajuritan, jauh dari adat kebiasaan penduduk Majapahit di tempat lain. Tidak seorang pun mengetahui kapan adat kebiasaan itu mulai dijalankan oleh penduduk Surabaya. Orang hanya ingat bahwa adat kebiasaan penduduk Surabaya seolah mendidik dan melatih semua orang agar menjadi prajurit yang tangguh. Sejak masih usia kanak-kanak penduduk Surabaya yang berasal dari berbagai suku dan bangsa itu sudah diarahkan untuk menjadi petarung-petarung unggul melalui perkelahian-perkelahian. Berkelahi baik sendiri-sendiri atau keroyokan, adalah bagian utama dari kebanggaan dan kehormatan penduduk Surabaya. Bahkan, kata tawur yang bermakna sesaji persembahan, di Surabaya dimaknai sebagai perkelahian keroyokan untuk membalas tindakan lawan.

Adat kebiasaan di Surabaya, benar-benar menempatkan keterampilan berkelahi sebagai bagian utama dari cara pengasuhan anak-anak sejak mereka berani bermain di luar rumah. Tidak peduli anak pejabat tinggi, tidak peduli anak prajurit atau anak tukang, yang paling disanjung dan dibangga-banggakan oleh kawan-kawannya adalah yang paling kuat dan paling pemberani. Di Surabaya, kemuliaan dan kehormatan diperoleh orang seorang bukan berdasarkan keturunan, kekayaan, kedudukan, dan pangkat tertentu, melainkan karena keberanian, perlawanan dan kesetiakawanan. Dengan adat kebiasaan yang tak lazim itu, penduduk Surabaya adalah orang-orang yang sangat berlebihan membanggakan diri, tidak mau kalah, suka melawan, gemar berkelahi, nekat, sombong, suka membual, tetapi sangat setia kawan. Watak ini dimaknai singkat oleh warga Surabaya dalam istilah sederhana: bagedyut (suka membualkan kehebatan diri sendiri).

Untuk melestarikan adat kebiasaan berkelahi itu, sejak kecil anak-anak Surabaya sudah dicekoki dengan cerita-cerita peperangan dan perkelahian. Yang termasyhur di antaranya adalah dongeng terjadinya nama Surabaya. Dongeng ini diawali oleh kehadiran seekor ikan sura (hiu) yang masuk ke aliran Sungai Mas. Ikan itu dihalau oleh buaya penghuni sungai. Kemudian terjadilah pertarungan sengit antara kedua hewan itu yang berakhir dengan terusirnya ikan sura kelautan.Untuk memperingati peristiwa itu, maka tempat terjadinya pertarungan itu disebut dengan nama Surabaya. Selain itu hampir setiap anak di Surabaya menghafal sebait pantun yang berbunyi:

"Pring ditumpuk-tumpuk, bumbung wadahe merang"

"Cilik diipuk-ipuk, nek wis gede budhal perang"

artinya: "Bambu ditumpuk-tumpuk, tabung bambu tempat jerami kering"

"Waktu kecil disayang sayang, jika sudah besar berangkat/maju perang".

Untuk waktu yang lama, Surabaya hidup dengan dongeng dan adat kebiasaan berkelahinya sendiri. Laksamana laut Majapahit yang ditunjuk sebagai penguasa Surabaya hanya mengawasi dari kediamannya di kutaraja. Ia sepenuhnya menyandarkan dari laporan bawahannya. Manakala adat kebiasaan berkelahi di Surabaya merangkak sampai ke puncak dan meledak dalam bentuk kerusuhan, semua pihak menjadi bingung. Rupanya, kegemaran berkelahi di Surabaya itu meluas hingga kalangan prajurit rendahan. Prajurit-prajurit laut yang umumnya berusia muda dan berdarah panas itu berkelahi dengan pemuda kampung. Mereka sering menyerang rumah penduduk. Penduduk kampung Surabaya tentu saja tidak mau kalah. Mereka ganti menyerbu barak-barak tempat prajurit laut itu tinggal. Kekacauan pun pecah. Korban berjatuhan di kedua belah pihak karena penduduk melengkapi diri dengan senjata buatan mereka sendiri.

Peritiwa kekacauan besar di Surabaya yang melibatkan prajurit laut dan penduduk terjadi tak lama setelah Prabu Wikramawarddhana naik takhta menggantikan Prabu Rajasanegara. Dalam kekacauan itu rumah penduduk di kampung-kampung dirusak dan dibakar. Mayat kedua pihak bergelimpangan di jalan-jalan. Kekacauan merebak di seluruh penjuru kota. Petugas padam apuy (Jawa Kuno: pemadam kebakaran) dari angkatan laut nyaris tak berdaya menanggulangi kebakaran yang marak. Surabaya yang dihuni berbagai suku dan bangsa yang memiliki watak berbeda-beda itu benar-benar mencekam karena baik para prajurit maupun penduduk tidak ada yang mau mengalah. Jalanan sepi, sungai-sungai tak dilayari. Sementara di sudut-sudut kampung terlihat kerumunan orang membawa berbagai jenis senjata.

Menghadapi peristiwa yang tidak diharapkan itu, Prabu Wikramawarddhana sadar bahwa sebuah tempat yang berkembang dengan jumlah penduduk hampir seratus ribu orang tidaklah mungkin dilepaskan tanpa pemimpin. Laksamana laut memang dapat mengendalikan pasukannya, namun penduduk yang tidak memiliki pemimpin dapat bertindak semaunya tanpa arahan dari seorang pemimpin yang dipatuhi.

Akhirnya, Prabu Wikramawarddhana memutuskan untuk mengangkat seorang raja muda di Surabaya dengan tugas utama menertibkan pangkalan angkatan laut dan kota dari kekacauan. Orang yang dinilai cocok untuk memangku jabatan raja muda Surabaya adalah Pangeran Arya Lembu Sura, putera Singhawarddhana Bhre Paguhan, saudara lain ibu Prabu Wikramawarddhana. Pangeran Arya Lembu Sura dianggap mampu memimpin Surabaya yang sedang kacau karena sejak kecil ia tinggal di Surabaya dan sudah sangat mengenal watak penduduk. Di samping itu, hampir semua penduduk Surabaya dari prajurit hingga tukang dan buruh sudah mengenal sang pangeran yang tinggal di Puri Surabayan tersebut.

Pangeran Arya Lembu Sura, raja pertama Surabaya, adalah pangeran gagah berani yang terkenal dermawan dan suka bergaul dengan siapa saja tanpa melihat asal usul dan derajat orang sebagaimana umumnya penduduk Surabaya, ia sudah terbiasa dengan kehidupan keras di lingkungannya. Meski ibu sang pangeran adalah puteri Janggala dan ayahandanya raja di Paguhan, kedudukan itu tidak menghalangi sang pangeran untuk gemar berkelahi seperti lazimnya anak-anak Surabaya. Bahkan karena kegemaran berkelahi itu sang pangeran memiliki banyak kawan dan sangat dibangga-banggakan oleh mereka.

Pengangkatan Pangeran Arya Lembu Sura sebagai raja muda Surabaya disambut dengan suka cita oleh penduduk. Hampir semua penduduk mengenal sang pangeran yang pemberani, dermawan, setia kawan, dan tidak membeda-bedakan manusia berdasar keturunan dan jabatan. Sikap sang pangeran yang tidak membeda-bedakan orang berdasar keturunan lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa ia seorang muslim. Menurut kisah orang-orang, Pangeran Arya Lembu Sura adalah pangeran Majapahit pertama yang memeluk agama Islam.

Sukacita atas pengangkatan Pangeran Arya Lembu Sura diwujudkan dalam bentuk pesta besar yang diselenggarakan selama tujuh hari tujuh malam di kediaman sang pangeran. Dalam pesta itu, selain mengundang penduduk, sang pangeran juga mengundang kawan-kawannya, baik yang menjadi pemuka warga di kampung-kampung, maupun yang menduduki jabatan perwira dan bintara di angkatan laut. Ternyata setelah lewat tujuh hari seusai pelantikan, keadaan di Surabaya berangsur-angsur mereda. Jalan-jalan ramai kembali. Orang-orang bekerja lagi. Penduduk secara gotong royong membangun rumah-rumah yang rusak.

Di bawah kepemimpinan Pangeran Arya Lembu Sura kehidupan penduduk Surabaya sarat dengan limpahan kemakmuran. Sebab para nayakapraja yang membantu sang raja tidak saja dikenal sebagai pejabat-pejabat yang jujur, bahkan sang raja menetapkan peraturan yang tidak lazim, yaitu menghapus semua jenis pajak bagi penduduk Surabaya yang bekerja sebagai tukang, perajin, pedagang kecil, buruh, dan petani berlahan sempit. Pajak hanya dikenakan kepada pen-duduk yang memiliki kapal, balai rangkang, tandu, gajah, payung kutlima, tanah seluas sepuluh tampah (7,6 hektar), saudagar emas, saudagar permata, dan pedagang logam.

Pada masa Pangeran Arya Lembu Sura berkuasa, untuk kali pertama dibangun sebuah kraton di Surabaya. Letaknya di tepi barat Sungai Mas, kira-kira tiga pal di utara Puri Surabayan. Berpusat dari kraton inilah sang raja memacu pertumbuhan Surabaya menjadi kota besar tempat sebuah pemerintahan ditegakkan. Bangunan-bangunan baru di sekitar kraton tumbuh sesuai tuntutan tata pemerintahan, seperti Ndalem Kepatihan, Katumenggungan, Kacarikan (manghuri), Karanggan, dan Katandhan. Tembok baluwarti setinggi lima depa dibangun mengitari kraton sejak tepi barat Sungai Mas hingga ke barat sepanjang tiga pal. Sebuah taman sari (kebon raja) yang indah dibangun di utara kraton dengan kolam ikan (paulaman) yang luas.

Entah benar entah tidak, menurut dongeng orang-orang tua, sejak Pangeran Arya Lembu Sura berkuasa sebagai raja terbentuklah untuk kali pertama perkampungan muslim di Surabaya. Perkampungan itu terletak di seberang timur kraton dan dinamai Pinilih (Jawa Kuno: bebas memilih). Penduduk muslim di Kampung Pinilih umumnya perajin, pedagang kecil, dan pengecor logam. Mereka adalah para pembuat tikar rotan (agawai lampit), pemintal benang (angapus), tu-kang jagal (juru bapuh), tukang celup (mangkala), buruh yang mengurusi ayam aduan (juru kurung), dan penempa logam (apande salwir ning apande). Untuk kepentingan ibadah warga muslim di Pinilih, Pangeran Arya Lembu Sura membangun masjid di sana. Itulah masjid pertama di Surabaya.

Perkampungan muslim kedua terbentuk di tepi timur Sungai Mas kira-kira tiga pal di utara Pinilih. Perkampungan baru itu disebut Ampel Denta (Jawa Kuno: Bambu Gading) karena di situ banyak tumbuh pohon bambu gading. Letak Ampel Denta di sebelah selatan Kampung Patukangan. Meski berdekatan dengan Kampung Patukangan, penduduk Ampel Denta bukanlah tukang. Mereka umumnya bekerja di bidang kerajinan dan perdagangan kecil, seperti perajin emas (limus galuh), tukang jahit (juru basana), perajin permata (pamanikan), pembuat payung (payungan), pedagang bantal (banyaga wantal), pedagang kapur (wli hapu), pedagang terompah (wli tarumpah), dan pedagang kemenyan dan dupa (wli pulageni).

Agak berbeda dengan penduduk muslim Pinilih, penduduk Ampel Denta kebanyakan orang-orang Kmir (Jawa Kuno: Campa; Khmer) dan peranakan Arab. Yang paling berpengaruh di antara penduduk muslim peranakan di Surabaya, terutama di Ampel Denta, adalah tiga bersaudara Bong (Sam Bong), yaitu Haji Bong Swi Hoo, Haji Bong An Sui, dan Haji Bong Sam Hong. Mereka merupakan cucu Bong Tak Keng, orang asal Sin Fun An (Pnom-penh) yang datang untuk berdagang ke Majapahit sejak Prabu Rajasanegara memerintah. Sama seperti kakeknya, Bong Swi Hoo dan dua orang saudaranya adalah pedagang sutra yang tinggal di dermaga Jedong di hilir Sungai Porong. Ketika mendengar raja Surabaya yang baru dilantik adalah seorang muslim, dengan diikuti sejumlah penduduk yang beragama Islam, ia dan saudara-saudaranya pindah ke Surabaya. Bong Swi Hoo bersaudara meminta perkenan Pangeran Arya Lembu Sura agar ia dan saudara-saudaranya dapat tinggal di Surabaya. Dan Pangeran Arya Lembu Sura meluluskan permintaannya.

Bong Swi Hoo bersaudara kemudian tinggal di selatan Ampel Denta. Penduduk Surabaya menyebut kediaman tiga bersaudara Bong itu dengan nama Kampung Sam Bong-an (tempat tinggal Sam Bong). Tiga bersaudara Bong itu dikenal sebagai penyumbang dana terbesar bagi pembangunan Masjid Ampel Denta, yang merupakan masjid kedua di Surabaya. Mereka tidak hanya dikenal sebagai saudagar yang dermawan, tetapi juga diketahui penduduk sebagai mertua raja Surabaya, Pangeran Arya Lembu Sura.

Sebagai seorang raja muslim, Pangeran Arya Lembu Sura memiliki hubungan baik dengan saudagar-saudagar muslim dan guru-guru agama Islam di Majapahit. Salah seorang guru dan sekaligus sahabat yang paling dipercayainya adalah Sayyid Malik Ibrahim, banyaga wantal yang tinggal di Thani Sembalo Wisaya Tandhes (Gresik). Berbeda dengan banyaga wantal yang tinggal di Ampel Denta, bantal-bantal yang diperdagangkan Sayyid Malik Ibrahim merupakan bantal bermutu tinggi buatan Persia dan Gujarat. Bantal-bantal itu hanya diperdagangkan di kalangan pejabat tinggi Majapahit, terutama di lingkungan keluarga Maharaja.

Sayyid Malik Ibrahim sendiri dikenal sebagai orang yang cerdik, sabar, dermawan, bijaksana dan pandai bercerita. Para pangeran kecil Majapahit selalu menunggu-nunggu kehadirannya untuk mendengarkan kisah-kisahnya yang menakjubkan. Di lingkungan keluarga maharaja di kutaraja, Sayyid Malik Ibrahim dikenal dengan sebutan Kake' Bantal Sang Amancangah (Kakek Bantal Si Juru Dongeng). Lewat cerita-ceritanya yang menakjubkan itulah dia berkenalan dan menjalin persahabatan dengan Pangeran Arya Lembu Sura, saat sang pangeran berkunjung ke kutaraja. Dan lewat bimbingan Sayyid Malik Ibrahim, Pangeran Arya Lembu Sura kemudian memeluk agama Islam.

Hubungan sebagai guru dan murid antara Sayyid Malik Ibrahim dan Pangeran Arya Lembu Sura berlangsung dengan akrab selama bertahun-tahun. Hubungan itu makin dekat ketika sang pangeran berkenalan dengan Sayyid Ibrahim Zainal Akbar, kemenakan Sayyid Malik Ibrahim. Sayyid Ibrahim Zainal Akbar adalah banyaga wesi yang memperdagangkan berjenis-jenis besi bermutu tinggi dari berbagai negeri. Melalui jasa Pangeran Arya Lembu Sura, ia menjadi pemasok utama kebutuhan Majapahit akan besi-besi bermutu yang digunakan membuat senjata-senjata pusaka. Yang paling masyhur di antaranya adalah yang disebut Wesi Purasani. Besi itu menjadi bahan utama bagi pembuatan pusaka di lingkungan kraton. Sebutan Purasani sendiri berasal dari kekeliruan lidah orang-orang Majapahit melafalkan "Khurasani", yaitu besi asal besi itu. Hampir semua pusaka kerajaan yang dibuat dari bahan besi asal Khurasan berasal dari pasokan Sayyid Ibrahim Zainal Akbar.

Sayyid Malik Ibrahim dan Sayyid Ibrahim Zainal Akbar merupakan orang-orang yang sangat dipercaya oleh Arya Lembu Sura. Sebab, mereka dikenal jujur dan selalu menjalankan apa yang mereka ucapkan. Atas saran Sayyid Malik Ibrahim, pangeran Arya Lembu Sura menikahi anak-anak tiga bersaudara Bong. Dari anak Haji Bong Swi Hoo, sang pangeran memperoleh putera sulung, yaitu Arya Sena, yang setelah dewasa diangkat oleh maharaja menjadi pecat tandha di Terung. Dari anak Haji Bong An Sui, sang pangeran memperoleh keturunan puteri yang dinamai Ratna Wulan. Puteri itu diperistri orang Arab asal Pasai bernama Abdurrahim bin Kourames al-Abbasi. Sedang dari anak Haji Bong Sam Hong, sang pangeran memperoleh keturunan puteri yang dinamai Ratna Panjawi. Puteri itu diperistri Dyah Kertawijaya, kemenakannya sendiri. Sementara atas saran Sayyid Ibrahim Zainal Akbar, Pangeran Arya Lembu Sura menikahi perempuan Wandan muslim anak kepala suku Wandan. Dari perempuan Wandan itu ia memiliki putera bernama Arya Bribin, yang setelah dewasa diangkat oleh maharaja menjadi adipati di Arosbaya, Madura.

Ketika Majapahit mulai melemah akibat perang berkepanjangan dengan Blambangan yang diikuti meredupnya kekuatan laut, Arya Lembu Sura mengambil langkah mengejutkan: mengubah Surabaya dari pangkalan utama angkatan laut menjadi bandar perniagaan. Menurut hemat Arya Lembu Sura, jika Surabaya tetap dipertahankan sebagai pangkalan tertutup dengan puluhan ribu prajurit laut yang tidak terurus, dipastikan akan pecah kekacauan yang tak terbayangkan. Ia berharap dengan dibukanya pelabuhan Surabaya sebagai bandar niaga maka kekuatan laut Majapahit secara berangsur-angsur akan dialihkan menjadi kekuatan niaga. Kapal-kapal perang Majapahit bisa diubah menjadi kapal niaga. Para prajurit laut bisa dialihkan menjadi awak kapal niaga.

Keputusan Arya Lembu Sura membuka pelabuhan Surabaya terbukti sangat tepat. Sebab, kapal-kapal perang Majapahit yang diubah menjadi kapal dagang sangat disukai oleh para saudagar untuk mengangkut barang dagangan. Kapal-kapal itu selain lebih kuat dan muatannya lebih banyak, lajunya juga lebih cepat dibanding kapal niaga biasa. Sementara itu, jarak bandar Surabaya ke kutaraja Majapahit yang lebih dekat dibanding jarak dari Tuban menyebabkan para saudagar lebih memilih menurunkan dan mamunggah barang dagangannya di Surabaya. Demikianlah, dalam waktu singkat pelabuhan dagang Surabaya berkembang pesat. Saudagar-saudagar dari berbagai negeri berniaga di Surabaya dan banyak di antara mereka yang kemudian menjadi penduduk Surabaya.

Sebagai satu-satunya pangeran Majapahit yang beragama Islam di zamannya, Arya Lembu Sura dikenal sebagai pelindung dan sekaligus tumpuan bagi orang-orang Islam di Majapahit. Lewat tangan Arya Lembu Sura, sejumlah jabatan penting di Majapahit diduduki oleh orang-orang Islam. Abdurrahim bin Kourames al-Abbasi, menantu Arya Lembu Sura, misalnya, diangkat oleh Prabu Wikramawarddhana menjadi syahbandar di Tuban. Ia dianugerahi gelar Arya Teja. Arya Bribin, puteranya, diangkat menjadi adipati di Arosbaya. Sayyid Malik Ibrahim diangkat menjadi imam masjid di Tandhes dan memimpin warga muslim di sana. Ia bahkan dianugerahi gelar Raja Pandita.

Peran Arya Lembu Sura dalam menempatkan orang-orang Islam di dalam pemerintahan terlihat makin kuat manakala menantu yang juga kemenakannya, Dyah Kertawijaya, naik takhta Majapahit dengan gelar Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Atas saran Arya Lembu Sura, putera Sayyid Ibrahim Zainal Akbar yang bernama Sayyid Salim Najah (dikenal dengan nama Sayyid Es) diangkat anak oleh Prabu Kertawijaya dan dijadikan adipati Kendal. Namanya diganti menjadi Syaikh Suta Maharaja. Saudara tua Sayyid Salim Najah, Sayyid Waly al-Islam oleh Arya Lembu Sura dinikahkan dengan Ratna Sambodhi, puteri Lembu Miruda Panembahan Bromo, saudara lain ibu Arya Lembu Sura. Sayyid Waly al-Islam diangkat menjadi imam masjid di Samarang. Bahkan saudara termuda mereka, Sayyid Husayn, oleh Arya Lembu Sura dinikahkan dengan cucunya, puteri Arya Bribin Adipati Arosbaya.

Ketika usia Arya Lembu Sura mencapai hampir tujuh puluh, Dyah Kertawijaya, kedatangan tiga orang kemenakan istrinya. Karena Dyah Kertawijaya masih seorang pangeran yang sedang bersaing memperebutkan takhta yang sedang diduduki kakaknya, Prabu Stri Suhita, maka ketiga orang kemenakannya itu dititipkan kepada Arya Lembu Sura. Ketiga kemenakan itu adalah Sayyid Ali Murtadho, Sayyid Ali Rahmatullah, dan Abu Hurairah. Ketiganya kemenakan Ratu Darawati, istri Prabu Kertawijaya yang berasal dari negeri Campa.

Arya Lembu Sura sangat gembira menerima kehadiran ketiga pemuda Campa itu, terutama setelah ia mengetahui bahwa Raden Ali Murtadho dan Raden Ali Rahmatullah adalah kemenakan Sayyid Ibrahim Zainal Akbar, sahabatnya. Mereka berdua adalah putera Ibrahim al-Ghozi as Samarkandy, saudara kandung Sayyid Ibrahim Zainal Akbar. Dengan begitu mereka berdua merupakan cucu kemenakan Sayyid Malik Ibrahim, guru ruhani yang telah membimbingnya ke jalan Kebenaran Islam. Kegembiraan Arya Lembu Sura berubah menjadi kasih sayang ketika mengetahui Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah memiliki pengetahuan luas dan semangat kuat dalam bidang agama. Mereka kemudian diminta untuk menjadi guru bagi penduduk muslim di sekitar masjid.

Barang tiga empat tahun setelah ketiganya mengabdi di Surabaya, Dyah Kertawijaya naik takhta Majapahit dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Atas permohonan istrinya, Prabu Kertawijaya kemudian menganugerahi ketiga orang kemenakan istrinya itu gelar kebangsawanan Rahadyan (Jawa Kuno: Tuan Yang Mulia, yang kelak dilafalkan "raden"). Arya Lembu Sura sangat bergembira dengan hal itu. Itu sebabnya, ia menikahkan ketiga orang pangeran itu dengan cucu-cucunya, putera Arya Teja, syahbandar Tuban.

Setelah menikah, Raden Ali Murtadho tinggal di rumah pemberian Arya Lembu Sura di timur Masjid Pinilih. Ia ditetapkan sebagai imam Masjid Pinilih karena posisinya sebagai saudara tua, sedangkan Raden Ali Rahmatullah bersama istrinya tinggal di rumah pemberian Arya Lembu Sura yang terletak di timur Masjid Ampel Denta. Ia ditetapkan sebagai imam masjid, yang selain bertugas memimpin sembahyang juga memberikan pelajaran agama kepada warga sekitar. Sementara Raden Abu Hurairah diangkat menjadi leba di Wirasabha, yakni pejabat kraton yang ditugaskan mengurus tanah milik maharaja dan berhak memungut pajak atas tanah tersebut. Raden Abu Hurairah sangat disayangi oleh Ratu Darawati karena sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu dan diasuh oleh uwaknya, Candrawati. Itu sebabnya, ia ditempatkan di Wirasabha agar dapat sering berkunjung ke kediaman Ratu Darawati di kraton Majapahit.

Sekalipun sibuk mengurusi Masjid Ampel Denta, Raden Ali Rahmatullah berusaha meluangkan waktu untuk belajar ilmu tata negara, ilmu pemerintahan, dan perniagaan kepada Arya Lembu Sura yang kini menjadi kakeknya itu. Lantaran rajin dan tekun belajar, hubungannya dengan Arya Lembu Sura menjadi sangat dekat. Kemanapun Arya Lembu Sura pergi, cucu menantunya itu selalu mendampinginya. Bahkan saat sakit pun, dengan penuh kesabaran ia merawat raja Surabaya yang sudah uzur itu. Dan boleh jadi karena hubungan keduanya sudah terlalu dekat maka saat menjelang ajal, Arya Lembu Sura meninggalkan wasiat kepada keluarganya agar kedudukannya sebagai raja Surabaya digantikan oleh cucu menantunya, yaitu Raden Ali Rahmatullah.

Akhirnya, pada usia tujuh puluh dua tahun Arya Lembu Sura Wafat. Ia dimakamkan di Batu Putih yang terletak di seberang timur Kampung Ampel Denta. Namun seiring kabar kematiannya itu, tersiar pula kabar tentang wasiatnya yang menunjuk Raden Ali Rahmatullah sebagai penggantinya. Kabar terakhir itu sangat mengejutkan para pejabat Majapahit. Sebab bagi Majapahit, Surabaya selain masih menjadi pangkalan angkatan laut juga menjadi gerbang perniagaan yang mengalirkan dana sangat besar bagi kas kerajaan. Penyerahan tampuk kekuasaan di Surabaya ke tangan orang asing yang beragama Islam secara sederhana dapat dianggap sebagai ancaman yang berbahaya bagi Majapahit.

Di tengah desas desus yang memanas di kutaraja tentang wasiat Arya Lembu Sura itu, Prabu Kertawijaya yang menjadi salah satu sasaran kabar burung itu kemudian mengambil langkah bijaksana. Pertama-tama ia secara resmi mengangkat Raden Ali Rahmatullah sebagai imam Masjid Ampel Denta. Kemudian ia mengangkat pula Raden Ali Murtadho sebagai imam Masjid Tandhes (Gresik) dengan gelar Raja Pandhita. Untuk melantik Raden Ali Rahmatullah dan Raden Ali Murtadho sebagai imam masjid, Prabu Kertawijaya menunjuk sepupu dan sekaligus iparnya, Pangeran Arya Sena, pecat tandha di Terung, putera almarhum Arya Lembu Sura.

Dengan kebijakan mengangkat Raden Ali Rahmatullah sebagai imam Masjid Ampel Denta dan Raden Ali Murtadho sebagai imam Masjid Tandhes, Prabu Kertawijaya berharap dapat menunjukkan bukti kepada kalangan pejabat kerajaan bahwa kemenakan istrinya itu telah dijauhkan dari pusat kraton Surabaya. Namun, kebijakan itu menimbulkan ketidakpuasan penduduk Surabaya. Rupanya, penduduk Surabaya yang mengetahui pesan terakhir rajanya itu dengan tegas tidak mau menerima keputusan Prabu Kertawijaya. Beramai-ramai mereka keluar dari kampungnya masing-masing dan berbondong-bondong menuju Ampel Denta. Demikianlah, dengan arak-arakan panjang yang memenuhi jalan-jalan dan sungai, Raden Ali Rahmatullah didaulat untuk tinggal di kraton Surabaya menggantikan kakeknya Arya Lembu Sura.

Prabu Kertawijaya yang menerima laporan peristiwa itu tidak terkejut, ia malah tertawa. Ia sangat paham dengan watak penduduk Surabaya yang setia, namun cenderung melawan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka. Akhirnya, setelah memperoleh masukan dari para penasihat kerajaan, Prabu Kertawijaya memutuskan untuk mengangkat Raden Ali Rahmatullah sebagai raja muda Surabaya dengan jabatan bupati, yaitu jabatan raja muda yang berkuasa atas wilayah tertentu, namun tidak memiliki kewenangan memerintah angkatan perang. Namun kebijakan itu ternyata tidak mampu meredam suasana panas di kutaraja. Desas desus yang meluas akibat pengangkatan bupati Surabaya itu makin memanas dikipas-kipas oleh menantu dan sekaligus kemenakan maharaja, sehingga ujung dari masalah pelik itu adalah jatuhnya Prabu Kertawijaya dari takhta.

Memasuki perempat awal abad ke-14 Saka, usia Raden Ali Rahmatullah hampir delapan puluh. Ia sudah berkuasa selama hampir setengah abad serta dikaruniai anak-anak, cucu, dan cicit yang sangat banyak. Dari putera dan puterinya yang berjumlah tujuh belas orang itu, Raden Ali Rahmatullah dikaruniai tujuh puluh tujuh cucu dan seratus cicit. Pada usianya yang sudah senja itu ia mengundurkan diri dari jabatan bupati Surabaya dan menjadi imam di Masjid Ampel Denta.

Sebelumnya, banyak orang menduga bahwa pewaris yang akan menggantikan kedudukan Raden Ali Rahmatullah adalah Raden Akhmad yang terkenal dengan sebutan Pangeran Mamad, puteranya dengan Nyi Ageng Bela. Namun orang-orang menjadi heran ketika Raden Ali Rahmatullah menunjuk Raden Kusen Adipati Terung, putera Ario Damar yang tidak lain dan tidak bukan adalah siswanya terkasih, sebagai penggantinya. Raden Kusen dikenal sangat patuh dan setia kepada gurunya. Itu sebabnya, ia tidak berani menolak keinginan sang guru. Ia menerima saja kedudukan itu sesuai keinginan gurunya, namun ia tidak berani tinggal di kraton Surabaya. Seusai dilantik oleh wakil ratu Japan, patih Arya Kedut, Raden Kusen tetap menempati kediamannya sendiri yang terletak di lingkungan puri Surabayan, yaitu di Tegal Bubatsari.

Kabar pergantian kekuasaan di Surabaya dari Raden Ali Rahmatullah ke Adipati Terung itu ternyata sangat mengejutkan para pejabat tinggi Majapahit di Daha, terutama Patih Mahodara. Sebab dengan merangkap dua jabatan sebagai Adipati Terung sekaligus bupati Surabaya, putera Ario Damar itu dipastikan akan membawa malapetaka besar bagi kelangsungan hidup Majapahit di pedalaman. Kenyataan setidaknya telah menunjukkan bahwa sejak pecah pertempuran pertama antara Adipati Terung dan Patih Mahodara, jalur perniagaan sepanjang Sungai Porong yang menghubungkan wilayah pedalaman Majapahit dengan daerah pesisir telah ditutup, mulai dari Kambang Sri, Jedong, Terung, dan Canggu. Kini, setelah menjadi penguasa Surabaya, dipastikan Raden Kusen akan melakukan tindakan serupa, yakni melarang kapal-kapal dan perahu asal Daha melewati Sungai Brantas yang mengalir ke Sungai Mas dan Supit Urang.

Sadar bahwa malapetaka sedang mengintai kekuatannya seiring naiknya Raden Kusen menjadi adipati Surabaya, Patih Mahodara mengirim menantunya, Syaikh Maulana Gharib, ke Ampel Denta untuk menemui Raden Ali Rahmatullah. Syaikh Maulana Gharib sendiri adalah saudara lain ibu Raden Ali Rahmatullah. Ia adik kandung Maulana Ishak yang bungsu. Melalui Syaikh Maulana Gharib, sang patih memohon agar Raden Ali Rahmatullah berkenan mendamaikan perselisihannya dengan Adipati Terung. Dalam perselisihan pertama dan kedua, sifat keras kepala Adipati Terung terbukti hanya bisa dilunakkan oleh Raden Ali Rahmatullah. Dan ternyata Raden Ali Rahmatullah menyambut baik permohonan Patih Mahodara.

Perselisihan antara Adipati Terung dan Patih Mahodara sendiri sejatinya telah menguras segenap daya dan kekuatan kedua belah pihak. Bukan hanya pasukan Terung dan Daha yang bertempur, melainkan para Adipati yang memihak masing-masing kekuatan pun jumlahnya mencapai puluhan. Lantaran itu, untuk menghentikan perselisihan dibutuhkan kesepakatan dari para adipati yang terlibat untuk mengakhiri peperangan yang menyengsarakan kawula. Raden Ali Rahmatullah mengumpulkan seluruh sanak kerabat dan siswanya yang menjadi penguasa-penguasa di pesisir, terutama para keturunan Prabu Kertawijaya, Bhre Tumapel dan Bhre Wirabhumi. Sedangkan Syaikh Maulana Gharib mengumpulkan para adipati yang mendukung Patih Mahodara. Kabar berkumpulnya para adipati itu dengan cepat meluas ke berbagai tempat. Tak lama kemudian penduduk Surabaya menyaksikan para adipati dari berbagai daerah berdatangan ke kotanya. Mereka ditempatkan di kraton Surabaya, meski rencana pertemuan akan digelar di Masjid Ampel Denta.

Abdul Jalil yang agak terlambat mendengar kabar itu dari Pangeran Kanduruwan bergegas ke Surabaya bersama-sama dengan Raden Sulaiman. Namun, saat tiba di Surabaya ternyata pertemuan itu belum dilakukan. Para adipati dan raja muda yang hadir masih tinggal di kraton Surabaya untuk menunggu saudara-saudaranya yang belum datang. Abdul Jalil dan Raden Sulaiman kemudian menghadap Raden Ali Rahmatullah yang tinggal di sebuah pondok kecil di samping Masjid Ampel Denta.

Kepada sepupu jauhnya itu, Abdul Jalil menuturkan semua pengalamannya selama berada di pedalaman Majapahit yang begitu kacau balau. Ia meminta saran dan petunjuk apa yang sebaiknya ia lakukan untuk menghadapi perubahan yang berat itu. Ternyata, saran dan petunjuk Raden Ali Rahmatullah tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dipikirkannya; bahwa perjuangan mengubah tatanan kehidupan di tengah reruntuhan Majapahit harus dilakukan secara serentak oleh banyak orang yang memiliki pandangan dan semangat yang sama, yaitu para pejuang yang memiliki semangat perbaikan (islah) untuk menciptakan kehidupan anak manusia yang lebih baik.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers