Rabu, 15 Maret 2017

MANDALA SITI JENAR

Mandala Siti Jenar

Dengan diikuti Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Malik Israil, Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung, Abdul Jalil menumpang perahu ke Wirashabha. Ketika sampai di penambangan Citrasabha, di dekat Terung, ia beserta rombongan turun dan singgah ke Pangawasen (pertapaan) Madhuratna yang dipimpin Wiku Citragati, sisya Ki Waruanggang saat masih menjadi guru suci di Surabhawana negeri Daha. Dalam pertemuan dengan Wiku Citragati, Abdul Jalil memberi tahu bahwa sang guru suci Wiku Suta Lokeswara telah memeluk Islam dan berganti nama menjadi Ki Waruanggang. Wiku Citragati yang sejak awal sudah menduga guru sucinya itu bakal mengikuti ajaran yang disampaikan Abdul Jalil, tidak terkejut dengan penjelasan itu. Sebaliknya, Abdul Jalil terkejut ketika diberi tahu oleh Wiku Citragati bahwa amuk yang dilakukan Raden Kusen itu sebenarnya terkait dengan perebutan takhta Majapahit.

Hampir setiap nayaka Kadipaten Terung menduga, aib yang ditimpakan kepada Paduka Yang Mulia Adipati Terung itu sengaja dilakukan untuk meruntuhkan kewibawaannya sebagai ratu Majapahit. Sebab, kenyataan menunjuk bahwa penduduk Terung, Japan, dan Wirasabha menyembahnya sebagai ratu penerus takhta Majapahit. Kata-kata sang adipati menjadi sabda dan perintahnya menjadi titah. Setiap tahun para kepala wisaya di tlatah Terung, Japan, dan Wirasabha datang ke Bale Citrasabha membawa upeti, pajak, dan bulubekti untuk dipersembahkan kepada sang ratu,� kata Wiku Citragati.

�Tapi, siapa kira-kira yang melakukannya? Apakah Ratu Stri Maskumambang atau Stri Surawiryawangsaja?�

�Itu yang masih belum jelas,� kata Wiku Citragati. �Tetapi, menurut kabar yang berkembang di kalangan prajurit, maling aguna yang telah masuk ke dalam kaputren itu disebut sebagai seorang pemuda tampan bernama Gendam Smaradahana asal Daha. Anehnya, semua telik sandhi dari Terung yang ditempatkan di Daha tidak satu pun menemukan hubungan antara Gendam Smaradahana dan Gusti Patih Mahodara. Itu sebabnya, Yang Mulia Adipati Terung sampai sekarang masih kebingungan karena hanya bisa menduga-duga siapa dalang di balik peristiwa itu.�

Abdul Jalil termangu-mangu mendengar penjelasan Wiku Citragati. Sejak awal sebenarnya ia sudah menangkap ketidaklaziman tatanan di Kadipaten Terung, terutama nama-nama bangunan yang mirip tatanan kraton. Bale Witana dan Bale Panca Rangkang yang luar biasa besar dan megah itu, menurut hematnya, bukan sesuatu yang lazim untuk ukuran sebuah kadipaten. Yang lebih tidak lazim lagi, semua bale tempat kerja sang adipati disebut dengan nama Kraton Katerungan. Puri kediaman pribadi sang adipati yang terletak di belakang kraton disebut dengan nama yang tidak lazim pula, Puri Kamerakan. Bahkan, keberadaan kraton dan puri itu dilingkari oleh baluwarti (dinding benteng dari tanah) yang dijaga oleh pasukan khusus jagasatru. Semua tatanan itu, sepengetahuan Abdul Jalil, jelas-jelas menunjuk pada kediaman seorang ratu. Sebab, belum pernah ada cerita bahwa seorang adipati memiliki kraton, puri, baluwarti, dan kesatuan jagasatru.

Tetapi, semua keagungan dan kebesaran Kadipaten Terung yang mirip kraton itu dalam sekejap telah terhapus dari permukaan bumi akibat amuk sang adipati. Seluruh bangunan kraton dan puri rata dengan tanah. Menurut Wiku Citragati, dalam satu hari saja, atas titah sang adipati, seluruh bangunan di Kraton Katerungan, Puri Kamerakan, Bale Citrasabha, Jagasatru, Karang Puri, Pager Humbug, arena pacuan kuda Jimbaran, Bhuwana Kalang, Sagadgada, dan bangunan lain binasa. Hanya tiga bangunan yang tersisa di Kadipaten Terung, yaitu tajug agung, Pangawasen Madhuratna, dan Candinegara.

�Jika tempat-tempat ibadah tidak dirusak, berarti ia tidak melakukan amuk. Sebab, ia masih sadar mana bangunan yang boleh dirusak dan mana yang tidak boleh dirusak,� kata Abdul Jalil menyimpulkan.

�Kami juga menduga begitu,� Wiku Citragati membenarkan. �Setelah menghancurkan kadipaten, Yang Mulia Adipati Terung malah memindahkan kratonnya ke Wirasabha. Bukankah tindakan itu sama maknanya dengan membelah secara tegas Daha dan Japan? Bukankah itu sama artinya dengan menantang dua kekuatan?�

�Ia mendirikan kraton di Wirasabha? Bukankah menurut kabar ia pindah ke Bubat?� tanya Abdul Jalil ingin tahu.

�Kami tidak tahu kabar mana yang paling benar. Sepengetahuan kami, kratonnya yang baru memang di Wirasabha. Sementara di Bubat adalah tempat pasukan bedil besar dan gurnita,� tegas Wiku Citragati.

�Jangan-jangan semua itu siasat?�

�Siasat yang bagaimana?� gumam Wiku Citragati.

�Bukankah dengan menyatakan pindah dari Terung ke Bubat, ia telah menantang perang terbuka kepada siapa saja sebagaimana para ksatria Majapahit bertarung di sana? Sementara dengan kenyataan yang menunjuk ia tinggal di Wirasabha adalah penegasan bahwa ia merupakan panglima perang tak terkalahkan tempat para ksatria berdatang sembah untuk mengabdi?� kata Abdul Jalil.

�Ia memang pantas menjadi ratu dan sekaligus senapati di Wirasabha. Sebab, setahu kami, hampir seluruh petani yang menggarap tanahnya telah dilatih olah keprajuritan dan mereka itu selalu siap dikirim ke medan tempur untuk membantu prajurit Terung,� kata Wiku Citragati.

�Itu berarti, kabar yang menyatakan bahwa di antara semua penguasa di Nusa Jawa ini, hanya adipati Terung yang memiliki pasukan paling besar dan paling lengkap persenjataannya adalah benar,� Abdul Jalil menyimpulkan.

�Kami kira itu memang tak terbantah.�

Setelah merasa cukup beroleh penjelasan dari Wiku Citragati, Abdul Jalil dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Wirasabha. Sewaktu melewati bekas Kadipaten Terung, dari arah sungai ia melihat reruntuhan bangunan teronggok merana bagaikan sebuah daerah bekas terkena gempa. Tikungan Sungai Brantas yang terhubung dengan Bengawan Terung tempat kapal-kapal harus berbelok dan membayar cukai, sudah dibendung dengan gundukan bukit tanah. Kayu-kayu besar bekas tiang saka Puri Kamerakan terlihat berserakan dan sebagian mencuat di antara gundukan tanah seolah-olah deretan tangan menunjuk ke langit. Suasana sangat lengang seolah-olah di sekitar tempat itu tidak pernah ada kehidupan.

Kebinasaan yang terjadi atas Kadipaten Terung ternyata sangat mempengaruhi lalu lintas perniagaan di sepanjang Sungai Brantas. Penambangan-penambangan yang terdapat di sepanjang sungai seperti Jruklegi, Wringinsapta, Bogem, Singkal, dan Canggu menjadi sepi. Satu dua perahu terlihat melintas dengan membawa barang dagangan kebutuhan dapur seperti gula, garam, gerabah, dan peralatan. Padahal, barang satu setengah tahun silam, saat melintasi kawasan itu Abdul Jalil melihatnya sebagai pusat perdagangan yang paling ramai di pedalaman, meski saat itu sedang terjadi perang antara Terung dan Daha.

Di dermaga Canggu, Abdul Jalil dan rombongan turun. Mereka berjalan ke selatan, namun tidak melewati Kraton Japan. Setelah melintasi kawasan Citrawulan (Trowulan), Ksetralaya (Tralaya), hutan Kumeter (yang menggetarkan), reruntuhan kuil Dyanayana (kuil pemujaan Wisynu), dan rimba raya Bahuwarna, mereka mengikuti jalan setapak ke Wanasalam dan kemudian melintasi bukit-bukit terjal serta tebing-tebing curam yang tak pernah dilewati manusia. Mereka menuju Pusung Semar untuk menempatkan tu-mbal, yang diharapkan dapat membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra di sekitar pusat kekuasaan Majapahit. Pusung Semar sendiri diyakini sebagai tempat bersejarah, saat Dang Hyang Semar memperolok-olok dan mengalahkan Bhattari Durga, penguasa Ksetra Gandamayu, sebagaimana tersirat pada kidung Sudamala yang dibaca pada tiap-tiap upacara lukatan (ruwatan).

Majahapit. Kraton yang dibangun Raden Kusen di pedalaman itu menyimpan banyak perlambang. Kata �maja� dapat dimaknai �wilwa� yang menunjuk pada Wilwatikta, yaitu Majapahit. Sedangkan kata �hapit�, selain menunjuk perubahan bunyi dari pahit ke hapit, juga dimaknai �yang berada di antara dua kekuatan�, yang lazimnya merujuk pada istilah hapit lemah dan hapit kayu, yakni sebutan untuk bulan dari kalender Saka: Jyestha. Jika nama Kraton Majahapit dialihbahasakan ke Sansekerta akan menjadi Wihwajyestha yang mengandung sejumlah makna: keturunan yang paling utama, bintang di antara para putera utama, yang menggenggam dua kekuasaan, dan penerus takhta Wilwatikta kesebelas. Makna yang terakhir, penerus takhta Wilwatikta kesebelas, tampaknya bukan main-main karena menurut urut-urutan maharaja Majapahit dari trah Warddhanawangsa, Raden Kusen memang menduduki urutan kesebelas sesudah Prabu Stri Tribhuwanatunggadewi, Rajasanegara, Wikramawardhana, Suhita, Kertawijaya, Rajasawarddhana, Hyang Purwawisesa, Adi-Suraprabhawa Singhawikramawarddhana, Krtabhumi, dan Girindrawarddhana. Dengan begitu, Kraton Majahapit adalah pernyataan dan sekaligus pengingkaran Raden Kusen terhadap kekuasaan Sri Surawiryawangsaja maupun Stri Maskumambang sebagai pelanjut takhta Wilwatikta kesebelas.

Tidak berbeda dengan susunan kraton-kraton sebelumnya, Kraton Majahapit selain berpusat pada bangsal kraton juga dilengkapi puri kediaman pribadi sang ratu yang terletak di belakang kraton. Puri itu disebut dengan nama Bale Kepuh dan Bale Kambang. Bale Kepuh (Jawa Kuno: Kepuh: pohon randu hutan) menunjuk lambang Syiwa yang disebut Sang Randuwana (Jawa Kuno: yang bertaring sebesar buah randu hutan), sedangkan Bale Kambang adalah taman dengan kolam besar lengkap dengan pulau dan pesanggrahan di bagian tengahnya. Di Puri Bale Kambang itulah sang adipati tinggal bersama selir-selirnya. Sementara permaisuri dan putera-puterinya ditempatkan di Puri Surabayan yang terletak di Surabaya.

Di depan Kraton Majahapit, tepatnya di seberang alun-alun, terletak Kepatihan, tempat kerja sekaligus kediaman patih. Yang diangkat menjadi patih adalah Arya Timbul, putera Arya Menak Sunaya, adipati Pamadegan, Madura. Arya Menak Sunaya adalah putera Ario Damar dengan Dewi Wahita, janda dari Bhre Daha, asal Pamadegan. Jadi sang patih adalah kemenakan Raden Kusen. Di sebelah selatan Kepatihan terletak Kepanjen, tempat para panji (pejabat kraton bawahan sang pameget) yang menjalankan tugas sebagai nayaka di bidang peradilan. Di sebelah utara alun-alun terletak mandala Dapur Kajambon, yaitu madhyadesa, lambang Jambhudwipa (satu dari tujuh benua yang mengitari Gunung Meru) yang dijaga oleh para dapur (penduduk desa dari kasta rendah). Sementara tepat di tengah-tengah alun-alun berdiri Bale Bang yang di dalamnya tersimpan payung khutlima berwarna merah yang disebut Jongbang (Jawa Kuno: payung merah).

Abdul Jalil dan rombongan yang memahami makna-makna di balik lambang-lambang Kraton Majahapit itu hanya menggeleng-geleng kepala. Sebab, dari lambang-lambang yang terpampang di sekitar kraton tersebut, mereka menangkap tengara betapa Raden Kusen sudah benar-benar nekad untuk menggelar perang terbuka terhadap siapa saja. Dengan payung khutlima warna merah, lambang kekuasaan ratu Majapahit trah Warddhanawangsa itu, Raden Kusen seolah-olah menantang siapa saja yang berkepentingan merebut takhta Majapahit. Raden Kusen seolah-olah menyatakan tidak mengakui kekuasaan Sri Surawiryawangsaja di Daha maupun Ratu Stri Maskumambang di Japan. Anehnya, meski lambang-lambang yang ditampilkan menunjukkan citra kekuasaan seorang ratu, Raden Kusen justru menolak disebut ratu apalagi maharaja. Dia tetap ingin disebut dengan gelar adipati, sesuai wasiat yang ditinggalkan gurunya, Raden Ali Rahmatullah, susuhunan yang disemayamkan di Ampel Denta. Boleh jadi karena sikapnya yang mendua itu, penguasa Japan dan Daha tidak menanggapi sikap berlebihan dari Raden Kusen yang dianggap semata-mata ingin melampiaskan kegemarannya berperang.

Selama tinggal di Kraton Majahapit dalam rangka membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra, Abdul Jalil mendapati medan tempur yang jauh lebih berat dibanding tempat-tempat yang pernah ia singgahi. Sebab, daerah Wirasabha merupakan daerah yang dijadikan lintasan dari sejumlah pusat kekuasaan sejak zaman purwakala. Lantaran itu, jumlah ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi di kawasan itu jauh lebih banyak dibanding tempat lain. Di sekitar Wanasalam saja terdapat tiga ksetra, yaitu Wanasalam, Pulasari, dan Lung. Di sebelah timur Kraton Majahapit terdapat pemujaan Dewi Bhumi yang disebut Palemahan. Di barat laut kraton terdapat bekas pemujaan Rahu di Temu Wulan (gerhana) dan Kala Sumanding (gerhana). Sementara di sebelah selatan kraton purwa Watu Galuh yang didirikan Pu Sindok, tersebar pemujaan Syiwa di Kali Wungu (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang Nilakantha), di Diwaka (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang Diwakara), di Gajah (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang Ganapati), di Gudha (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang Niskala Mahamaya), dan sebagainya.

Sadar bahwa di pedalaman seperti Wirasabha dan Daha masih cukup banyak orang yang memahami tatanan lama, sebagaimana Raden Kusen yang dengan mudah menerka jalan pikirannya yang ingin mewujudkan Caturbhasa mandala, maka Abdul Jalil memutuskan untuk tidak menggunakan nama-nama yang mencolok dari mandala yang bakal dibukanya di Wirasabha. Ia tidak ingin menimbulkan konflik dengan munculnya dukuh-dukuh baru berciri mandala yang empat (caturbhasa). Lantaran itu, ia memutuskan untuk tidak membuka dukuh dan sebaliknya hanya menanam tu-mbal untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra.

Beratnya medan di Wirasabha akhirnya menghadapkan Abdul Jalil pada keputusan untuk membuka sekaligus empat mandala (caturbhasa mandala) di situ. Demikianlah, ia mula-mula menanam tu-mbal mandala kuning di belakang kraton Majahapit. Ia menandai tu-mbal itu dengan menanam pohon kemuning, lalu meminta Liu Sung untuk menunggui tempat itu selama empat puluh hari.

Liu Sung yang mendapat tugas menjaga tu-mbal di bawah pohon kemuning itu heran dan bertanya, �Kenapa tempat itu tidak dinamai Dukuh Lemah Jenar, o Tuan Syaikh?�

�Bukankah sudah ada pohon kemuning dan Kraton Majahapit?� sahut Abdul Jalil singkat.

�Kami belum paham, Tuan Syaikh.�

�Syarat tu-mbal tidak harus dikaitkan dengan tanah, terutama yang berkaitan dengan lambang air dari nafs as-Sufliyyah. Pohon kemuning yang bermakna kuning atau jenar dapat juga dijadikan lambang.�

�Bagaimana dengan Majahapit? Apa kaitan Majahapit dengan mandala kuning?�

�Tahukah engkau makna kata Apit atau Apita dalam bahasa Sansekerta?�

�Tidak, Tuan Syaikh.�

�Artinya, warna kuning.�

�Kuning? Kenapa Yang Mulia Raden Kusen memilih nama Majahapit untuk kratonnya? Bukankah di depat kraton, di Bale Bang, ia menempatkan payung khutlima warna merah (jongbang)?� tanya Liu Sung belum paham.

�Warna merah yang tercermin dari payung khutlima adalah lambang khusus kekuasaan Warddhanawangsa, sedangkan warna putih payung khutlima adalah lambang kekuasaan Rajasawangsa. Jadi, dengan payung khutlima warna merah itu ia ingin menunjukkan diri kepada semua orang bahwa ia adalah trah Warddhanawangsa. Sementara nama kratonnya, Majahapit yang dihubungkan dengan warna kuning, menunjukkan keberadaannya sebagai keturunan puteri kuning bernama Ratna Subanci. Karena alasan itu, o Liu Sung, aku menunjukmu untuk menjalankan tugas itu di situ,� kata Abdul Jalil tertawa.

Liu Sung mengangguk-angguk memahami penjelasan Abdul Jalil. Tetapi, sejenak setelah itu bertanya lagi, �Jika demikian, Tuan Syaikh tidak perlu susah-susah membuka Dukuh Lemah Abang di tempat lain. Sebab, sarana tu-mbal itu bisa dipasang di Bale Bang tempat payung khutlima jongbang itu diletakkan.�

�Itu memang benar. Dan aku akan menunjuk Raden Sulaiman untuk menjaganya.�

�Bagaimana dengan mandala putih? Apakah juga tidak perlu membuka Dukuh Lemah Putih?�

�Ya,� jawab Abdul Jalil singkat. �Sahabat kita Syaikh Jumad al-Kubra sekarang sedang menulis wafak di atas lempengan perak untuk ditanam di suatu tempat. Dan, sesuai tu-mbal, maka tempat itu akan dinamai Dukuh Salaka atau Perak.�

�Untuk mandala hitam?�

�Aku sudah memilih tempat di Watu Galuh, yaitu di tempat yang terdapat batu hitam yang disebut Watu Gilang, tempat Pu Sindok dulu dinobatkan sebagai raja. Di situlah sarana tu-mbal yang kubuat akan kutanam sebagai lambang mandala hitam. Dan sahabat kita Raden Sahid sekarang ini sedang menulis wafak pada karas tanah untuk ditanam di sana,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

Raden Sahid duduk termangu di sisi Abdul Jalil yang terbujur lemah di atas lembar-lembar daun jati. Malam itu, di tengah rintik gerimis yang membasahi bumi, dia menunggui Abdul Jalil yang sakit di dalam naungan gubuk kecil beratap alang-alang. Suasana sekitar yang gelap gulita diselimuti kabut terasa hening. Sepi. Lengang. Angin tak sedikitpun berembus. Hanya tetes-tetes air hujan yang jatuh dari atap gubuk ke bebatuan didengar Raden Sahid seperti suara gamelan yang ditabuh makhluk penghuni kegelapan. Di tengah kesendirian itu dia mencoba merangkai kembali gambaran-gambaran peristiwa yang dialaminya selama mengikuti Syaikh Lemah Abang melakukan perjalanan di pedalaman Nusa Jawa.

Setelah usai memasang tu-mbal di Wirasabha, dia mengikuti Syaikh Lemah Abang ke wilayah Daha. Raden Sulaiman dan Liu Sung tidak ikut sebab mereka berdua dinikahkan oleh Raden Kusen dengan dua puteri patih Wirasabha, Arya Timbul. Mereka berdua diminta tinggal di Wirasabha. Sementara itu, setelah Syaikh Lemah Abang dan rombongan sampai di tlatah Daha, mereka menghadap Patih Mahodara, yang kelihatan senang sekali bertemu dengan Syaikh Lemah Abang. Mereka berbincang-bincang dan bertukar pikiran sampai jauh malam.

Tidak berbeda dengan di Wirasabha, Syaikh Lemah Abang menempatkan tu-mbal di tempat-tempat yang tidak jauh dengan ksetra atau tempat pemujaan Sang Bhumi. Mula-mula, menanam tu-mbal di bekas Kraton Keling sebagai perlambang penyucian nafs al-Lawwammah Bhumi. Ini perlambang mandala Lemah Ireng. Setelah itu, menanam tu-mbal di tempat yang terletak di tepi Sungai Brantas. Tempat itu dinamai Putih sebagai perlambang nafs al-Muthma�inah Bhumi. Itu perlambang mandala Lemah Putih. Yang ketiga, menanam tu-mbal di bekas Ksetra Abobang (Jawa Kuno: kebusukan darah; Putikeswara merah) di kaki Gunung Hijo (Wilis). Yang terakhir, atas perkenan Patih Mahodara, Syaikh Lemah Abang membuka dukuh di kutaraja, tepatnya di tepi timur Sungai Brantas. Dukuh itu dinamai Kajenar (Kamuning).

Setelah empat puluh hari tinggal di Daha, menunggu Syaikh Lemah Abang menanam tu-mbal dan membuka mandala-mandala di sekitar Gunung Kamput (Kelud) dan Gunung Kawi, mereka melanjutkan perjalanan. Yang ditunjuk menjadi kepala Dukuh Kajenar di Daha adalah Kyayi Pocanan, bekas Poco (tokoh agama Syiwa-Budha), yang bersama-sama dengan empat puluh orang siswanya mengambil madiksha kepada Syaikh Lemah Abang. Sepanjang perjalanan menembus pedalaman Nusa Jawa itu, Raden Sahid berkali-kali mendapati Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil terheran-heran dengan kebiasaan hidup penduduk di pedalaman. Mereka heran dengan penduduk yang umumnya hanya mengenakan cawat dan para perempuan belum mengenal penutup dada. Mereka hanya menggeleng-geleng kepala ketika mengetahui kebiasaan penduduk yang jarang mandi dan suka sekali memakan makanan najis, seperti botok cindil (pepes anak tikus), botok ulat, trancam cacing, dendeng kucing, ular bakar, pindang anjing, lawar-lawaran (daging mentah), bahkan lalawar (darah mentah dengan parutan kelapa). Bahkan, mereka hanya bisa mendecakkan mulut ketika mendapati penduduk yang mengaku beragama Budo (Syiwa-Budha) itu ternyata para penyembah ruh-ruh penunggu hutan, mata air, air terjun, pohon besar, batu, kabuyutan, punden karaman, arwah leluhur, dan nyaris tak mengenal dewa-dewa Hindu.

Setelah berkeliling ke berbagai tempat untuk memasang tu-mbal atau membuka dukuh-dukuh, pada awal bulan kedua puluh tiga dari perjalanan tersebut sampailah mereka di kaki utara Gunung Mahendra (Lawu) yang membentang hingga aliran Bengawan Sori (Sungai Wisynu, sekarang Bengawan Solo). Saat itu hari sudah senja dan hujan turun dengan deras disertai embusan angin yang cukup keras. Masih segar dalam ingatan Raden Sahid bagaimana ia berlindung di balik pohon-pohon jati untuk menghindar dari serangan air hujan. Titik-titik hujan yang diembus angin itu dia rasakan bagaikan ribuan serangga menyengati wajahnya. Di tengah guyuran hujan yang makin lebat itu dia sempat menyaksikan suatu kenyataan yang mengherankan: di tengah amukan hujan dan angin dia melihat betapa surban, wajah, dan pakaian yang dikenakan Syaikh Lemah Abang tidak sedikit pun basah. Semuanya kering seolah-olah sang syaikh sedang tidak berada di tengah hujan. Tetapi, saat dia menanyakan keanehan tersebut, dalam sekejap semuanya mendadak berubah. Surban, wajah, dan pakaian yang dikenakan Syaikh Lemah Abang tiba-tiba basah kuyup dan tubuhnya terlihat menggigil kedinginan.

Sadar apa yang baru saja dilakukannya adalah sebuah kesalahan, Raden Sahid diam dan merasa menyesal dalam hati. Dia sadar segala sesuatu keanehan yang menyangkut keramat (karamah) seorang kekasih Allah merupakan rahasia kekuasaan Ilahi yang tidak boleh diukur dengan akal pikiran. Dia berjanji tidak akan pernah lagi bertanya tentang ini dan itu yang terkait dengan keanehan-keanehan yang dia saksikan pada diri Syaikh Lemah Abang maupun kedua orang sahabatnya.

Setelah hujan mereda dan mereka beristirahat di pinggir Bengawan Sori, dengan beratap langit dan pakaian basah, Raden Sahid melihat Syaikh Lemah Abang berdiri tegak dengan wajah menghadap ke selatan. Beberapa kali dia melihat mata sang syaikh dikecilkan seolah ingin menembus kegelapan yang menyembunyikan lengkungan-lengkungan garis bukit yang menghitam di kaki Gunung Mahendra yang tegak laksana raksasa duduk. Setelah cukup lama berdiri, dia melihat Syaikh Lemah Abang membalikkan badan ke arah utara sambil berkata-kata seolah ditujukan kepada dirinya sendiri, �Di sinilah mandala yang empat (caturbhasa mandala) itu akan ditegakkan sebagai garis pembatas bagi kekuatan-kekuatan adiduniawi yang berkuasa di timur dan barat Nusa Jawa. Di sinilah mandala Siti Jenar (Sansekerta: Ksiti: tanah) akan ditegakkan. Di sinilah keakuan anak manusia bernama Abdul Jalil akan dianugerahi nama Abiseka Ksitiputra (Putera Sang Bhumi) dan akan dijadikan korban untuk santapan Mahasitisuta (Sansekerta: Putera Teragung Sang Bhumi), Sang Narakasura.�

Syaikh Jumad al-Kubra yang duduk di samping Raden Sahid terlihat gelisah mendengar kata-kata sahabatnya itu. Berkali-kali dia menarik napas panjang. Setelah suasana terasa hening, tiba-tiba dia berdiri mendekati Syaikh Lemah Abang. Kemudian dengan wajah diliputi kepedihan dia berkata penuh perasaan.

�Aku tidak paham dengan apa yang baru saja engkau ucapkan, o Saudaraku. Tetapi, dengan tindakan yang telah engkau lakukan selama ini: melukai tubuh dan menumpahkan darah di setiap mandala Lemah Abang, adalah sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas di dalam pikiranku. Bahkan, ikatan perjanjian dengan Sang Bhumi yang sudah engkau lakukan di mandala-mandala kuning, bahwa engkau dan seluruh keturunanmu tidak akan menikmati kemakmuran bumi dan akan mengingkari kemasyhuran, adalah hal yang sulit dipahami. Bagaimana mungkin ada seorang manusia rela berkorban untuk kepentingan orang lain dengan memangkas seluruh pamrih pribadi hingga ke seluruh garis keturunannya? Padahal, yang banyak aku jumpai adalah manusia-manusia yang rela berkorban demi kejayaan keturunannya mendatang. Ini sungguh aneh dan tak terpahami, o Saudaraku.�

�Kini, di tengah keletihan tubuh yang melemahkan jiwa kita, setelah berkali-kali engkau menumpahkan darahmu di mandala-mandala Lemah Abang, tiba-tiba saja engkau mengatakan akan mempersembahkan keakuanmu untuk dijadikan santapan Mahasitisuta, Sang Narakasura. Aku tidak paham maksudmu, o Saudaraku terkasih. Apakah maksud ucapanmu itu? Siapakah yang engkau maksud dengan Mahasitisuta, Sang Narakasura itu?�

�Mahasitisuta, Sang Narakasura, adalah nama neraka,� sahut Syaikh Lemah Abang dingin.

�Nama neraka? Kami belum paham maksudmu, o Saudaraku.�

�Di dalam perikatan janjiku dengan Sang Bhumi, dalam kaitan dengan penyucian nafs al-Ammarah Bhumi, anasir api, yang haus darah dan madhu, keakuanku memang akan dibenamkan di bawah permukaan bumi sebagai Ksitisuta (putera bumi). Tetapi untuk penyucian nafs al-Lawwammah, Sufliyyah, dan Muthma�innah Bhumi, anasir tanah, air, dan angin, maka keakukanku akan dibenamkan terus hingga mencapai ke dasar neraka tempat persemayaman Sang Narakasura, yakni Sang Bhoma, putera Prthiwi. Keakuanku akan luluh dan tak berbentuk. Dengan begitu, siapa pun nanti tidak akan mengenal lagi keberadaanku. Itu berarti, jika tiba saatnya nanti, setiap orang wajib menghujatku sebagai manusia paling bejat, busuk, tengik, sesat, menyesatkan, dan tidak pantas menghuni tempat mana pun di jagat raya ini kecuali di neraka paling bawah,� kata Abdul Jalil tegas.

�Kenapa engkau menerima ikatan perjanjian itu?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra heran. �Bukankah engkau dianugerahi karamah yang memancar dari al-Karim? Bukankah engkau bisa menggunakan karamah yang tercurah pada dirimu itu untuk menekuk kekuatan Sang Bhumi? Kenapa engkau memilih jalan penistaan seperti ini?�

�Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, o Saudaraku terkasih. Aku juga tidak tahu kenapa aku memilih cara yang rumit dan berbelit-belit ini. Tapi, satu hal yang bisa kujelaskan kepadamu, bahwa zaman di mana kita hidup adalah zaman terjadinya perubahan besar-besaran dalam tatanan kehidupan di bumi. Suatu zaman di mana Sang Bhumi tidak lagi dihormati dan dimuliakan sebagai anasir pembentuk jasad manusia. Sang Bhumi tidak lagi dianggap sebagai sebagai Ibunda Suci. Sang Bhumi akan dianggap sebagai gudan perbendaharaan yang bisa diserbu, dikuasai, dirampok, dijarah, dan diperkosa untuk melampiaskan nafsu hewani manusia yang rendah.�

Sebagaimana hukum kauniyah yang berlangsung tetap atas tiap-tiap Sunnah Allah, Sang Bhumi akan meronta dan melawan terhadap siapa saja yang akan membinasakan dirinya. Itu berarti, hukum kauniyah yang menetapkan keseimbangan timbal balik atas sesuatu, memberi hak bagi Sang Bhumi untuk meminta imbalan kepada mereka yang menyerbu, merampok, menjarah, dan memperkosanya. Jika ada di antara manusia yang sudah paham dengan rahasia di balik hukum kauniyah itu kemudian dengan suatu kekuatan adikodrati akan melelikung kekuatan Sang Bhumi untuk membela diri, maka manusia itu telah berbuat zalim, meski ia seorang kekasih Allah.�

�Dalam beberapa kali perjumpaan ruhaniku dengan Sang Bhumi, aku melihatnya dalam keadaan sangat marah dan seolah-olah ingin menumpahkan amarahnya kepada manusia-manusia yang dianggapnya tidak tahu membalas budi. Aku menangkap sasmita, jika Sang Bhumi meledakkan amarahnya maka ia akan melakukannya secara berlebihan sehingga akan menimbulkan korban sangat besar yang akan mengenai pula manusia-manusia tak bersalah. Karena itu, o Saudaraku terkasih, apa yang aku lakukan dengan cara berliku-liku dan berbelit-belit ini tidak lain dan tidak bukan adalah suatu upaya anak manusia, putera Sang Bhumi, yang ingin menunjukkan bukti kepada Ibunda Bhumi, bahwa di antara segala makhluk ciptaan Allah pada dasarnya tidak ada yang melebihi kemuliaan manusia yang ditunjuk Allah sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Aku ingin menunjukkan kepada Sang Bhumi bahwa sebesar apa pun pengorbanan yang telah diberikannya dalam berkhidmat kepada makhluk yang lahir darinya, terutama terhadap putera-puteranya, manusia, tidakklah bisa melebihi pengorbanan putera-puteranya yang sudah sadar akan keberadaan diri sebagai khalifah Allah,� kata Abdul Jalil.

�Apakah tindakanmu itu bisa meredakan amarah Sang Bhumi?�

�Ya, aku yakin,� sahut Syaikh Lemah Abang tegas. �Allah telah menetapkan sebab-sebab untuk menjaga keseimbangan hukum kauniyah yang ditetapkan-Nya. Apa yang aku lakukan sesungguhnya hanya sebagian kecil sekali dari unsur-unsur yang menjadi penyebab terciptanya keseimbangan itu, termasuk meredanya amarah Sang Bhumi yang bisa menimbulkan keguncangan.�

�Sungguh, hanya seorang malamit sejati yang bisa melakukan tindakan sepertimu, o Saudaraku. Karena itu, sungguh tidak salah ketika guru suci kami Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi menganugerahi engkau dengan taj. Sungguh, aku akan bersaksi bahwa engkau seorang malamit sejati. Aku akan selalu berdoa kepada Allah supaya aku tidak diberi umur panjang sehingga aku tidak akan menyaksikan saudaraku terkasih didera hujatan dan caci maki manusia. Sungguh, aku tidak mampu menyaksikan peristiwa itu,� kata Syaikh Jumad al-Kubra dengan mata berkaca-kaca.

Saat itu Raden Sahid melihat Syaikh Lemah Abang diam seolah-olah tidak mendengar ucapan Syaikh Jumad al-Kubra. Tetapi, sejenak setelah itu, dengan tatapan mata diarahkan ke gugusan bukit di lereng Gunung Mahendra yang membentang di selatan, dia melihat Syaikh Lemah Abang berkata, �Mandala Siti Jenar yang akan kita tegakkan ini belumlah akhir dari perjalanan. Bhumi Mataram (Sansekerta: Ibu Prthiwi) dan Kabhumian (Jawa Kuno: wilayah khusus Sang Bhumi) masih menunggu kita di sebelah barat. Artinya, kita masih harus mengucurkan darah kita dengan ikhlas dan tanpa pamrih supaya Ibunda kita itu malu.�

Syaikh Jumad al-Kubra tidak berkata-kata. Dia diam dan tidak tidur hingga pagi. Seiring terbitnya sang bagaskara di ufuk timur, Raden Sahid menyaksikan Syaikh Lemah Abang memulai pekerjaan membuka Dukuh Lemah Abang di antara kaki Gunung Mahendra dan Bengawan Sori. Tampaknya pekerjaan memasang tu-mbal di bakal Dukuh Lemah Abang kali ini sangat berat dibanding sebelumnya. Hal itu mulai terlihat gelagatnya ketika usai �mengucurkan darah� di atas sebongkah batu hitam, sebagaimana diisyaratkan Sang Bhumi, Raden Sahid melihat Syaikh Lemah Abang berjalan gontai tak tentu arah sambil menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Dia menduga saat itu sang syaikh sedang membaca doa-doa.

Ketika cahaya matahari sudah condong ke barat dan langit dipadati gumpalan awan hitam yang diselingi sambaran petir di angkasa, Raden Sahid mulai gelisah karena tidak melihat Syaikh Lemah Abang. Dengann hati diliputi kecemasan dia buru-buru menemui Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil yang sedang memasang tu-mbal di tepi Bengawan Sori, yaitu di tempat yang dinamai Siti Cemeng (Jawa Kuno: tanah hitam), yang diapit dua ksetra tempat pemujaan Dewi Prthiwi, Ksetra Bhumiaji dan Ksetra Malale. Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil terkejut mendengar laporan Raden Sahid. Mereka kemudian bergegas mencari Syaikh Lemah Abang ke mana-mana, namun tak juga ketemu. Menjelang tengah malam mereka baru menemukan tubuh Syaikh Lemah Abang tersungkur tak berdaya di pinggir sungai kecil tak jauh dari bakal Dukuh Lemah Abang. Tubuhnya menggigil panas dan bekas luka di tangannya terlihat merah membengkak.

Raden Sahid menarik napas panjang dan menyeka peluh yang membasahi kening Syaikh Lemah Abang. Ingatannya tentang peristiwa sakitnya Syaikh Lemah Abang dirasakannya sebagai bagian dari rasa bersalahnya terhadap sang syaikh. Andaikata malam itu dia tidak bertanya tentang pakaiannya yang tidak basah tertimpa hujan, tentunya sang syaikh tidak akan jatuh sakit. Bayangan Syaikh Lemah Abang yang menggigil kedinginan malam itu terus dirasakannya laksana hantu yang memburu ketenangannya. Bahkan, saat dia meyakini daun-daun dan akar-akar obat yang diborehkannya ke lengan Syaikh Lemah Abang itu mujarab untuk menyembuhkan luka, hatinya tetap diliputi kekhawatiran.

Perjalanan selama dua puluh tiga bulan di pedalaman Nusa Jawa memang telah menumbuhkan ikatan kuat di hati Raden Sahid terhadap Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jumad al-Kubra, dan Abdul Malik Israil. Dia merasakan ketiga orang itu, terutama Syaikh Lemah Abang, seolah-olah bagian dari hidupnya. Dia seperti sadar bahwa ketiga orang itulah yang diam-diam telah mengukir jiwanya dan menyingkapkan kesadarannya atas hakikat hidup manusia. Itu sebabnya, dia sangat khawatir dan bahkan takut jika salah satu di antara mereka akan meninggalkannya. Dan salah satu hal yang paling dikhawatirkannya saat ini adalah rencana Syaikh Lemah Abang untuk membuka Dukuh Siti Jenar baru di seberang Bengawan Sori. Dia khawatir jika salah satu syarat untuk membuka dukuh itu sama dengan syarat membuka Dukuh Lemah Abang, yaitu mengucurkan darah di atas batu hitam. Bukankah syarat itu jika dipenuhi akan mengancam keselamatan sang syaikh yang sedang sakit dan lukanya belum sembuh?

Ketika hari tergelap jatuh pada Anggara Kliwon, di suatu tempat angker bernama Ksetra Gandamayu yang terletak di pantai Laut Selatan di muara Sungai Opak, di tengah kepulan asap dupa dan wangi bunga, dalam selimut kabut tebal, tubuh Abdul Jalil yang dibungkus kain putih terlihat terbujur di atas altar persembahan dengan alas daun kemuning. Di sekitar tubuhnya terlihat beberapa jenis korban (bebanten) berupa ayam brumbun, ayam wiring, ayam putih, itik bulu sikep, angsa, kambing, gudel merah, kerbau, tuak, tumpeng, beras, dan bunga-bunga. Malam itu Ki Belawwalu, pemimpin Ksetra Gandamayu, mengadakan upacara bhuta yadna dengan menjadikan tubuh Abdul Jalil sebagai korban suguhan bagi para bhutakala. Di dalam upacara bhuta yadna itu, Abdul Jalil selain dijadikan sebagai pengganti anjing Bang Bungkem untuk santapan bhutakala di bawah Rudra, ia juga dijadikan babi kucit hitam untuk santapan bhutakala di bawah Bhattari Durga yang berkuasa di sebelah selatan yang disebut Susuhunan Ratu Kidul.

Selama menjalankan upacara bhuta yadna yang disebut juga caru palemahan atau bhumi-suddha itu, Ki Belawwalu didampingi kawan setianya, Ki Gagangaking, seorang bujangga Waishnawa. Dengan penuh khidmat kedua orang itu melakukan upacara yang mereka anggap dapat menyelamatkan kehidupan umat manusia dari gangguan para bhutakala. Sementara Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid dengan wajah diliputi ketegangan duduk bersila di belakang Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking. Mereka tidak tahu apa yang bakal dialami oleh Abdul Jalil yang meminta dirinya dijadikan bebanten bagi bhutakala.

Raden Sahid yang duduk paling belakang, di tengah selimut kegelapan mengamati tubuh Abdul Jalil dari balik bahu Syaikh Jumad al-Kubra. Dia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya, kecuali tubuh Abdul Jalil yang remang-remang tergeletak di atas altar. Dia merasa seperti berada di alam mimpi. Benaknya penuh diliputi kelebatan tanda tanya. Hatinya tercekam kegelisahan. Jantungnya berdegup keras. Tenggorokannya terasa kering. Apakah sesungguhnya yang akan terjadi dengan Syaikh Lemah Abang yang menyerahkan diri sebagai bebanten, katanya dalam hati.

Ketika malam makin menyusup di bawah selimut kabut tebal, Raden Sahid merasakan betapa suasana makin lama makin mencekam. Dalam hening yang mencekam dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dan dia merasakan jantungnya nyaris berhenti ketika telinganya mendengar suara lengkingan dahsyat membelah keheningan diikuti suara gemuruh sahut-menyahut, diiringi munculnya seberkas cahaya merah yang membalut api kuning dari tengah lautan. Sambil menggosok-gosok mata, dia membaca doa-doa dengan hati diliputi ketegangan.

Cahaya merah yang membalut api kuning itu terlihat makin mendekat ke arah altar. Ketika jaraknya bertambah dekat, terlihatlah ternyata cahaya merah itu dilingkari kabut hitam bergumpal-gumpal. Suasana makin mencekam ketika dari arah utara terdengar suara gemuruh yang diikuti munculnya cahaya kuning membalut api merah. Raden Sahid paham, munculnya cahaya dari arah selatan dan utara itu merupakan pertanda kemunculan makhluk-makhluk halus sebagaimana dijelaskan Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking beberapa waktu lalu. Dia paham bahwa cahaya yang membalut api itu adalah tengara dari kemunculan makhluk-makhluk yang disebut pisaca-pisaci, rakshasa-rakshasi, kalika-kaliki, yaksa-yaksi, bragala-bragali, kamala-kamali, bhutakala-bhutakali, magunda-magundi, tonyo, dan pemuka-pemukanya seperti Bhuta Dengen, Bhuta Kapiraga, Bhuta Janggit, Bhuta Langkir, Bhuta Taruna, Bhuta Tiga Shakti, Kala Sweta, serta Lembu Kere, juga para bhuta beserta kala pengikut Durga dan Kala Rudra.

Beberapa saat suasana terasa sunyi. Hening. Mencekam. Cahaya yang membalut api itu terlihat melayang-layang di dalam gumpalan kabut hitam yang tebal mendekati tubuh Abdul Jalil. Semua mata terarah ke tubuhnya. Dua cahaya dari arah berlawanan itu makin lama makin dekat. Tatkala jarak keduanya makin dekat, terlihatlah pemandangan menggetarkan, dua berkas cahaya yang membalut api itu ternyata menampakkan gambaran perwujudan makhluk-makhluk halus yang mengerikan. Sambil berteriak-teriak dan menjerit-jerit dengan suara hingar-bingar, perwujudan makhluk-makhluk mengerikan itu mengerumuni tubuh Abdul Jalil. Dalam sekejap tubuhnya sudah diselimuti gumpalan kabut hitam tebal yang berpendar menutupi cahaya. Tetapi, tanpa terduga-duga terjadi peristiwa aneh. Seberkas cahaya biru terang laksana pancaran kristal tiba-tiba memancar dari dada Abdul Jalil. Secara ajaib, gumpalan kabut hitam tebal yang menyelimuti tubuh itu menyemburat ke berbagai arah dengan suara hiruk pikuk bagaikan jeritan berjuta-juta setan di tengah bukit yang runtuh.

Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang sedang tenggelam dalam mantra-mantra terkejut bukan alang-kepalang ketika menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. Mereka makin terkejut ketika merasakan tubuhnya seperti terangkat dari permukaan tanah. Dan serentak menjerit bersama ketika menyadari tubuhnya terlempar ke belakang dengan keras. Kemudian jatuh terguling-guling di atas tanah pasir berbatu. Dengan merangkak-rangkak, mereka berusaha kembali ke altar persembahan untuk melanjutkan upacara. Tetapi, saat itu dari arah samudera terdengar suara gemuruh ombak. Pancaran cahaya merah membalut api kuning yang dilingkari kabut hitam bergerak ke arah altar. Pada saat bersamaan terdengar pula suara gemuruh diikuti munculnya cahaya kuning membalut api merah yang dilingkari gumpalan awan hitam melesat ke arah altar. Raden Sahid yang bersembunyi di balik jubah Syaikh Jumad al-Kubra menyaksikan Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking menyembah sambil menyebut nama Ratu Susuhunan Kidul dan Sang Kala Rudra.

Melihat penampakan aneh itu, Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil menangkap sasmita tidak baik. Tanpa diperintah, mereka serentak bangkit sebab mengkhawatirkan keselamatan sahabat mereka, Abdul Jalil. Sambil membaca doa-doa penolak kekuatan jahat jin dan setan, mereka melangkah ke arah altar persembahan. Ketika jarak mereka tinggal sejangkauan, Syaikh Jumad al-Kubra menerkam tengkuk Ki Belawwalu yang bersila di kaki altar, sementara Abdul Malik Israil menjambak rambut Ki Gagangaking yang sedang bersujud.

Ki Belawwalu yang bertubuh pendek dan Ki Gagangaking yang bertubuh kurus itu tak berdaya dicengkeram tangan dua orang bertubuh lebih tinggi dan berkekuatan lebih dari mereka. Mereka hanya meronta sesaat, lalu diam seperti pasrah. Dengan wajah pucat mereka menunggu apa yang bakal mereka alami selanjutnya. Sementara itu, saat melihat keduanya berdiam diri, Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil secara hampir bersamaan melempar tubuh keduanya menjauhi altar seperti orang melempar barang jinjingan. Kemudian bagaikan berebut dengan waktu, mereka melompat ke arah altar untuk meraih tubuh Abdul Jalil yang terbujur dibungkus kain putih. Tetapi, sebelum mereka mencapai sisi altar, terjadi peristiwa aneh, tubuh mereka terpental dengan keras ke belakang. Terbanting dan bergulingan di dekat tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang telah lebih dulu terkapar di tanah berpasir.

Tak percaya dengan kenyataan, Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil serentak bangkit dan menerjang ke arah altar sambil meneriakkan takbir. Untuk kali kedua, tubuh mereka terlempar dengan sangat keras hingga terbanting dalam jarak sekitar sepuluh tombak dari altar. Tetapi, tanpa kenal jera mereka berdua bangkit kembali dan berusaha meraih tubuh Abdul Jalil. Dan seperti peristiwa semula, tubuh mereka selalu terlempar dengan keras ke arah belakang.

Ketika sadar usaha itu gagal, mereka pun menggunakan cara lain. Mereka menangkap tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking. Kemudian dengan langkah lebar mereka berlari ke arah altar dan melemparkan tubuh keduanya ke sisi altar. Terjadi peristiwa aneh yang menakjubkan, tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang terlempar keras itu membentur sisi altar dan jatuh terguling dengan kepala berdarah. Tetapi, secara bersamaan tubuh Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil tiba-tiba terpental lagi dan bergulingan di atas tanah. Saat mereka berusaha bangkit, kobaran api terbalut cahaya dan gumpalan awan hitam yang melesat dari arah selatan dan utara itu meluncur makin dekat ke altar.

Melihat bahaya mengancam Abdul Jalil, Raden Sahid yang dicekam kegentaran tiba-tiba panik. Tanpa berpikir akan keselamatan diri, dengan meneriakkan takbir sekeras-kerasnya dia melompat ke arah altar. Dia berpikir akan meraih dan menarik tubuh Abdul Jalil dari atas altar. Tapi, seperti nasib yang dialamui Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil, tubuh Raden Sahid terlempar keras ke belakang. Terguling-guling di atas tanah pasir berbatu. Sementara kobaran api terbalut cahaya dan gumpalan awan hitam itu bertambah dekat ke altar.

Ketika ketiganya dengan susah payah berusaha bangkit, tiba-tiba terlihat pemandangan tak terduga. Tubuh Abdul Jalil yang terbungkus kain putih dan membujur di atas altar bangkit dan duduk bersila dengan tetap berselimut kain putih. Suarah gemuruh bagai bukit runtuh dan halilintar yang bersahutan terdengar sambung menyambung seiring mendekatnya cahaya yang membalut nyala api itu ke arahnya. Di tengah suara gemuruh itu terdengar kata-kata lantang dari balik selimutnya.

�Dengan penuh keikhlasan aku persembahkan tubuhku kepada Dhari Durga, Ratu Susuhunan Kidul, penguasa arah mata angin selatan, sebagaimana telah aku persembahkan tubuhku kepada Sri Durga, penguasa timur, Raji Durga, penguasa utara, Suksmi Durga, penguasa barat, dan Dewi Durga, penguasa tengah. Dengan penuh keikhlasan aku persembahkan pula jiwaku kepada Sang Kala Rudra. Tetapi, ruhku yang suci aku pasrahkan kepada Hyang Tunggal, Tuhan sarwa sekalian alam, yang telah meniupkannya ke dalam tubuh-jiwaku. Bersatulah, o Dhari Durga dan Kala Rudra! Mangsalah aku! Semoga dengan pengorbananku ini akan lahir Sang Kala, zaman baru (amurwakala), zaman keselamatan (Islam) bagi umat manusia sebagai pengejawantahan keagungan Sang Pencipta (khalifah al-Khaliq) yang menata kehidupan di jagad raya dengan akhlaq yang mulia (al-Khuluq al-karim).�

Gumpalan kabut hitam yang membalut cahaya dari arah samudera dengan suara gemuruh menyerbu ke arah Abdul Jalil dan berpusar-pusar melingkarinya. Pada saat yang sama gumpalan awan hitam bersalut cahaya yang berpendar dari arah utara melesat ke arahnya pula. Terdengar suara dentuman menggelegar ketika kabut dan awan itu bertemu dan berpusar mengitari Abdul Jalil dengan cahaya berpendar-pendar. Putaran itu makin lama makin kencang. Setelah berlangsung beberapa jenak, terdengar ledakan dahsyat diiringi benderang cahaya dan menyemburatnya kabut dan awan hitam itu ke berbagai penjuru. Setelah itu, suasana sangat sepi. Sunyi. Lengang. Hening. Dan Abdul Jalil dengan wajah pucat pasi terlihat duduk termangu-mangu di atas altar seperti orang kebingungan.

Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid yang melihat peristiwa aneh itu buru-buru mendekat dan bertanya dengan penuh rasa khawatir, �Bagaimana, Saudaraku, apakah engkau tidak apa-apa? Apa yang baru saja terjadi?�

Abdul Jalil menarik napas berat sambil melepas kain putih yang menutupi tubuhnya. Setelah diam sejenak, ia menoleh dan berkata, �Alhamdulillah, zaman baru bagi timbulnya matahari keselamatan (Islam) di Nusa Jawa sudah terbit. Tugas kita membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra sudah selesai. Berarti, munculnya Islam sebagai penyempurna Syiwa-Budha akan menjadi keniscayaan. Tetapi, sebagaimana hukum alam (Sunnah Allah) yang ditetapkan-Nya, para pelaku kejahatan moral, pelanggar kepantasan adab, dan pemuja benda-benda duniawi (thaghut) pada saat-saat tertentu akan tetap menjadi santapan kesukaan Durga, Kali, Prthiwi, para bhuta dan kala dalam pesta darah, meski mereka sudah mengaku Muslim.�

�Kenapa Dhari Durga dan Kala Rudra tidak memangsamu yang menyediakan diri sebagai korban?�

�Itu yang aku tidak mengerti,� kata Abdul Jalil. �Padahal, aku sudah benar-benar pasrah menyerahkan hidupku untuk mereka jadikan mangsa.�

Ketika Syaikh Jumad al-Kubra akan bertanya lebih dalam tentang peristiwa aneh yang baru dilihatnya itu, tiba-tiba Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking bangkit menghambur dan menyembah kepada Abdul Jalil. Dengan suara mengiba mereka bersujud dan memohon, �Perkenankanlah kami menjadi siswa Paduka Syaikh. Kami telah menyaksikan terbitnya zaman baru dengan keberhasilan Paduka Syaikh membuat tawar daya shakti Ratu Susuhunan Kidul dan Hyang Kala Rudra. Kami tahu Paduka Syaikh adalah pertanda zaman baru yang harus kami ikuti sebagai panutan. Terimalah kami sebagai siswa Paduka Syaikh.�

Abdul Jalil tersenyum dan berkata tenang, �Berdirilah kalian berdua. Syarat utama dari mereka yang menjadi siswaku adalah tidak bersujud kepada sesama makhluk, meski itu guru ruhani. Dan aku beri tahukan kepada kalian berdua bahwa sesungguhnya aku ini hanyalah alat saja dari Dia, Yang Mahakuasa, Yang Maha Berkehendak dalam mengubah tatanan alam semesta. Karena itu, jika kalian berdua telah menyaksikan sendiri lahirnya Sang Kala, yang menyinari jagad di Nusa Jawa ini dengan wajah-Nya yang baru, maka hendaknya kalian berdua mengikuti tatanan baru yang kubawa. Maksudku, kalian berdua hendaknya mengubah Ksetra Gandamayu ini menjadi tempat ibadah Keselamatan (as-Salam) bagi umat manusia. Kalian berdua harus tetap tinggal di sini dengan tugas utama mengajar kepada manusia ajaran Jawa, yaitu Tauhid. Ajarkan kepada semua orang agar mereka hanya menyembah kepada Hyang Tunggal.�

�Kami akan melaksanakan apa pun petunjuk dari Paduka Syaikh,� sembah Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking.

�Karena kalian akan mengajarkan Kejawan (Ketauhidan) kepada manusia maka kalian akan disebut orang dengan nama Syaikh Belawwalu dan Syaikh Gagangaking. Syaikh berarti guru ruhani. Dan setinggi-tinggi ajaran ruhani adalah ajaran Tauhid. Mengesakan Tuhan,� ujar Abdul Jalil.

Read More ->>

MANDALA LEMAH PUTIH

Mandala Lemah Putih

Setelah gagasan untuk membuat tawar pengaruh daya shakti ksetra-ksetra disepakati melalui pembukaan caturbhasa mandala, Abdul Jalil bersama Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Malik Israil, Ki Waruanggang, Raden Sulaiman, Raden Sahid, Liu Sung, dan para putera Raden Ali Rahmatullah membuka dukuh baru yang terletak antara Ksetra Nyu Denta (kelapa gading) dan Masjid Ampel Denta (bambu gading), yaitu tanah shima (perdikan) Kasyaiwan Batu Putih. Dipilihnya Batu Putih karena tempat itu dulunya adalah sebuah Syiwa prathista (candi) tempat Syiwa dipuja dalam lambang lingga putih dan sudah lebih dari tiga dasawarsa tidak digunakan lagi. Daerah Batu Putih sendiri dijadikan pekuburan keluarga raja Surabaya. Bahkan raja Surabaya pertama, Arya Lembusura, dimakamkan di situ. Satu-satunya hunian dekat dengan Batu Putih adalah Srenggakarana, tempat pelacuran yang terletak barang satu yojana di sebelah selatannya.

Pemilihan tanah shima Batu Putih sebagai dukuh memang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam mendirikan sebuah dukuh, ada larangan bagi para wiku untuk menempati bekas pertapaan, asrama, dukuh, atau tanah pekarangan yang sudah dihuni wiku lain (Imah wus kaprathista), kecuali jika tanah tersebut sudah dua puluh lima tahun ditinggalkan dan tak dihuni lagi. Dukuh-dukuh baru juga tidak diperkenankan berdiri di atas tanah yang sedang digarap petani. Sesuai ketentuan, tanah yang baik untuk mendirikan dukuh adalah tanah angker (Imah abeng), tanah kutukan (carik), lapangan dekat pertanian (patara tanya), tanah tertutup (kuluwuk), dan tanah dekat pembakaran mayat (Smasana). Sebagaimana Dukuh Lemah Abang, penetapan Batu Putih sebagai dukuh pun pada dasarnya sudah memenuhi syarat-syarat mendirikan sebuah dukuh.

Karena sudah dipilih sebagai dukuh, di Batu Putih rencananya akan dibangun sebuah tajug (mushala) dan asrama. Sesuai tugas, Raden Ahmad selaku mursyid Tarekat Kubrawiyyah ditunjuk sebagai penjaga dan pelindung Batu Putih. Karena dukuh Batu Putih bakal dibuka oleh Syaikh Jumad al-Kubra maka Abdul Jalil mengajarkan kepadanya tentang tata cara memasang tu-mbal sebagai bagian dari upaya penyucian jiwa tanah baik yang disebut prascita, bhumisoddhana, dan bhuta-suddhi. Untuk itu, selain mengupas hal-hal terkait dengan perlambang-perlambang tu-mbal dan seluk beluk kehidupan Banu al-Jann di Nusa Jawa, Abdul Jalil secara khusus mengajarkan kepada Syaikh Jumad al-Kubra pengetahuan rahasia tentang bagaimana upaya �membebaskan� jiwa-jiwa manusia yang dijadikan korban sembelihan di ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Prthiwi.

�Jika dengan cara-cara yang sudah aku ajarkan itu Tuan dapat membebaskan jiwa-jiwa mereka dari pengaruh alam dunia ke alam perbatasan (barzakh), maka dengan sendirinya kekuatan daya shakti ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi akan menjadi tawar. Kalaupun di situ masih ada sisa daya shakti, itu adalah kekuatan dari makhluk-makhluk purwakala, yaitu para bhuta dan kala dari antara Banu al-Jann yang merupakan kegandaan dari ablasa yang nirwujud. Untuk menghindarinya, Tuan bisa menggunakan doa-doa keselamatan penolak pengaruh jahat Banu al-Jann sesuai tuntunan Rasul Saw.. Berdasarkan pengalamanku membuka dukuh-dukuh Lemah Abang, kurun waktu yang dibutuhkan untuk menyucikan tanah lamanya sekitar 40 hari. Selalma 40 hari itulah kita akan tahu apakah tindakan yang kita lakukan itu berhasil atau gagal,� kata Abdul Jalil.

�Saya akan ingat-ingat semua petunjuk yang telah Tuan ajarkan,� kata Syaikh Jumad al-Kubra takzim.

�Satu hal lagi yang wajib Tuan ingat-ingat dari usaha penyucian ini.�

�Apakah itu?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra ingin tahu.

�Tuan harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk dari syarat-syarat yang akan diajukan penguasa tanah shima Batu Putih,� tegas Abdul Jalil.

�Syarat-syarat?� gumam Syaikh Jumad al-Kubra mengerutkan kening. �Syarat apa misalnya?�

�Aku belum tahu pasti. Menurut ibunda asuhku, Sang Akasha, pengejawantahan nafs al-Muthma�innah Sang Bhumi, biasanya meminta tebusan jiwa putih yang ikhlas. Maknanya, Tuan akan diminta menjalankan amukti palapa. Yang dimaksud amukti palapa, pertama-tama kita tidak boleh memakan makanan yang berasal dari pajak, upeti, bulu bekti, dan segala sesuatu yang diperoleh dari pemungutan atas hasil tanah. Kedua, kita tidak boleh memakan makanan dengan bumbu-bumbu. Ketiga, kita dan keluarga tidak boleh mengambil manfaat dari perikatan janji kita untuk pamrih duniawi.�

�Bagiku, semua itu bukan hal yang berat untuk dipenuhi oleh manusia tak beranak istri seperti aku.�

�Aku yakin Tuan akan bisa mengatasinya,� kata Abdul Jalil sambil tertawa. �Karena itu, aku ingin menambahkan nama kehormatan bagi Tuan: al-Qalandar, sehingga orang akan menyebut Tuan sebagai Syaikh Jumad al-Kubra al-Qalandar.�

�Aku tidak setuju dengan tambahan nama itu. Justru menurutku, yang sesuai menggunakan nama kehormatan al-Qalandar adalah Tuan, guru suci yang sudah termasyhur memiliki pengetahuan ruhani yang tinggi dan kecintaan yang teguh terhadap-Nya,� sahut Syaikh Jumad al-Kubra.

�Aku setuju dengan nama kehormatan al-Qalandar, namun dengan makna gelandangan tengik yang suka pamer keadaan ruhaninya dengan bertingkah menyimpang.�

�Tuan memang seorang malamit sejati yang pintar menyembunyikan kehebatan diri.�

Mendengar Syaikh Jumad al-Kubra mulai memuji-muji dirinya, Abdul Jalil tak menanggapi ucapannya. Sebaliknya, ia mengalihkan arah pembicaraan. �Karena Tuan baru sekali ini melakukan penyucian tanah, aku mohon Tuan berkenan didampingi sahabatku Ki Waruanggang. Dia seorang bekas pendeta Bhairawa dan sekaligus bekas pemimpin ksetra. Jadi, dalam hal membuka mandala dan membuat tawar daya shakti ksetra, dia lebih paham dan lebih berpengalaman terutama jika terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.�

�Sebenarnya, aku sudah bersyukur dapat ikut serta bahu-membahu dalam tugas suci dan mulia ini. Ini benar-benar pengalaman baru bagiku. Karena itu, aku tentu sangat bergembira didampingi oleh orang yang sudah berpengalaman,� kata Syaikh Jumad al-Kubra dengan semangat berkobar-kobar.

Sebagaimana petunjuk Abdul Jalil, dengan bantuan sembilan belas orang jama�ah Masjid Ampel Denta, Syaikh Jumad al-Kubra mulai menjalankan penyucian tanah untuk membuka Dukuh Batu Putih dengan didampingi Ki Waruanggang.

Ketika penyucian tanah Batu Putih dilakukan oleh Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Jalil tinggal di Masjid Ampel Denta bersama-sama Abdul Malik Israil, Raden Mahdum Ibrahim, Ki Tameng, Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung. Rupanya, ia belum sampai hati melepas sepenuhnya Syaikh Jumad al-Kubra dalam melakukan penyucian tanah Batu Putih, meski sudah didampingi Ki Waruanggang. Ia menganggap hal itu bukan saja disebabkan Syaikh Jumad al-Kubra baru pertama kali melakukan penyucian tanah, melainkan yang lebih mendasar upacara itu merupakan pembukaan mandala pertama dari Dukuh Lemah Putih. Ia merasa perlu memantau perkembangan penyucian tanah tersebut yang sangat mungkin akan diwarnai peristiwa-peristiwa aneh yang tidak diinginkan.

Sampai memasuki hari keenam tidak terjadi sesuatu yang berarti di Batu Putih. Semua orang berharap keadaan itu bisa berlangsung sampai hari keempat puluh. Tapi, harapan tinggal harapan. Memasuki hari ketujuh terjadi peristiwa tak terduga yang sangat mencekam.

Sejak sore awan-awan tebal berwarna kelabu kehitaman bergumpal-gumpal di langit bagaikan menaungi tanah Batu Putih. Angin yang biasanya berembus keras dari arah pantai tiba-tiba berhenti. Udara mendadak panas. Kabut tebal mangalir dari arah timur dan selatan, menutupi tanah dan sungai. Keadaan di Batu Putih itu terus meluas hingga seluruh kota seolah-olah berselimut kabut. Semakin sore, kabut semakin tebal dan bayang-bayang senjakala datang begitu cepat dan menghilang di balik kegelapan yang menyelimuti kesepian dan kelengangan. Bahkan ketika beduk maghrib di Masjid Ampel Denta ditabuh bertalu-talu, gemanya tidak terdengar jauh, seolah-olah gaungnya tertutupi oleh pekatnya gumpalan kabut yang makin menebal di tengah kegelapan. Suasana senjakala berubah sangat lengang dan mencekam.

Sadar sesuatu bakal terjadi, Abdul Jalil bergegas meninggalkan Masjid Ampel Denta menuju Batu Putih dengan diikuti Abdul Malik Israil, Raden Mahdum Ibrahim, Raden Sahid, Liu Sung, dan Raden Sulaiman. Tetapi, karena permukaan tanah serta sungai tertutup kabut dan perahu tambangan tidak terlihat, mereka terpaksa berjalan ke arah selatan, yaitu ke kawasan Sanbongan, tempat mereka dapat menyeberang ke timur sungai dengan melewati jembatan kecil yang terbuat dari bambu. Dengan bantuan cahaya obor mereka berjalan tersuruk-suruk di tengah gumpalan kabut yang seolah melahap api di ujung obor tersebut. Mereka berusaha secepat mungkin bisa sampai di Batu Putih.

Sementara itu, ketika Syaikh Jumad al-Kubra sedang khusuk dalam doa, Ki Waruanggang yang mendampinginya menangkap sasmita kurang baik terhadap suasana yang sangat aneh dan mencekam itu. Sebagai bekas penguasa ksetra, ia paham suasana itu merupakan pertanda �kehadiran� kekuatan adi-duniawi dari para arwah yang langgeng. Sadar akan hal itu, ia buru-buru meminta Syaikh Jumad al-Kubra dan kesembilan belas jama�ah dari Masjid Ampel Denta untuk tetap berada di dalam �lingkaran� yang sebelumnya telah dibuat oleh Abdul Jalil. Ki Waruanggang sendiri setelah itu terdiam membisu, berusaha menyatukan kiblat hati dan pikiran kepada Kebenaran (al-Haqq) yang tersembunyi di relung-relung jiwanya. Ia melakukan pernapasan kumbhaka dan rechaka, berusaha menajamkan penglihatan mata batin. Saat itu ia benar-benar menangkap suasana aneh yang mencekam. Kesepian yang mencekam. Kesenyapan yang menggigit. Kelengangan yang mengiris. Dan kesunyian yang merajalela.

Tiba-tiba, di tengah kesunyian dan kelengangan yang makin mencekam, kesembilan belas orang jama�ah Masjid Ampel Denta yang sedang mengumandangkan doa di tengah �lingkaran� itu memekik terkejut dan kemudian membisu seperti batu. Mereka gemetar dan meringkuk dengan tangan merangkul kepala. Saat itu mereka melihat pemandangan mengerikan yang membuat darah tersirap.

Di atas angkasa, di tengah kumparan kabut hitam berasap yang bergumpal-gumpal, muncul perwujudan dahsyat yang sebelumnya tidak pernah mereka saksikan: gambaran perwujudan Sang Akasha yang dahsyat dan menggetarkan, mengenakan pakaian serba putih, duduk di atas punggung gajah putih, bertangan empat, yang satu memegang jerat (pasha), yang satu memegang pengait gajah (angkusha), yang lainnya dalam sikap samadhi (mudra). Sekejap kemudian citra Sang Akasha itu menghilang di tengah gumpalan kabut. Tetapi, sekejap pula muncul gambaran perwujudan yang tak kalah menggetarkan, sosok putih, berkepala lima, bermata tiga, berlengan sepuluh, dan di sampingnya berdiri sosok perempuan dahsyat, yang berpakaian kuning, berlengan empat, memegang busur, panah, pasha dan angkusha.

Gambaran perwujudan dahsyat itu terlihat sangat aneh dan menggetarkan. Sesekali citra perwujudan tersebut mendekat seolah-olah jaraknya hanya sejengkal, namun kemudian menjauh seolah melampaui cakrawala. Kadang-kadang diam. Terkadang berputar-putar mengerikan diiringi suara gemuruh bagaikan seribu bukit runtuh. Kesembilan belas jama�ah Masjid Ampel Denta yang melihat pemandangan mengerikan itu tak kuasa lagi menahan gelegak rasa takut dan tegang. Kain mereka basah. Bahkan, dalam hitungan detik mereka sudah berjatuhan. Pingsan. Sementara itu, Syaikh Jumad al-Kubra sendiri, meski sudah khusyuk dalam doa, sangat terkejut dan terguncang menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpampang di hadapannya. Belum pernah dia menyaksikan pemandangan yang begitu menggetarkan.

Di tengah keterkejutan dan keterguncangan, Syaikh Jumad al-Kubra mendengarkan perwujudan dahsyat itu berkata dalam bahasa perlambang.

�Inilah aku, Sang Akasha. Akulah Kalachakra. Akulah penguasa keimanan (shraddha), ketenteraman jiwa (santhosa), kasih sayang (sneha), kemurnian (shuddhata), kebebasan (arati), rasa bersalah (aparadha), kemarahan (mana), kesedihan (shoka), kekacauan (sambhrama), kekecewaan (kheda), dan keinginan (urmmi). Siapa pun makhluk yang tidak bernaung di bawah kendali kekuasaanku akan menderita dan sengsara hidupnya. Siapa yang mengingkari akan Aku masukkan ke dalam golongan manusia tidak beriman, yaitu orang-orang yang jiwanya tidak tenteram, hidupnya tidak dilimpahi kasih sayang, penuh diliputi kepalsuan, terbelenggu kekecewaan dan keputusasaan, dan semua keinginannya tidak tercapai. Mereka yang mengabaikan Aku akan jauh dari kenikmatan surgawi.�

Syaikh Jumad al-Kubra terhenyak membisu, membeku bagai patung batu. Mulutnya terkunci. Lidahnya kelu. Tenggorokannya kering hingga dia tak mampu menelan ludah. Peluh sebesar butiran kacang berjatuhan dari keningnya. Dia seolah-olah dapat mendengar detak jantungnya yang berdegup keras. Dia merasa berada di perbatasan antara hidup dan mati. Tidak bisa berbuat sesuatu, bahkan untuk berteriak atau melafazkan doa. Dia hanya berdiam diri dan memasrahkan hidup dan matinya kepada al-Khalik.

Pada saat Syaikh Jumad al-Kubra tidak berdaya dan pasrah itulah Ki Waruanggang tiba-tiba beringsut ke depan dengan sikap takzim. Berbeda dengan Syaikh Jumad al-Kubra yang tercengang tak berdaya, ia yang sudah pernah menyaksikan penampakan yang dahsyat itu saat melakukan upacara bhuta-suddhi � menyucikan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya � meski terkejut, tidak terguncang. Malahan, dengan penglihatan mata batin ia tidak melihat perwujudan sosok apa pun, kecuali pancaran cahaya putih yang sangat cemerlang berpendar-pendar di angkasa jiwanya. Setelah terdiam sejenak ia berkata dengan bahasa perlambang.

�Sungguh, engkau adalah Sang Akasha. Engkau Kalachakra. Engkau penguasa shraddha, santhosa, sneha, shuddhana, dama, mana, aparadha, shoka, kheda, shuddhata, sambhrama, urmmi, dan arati. Aku mempersaksikan bahwa engkau adalah jiwa putih Sang Bhumi. Engkau tanmatra bunyi. Prthiwi, Waruna, Agni, dan Bayu adalah pancaran keberadaanmu. Dari pancaranmu jua kehidupan di bumi berasal. Engkaulah penguasa kemakmuran bumi yang menjadi tumpuan harapan bagi manusia-manusia yang mendamba apa yang ada di dalam genggaman kuasamu. Engkau menjadi harapan manusia-manusia pecinta bumi. Tetapi kami bukanlah mereka, manusia-manusia rakus yang dengan berlebihan merampas dan merampok apa yang engkau genggam. Kami bukanlah manusia-manusia sombong yang menepuk dada sebagai penguasa bumi, yaitu orang-orang yang merampas hak kuasamu. Kami bukanlah manusia-manusia buas yang dengan cakar-cakar beracun mencabik-cabik bumimu. Kami bukan perusak bumi.�

�Kami adalah manusia-manusia yang merasa bersyukur karena lahir dari rahim Ibunda Agung Bhumi, pancaran pengejawantahanmu, yang membentuk tubuh dan jiwa kami: Prthiwi, Apah, Agni, Bayu. Karena itu, o Sang Akasha, makanan dan minuman yang engkau limpahkan selalu kami gunakan secara hak sesuai kebutuhan tubuh dan jiwa kami. Bahkan, kami adalah orang-orang yang sudah melepas semua keinginan untuk menikmati apa yang engkau genggam dan engkau kuasai. Kami tidak mengharap apa-apa dari engkau selain sekadar memenuhi hak tubuh dan jiwa kami dengan perkenanmu sebagai jiwa putih Ibunda Agung Bhumi. Kami tidak terikat pamrih apa-apa denganmu. Kami hanya meminta kebebasan (arati), agar atman (ruh) kami yang berasal dari Paramatman (Rabb ar-Arbab) dapat kembali kepada-Nya dengan suci dan murni.�

Terdengar suara gemuruh yang diikuti pancaran cahaya agung menyilaukan. Ki Waruanggang terhenyak dalam ketakjuban. Ia seolah-olah menyaksikan sesuatu yang memesona dan mengisap kesadarannya. Tetapi, pada saat yang sama Syaikh Jumad al-Kubra justru mengalami keguncangan dan nyaris meninggalkan tempat. Pada saat itulah Abdul Jalil dan rombongan tiba di Batu Putih. Dengan buru-buru ia memerintahkan Abdul Malik Israil, Ki Tameng, Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung untuk bergegas mengikutinya masuk ke dalam �lingkaran� yang dibuatnya. Setelah menenangkan diri sejenak, ia berkata-kata kepada pancaran cahaya agung di angkasa itu dengan al-�ima, yang jika diungkap ke dalam bahasa manusia berbunyi: �

Aku bersaksi bahwa engkau adalah Sang Akasha, pengejawantahan Rabb Yang Maha Menjaga dan Maha Memelihara (al-Hafidz). Engkau adalah pemancar dari rasa sayang dan melindungi (sneha) dari Sang Pengasih (ar-Rahim). Engkau menjadi pelimpah dari ketenteraman dan kepuasan jiwa (santosha), yang memancar dari Sang Pemberi Kebahagiaan (al-Muhaimin). Kepada engkau semua makhluk di bumi terikat, karena engkau pengejawantahan Sang Pengikat (al-Muqtadir). Engkau senantiasa memberi kemurahan kepada semua makhluk di bumi dengan tubuh dan jiwamu, karena engkau pancaran keberadaan Sang Pemurah (ar-Rahman). Engkau senantiasa memberikan dirimu kepada orang yang memohon, karena engkau pancaran Sang Pengabul permohonan (al-Mujib). Karena itu, o Sang Akasha, kabulkan permintaanku. Melalui bhuta-suddhi yang aku lakukan untuk memuliakanmu, seraplah Sang Prthiwi, Sang Apah, Sang Agni, dan Sang Bayu yang haus darah ke dalam mahligaimu. Biarkanlah rasa sayangmu, pancaran dari Sang Pengasih memancar kepada makhluk penghuni bumi laksana cahaya matahari menerangi bumi sehingga terbentang cakrawala baru kehidupan di bumi yang penuh ketenteraman dan kedamaian.�

�Kami tahu dan sadar bahwa persembahan darah memang pantas dilakukan untuk manusia-manusia rakus perusak bumi. Kami tahu bahwa kegemaran Sang Prthiwi terhadap darah dan madhu tidaklah dapat diubah. Tetapi, kami memohon agar persembahan itu bukan darah orang-orang tak bersalah. Kami memohon agar darah yang tertumpah di permukaan bumi adalah darah para perusak bumi. Biarlah Sang Prthiwi membasahi bibir dan tenggorokannya dengan darah orang-orang rakus yang menebar bencana dan membuat kerusakan di permukaan bumi. Karena itu, o Sang Akasha, seraplah kekuatan shakti Sang Prthiwi dari tempat-tempat pemujaan. Dan kami selaku pemohon, tidak memiliki sesuatu yang bisa kami persembahkan kepadamu, kecuali tubuh dan jiwa kami yang berasal darimu. Cabutlah nyawa kami, jika itu membuatmu puas.�

Suasana tiba-tiba hening. Cahaya agung yang memancar mendadak lenyap. Abdul Jalil beringsut mendekati Syaikh Jumad al-Kubra dan menepuk bahunya sambil berkata, �Semua telah berakhir, Tuan Syaikh.�

�Apakah itu tadi, o Tuan Syaikh?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra dengan suara tergetar.

�Itulah perwujudan niscaya dari Sang Akasha, jiwa putih Ibunda Agung Bhumi, yang darinya jiwa dan tubuh kita terbentuk. Pancaran cahaya putih tadi adalah lambang perwujudan nafs al-Muthma�innah bumi. Apa yang Tuan saksikan tadi akan Tuan dapati juga di dalam diri Tuan karena tubuh dan jiwa Tuan berasal darinya,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

�Tapi, aku tidak melihat cahaya putih apa pun,� kata Syaikh Jumad al-Kubra, �yang aku saksikan justru perwujudan dahsyat yang sangat mengerikan.�

�Sesungguhnya, Rabb menjadi Sesuatu sesuai persangkaan (zhan) hamba-Nya. Demikian pula pancaran dari Rabb, yaitu Akasha, Bayu, Agni, Apah, dan Prthiwi akan menjadi sesuatu sesuai prasangka kita.�

�Astaghfirullah, aku baru ingat sekarang. Tadi siang aku sempat berbicara dengan Ki Waruanggang tentang tanah shima Batu Putih dengan makna-makna perlambangnya. Rupanya, gambaran yang dipaparkan Ki Waruanggang masih melekat di ingatanku sehingga aku tadi tidak menggunakan mata batin, tetapi malah terseret angan-angan kosong,� kata Syaikh Jumad al-Kubra berulang-ulang membaca istighfar.

�Pengalaman adalah guru terbaik, Tuan Syaikh.�

�Itu memang benar. Tetapi, apakah permohonan Tuan Syaikh dikabulkan?�

�Pasti dikabulkan,� kata Abdul Jalil. �Sebab, dia adalah pancaran dari Rabb Yang Maha Mengabulkan doa (al-Mujib), Rabb Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih (ar-Rahman ar-Rahim), Maha Pemberi (al-Wahhab), Maha Mendengar (as-Sami�), Maha Mencukupi (al-Muqit), Mahaluas (al-Wasi�).�

�Bagaimana Tuan bisa sangat yakin jika permohonan Tuan akan dikabulkan oleh Rabb ar-Arbab ?�

�Sebab, aku telah diberi sedikit pengetahuan oleh-Nya melalui Ruh al-Haqq bahwa Rabb ar-Arbab telah berkenan menyingsingkan Asma�, Shifat, dan Af�al-Nya dari cakrawala lama ke cakrawala baru,� kata Abdul Jalil.

�Apakah itu bermakna bahwa hukum kauniyah akan diubah oleh Rabb ar-Arbab?�

�Hukum kauniyah tidak pernah berubah. Hukum itu tetap dan langgeng, yang berubah hanya sudut pandang kita. Lantaran itu, aku menggunakan istilah cakrawala baru. Maksudku, kehausan Sang Prthiwi terhadap darah dan madhu tetap akan berlangsung sebagaimana adanya. Tetapi, Sang Prthiwi tidak lagi meminum darah dan madhu di tempat-tempat pemujaan, tetapi di medan tempur dan di tempat-tempat bencana. Karena itu, menurut hematku, perang antarmanusia dalam memperebutkan bumi di masa yang akan datang akan jauh lebih besar dan menelan jiwa manusia lebih banyak daripada perang di masa silam. Sebab, saat itulah Ibunda Agung Prthiwi beserta para bhuta dan kala, bala pengikutnya, akan berpesta pora membasahi bibir dan tenggorokan mereka dengan darah dan madhu,� papar Abdul Jalil menjelaskan.

Ketika upaya menyucikan Ksetra Nyu Denta melalui Dukuh Batu Putih dianggap selesai, Abdul Jalil pergi ke Bangsal Sri Manganti di Kraton Giri untuk memenuhi permintaan Prabu Satmata dan Pangeran Arya Pinatih yang ingin membuka Dukuh Lemah Putih di wilayah Giri Kedhaton, dengan tujuan agar daya shakti Ksetra Adhidewa, Mangare, Dara, dan Indrabhawana menjadi tawar. Dengan didampingi Syaikh Jumad al-Kubra, Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung, Abdul Jalil pergi ke Kraton Giri melalui Sungai Brantas. Tetapi belum lama menghiliri Sungai Brantas, ketika melintasi penambangan Teda di Kadipaten Tedunan yang berbatasan dengan Wisaya Gesang, ia menyaksikan semacam gumpalan kabut putih diliputi cahaya merah, kuning keemasan, dan hitam yang bergumpal-gumpal di atas suatu tempat di barat sungai. Pemandangan itu, menurut Ruh al-Haqq di pedalaman kalbunya, adalah pertanda keberadaan sebuah ksetra atau pemujaan terhadap Sang Bhumi.

Ketika ia menunjuk arah kabut putih dan menanyakan kepada tukang perahu tentang nama tempat tersebut, tukang perahu mengungkapkan bahwa daerah di barat sungai yang ditunjuknya itu disebut orang dengan nama Kabrahon (Jawa Kuno: barahu : pancaran cahaya Sang Rahu) yang terkenal angker. Tukang perahu tidak tahu kenapa tempat itu disebut Kabrahon. Dia hanya tahu sejak zaman ayah dan kakeknya dulu tempat itu digunakan orang untuk berlatih ilmu kadigdayan yang menggunakan wadal manusia.

Mendengar penjelasan tukang perahu itu, Abdul Jalil hanya mengangguk-angguk. Bagi mereka yang mengetahui seluk-beluk ajaran Bhairawa-Tantra, nama Kabrahon jelas berkaitan dengan makna wilayah kekuasaan Sang Rahu, Sang Penggelap, citra Syiwa sebagai Pemangsa matahari (Suryya) dan rembulan (Chandra), yakni penguasa waktu (Mahakala). Itu berarti, Kabrahon adalah ksetra yang sudah sangat tua usianya dan mungkin sudah tidak digunakan lagi. Dengan demikian, kelirulah orang yang menduga Kabrahon sebagai tempat orang mencari ilmu kadigdayan dengan wadal.

Dugaan bahwa Kabrahon terkait dengan kekuasaan Sang Rahu terbukti ketika Abdul Jalil dan rombongan turun dari perahu di penambangan selatan Teda, yaitu di Bhogahangin. Nama Bhogahangin (Jawa Kuno: Santapan Busuk) jelas terkait dengan lambang Sang Putikeswara (Jawa Kuno: Penguasa Kebusukan) yaitu Syiwa, Sang Penyelamat, yang telah menelan racun Kalakutha, hingga tenggorokan-Nya menjadi biru: Sang Nilakantha. Sebagaimana kelaziman ksetra yang bagi para bhairawa-bhairawi adalah tempat yang menebarkan bau harum mewangi, tempat di dekat Bhogahangin itu dinamai Kemlaten (Jawa Kuno: tempat bunga melati). Bahkan, sebuah bukit berbentuk perahu terbalik di utara Kabrahon yang disebut orang Gunung Sari, mengingatkan Abdul Jalil pada Gunung Pulasari di Banten, yaitu tempat yang diyakini sebagai sthana Syiwa. Di kaki bukit Gunung Sari itu terdapat candi kecil bekas pemujaan purwa yang disebut Jagalaya (pengawal kematian), yakni Sang Yama (nama Syiwa).

Kawasan antara wilayah Tedunan dan Giri Kedhaton banyak ditebari lambang yang menunjuk Syiwa. Hal itu wajar karena lambang-lambang itu terkait erat dengan kekuasaan Prabu Satmata sebagai penguasa Giri. Dikatakan terkait sebab penduduk Majapahit di sekitar Giri Kedhaton dan di pedalaman meyakini Prabu Satmata adalah titisan Syiwa. Kedekatan hubungan Prabu Satmata dengan para penguasa Blambangan dan Bali setidaknya makin menguatkan anggapan bahwa Yang Dipertuan Giri Kedhaton memang titisan Sang Girinatha, Syiwa. Bahkan, keyakinan itu tidak goyah ketika para penguasa pesisir sepakat menunjuknya sebagai khalifah dengan gelar Sri Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul Khalifatullah. Saat itu para adipati di pedalaman yang masih menganut kepercayaan Syiwa-Budha tetap menunjukkan ketakziman dan sangat menghormatinya sebagai titisan Syiwa. Mereka malah menyambut gembira keputusan para adipati pesisir itu, dengan mengirim utusan untuk menghaturkan persembahan dan bulu bekti kepada Prabu Satmata.

Sore hari sesampai di Bangsal Sri Manganti, tanpa beristirahat Abdul Jalil dan Ki Waruanggang pergi ke Ksetra Mangare di timur kraton. Di gerbang ksetra Abdul Jalil disambut oleh seorang sthapaka (penguasa bangunan suci), bernama Dang Acaryya Laban. Berdasar petunjuk Dang Acaryya Laban, Abdul Jalil mengetahui seluk-beluk Bangsal Sri Manganti yang mandala-mandalanya benar-benar mencerminkan sthana Syiwa. Di timur Bangsal Sri Manganti terletak Ksetra Mangare yang diyakini orang-orang sekitar sebagai kediaman Syiwa-Bhairawa. Di utara ksetra terletak Pakalangan tempat batu suci (Sanghyang Susuk) disucikan, yaitu batu suci yang merupakan lingga lambang Syiwa. Di sebelah barat ksetra terdapat arca Syiwa dalam wujud mengerikan yang disebut Sang Randuwana (Syiwa yang bertaring sebesar buah randu hutan). Di sebelah selatan arca Sang Randuwana itu terdapat pendharmaan Sanghyang Pamunguwan (ruh pelindung) yang disebut Siddhawungu.

Selama berbincang-bincang dengan Abdul Jalil, Dang Acaryya Laban sangat heran dengan pengetahuan lawan bicaranya yang begitu mendalam tentang ajaran Syiwa-Budha dan bahkan Bhairawa-Tantra. Tetapi, keheranan Dang Acaryya Laban berubah menjadi keterkejutan ketika dia diberi tahu oleh Ki Waruanggang bahwa lawan bicaranya yang bernama Abdul Jalil itu merupakan guru suci yang termasyhur disebut orang dengan nama Syaikh Lemah Abang. Dang Acaryya Laban yang semula duduk bersila berhadap-hadapan dengan Abdul Jalil tiba-tiba bersujud menyembah dan berkata-kata dengan suara bergetar, �Sembah hamba kami haturkan kepada Paduka Syaikh Lemah Abang titisan Mahaguru. Padukalah guru suci yang hamba nanti-nantikan kedatangannya.�

�Tuan Acaryya,� kata Abdul Jalil sembari mengangkat bahu Dang Acaryya Laban, �bagaimana Tuan bisa menyatakan kami titisan Syiwa Mahaguru?�

�Kawan-kawan hamba yang berkata demikian, Paduka. Sungguh telah tersebar kabar bahwa Paduka adalah guru suci utusan Bhattara Guru untuk menyempurnakan ajaran lama yang ada. Sahabat hamba, Kyayi Menjangan Tumlaka, kepala Dukuh Dharma Lemah Abang di Pamotan, menceritakan kepada hamba bahwa dia telah menjalani madiksha (baiat) kepada Paduka. Dia menyatakan, Paduka dalam melakukan madiksha tidak menggunakan Wiku Nabe secara sakala (rabithah), tetapi menggunakan Nabe Niskala kepada Hyang Widhi, yaitu madiksha-widhi. Kyayi Menjangan Tumlaka juga menuturkan dia tertari dengan ajaran Paduka karena dia dapat bertemu dengan Syiwa dan bahkan Paramasyiwa. Karena itu, o Paduka Syaikh, hamba mohon agar Paduka berkenan membimbing hamba sebagai sisya (murid),� Dang Acaryya memohon sambil menyembah.

�Tuan Acaryya, tegakkanlah tubuh Tuan. Kami tidak suka dengan peraturan sembah-menyembah antarmanusia. Siapa saja di antara manusia yang ingin menjadi pengikut Syaikh Lemah Abang, wajib menolak kebiasaan menekuk lutut kepada sesama manusia. Jika Tuan Acaryya ingin mengikuti jalan kami, hendaknya Tuan memenuhi dulu kewajiban pertama tersebut,� kata Abdul Jalil tegas.

�Tapi Paduka Syaikh, bagaimana kami bisa bersikap tidak hormat kepada Dang Guru Suci, Susuhunan, yang akan membawa kami kepada dwijati (kelahiran kedua)?� gumam Dang Acaryya Laban.

�Hormat atau tidak hormat, tergantung dari sudut mana kita memandang sesuatu,� kata Abdul Jalil menjelaskan. �Maksudnya, jika Tuan menganggap bahwa bersikap hormat kepada Dang Guru Suci adalah dengan menyembahnya sebagai perwujudan Sang Mahaguru yang bersthana di Kailasa, yaitu Syiwa, maka hal itu benar dan sah menurut Tuan. Tetapi menurut kami, hal tersebut malah menista intisari ajaran kami. Sebab, dalam pandangan kami, nilai-nilai yang benar adalah nilai yang bersumber pada Adwaya (Tauhid), dengan berlandaskan penghormatan dan keseimbangan.�

�Penting untuk Tuan pahami bahwa nilai penghormatan yang kami maksud bukanlah menghormati Dang Guru Suci dengan cara menyembahnya sebagai perwujudan Tuhan, melainkan cukup menghormatinya sebagaimana hormat kita kepada ibu dan bapak. Lantaran itu, hal yang paling mendasar dari nilai penghormatan yang kami maksud, pertama-tama, menyatakan begini: kewajiban dasar manusia adalah menghormati keberadaan diri sendiri. Maknanya, seorang manusia yang menghormati diri sendiri tidak akan menista dan merendahkan martabat kemanusiaannya dengan berlutut dan bersujud kepada pohon, batu, kayu, binatang, bulan, bintang, matahari, manusia, dan sesama makhluk. Sebab, kita telah berikrar dengan segenap jiwa dan raga bahwa kita hanya berlindung, merajakan, dan menuhankan Rabb kita (QS. An-Nas: 1-3), yaitu Hyang Widhi. Itu sebabnya, dalam melakukan madiksha, kami selalu menggunakan cara madiksha-widhi.�

�Kami paham dan akan mematuhi titah Paduka Syaikh.�

�Tetapi, sebelumnya kami beri tahukan kepada Tuan Acaryya bahwa sebagaimana sisya kami yang lain, Tuan nanti akan menjalani madiksha-widhi dengan menggunakan Nabe Niskala. Itu berarti, Tuan nanti akan menemukan Kebenaran, Brahman, dengan melewati jalan Paramasyiwa. Jika dalam waktu tujuh hari setelah madiksha-widhi Tuan menemukan Kebenaran dalam perwujudan Syiwa yang masih mengambil perwujudan tertentu, maka Tuan harus menemui kami atau sisya kami, Kyayi Menjangan Tumlaka,� kata Abdul Jalil.

�Kami akan mematuhi semua titah Paduka Syaikh,� kata Dang Acaryya Laban takzim.

�Hal ini perlu kami sampaikan kepada Tuan terlebih dulu karena banyak di antara dikshita (salik) yang belum bisa membedakan tahapan-tahapan ruhani dari bhaktimarga (syari�at), karmamarga (thariqat), jnanamarga (haqiqat), dan yogamarga (ma�rifat) telah tergelincir ke jurang kesesatan, karena mereka tanpa sadar telah terpeleset oleh kekaburan batasan sakala (zahir), sakala-niskala (barzakh) dan niskala (al-Batin). Mereka dengan pongah merasa telah dianugerahi-Nya pengetahuan untuk mengenal-Nya. Padahal, mereka saat itu sedang berada di ambang pengetahuan. Mereka akan ditandai dengan kepintaran dalam berbicara tentang Adwaya (Tauhid) dengan seluk-beluknya. Sementara jika dilihat dengan mata batin, jiwa mereka telah tertutup pamrih pribadi. Jiwa mereka adalah jiwa serigala, musang, gagak, dan bahkan bayangan makhluk nirwujud.�

�Orang-orang yang seperti itu sungguh telah menyimpangkan ajaran Kebenaran dan bertentangan dengan jalan (thariq) yang kami ajarkan. Kami katakan menyimpang dari Kebenaran karena mereka tergelincir dari jalan kesadaran jati diri menjadi adimanusia (insan kamil). Mereka terperosok ke jurang angan-angan (al-wahm) menjadi al-Kamal. Sungguh, mereka telah sesat karena menuhankan keakuan pribadinya yang kerdil. Sungguh, mereka telah sesat karena terjerat angan-angan hingga menjadikan diri sendiri sebagai perwujudan Yang Mahasempurna (al-Kamal). Hal ini perlu kami sampaikan kepada Tuan, karena jalan menuju Kebenaran sejati sangat licin dan penuh jebakan yang gampang menggelincirkan seorang dikshita ke jurang kesesatan, terutama saat dikshita berada di tengah persimpangan sakala-niskala (barzakh) menuju niskala (al-bathin),� papar Abdul Jalil.

�Kami akan patuhi semua titah Paduka,� kata Dang Acaryya Laban sambil bersujud menyembah, seolah dia sudah lupa dengan ucapan Abdul Jalil yang baru saja melarangnya dengan bersujud kepada sesama.

Berbeda dengan pembukaan Dukuh Batu Putih yang lancar, rencana pembukaan Dukuh Lemah Putih di Giri Kedhaton diawali dengan perdebatan yang panas. Hal itu bermula dari keterlibatan Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur, putera Prabu Satmata, dan Raden Muhammad Yusuf, putera Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu. Dalam perencanaan membuka Dukuh Lemah Putih, Pangeran Zainal Abidin mengusulkan kepada Abdul Jalil agar dukuh yang bakal dibuka di wilayah Giri Kedhaton itu letaknya agak berjauhan dari pusat ksetra. Ia beralasan, pembukaan Dukuh Lemah Putih harus berbeda dengan Batu Putih. Sebab, tanah shima Batu Putih sudah tidak digunakan barang tiga puluh tahun silam dan Ksetra Nyu Denta pun sudah tidak digunakan lagi barang tujuh tahun silam, sementara ksetra-ksetra di Giri Kedhaton masih digunakan. Bahkan, Ksetra Mangare di sebelah timur Bangsal Sri Manganti masih belum ditutup dan penduduk di sekitarnya masih banyak yang memuja Dewi Bhumi, Prthiwi, di situ. Selain itu, keberadaan Ksetra Mangare masih menjadi lambang kekuasaan lama yang menempatkan Prabu Satmata sebagai pengejawantahan Syiwa Sang Girinatha. Lantaran itu, untuk menghindari dampak yang tidak diharapkan dari perubahan mencolok akibat munculnya Dukuh Lemah Putih di dekat ksetra, yang bertujuan membuat tawar daya shakti ksetra, maka dukuh tersebut harus jauh dari pusat ksetra.

Berbeda dengan Pangeran Zainal Abidin, Raden Muhammad Yusuf yang jiwanya sedang dikobari semangat keagamaan menyala-nyala menginginkan Dukuh Lemah Putih dibuka dekat di dengan pusat ksetra. Ia beralasan, upaya membukan Dukuh Lemah Putih adalah upaya yang haqq untuk menghilangkan sesuatu yang batil. Upaya itu adalah jihad karena bertujuan menyelamatkan manusia dari pembunuhan-pembunuhan atas alasan agama. Lantaran berpandangan seperti itu, dengan suara berapi-api dan penuh keyakinan diri ia berkata, �Tuan Syaikh tidak perlu syak dan ragu-ragu dalam menghadapi kebatilan. Tuan Syaikh tidak perlu mempertimbangkan yang lain-lain dalam hal memerangi kebatilan. Sebab, Allah sudah menetapkan hukum bahwa setiap datang yang haqq, maka yang batil akan sirna (QS. Al-Isra�: 81).�

�Paman,� sergah Pangeran Zainal Abidin dengan suara ditekan dan wajah menampakkan rasa tidak senang. �Paman jangan menghiraukan omongan orang yang masih mentah pengetahuan agamanya. Paman jangan menghiraukan saran orang yang menempatkan dalil-dalil Al-Qur�an secara kurang semestinya. Sebab, menurut hemat kami, tidak ada dalil Al-Qur�an yang menyatakan ksetra sebagai tempat batil. Ksetra dalam kenyataan adalah tempat ibadah bagi umat bukan Islam. Jadi, ksetra pada dasarnya sama maknanya masjid bagi umat Islam, yaitu tempat suci yang digunakan oleh orang-orang bukan Islam dalam memuja Tuhan sesuai tata cara mereka. Kita tidak bisa menilai apa yang dilakukan para penganut ajaran Bhairawa-Tantra sebagai sesuatu yang batil dengan menggunakan dalil Al-Qur�an.�

�Tuan Syaikh, Tuan telah mendengar sendiri ucapan dari sahabat kami,� tukas Raden Muhammad Yusuf tak mau kalah. �Akankah Tuan Syaikh membenarkan orang yang menganggap sama tempat manusia-manusai disembelih dengan masjid yang suci tempat orang diselamatkan dari maut? Akankah Tuan Syaikh membenarkan orang yang menganggap sama tempat Kematian itu dengan masjid yang suci tempat Keselamatan?�

�Aku tidak menganggap ksetra sama dengan masjid,� kilah Pangeran Zainal Abidin dengan suara berapi-api. �Aku tadi menyatakan, ksetra bagi penganut ajaran Bhairawa-Tantra sama dengan masjid bagi umat Islam, yaitu tempat ibadah. Jika di ksetra-ksetra ada orang dibunuh sebagai korban suci, itu adalah aturan agama mereka. Kita tidak berhak menilainya sebagai sesuatu yang batil. Tidakkah engkau mengetahui jika di masa lampau, para dathu leluhur bangsa Arab juga mengorbankan putera sulung mereka kepada Tuhan? Tidakkah engkau tahu kisah Ibrahim a.s., Bapak Tauhid, yang pernah akan menyembelih putera sulungnya? Tidakkah engkau tahu bahwa akikah yang diajarkan di dalam Islam pada hakikatnya adalah kelanjutan kepercayaan purwa itu dalam bentuk penyembelihan hewan sebagai ganti jiwa manusia.?�

�Tapi, sejak masa Ibrahim a.s. kebiasaan korban manusia sudah diganti dengan domba?�

�Justru itu, tugas kita sekarang adalah memberitakan Kebenaran tentang perubahan dalam tata cara korban kepada mereka yang belum mengetahuinya. Kita harus menyampaikannya melalui cara-cara yang bijak. Kita tidak bisa mencaci maki dan mencela keyakinan orang menurut pandangan sepihak kita. Bukankah tugas kita hanya menyampaikan kabar Kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw.? Bukankah orang lain bebas menerima atau menolak kabar Kebenaran yang kita sampaikan? Bukankah tidak ada paksaan dalam keyakinan agama? Bukankah semua hidayah tergantung mutlak pada kehendak-Nya?� ujar Pangeran Zainal Abidin.

�Ya, aku paham, tapi ... � sahut Raden Muhammad Yusuf mencibir.

Abdul Jalil yang menangkap gelagat perdebatan itu akan makin memanas buru-buru menukas, �Sudahlah, masalah seperti ini tidak bisa dijadikan bahan berdebat. Sebab, penguasa ksetra tidak bisa diajak berdebat. Jadi, kalau kita keliru dalam bertindak, taruhannya ribuan nyawa manusia. Untuk masalah ini aku berharap semua pihak tidak menggunakan ukuran haqq dan batil dalam hal keyakinan orang seorang. Sebab, segala sesuatu yang haqq bersumber dari al-Haqq, sedangkan segala sesuatu yang batil bersumber dari al-Mudhil. Baik al-Mudhil maupun al-Haqq bergantung dari sisi mana kita memandang. Maksudnya, kita bisa memandang orang lain sebagai kelompok yang batil karena memuja al-Mudhil. Sebaliknya, orang bisa juga memandang dari sudut lain dengan mengatakan justru kitalah sebagai kelompok batil pemuja al-Mudhil. Padahal, baik al-Haqq maupun al-Mudhil sejatinya adalah Asma�, Af�al, dan Shifat dari Zat dari Yang Maha Tunggal: Allah. Karena itu, barang siapa yang menganggap al-Mudhil dan al-Haqq adalah dua Zat yang berbeda maka dia musyrik,� kata Abdul Jalil tegas.

�Ya, Tuan Syaikh, kami paham,� kata Raden Muhammad Yusuf. �Jadi, bagaimana sekarang?�

�Aku beri tahukan kepada kalian, Ksetra Mangare terletak di pusat Kraton Prabu Satmata, yaitu Bangsal Sri Manganti. Maksudku, Ksetra Mangare letaknya bersebelahan dengan Bangsal Sri Manganti. Malahan, Bangsal Sri Manganti kedudukannya diapit oleh Ksetra Mangare dan asrama Rsigana Domas. Di utara Ksetra Mangare terletak Pakalangan, yakni tempat batu suci (Sanghyang Susuk) ditempatkan di lingkaran keramat. Di utara Pakalangan terletak kediaman Pangeran Indrasari Patih Giri Kedhaton.�

�Jadi, sebagaimana bentuk susunan kraton-kraton Jawa yang lain, ksetra merupakan bagian tak terpisahkan dari kraton. Kalau sampai ada perubahan susunan dengan munculnya asrama para wiku baru yang disebut Dukuh Lemah Putih di dekat ksetra dan Rsigana Domas, maka dipastikan akan menimbulkan kekacauan. Sebab, yang akan melakukan perlawanan bukan hanya para penguasa ksetra, melainkan pendeta dan penduduk juga akan marah dan menentang. Karena itu, menurut hematku, letak Dukuh Lemah Putih sebaiknya memang agak jauh dari pusat ksetra,� papar Abdul Jalil.

�Aku kira, soal letak Dukuh Lemah Putih di Giri Kedhaton sepatutnya memang kita serahkan sepenuhnya kepada Paman Syaikh Lemah Abang. Sebab, yang sudah berpengalaman dalam pembukaan dukuh-dukuh baru di Nusa Jawa adalah beliau,� kata Pangeran Zainal Abidin.

Abdul Jalil yang melihat selisih pendapat antara Pangeran Zainal Abidin dan Raden Muhammad Yusuf hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia paham, perbedaan mereka dalam memandang sesuatu berasal dari perbedaan dari nilai-nilai yang mereka anut. Pangeran Zainal Abidin lahir di kalangan bangsawan Giri Kedhaton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa-penguasa di Majapahit, Blambangan, dan Bali. Sementara Raden Muhammad Yusuf merupakan cucu Raden Ali Murtadho, Raja Pandita Gresik dari istri ketiga asal Lawe, Barunadwipa, yaitu dari keluarga Orob. Sedangkan ibu Raden Muhammad Yusuf berasal dari Malaka.

Sejak kecil Raden Muhammad Yusuf diasuh di lingkungan Islam fanatik yang sulit menerima keberbedaan agama. Apalagi saat memasuki kedewasaan dia sering diajak berdagang ke Malaka dan berkenalan dengan sejumlah ulama Malaka yang fanatik. Ayahandanya sendiri, Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, putera bungsu Raden Ali Murtadho, dikenal penduduk Giri Kedhaton sebagai orang Islam fanatik dan suka mencela praktik-praktik tasawuf yang dianggap menyimpang dari syarak. Padahal, dibanding tiga kakaknya lain ibu, yaitu Raden Zainal Abidin Adipati Gresik, Raden Usman Kepala Negeri Tengah-Tengah di Kailolo, Raden Ali Fada� guru suci di Bima, Raden Yusuf Siddhiq bukanlah apa-apa jika diukur dari sisi pengetahuan agama. Ketiga putera Raja Pandhita itu, kakak Raden Yusuf Siddhiq, sejak muda dikenal oleh penduduk Giri Kedhaton sebagai orang-orang yang saleh, rendah hati, dan dermawan. Sementara Raden Yusuf Siddhiq dikenal sebagai pemuda congkak, tidak mau kalah, dan suka merendahkan orang lain, apalagi setelah usahanya berniaga berkembang pesat dan menjadikannya sebagai adipati kaya raya.

Raden Yusuf Siddhiq dengan segala kecongkakannya sering terlihat datang ke Giri Kedhaton untuk mengajak berdebat Prabu Satmata dalam masalah agama. Tetapi, tidak sekali pun penduduk Giri Kedhaton mendapatinya pernah memenangkan perdebatan. Karena tidak pernah jera berdebat, meski telah berulang-ulang kalah, maka di kalangan penduduk Giri Kedhaton muncul ejekan-ejekan tersembunyi yang dialamatkan kepada sang adipati. Salah satu di antara ejekan-ejekan itu adalah gelar masyhur yang diberikan oleh penduduk Giri Kedhaton, yaitu Ki Dipati Adam (Jawa Kuno: raja yang belum matang). Tampaknya, kebiasaan mendebat sang adipati itu dilanjutkan oleh puteranya, Raden Muhammad Yusuf.

Dengan dikawal sekitar tiga puluh prajurit Giri, Abdul Jalil dan rombongan dengan berjalan kaki meninggalkan Bangsal Sri Manganti menuju arah selatan. Setelah melewati padang alang-alang dan tanah berawa-rawa, sampailah mereka di Wisaya Damyan. Sesudah singgah sebentar di kediaman Ki Ageng Damyan, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan dengan melewati bukit-bukit berbatu kapur terjal. Di beberapa tempat di perbukitan itu Abdul Jalil menemukan sejumlah lemah larangan yang layak dijadikan dukuh, yaitu mala ning lemah seperti cerukan bukit (sodong), batu padas bergantung (cadas gantung), tiga onggokan batu melingkari suatu tanah (mungkal pategang), ngarai (lebak), tanah tandus yang curam (lmah laki). Tapi, ia masih belum menemukan yang benar-benar sesuai dengan hasrat hatinya.

Setelah semalam tidur di perbukitan, pada suatu siang ia menemukan suatu hamparan lemah larangan yang dinilainya sesuai untuk dukuh. Tanah itu terletak di timur laut Wisaya Sumengka, tepat pada lekukan Sungai Brantas. Lantaran itu, tanah tersebut digenangi air dan sebagian ada yang terlihat padat di permukaannya, namun berlumpur di bawahnya. Di beberapa sudutnya terlihat bukit-bukit tanah kecil tempat sarang anai-anai.

Setelah mengamati keadaan sekeliling tanah, ia berkata kepada Syaikh Jumad al-Kubra, �Menurut ibundaku, tanah di depan kita itu memenuhi tiga syarat lemah larangan. Pertama, tanah di pinggir barat dan selatan sungai itu termasuk jenis tanah dangdang warian, yaitu tanah yang berceruk bagian tengahnya dan digenangi air. Kedua, tanah di bagian tengah termasuk jenis tanah garenggengan, yaitu tanah kering pada bagian permukaan, namun berlumpur di bagian bawahnya. Ketiga, tanah paling utara termasuk tanah hunyur, yaitu tanah dengan bukit-bukit kecil tempat sarang anai-anai.�

�Baiklah, kita akan membuka tanah ini untuk dijadikan Dukuh Lemah Putih,� kata Syaikh Jumad al-Kubra.

�Tetapi, kita hendaknya memberi tahu dulu kepala Wisaya Sumengka bahwa atas perkenan Prabu Satmata, di tanah ini akan dibuka dukuh baru yang dinamai Lemah Putih.� Abdul Jalil lantas meminta kepada pengawal Giri untuk menyampaikan surat penetapan shima dari Juru i Ayam Teas (pejabat berwenang dalam urusan tanah perdikan) Giri Kedhaton. �Seandainya nanti penguasa Wisaya Sumengka bertanya kenapa dinamai Lemah Putih, Tuan katakan saja bahwa yang bisa menjelaskannya adalah Prabu Satmata.�

�Kami siap melaksanakan perintah, Kangjeng Syaikh,� kata kepala pengawal sambil memerintahkan anak buahnya untuk memulai pekerjaan membabat alang-alang dan semak belukar, menguruk tanah berair, membuat pematang melingkar sebagai tanggul kecil, dan memotong batang pohon untuk bahan bangunan. Sebagaimana pembukaan desa-desa Lemah Abang, Abdul Jalil menebarkan sarana tu-mbal. Tetapi, sedikit berbeda dengan di Lemah Abang, di tempat yang akan dinamai Lemah Putih itu selain menggunakan tanah, ia juga menambahkan garam dan beras.

Pekerjaan membabat alang-alang dan semak belukar serta membuat pematang ternyata tidak memakan waktu lama. Sebab, dari Sumengka dikirim sekitar lima puluh orang penduduk untuk membantu pekerjaan itu. Menjelang senja semua alang-alang dan semak belukar telah dibersihkan. Dan sepetak lahan dengan lima pondok beratap ilalang telah tegak sebagai hunian sementara. Ketika penduduk Sumengka telah kembali, Abdul Jalil meminta para pengawal Giri Kedhaton untuk mengamalkan rangkaian doa penolak godaan setan dan permohonan keselamatan, sebagaimana dilakukannya saat membuka dukuh-dukuh.

Tatkala senjakala merambat ke peraduan malam dan para pengawal Giri Kedhaton sedang khusyuk melafazkan doa-doa, kegelapan tiba-tiba menggantung di angkasa. Kabut tebal bergerak dari arah utara dan makin lama makin tebal memenuhi permukaan bumi, merayap ke lembah dan aliran sungai Brantas. Suasana mendadak berubah sangat senyap. Lengang. Seram. Mencekam. Lima pondok yang baru selesai didirikan sudah tidak terlihat karena diselimuti kabut tebal.

Di tengah suasana senyap dan mencekam itu para pengawal Giri Kedhaton mulai terlihat gelisah. Sambil melafazkan doa-doa, mereka merangkul senjata masing-masing dan saling berdesakan. Liu Sung yang sejak sore tak pernah jauh dari Raden Sahid dan Raden Sulaiman terlihat menggeser duduknya ke dekat Abdul Jalil. Beberapa kali dia menengok ke luar gubuk dengan perasaan gelisah. Dia seolah menangkap isyarat di luar sana sedang mengintai ancaman bahaya yang menggantung di angkasa bersama gumpalan awan dan kabut. Pengalaman menggetarkan di Batu Putih tiba-tiba berkelebatan memasuki relung-relung ingatannya.

Abdul Jalil sendiri terlihat tenang. Ia duduk bersila di belakang Syaikh Jumad al-Kubra sambil mengetuk-ketukkan tongkatnya ke tanah dengan mulut terkatup rapat. Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung yang melihat gerak-gerik Abdul Jalil dan suasana mencekam yang melingkupi hanya berdiam diri, meski tanda tanya menggumpal di benak mereka. Tetapi, saat kabut tebal makin bergumpal-gumpal serta menerobos ke dalam gubuk dan sayup-sayup mereka mendengar denting senjata dan hiruk-pikuk peperangan di luar pondok, mereka tak tahan lagi untuk tidak bertanya. Dengan suara tergetar Raden Sulaiman bertanya, �Paman, kami merasakan ada sesuatu yang bukan berasal dari alam kita sedang berkeliaran di sekitar kita. Kami merasa mereka seolah-olah menginginkan nyawa kita. Apakah sesungguhnya yang terjadi di tempat ini, o Paman?�

Abdul Jalil diam tak menjawab. Ia memandang ke luar pondok yang gelap gulita. Sesaat kemudian ia berkata dengan suara yang lain, �Kalian semua yang membaca doa-doa, berkumpullah ke sini!�

Bagaikan anak ayam mengerumuni induknya, para pengawal Giri Kedhaton berebut mengerumuni Abdul Jalil. Mereka tampak gentar dan ketakutan dengan wajah pucat. Wajah mereka semakin pucat manakala di tengah suara denting senjata dan hiruk pikuk peperangan itu, secara samar-samar mereka melihat kelebatan bayangan-bayangan aneka bentuk makhluk yang mengerikan di luar gubuk.

Seperti ttidak peduli dengan keadaan sekitar, Abdul Jalil membisikkan sesuatu kepada Abdul Malik Israil yang bersila di sampingnya. Setelah itu, ia berkata dengan suara lirih, �Aku beri tahukan kepada kalian bahwa apa pun yang kalian dengar dan kalian saksikan, pada hakikatnya itu adalah bayangan maya dari ablasa yang nirwujud. Jika kalian mengesankannya dengan prasangka-prasangka yang berlebih-lebihan maka mereka akan mewujud sebagaimana prasangkamu. Jangan sekali-kali kalian ikuti rasa takut yang mengeram di dalam jiwamu secara berlebihan karena itu akan menyeret khayalanmu ke arah perwujudan bayangan maya ablasa itu.�

�Apa yang harus kita lakukan, o Kangjeng Syaikh?� tanya kepala pengawal Giri Kedhaton gemetar.

�Tenangkan jiwamu! Arahkan kiblat hati dan pikiranmu hanya kepada al-Haqq yang tersembunyi di dalam relung-relung hatimu (qalb). Sesungguhnya, tidak ada Yang Wujud kecuali Dia. Allah. Sesungguhnya, mereka yang menjadi hijab antara makhluk dan al-Khaliq adalah bayangan ablasa yang nirwujud.�

Ketika para pengawal Giri Kedhaton berusaha mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada al-Haqq, Abdul Jalil membisikkan sesuatu kepada Syaikh Jumad al-Kubra. Setelah itu ia bangkit dan bergegas keluar dari gubuk. Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung buru-buru melompat mengikuti di belakangnya. Tetapi, saat mereka berada di luar pintu gubuk, mereka terhenyak kaget. Dalam jarak sekitar lima tombak di depan mereka terlihat dua sosok makhluk hitam setinggi pohon kelapa berdiri menyeringai dengan taring berkilat-kilat. Makhluk yang satu adalah laki-laki dengan rambut disanggul terikat tiga. Makhluk yang satunya lagi perempuan dengan rambut terurai hingga ke tanah. Di depan dua makhluk menyeramkan itu terlihat Ki Waruanggang dan Ki Tameng berdiri tegak seolah-olah sedang berbicara dengan mereka. Sementara di belakang dua makhluk mengerikan itu berbaris bayangan-bayangan hitam dalam jumlah beribu-ribu, seolah-olah suatu bala tentara yang ganas sedang bersiaga menyerang musuh.

Sementara itu, Abdul Jalil yang bagai tak peduli dengan keadaan sekitar yang mencekam, mengangkat tongkatnya ke atas sambil berseru, �O Prabu Yaksha dan Nyi Wuragil, penguasa bumi Tandhes dan Giripura, salam sejahtera untuk kalian berdua dan kawula kalian. Aku minta kalian berdua tidak mengganggu pekerjaan Syaikh Jumad al-Kubra, saudara kami yang membuka dukuh baru di tempat ini. Kalian berdua adalah penghuni perut bumi. Kami penghuni permukaan bumi. Kami tidak mengganggu wilayah kekuasaan kalian maka kalian pun aku minta tidak mengganggu kami.�

Dua makhluk setinggi pohon kelapa yang menyeramkan itu celingukan dan saling pandang. Setelah itu, mereka berlutut dan menyembah kepada Abdul Jalil dan berkata serentak, �Mohon ampun Padukan Syaikh, kami kemari hanya ingin melihat wilayah kami. Sebabm kami melihat kilatan cahaya petir dan kegaduhan di tempat ini. Kami tidak tahu Paduka Syaikh ada di antara orang-orang itu.�

Abdul Jalil tertawa dan berkata-kata kurang jelas sambil menggerak-gerakkan tongkatnya, seolah-olah memberi isyarat agar kedua makhluk mengerikan itu beserta bala tentaranya pergi meninggalkan tempat itu. Suasana pun mendadak hening. Sekejap kemudian terdengar suara seruling mengumandang diikuti suara gemerincing genta-genta kecil dan lengkingan-lengkingan terompet yang sahut menyahut dan sambung menyambung. Setelah itu, dua makhluk mengerikan itu lenyap dari penglihatan. Lalu terlihat kelebatan bayangan hitam berpusar-pusar mengitari tanah yang baru dibabat. Pusaran bayangan hitam itu makin lama makin cepat dan menimbulkan suara semacam gedoran pintu yang memekakkan telinga dengan diikuti oleh embusan angin. Di tengah pusaran bayangan hitam dan embusan angin itu terdengar bunyi derap kaki kuda yang mula-mula keras, makin lama makin lemah dan menjauh. Kemudian suasana menjadi hening. Sunyi. Lengang. Tak ada angin. Tak ada suara.

Ketika keadaan yang menegangkan telah berakhir, Abdul Jalil masuk ke dalam pondok, berbicara kepada Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil. Beberapa jenak kemudian ia pergi ke arah utara menuju Bangsal Sri Manganti dengan disertai Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung. Setelah melintasi bukit-bukit kapur yang terjal, menjelang dini hari mereka sudah sampai ke tempat pemujaan Sanghyang Pamunguwan, ruh pelindung Bangsal Sri Manganti, yang terletak di antara Bangsal Sri Manganti dan Ksetra Mangare. Tempat itu dikenal penduduk dengan nama pendharmaan Siddhawungu. Tanpa peduli dengan kegelapan yang melingkupi, ia masuk ke pendharmaan dan membalik letak batu lambang Sanghyang Pamunguwan sambil melafazkan doa-doa. Sebagaimana saat menutup Kabhumian di Caruban, ia berharap pendharmaan Siddhawungu akan secepatnya tersilap dari ingatan penduduk.

Setelah dari pemujaan Sanghyang Pamunguwan, tanpa istirahat sedikit pun ia dengan diikuti Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung menuju pendharmaan Siddhajangkung yang terletak di belakang Bangsal Sri Manganti. Sebagaimana di pendharmaan Siddhawungu, di situ ia membalik letak batu perlambang Sanghyang Jangkung sambil melafazkan doa-doa. Menjelang subuh ia menganggap kerjanya telah selesai. Ia meninggalkan pendharmaan Siddhajangkung menuju kediaman Pangeran Arya Pinatih yang terletak di depan Bangsal Sri Manganti. Di sana ia menjumpai sang pangeran baru saja turun dari sembahyang malam. Melihat Abdul Jalil, Pangeran Arya Pinatih sangat senang. Dia menanyakan ini dan itu tentang pembukaan Dukuh Lemah Putih. Mereka pun berbincang sampai subuh.

Ketika hari sudah siang datanglah Syaikh Jumad al-Kubra, Ki Tameng, Abdul Malik Israil, dan Ki Waruanggang menyusul. Saat itu juga Abdul Jalil meminta Ki Waruanggang secepatnya kembali ke Batu Putih. �Aku berharap Tuan bisa istiqamah menjalankan upaya membuat tawar daya shakti Ksetra Nyu Denta dan Dharma Palemahan, paling tidak selama empat puluh hari,� kata Abdul Jalil.

�Bagaimana dengan Dukuh Lemah Putih yang baru kita buka?� tanya Ki Waruanggang.

�Biarkan saudara kita, Ki Tameng, yang tinggal di situ selama empat puluh hari,� kata Abdul Jalil.

�Tetapi, bagaimana dengan asrama Rsigana Domas?� bisik Pangeran Arya Pinatih ke telinga Abdul Jalil. �Bukankah kekuatan mereka itu tidak bisa ditawarkan?� bagaimana jika mereka tetap melakukan upacara korban?�

Abdul Jalil tercenung sesaat. Setelah itu, ia berkata setengah berbisik, �Biarlah putera Tuan, Pangeran Pringgabhaya, tinggal sementara di pendharmaan Siddhajangkung sebagai sthapaka. Kami melihat pancaran kekuatan batin tersembunyi di kedalaman jiwanya. Dan sebagai putera Tuan, dia akan lebih mudah diterima oleh anggota Rsigana Domas. Selain itu, kami kira Dang Acaryya Laban yang sudah berbaiat kepada kami pun bisa membantunya. Mudah-mudahan para anggota Rsigana Domas bisa tersadarkan.�

�Dang Acaryya Laban sudah berbaiat kepada Tuan?� seru Pangeran Arya Pinatih seperti tak percaya.

�Beberapa waktu setelah kami hadir di sini, ia minta baiat kepada kami.�

�Alhamdulillah, berarti Ksetra Mangare sudah tidak punya penjaga lagi. Berarti aku tidak akan melihat lagi ibu-ibu yang menjadi gila akibat kehilangan anak-anaknya,� kata Pangeran Arya Pinatih dengan mata berkaca-kaca.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers