Kamis, 16 Maret 2017

HIDAAH AL-HADI

Hidayah al-Hadi

Suasana malam hari bandar Kozhikode sebelum hadirnya orang-orang Portugis sangat semarak. Para pelaut dari berbagai negeri biasanya menghabiskan waktu di kedai-kedai yang tersebar di kawasan pelabuhan. Mereka menghamburkan uang di meja judi, kedai minuman, rumah pelacuran, dan panggung pertunjukan. Selama berpuluh tahun kehidupan malam di Kozhikode benar-benar sangat semarak. Tetapi, sejak hadirnya kapal-kapal Portugis di bawah Vasco da Gama, kehidupan malam di Kozhikode tiba-tiba menjadi senyap. Kedai-kedai minuman di sekitar pelabuhan terlihat redup dan sepi pengunjung. Rumah-rumah pelacuran pun hanya dikunjungi satu dua orang, terutama pelaut Portugis. Panggung pertunjukan tutup. Kapal-kapal niaga yang biasanya tertambat di dermaga atau membuang sauh di lepas pantai Kozhikode jumlahnya tinggal hitungan jari. Jika malam merayap, penduduk Kozhikode lebih suka menutup pintu dan menggulung diri dalam selimut.

Suatu malam, di bawah bayangan kota yang sepi, dalam liputan malam yang dingin, di antara gonggongan anjing geladak yang berkeliaran di jalanan, terlihat beberapa pelaut Portugis berjalan sempoyongan keluar dari kedai minuman. Rupanya, mereka baru saja menenggak minuman keras dengan dikawani pelacur-pelacur sampai mabuk. Tanpa peduli keadaan sekitar, dengan langkah gontai mereka merayap di tengah keremangan, melintasi lorong-lorong menuju pelabuhan. Salah seorang di antara mereka terlihat menggenggam erat botol minumannya dan sesekali menenggak isinya sambil terseok-seok. Setelah agak jauh melangkah, mereka berangkulan dan bernyanyi-nyanyi sambil sesekali berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Mereka mengumpat aturan ketat yang melarang mereka menginap di luar kapal. Mereka mengumpat tukang masak kapal yang menyiapkan menu sama dari waktu ke waktu. Dan dengan perasaan getir, mereka mengumpat para pelacur India yang menertawakan kejantanan mereka dengan ibarat ayam dalam bercinta.

Di tengah gaduhnya pelaut-pelaut Portugis yang mabuk dan mengumpat-umpat, di dalam embusan angin laut yang menampar-nampar, di antara debur ombak yang menghantam tiang-tiang dermaga, terlihat seorang pelaut muda Portugis duduk di sisi kanan dermaga. Ia adalah Francisco Barbosa, prajurit bagian meriam yang terkenal gagah berani dan tidak takut mati dalam pertempuran. Agak berbeda dengan kawan-kawannya yang selalu bergembira dan menghibur diri di kota, pelaut muda asal kota Tavira, Algarvia, Portugis selatan itu selalu terlihat murung dan gelisah. Seperti kebiasaan yang dilakukannya, malam itu ia duduk di dermaga sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menggantung ke arah depan dan belakang. Beberapa kali ia terlihat memukul-mukul pahanya.

Kemurungan dan kegelisahan yang dirasakan Barbosa sebenarnya berawal dari kekecewaan mendalam yang dialaminya sewaktu mengikuti pelayaran Vasco da Gama ke Kozhikode. Ia yang sebelumnya memuja kepahlawanan dan kegagahberanian ksatria di medan tempur, benar-benar kecewa dan sangat terpukul ketika menyaksikan kebiadaban pemimpin dan kawan-kawannya yang tertawa kegirangan sewaktu membakar kapal berisi orang-orang muslim Kozhikode hingga tenggelam ke dasar laut. Ia tidak bisa menerima apa pun alasan yang membenarkan peristiwa itu. Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku ksatria dan prajurit tuhan bisa melakukan tindakan nista: membakar kapal yang ditumpangi laki-laki tua, perempuan, dan anak-anak tak bersenjata. Sungguh, hanya bajingan pengecut yang membunuh orang tua, perempuan, dan anak-anak, jeritnya dalam hati dari waktu ke waktu. Sejak peristiwa keji itu, ia merasakan jiwanya luka berdarah-darah.

Luka jiwa yang dialami Barbosa makin parah manakala ia menyaksikan peristiwa yang tidak kalah nista: prajurit Portugis, prajurit-prajurit tuhan yang perkasa, menangkapi nelayan tak bersenjata dan membunuh mereka serta memotong-motong anggota tubuh mereka. Tindakan keji itu, menurutnya, adalah tindakan pengecut yang hina. Luka jiwa itu makin parah manakala ia diperintahkan menembaki kota Kozhikode. Ia merasakan bukan saja jiwanya luka dan mengalirkan darah, bahkan kedua tangannya ia rasakan berlumuran darah.

Francisco Barbosa, prajurit muda Portugis yang sejak kanak-kanak memuja kepahlawanan sebagai keutamaan, memang sangat sulit menerima tindakan brutal kawan-kawannya yang mengaku prajurit tuhan itu sebagai sebuah tindakan yang benar. Ia juga sulit menerima tindakan biadab pemimpinnya, yang mengaku ksatria tuhan itu, sebagai sebuah tindakan mulia. Ia justru menangkap kesan betapa pemimpin dan kawan-kawannya adalah kawanan monster buas mengerikan yang mengaku-aku sebagai ksatria dan prajurit tuhan. Dan kesan kemonsteran mereka itu makin kuat tergambar di benak Barbosa ketika kilasan bayangan peristiwa terkutuk itu laksana hantu memburu ingatannya. Tak jarang ia mengamuk tanpa alasan ketika telinga jiwanya mendengar jerit tangis perempuan dan anak-anak dari dalam kapal yang terbakar itu. Pemandangan terkutuk itu benar-benar telah menggerus jiwanya bagaikan tebing sungai yang longsor terkena arus.

Sebagai prajurit, Barbosa berusaha keras menutupi kegundahan yang makin menggoyahkan ketegaran jiwanya. Tetapi, ia tetap tidak mampu menyembunyikan kegalauan yang memancar dari sorot matanya. Ia tidak sanggup lagi berbicara dengan tenang akibat kecemasan yang mengharu biru jiwanya. Ia tidak dapat bersikap ramah terhadap kawan-kawan yang dianggapnya sebagai makhluk mengerikan. Bahkan, tarikan napas berat berulang-ulang yang mulai sering dilakukannya saat berusaha menenangkan jiwanya yang kacau, seolah-olah menunjuk betapa menyesakkan beban jiwa di dadanya yang ingin ditumpahkan lewat lubang hidungnya. Saat kegundahan sudah pepat memenuhi dada hingga benaknya pun padat dijejali bayangan-bayangan mengerikan, ia berusaha membersihkannya dengan minuman keras. Tapi, yang paling sering dilakukannya saat tercekam kegundahan adalah duduk semalaman di dermaga. Sebagaimana malam-malam sebelumnya, Barbosa duduk menyendiri di dermaga untuk menenangkan jiwanya yang teraduk-aduk seperti ombak lautan.

Gerak-gerik Barbosa yang dicekam kegelisahan itu ternyata cukup lama diamati oleh Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, Raden Sahid, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, dan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry yang berdiri di ujung dermaga tak jauh darinya. Ketika beberapa orang pelaut Portugis yang mabuk terlihat melangkah terseok-seok menuju dermaga, Abdul Jalil berkata kepada Sidi Abdul Qadir el-Kabiry, �Malam ini kita akan melihat kenyataan tentang manusia yang sama dalam bentuk perwujudan, namun berbeda dalam pandangan. Malam ini kita akan menyaksikan Kebenaran tentang citra keberadaan suatu bangsa berdasar hakikat kemanusiaan, tanpa dilandasi prasangka-prasangka. Kita akan menyaksikan mana manusia yang dipancari hidayah dari al-Hadi dan mana manusia yang diselimuti kelimpahan (thaghut) dari al-Mudhil.�

�Apakah Tuan Syaikh akan menunjukkan kepada kami bahwa orang-orang yang berjalan sempoyongan di ujung jalan itu adalah orang-orang sesat dan orang yang duduk di dermaga itu orang yang mendapat petunjuk?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry minta penjelasan.

�Kami tidak pernah mengatakan sesat dan tidak sesat atas orang seorang,� kata Abdul Jalil menjelaskan. �Kami selalu mengatakan manusia yang beroleh pancaran hidayah dan manusia yang diselubungi selimut thaghut. Manusia yang beroleh pancaran hidayah, segala tindakan yang dilakukan selalu dibimbing oleh akal (�aql) yang diterangi burhan dan dipancari cahaya mata batin (�ain al-bashirah). Manusia seperti itu ditandai oleh sikap dan tindakan yang selaras dan terkendali. Sedangkan manusia yang diselubungi selimut thaghut yang gelap, segala tindakannya dibimbing oleh keakuan kerdil yang mengikat (�iql) akal (�aql) dengan nafsu-nafsu rendah (hawa). Manusia seperti ini sikap dan tindakannya cenderung melampaui batas (thagy), lalim (thagin), menindas (thaghiyah), dan sewenang-wenang (thughyan). Itu berarti, orang-orang yang sudah mengikrarkan dua kalimah syahadat pun, jika sikap dan tindakannya dibimbing oleh keakuan kerdil yang diikat akal dan nafsu-nafsu rendah, tetaplah sebagai manusia yang masih diselubungi selimut thaghut yang memancar dari al-Mudhil.�

�Aneh sekali pandangan Tuan Syaikh ini. Padahal, menurut kami, manusia yang mendapat hidayah adalah manusia yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Itu berarti, Tuan masih memandang hakikat manusia dari sisi lahiriah belaka. Sebab, kalau ukuran hidayah hanya terbatas pada ucapan lisan seseorang, maka Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah Saw. tidak dibutuhkan lagi sebagai pedoman bagi manusia yang mengaku beroleh hidayah. Karena itu, menurut hemat kami, pengakuan sepihak manusia-manusia yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai orang yang mendapat hidayah wajib diuji dulu dalam sikap dan tindakannya berdasar Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah Saw.. Jika ternyata mereka dalam sikap dan tindakan masih cenderung melampaui batas-batas yang ditetapkan Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta malah terperangkap dalam kebendaan, maka mereka hanya mengaku-aku saja sebagai manusia yang beroleh hidayah. Ya, mereka itu hanya mengaku-aku. Seribu kali mengaku-aku. Sebab, sejatinya mereka masih berada dalam cengkeraman kegelapan nafsu-nafsu rendah.�

�Kami sepaham dengan Tuan dalam hal itu. Tetapi, kami sangat sulit menerima pandangan yang mengatakan bahwa hidayah bisa diperoleh oleh orang yang bukan muslim. Bagaimana orang yang tidak mengucapkan dua kalimah syahadat bisa disebut beroleh hidayah?� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tak paham.

�Tuan selaku muslim tentu saja berhak mengatakan secara sepihak bahwa hidayah (petunjuk Ilahi) adalah mutlak milik orang muslim. Sedangkan orang-orang Portugis yang Kristen juga berhak mengatakan secara sepihak bahwa merekalah orang yang mendapat petunjuk Ilahi. Demikian juga dengan penganut Budha, Hindu, dan Majusi. Semua berhak menyatakan secara sepihak sebagai umat yang beroleh petunjuk dan bimbingan Tuhan. Tapi, semua itu �kan masih pernyataan sepihak. Sikap dan tindakan merekalah yang mencerminkan apakah mereka hamba Tuhan yang beroleh petunjuk atau tidak.�

�Kalau menurut Tuan Syaikh, bagaimana cara yang benar untuk mengetahui siapa di antara manusia yang beroleh petunjuk dan ajaran agama mana yang benar menurut Allah?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Manusia yang beroleh hidayah bisa kita lihat dari sikap dan tindakannya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana telah kami uraikan. Sementara pernyataan tentang manakah agama yang benar menurut Allah, menurut kami adalah pernyataan yang kurang pantas. Sebab, pada hakikatnya semua agama adalah benar menurut penganutnya masing-masing. Maksudnya, keragaman agama adalah kehendak Allah semata. Dia, Allah, Tuhan Yang Maha Esa, ingin disembah ciptaan-Nya dengan segala macam cara sebatas kemampuan dan pemahaman penyembah bersangkutan. Dengan begitu, orang-orang yang menyembah Allah dalam bentuk arca, batu, kayu, pohon, gunung, bulan, bintang, matahari, dan bahkan manusia pada hakikatnya menyembah-Nya juga sesuai kadar kemampuannya mengenal Allah,� papar Abdul Jalil.

�Maksud kami, bagaimana cara kita untuk mengetahui suatu ajaran agama itu nilai Tauhidnya lebih tinggi dibanding ajaran lain?�

�Kalau itu, Tuan bisa bertanya kepada anak kami, Raden Sahid. Sebab, dia telah mengetahui rahasia untuk menilai tingkat Ketauhidan suatu ajaran.�

�Benarkah demikian, o Anak Muda?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry kepada Raden Sahid.

�Benar, Tuan.�

�Bisakah engkau menjelaskan kepada kami?�

�Pengetahuan rahasia itu tidak untuk dijelaskan dengan nalar, Tuan. Sebaliknya, pengetahuan itu untuk dijalankan sebagai laku ruhaniah.�

�Laku ruhaniah bagaimana?�

�Maksud kami, untuk mengetahui tingkat Ketauhidan suatu ajaran, kita tidak boleh menggunakan akal pikiran kita, apalagi akal pikiran yang sudah diikat prasangka. Kita harus masuk ke dalam suatu matra yang disebut angkasa ruhani (�alam al-�Ulwi). Selama ini, di bawah bimbingan guru kami Syaikh Lemah Abang, kami telah beberapa kali terbang ke angkasa ruhani. Di sana kami bertemu dengan ruh para wali Allah, ruh para brahmana, ruh para bikhu Budha, ruh para bhagawan, ruh para rishi, ruh para yogin, ruh para sadhu, dan pertapa-pertapa yang hidup kotor di dunia. Karena itu, kami tidak berani lancang menista ajaran Hindu dan Budha sebagai agama sesat pemuja berhala yang tidak berdasar Tauhid,� kata Raden Sahid menjelaskan.

�Bagaimana dengan orang-orang Syi�ah?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Kami bersaksi bahwa selama beberapa kali kunjungan ke angkasa ruhani mengikuti guru-guru kami, tidak sekali pun kami menjumpai ruh manusia yang mengaku al-Mahdi: Syah Ismail. Yang kami jumpai justru ruh ayatullah-ayatullah dan bahkan mullah-mullah desa yang secara sembunyi-sembunyi mengamalkan tarekat. Karena kenyataan yang kami saksikan di angkasa ruhani itu maka kami tidak berani menyatakan jika ajaran Syi�ah itu sesat dan menyesatkan. Kami juga tidak berani menyatakan ajaran Syi�ah itu menyimpang jauh dari landasan Tauhid. Kami menyimpulkan, pencapaian kepada Kebenaran itu bersifat sangat pribadi dan tidak berkaitan dengan madzhab-madzhab, kelompok-kelompok, jama�ah-jama�ah, dan golongan-golongan tertentu,� kata Raden Sahid tegas.

�Jika ruh Syah Ismail tidak pernah terlihat di angkasa ruhani, bagaimana dia bisa mengaku-aku sebagai Mahdi? Bagaimana dia bisa mengatur-atur tata hubungan manusia dengan Tuhan seolah-olah dirinya adalah Nabi Allah Saw?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Kami berani bersaksi di hadapan Allah dan seluruh makhluk, bahwa Syah Ismail adalah seorang pembohong besar. Kami yakin dia tidak akan pernah bisa mencapai angkasa ruhani sebagai bukti kebenaran jalan yang digelarnya. Kami juga yakin dia tidak akan pernah menjalankan ajaran Kebenaran sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw. yang hidup dalam kezahidan dan tanpa pamrih. Kami malah menduga, Syah Ismail selaku raja justru akan membangun istana-istana, taman-taman, kota-kota, benteng-benteng, harem-harem, monumen-monumen, dan masjid-masjid mewah untuk menunjukkan kebesaran dirinya. Padahal, sedikit pun hal seperti itu tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad Saw.. Syah Ismail, menurut terkaan kami, akan menjadi cermin keagungan dan kemuliaan fir�aun, bukan kesucian Nabi Muhammad Saw,� kata Raden Sahid tegas.

Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian sambil berlalu dia berkata, �Sungguh aku ingin membuktikan kebenaran ramalanmu, o Anak Muda, bahwa Syah Ismail bakal membangun istana, taman, kota, monumen, harem, benteng, dan tempat ibadah mewah. Jika ramalanmu terbukti maka benarlah pendusta tengik itu sesungguhnya cerminan fir�aun.�

Ketika malam telah larut dan pelaut-pelaut Portugis yang mabuk sudah naik perahu kembali ke kapalnya, Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil mendekati Francisco Barbosa yang duduk termangu-mangu di dermaga. Dengan menggunakan bahasa Spanyol yang dipelajarinya dari Abdul Malik Israil selama perjalanan ke Kozhikode, Abdul Jalil memperkenalkan dirinya sebagai Padre Sacerdote de Jaoa (bapa pendeta dari Jawa). Barbosa yang terkejut dengan kemunculan mendadak Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil tentu saja tidak mudah percaya dan malahan curiga dengan pernyataan itu. Menurut pikirannya, sangatlah aneh seseorang yang mengenakan pakaian Muslim mengaku sebagai pendeta.

Sadar bahwa Barbosa masih cenderung melihat sesuatu dari penampilan tubuh, Abdul Jalil langsung membidik kecurigaannya dengan berkata, �Aku tahu, engkau mencurigai kejujuranku. Itu tidak salah, karena kita memang baru sekali ini bertemu. Tetapi, kalau aku boleh menerka, jiwamu saat ini sedang kacau seperti lautan diaduk gelombang dahsyat. Jiwamu diaduk-aduk ombak kegundahan akibat terluka oleh peristiwa yang bertentangan dengan nuranimu. Engkau sekarang ini sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin dan kawan-kawanmu. Engkau merasa seperti satu-satunya manusia di tengah kawanan binatang buas. Benarkah terkaanku itu?�

�Bagaimana Tuan bisa mengetahui kegundahan jiwa yang selama ini aku sembunyikan?� tanya Francisco Barbosa terheran-heran.

Abdul Jalil diam. Sebaliknya, Abdul Malik Israil tanpa basa-basi menimpali dengan mengungkapkan bagaimana liku-liku perjalanan yang telah dilalui Barbosa sejak dari Lisbon hingga ke Kozhikode dengan sangat tepat seolah-olah membaca catatan harian. Keterusterangan Abdul Malik Israil itu untuk beberapa jenak membuat Barbosa terperangah takjub. Tetapi, beberapa jenak setelah itu Barbosa sadar dia tidak punya alasan untuk menampik pengakuan Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil sebagai pendeta. Dia menduga kedua orang berpakaian Muslim di depannya itu kemungkinan adalah santo (orang suci) yang menyamar. Akhirnya, dengan keheranan dia bertanya, �Apakah Bapa Pendeta berdua adalah Santo Patron de Jaoa (orang suci pelindung Jawa)? Sebab, pendeta biasa tidak mungkin bisa mengetahui isi hati dan isi kepala manusia apalagi mengetahui dengan tepat liku-liku perjalanan yang telah aku lewati hingga ke Kozhikode ini.�

�Kami berdua hanya pendeta biasa. Hanya saja, kami dianugerahi kemampuan untuk membaca apa yang telah ditulis oleh Angel de la Guarda (malaikat pelindung) pada dirimu tentang apa yang telah engkau lakukan,� kata Abdul Malik Israil datar.

�Aku dilindungi malaikat pelindung? Semua tindakanku ditulis malaikat?� tanya Barbosa heran.

�Bukan hanya engkau, Anak Muda, tetapi semua manusia dilindungi malaikat pelindung dan semua perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk dicatat malaikat pelindungnya masing-masing.�

�Aku belum percaya,� kata Barbosa dengan suara ditekan. �Kalau setiap manusia dilindungi malaikat pelindung, kenapa manusia satu bisa membinasakan manusia yang lain? Maksudku, jika malaikat pelindung memang ada, bagaimana mungkin ratusan orang tak berdaya bisa dibantai dalam sekejap oleh orang-orang yang memiliki senjata? Apakah saat itu malaikat-malaikat pelindung mereka lari ketakutan?�

�Sesungguhnya, pada diri masing-masing manusia selain terdapat malaikat pelindung, juga ada Angel de la Mortalidad (malaikat kematian). Karena itu, tidak ada manusia yang hidup abadi di dunia karena nyawanya sudah digenggam malaikat kematian sampai saat ajalnya datang. Apakah engkau beranggapan bahwa orang-orang yang membunuh itu tidak bakal mati seperti orang-orang yang mereka bunuh?� kata Abdul Malik Israil.

�Semua orang memang akan mati. Baik yang dibunuh maupun yang membunuh pasti mati jika sudah datang waktunya. Tetapi, bagaimana dengan malaikat pelindung? Apa yang dikerjakannya sehingga orang yang dilindunginya bisa dibunuh orang lain?� tanya Barbosa belum paham.

�Tugas utama malaikat pelindung adalah melindungi manusia sampai saat ajal. Tugasnya selesai ketika waktu hidup seseorang sudah habis sesuai ketetapan takdir yang ditentukan Allah.�

�Apakah masing-masing manusia sudah ditentukan batas hidupnya oleh Tuhan?�

�Ya.�

�Bagaimana dengan orang-orang yang dibunuh? Bukankah mereka mati sebelum batas waktunya?�

Abdul Malik Israil tertawa dan kemudian berkata mengutip sabda Nabi Saw. dengan suara yang lain, �Manusia mati, kalau tidak dengan pedang tentu dengan sebab yang lain. Tetapi, mati itu sendiri cuma satu.�

�Aku belum paham dengan penjelasan Bapa Pendeta.�

Abdul Jalil yang mendengarkan perbincangan Barbosa dan Abdul Malik Israil bertanya menyela, �Menurutmu, apakah sesungguhnya yang disebut Kematian itu?�

�Apakah orang yang tidak berdosa, orang yang suci dari dosa, akan beroleh hidup abadi?�

�Ya, itu yang aku yakini.�

�Apakah engkau pernah mengetahui ada manusia suci yang hidup abadi di dunia?�

�Menurut cerita banyak orang-orang suci yang hidup abadi.�

�Aku tidak bertanya tentang cerita dan dongeng. Aku bertanya tentang kenyataan.�

�Sepengetahuanku tidak ada.�

�Apakah engkau sudah mengetahui apa yang disebut Kematian? Apakah engkau sudah mengetahui pula apa yang disebut Kehidupan?� tanya Abdul Jalil.

Francisco Barbosa menggeleng dan berkata lirih, �Belum.�

�Maukah engkau aku tunjukkan apa yang disebut Kematian?�

�Apakah Bapa Pendeta akan menunjukkan kuasa kegelapan kepada aku?�

�Jika engkau menganggap Kematian sebagai kuasa kegelapan maka anggapanmu itu akan terwujud sesuai keyakinanmu. Tetapi, perlu aku beri tahukan kepadamu bahwa Kematian yang aku yakini bukanlah kuasa kegelapan sebagaimana engkau yakini. Kematian, menurutku, adalah sisi lain dari Kehidupan. Karena itu, mereka yang mengenal Kematian sebagaimana yang aku yakini, tidak saja menjadi manusia yang tidak takut pada Kematian, melainkan akan mencintai pula Kematian sebagaimana mereka mencintai Kehidupan,� kata Abdul Jalil.

�Aneh sekali jalan pikiran Bapa Pendeta,� kata Barbosa keheranan.

�Engkau menganggap aneh apa yang aku katakan karena engkau masih terikat dengan simpul-simpul pikiran yang menjerat kesadaranmu dari Kebenaran hakiki tentang Kehidupan dan Kematian. Jika engkau sudah menyaksikan sendiri dengan mata hati dan ruh Kebenaran (ruh al-Haqq) yang ada pada dirimu tentang kesejatian hakiki Kehidupan dan Kematian, maka engkau tidak akan menganggap aneh apa yang aku katakan,� kata Abdul Jalil.

�Apakah dengan mengetahui Kebenaran tentang Kematian berarti aku akan mati?�

�Engkau takut mengenal Kematian karena pikiranmu masih terikat oleh simpul-simpul gagasan dan pandangan yang berbeda dengan apa yang aku sampaikan. Lantaran itu, wajar jika engkau berpikir: dengan mengenal Kematian maka seseorang akan mati. Padahal, menurut pandanganku, dengan mengenal Kematian secara benar sesungguhnya kita mengenal Kehidupan sejati. Nah, beranikah engkau mengenal Kematian dengan caraku?�

�Jika ada jaminan aku tidak mati maka aku berani mengikutimu, o Bapa Pendeta.�

Abdul Jalil tertawa. Sejenak setelah itu ia berkata dengan tersenyum, �Siapakah yang bisa menjamin hidup dan mati seseorang? Apakah saat engkau berangkat dari negerimu menuju Kozhikode ini engkau sangat yakin akan terus hidup dan bisa kembali dengan selamat ke kampung halamanmu? Apakah engkau sekarang ini bisa menjamin jika dirimu akan hidup sampai esok hari ketika matahari menyingsing?�

�Aku berharap bisa hidup sampai kembali ke kampung halamanku kelak. Bahkan, aku berani menjamin jika esok hari saat matahari terbit, aku masih hidup.�

Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil tertawa bersama. Barbosa heran dan merasa tersinggung. Dengan nada marah dia bertanya, �Kenapa Bapa Pendeta menertawakan aku?�

�Karena engkau berpikiran konyol, Anak Muda,� sahut Abdul Malik Israil.

�Aku berpikiran konyol? Apa alasan Bapa Pendeta berkata seperti itu?�

�Bagaimana mungkin orang waras bisa menjamin dirinya bakal tetap hidup sampai esok hari?�

�Maksud Bapa Pendeta?�

�Anak Muda,� kata Abdul Malik Israil dingin sambil menepuk-nepuk bahu Barbosa, �Lihatlah di ujung dermaga itu! Dua orang bertubuh tinggi besar itu adalah orang-orang Mouros yang sangat membenci orang Portugis. Sedangkan anak muda yang di sampingnya adalah seorang Muslim asal Jawa. Bagaimana jika mereka datang ke sini dan mengeroyok dirimu? Apa yang bisa engkau jaminkan bagi hidupmu jika mereka mengikat tubuhmu dengan tali dan menceburkanmu ke laut? Bukankah sekarang ini engkau tidak membawa senjata apa pun?�

�Mereka akan membunuhku?� tanya Barbosa dengan wajah mendadak pucat pasi.

�Kenapa engkau bertanya kepada kami? Bukankah engkau sudah menjamin jika dirimu bakal hidup sampai esok pagi ketika matahari terbit?�

Francisco Barbosa menarik napas panjang lalu mengembuskannya keras-keras. Kemudian dengan nada tidak berdaya dia berkata, �Memang tidak ada yang bisa menjamin hidup dan mati orang seorang.�

�Bukan saja tidak ada yang bisa menjamin, melainkan sering juga Kematian datang mendadak tanpa terduga-duga,� kata Abdul Malik Israil sambil mencabut belati dari balik jubahnya. �Apakah pernah terlintas di pikiranmu jika secara tiba-tiba aku menikam dadamu dengan belati ini?�

�Ya, ya, aku paham Bapa Pendeta,� kata Barbosa dengan wajah makin pucat. �Kematian bisa datang sewaktu-waktu dan tanpa kita sangka-sangka.�

Abdul Jalil yang melihat ketakutan menerkam jiwa Barbosa merasa tidak sampai hati. Sambil menepuk-nepuk bahu pelaut muda itu, ia berkata, �Engkau selama ini dikenal sebagai prajurit pemberani. Engkau dikenal sebagai juru meriam yang handal dan pantan menyerah dalam pertempuran. Semua kawan-kawan memujimu sebagai prajurit pemberani yang tidak takut mati. Tapi sungguh menyedihkan, kenyataan menunjukkan bahwa engkau masih dikuasai oleh rasa takut menghadapi Kematian. Engkau masih kalah dibanding anak muda Jawa yang berdiri di ujung dermaga itu. Dia sudah kenal citra Kematian. Dia sudah berkali-kali bersinggungan dengan citra Kematian. Karena itu, dia tidak takut mati dan bahkan mencintai Kematian.�

�Bapa Pendeta,� kata Barbosa merendah,� sejak masih kanak-kanak, aku memang bercita-cita menjadi pahlawan pemberani yang tidak takut mati. Sewaktu aku masuk dinas militer sebagai pasukan meriam, aku sudah berusaha menunjukkan kepada orang-orang di sekitarku bahwa aku adalah pahlawan pemberani yang tidak takut mati. Ternyata, malam ini Bapa Pendeta berdua telah menelanjangi kebohongan yang aku tutup-tutupi. Ya, aku masih takut mati. Karena itu, aku akan belajar kepada Bapa Pendeta untuk mengenal Kematian sesuai yang Bapa Pendeta ajarkan agar aku benar-benar tidak takut mati.�

Francisco Barbosa telah kembali ke kapalnya. Matahari telah terbit di ufuk timur, menyinari kapal-kapal dan sampan-sampan yang terayun-ayun gelombang pantai Kozhikode. Sepagi itu, usai menyantap bekal Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid berpamitan kepada Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry dan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. Mereka akan berpisah karena Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil beserta Raden Sahid akan ke Dwarasamudra, sedangkan dua bersaudara asal negeri Maghrib itu akan kembali ke kapalnya yang melepas sauh agak jauh dari pelabuhan Kozhikode. Tetapi, sebelum berpisah Sidi Abdul Qadir el-Kabiry menyampaikan pertanyaan kepada Abdul Jalil, �Kenapa Tuan Syaikh tidak langsung meminta Francisco Barbosa mengucapkan dua kalimah syahadat? Bukankah dia sudah sangat yakin dengan pengetahuan gaib untuk mengenal Kematian yang telah Tuan Syaikh ajarkan?�

�Soal Islam adalah urusan as-Salam. Soal Hidayah adalah sepenuhnya urusan al-Hadi. Soal Iman adalah urusan al-Mu�minin. Maksud kami, meski al-Hadi telah memancarkan hidayah kepada Francisco Barbosa, kalau pancaran-Nya belum seiring dengan as-Salam yang memancarkan amanah ke dalam jiwanya, maka jika dia diminta mengucapkan dua kalimah syahadat, hal itu justru akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

�Kami belum paham dengan penjelasan Tuan Syaikh,� sahut Sidi Abdul Qadir el-Kabiry heran. �Bagaimana mungkin orang mengucap dua kalimah syahadat bisa menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain? Bukankah Islam adalah agama damai dan keselamatan?�

�Tuan belum paham karena Tuan cenderung melihat sesuatu hanya dari sisi duniawi, bentuk jasmani, dan gerak perilaku tubuh semata sehingga Tuan cenderung menganggap bahwa manusia yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang yang sudah beroleh hidayah dan menjadi penyebar keselamatan (salamah) dan keamanan (amanan). Padahal, kenyataan sering menunjuk berapa banyak manusia yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, namun sikap dan tindakannya malah menimbulkan bencana dan ketidakamanan bagi manusia di sekitarnya. Berapa banyak manusia yang mengibarkan panji-panji Islam, tetapi tindak dan perilakunya mengerikan: memamerkan kekejaman dan menimbulkan ketakutan di mana-mana.�

�Kami sangat menghargai saudara-saudara kami yang menganggap bukti kemusliman orang seorang. Tetapi, kebiasaan yang kami lakukan adalah memperkukuh dulu landasan Tauhid dari manusia-manusia yang beroleh pancaran cahaya hidayah dari al-Hadi sampai terpancar cahaya salamah dan cahaya amanan laksana bentangan pelangi di cakrawala jiwa. Jika Tuan bertanya kenapa kami melakukan kebiasaan itu? Maka, kami akan menjawab bahwa kami sangat meyakini betapa sesungguhnya makna hakiki dari Islam adalah pancaran rahasia cahaya matahari Kebenaran yang mengejawantahkan citra Kelempangan (al-Hadi), Keselamatan (as-Salam), Keamanan (al-Mu�min), Kemurahan (al-Karim), Kesabaran (ash-Shabur), Pengampunan (al-Ghaffar), Kesucian (al-Quddus), Kesantunan (al-Halim), Kecintaan (ar-Rahman), Kasih (ar-Rahim), dan pancaran dari Asma�, Shifat, Af�al Allah yang mulia yang menerangi alam semesta dengan rahmat-Nya (rahmatan lil al-�alamin).�

�Dengan pandangan kami itu, jelaslah bagi kami bahwa apa yang disebut al-Islam adalah ruhaniah. Al-Islam mutlak berada di dalam genggaman Allah. Karena itu, kami menganggap tidak bijak jika meminta Barbosa mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai tanda kemusliman, sementara kami menangkap isyarat ruhani bahwa dia belum waktunya mengikrarkan keislaman dirinya. Jika Barbosa dengan terburu-buru kita minta mengikrarkan syahadat, maka dia akan secepatnya terlempar dari kaumnya dan bahkan akan kehilangan nyawanya. Sementara dengan membiarkan dia sebagaimana adanya, dia akan menjadi perantara bagi terpancarnya cahaya hidayah kepada kaumnya. Lantaran itu, kami sangat yakin jika waktunya telah datang, dia akan menemukan sendiri Kebenaran Sejati meski tanpa bimbingan kami. Kenapa kami berpendapat demikian? Karena menurut pandangan kami, persaksian keislaman orang seorang tidak bisa dipaksakan waktunya. Jika sudah tiba saatnya, di mana pun dia berada akan mempersaksikan dirinya sebagai Muslim. Dan kami sangat yakin jika mereka telah dipancari hidayah oleh al-Hadi akan terbimbing di jalan-Nya, meski mereka berada di lingkungan yang membenci Islam,� kata Abdul Jalil.

�Kami makin bingung dengan penjelasan Tuan Syaikh.�

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara lain ia berkata, �Tuan yang belum memahami secara mendalam tentang dunia ruhani memang sulit menerima penjelasan kami. Mereka yang belum mencicipi manisnya madu tentu akan sulit dijelaskan tentang kemanisan madu. Tetapi, kami yakin saudara Tuan, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, telah sangat memahami apa yang telah kami jelaskan. Tuan bisa berbincang lebih luas dan mendalam tentang hal-hal ruhaniah kepadanya.�

�Tapi, Tuan Syaikh, apakah Tuan yakin jika Francisco Barbosa kelak akan menjadi Muslim?�

�Menurut keyakinan kami, Francisco Barbosa kelak akan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Bahkan, dia akan mempengaruhi beberapa orang kawannya. Tetapi, kami tidak tahu kapan waktunya dan bagaimana peristiwanya. Yang jelas, dia telah menyaksikan Kebenaran Sejati tentang hakikat Kematian dengan mata batin (�ain al-bashirah) yang jernih. Karena itu, dia akan berubah menjadi manusia yang tidak lagi gampang mempercayai dalil-dalil dogmatik yang diucapkan manusia berdasar prasangka-prasangka. Dan ujung dari keadaan manusia seperti itu ke mana lagi kalau bukan ke samudera Tauhid?�

�Kenapa Tuan Syaikh tidak melakukan hal serupa kepada orang-orang Portugis yang lain?�

�Kami tidak memiliki kewenangan apa pun untuk itu. Jika Tuan bertanya kenapa kami melakukan itu hanya kepada Barbosa? Maka, akan kami jawab bahwa hal itu kami lakukan untuk membuktikan kepada Tuan bahwa tidak semua orang Portugis kejam seperti pemimpin dan kawan-kawan Barbosa. Di damping itu, Allah memang sudah memilih Francisco Barbosa sebagai salah seorang manusia yang dianugerahi hidayah oleh al-Hadi untuk menerima benderang nyala api al-Islam di relung-relung sanubarinya,� papar Abdul Jalil.

�Baik, kami paham itu,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. �Sebelum berpisah, kami ingin Tuan Syaikh memberikan fatwa khusus kepada kami agar bisa kami jadikan pedoman dalam melintasi kehidupan yang kacau ini.�

Abdul Jali tertawa dan kemudia berkata, �Sesungguhnya, saudara Tuan, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, lebih layak memberikan fatwa kepada Tuan sebab pengetahuan ruhaninya sangat luas dan mendalam. Tetapi, Tuan tidak bisa melihat kelebihannya karena Tuan terlalu dekan dengannya.�

�Kami tahu itu. Tapi, kami benar-benar ingin beroleh fatwa khusus dari Tuan Syaikh agar bisa kami jadikan pelengkap pedoman hidup, di samping terbukanya kesadaran kami tentang betapa beragamnya pemikiran kaum Muslimin dalam memandang dan menyikapi suatu persoalan.�

�Yang paling penting untuk Tuan sadari,� kata Abdul Jalil dengan suara lain, �dalam menjalankan amaliah keislaman, Tuan jangan sekali-kali terpengaruh oleh pandangan sempit orang-orang fanatik seperti kawan-kawan Barbosa dan Syah Ismail. Maksud kami, Tuan jangan pernah menggembar-gemborkan diri sebagai pahlawan pembela Islam, apalagi mengaku-aku prajurit Allah (jundu Allah). Sebab, pada saat orang seorang sudah menyatakan diri sebagai pahlawan pembela Islam atau prajurit Allah, maka orang tersebut telah mendangkalkan hakikat al-Islam menjadi berhala yang penuh ditempeli atribut pamrih duniawi. Padahal, al-Islam adalah sesuatu yang bersifat ruhaniah. Orang bisa menjadi Islam bukan karena kehendak pribadi, melainkan kehendak Allah. Al-Islam adalah pancaran cahaya Ilahi yang memancar dari Asma�, Shifat, dan Af�al Allah yaitu as-Salam. Lantaran itu, al-Islam selalu terpelihara dan terjaga dengan cara yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.�

�Kenapa kita tidak boleh mengaku-aku? Bukankah Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa keislaman kita harus dipermaklumkan kepada manusia?�

�Keislaman memang harus dipermaklumkan sebagai kesaksian iman. Tetapi permakluman yang berlebihan justru terlarang, terutama permakluman secara sepihak oleh diri sendiri yang mengaku-aku sebagai pahlawan pembela agama, prajurit tuhan, atau bahkan perwujudan tuhan di dunia. Mereka yang mengaku-aku dan gembar-gembor itu sejatinya telah mendangkalkan makna al-Islam. Dengan lambang-lambang palsu keislaman, mereka menepuk dada dan memamerkan kesombongan dan mengangkat diri sebagai prajurit-prajurit Allah. Padahal, sejatinya bala tentara Allah tersebar di langit dan bumi tanpa diketahui jumlah pastinya (QS. Al-Fath: 4 dan 7; QS. Al-Mudatsir: 31). Prajurit-prajurit Allah itu menjalankan tugas secara rahasia dengan setia dan penuh kepatuhan. Mereka itu bisa berupa malaikat, rijal al-ghaib, auliya� Allah, angin topan, halilintar, dan bahkan binatang. Dan tidak ada satu pun di antara mereka itu yang menepuk dada untuk mempermaklumkan diri sebagai prajurit Allah. Merekalah prajurit-prajurit sejati Allah yang bertugas menjaga Islam.�

�Berarti Tuan Syaikh percaya bahwa di dunia ini ada yang disebut Jama�ah Wali-Wali?�

�Tentu saja percaya, namun kepercayaan kami sangat berbeda dengan kepercayaan umum.�

�Berbeda bagaimana?�

�Yang dimaksud Jama�ah Wali-Wali menurut kepercayaan kami adalah yang disebut Jama�ah Karamah al-Auliya�, yakni suatu hierarki karamah al-auliya� yang memancar dari Asma�, Shifat, dan Af�al Allah, yaitu al-Karim dan al-Waly. Itu berarti, Jama�ah Karamah al-Auliya� bersifat ruhaniah sebagaimana al-Islam. Karamah al-auliya� yang ruhaniah itu, dalam menjalankan tugas (tawalla) akan melimpah kepada orang-orang beriman yang sudah mencapai derajat takwa (muttaqin), yaitu derajat ruhani yang terpancar dari al-Qawiy. Karamah al-auliya� yang ruhani itu bersifat abadi sebagaimana al-Karim dan al-Waly. Itu sebabnya, jika seorang manusia yang terlimpahi karamah al-auliya� itu wafat maka karamah auliya� yang melimpah pada manusia tersebut akan mencari tubuh baru untuk menjalankan tugas sucinya.�

�Dengan pandangan kami ini, jelaslah bahwa Jama�ah Karamah al-Auliya� adalah jama�ah ruhaniah. Artinya, jika mereka berkumpul di suatu tempat di suatu waktu tertentu maka yang berkumpul itu adalah karamah-karamah al-auliya�, bukan tubuh fisik manusia takwa, meski pada keadaan tertentu yang khusus bisa terjadi pertemuan tubuh fisik manusia takwa berderajat wali Allah di satu tempat di satu waktu tertentu. Karena itu, kami menggunakan istilah Jama�ah Karamah al-Auliya� dan bukannya Jama�ah Wali-Wali Keramat. Dengan begitu, kami akan menganggap pembohong orang-orang yang menyatakan ini dan itu adalah anggota Jama�ah Wali-Wali Keramat karena jama�ah semacam itu tidak ada. Yang ada adalah Jama�ah Karamah al-Auliya�, yaitu jama�ah dari karamah-karamah al-auliya� yang bersifat ruhaniah yang memiliki tugas suci menjaga kelestarian ajaran Tauhid terutama al-Islam.�

Sebenarnya, masih cukup banyak hal yang ingin ditanyakan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry kepada Abdul Jalil. Tetapi, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry buru-buru menyela dan mempersilakan Abdul Jalil melanjutkan perjalanan ke Dwarasamudra. Rupanya, sebagai seorang ulama yang mengamalkan ajaran Tarekat Qadiriyyah, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry sudah memahani semua uraian Abdul Jalil.

Read More ->>

MAJELIS WALI SONGO

Majelis Wali Songo

Sepanjang perjalanan dari Samarang ke Giri Kedhaton, Abdul Jalil mendapati perselisihan antara penduduk pesisir dan para penganut paham Syi�ah makin menajam. Tanpa diketahui siapa yang memimpin, tiba-tiba terjadi penyerangan, penjarahan, pembakaran, dan perusakan terhadap rumah-rumah dan tempat ibadah yang diduga milik orang-orang Syi�ah. Tak kenal Muslim tak kenal Hindu, penduduk Nusa Jawa seolah diarahkan oleh satu kekuatan tak kasatmata untuk memburu orang-orang yang mereka tuduh Syi�ah. Yang paling menderita dalam peristiwa itu adalah penduduk keturunan Campa yang tegas-tegas menyatakan penganut Syi�ah. Mereka lari ke hutan-hutan untuk menghindari kejaran penduduk yang sudah gelap mata seolah keranjingan setan.

Sadar bahwa masalah perselisihan itu tidak dapat diselesaikan dengan meredamnya dari satu tempat ke tempat lain, Abdul Jalil berusaha membawa masalah tersebut ke dalam pertemuan para penguasa pesisir dan pemuka trah Prabu Kertawijaya di Giri Kedhaton. Sebagaimana saat berdebat dengan Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, Abdul Jalil dalam pertemuan itu dengan tegas menyatakan tidak setuju terhadap pandangan-pandangan picik yang menghendaki agar semua penganut Syi�ah di Nusa Jawa dibinasakan dan kedatangan Portugis wajib disambut dengan senjata.

Sebagai orang yang menghendaki terjadinya keseimbangan dalam tatanan kehidupan, Abdul Jalil tidak menginginkan ada tindak kekerasan yang berlebihan.

Di hadapan para penguasa pesisir dan keturunan Prabu Kertawijaya itu ia berkata dengan suara lantang dan tegas, �Sesungguhnya, kisah jatuh bangunnya suatu bangsa sebagaimana sudah dialami umat manusia adalah pelajaran yang agung jika kita mau berpikir. Jika Allah sudah berkehendak menimpakan marabahaya kepada makhluk-Nya, tidak ada yang bisa menghindarkannya kecuali Dia sendiri (QS. Yusuf: 107). Dengan begitu, menurut hematku, kehadiran Ya�juj wa Ma�juj yang membuat kerusakan di muka bumi pada dasarnya adalah kehendak-Nya jua. Rahasia di balik hadirnya Ya�juj wa Ma�juj pada dasarnya adalah peringatan keras dari Allah kepada sebagian manusia yang telah menempatkan diri sebagai fir�aun-fir�aun. Ya�juj wa Ma�juj selalu datang saat manusia sudah menuhankan makhluk (thaghut) sebagaimana terjadi pada fir�aun.�

�Guru dan mertuaku, almarhum Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Baghdady, telah bercerita kepadaku tentang seorang sufi besar bernama Syaikh Majiduddin al-Baghdady yang hidup pada masa zaman Muhammad ibn Tikish, penguasa Khwarazm, yang bertindak sewenang-wenang seperti fir�aun. Para ulama fiqh dan guru tarekat yang mengitari penguasa Khwarazm tersebut adalah penghasut-penghasut jahat yang pintar menjilat dan membiarkan Ibn Tikish tenggelam di lautan nafsunya. Akibat hasutan para ulama palsu tersebut, Ibn Tikish menghukum mati Syaikh Majiduddin al-Baghdady yang dianggapnya telah murtad dan berbahaya bagi kekuasaannya. Padahal, Syaikh Majiduddin al-Baghdady adalah seorang wali Allah. Dia tidak mau berkomplot dengan penguasa. Sebaliknya, dia suka mencela tindakan-tindakan Ibn Tikish yang tidak terpuji.�

Para ulama dan Ibn Tikish untuk sesaat bisa tertawa-tawa gembira karena telah berhasil menyingkirkan �orang tak berguna� yang berbahaya seperti Syaikh Majiduddin al-Baghdady. Para ulama bisa tertawa-tawa gembira sebagaimana sebelumnya mereka menghasut penguasa Khwarazm untuk membunuh Syaikh Syihabuddin Yahya Suhrawardi dan Syaikh Ruzbihan Baqly. Tapi, apa yang terjadi setelah kematian Syaikh Majiduddin al-Baghdady? Sejarah mencatat, Al-Waly, Sang Kekasih, yang selama itu melingkupi Syaikh Syihabuddin, Syaikh Ruzbihan Baqly, dan Syaikh Majiduddin al-Baghdady meluapkan amarah kemurkaan terhadap tindakan penguasa Khwarazm dan para ulama jahat. Allah mengirim Ya�juj wa Ma�juj yang dipimpin oleh seorang pembinasa: Jenghiz Khan.

Selama kurun lima tahun, seluruh kekuatan Ibn Tikish di segenap penjuru Khwarazm diluluh lantakkan oleh kawanan Ya�juj wa Ma�juj. Beribu-ribu ulama, pejabat, raja, keluarganya, bahkan orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang hidup di permuakaan bumi Khwarazm dijagal tanpa kenal ampun. Saat itu negeri-negeri bawahan Khwarazm seperti Balkh, Marv, Nishapur, Herat, Thus, Ray, Qazwin, Hamadan, dan Ardabil tenggelam di dalam kobaran lautan api. Tidak satu pun kekuatan senjata yang dimiliki Ibn Tikish dapat menahan Ya�juj wa Ma�juj. Tidak sepatah kata pun fatwa ulama yang dapat menahan penghancuran kawanan Ya�juj wa Ma�juj.

�Kini, ketika saudara-saudara kita asal Persia, Kerala, dan Maghrib datang berbondong-bondong untuk memberitakan munculnya fir�aun Persia dan hadirnya bajak laut Portugis yang mereka anggap sebagai kaum perusak, Ya�juj wa Ma�juj, sepantasnyalah kita mawas diri. Maksudku, jika kabar yang disampaikan saudara-saudara kita itu benar maka kita wajib bertanya kepada diri kita: �Apakah di sekitar kehidupan kita sekarang ini tidak sedang berkuasa manusia-manusia yang mengangkat diri sebagai fir�aun-fir�aun? Apakah kiblat hati dan pikiran kita sekarang ini tidak sedang terarah pada thaghut? Apakah Tauhid kita selama ini sudah benar?� Sebab, Allah tidak akan mengirimkan Ya�juj wa Ma�juj kepada umat yang sudah benar dalam Tauhid. Dengan begitu, menurut hematku, betapa baiknya jika kita mawas diri dan memperbaiki kekeliruan serta kesalahan kita dalam Tauhid daripada kita membunuhi penganut Syi�ah dan mempersiapkan senjata untuk menghadapi kehadiran sekelompok orang yang kita anggap berbahaya, hanya karena mereka itu kita curigai sebagai Ya�juj wa Ma�juj.�

Mendengar uraian Abdul Jalil, para adipati pesisir pada prinsipnya dapat menerima alasan yang dikemukakan Abdul Jalil. Tetapi, jauh di dalam hati, kebanyakan mereka tetap merasa sulit meninggalkan sikap curiga terhadap kehadiran bajak laut di Hindia. Sebab, apa pun kenyataannya, bagian terbesar di antara adipati-adipat pesisir tersebut adalah �penguasa saudagar� sehingga pandangan mereka tak jauh beda dengan pandangan saudagar-saudagar Kerala dan Maghrib. Mereka tidak ingin kebebasan mereka dalam berniaga tersaingi, apalagi terkuasai oleh kekuatan baru. Mereka tidak bisa menerima kabar yang menyatakan bahwa bajak laut Portugis itu telah menjagal jama�ah haji dan berencana akan menguasai semua jalur perniagaan di lautan.

Untuk alasan pertahanan diri dan kebebasan berniaga, Abdul Jalil tidak keberatan jika suatu perlawanan dilakukan kepada pihak-pihak yang ingin menguasai. Sebagaimana tatanan kehidupan yang tidak mengenal mutlak-mutlakan, dalam beragama dan perniagaan pun tidak boleh ada mutlak-mutlakan di mana satu pihak menguasai pihak lain dengan kekerasan melalui kekuatan senjata. Walau begini, menurut Abdul Jalil, sebelum suatu perlawanan dilakukan, wajiblah terlebih dulu dibangun benteng pertahanan diri yang kuat. Dan sekuat-kuat benteng pertahanan diri, menurutnya, adalah benteng pertahanan yang dibangun di atas landasan nilai-nilai Tauhid.

Untuk alasan yang terakhir itu, dengan kata-kata tajam dan bernada menyindir, ia berkata, �Aku kira, apa yang sedang kita ributkan tentang fir�aun Persia hendaknya kita selesaikan secara bijak. Maksudnya, jika seorang pemuka Syi�ah melakukan kejahatan kemanusiaan, janganlah penganut Syi�ah yang tidak ikut-ikutan melakukan kesalahan dijadikan sasaran kemarahan. Karena itu, aku berharap kepada saudara-saudaraku, para raja yang berkuasa, untuk mengambil tindakan tegas terhadap kekacauan di wilayahnya masing-masing. Jangan biarkan penduduk saling membunuh hanya gara-gara tindakan orang laing di negeri asing.�

�Kemudian tentang bajak laut Portugis, menurut hematku, pada dasarnya adalah pembuktian apa yang sudah disampaikan Syaikh Ibrahim al-Uryan yang telah menyaksikan Kitab Langit (Lauh al-Mahfudz). Sesungguhnya, dia telah melihat perlambang kapal-kapal yang tertambat di dermaga dan dari dalamnya keluarlah kawanan serigala, musang, serta makhluk-makhluk pemangsa dari Kegelapan. Mereka itu makhluk rakus yang tak pernah kenyang. Kawanan serigala, musang, dan makhluk pemangsa itu menjelma menjadi manusia-manusia berparas mengagumkan dan perilakunya sangat santun. Mereka mendatangi manusia dengan senyuman dan kata-kata manis. Tetapi, tangan mereka yang tersembunyi di punggung menyembunyikan pisau beracun. Siapa saja di antara manusia yang lengah dan terpesona oleh ucapan manisnya akan ditikamnya.�

�Tikaman pisau beracun itu tidak menyebabkan manusia mati. Sebaliknya, racun di pisau itu akan membuat hati manusia menjadi biru dan membeku. Setelah itu, hati manusia akan menghitam dan membatu. Saat itulah manusia-manusia yang hatinya hitam dan membatu itu akan menjelma menjadi mayat-mayat hidup. Mereka akan menjadi wadag kosong tak berjiwa (ash-shuwar al-qa�imah). Kemudian mereka yang sudah menjadi mayat-mayat hidup itu akan berjalan menyimpang dari Kebenaran. Sebab, yang menampak pada cakrawala penglihatannya adalah perwujudan yang lain (al-aghyar) dari benda-benda dan angan-angan kosong yang muncul dari wujud maya (ablasa). Itulah gambaran ruhaniah yang diketahui Syaikh Ibrahim al-Uryan tentang bakal datangnya suatu zaman di mana manusia hidup dalam kegelapan nurani karena pelita jiwanya telah padam akibat kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan duniawi.�

�Lantaran itu, ketika tanda-tanda perubahan zaman itu telah tampak, aku berpikir bahwa saat inilah waktu yang tepat bagi kita untuk mempersubur nilai-nilai Tauhid yang sudah tumbuh di tengah kehidupan masyarakat. Sebab, manusia-manusia berparas menakjubkan jelmaan serigala, musang, dan makhluk pemangsa yang disaksikan Syaikh Ibrahim al-Uryan di Kitab Langit itu tengaranya telah muncul tak jauh dari kehidupan kita. Menurut penafsiranku, perlambang itu tidak hanya mengejawantah dalam perwujudan bajak laut Portugis yang akan diikuti oleh bajak laut lain yang akan memenuhi permukaan bumi, tetapi yang paling aku khawatirkan, perlambang itu juga mewujud di antara umat Islam sendiri. Maksudku, racun yang dibawa manusia-manusia jelmaan serigala, musang, dan makhluk pemangsa itu akan menyebar ke segenap penjuru dunia, baik melalui bajak laut Portugis maupun orang-orang Muslim berjiwa bajak laut, sehingga akhirnya akan lahir kawanan mayat hidup dari antara saudara-saudara kita yang masih terperangkap pada kecintaan terhadap dunia,� papar Abdul Jalil.

�Paman,� kata Pangeran Zainal Abidin, putera Prabu Satmata, �apakah kekuatan yang kita miliki tidak cukup kuat untuk melawan mereka? Bukankah penyerbuan Caruban ke Rajagaluh telah menunjukkan bukti bahwa kita sangat kuat jika bersatu.�

�Justru di situlah letak masalahnya, Pangeran,� kata Abdul Jalil menjelaskan. �Para bajak laut itu akan datang tidak sebagai musuh. Mereka akan datang sebagai mitra berniaga yang menawarkan keuntungan besar. Sebagaimana kita ketahui, dalam hal dagang tidak ada perkawanan yang sejati, apalagi persatuan. Prinsip utama dalam hal dagang adalah bagaimana kita dapat menempatkan kepentingan kita di atas semua kepentingan agar kita dapat menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Nah, pada keadaan itulah aku tidak yakin bahwa kita bisa bersatu karena yang kita hadapi bukanlah ujung senjata seperti yang ditodongkan orang-orang Rajagaluh, melainkan tawaran keuntungan berlimpah yang menyilaukan kita.�

�Jika demikian, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menghadapi mereka?�

�Menegakkan nilai-nilai yang berasas pada Tauhid.�

�Bukankah selama ini kita semua sudah melakukannya? Bukankah kita sudah menyiarkan dakwah Islam di berbagai tempat?� tanya Pangeran Zainal Abidin.

�Itu memang benar, Pangeran. Tetapi, semuanya masih dilakukan secara sendiri-sendiri dan terbatas pada lingkungan sekitar kita. Kalaupun ada Bhayangkari Islah, itu pun dilakukan pada batas-batas wilayah sendiri. Padahal, yang kita butuhkan sekarang ini adalah gerakan serentak di seluruh negeri untuk memperkuat benteng nilai-nilai berasas Tauhid. Sebab, kawanan bajak laut itu tidak akan mampu menembus pertahanan nilai-nilai suatu bangsa yang tegak di atas landasan Tauhid. Karena itu, sekarang inilah waktu yang tepat bagi kita untuk memulai kerja keras membangun benteng pertahanan nilai-nilai sebelum para pecinta tubuh dan pemuja dunia itu datang ke hadapan kita.�

�Bagaimanakah cara kita melakukannya?�

�Kita harus mewujudkan gagasan Majelis Wali Songo sebagaimana yang sudah pernah aku bicarakan dengan saudaraku, almarhum Susuhunan Ampel Denta, dan dengan ayahandamu serta Pamanda Raden Kusen. Kenapa kita butuh mewujudkan gagasan Wali Songo? Sebab, masyarakat ummah (al-ummah) yang sudah terbentuk di sebagian Nusa Jawa ini membutuhkan pemimpin ruhani (al-imam) dengan tetap berpedoman pada keteladanan yang dicontohkan empat khalifah. Maksudku, jika selama ini di Caruban, Majapahit, dan Madura ada khalifah-khalifah yang berkuasa atas wilayahnya masing-masing maka dengan terbentuknya Majelis Wali Songo, semua khalifah itu bisa disatukan, di samping tentu saja membatasi kekuasaan khalifah agar tidak menjadi fir�aun seperti Syah Ismail.�

�Dengan alasan agar khalifah tidak menjadi fir�aun maka melalui Majelis Wali Songo, kekuasaan khalifah akan dibagi menjadi dua. Yang pertama, khalifah hanya menjadi penguasa wilayah dan menjalankan pemerintahan duniawi sehingga lebih tepat jika ia disebut al-amir atau as-sultan. Jabatan al-amir atau as-sultan akan dipegang oleh seorang adipati yang ditunjuk oleh para adipati. Yang kedua, kekuasaan ruhani yang meliputi kekuasaan agama yang mengatur penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaan as-sultan. Kekuasaan itu dipegang oleh para guru suci (susuhunan) di bawah kendali satu orang pemimpin ruhani (al-imam al-ummah). Itu berarti, baik al-amir atau as-sultan dan seluruh penduduk wajib tunduk kepada kekuasaan Wali Songo terutama yang terkait dengan penegakan aturan-aturan syarak,� kata Abdul Jalil.

�Apakah dengan cara demikian kita bisa menghindari ancaman bajak laut Peranggi?�

�Menurut hematku, kita tidak bisa melakukan untuk menghadapi mereka yang mencintai dan memuja dunia. Sebab, jika kecintaan terhadap tubuh dan dunia kita lawan dengan cara yang sama maka tidak akan ada bedanya antara kita dengan mereka. Karena itu, mereka harus dilawan dengan kekuatan ruhani. Maksudku, saat inilah pemimpin-pemimpin ruhani harus muncul sebagai kiblat panutan pemimpin duniawi dan penduduk sebelum kawanan pecinta tubuh dan pemuja duniawi itu datang ke sini. Saat inilah waktu yang tepat untuk mewujudkan Majelis Wali Songo, penguasa ruhani di Nusa Jawa,� ujar Abdul Jalil.

�Kenapa majelis itu harus disebut wali? Kenapa pula berjumlah sembilan?� tanya Pangeran Zainal Abidin.

�Sebutan wali memiliki dua sisi makna,� ujar Abdul Jalil. �Pertama-tama, bagi penduduk beragama Syiwa-Budha, kata wali bermakna pendeta yang melaksanakan upacara caru demi terciptanya keseimbangan kehidupan manusia. Mereka dimuliakan karena dianggap memiliki kemampuan melakukan upacara bhumisuddha. Sementara itu, dengan kenyataan yang menunjuk bahwa para wali yang sembilan itu selain melaksanakan upacara juga adalah guru suci (susuhunan), maka kedudukannya adalah sama dengan guru, yang bersthana di Kailasa: Syiwa. Dengan begitu, penduduk beragama Syiwa-Budha akan menganggap mereka sebagai penjelmaan Nawadewata.�

�Menurut saudara kami, almarhum Susuhunan Ampel Denta, kata wali dikaitkan dengan penduduk beragama Islam dengan makna pelindung dan sekaligus penguasa yang merujuk pada Asma�, Af�al, dan Shifat Allah, yaitu al-Waly. Jabatan wali dalam hal itu dinisbatkan kepada manusia-manusia yang sudah mencapai derajat tertentu sebagai wakil al-Waly di muka bumi (khalifah al-Waly fi al-ardh). Hal itu sudah diterapkan di Caruban dalam bentuk wali nagari dan waly al-Ummah, yang memiliki makna jabatan duniawi dan ruhani. Tetapi, dengan alasan Tauhid dan demi menghindari kemungkinan lahirnya fir�aun-fir�aun maka jabatan itu harus dibagi dua, yaitu jabatan al-amir atau as-sultan dan jabatan al-imam al-ummah. Jadi, jabatan wali dalam Wali Songo lebih tinggi dibanding jabatan al-amir, as-sultan, dan adipati karena berkedudukan ruhaniah.�

Sedangkan kata Songo, yang bermakna sembilan, selain memiliki perlambang penguasa delapan penjuru mata angin, yaitu Nawadewata (1.Paramasyiwa, 2.Wisynu, 3.Sambhu, 4.Iswara, 5.Rudra, 6.Brahma, 7.Maheswara, 8.Mahadewa, 9.Sangkhara), juga terkait dengan hitungan saudara kami, almarhum Susuhunan Ampel Denta, yang berpedoman pada hitungan abjadiyah A Ba Ja Dun Ha Wa Zun. Kata Songo, menurut beliau, memiliki makna Jawa, yaitu huruf ketiga dan keenam pada abjadiyah A Ba Ja Dun Ha Wa Zun. Dengan demikian, Wali Songo memiliki perlambang penguasa ruhani delapan penjuru mata angin di Nusa Jawa dan sekaligus pelindung empat lemah larangan (lemah abang, lemah putih, lemah ireng, lemah jenar: Caturbhasa Mandala).�

�Didalam perbincangan, kami telah sepakat bahwa apa yang disebut Jawa bukanlah nama tempat atau nama kumpulan orang-orang. Yang disebut Jawa adalah sebuah tatanan nilai-nilai yang berlandaskan Tauhid yang merupakan perpaduan anasir-anasir Tauhid dari berbagai agama yang pernah ada di dunia. Itu sebabnya, yang disebut Jawa tidak akan pernah mati dan sebaliknya akan tetap hidup lestari abadi seiring putaran roda waktu selama anasir Tauhid masih melekat padanya.�

�Karena nilai-nilai yang membentuk ke-Jawa-an adalah nilai-nilai Tauhid. Maka nilai-nilai Jawa akan selalu hidup, meski menghadapi tantangan dan rintangan bagaimana pun dahsyatnya, selama masih setia pada Sumbernya, yaitu Tauhid. Sebagaimana telah kita pahami, di dalam tata bahasa Jawa telah terdapat aturan bahwa di antara seluruh aksara yang ada hanya aksara Ja dan Wa yang tidak bisa mati. Maksudnya, hanya aksara Ja dan aksara Wa yang tidak bisa diberi pangkon. Itu mengandung makna bahwa siapa saja di antara manusia yang mengaku sebagai orang Jawa tetapi dia �mati� ketika dipangku oleh jabatan, kekayaan, dan kemuliaan duniawi maka sesungguhnya dia itu pembohong. Dia belum bertauhid. Dia belum menjadi Jawa dan sekali-kali haram mengaku Jawa. Sebab, Jawa maknanya adalah Tauhid. Jawa adalah awang-uwung. Jawa ibarat huruf alif dalam bahasa Arab, yaitu huruf yang tidak bisa mati. Nilai-nilai Tauhid inilah yang harus mendasari segala tindak dan laku bagi mereka yang mengaku manusia Jawa.�

Raden Ahmad Susuhunan Khatib yang belum jelas dalam memahami gagasan Wali Songo mengemukakan keberatan terhadap usulan Abdul Jalil itu dengan alasan Tauhid. Sebagai khalifah Tarekat Kubrawiyyah yang menggantikan ayahandanya, dia menolak tegas ajaran yang bersifat Ittihadiyyah. Itu sebabnya, saat dijelaskan bahwa Majelis Wali Songo akan menggantikan kedudukan Nawadewata, dia tidak bisa menerima. Sebab, gagasan itu hanya mungkin dilakukan jika orang seorang menganut ajaran Ittihadiyyah sebagaimana ajaran Bhagavatam dalam agama Hindu. Menurutnya, usaha mengambil alih kedudukan Nawadewata dengan Wali Songo dikhawatirkan akan merusak akidah.

Menangkap ketidakpahaman Raden Ahmad, Abdul Jalil kemudian memaparkan gagasan Wali Songo sebagaimana yang pernah ia sampaikan kepada Raden Ali Rahmatullah, Prabu Satmata, da Raden Kusen, �Sesungguhnya di balik perubahan Nawadewata menjadi Wali Songo terkait dengan perubahan jabatan Buyut menjadi Ki Ageng dan jabatan Rama menjadi Ki Lurah. Semuanya bertujuan menegakkan Tauhid. Dengan begitu, sebagaimana jabatan Ki Ageng dan jabatan Ki Lurah yang berujung pada penghapusan kabuyutan-kabuyutan dan punden-punden karaman (makam para Buyut dan Rama yang disembah-sembah), jabatan Wali Songo pun pada akhirnya berujung pada penghapusan pemujaan terhadap guru suci dan raja sebagai dewa. Sebab, mereka yang menjadi anggota Wali Songo, al-amir, atau as-sultan bukanlah jelmaan Tuhan, melainkan hanya sahabat-sahabat dan kekasih-kekasih Tuhan. Sehingga, saat anggota-anggota Majelis Guru Suci yang menjadi anggota Majelis Wali Songo dan para adipati meninggal, kuburnya tidak akan disembah penduduk.�

�Apa syarat-syarat untuk menjadi anggota Majelis Wali Songo?�

�Anggota Wali Songo terdiri atas guru suci, baik mursyid maupun khalifah tarekat yang memiliki kewenangan untuk melakukan upacara madhiksa (baiat).�

�Apakah gagasan Wali Songo itu tidak menyalahi akidah?� tanya Raden Ahmad. �Sebab, kedudukan Wali itu terahasia dan tidak boleh diketahui oleh sembarang manusia kecuali sesama wali.�

�Jika yang dimaksud adalah wali Allah, memang kedudukannya terahasia. Tetapi, sejak awal sudah aku jelaskan bahwa yang dimaksud Wali Songo adalah waly al-Ummah, yang merujuk pada kedudukan al-imam al-ummah. Jadi, Wali Songo adalah jabatan ruhani yang bisa dikenal oleh seluruh masyarakat. Apakah para anggota Wali Songo itu berkedudukan sebagai wali Allah? Hanya Allah dan para kekasihnya saja yang tahu.�

�Satu hal yang sesungguhnya dapat kita tarik dari pembentukan Majelis Wali Songo, yang terkait dengan Asma�, Shifat, dan Af�al Allah, yakni pengejawantahan azh-Zhahir dan al-Bathin yang abadi. Maksudku, jika suatu ketika azh-Zhahir pernah mengejawantah di Andalusia dalam wujud Khilafah Islamiyah maka saat itu al-Bathin tersembunyi secara rahasia. Ketika Khilafah Islamiyah secara zahir menyingsing dari Andalusia, bukan berarti Islam terhapus dari permukaan bumi, melainkan terbit di tempat lain. Salah satunya, di Nusa Jawa ini.�

�Selama berbilang abad, al-Waly telah mengejawantah pada wujud zahir para wali Allah yang mengajarkan Jalan Kebenaran (thariqah al-haqq) kepada manusia dan orang-orang yang dipilih-Nya. Tetapi, saat Syah Ismail dengan mulutnya yang lancang itu menyatakan bahwa keberadaan wali Allah yang disandang para guru tarekat dan orang-orang suci adalah kebohongan, dengan alasan bahwa kedudukan hanya disandang oleh dua belas orang imam Syi�ah, maka menyingsinglah al-Waly secara zahir dari bumi Persia. Tetapi, itu bukan berarti al-Waly terbenam di dalam al-Bathin. Dengan zahirnya Majelis Wali Songo ini, kita akan maklumkan kepada dunia bahwa al-Waly tetap mengejawantah secara zahir di Nusa Jawa. Al-Waly secara zahir telah terbenam dari bumi Persia, namun terbit di bumi Jawa. Ini adalah pembuktian bahwa firman tuhan bernama Syah Ismail yang mengaku keturunan Muhammad Saw itu hanya berlaku di wilayah kekuasaannya saja. Al-Waly tetap mengejawantah secara zahir di dunia.�

�Tapi paman,� Raden Ahmad ingin penjelasan lebih dalam, �bukankah kedudukan wali yang ditetapkan Syah Ismail terserap ke dalam diri dua belas imam? Sedangkan Majelis Wali Songo hanya sembilan orang? Apakah penduduk Jawa yang menganut Syi�ah akan mempercayai keberadaan Wali Songo?�

�Kita tidak perlu mengikuti cara berpikir Syah Ismail di Persia sana. Kita tidak perlu mengikuti cara pikir penduduk Syi�ah di Nusa Jawa. Kita harus bertindak dengan cara pikir penduduk Nusa Jawa yang bakal menerima gagasan kita. Maksudnya, jika selama ratusan tahun penduduk Nusa Jawa tidak mengenal imam yang dua belas sebaliknya mereka lebih mengenal Nawadewata (sembilan dewa) dan Trisamaya (tiga dewa), yang kesemua jumlahnya dua belas, kenapa kita harus memaksa mereka dengan sesuatu yang tidak mereka kenal? Menurut hematku, penduduk Nusa Jawa akan lebih mudah menerima keberadaan Majelis Wali Songo sebagai pengejawantahan Nawadewata dan Trisamaya. Itu berarti, kita tidak perlu lagi terperangkap ke dalam perbedaan Sunni-Syi�ah. Kita hanya mengenal paham tentang Jawa dan bukan Jawa,� kata Abdul Jalil menegaskan.

Akhirnya, semua pihak memahami pandangan dan gagasan yang disampaikan Abdul Jalil. Mereka semua sepakat membentuk Majelis Wali Songo yang ternyata sudah disetujui oleh almarhum Raden Ali Rahmatullah.

Pertama-tama, semua sepakat bahwa Sri Naranatha Giri Kedhaton Ratu Tunggul Khalifatullah, Prabu Satmata (Hyang Manon), Sang Girinatha (raja gunung; Syiwa), ditetapkan sebagai pemimpin MajelisWali Songo dan dianggap berkedudukan sebagai Bhattara Paramasyiwa. Prabu Satmata berkedudukan di pusat kekuasaan ruhani di Nusa Jawa. Lantaran menjadi lambang Paramasyiwa maka Prabu Satmata menggunakan gelar Susuhunan Giri, yang bermakna Guru Suci dari Giri (Sang Girinatha) perwujudan Guru Agung yang bersthana di Gunung Kailasa.

Prabu Satmata berkedudukan di pusat, dilingkari guru suci lainnya (Wisynu, Sambhu, Iswara, Rudra, Brahma, Maheswara, Mahadewa, Sangkhara) dan sekaligus menjadi penguasa ruhani di empat mandala utama (caturbhasa mandala), yaitu Sagaramadhu, Sukharajya, Kembang, dan Sekarkurung. Di mandala-mandala tersebut Prabu Satmata menjadi guru yang bertugas menyampaikan ajaran Islam yang mencakup syari�at-thariqat-haqiqat-ma�rifat, yaitu kelanjutan sempurna ajaran suci yang sudah disampaika Bhattara Parameswara di caturbhasa mandala yang terletak di Sagara (lautan), Sukhayajna (pemujaan), Kasturi (semerbak wangi), dan Kukub (selimut).

Di Sagaramadhu (lautan madhu), Prabu Satmata sebagai susuhunan Tarekat Ni�matullah mengajarkan ilmu ma�rifat kepada murid-murid utama yang tergolong ahl al-ahadiyyah di mana nama Sagaramadhu terkait dengan lambang lautan wujud (bahr al-wujud). Di Kembang (bunga), Prabu Satmata mengajarkan ilmu haqiqat kepada murid-murid yang tergolong ahl al-wahdat di mana nama Kembang terkait dengan lambang barzakh al-jami�. Di Sukarajya, Prabu Satmata mengajarkan ilmu thariqat kepada murid-murid yang tergolong ahl al-wahidiyyah di mana nama Sukarajya terkait dengan lambang Sukhayajna (pemujaan), yakni jihad an-nafs. Dan di Sekarkurung, sang susuhunan mengajarkan ilmu syari�at kepada murid-murid yang tergolong ahl asy-syar�i di mana nama sekar kurung (bunga yang terkurung) terkait dengan lambang selimut (kukub), yakni perlambang orang-orang yang kesucian jati dirinya masih terselubung hijab (mahjubin).

Di keempat mandala itu Prabu Satmata mengajarkan Tarekat Ni�matullah kepada para dikshita yang mencari Kebenaran. Pembagian tingkat pengajaran ruhani berdasar syari�at, thariqat, haqiqat, dan ma�rifat bukanlah hal yang asing bagi penduduk Nusa Jawa. Di dalam ajaran Syiwa-Budha, pembagian tingkat tersebut sudah dikenal dengan istilah bhaktimarga (syari�at), karmamarga (thariqat), jnanamarga (haqiqat), dan yogamarga (ma�rifat). Sebagai penguasa dan guru suci pada caturbhasa mandala, Prabu Satmata selaku lambang Bhattara Paramasyiwa memberikan wewenang kepada Syaikh Siti Jenar sebagai lambang Maheswara, penguasa barat daya, untuk menjadi penjaga empat lemah larangan di wilayah Giri Kedhaton, yaitu Ksetra Adhidewa, Ksetra Mangare, Dharma Lemah Abang, dan Lemah Putih.

Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, mantan adipati Lasem, ditetapkan sebagai lambang Wisynu yang berkedudukan di utara dan menjadi penguasa sekaligus susuhunan pada caturbhasa mandala di Shankapura, Komalasa, Bonang, dan Trutup. Sebagai perlambang Wisynu, Raden Mahdum Ibrahim menggunakan gelar Susuhunan Wahdat Cakrawati. Di keempat mandala itu Susuhunan Wahdat Cakrawati selaku wakil mursyid (khalifah) Tarekat Ni�matullah mengajarkan kepada para dikshita jalan lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Wisynu, Raden Mahdum Ibrahim memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah Abang sebagai Maheswara untuk menjaga empat lemah larangan, yaitu Ksetra Mahibit, Lemah Abang, Lemah Putih, dan Wulung. Lantaran sudah menjadi anggota Majelis Wali Songo yang menjadi guru suci di sejumlah tempat yang jauh dari Kadipaten Demak, kedudukan Raden Mahdum Ibrahim sebagai Imam Masjid Demak digantikan oleh saudara iparnya, Pangeran Karang Kemuning, Tuan Ibrahim al-Gujarati, suami Nyi Gede Pancuran.

Pangeran Arya Pinatih yang masyhur dengan sebutan Syaikh Manganti ditetapkan sebagai lambang Brahma yang berkedudukan di selatan, sekaligus menjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Tasikmadhu, Giribik, Pandanwangi, dan Kamulan di Bumi Tumapel. Di keempat mandala itu Pangeran Arya Pinatih selaku wakil mursyid (khalifah) Tarekat Kubrawiyyah mengajarkan kepada para dikshita jalan lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Brahma, Pangeran Arya Pinatih memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah Abang, lambang Maheswara, untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Ksetra Wurare, Ksetra Sempalwadak, Tunggul Wulung, dan Kunir. Sementara itu, karena penjaga gerbang selatan Sthana Syiwa adalah Bhattara Gana (Ganesha) maka Pangeran Arya Pinatih menggunakan gelar Susuhunan Giri Gajah alias Sang Girijatanaya (Ganesha Putera Uma).

Khalifah Husein Imam Madura ditetapkan sebagai lambang Shambu yang berkedudukan di timur laut yang sekaligus menjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Madura yang terletak di Sagara di Gunung Geger (hiruk pikuk: Rudra), Bulan-Bulan (Candrasekhara), Aromata (tanjung wewangian), dan Kukub (Kokob). Di keempat mandala itu Khalifah Husein selaku wakil mursyid (khalifah) Kubrawiyyah mengajarkan kepada para dikshita jalan lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Sambhu, Khalifah Husein memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Gua Daksha, Tanah Merah, Kemuning, dan Tabehan di Sapudi.

Raden Ahmad Susuhunan Khatib ditetapkan sebagai lambang Iswara yang berkedudukan di timur yang sekaligus menjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Ampel Denta, Pinilih, Bang Kuning, dan Bukul. Di keempat mandala itu Raden Ahmad selaku mursyid pengganti (khatib) Tarekat Kubrawiyyah mengajarkan kepada para dikshita jalan lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Iswara, Raden Ahmad memberi wewenang kepada Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Ksetra Nyu Denta, Kadingding, Palemahan, dan Sasawo.

Syaikh Jumad al-Kubra ditetapkan sebagai lambang Rudra yang berkedudukan di tenggara dan sekaligus menjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Siddhasrema, Pagedangan, Sagara, dan Tunggul Wulung. Di keempat mandala itu Syaikh Jumad al Kubra mengajarkan kepada para dikshita jalan lurus menuju Kebenaran, berdasar tingkatan syari�at, thariqat, haqiqat, ma�rifat. Sebagai lambang Rudra, Syaikh Jumad al-Kubra memberikan wewenag kepada Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Ksetra Candika, Ksetra Rabut Carat, Keboireng, Lemah Abang.

Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati ditetapkan sebagai lambang Sangkhara yang berkedudukan di barat laut dan sekaligus manjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Sukhajaya, Tegalwangi, Tatakan, dan Wringinkurung. Sebagai lambang Sangkhara, Syarif Hidayatullah memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Gunung Pulasari, Gunung Lancar, Gunung Karang, dan Sudamani.

Syaikh Bentong ditetapkan sebagai lambang Mahadewa yang berkedudukan di barat dan sekaligus menjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Sangkan Urip, Malang Sumirang, Campaka, dan Sirnabhaya. Sebagai lambang Mahadewa, Syaikh Bentong memberi wewenang Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Siddhawangi, Lemah Abang, Ksetra Kalahang, dan Girinatha.

Keberadaan Syaikh Lemah Abang (Abdul Jalil) sebagai pendeta yang paling berpengalaman dalam meredam dan membuat tawar ksetra-ksetra, telah mendudukannya sebagai salah satu dari anggota Wali Songo yang tidak sekadar bertugas menjaga empat lemah larangan yang sebagian besar adalah ksetra di sembilan wilayah, melainkan pula menjadi penguasa dan guru suci di mandala-mandala yang mengandung makna empat warna seperti Lemah Abang, Kajenar, Lemah Putih, Lemah Ireng, Kemuning, Wulung, Sekar Putih, Perak, Batu Putih, Silapethak, Selamirah. Untuk tugas itu, Syaikh Lemah Abang mempercayakan semua wilayah yang dijaganya kepada para murid kepercayaannya. Ia sendiri terlihat lebih banyak berkelana dari satu tempat ke tempat lain.

Sesuai rencana, kesembilan orang anggota Wali Songo pengganti Nawadewata adalah penguasa-penguasa ruhani yang baru bagi mandala-mandala dan lemah-lemah larangan di Nusa Jawa. Sebagaimana kedudukan khalifah yang sudah dipegang Prabu Satmata, di dalam Majelis Wali Songo pun kedudukan pemimpin juga dipegangnya, yaitu sebagai Sang Girinatha pengejawantahan Paramasyiwa. Tugas utama Majelis Wali Songo bagi penduduk Nusa Jawa penganut Syiwa-Budha adalah sebagai pendeta utama, terutama sebagai wali (pemimpin upacara) keagamaan, yang bertujuan menyelamatkan kehidupan umat manusia dari pengaruh jahat para bhutakala. Sementara bagi penduduk Nusa Jawa penganut Islam, Majelis Wali Songo adalah penguasa ruhani yang menjadi pelindung dan sekaligus pemelihara keseimbangan bagi kekuasaan duniawi dan keselamatan penduduk. Mereka adalah para guru suci, sahabat-sahabat Tuhan (wali Allah) yang mengajarkan Islam secara sempurna mulai dari syari�at, thariqat, haqiqat, dan ma�rifat. Kepada merekalah para adipati, penguasa wilayah duniawi, tunduk dan meminta berkah ruhani.

Matahari merayap turun dan kabut tebal sudah memenuhi permukaan bumi ketika Abdul Jalil yang diiringi Abdul Malik Israil dan Raden Sahid menghadap Patih Mahodara di nDalem Kapatihan yang terletak di barat Bangsal Kaprabon Daha. Sore itu Abdul Jalil memenuhi undangan Patih Mahodara yang ingin mengetahui perkembangan membingungkan di Bharatnagari yang terkait dengan maraknya kabar pembunuhan terhadap orang-orang Islam. Patih Mahodara yang mengenakan kain putih tanpa hiasan didampingi Pangeran Karucil dan Pangeran Gogor, dua orang putera Sri Surawiryyawangsaja. Setelah saling mengabarkan keselamatan masing-masing, dengan nada penuh selidik Patih Mahodara bertanya, �Kesalahan apa yang dilakukan orang-orang Islam di Bharatnagari sehingga mereka dibunuh? Apakah mereka mau merebut kekuasaan raja Bharatnagari?�

Abdul Jalil yang menangkap kecurigaan berlebih Patih Mahodara atas terbentuknya Majelis Wali Songo, yang mungkin dibayangkannya bakal merebut kekuasaan Majapahit di pedalaman, menjelaskan duduk perkara kabar yang didengar sang patih itu.

�Sesungguhnya, yang dibunuh oleh orang-orang Portugis adalah orang-orang muslim Mappila, abdi maharaja Wijayanagara. Malahan, bukan hanya orang Mappila, para nelayan Hindu di Kozhikode pun dibunuh. Tubuh mereka dicincang dan dipertontonkan di pantai Kozhikode. Mereka yang dibunuh itu sama sekali tidak berhubungan dengan perebutan kekuasaan karena leluhur orang Mappila adalah abdi maharaja Wijayanagara. Mereka yang dibunuh itu bukan prajurit atau pemberontak, melainkan laki-laki tua, perempuan, dan anak-anak yang baru kembali menunaikan ibadah haji. Mereka tidak bersalah apa-apa. Mereka hanya menjadi korban dari orang-orang Peranggi yang kejam dan ingin merampas kekuasaan dari tangan raja-raja Bharatnagari.�

�Siapakah orang-orang Peranggi itu, o Tuan Syaikh?� tanya Patih Mahodara ingin tahu. �Pu Pedhut dan Pu Pecuk, Puhawang dan Pabanyaga Daha, telah melaporkan kepada kami tentang orang-orang aneh yang mereka temui di negeri Malindi. Orang-orang itu, kata mereka, kulitnya putih seperti kulit kerbau bule, matanya biru seperti mata kucing, rambutnya kuning kemerahan seperti singa, suaranya keras seperti guntur, pakaiannya dihiasi rumbai-rumbai, topinya dari bahan besi. Kapal-kapalnya aneh. Pada lambung kapalnya dipasangi bedil besar. Apakah yang ditemui Pu Pedhut dan Pu Pecuk itu orang Peranggi yang membunuhi orang Islam di Bharatnagari?�

�Menurut hemat kami memang demikian, Paduka,� sahut Abdul Jalil sambil memandang Abdul Malik Israil. �Tapi mohon maaf, kami tidak begitu paham tentang orang-orang Peranggi itu. Sepanjang hidup, kami belum pernah bertemu mereka. Tetapi saudara kami, Abdul Malik Israil, sangat mengenal orang-orang Peranggi karena tanah kelahiran mereka berdekatan. Maksud kami, tanah asal sahabat kami ini dekat dengan tanah asal orang-orang Peranggi.�

�Benarkah itu?� tanya Patih Mahodara kepada Abdul Malik Israil.

�Benar, Paduka,� sahut Abdul Malik Israil menegaskan. �Jarak kota kelahiran kami yang disebut Granada hanya sekitar seratus yojana dari perbatasan negeri Peranggi. Negeri kami terletak di bumi Andalusia.�

�Tapi, kulit Tuan Syaikh tidak putih. Mata Tuan tidak biru. Rambut Tuan tidak kuning kemerahan,� sergah Patih Mahodara mengerutkan kening, penuh curiga.

�Kami memang bangsa pendatang di bumi Andalusia. Asal tanah leluhur kami di negeri Arab. Karena itu, saat orang-orang kulit putih, mata biru, dan rambut kuning kemerahan itu berkuasa, kami diusirnya dari bumi Andalusia. Bukan hanya kami, Bani Israil, melainkan orang-orang Arab asal Maghrib pun diusirnya dari situ,� jelas Abdul Malik Israil.

�Mereka mengusir orang yang tidak sama dengan mereka?� tanya Patih Mahodara.

�Mereka itu bangsa yang sombong, Paduka. Mereka suka merendahkan orang lain yang kulitnya lebih gelap daripada mereka. Karena itu, di mana pun mereka datang, mereka akan membahayakan penduduk yang didatangi. Kenapa berbahaya? Sebab, mereka punya kebiasaan yang aneh, Paduka,� papar Abdul Malik Israil.

�Kebiasaan aneh? Apa itu misalnya?�

�Mereka memuja Raja laki-laki mereka dengan limpahan kemewahan. Sedangkan Raja puteri mereka akan mereka iris-iris dan mereka potong-potong. Para Aji mereka anggap sebagai lombok yang bisa mereka jadikan sambal atau dikunyah-kunyah sebagai lalapan. Para Ajar mereka anggap sebagai bawang putih yang bisa mereka jadikan bumbu. Para Rama mereka anggap sebagai ranting-ranting pohon yang bisa mereka jadikan kayu bakar. Para Rana mereka anggap sebagai katak yang lezat dipanggang. Para Patibulo akan mereka gantung seperti ikan di pasar. Bahkan, para Basura akan mereka campakkan ke tempat sampah,� kata Abdul Malik Israil.

�Mengerikan sekali perilaku mereka,� gumam Patih Mahodara tertegun-tegun.

�Desa-desa yang mereka bangun pun adalah desa-desa aneh dan menakutkan. Mereka menyebutnya Desacato, tempat para pembangkang. Mereka bangun pula Desalino, tempat yang berantakan. Setelah itu, mereka bangun pula Desalmado yang berisi manusia-manusia bengis dan kejam. Lalu mereka bangun Desatino, kediaman orang-orang sesat. Kalau desa-desa itu sudah terbentuk maka penduduknya akan membayar paja dengan jerami.�

�Gila sekali kebiasaan mereka itu,� gumam Pangeran Gogor seolah kepada diri sendiri.

�Pasar-pasar yang mereka sebut Pasar Hambre memperdagangkan orang-orang kurus kelaparan. Pasar mereka yang disebut Pasar Miedo merupakan tempat orang-orang ketakutan disekap di dalam kerangkeng.�

�Sungguh gila,� gumam Pangeran Gogor menggeleng-gelengkan kepala.

�Para Tanda akan ditangkap dan dihujani pukulan bertubi-tubi. Bahkan mereka menamakan diri sebagai Devastador, penghancur dewa. Jadi, kalau mereka ketemu dewa-dewa akan mereka hancurkan.�

�Sungguh gila,� seru Patih Mahodara agak marah. �Kalau begitu, mereka jangan boleh mengunjungi negeri kita. Mereka harus kita usir sebelum mengacau dan membinasakan kita.�

�Tetapi mereka tidak bisa dilawan dengan kekuatan kecil, Paduka. Mereka harus dilawan dengan kekuatan yang besar dan bersatu. Maksud kami, tidak mungkin kekuatan Daha, Wirasabha, Surabaya, Demak, Giri, Pengging, Caruban, yang terpecah-pecah dapat mengalahkan mereka. Semua harus bersatu untuk bisa melawan mereka. Ya, seluruh kekuatan di Nusa Jawa harus bersatu untuk melawan bangsa aneh itu.�

�Bagaimana caranya?�

�Dalam pertemuan di Giri Kedhaton pekan lalu, para guru suci telah sepakat membentuk Majelis Wali Songo. Mereka adalah wali yang memiliki tugas utama melakukan upacara-upacara yadna demi keseimbangan hidup penduduk di Nusa Jawa. Mareka adalah para pendeta yang menjadi pelindung ruhani bagi kekuasaan-kekuasaan para adipati yang sepakat menolak kehadiran Peranggi di Nusa Jawa,� papar Abdul Malik Israil.

�Apakah Wali Songo bukan siasat orang-orang Islam untuk merebut kekuasaan?�

Abdul Jalil menukas dengan suara lain, �Kami menjamin bahwa selama kami hidup, Wali Songo tidak akan berkaitan dengan kekuasaan duniawi. Sebab, kami yang merupakan salah satu penggagas menempatkan Wali Songo semata-mata berkaitan dengan tatanan ruhani. Wali Songo adalah kumpulan para pendeta. Sebagai bukti bahwa Wali Songo adalah kumpulan pendeta yang bertujuan menjaga keseimbangan kehidupan penduduk di Nusa Jawa. Susuhunan Giri Gajah Pangeran Arya Pinatih telah mengirim utusan ke Puri Kutulingkup di Bali. Sebagai sesama keturunan Dewa Manggis Kuning, ia memberi tahu penguasa Puri Kutulingkup, Kyayi Anglurah Agung Pinatih, untuk bersiaga menghadapi kehadiran orang-orang Peranggi yang bakal menjarah kekayaan negeri-negeri subur. Ia bahkan meminta sejumlah pendeta dari Bali untuk membantu pelaksanaan upacara bhumisoddhana di Jawa. Susuhunan Giri juga mengirim utusan ke Blambangan dengan maksud yang sama, yaitu mengingatkan penguasa Blambangan bakal datangnya bahaya bangsa Peranggi dan meminta bantuan dalam melaksanakan upacara bhumisoddhana di Jawa.�

�Ya, aku sudah mendapat laporan tentang itu,� kata Patih Mahodara.

�Kami kira, tidak lama lagi akan datang utusan dari Demak ke Daha untuk meminta dukungan bagi persiapan menghadapi kedatangan Peranggi.�

�Aku kira, Sri Prabu Surawiryyawangsaja tidak akan keberatan bergabung dengan seluruh kekuatan adipati di Nusa Jawa untuk menghadapi serbuan orang-orang Peranggi yang aneh itu,� kata Patih Mahodara.

Malam itu, usai menghadap Patih Mahodara, tanpa beristirahat sedikit pun Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil serta Raden Sahid kembali ke Surabaya. Tetapi, sebelum meninggalkan Daha Abdul Jalil mempersaksikan keislaman Pangeran Kuracil sekaligus upacara madiksha yang dilakukan di kediaman Kyayi Pocanan di Kejenar. Rupanya, sejak dibukanya Dukuh Kajenar (Kamuning) di barat kota Daha, ajaran Jawa (Tauhid) yang disampaikan Abdul Jalil melalui murid-muridnya mulai tersebar di lingkungan keluarga bangsawan Daha dan sejumlah desa sekitar. Cepatnya ajaran tersebut menyebar karena apa yang disampaikan orang-0rang di Dukuh Kajenar tidak jauh berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha yang telah dikenal, kecuali pertanda bahwa orang-orang Kajenar dan pengikutnya berkhitan. Bahkan seperti kedudukan sebelumnya, Kyayi Pocanan, pemangku Dukuh Kajenar, tetap dianggap pendeta oleh penduduk sekitar.

Seusai upacara madiksha dan memberi sedikit wejangan kepada pengikut-pengikutnya, saat berada di atas perahu menuju Surabaya, Abdul Jalil bertanya kepada Abdul Malik Israil tentang penjelasannya yang aneh kepada Patih Mahodara, �Bagaimana mungkin Tuan bisa membohongi Patih Mahodara dengan penjelasan yang keliru tentang orang-orang Portugis? Bukankah orang-orang Portugis tidak segila yang Tuan gambarkan?�

�Sesungguhnya, aku tidak berbohong sedikit pun kepada Patih Mahodara, o Saudaraku,� kata Abdul Malik Israil dengan senyum lebar. �Sebab, apa yang aku sampaikan tadi adalah berdasar bahasa Spanyol yang aku kuasai. Jika tadi aku sebutkan bahwa Raja puteri akan diiris-iris dan dipotong-potong, itu bukan bohong. Sebab kata Raja dalam bentuk muanats (feminin) dalam bahasa Spanyol artinya memang diiris-iris dan dipotong-potong. Begitu juga kata Aji, dalam bahasa Spanyol berarti lombok yang bisa disambal dan dijadikan lalapan. Kata Ajar berarti ladang bawang putih yang hasilnya bisa jadi bumbu. Kata Rama artinya ranting. Ranting yang lazimnya dijadikan kayu bakar dalam upacara persembahyangan Hindu. Kata Tanda artinya hujan pukulan bertubi-tubi. Kata Rana artinya katak. Kata Patibulo artinya penggantungan. Kata Desacato artinya membangkang. Kata Desalmado artinya bengis dan kejam. Jadi, aku hanya mengemukakan kata-kata yang berbeda arti antara bahasa Jawa dan bahasa Spanyol. Kalau Patih Mahodara membayangkan lain tentang makna kata yang aku sampaikan, itu bukan salahku.�

Read More ->>

PERLAWANAN PARA HAMBA TUHAN

Perlawanan para Hamba Tuhan

Ketika gemuruh perburuan dan pembinasaan para mursyid penunjuk jalan menuju Kebenaran dilakukan oleh bala tentara tuhan, hamba-hamba Syah Ismail yang fanatik, di tengah kobaran api yang membakar khanaqah-khanaqah dan zawiyyah-zawiyyah, di antara genangan darah para salik tak bersalah yang tersungkur di muka bumi, di tengah kelebatan beliung-beliung tajam yang membongkar makam-makam para wali Allah di bumi Persia, muncullah di tengah samudera raya iring-iringan kapal berisi makhluk-makhluk bayangan yang tak kalah mengerikan dibanding bala tentara Syah Ismail. Mereka adalah armada kerajaan Portugis yang terdiri atas dua puluh kapal perang bersenjata berat. Armada itu memuat para prajurit tuhan di bawah pimpinan ksatria tuhan tak terkalahkan: Vasco da Gama. Bagaikan monster lautan ganas, armada berisi prajurit-prajurit tuhan yang dicekam dendam kesumat itu tiba-tiba berhenti di laut Arab. Bagaikan sekawanan hiu mengintai mangsa, armada mendekam dengan sikap siaga di tengah alunan gelombang. Armada itu menunggu lewatnya kapal-kapal India yang kembali dari berniaga di negeri-negeri Arab.

Ibarat pepatah pucuk dicinta ulam tiba, tidak lama armada Portugis itu menunggu, lewatlah sebuah kapal penumpang India yang memuat jama�ah muslim Kozhikode (Calicut/India). Kapal berpenumpang 380 orang itu baru kembali dari Makah mengantar pulang jama�ah haji ke Kozhikode. Tanpa curiga sedikit pun kapal itu melenggang di atas debur gelombang lautan. Nakhoda kapal yang sudah beratus kali melintasi kawasan itu tidak menduga bahwa kebinasaan sedang mengintainya.

Munculnya kapal niaga berbendera India itu menyulut kegembiraan para prajurit dan ksatria tuhan. Dengan tertawa terbahak-bahak bagaikan setan, Vasco da Gama memerintahkan awak kapalnya untuk menangkap kapal tak bersalah itu. Vasco da Gama memerintahkan para awak kapalnya untuk merampas semua perbekalan yang ada di kapal tersebut. Kemudian sang ksatria tuhan memerintahkan para prajurit tuhan yang dipimpinnya untuk menawan dan mengunci seluruh penumpang di bawah geladak. Lalu, diiringi sorak-sorai gembira para prajurit tuhan, sang ksatria tuhan memerintahkan agar kapal tersebut dibakar. Setelah terbakar selama tiga hari tiga malam, di tengah jeritan sahut-menyahut manusia-manusia yang hangus terbakar dan gelak tawa para prajurit, tenggelamlah kapal malang itu beserta seluruh penumpangnya yang berjumlah 380 orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Dengan kepongahan seorang ksatria tuhan yang bangga karena telah membinasakan kaum sesat, musuh tuhan, Vasco da Gama mengirim utusan kepada penguasa Kozhikode, Samaritu. Ia menawarkan dua pilihan yang sama-sama berat kepada Samaritu. Pertama, Vasco da Gama meminta agar Samaritu membunuh semua penduduk Muslim di seluruh Kozhikode. Kedua, jika Samaritu menolak maka ia akan menghadapi pembalasan dari Portugis.

Samaritu, penguasa Kozhikode (Calicut) yang tak menginginkan perang, buru-buru mengirimkan utusan untuk melakukan perundingan. Tetapi, pada saat itu Vasco da Gama memperoleh laporan bahwa yang membakar kapal Pedro Alvares Cabral bukan hanya penduduk Muslim Kozhikode, melainkan penduduk �Kristen� India juga banyak terlibat. Dengan dada dikobari amarah, Vasco da Gama kemudian menitahkan para prajurit tuhan untuk menghukum mereka. Para prajurit tuhan pun dengan garang menangkapi nelayan Kozhikode beragama �Kristen� yang berkeliaran di pantai. Sekitar 38 orang nelayan Kozhikode yang sesungguhnya beragama Hindu itu berhasil ditangkap. Setelah perahu-perahu mereka ditenggelamkan, mereka dibinasakan dengan cara: kepala dipenggal. Kaki dan tangan mereka dipotong-potong. Kemudian di tengah gelak tawa kegirangan bagaikan setan, para prajurit tuhan menyerakkan potong-potongan tubuh para nelayan tak bersalah itu di laut. Potongan-potongan tubuh malang itu terapung-apung di pantai dan dijadikan tontonan penduduk kota. Untuk mengabadikan �hukum tuhan� agar yang lain takut melawan ksatria dan prajurit tuhan, Vasco da Gama, memerintahkan prajurit-prajurit tuhan yang dipimpinnya untuk menembaki kota dengan meriam. Lalu tewaslah puluhan penduduk kota tak bersalah.

Tindakan teror yang dilakukan Vasco da Gama dengan memamerkan kekejaman dan kehebatan meriam-meriam Portugis terbukti telah membuat gentar para saudagar Arab dan saudagar Muslim di Kozhikode. Tetapi, aksi teror itu ternyata tidak membuat Samaritu memenuhi ancaman sang ksatria tuhan. Diam-diam Samaritu meminta para saudagar Muslim Kozhikode yang sebagian besar merupakan orang-orang Mappila, abdi maharaja Wijayanagara, untuk pergi dari kota perniagaan tersebut. Sementara sejumlah mursyid tarekat asal Persia yang baru beberapa jenak mengecap ketenangan di Kozhikode tidak punya pilihan, kecuali mengangkat kaki lagi untuk mencari tempat hinggap yang baru. Akibat ancaman Vasco da Gama, para ulama Kozhikode pun beramai-ramai meninggalkan negeri kelahiran mereka. Demikianlah, di bawah intaian Sang Maut yang mengembangkan sayap-Nya di atas kapal-kapal Portugis, saudagar-saudagar Muslim, para ulama dan keluarganya, serta para mursyid asal Persia berbondong-bondong meninggalkan bumi Kerala menuju samudera selatan untuk membangun sarang baru yang jauh dari ancaman ksatria dan prajurit-prajurit tuhan yang ganas. Tetapi, sebagaimana lazimnya hukum alam, mereka yang terusir oleh kekerasan dan kefanatikan itu membangun �benteng-benteng� perlawanan di tempatnya yang baru terhadap kemungkinan serbuan dari musuh utama mereka: orang-orang Portugis, dinasti Safawi, pengikut Tarekat Safawiyyah, dan bahkan semua pengikut Syi�ah.

Kabar naik takhtanya Syah Ismail yang diikuti kebijaksanaan memburu, mengusir, menganiaya, dan membunuh para mursyid tarekat serta para salik berlangsung susul-menyusul dan sambung-menyambung dengan kabar kedatangan ksatria tuhan dan prajurit tuhan asal Portugis di Kozhikode. Sifat sombong dan suka merendahkan mereka dengan cepat menyebar ke berbagai tempat yang memiliki hubungan dengan Persia dan India. Dari mulut ke mulut, kisah kekejaman Syah Ismail dan Vasco da Gama beserta prajurit-prajuritnya dalam waktu singkat sudah terdengar di berbagai bandar perniagaan di negeri-negeri Timur.

Kisah kesombongan dan kekejaman Syah Ismail dan Vasco da Gama disebar pula secara lebih luas oleh para mursyid dan saudagar dari negeri lain. Salah satu di antara para penyebar berita kelam itu adalah para ulama dan saudagar Maghrib (Maroko � Aljazair) yang sejak lama sudah memiliki hubungan dengan para sufi di Baghdad, Istambul, dan Persia. Segera setelah para mursyid tarekat meninggalkan Persia, berlindung di negeri yang dikuasai dinasti Timuriyyah di Baghdad dan dinasti Usmaniyyah di Istambul, para ulama sufi Maghrib yang berada di kedua tempat tersebut dengan cepat menyebar ke berbagai negeri di timur dengan menumpang kapal saudagar-saudagar Maghrib yang berniaga ke Mesir, Yaman, Persia, India, Pasai, dan Malaka. Bagaikan dua pasukan yang berjuang bahu-membahu dalam sebuah pertempuran, ulama Maghrib menyebarkan kabar buruk tentang lahirnya fir�aun baru bernama Syah Ismail yang menghalalkan darah umat Islam sedunia, sementara para saudagar Maghrib menyebarkan kabar buruk tentang datangnya bajak laut Portugis yang akan merampok barang perniagaan maupun gudang kekayaan milik saudagar-saudagar Muslim di seluruh dunia.

Keterlibatan para ulama sufi dan saudagar-saudagar Maghrib untuk ikut mengambil peran dalam menyebarluaskan kabar berkuasanya telah menjadi gelombang yang susul-menyusul dan sambung-menyambung yang membuat terkejut para pemuka dan terutama saudagar-saudagar Muslim di negeri-negeri Timur. Sebab, tak lama setelah berita itu disampaikan oleh para ulama sufi dan saudagar asal Kerala dan Persia, datanglah berita dari para ulama dan saudagar Maghrib. Para ulama dan saudagar asal Maghrib itu mengaku berasal dari kabilah Bani Mathar, Bani Millal, Bani Ounif, dan Bani Slimane yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik asal kota Kaar el-Kabir, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry dan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. Mereka bertolak dari bandar-bandar perniagaan di Yaman dan Malabar menuju selatan dengan tujuan utama membangkitkan perlawanan kaum Muslimin di berbagai negeri terhadap musuh besar mereka: para penganut paham Syi�ah dan bajak laut Portugis.

Kedatangan orang-orang Maghrib dalam jumlah ratusan di pelabuhan-pelabuhan Nusantara sempat menimbulkan tanda tanya penduduk setempat yang terheran-heran melihat mereka. Sebab, perwujudan fisik mereka memang berbeda-beda. Ada yang berkulit gelap, namun berambut perang dan bermata biru. Ada yang berkulit putih dengan rambut hitam dan mata coklat. Ada yang berkulit putih dengan mata biru, namun berambut gelap keriting. Bahkan ada yang mirip dengan orang-orang Arab, namun kulitnya sehitam jelaga. Yang lebih mengherankan, meski lelaki, mereka sangat suka bersolek dan memakai perhiasan berlebihan.

Keanehan bentuk fisik orang-orang Maghrib berasal dari kenyataan bahwa mereka adalah bangsa yang lahir dari bermacam-macam bangsa seperti Neger, Berber, Tuareg, Moor, Kabil, Arab, Vandal, Romawi, Spanyol, dan Yahudi. Mereka lahir dari bangsa-bangsa pengembara dan bangsa penakluk. Itu sebabnya, mereka dikenal sebagai orang-orang yang suka meninggalkan kampung halaman untuk berniaga ke berbagai negeri. Mereka terkenal ramah dan gampang bergaul, namun jauh di pedalaman jiwa mereka tersembunyi naluri gemar perang, warisan sejarah masa silam dari leluhur mereka yang silih berganti menguasai negeri Maghrib. Lantaran itu, saat bertemu dengan musuh lama mereka, Portugis, mereka langsung membayangkan sebuah pertarungan sengit sehingga mereka pun dengan terang-terangan berusaha membuat medan tempur lebih luas, melalui cara membangkitkan semangat perlawanan kaum Muslimin terhadap Portugis. Dengan kepiawaian berkata-kata, mereka berhasil memanas-manasi para syahbandar dan penguasa di berbagai pelabuhan Nusantara seperti Dermayu, Muara Jati, Samarang, Demak, Tuban, Surabaya, Gresik, dan tentu saja setelah lebih dulu memanasi penguasa Aceh, Pasai, Patani, Kedah, Malaka, Aru, Kampar, dan Palembang.

Sekalipun para syahbandar dan penguasa pesisir telah cukup lama mendengar ramalan Abdul Jalil tentang bakal datangnya kawanan Ya�juj wa Ma�juj, pembawa senjata penyembur api, yang dipimpin Sang Kere putera To-gog, dan akan menjarah kekayaan penduduk, ternyata mereka masih terkejut dengan kabar kedatangan orang-orang Portugis yang disampaikan saudagar-saudagar Maghribi tersebut. Sebuah pertemuan rahasia di antara penguasa-penguasa pesisir dan pemuka warga trah Prabu Kertawijaya buru-buru diadakan di Giri Kedhaton. Mereka yang hadir adalah Raden Patah Adipati Demak didampingi Imam Masjid Demak Raden Mahdum Ibrahim, Khalifah Husein Imam Madura, Raden Ahmad (putera almarhum Raden Ali Rahmatullah) Susuhunan Khatib Ampel Denta, Raden Yusuf Shiddiq Adipati Siddhayu, Raden Zainal Abidin Adipati Gresik, Arya Bijaya Orob Adipati Tedunan, Raden Sahun (Pangeran Pandanarang) Adipati Samarang, Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Pangeran Danareja Adipati Bojong, Raden Sulaiman Leba Wirasabha, Syaikh Bentong, Syarif Hidayatullah mewakili Raja Caruban Sri Mangana, Raden Kusen Adipati Terung, dan Pangeran Arya Pinatih.

Mendapat kabar tentang diadakannya pertemuan rahasia tersebut, Abdul Jalil yang didampingi Abdul Malik Israil, Syaikh Jumad al-Kubra, dan Raden Sahid yang saat itu masih berada di Trigosthi (Salatiga), setelah selama dua puluh tiga bulan lebih membuka dukuh-dukuh hunian baru di pedalaman Nusa Jawa, buru-buru beranjak meninggalkan Trigosthi menuju ke Giri Kedhaton. Sepanjang perjalanan, Abdul Jalil mendapati orang-orang di sekitar pelabuhan ramai membicarakan orang-orang Syi�ah yang membunuhi para ulama dan santri, juga bajak laut Portugis yang bakal menyerang Nusa Jawa. Sebagaimana lazimnya kebiasaan penduduk Nusa Jawa yang alam pikirannya cenderung oleh bunyi dan suara tertentu, nama Syah Ismail, raja orang Syi�ah, dikesankan sebagai siluman tupai (Jawa Kuno: Sah : menyingkir; Semal: tupai) yang memisahkan diri dari kawanannya, yang menjelma menjadi manusia kejam dan haus darah. Bahkan kesan siluman tupai itu kemudian berkembang menjadi salah satu jenis tupai, yaitu bajing. Demikianlah, penduduk di sekitar pelabuhan mengesankan Syah Ismail sebagai siluman tupai yang menjadi raja para penjahat: Prabu Semal ratu ning bajingan.

Tuduhan siluman dan bajingan di Nusa Jawa adalah tuduhan yang tidak bisa diabaikan, apalagi dianggap lelucon. Sebab, siapa pun di antara makhluk yang menyandang sebutan siluman atau bajingan wajib disingkirkan dari lingkaran kehidupan penduduk Nusa Jawa. Tuduhan sebagai makhluk siluman dan bajingan yang dialamatkan kepada para penganut Syi�ah pun mengakibatkan mimpi buruk yang mengerikan. Entah benar entah tidak, kumpulan-kumpulan penduduk muslim yang dituduh sebagai penganut Syi�ah tiba-tiba diburu dan dikepung penduduk. Mereka dituduh jelmaan siluman tupai atau kawanan penjahat berbahaya. Darah pun tumpah. Mayat pun bergelimpangan. Entah siapa yang mengawali, tiba-tiba tersebar fatwa dari mulut ke mulut yang menegaskan bahwa Syi�ah adalah paham sesat yang diajarkan ratu siluman yang menghalalkan darah penduduk Nusa Jawa untuk ditumpahkan.

Sementara itu, tidak berbeda dengan kesan tentang Syah Ismail dan kaum Syi�ah, penduduk Jawa yang mengucapkan kata Portugis dengan lafal Peranggi (Jawa Kuno: Prang-pranggi: menyerang secara membabi-buta), cenderung mengesankan keberadaan Portugis bukan sebagai bangsa manusia, melainkan kawanan siluman kerbau putih bermata kucing (kebo bule mata kucing) yang mengamuk dan memangsa manusia. Mereka juga mengesankan pemimpin bangsa Peranggi itu, Vasco da Gama, sebagai raja siluman bernama Kala Srenggi: siluman babi hutan bertaring besar. Bahkan yang berkembang kemudian adalah kesan kuat bahwa bangsa Peranggi, kebo bule mata kucing, merupakan kawanan makhluk penjarah asal Nusa Pranggi (Jawa Kuno: negeri kacau) yang dipimpin Sang Kere putera Sang To-gog. Mereka datang ke Nusa Jawa membawa bala tentara kelaparan karena negeri mereka termasyhur kemiskinannya. Sang Kere dan bala tentaranya itu dengan kerakusan tiada tara akan menjarah kemakmuran Nusa Jawa dan memperbudak penduduknya.

Sebagai orang yang sejak awal telah mengetahui bakal terjadi perubahan besar bagi tatanan kehidupan negeri-negeri Timur, Abdul Jalil tidak menganggap kemunculan Syah Ismail dan bangsa Portugis sebagai sesuatu yang mengagetkan. Ia malahan sangat yakin, apa yang diperjuangkannya untuk melahirkan manusia-manusia baru, adimanusia-adimanusia, yang memegang kuat nilai-nilai berlandaskan Tauhid adalah benteng pertahanan yang tak bakal bisa ditembus oleh para pecinta tubuh dan pemuja dunia berkedok agama seperti Syah Ismail dan bangsa Portugis. Ia sangat yakin bahwa para adimanusia yang lahir dari nilai-nilai Tauhid akan dapat mempertahankan diri dari tindak kekerasan yang dilakukan para pecinta tubuh dan pemuja dunia itu. Bahkan, andaikata nanti bangsa Portugis dapat menaklukkan para penguasa negeri dan meletakkan Nusa Jawa di bawah telapak kakinya, mereka akan menghadapi kesulitan besar untuk mengubah nilai-nilai Tauhid yang sudah dianut penduduk Nusa Jawa. Itu sebabnya, ketika ia bertemu dengan Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry dan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry di pelabuhan Samarang, ia tegas-tegas menolak ajakan untuk mengusir para penganut Syi�ah dan menghalau bangsa Portugis dengan senjata di mana pun mereka berada.

�Bumi ini milik Allah, Tuan Syaikh,� kata Abdul Jalil. �Karena itu, tidak ada hak satu bangsa melarang bangsa lain untuk menginjakkan kaki di bumi Allah kecuali jika bangsa pendatang itu telah terbukti berbuat zalim terhadap penduduk setempat. Sepengetahuan kami, tidak ada dalil-dalil maupun teladan dari Rasulullah Saw. bahwa kita mengusir saudara seagama atau menyambut orang-orang yang mau berniaga dengan senjata. Jika Syah Ismail berbuat kejam di Persia maka hendaknya hal itu diselesaikan di sana. Janganlah penganut Syi�ah yang tidak tahu apa-apa di negeri ini disangkut pautkan dengan tindakan bodoh anak bangsa Azeri yang mengaku keturunan Nabi Saw. itu. Bahkan, jika Tuan memiliki rasa bermusuhan dengan suatu kaum, janganlah Tuan melibatkan orang lain dalam permusuhan itu. Sebab, hal itu akan menunjukkan bukti bahwa Tuan kurang yakin diri dalam menghadapi musuh Tuan.�

Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry terkejut dengan penolakan Abdul Jalil yang dirasakannya bagaikan anak panah menembus jantung. Dengan mata berkilat dan dada naik turun menahan amarah, dia berkata dengan suara ditekan tinggi, �Tuan tahu apa tentang orang-orang Syi�ah yang sesat itu. Mereka telah mengangkat Syah Ismail sebagai fir�aun, penjelmaan tuhan di dunia. Mereka membumihanguskan khanaqah-khanaqah dan zawiyyah-zawiyyah. Mereka memburu-buru dan menyiksa bahkan membunuh para guru suci tarekat. Apakah kita akan berdiam diri melihat kesesatan mereka?�

�Tuan Syaikh, demi Allah, kami sangat setuju memerangi Syah Ismail yang telah menuhankan dirinya. Kami juga tidak percaya sedikit pun jika dia keturunan Nabi Muhammad Saw. karena dia dan leluhurnya berkebangsaan Azeri yang lahir di Azerbaijan. Syah Ismail adalah pendusta berpikiran picik dan dungu. Dia hanya berpikir tentang kekuasaan pribadi yang bakal didudukinya di wilayah terbatas, yaitu negeri Persia. Dia sedikit pun tidak berpikir bahwa akibat tindakannya itu para penganut Syi�ah di berbagai negeri terancam jiwanya.�

�Karena itu, o Tuan Syaikh, kami sangat tidak setuju jika kita ikut-ikutan berpikir picik seperti Syah Ismail untuk membunuh setiap penganut Syi�ah hanya gara-gara tindakan sepihak makhluk pendusta yang mabuk kekuasaan duniawi. Sebab, menurut hemat kami, tidak semua penganut Syi�ah sepaham dengan Syah Ismail. Dan tentang penganut Syi�ah di Nusa Jawa ini, hendaknya tidak kita ganggu karena mereka tidak memiliki kaitan dengan gerakan Syah Ismail di Persia,� kata Abdul Jalil.

�Bagaimana Tuan bisa yakin jika orang-orang Syi�ah tidak berhubungan dengan Syah Ismail? Bukankah mereka itu satu napas dan satu jiwa?� tanya Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry.

�Siapa bilang Syi�ah itu satu napas dan satu jiwa? Siapa pula yang bilang jika Sunni itu satu napas dan satu jiwa? Bukankah Tuan Syaikh sudah paham bahwa hukum kauniyah yang ditetapkan Allah itu tidak akan berubah oleh tindakan orang-seorang? Maksudnya, jika hukum kauniyah tentang keragaman itu menjadi keniscayaan bagi tatanan kehidupan di alam semesta, tentulah mustahil jika keragaman itu bisa diseragamkan oleh seorang manusia, apalagi pembohong tengik seperti Syah Ismail,� kata Abdul Jalil.

�Bukankah Syah Ismail didukung oleh orang-orang Syi�ah asal Baghdad, Mesir, dan Turki? Bukankah sesungguhnya kaum Syi�ah itu bersatu dalam kesesatan?�

�Ketahuilah, o Tuan Syaikh, bahwa mertua kami, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, adalah seorang ulama Syi�ah. Tetapi, dia bukan pengikut Tareka Safawiyyah. Dia juga bukan pendukung Syah Ismail. Bahkan kabar yang kami terima terakhir, dia yang selama tiga tahun terakhir tinggal di Shiraz dibunuh oleh kaki tangan Syah Ismail karena dianggap melindungi kawan-kawannya, para ulama tarekat yang tidak patuh terhadap kekuasaan Syah Ismail,� kata Abdul Jalil tegas.

�Apakah Tuan Syaikh sendiri penganut Syi�ah?� tanya Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry curiga.

�Kami adalah guru ruhani yang mengajarkan Tarekat Akmaliyyah yang dinisbatkan kepada hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Tetapi, kami tidak peduli apakah dituduh Syi�ah atau penyembah setan sekalipun, karena tugas utama kami adalah menjaga keseimbangan tatanan kehidupan manusia di dunia ini. Itu sebabnya, ketika para pengikut ayahanda mertua kami yang datang ke Caruban memburu-buru Syaikh Duyuskhani dan pengikutnya untuk dibunuh, kami cegah sekuat kuasa kami. Sebab, kami tahu pasti bahwa Syaikh Duyuskhani sekalipun orang Persia dan penganut Syi�ah, ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan gerakan Syah Ismail. Dengan begitu, menurut hemat kami, sungguh tidak pantas jika Syaikh Duyuskhani dan pengikutnya yang tidak tahu-menahu tentang perbuatan Syah Ismail di Persia itu harus ikut menanggung akibat hanya karena kebetulan pahamnya sama.�

�Apakah Tuan Syaikh akan melindungi semua orang Syi�ah di Nusa Jawa?�

�Bukan hanya orang Syi�ah. Siapa pun di antara manusia tak bersalah yang teraniaya akan kami lindungi sekuat kuasa kami.�

�Tuan akan menuai bahaya akibat tindakan itu.�

�Kami sudah terbiasa menanggung akibat berbahaya dari tindakan yang kami lakukan.�

�Sungguh, Tuan Syaikh sedang melindungi kawanan ular berbisa.�

�Sesungguhnya, racun yang paling dahsyat bukanlah bisa ular, melainkan racun kebencian yang terletak di taring ular jiwa yang bersarang di dalam relung-relung hati kita. Sebab, dengan racun kebencian itu manusia sering menjadikan dirinya sebagai ular raksasa yang berbahaya bagi kehidupan sesamanya.�

Tidak berbeda dalam prinsip saat berdebat dengan Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, Abdul Jalil tetap berpegang teguh pada prinsipnya saat berbincang-bincang dengan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tentang bangsa Portugis. Abdul Jalil tetap berkukuh menolak ajakan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry untuk menyongsong kehadiran bangsa Portugis di Nusa Jawa dengan senjata. Sebab, menurut hematnya, kehadiran bangsa Portugis yang memamerkan kekejaman itu pada hakikatnya adalah bagian dari cerita kehidupan anak manusia yang mengandung rahasia pengukuhan Tauhid bagi manusia di negeri-negeri Timur agar lebih sempurna. �Kehadiran bangsa-bangsa perusak, Ya�juj wa Ma�juj, sepanjang sejarahnya tidaklah dapat dilawan dengan senjata. Kekuatan mereka hanya bisa ditawarkan dengan ajaran Tauhid yang kuat,� ujar Abdul Jalil.

Sidi Abdul Qadir el-Kabiry yang tidak sukan dengan pandangan Abdul Jalil tampak marah, meski berusaha meredamnya. Setelah terdiam sesaat dia berkata dengan suara lantang, �Apakah Tuan Syaikh belum tahu jika bangsa Portugis adalah kaum kafir? Apakah Tuan Syaikh belum pernah bertemu dan belum pula pernah mengenal mereka? Apakah Tuan Syaikh tetap yakin jika mereka itu bukan bangsa yang berbahaya bagi agama kita? Jika Tuan menilai Portugis bukan bangsa yang berbahaya bagi agama kita, itu karena Tuan selama ini tinggal di negeri yang jauh dari keramaian dunia. Jika Tuan Syaikh tinggal di negeri Maghrib yang berdekatan dengan negeri bangsa Portugis seperti kami, Tuan akan tahu bagaimana busuk dan tengiknya mereka. Mereka suka mabuk, gemar berzina, rakus harta, haus kekuasaan, suka berperang, menjarah, merampok, memperkosa, dan yang paling berbahaya, mereka memiliki kebencian yang berlebihan terhadap agama kita. Bagaimana pendapat Tuan terhadap orang-orang seperti itu?�

Abdul Jalil tertawa mendengar penjelasan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. Setelah diam beberapa jenak ia berkata dengan suara lain, �Jika apa yang Tuan sampaikan tentang bangsa Portugis itu benar maka kami akan menyatakan keheranan atas sifat Allah yang Maharahman dan Maharahim dan Mahaadil. Maksud kami, sungguh tidak adil dan sangat aneh jika Allah SWT. mencipta suatu kaum sebagai bangsa yang busuk dan tengik tanpa kebaikan sedikit pun. Bagi kami, jika memang ada bangsa yang busuk seluruhnya maka itu menunjukkan kemustahilan dari hukum alam yang ditetapkan Allah.�

�Kami belum paham dengan kata-kata yang Tuan sampaikan,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Terus terang, kami tidak percaya dengan pandangan Tuan yang menilai bangsa Portugis itu busuk dan tengik semua. Menurut kami, hukum alam telah menetapkan bahwa di antara bangsa-bangsa manusia itu wajib ada yang baik dan wajib pula ada yang tidak baik. Lantaran itu, kami beranggapan kebaikan dan keburukan tidak bersangkut paut dengan kebangsaan, warna kulit, bahasa, dan keturunan orang seorang. Apakah menurut Tuan semua orang Maghrib itu baik semua? Apakah orang-orang Maghrib semuanya bersifat seperti malaikat yang tidak mempunyai nafsu, tidak rakus harta, tidak suka perempuan, dan tidak gila kekuasaan duniawi?� tanya Abdul Jalil.

�Kami kira tiap bangsa memang ada yang baik dan ada pula yang buruk. Tetapi, bagaimana dengan kebencian mereka yang berlebihan terhadap agama kita? Apakah kita akan mendiamkan mereka? Apakah kita akan membiarkan agama kita mereka hancurkan?�

�Islam adalah agama Kebenaran (ad-din al-haqq) yang akan dijaga oleh Yang Mahabenar (al-Haqq). Itu berarti, kita tidak perlu ragu apalagi khawatir bahwa Islam akan musnah dari muka bumi, apalagi oleh kefanatikan suatu bangsa. Kami tetap yakin pada hukum alam bahwa kehidupan di dunia ini wajib beragam. Itu berarti, jika ada suatu bangsa ingin menyeragamkan kehidupan manusia dengan alasan agama, keyakinan, budaya, bahasa, atau kekuasaan, maka sesungguhnya bangsa itu sedang membangun bagian kecil dari keragaman karena sangat mustahil ia bisa mengubah hukum alam. Demikian pun dengan bangsa Portugis, jika mereka ingin menguasai dunia dan mengubah agama penduduk dunia agar seperti agama mereka maka mereka sejatinya sedang memecah-belah agamanya. Sebab, hukum alam telah menggariskan bahwa keragaman agama adalah fitrah bagi kehidupan makhluk di jagat raya ini. Lihat dan tunggulah, agama yang dianut bangsa Portugis itu pada gilirannya nanti akan terpecah-pecah tak terhitung jumlahnya,� kata Abdul Jalil.

�Sebagai seorang guru agama Islam, sungguh aneh sekali pandangan Tuan,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry dengan nada heran. �Tuan seolah-olah tidak punya ghirah terhadap agama Tuan.�

�Itu karena Tuan Syaikh memiliki sudut pandang yang berbeda dengan kami dalam memandang sesuatu sehingga penilaian Tuan pun menjadi berbeda dengan kami,� kata Abdul Jalil datar.

�Kami belum paham dengan penjelasan Tuan,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Begini Tuan Syaikh,� kata Abdul Jalil tenang. �Jika Tuan datang ke pedalaman Nusa Jawa, kemudian Tuan menemukan suatu kaum yang tinggal di suatu tempat memiliki keyakinan bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan tidak bisa disetarakan dengan sesuatu, yakin akan datang hari kehancuran jagat raya, yakin jika surga dan neraka itu bertingkat-tingkat, mereka berpuasa, bersembahyang, tidak makan babi, tidak makan anjing, tidak makan sesuatu yang najis, tidak meminum minuman keras, tidak berjudi, tidak mencuri, tidak menyakiti, beristri paling banyak empat, dan berusaha menjalani kehidupan yang suci. Menurut Tuan, siapakan mereka itu?�

�Tentu mereka itu orang-orang Muslim.�

�Tuan telah keliru menilai,� kata Abdul Jalil menukas, �sebab kaum yang kami sebutkan itu adalah para pendeta Syiwa-Budha.�

�Benarkah itu?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry terheran-heran.

�Tuan boleh mengikuti kami ke pedalaman Nusa Jawa untuk membuktikan ucapan kami.�

�Itu yang kami belum tahu.�

�Kami kira, masalah permusuhan bangsa Tuan dengan orang-orang Portugis terjadi karena tidak ada saling pengertian. Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Pihak satu tidak mau memahami pihak lain.�

�Kami kira, Tuan keliru dalam menilai orang-orang Portugis. Mereka beda dengan penduduk Nusa Jawa. Kalau saja Tuan pernah dekat dengan mereka, kami yakin Tuan akan memiliki penilaian yang sama dengan kami. Tuan akan melihat betapa berbahayanya meraka itu jika dibiarkan.�

�Kami memang kaum agamawan. Tetapi, kami bukannya orang picik yang tidak mengenal bangsa-bangsa lain. Saat kami tinggal di Baghdad, kami banyak bergaul dengan berbagai bangsa berikut berbagai keyakinan dan adat budayanya. Bahkan saudara kami ini, Abdul Malik Israil al-Gharnata, adalah seorang pemuka keluarga Jethro dari antara Bani Israil di Andalusia. Pada saat Granada jatuh, seluruh keluarganya yang beragama Yahudi pindah ke Maghrib, yaitu negeri Tuan, karena mereka menolak dipaksa pindah agama oleh penguasa Granada. Bukankah itu menunjukkan bahwa masalah agama tidak bisa dipaksa-paksa? Malahan kalau tidak keliru, sebagian keluarga dari saudara kami itu ada yang tinggal di kota asal Tuan, Kaar el-Kabir,� ujar Abdul Jalil.

�Tuan pernah tinggal di Baghdad?� gumam Sidi Abdul Qadir el-Kabiry heran.

�Tidak lama, cuma tujuh belas tahun.�

�Jika demikian, kenapa Tuan mau tinggal di tempat terpencil seperti ini? Bukankah kehidupan di Baghdad jauh lebih menyenangkan?� tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry makin heran.

�Seburuk apa pun, negeri ini adalah tempat kami dilahirkan. Menurut pepatah orang-orang di negeri ini, hujan emas di negeri orang, masih baik hujan batu di negeri sendiri. Karena itu, sebagai anak negeri dari negeri ini, tentunya kami lebih memahami pepatah itu daripada orang lain. Kembali pada masalah bangsa Portugis, kami tetap yakin mereka memang kawanan yang berbahaya, terutama bagi manusia yang masih diliputi kecintaan berlebih terhadap duniawi. Sebab, melalui bangsa Portugis itulah para pecinta duniawi akan bersaing dan bertempur memperebutkan dunia. Kami yakin, di mana pun bangsa Portugis itu berada, mereka akan menghadapi perlawanan saudagar-saudagar apakah itu Muslim atau bukan Muslim dengan alasan yang sama: berebut harta kekayaan dan kekuasaan dunia.�

�Sementara bagi para pecinta Allah dan penampik dunia, mereka tidak dianggap sebagai pesaing apalagi ancaman. Sebab, bagi para pecinta Allah dan penampik dunia, telah jelas bahwa musuh utama mereka bukanlah suatu kaum yang ditandai warna kulit, bahasa, budaya, dan agama, melainkan mereka yang terperangkap pada nafsu kecintaan berlebih pada dunia hingga terhijab dari Allah SWT.. Sungguh, para pecinta dunia itulah kaum yang berbahaya. Dengan demikian, tidak semua bangsa Portugis yang beragama Kristen bisa digolongkan sebagai pecinta tubuh dan pemuja dunia. Kami yakin, di antara mereka tentunya ada seseorang yang memiliki pandangan berbeda dengan kawan-kawannya. Sebaliknya, di antara kaum Muslimin pun tidak bisa dikata bahwa mereka semua adalah pecinta Allah sejati. Sebab, kenyataan membuktikan, tidak kurang di antara mereka yang menyatakan pecinta Allah itu sesungguhnya pecinta diri pribadi yang berlebihan sehingga mata batin (�ain al-bashirah) mereka tertutup oleh benda-benda (thaghut) sehingga mereka terhijab dari Kebenaran,� kata Abdul Jalil.

�Bagaimana Tuan bisa yakin jika di antara mereka itu ada yang bukan pecinta tubuh dan pemuja dunia? Bukankah mereka jauh-jauh dari negerinya hingga ke India sesungguhnya karena berkeinginan merebut dan menguasai harta dunia? Mungkinkah di antara mereka itu ada yang tidak sejenis dengan kawan-kawannya?� gumam Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Kami tetap yakin dengan fitrah keragaman yang ditetapkan Allah dalam hukum alam.�

�Keyakinan Tuan itu hanya pada tingkat gagasan saja. Tuan akan kecewa jika mengetahui kenyataan betapa di antara mereka itu tidak ada satu pun orang yang tidak mencintai tubuh dan memuja dunia. Mereka selalu menyatakan diri sebagai prajurit tuhan, ksatria tuhan, dan bahkan anak-anak tuhan. Tetapi, kiblat hati dan pikiran mereka selalu tertuju pada benda-benda duniawi dan pengumbaran nafsu.�

�Kapan rombongan Tuan akan balik ke India?� tanya Abdul Jalil dengan pertanyaan lain.

�Awal purnama bulan ini,� kata Abdul Jabbar el-Kabir singkat sambil mengerutkan kening. �Kenapa Tuan bertanya tentang kepulangan kami?�

�Jika diperbolehkan, kami ingin ikut rombongan Tuan. Kami ingin membuktikan kepada Tuan bahwa apa yang baru saja kami ucapkan bukan suatu khayalan.�

�Apakah hanya untuk itu Tuan ikut kami ke India?�

�Tentu saja tidak,� sahut Abdul Jalil datar. �Selain untuk membuktikan ucapan kami, kami juga ingin pergi ke Gujarat untuk menjemput anak dan istri kami di sana.�

�Tuan punya keluarga di Gujarat?�

�Ya, tetapi mereka sudah kami tinggalkan selama belasan tahun silam.�

�Berapa lama Tuan pernah tinggal di sana?�

�Kira-kira dua tahun.�

�O pantas saja, Tuan sangat berbeda dengan orang-orang sana.�

�Berbeda bagaimana?� tanya Abdul Jalil sambil tertawa. �Apakah kami lebih lemah? Lebih tidak bersemangat? Dan lebih sulit untuk dipanas-panasi? Begitu?�

Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tersenyum kecut. Dia kemudian menepuk-nepuk bahu Abdul Jalil dan kemudian mengajak bicara Abdul Malik Israil. Dia mengalihkan pembicaraan dengan memperbincangkan para pengungsi Bani Israil di Maghrib. Dalam perbincangan itu, Sidi Abdul Qadir el-Kabiry ternyata mengenal sejumlah pemuka keluarga Bani Israil yang tinggal di Kaar el-Kabir yang ternyata kerabat Abdul Malik Israil. Dari penjelasan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry, diketahuilah jika sejumlah pemuda Bani Israil dari keluarga Abraham, Menahem, David, Zakhari, Naum, Solomon, Samail, Sarkis, dan bahkan Jethro diam-diam telah pergi ke berbagai negeri di Eropa untuk berjuang melawan kekuatan gereja. �Rupanya mereka sangat sakit hati diusir dari kampung halamannya oleh penguasa baru Granada,� jelas Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

�Bagaimana Tuan tahu mereka pergi ke Eropa?�

�Karena kami yang membantu menyelundupkan mereka dari wilayah perbatasan Usmani di Moson dengan melewati Sungai Danube,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

Mendengar penjelasan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry, Abdul Jalil tertawa dan berkata menukas, �Menurut Tuan, apakah yang akan dilakukan para pemuda Bani Israil itu di negeri Eropa?�

�Saya tidak tahu, Tuan Syaikh,� kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. �Tetapi, kami mengira mereka akan memberikan laporan-laporan kepada para penguasa Usmani tentang kekuatan musuh.�

�Kalau menurut hemat kami, mereka tidak akan melakukan hal seperti itu.�

�Maksudnya?�

�Tuan tunggulah barang satu atau dua dasawarsa lagi,� kata Abdul Jalil dengan mata memandang kejauhan. �Tuan akan melihat hasil perjuangan mereka yang gilang-gemilang sesuai hukum alam tentang keragaman.�

�Kami belum paham maksud Tuan Syaikh?�

�Menurut dugaan kami, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang al-Kitab, mereka akan berhasil menciptakan keragaman gereja. Itu berarti, kebenaran agama bukan hanya ditentukan oleh gereja Roma, melainkan akan ditentukan oleh gereja di berbagai negeri di Eropa.�

�Maksud Tuan Syaikh, mereka akan membangun madzhab-madzhab Nasrani baru?�

�Malah mungkin bukan madzhab, melainkan agama baru yang ditandai kibaran panji-panji Bani Israil,� ujar Abdul Jalil tegas. �Dan itu sah saja, sebagai perlawanan hamba Tuhan terhadap kezaliman manusia-manusia yang mengaku-aku sebagai prajurit, ksatria, anak-anak, dan bahkan tuhan.�

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers