Rabu, 22 Maret 2017

TAJ DAN KHIRQAH SUFI

Taj dan Khirqah Sufi

      �Kalau menurut Paman sendiri, bagaimana sesungguhnya orang-orang Portugis itu?� tanya Syarif Hidayatullah denga benak masih dikuasai kecurigaan akibat cerita-cerita yang didapatnya dari orang-orang Maghribi, �Seberapa berbahayanya mereka itu bagi kita?�

�Dipandang dari mata indriawi, keberadaan orang-orang Portugis itu sungguh menakjubkan: perawakannya tinggi, besar, tegap, gagah, berkulit putih, berhidung mancung, bermata biru, berambut emas, berkumis dan berjanggut lebat, kalau berbicara suaranya keras seperti petir, semangatnya tinggi, dan tegas dalam bersikap. Ditinjau dari sisi kepribadian berdasar pikiran yang jernih diterangi burhan, mereka tidaklah berbeda dengan bangsa lain: ada yang baik dan ada pula yang tidak baik. Ada yang ramah dan ada pula yang tidak ramah. Ada yang cerdas, tapi banyak pula yang bebal. Ada yang dermawan, tetapi banyak pula yang kikir. Ada yang suka bercanda, tetapi banyak pula yang pemarah. Tapi kalau kita melihat mereka dengan pandangan mata batin maka kita akan menyaksikan mereka tidak lebih dari manusia-manusia yang menyedihkan keadaan jiwanya, karena kalbunya tertutup hijab keakuan (rayn) yang tebal dan berkarat. Mereka adalah manusia-manusia yang terhijab dari Kebenaran karena ruhani mereka tidak berkembang dewasa, sebaliknya tetap kerdil karena terperangkap oleh jiwa anak-anak (al-ghulam an-nafsiyyah) yang cenderung terseret lamunan kosong (al-umniyyah) dan angan-angan kosong (al-wahm). Di dalam perangkap jiwa anak-anaknya itu, mereka membayangkan diri secara berlebihan (thaghut) di tengah semakin kuatnya al-umniyyah dan al-wahm yang bakal memerosokkan mereka ke sumur khayalan nirwujud (al-mumtani�) tak berdasar, yang dipadati kabut keakuan yang tebal dan membutakan,� kata Abdul Jalil.

�Menyedihkan sekali mereka itu,� ujar Syarif Hidayatullah menggeleng-geleng dan mendecakkan mulut.

�Ya, begitulah mereka. Hampir semua pelaut Portugis yang kuajak bicara selalu berkhayal tentang kemuliaan diri mereka sebagai prajurit-prajurit tuhan yang gagah perkasa, agung, mulia, dan suci. Mereka semua merasa memiliki kewenangan untuk membinasakan orang-orang kafir dan menghukum pelaku bid�ah dalam agama. Mereka merasa ini dan itu yang terkait dengan kehebatan diri sebagai pejuang tuhan. Tetapi, di balik pengakuan sepihak berdasar khayalan itu, mereka sedikit pun tidak mencerminkan citra diri sebagai prajurit-prajurit tuhan yang agung, suci, dan mulia. Sebaliknya, mereka justru mencerminkan citra diri sahabat setan: dekil, jarang mandi, tidak kenal siwak, boros, suka membual, selalu mabuk, akrab dengan perzinahan, takabur, tamak, kejam, gampang membunuh, dan tidak mengorangkan orang.�

�Kami memahami perilaku orang-orang yang terhijab dari Kebenaran memang seperti itu. Tetapi dari uraian Paman tadi, pangkal keterperangkapan mereka ke dalam khayalan nirwujud (al-mumtani�) itu berawal dari jiwa anak-anak yang memerangkap mereka. Apakah sesungguhnya yang Paman maksud dengan jiwa anak-anak itu? Kenapa mereka bisa terjerat oleh jiwa itu?� tanya Syarif Hidayatullah minta penegasan.

�Jiwa anak-anak, al-ghulam an-nafsiyyah, adalah jiwa yang ditandai kecenderungan untuk memandang sesuatu berdasar ukuran anak-anak, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan. Berdasar ukuran menyenangkan dan tidak menyenangkan itulah jiwa anak-anak itu mengukur nilai baik dan buruk, halal dan haram, benar dan salah, untung dan rugi, berat dan ringan, kalah dan menang, pantas dan tidak pantas, mudah dan sulit, lurus dan bengkok. Engkau bisa membayangkan sendiri apa jadinya tatanan kehidupan suatu kaum jika sebagian besar di antara mereka itu mendasarkan nilai-nilainya pada ukuran menyenangkan dan tidak menyenangkan,� kata Abdul Jalil.

�Tentu akan terjadi perpecahan dan kekisruhan karena semua orang cenderung memilih yang menyenangkan nafsunya,� kata Syarif Hidayatullah.

�Tapi, yang tidak kalah berbahaya dari jiwa anak-anak adalah kecenderungan untuk menyeret kesadaran manusia ke lingkaran setan yang penuh dipadati pintalan al-umniyyah dan lembaran al-wahm, yang dihiasi corak dan gambar al-mumtani�, di mana ujungnya padat, pejal, dangkal, bendawi, dan menjerat keakuan. Nah, dengan jiwa anak-anak itulah orang-orang Portugis yang pernah kuajak berbicara itu memaknai segala sesuatu. Mereka selalu menggunakan ukuran menyenangkan dan tidak menyenangkan. Mereka dengan kekanak-kanakan memaknai nilai Kebenaran agama, begini: �Kebenaran adalah sesuatu yang menyenangkan, menguntungkan, membebaskan, mengasihi, mengampuni, dan melimpahi manusia tanpa batas. Lantaran itu, kami tidak mau menyembah Tuhan yang tidak menyenangkan, tidak menguntungkan, tidak membebaskan, tidak mengasihi, tidak mengampuni, tidak mau berkorban, dan tidak melimpahi kami dengan macam-macam kenikmatan. Kami menampik tuhan yang ganas, suka mengancam, suka menyiksa, dan selalu membebani manusia dengan aturan-aturan berat.�

�Lantaran mereka berpandangan kekanak-kanakan seperti itu maka saat memperbincangkan masalah Kebenaran agama, aku dan kakekmu mereka jadikan bahan tertawaan. Mereka menilai kami sebagai orang-orang konyol karena telah bertindak bodoh, mengikuti agama yang keras, kejam, memberatkan, dan menyengsarakan manusia. Mereka menertawakan kebodohan kami yang mau saja menjalankan ibadah berat dan menyengsarakan seperti berpuasa sebulan penuh, berkhitan memotong kulup kemaluan, bersembahyang lima kali sehari, berzakat membuang harta, berkurban menyembelih domba, berhaji dengan biaya sangat mahal dan risiko bahaya tinggi, tidak boleh minum anggur yang memabukkan, dilarang makan babi, dilarang melacur, dilarang membungakan uang, dilarang ini dan itu, yang semua larangan itu sebenarnya nikmat dan lezat.�

�Penilaian miring itu ternyata tidak hanya ditujukan kepada kami, orang yang berbeda agama. Pendeta-pendeta mereka sendiri pun mereka nilai sebagai kumpulan orang malas, bodoh, dan rakus. Tanpa rasa hormat sedikit pun mereka memberi sebutan-sebutan merendahkan kepada pendeta-pendeta mereka seperti �si tambun rakus�, �pencuri berkedok rahib�, atau �si rakus penimbun�. Bahkan tanpa rasa malu, mereka sambil tertawa-tawa mengaku hampir tidak pernah bersembahyang ke gereja.�

�Aneh sekali mereka itu?�

�Itulah yang aku katakan bahwa mereka adalah manusia-manusia terhijab yang terperangkap jiwa anak-anak, yaitu orang dewasa yang cenderung menilai segala sesuatu berdasar ukuran menyenangkan dan tidak menyenangkan. Mereka boleh kita golongkan sebagai orang-orang beragama yang tidak beriman sebab mereka menjadikan agama tidak lebih hanya sebagai adat istiadat kepantasan atau identitas kaum saja. Tapi, dengan ceritaku ini, engkau jangan terburu menilai semua orang Portugis berjiwa anak-anak. Sebab, yang aku ajak berbicara di Bharatnagari adalah pelaut-pelaut Portugis yang dekil, kasar, kejam, pongah, gemar mengumbar kesyahwatan, pemuja benda-benda, pendamba kelezatan duniawi, dan mengkhayal dalam keyakinan. Aku belum berkenalan dengan pendeta dan ruhaniwan mereka. Aku mengira, pendeta dan ruhaniwan mereka mestinya berbeda dengan pelaut-pelaut dekil itu,� kata Abdul Jalil.

�Jika pelaut-pelaut Portugis yang datang ke Bharatnagari seperti itu gambarannya, berarti kabar langit yang pernah disampaikan Syaikh Ibrahim al-Uryan tentang serigala dan musang yang keluar dari bulu burung gagak, sekarang ini sudah menampakkan bayangannya, Paman?�

�Engkau bebas menafsirkan kabar langit itu, o Anakku. Tetapi, ada satu hal yang wajib engkau ingat tentang sesuatu yang terkait denga kabar langit.�

�Apa itu, Paman?�

�Pertama-tama, kabar langit tidak pernah ditujukan kepada satu bangsa tertentu. Perlambang kawanan serigala dan musang bisa menunjuk pada bangsa mana saja yang memenuhi syarat di mana kabar tersebut tergenapi. Singkatnya, kawanan serigala dan musang itu bisa muncul pada bangsa mana pun di dunia.�

�Apakah mungkin kawanan serigala dan musang muncul dari antara bangsa-bangsa di negeri Timur?�

�Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, o Anakku,� kata Abdul Jalil menegaskan, �Tetapi ada satu hal yang patut engkau jadikan pedoman dalam memaknai kabar langit yang disampaikan Syaikh Ibrahim al-Uryan, yang sasmita gaibnya telah aku tangkap dengan makna yang lebih tegas.�

�Kami akan mempusakakan petunjuk Paman.�

�Sesungguhnya, di balik perlambang munculnya kawanan serigala dan musang dari balik bulu burung gagak, terselip makna hakiki yang mengabarkan tentang bakal munculnya kawanan manusia berekor, manusia-manusia sudra papa pengumpul benda-benda duniawi, pendamba kelezatan dunia, pemuja setia nafsu rendah badani, penyembah ibunda Bhumi, Sang Prthiwi, yang tersamar. Mereka akan bermunculan ke permukaan bumi dengan jumlah tak terhitung, laksana daun-daun di hutan yang berguguran ke atas tanah. Mereka dengan semangat mencintai bumi yang berkobar-kobar akan mendatangi negeri-negeri makmur dan menaklukkan bangsa-bangsa penghuninya untuk dijadikan budak. Mereka, sebagaimana para penguasa Ksetra pemuja Sang Prthiwi, akan menggunakan gelar kebesaran: Wisesa Dharani (Sansekerta: Penguasa Bhumi). Lalu, dengan gelar itu mereka akan menempatkan diri sebagai penguasa yang berwenang menguasai dan mengatur seluruh tatanan kehidupan negeri-negeri yang sudah mereka taklukkan.�

�Waspadalah terhadap mereka. Sebab, sebagai pengumpul benda-benda duniawi, pemuja bumi, pengumbar nafsu rendah badani, pendamba kelezatan duniawi, penyembah Prthiwi, mereka adalah manusia-manusia berekor pemuja bumi sejati. Maknanya, sebagai pemuja bumi sejati, manusia-manusia berekor itu akan menampik semua ajaran agama yang bersifat ukhrawi karena tidak berkaitan dengan bumi. Bagi mereka, kebenaran hanyalah sesuatu yang terkait dengan bumi. Sehingga, segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan bumi apalagi tidak bisa dinikmati di bumi ini akan mereka tampik sebagai kebohongan besar. Namun demikian, hendaknya engkau selalu waspada karena manusia-manusia berekor itu dalam usahanya merampok, menjarah, merampas, dan menguasai negeri-negeri dan bangsa-bangsa di bumi hampir selalu mengibarkan bendera agama-agama untuk mengecoh manusia yang kurang waspada.�

�Waspadalah terhadap mereka. Sebab, sebagai pemuja Sang Bhumi yang tersamar, mereka itu sejatinya masih setia melakukan upacara korban manusia untuk santapan Sang Bhumi beserta para bhuta pengikutnya. Tetapi, berbeda dengan tata cara pengorbanan lama yang mensyaratkan orang-orang sukerta sebagai bebanten untuk bhuta, mereka menetapkan syarat bagi orang-orang yang bakal dikorbankan untuk bebanten itu begini: orang-orang yang berani melawan penguasa bumi, orang-orang yang berani meminta haknya atas tanah, orang-orang yang berusaha beroleh kelimpahan hasil kemakmuran bumi, orang-orang yang berjuang membebaskan diri dari kekuasaan penguasa bumi, orang-orang yang berusaha memegahkan diri menjadi penguasa bumi seperti mereka. Korban persembahan yang dilakukan para pemuja Sang Bhumi yang tersamar itu tidaklah disembelih di ksetra-ksetra, melainkan di jalan-jalan, kerangkeng bawah tanah, tempat-tempat peradilan, dan medan perang, bahkan jumlahnya jauh lebih besar dibanding korban serupa di masa silam.�

�Sungguh mengerikan tanda-tanda kemunculan manusia-manusia berekor pemuja Sang Bhumi yang tersamar itu. Apakah ikhtiar untuk menghindari tengara mengerikan itu, Paman?�

�Ketahuilah, o Anakku, bahwa kabar langit yang disampaikan Syaikh Ibrahim al-Uryan dan telah aku tangkap sasmita di baliknya itu pada hakikatnya adalah ketetapan Sang Penentu (al-Muqtadir) yang sudah ditulis dengan Pena Mulia (al-qalam al-�ala) pada Lembaran Terjaga (al-Lauh al-Mahfuzh). Itu berarti, tidak ada satu pun makhluk yang bisa mengubah ketentuan-Nya itu. Kita, manusia, hanya bisa pasrah kepada-Nya dan berharap bagaimana kita bisa terhindar dari pengaruh jahat makhluk ciptaan-Nya. Dan khusus untuk menghindari pengaruh jahat kawanan pemuja Sang Bhumi itu, hendaknya kita memohon kepada-Nya dengan do�a yang diajarkan Rasulullah Saw.: Allahumma inni �audzubika min �adzabi jahannam wa min �adzabi qabri wa min fitnah al-mahya wa al mamati wa min fitnah al-masihi ad-dajjal.�

Seperti tidak peduli dengan keadaan genting yang mengintai Caruban, malam itu Abdul Jalil menyampaikan pelajaran khusus tentang intisari Tauhid dan sekaligus memberikan ijasah berupa taj dan khirqah sufi kepada Syarif Hidayatullah, Raden Mahdum Ibrahim, dan Raden Qasim. Dengan suara lain, ia menjelaskan tentang tiga pusaka lambang kemuliaan kaum sufi itu, �Sesungguhnya, aku tidak memiliki apa-apa yang tersisa kecuali tiga benda lambang kemuliaan para sufi. Yang pertama adalah taj, mahkota sufi, yang aku peroleh dari sahabatku Syaikh Jumad al-Kubra. Taj ini adalah pemberian dari mursyid Tarekat Kubrawiyyah Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi yang khusus diberikan kepadaku melalui Syaikh Jumad al-Kubra. Yang kedua adalah taj dan khirqah (jubah sufi bertambal-tambal) yang aku peroleh dari guru ruhaniku, Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati, mursyid Tarekat Syattariyyah di Gujarat. Beberapa waktu sebelum ia wafat, ia menitipkan taj dan khirqah itu kepada mertuaku untuk disampaikan kepadaku jika sewaktu-waktu aku kembali ke Gujarat.�

�Bagi orang awam yang cenderung melihat sesuatu dari bentuk luar, taj dan khirqah sufi tidak lebih dari kain lap yang tidak berharga. Tetapi, bagi yang memahami jalan sufi, taj dan khirqah sufi adalah lambang kemuliaan dan keluhuran. Khirqah biasanya diberikan mursyid kepada salik yang menjalani tarekat atau telah menyelesaikan jalan ruhani (suluk). Sedang taj diberikan kepada salik atau sufi lain sebagai penghormatan khusus. Tetapi, bagiku, taj yang terbaik adalah memahkotai diri dengan Kepasrahan (al-Islam) dan menenggelamkan keakuan diri pada tujuh samudera Kebenaran: al-Islam � Iman � ihsan � �ilm � al-yaqin � �ain al-yaqin � haqq al-yaqin � al-Islam; lillah � billah � ma�allah; inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un. Bagiku, khirqah terbaik adalah menyelubungi diri ke dalam liputan tujuh petala langit al-Wujud: nasut �mitsal � malakut � jabarut � lahut � hahut; lillah � billah � ma�allah; inna li Allaihi wa inna ilaihi raji�un.�

�Malam ini, taj pemberian mursyid Tarekat Kubrawiyyah Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi aku berikan kepada putera saudaraku, Raden Mahdum Ibrahim. Taj pemberian mursyid Tarekat Syattariyyag Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati aku berikan kepada Syarif Hidayatullah, cucu sahabatku, Usman Haji, Syaikh Abdul Malik Israil al-Gharnata. Khirqah aku berikan kepada putera saudaraku, Raden Qasim. Dengan taj dan khirqah ini, kalian bertiga telah beroleh ijasah yang sah dari Tarekat Kubrawiyyah dan Tarekat Syattariyyah. Tetapi, satu hal yang aku inginkan dari kalian dalam menyikapi keberadaan taj dan khirqah itu, yaitu tidak ada kewajiban bagi kalian untuk secara terang-terangan mengungkapkan jati diri sebagai mursyid Tarekat Kubrawiyyah dan Syattariyyah. Kalian boleh mengajarkan jalan ruhani dengan nama apa saja asalkan intisari ajarannya sama: Tauhid.�

�Sungguh, telah aku jelajahi negeri-negeri, telah aku kenal bangsa-bangsa, dan telah aku ketahui madzhab-madzab serta tarekat-tarekat termasyhur yang dianut manusia. Sungguh, telah aku saksikan bahwa runtuhnya keagungan dan keluhuran madzhab dan tarekat selalu diawali dari pemberhalaan nama. Orang-orang bodoh dan picik sering kedapatan memberhalakan madzhabnya dan melakukan upacara korban darah dengan menyembelih saudara seiman yang berbeda madzhab dan tarekat. Sungguh, telah aku saksikan madzhab-madzhab agung dan luhur �disucikan� oleh para penganutnya yang picik dengan darah dan kebencian. Sungguh, telah aku saksikan pula tarekat-tarekat yang suci dan mulia �disucikan� oleh pengikut-pengikut picik dengan darah dan air mata. Orang-orang picik dan bebal, dengan pengetahuannya yang dangkal tentang jalan ruhani, banyak yang tidak mampu menangkap makna hakiki di balik nama sebuah tarekat. Mereka terpaku pada nama yang mereka jelmakan sebagai mahkota kesombongan dan jubah kejahatan. Mereka tanpa sadar telah terjerat ke dalam perangkap angan-angan kosong yang mereka tebar sendiri. Mereka telah menempatkan nama tarekat sebagai citra Kebenaran Hakiki. Dan ujung dari pemberhalaan nama tarekat itu adalah pemberhalaan nama mursyid.�

�Selama perjalananku mendatangi negeri-negeri, telah sering kudapati orang-orang picik dan jahil yang saling bertarung memperebutkan jabatan mursyid sebuah tarekat. Mereka itu picik karena cakrawala kesadaran nalarnya sudah tertutupi kabut khayal yang bergumpal-gumpal. Lalu, mereka menjadi jahil karena dengan kepicikan itu mereka memberhalakan nama tarekat. Mereka menganggap nama tarekat adalah sama dan sebangun dengan Kebenaran. Lantaran itu, menurut mereka, dengan menjadi mursyid suatu tarekat maka sama dengan menjadi satu-satunya �penuntun� menuju Kebenaran. Nah, ujung dari pemberhalaan nama tarekat itu adalah pemberhalaan diri pribadi sang mursyid.�

�Sungguh memuakkan mereka itu bagiku. Dengan lidahnya yang bercabang, mereka tidak segan menghalalkan cara apa saja, termasuk menghalalkan darah saudara yang dianggap pesaing dalam memperebutkan nama. Dan, hasil dari pertarungan itu sering kali seperti ini: mereka yang muncul sebagai pemenang akan menempatkan diri sebagai mursyid, pengejawantahan Yang Maha Menunjuki (ar-Rasyid), pembimbing ruhani sempurna (kamil al-mukamil), satu-satunya penunjuk dan sekaligus penuntun suci menuju Kebenaran. Padahal, kalau dilihat dari sisi batiniah, mereka itu sejatinya hanyalah seorang mushtawif: sufi gadungan! Mursyid palsu!�

�Sungguh aku bersaksi bahwa mereka sejatinya adalah orang-orang yang berbahaya, karena membimbing banyak orang ke arah Kebenaran tanpa pengetahuan ruhani yang benar. Mereka ibarat orang-orang buta membawa obor yang diikuti orang-orang buta lain. Mereka berjalan saling berpegangan karena akan menuju tempat yang sangat jauh, yaitu negeri harapan tempat orang-orang buta dicelikkan matanya. Mereka akan berjalan melintasi tujuh lembah, tujuh hutan, tujuh gunung, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh benteng, tujuh samudera, tetapi sedikit pun mereka tidak mau bertanya kepada orang lain yang mereka jumpai di tengah perjalanan, karena mereka sangat yakin jika jalannyalah yang paling benar. Sungguh, musthawif sesat itu akan menyesatkan diri sendiri dan orang lain, seperti orang buta penunjuk jalan yang menyesatkan orang buta lainnya.�

�Untuk menghindari terjadinya pemberhalaan terhadap nama-nama tarekat yang berujung pada pemberhalaan mursyid, aku mengharap kepada guru-guru ruhani yang mempercayaiku untuk tidak terpaku pada salah satu nama tarekat. Itu sebabnya, guru-guru ruhani yang mengikuti jalanku menamai tarekat yang dipimpinnya dengan beragam nama: Akmaliyyah, Syattariyyah, Haqqmaliyyah, Khaliqiyyah, Kejawen, dan Sunda Wiwitan. Apa pun nama tarekat yang beragam itu, pada intinya semua terlarang memberhalakan nama masing-masing. Semua pengamal tarekat harus menghormati pengamal lain yang menempuh �jalan� berbeda, sebagaimana Rasulullah Saw. Menghormati Uwaisy al-Qarny.�

�Aku beritahukan kepada kalian bertiga bahwa dengan beroleh taj dan khirqah ini, sesungguhnya tugas yang kalian pikul akan lebih berat. Sebab, kalian harus mentauhidkan berbagai adat istiadat dan kepercayaan jahil yang tumbuh semula maupun yang datang bergelombang-gelombang ke Nusa Jawa ini. Kalian harus berpacu dengan waktu untuk mengajarkan Tauhid kepada penduduk Nusa Jawa seluas-luasnya, sebelum kawanan serigala dan musang yang keluar dari bulu burung gagak datang dan menyerbu kediamanmu. Tugas utama kalian adalah meneruskan pembangunan benteng Tauhid yang dasar-dasarnya sudah dirintis oleh pejuang-pejuang Tauhid terdahulu. Kalian harus mengawal benteng itu dengan sebaik-baiknya sehingga saat datang waktunya, ketika kawanan serigala dan musang yang kelaparan menghampiri benteng yang kalian kawal, kalian tidak perlu syak dan ragu lagi menghadapi mereka, karena Yang Mahatunggal (al-Ahad), Penguasa Sejati benteng, akan melindungi benteng-Nya dan sekaligus menghalau makhluk-makhluk rendah yang mendekat dengan cara-Nya yang tak terpikirkan.�

�Aku beritahukan kepada kalian, kebanyakan runtuhnya benteng Tauhid bukanlah akibat serangan kawanan musuh dari luar. Sebaliknya, dinding-dinding benteng Tauhid sering kali dibongkar dan digali dari dalam oleh penghuni-penghuninya yang bodoh dan jahil. Lantaran itu, jagalah kebersihan benteng Tauhid yang kalian kawal. Jangan biarkan tikus-tikus tanah dan tikus-tikus air bersarang dan beranak-pinak di situ. Jangan biarkan retakan atau lubang menandai dinding benteng sehingga memungkinkan bagi hewan-hewan buas dari hutan dengan leluasa masuk ke dalam. Sebab, seekor saja di antara hewan-hewan buas itu masuk benteng maka inilah yang akan terjadi: dia akan menggigit penghuni benteng yang paling lemah. Mereka yang sudah terkena gigitan hatinya menjadi biru dan beku. Lalu mereka menjadi mayat-mayat , tubuh tak bernyawa, kerangka kosong tak berjiwa (ash-shuwar al-qa�imah) yang patuh terhadap semua perintah hewan buas.�

�Jika sebagian penghuni benteng Tauhid sudah menjadi mayat-mayat, tubuh-tubuh tak bernyawa, kerangka kosong tak berjiwa yang berkeliaran menakut-nakuti manusia seperti kawanan hantu, maka kawanan serigala dan musang akan datang menyerbu benteng dengan dipimpin rajanya. Mayat-mayat di dalam benteng akan membukakan gerbang. Atau, meruntuhkan dinding benteng dari dalam. Atau, membuat kekisruhan di dalam benteng hingga para penghuninya lari ke luar. Atau, menjadi penunjuk jalan bagi kawanan serigala melalui terowongan-terowongan yang dibuat tikus-tikus. Jika para serigala dan musang sudah menguasai benteng maka para penghuni benteng yang masih hidup akan mereka mangsa dan sisanya akan mereka jadikan budak. Harta benda dan segala jenis makanan simpanan di dalam benteng akan mereka jarah dan mereka usung ke negeri serigala. Lalu benteng itu akan dirajai oleh raja serigala. Lalu peraturan hukum di dalam benteng pun diganti menjadi peraturan serigala. Lalu, manusia-manusia penghuni benteng akan hidup menderita berkepanjangan.�

�Jika sebuah benteng Tauhid sudah dirajai serigala dan diatur dengan hukum serigala, maka sudah tidak bergunalah benteng itu sebagai tempat berlindung bagi kaum beriman yang bertauhid. Sebab, benteng itu sudah tidak pantas lagi disebut benteng Tauhid, persemayaman Yang Mahabenar (al-Haqq), Yang Tunggal (al-Ahad), Pemilik Kemuliaan dan Kesucian (dzul jalali wa al-ikram) karena penguasa dan penghuninya tidak lagi menebarkan rahmat bagi alam tetapi malah menebarkan kerusakan dan malapetaka dan kesengsaraan bagi makhluk sekitarnya. Lantaran itu, Dia, Yang Mahakuasa (al-Muqtadir), Yang Mahaperkasa (al-Jabbar), Yang Maha Meberi Bahaya (adh-Dharr), Yang Maha Meruntuhkan (al-Khafidh), Yang Maha Menghinakan (al-Mudzill), akan menghancurkan benteng celaka itu dengan cara mengirimkan makhluk-makhluk buas dan mengerikan. Makhluk-makhuk buas dan mengerikan itu akan bertarung dengan serigala-serigala dan musang-musang penguasa benteng. Di tengah pertarungan antarmakhluk buas itu, bertumbanganlah sisa-sisa manusia penghuni benteng seperti buah busuk berguguran dari pohon.�

Sebagaimana lazimnya mendengar wejangan ruhani seorang guru ruhani, Syarif Hidayatullah, Raden Mahdum Ibrahim, dan Raden Qasim tidak sedikit pun bertanya. Mereka hanya mendengar dan merenungkan makna dari ucapan-ucapan yang mereka dengar. Baru setelah Abdul Jalil usai menyampaikan wejangan, Syarif Hidayatullah bertanya tentang latar dianugerahinya mereka bertiga dengan taj dan khirqah sufi. Dengan suara menahan kegetiran dia bertanya, �Apakah Paman menganugerahi kami bertiga dengan taj dan khirqah ini dengan maksud agar kami pergi meninggalkan Caruban dan menjadi guru suci, susuhunan, di tempat yang jauh dari Caruban? Apakah itu berarti kami tidak perlu lagi melakukan perlawanan terhadap pasukan Galuh Pakuwan yang akan menyerbu kuta?�

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara lain ia berkata, �Engkau masih belum melepaskan diri dari prasangka (zhan), o Anakku. Engkau masih dicekam oleh keraguan dalam menangkap sasmita Asma�, Af�al, dan Shifat-Nya karena keterlibatan akal pikiranmu yang kuat. Padahal, dengan bersabar menggunakan piranti kalbu, yang menjadi takhta bagi penglihatan batin, engkau akan bisa menangkap sasmita itu. Bukanlah selama ini engkau sudah terbiasa menggunakan penglihatan mata batin? Kenapa sekarang tiba-tiba terpejam kembali?�

�Maafkan kami, Paman. Kami bingung akibat datangnya kabar buruk yang bertubi-tubi dari medan tempur. Kami tercekam dengan akal dan pikiran kami sehingga melalikan kalbu kami,� kata Syarif Hidayatullah mengiba.

�Bukankah aku telah mengajarkan engkau tentang bagaimana dengan al-ism al-�azham yang paling rahasia, dan pengetahuan rahasia tentang Shifat dan Af�al-Nya, kita, manusia, bisa memohon kepada Dia, Tuhan Yang Mahaperkasa (al-Jabbar), Yang Mahakuat (al-Qawiy), Yang Maha Melindungi, Yang Maha Membinasakan (al-Mumit), Yang Maha Menyiksa (al-Muntaqim), Yang Maha Memberi Bahaya (adh-Dharr), Yang Maha Meruntuhkan (al-Khafidh), untuk mengerahkan bala tentara-Nya (jundullah) yang gaib? Apakah engkau sudah melupakan itu semua?�

�Kami merasa bersalah, Paman. Kami bingung karena secara mendadak diserahi tugas menggantikan kedudukan ramanda khalifah. Dan tanpa kami sangka-sangka, tahu-tahu wilayah kami diserbu musuh dalam jumlah banyak. Sungguh, kami bingung dan sejauh ini kami hanya menggunakan naluri dan akal pikiran saja dalam memecahkan masalah.�

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara ditekan ia berkata lantang, �Sekarang kalian berdua, Syarif Hidayatullah dan Raden Qasim, berdoalah kepada-Nya dengan al-ism al-�azham yang paling rahasia. Satukan kiblat hati dan pikiran kalian hanya kepada-Nya. Resapi kerahasiaan Shifat dan Af�al-Nya sampai kalian berdua merasakan kehadiran-Nya. Lalu, jika kalian sudah �sampai�, mintalah Dia agar mengirimkan bala tentara-Nya untuk memporak-porandakan pasukan Galuh Pakuwan.� Kemudian, dengan isyarah, ia mengajak Raden Mahdum Ibrahim meninggalkan Ndalem Pakungwati, menembus kegelapan malam yang diselimuti kabut tebal.

Read More ->>

DICEKAM BAYANG-BAYANG MUSUH

Dicekam Bayang Bayang Musuh

     Usai menitipkan istri dan anaknya kepada Nyi Halimah, janda Syaikh Datuk Kahfi, tanpa peduli hujan deras yang sedang mengguyur bumi, Abdul Jalil menembus kegelapan malam dengan sebatang obor yang ditudungi daun jati menuju kuta Caruban. Malam itu terasa sangat lengang dan mencekam. Kegelapan melingkupi permukaan bumi. Hanya sesekali lidah petir terlihat berkeredap menerangi alam dengan cahayanya. Tidak satu pun bayangan makhluk terlihat di jalan. Kuta Caruban telah menjelma jadi kota mati. Tidak setitik pun cahaya pelita terlihat dari rumah-rumah penduduk. Jalan-jalan yang membelah kuta hingga ke kawasan sekitar kraton pun terlihat gelap gulita dan sepi. Kegelapan makin hitam ketika obor yang dipegang Abdul Jalil padam karena kehabisan minyak dan terkena guyuran hujan.

Dengan berpedoman pada kilatan cahaya halilintar yang sesekali menyambar, Abdul Jalil menelusuri lorong-lorong kuta yang sepi itu. Meski gelap dan tidak melihat satu pun makhluk di jalanan, ia mengetahui jika di tiap-tiap bangunan sesungguhnya sedang bersiaga prajurit dan penduduk yang siap menyerang siapa saja orang yang dicurigai sebagai musuh. Itu sebabnya, ia memaklumi kenapa kawasan di sekitar kraton pun lampu-lampunya dipadamkan. Satu-satunya bangunan yang terlihat agak terang disinari cahaya pelita yang dinyalakan di beberapa sudut ruangan adalah Ndalem Pekalifahan. Seorang prajurit dengan tubuh menggigil kedinginan menyambut Abdul Jalil dengan penuh hormat dan memberi tahu bahwa khalifah Caruban, Sri Mangana, saat itu tidak berada di Ndalem. �Sudah dua bulan lebih Paduka Yang Mulia Khalifah Caruban pergi meninggalkan Ndalem Pekalifahan.�

�Apakah Paduka Khalifah tidak memberi tahu pergi ke mana?� tanya Abdul Jalil minta penjelasan.

�Kabarnya, beliau ke Gunung Panawarjati, Kangjeng Syaikh.�

�Selama beliau pergi, siapa yang menggantikan kedudukan khalifah?� tanya Abdul Jalil.

�Yang Mulia Syarif Hidayatullah, wali nagari Gunung Jati.�

�Di mana dia sekarang? Aku tidak melihatnya.�

�Yang Mulia Syarif Hidayatullah tidak tinggal di Pekalifahan, Kangjeng Syaikh. Beliau tinggal di Ndalem Pakungwati.�

�Di Ndalem Pakungwati?� tanya Abdul Jalil heran.

�Mohon maaf, apakah Kangjeng Syaikh belum tahu jika Yang Mulia Syarif Hidayatullah sudah menjadi menantu Paduka Khalifah?�

�O begitu,� gumam Abdul Jalil singkat dan langsung berpamitan ke Ndalem Pakungwati. Di sana ia mendapati Syarif Hidayatullah sedang berbincang-bincang dengan Raden Mahdum Ibrahim dan adiknya, Raden Qasim. Tampaknya mereka bertiga sedang membincang rencana menangkis serbuan pasukan Galuh Pakuwan ke kuta Caruban.

Ketika Abdul Jalil mengucap salam dari luar pendapa, Syarif Hidayatullah yang sangat mengenali suaranya buru-buru menghambur keluar menyambutnya. Kemudian, tanpa diminta, dengan wajah diliputi ketegangan dia memberi tahu Abdul Jalil tentang keadaan genting yang sedang mencekam Caruban, terutama kekalahan demi kekalahan yang dialami pihak Caruban di medan tempur. Namun, ia merasa heran sebab Abdul Jalil kelihatan sangat tenang seolah-olah tidak merasakan suasana genting dan bahkan seolah tak peduli. Dia makin tidak paham ketika Abdul Jalil dengan nada dingin malah bertanya tentang kabar terakhir dari medan tempur.

�Laporan terakhir yang kami terima sore tadi, induk pasukan Caruban yang berpangkalan di gunung Gundul telah dipermalukan musuh. Para tetunggul Caruban kalah semua dalam adu kesaktian denga tetunggul-tetunggul Galuh Pakuwan. Malahan, pasukan Caruban sekarang ini sedang dikepung oleh berpuluh ribu pasukan Galuh Pakuwan di puncak gunung Gundul,� ujar Syarif Hidayatullah berharap Abdul Jalil peduli.

�Di gunung Gundul?� gumam Abdul Jalil tetap dingin. �Kalau pasukan Caruban kalah, berarti dua tiga hari lagi pasukan Galuh Pakuwan sudah menyerbu kuta.�

�Kelihatannya demikian, Paman. Barusan tadi kami berunding untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi kemungkinan serbuan Galuh Pakuwan ke kuta. Kami sepakat, besok akan memerintahkan para gedeng untuk membawa masuk seluruh kekuatan mereka ke dalam kuta. Kita akan bertempur habis-habisan di dalam kuta,� kata Syarif Hidayatullah mengamati perubahan wajah Abdul Jalil yang tetap tidak berubah sedikit pun.

Abdul Jalil diam. Ia tahu dirinya sedang diamati. Ia sengaja tidak menunjukkan gejolak perasaan karena ia tidak ingin suasana menjadi lebih tegang. Ia bahkan tidak berkomentar sedikit pun tentang kabar kekalahan telak pasukan Caruban di gunung Gundul, sebaliknya ia mengalihkan arus pembicaraan dengan menanyakan hal lain. �Di Kalisapu tadi aku bertemu Ki Gedeng Jatimerta. Menurutnya, Galuh Pakuwan bersekutu dengan Talaga. Benarkah itu?�

�Sebenarnya bukan bersekutu, Paman. Sebab, Talaga sudah kita taklukkan lebih dulu. Sekarang ini wilayah Talaga sudah disatukan dengan wilayah Caruban. Yang benar, sisa-sisa pasukan Talaga yang membangkang dan tidak mau tunduk kepada kita telah bergabung dengan Galuh Pakuwan. Sisa-sisa pasukan itu dipimpin Dewi Tanduran Gagang, puteri Prabu Pucuk Umun,� papar Syarif Hidayatullah.

�Talaga sudah takluk? Kapan perangnya?� Abdul Jalil mengerutkan kening.

�Kira-kira tiga bulan silam, Paman.�

�Siapa yang memimpin pasukan Caruban?� tanya Abdul Jalil ingin tahu.

�Dalam pertempuran dengan Talaga, kami ditunjuk ramanda khalifah sebagai senapati.�

�Ramanda khalifah?� gumam Abdul Jalil menegakkan kepala seolah-olah terkejut. �Kenapa engkau menyebut yang Dipertuan Caruban dengan sebutan ramanda khalifah?�

�Maaf, Paman. Kira-kira tiga bulan silam kami diambil menantu oleh ramanda khalifah, setelah kami memenangkan perang dengan Talaga.�

�Dinikahkan dengan Nyi Mas Pakungwati?�

�Benar, Paman.�

Abdul Jalil tertawa. Syarif Hidayatullah menunduk jengah. Lalu seperti sengaja menggoda, Abdul Jalil tiba-tiba menyinggung tentang pembicaraannya dengan Ki Gedeng Jatimerta di Kalisapu sore tadi, terutama yang terkait dengan Nyi Mas Rarakerta, anak perempuannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah istri Syarif Hidayatullah. �Tidakkah engkau ingat pada Nyi Mas Raramerta, anak perempuan Ki Gedeng Jatimerta, yang kuangkat sebagai anak untuk kujadikan saudari anak perempuanku Zainab?�

�Kami tentu ingat, Paman,� sahut Syarif Hidayatullah dengan suara bergetar.

�Bukankah engkau pernah menikahinya?�

�Itu benar, Paman,� Syarif Hidayatullah menunduk dengan wajah merah.

�Seingatku, ketika engkau beriktikaf di �Gunung Jati� pada malam tanggal 14 Rabiul Awal, anak sulungmu dari Nyi Mas Rarakerta lahir. Lalu, Ki Gedeng Jatimerta memberi nama bayi itu Bung Cikal, yang bermakna anak sulung yang lahir pada waktu riadho pada malam 14 Rabiul Awal?�

�Kami pasti tidak akan melupakan itu, Paman.�

�Selain membicarakan puterinya, Ki Gedeng Jatimerta sore tadi juga membicarakan Bung Cikal,� kata Abdul Jalil datar. �Katanya, dia sudah menjelang dewasa dan sering menanyakan ayahnya. Ki Gedeng Jatimerta khawatir, dengan kedudukanmu yang semakin tinggi engkau akan melupakan puteri dan cucunya, sekalipun ia tahu pernikahanmu dengan puterinya itu bersifat sirri. Tapi, aku sudah memberi jaminan kepadanya bahwa engkau akan mengambil langkah bijaksana dalam masalah itu. Aku katakan kepadanya bahwa apa pun kenyataannya, Nyi Mas Rarakerta adalah saudari puteriku dan Bung Cikal adalah cucuku juga, karena itu aku tadi berjanji akan membicarakan masalah ini denganmu.�

�Masalah itu tidak perlu dibuat rumit. Kami pasti tidak akan mengingkari darah daging kami, Paman.�

Abdul Jalil tertawa dan berkata, �Itu keputusan bijaksana. Perlu engkau ingat, jika engkau bisa melampaui ujian terberat jalan ruhani dalam wujud istri-istri dan anak-anakmu maka maqam ruhanimu akan melesat cepat tak tertandingi,� lalu ia menepuk bahu Syarif Hidayatullah memberi penguatan.

�Kami akan pusakakan petunjuk Paman.�

Abdul Jalil tersenyum. Ia memahami benar kedudukan Syarif Hidayatullah yang cukup sulit itu. Ia paham, betapa keberadaannya sebagai pemuda berdarah Arab-Bani Israil telah menimbulkan masalah tersendiri yang tidak gampang penyelesaiannya. Sejak awal membawa Syarif Hidayatullah ke Caruban, ia sudah menangkap sasmita bahwa cucu sahabatnya itu akan tumbuh menjadi laki-laki muda yang akan sering menuai masalah rumit karena akan digandrungi banyak perempuan. Dan ternyata ia tidak salah, karena Syarif Hidayatullah memang tumbuh menjadi laki-laki muda yang serba �paling� di lingkungannya: paling tinggi perawakannya, paling tampan, paling gagah, paling mancung hidungnya, paling terang kulitnya, paling cerdas pemikirannya, paling luas wawasannya, paling baik pengetahuan agamanya, dan paling bagus akhlaknya dibanding seumumnya anak-anak muda Caruban dan Sunda, yang umumnya berperawakan kecil, berkulit gelap, berhidung pesek, sempit wawasan, gampang tersinggung, agak malas, dan jarang sekali memiliki pengetahuan agama mendalam. Sejak awal ia sudah mewanti-wanti cucu sahabatnya itu agar berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil langkah, terutama dalam menentukan keputusan memilih istri-istri dan mertua, mengingat cukup banyak orang berkedudukan yang ingin �memperbaiki� keturunan mereka dengan cara mengambilnya sebagai menantu.

Ketika malam semakin larut dan hujan mulai reda, suasana di Ndalem Pakungwati sangat sepi. Tidak terdengar suara apa pun kecuali titik-titik air yang jatuh dari atap ke atas tanah. Setelah suasana sepi itu berlangsung beberapa lama, Abdul Jalil memecahnya dengan sebuah pertanyaan. �Kenapa bisa terjadi perang berurutan seperti ini? Kenapa setelah pecah perang dengan Talaga tiba-tiba pecah perang dengan Galuh Pakuwan? Siapa sesungguhnya yang memulai perang?�

�Kami sendiri tidak pernah menduga jika peperangan bisa terjadi begitu cepat dan berturut-turut, Paman,� papar Syarif Hidayatullah mengungkap latar di balik peperangan. �Yang kami tahu, perang dengan Talaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Pangeran Salingsingan. Kabarnya, mereka dihasut Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang Talaga itu didalangi oleh Yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.�

�Berarti Caruban tidak menyerang lebih dulu kan?�

�Justru tidak ada seorang pun penduduk Caruban yang menduga jika Talaga bakal menyerang,� ujar Syarif Hidayatullah menuturkan penyerbuan Talaga. Seluruh penduduk di perbatasan selatan terkejut mendengar kabar serbuan pasukan Talaga. Mereka lebih terkejut ketika mendapati pasukan Talaga sudah masuk ke gunung Keling di utara Cigugur, tidak lama setelah mereka memukul mundur Tumenggung Kertanegara dan pasukannya di gunung Sirah. Kepanikan pun terjadi ketika menyaksikan pasukan Talaga dengan gerak cepat menerobos ke utara, menjarah dan membakari desa-desa yang mereka lewati. Penduduk Gandasuli, Kalapa Gunung, Sadamantra, Sambawa, dan Bojong berhamburan keluar rumah. Lalu, beramai-ramai mereka meninggalka desanya yang sudah menjadi lautan api.

�Dengan serbuan kilat ke utara, rupanya pasukan Talaga akan menyerang langsung ke kuta Caruban. Namun, perlawanan penduduk yang dipimpin para gedeng mulai dilakukan di Bojong. Penduduk Gandasuli, Kalapa Gunung, Sadamantra, Sambawa, dan Bojong bergabung dengan penduduk Sangkanurip, Karang Muncang, Naggerang, Pakembangan, dan Linggasana melakukan penghadangan dan perlawanan. Mereka berusaha keras menahan gerak laju musuh sehingga pasukan Talaga tertahan di Sindangkasih.

Kabar penyerbuan pasukan Talaga yang mendadak itu sangat mengejutkan khalifah Caruban, Sri Mangana. Saat itu tidak ada satu pun di antara tetunggul Caruban yang berada di kraton kecuali Syarif Hidayatullah yang kebetulan menghadap untuk melaporkan perkembangan gerakan dakwah di tanah Banten. Akhirnya, khalifah Caruban mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai senapati dan menitahkannya untuk menghadapi serbuan Talaga yang tak terduga-duga itu. �Alhamdulillah, kami dapat mengalahkan pasukan Talaga tanpa perlawanan. Rupanya, pihak Talaga waktu itu sudah terjepit. Sebab, bersamaan waktu dengan kedatangan pasukan kami ke medan tempur, dari arah selatan terlihat pasukan Kuningan bergerak gegap-gempita. Merasa tidak bakal menang menghadapi dua pasukan besar, Pangeran Salingsingan akhirnya menyerah kepada kami. Dia bahkan menyatakan keinginan untuk memeluk agama Rasulullah Saw.,� papar Syarif Hidayatullah.

Abdul Jalil diam sambil mengelus-elus janggutnya. Setelah itu ia berkata, �Syukurlah kalau ceritanya seperti itu. Yang penting, jangan sampai pihak kita menyerbu lebih dulu tanpa alasan karena Islam melarang memulai penyerbuan. Apakah dalam peperangan sekarang ini Galuh Pakuwan juga menyerang Caruban lebih dulu?�

�Benar, Paman,� Syarif Hidayatullah mengangguk dan menuturkan latar penyerbuan Galuh Pakuwan. Tidak lama setelah kekalahan Talaga yang ditandai masuk Islamnya putera mahkota, Pangeran Salingsingan, pihak Galuh Pakuwan menyiapkan kekuatan besar-besaran untuk menggempur Kraton Caruban. Menurut perkiraan, lebih dari 200.000 orang pasukan disiagakan untuk melumatkan kuta Caruban. Para panglima, manggalayudha, perwira, ksatria Rajagaluh, dan tetunggul Talaga yang masih sakit hati dengan Caruban, dengan sisa-sisa pasukan yang setia mendukungnya, bergabung ke dalam pasukan Galuh Pakuwan. Itu sebabnya, ungkap Syarif Hidayatullah, di antara tetunggul Galuh Pakuwan terdapat pula pendekar-pendekar tangguh yang pernah terlibat perang di Rajagaluh dan Talaga, seperti Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Patih Suradipa, Ki Dipati Kiban, Ki Gedeng Leuwimunding, Celeng Igel, Dalem Ciomas, Ki Dipasara. Bahkan Dewi Tanduran Gagang, puteri Prabu Pucuk Umun, diunggulkan sebagai manggala puteri yang siap dihadapkan dengan pahlawan puteri Caruban: Nyi Mas Gandasari.

Tidak berbeda dengan saat terjadinya serbuan pasukan Talaga, sewaktu para pahlawan Galuh Pakuwan membawa pasukan besarnya masuk ke wilayah Caruban, tidak ada seorang pun di pihak Caruban yang menduga negerinya bakal diserang mendadak oleh musuh. Sri Mangana sendiri, selaku khalifah Caruban, saat itu sedang tidak berada di Caruban karena melakukan perjalanan ruhani ke �Gunung Panawarjati� untuk mengobati jiwanya yang terluka ketika berburu di padang perburuan ruhani.

Saat diserbu pasukan Galuh Pakuwan, penduduk yang tinggal di perbatasan, terutama penduduk Nusaherang, melakukan perlawanan di bawah komando gedengnya masing-masing. Namun, kekuatan besar Galuh Pakuwan bukanlah tandingan penduduk. Dalam waktu singkat, penduduk Nusaherang dibuat kocar-kacir oleh pasukan Galuh Pakuwan. Setelah itu, tanpa membuang waktu, pasukan Galuh Pakuwan menerobos cepat ke utara dan menghancurkan Kadugede. Lalu, mereka menerjang terus ke Kuningan.

Rupanya, para tetunggul Galuh Pakuwan sudah memperhitungkan kekuatan wali nagari Kuningan yang merupakan penguasa paling disegani di wilayah perbatasan selatan. Dalam pertempuran singkat, para tetunggul Galuh Pakuwan merencanakan sebuah serangan kilat sebelum wali nagari Kuningan mendengar kabar kekalahan penduduk Nusaherang dan Kadugede. Demikianlah, melalui sebuah serangan kilat yang dilakukan secara besar-besaran, Kadipaten Kuningan dapat dikuasai. Wali Nagari Kuningan yang panik dan berusaha memimpin pasukan tidak dapat mempertahankan kadipatennya dari serbuan musuh. Pasukan Kuningan yang kurang dari 2.000 orang itu dalam waktu singkat lari tunggang-langgang meninggalkan kadipaten.

Wali nagari Kuningan sendiri dalam serbuan itu dengan susah payah berhasil lolos dan lari ke kraton untuk melaporkan peristiwa itu kepada khalifah. Namun, Sri Mangana saat itu sedang tidak berada di tempat. Karena saat itu yang ditunjuk mewakili Sri Mangana adalah Syarif Hidayatullah, maka ia memutuskan untuk mengangkat wali nagari Kuningan sebagai manggalayudha Caruban didampingi Wali Nagari Gegesik Ki Suranenggala. Lalu, dua orang tetunggul Caruban itu berangkat ke medan tempur untuk memimpin pasukan dan satuan-satuan perlawanan yang dipimpin para gedeng dan pemuka penduduk. �Tetapi berdasar laporan yang kami terima, dalam pertempuran di Kasturi, pasukan Caruban dipukul mundur. Mereka kemudian bertahan di gunung Gundul. Laporan sore tadi memberitakan semua tetunggul Caruban telah dikalahkan musuh. Bahkan, laporan terakhir barusan mengabarkan seluruh pasukan Caruban sudah terkepung di puncak gunung. Wali nagari Kuningan sampai sekaran belum diketahui nasibnya,� papar Syarif Hidayatullah.

�Menurut perkiraanku, kabar kepergian Paduka Khalifah ke �Gunung Panawarjati� itulah yang dijadikan alasan utama oleh Yang Dipertuan Galuh Pakuwan untuk menyerang Caruban secara mendadak. Aku mengira, Prabu Surawisesa memaknai �Gunung Panawarjati� sebagai obat atau jampi-jampi sehingga menduga Yang Dipertuan Caruban sesungguhnya sedang sakit. Prabu Surawisesa tentunya sudah tahu bahwa kekuatan utama Caruban terletak di genggaman tangan saudaranya, yaitu Paduka Khalifah Sri Mangana. Nah, dengan kepergian Paduka Khalifah selama dua bulan lebih, maka Prabu Surawisesa menyimpulkan kalau kekuatan Caruban sedang lemah dengan kemungkinan sakitnya Sri Mangana tidak terobati,� kata Abdul Jalil menyimpulkan.

�Kami kira memang seperti itu jalan pikiran Prabu Surawisesa, Paman. Sebab, sepekan setelah kepergian ramanda khalifah, tiba-tiba tersiar kabar bahwa Yang Dipertuan Caruban sedang sakit keras. Lalu, pada pekan ketiga tersiar kabar jika ratu Caruban mangkat. Bahkan pada pekan keempat, ketika pasukan Galuh Pakuwan sudah menyerang, hampir setiap telinga penduduk Caruban mendengar kasak-kusuk yang menyatakan bahwa Sri Mangana sesungguhnya telah meninggal akibat dibunuh oleh menantunya, Wali Nagari Gunung Jati, orang asing yang berambisi merebut takhta Caruban. Serbuan Galuh Pakuwan ke Caruban, menurut kasak-kusuk itu, sesungguhnya dilakukan untuk belapati dan sekaligus menyelamatkan takhta Caruban dari tangan orang asing,� kata Syarif Hidayatullah.

Abdul Jalil tertawa dan menggelengkan kepala sambil berkata, �Aku sangat yakin, fitnah keji itu pasti keluar dari kegelapan relung-relung jiwa Rsi Bungsu. Mahasuci Allah, Zat Yang Mencipta makhluk sekelam Rsi Bungsu.�

�Tidakkah engkau mengetahui keberadaan Nyi Mas Gandasari, o Anakku?�

�Itulah yang membuat kami kebingungan, Paman. Nyi Mas Gandasari bersama ibunda ratu ikut mengiringi ramanda khalifah ke �Gunung Panawarjati�. Sehingga, di saat genting ini, ketika pendekar setangguh Nyi Mas Gandasari dibutuhkan untuk melawan Galuh Pakuwan, justru dia tidak berada di tempat. Kami pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapi musuh karena ibarat burung yang patah kedua sayapnya, kami hanya bisa melihat kehadiran musuh tanpa bisa melawan. Kami hanya berharap terjadi keajaiban. Sungguh, kami tidak melihat kemungkinan untuk menang melawan pasukan Galuh Pakuwan. Kami hanya mampu menjalankan siasat terakhir: bertempur habis-habisan menghadapi musuh di kuta Caruban,� kata Syarif Hidayatullah kurang bersemangat.

�Kenapa engkau tiba-tiba menjadi lemah, o Anakku?� tukas Abdul Jalil dengan suara ditekan tinggi. �Sungguh, aku meminta kepadamu lebih untuk tegar menghadapi masalah seperti ini. Jangan sekali-kali di tengah keterdesakanmu, engkau dilemahkan oleh bayang-bayang musuhmu. Janganlah ketidakhadiran pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar di sekitarmu membuatmu goyah. Sungguh, aku meminta kepadamu untuk tidak sekali-kali menjadikan paduka khalifah, Nyimas Gandasari, dan tetunggul Caruban yang lain sebagai hijab bagi-Nya. Sebab Dia, Rabb al-Arbab, adalah Zat Yang Mahakuasa, Yang Berhak menentukan kalah dan menang pihak yang berperang tanpa mensyaratkan keterlibatan ini dan itu dari makhluk-Nya. Ingat-ingatlah itu, o Anakku, janganlah kiranya engkau sampai terpeleset pada jebakan angan-angan dan akal pikiranmu. Tenangkan akal pikiranmu. Gunakan piranti kalbumu untuk menangkap nuansa kekuatan dan kekuasaan-Nya yang tersembunyi di balik hiruk-pikuk masalah yang bagaimana pun hebatnya. Engkau sudah berusia seperempat abad lebih. Engkau harus mandiri. Engkau harus percaya diri dan tidak bersandar kepada siapa pun di antara manusia.�

Syarif Hidayatullah merasakan tersambar petir mendengar kata-kata Abdul Jalil. Dia menunduk dengan muka merah. Dia merasa telah melakukan kesalahan langkah selama rentang waktu menghadapi serbuan Galuh Pakuwan, yaitu kurang percaya diri dan terlalu menggunakan kekuatan nalar untuk mengatasi setiap masalah yang muncul. Dia sadar, selama ini sangat bergantung pada orang-orang kuat di sekitarnya, seperti Sri Mangana. Dan yang paling parah, dia telah melalaikan piranti kalbu sebagai senjata paling ampuh. Namun, dia juga sadar betapa di tengah suasana yang genting ini, ketika pasukan musuh sudah di depan hidung, sangatlah sulit untuk buru-buru meninggalkan piranti akal pikiran lalu menggunakan piranti kalbu yang butuh ketenangan lebih. Kenyataan itu membuat hatinya semakin diliputi kegundahan.

Abdul Jalil yang menangkap kegundahan Syarif Hidayatullah akibat diombang-ambing oleh alam pikirannya, berusaha meredakan suasana dengan mengalihkan pembicaraan ke masalah Syaikh Abdul Malik Israil, kakek Syarif Hidayatullah, yang melakukan perjalanan ke Bharatnagari bersamanya. Diingatkan tentang kakeknya, Syarif Hidayatullah terhenyak dan kemudian dengan terburu-buru menanyakan perihal kakeknya, �Kami tidak melihat kakek kami bersama Paman. Di manakah beliau sekarang ini?�

�Terakhir aku bersama kakekmu di Kandesh,� kata Abdul Jalil datar. �Tetapi setelah berziarah ke makam gurunya, Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy, kami berpisah. Aku ke Gujarat menjemput istri dan anakku, kakekmu menemui keluarga Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy di pinggiran kota Kandesh.�

�Ke mana kira-kira kakek kami pergi setelah dari Kandesh, Paman?�

�Aku tidak tahu pasti ke mana dia pergi. Sebelum berpisah dia mengatakan akan berkunjung ke Cochizha. Katanya, dia mau mengingatkan beberapa keluarga Bani Israil dan pemukim Cina di Cochizha. Keluarga-keluarga Bani Israil itu dikenal penduduk setempat sebagai lintah darat besar. Sementara pemukim Cina di Cochizha dikenal sebagai pedagang yang curang, kikir, kelewat takabur, dan hanya berpikir tentang keuntungan saja sampai-sampai mereka itu membahayakan saudaranya sesama muslim di negeri Cina. Menurut kakekmu, dia akan mengingatkan keluarga-keluarga Bani Israil itu agar tidak beternak ular riba karena hal itu akan mendatangkan murka Tuhan. Pemukim-pemukim Cina Cochizha juga akan diingatkan agar menyadari bahwa tindakan mereka tidak saja akan membuat murka kaisar Cina tapi juga akan mendatangkan murka Tuhan,� kata Abdul Jalil.

�Apakah peringatan kakek kami itu diindahkan?�

�Aku tidak tahu pasti. Tetapi, kira-kira tiga pekan lalu, saat aku di Malaka, aku mendapat kabar jika kota Cochizha baru saja diserbu pasukan Kozhikode yang dipimpin Laksamana Kunjali Marakkar. Kota Cochizha dijarah. Persekutuan dagang antara raja Cochizha dan orang-orang Portugis, sekutunya, lari tunggang-langgang meninggalkan kota dan bersembunyi di pulau Vypin. Menurut dugaanku, dalam serbuan itu rumah keluarga Bani Israil dan pemukim Cina di kota Cochizha tentunya ikut dijarah kalau tidak malahan ada di antara mereka itu yang tewas terbunuh,� kata Abdul Jalil.

Syarif Hidayatullah menarik napas panjang dan menunduk teringat pada kakek yang dicintainya. Lalu dengan suara bergetar dia bertanya, �Apakah kakek kami tidak meninggalkan sesuatu pesan untuk kami?�

�Sebelum berpisah, Usman Haji, sahabatku terkasih itu memang berpesan khusus untuk cucunya. Pertama-tama, ia mewanti-wanti agar cucunya tetap teguh dan tak tergoyahkan menjadi pejuang Tauhid. Dia mengharap agar di dalam menghadapi kehidupan yang bakal dilanda prahara perubahan dahsyat, cucunya mewaspadai dan tidak gampang percaya dengan segala sesuatu yang ditawarkan para pecinta tubuh dan pendamba kenikmatan dunia, yang digambarkan kakekmu dengan perlambang kawanan serigala dan musang,� kata Abdul Jalil.

�Kami akan pusakakan pesan kakek kami. Tapi, apakah perlambang kawanan serigala dan musang itu menunjuk pada keberadaan orang-orang Portugis?�

�Engkau bebas menafsirkan pesan kakeku, o Anakku.�

�Apakah itu berarti, kakek kami telah membenarkan kabar yang disampaikan orang-orang Maghrib bahwa Portugis adalah bangsa perampok yang akan menjarah kekayaan bangsa-bangsa muslim dan menyebarkan kesesatan di muka bumi?�

�Aku kira pesan kakekmu tidak tegas-tegas menunjuk pada keberadaan suatu bangsa. Yang aku tangkap dari pesan kakekmu, justru dia ingin memberi tahu engkau bahwa zaman kemunculan manusia-manusia �berekor� pecinta tubuh dan pendamba kehidupan dunia, yang digambarkan dengan perlambang kawanan serigala dan musang, sudah sangat dekat waktunya.�

Read More ->>

KUE APPAM DAN ORANG-ORANG TAKUT

Kue Appam dan Orang-Orang Takut

   Pada pengujung abad ke-16 pelabuhan Muara Jati (sekarang Cirebon) merupakan pelabuhan yang rama melebihi pelabuhan Dermayu (Indramayu). Dari berbagai tempat di pedalaman hingga berbagai bandar besar di timur dan barat, perahu dan kapal membongkar dan memunggah muatan di situ. Kawasan di sekitar pelabuhan yang semula merupakan hutan pohon kelapa telah ditumbuhi bangunan-bangunan besar: gudang-gudang, galangan kapal, kantor syahbandar, kantor pabean, pasar ikan, kedai-kedai makanan, dan sekumpulan rumah yang berkerumun di perkampungan nelayan yang terletak di sebelah selatan pelabuhan.

Abdul Jalil yang kembali ke Caruban beserta istri dan anaknya terkejut sewaktu menginjakkan kaki di dermaga pelabuhan Muara Jati. Ia merasa ada sesuatu yang berubah di situ. Matanya yang tajam memandang ke jajaran pohon kelapa yang menghutan di sepanjang pantai sebelah utara pelabuhan. Saat itu cahaya matahari sore yang tersisa di cakrawala sudah meredup kemerahan ditabiri awan kapas yang tampak menaungi pohon-pohon kelapa yang bayangannya memanjang dan menghitam seolah menyatu dengan selimut senjakala. Pandangannya tiba-tiba terpaku pada sesuatu yang baru: di antara pohon-pohon kelapa yang menghutan di utara pelabuhan, terlihat kerumunan rumah baru berdesak-desakkan dengan sebuah tajug beratap tingkat tiga, tajug khas Kerala, terlihat berdiri tegak di ujung selatan kampung.

Abdul Jalil heran dan bertanya-tanya dalam hati kapan kerumunan rumah baru itu dibangun orang di situ. Barang setahun silam, saat ia untuk kali terakhir meninggalkan Caruban, kawasan di utara pelabuhan itu masih berupa hutan kelapa. Setelah terdiam sejenak, ia mendatangi perkampungan baru itu. Namun, di tengah perjalanan ia melihat dua orang pemuda sedang berjalan sambil bercanda. Mereka berbicara satu sama lain dengan menggunakan bahasa Malayalam, bahasa yang digunakan penduduk Kerala.

Ketika jarak mereka sudah dekat, Abdul Jalil menyapa mereka dengan bahasa Malayalam. Dua pemuda itu terkejut dan buru-buru menghormat takzim saat melihat orang yang menyapa mereka mengenakan jubah dan surban warna hitam. Mereka cepat sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang ulama yang wajib mereka hormati. Lantaran itu, dengan sikap sangat merendah mereka menyalami Abdul Jalil. Mereka memperkenalkan diri sebagai Ali Ladka Musliyar dan Hasan Mali Pokkar, warga Muara Jati asal Kozhikode. Rupanya, mereka menduga Abdul Jalil orang Mappila yang baru datang ke Caruban. Dengan sedikit pertanyaan dari Abdul Jalil, mereka mengaku sebagai pengungsi dari Kozhikode karena dicari-cari Portugis. �Kami pergi meninggalkan kampung halaman kami setelah Portugis menembaki kota dengan meriam dan mengancam akan membunuh seluruh warga muslim Kozhikode,� ujar Ali Ladka Musliyar.

�Berapa orang warga Kozhikode yang menyingkir waktu itu?� tanya Abdul Jalil ingin tahu.

�Sekitar dua ribu orang, Tuan Syaikh.�

�Semuanya tinggal di sini?�

�Tidak Tuan Syaikh. Yang tinggal di sini hanya empat ratus orang. Saudara kami yang lain ada yang tinggal di Pasai, Malaka, Demak, Tuban, dan Gresik,� kata Ali Ladka Musliyar.

�Siapa pemimpin kalian di sini?�

�Lebai Musa Chenda, Tuan Syaikh.�

�Kalian dipimpin seorang lebai? Seorang saudagar?� tanya Abdul Jalil heran.

�Maksud kami, di Caruban ini kami memang dipimpin oleh Lebai Musa Chenda. Sebab, Yang Dipertuan Caruban menunjuk dia sebagai pemimpin kami. Tetapi, panutan kami yang sebenarnya adalah Tuan Guru Kasim Kharab Andhkar. Beliau adalah guru dari Lebai Musa Chenda, Tuan Syaikh.�

Abdul Jalil diam. Ia ingat, saat berada di Kozhikode ia pernah mendengar nama Musa Chenda, seorang saudagar kaya, yang menjadi salah seorang pemimpin penyerangan terhadap armada Portugis yang dipimpin Pedro Alvares Cabral. Ternyata, saudagar kaya itu sekarang tinggal di Muara Jati. Setelah diam sejenak, ia bertanya, �Akan ke manakah kalian sekarang ini?�

�Kami mau ke tajug, Tuan Syaikh. Nanti bakdal maghrib ada upacara Nercha.�

�O begitu,� kata Abdul Jalil, �Tapi mana kue appam kalian?�

�Adik-adik kami sudah membawanya ke tajug, Tuan Syaikh.�

�Oya, apakah kalian sudah mendengar kabar tentang serbuan pasukan Kozhikode di bawah Laksamana Kunjali Marakkar ke pangkalan Portugis di Cochazhi?�

�Pasukan Kozhikode menyerang Portugis di Cochazhi? Kami belum mendengar kabar itu, Tuan Syaikh,� seru Ali Ladka Musliyar dengan mata berbinar-binar dan dada naik turun. �Kapan peristiwa itu terjadi?�

�Kira-kira tiga pekan lalu. Aku dengar kabar itu saat berada di Malaka.�

�Apakah Yang Mulia Laksamana Kunjali Marakkar berhasil menghancurkan armada Portugis?�

�Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar kalau orang-orang Portugis dan Raja Cochazhi lari tunggang langgang meninggalkan kota. Kantor dan gudang-gudang mereka dihancurkan. Orang bilang, mereka bersembunyi di pulau Vypin,� tegas Abdul Jalil.

Dengan wajah diliputi kegembiraan, Ali Ladka Musliyar dan Hasan Mali Pokkar saling pandang. Kemudian, dengan dada naik turun mereka buru-buru berpamitan kepada Abdul Jalil untuk kembali ke kampungnya. �Kami harus menyampaikan kabar gembira ini kepada saudara-saudara kami. Terima kasih, Tuan Syaikh. Terima kasih.�

Abdul Jalil tertawa melihat dua pemuda Kerala itu membalikkan badan, berlari pulang ke rumahnya.

Ketika akan melanjutkan perjalanan ke tajug di kampung orang-orang Kerala, Abdul Jalil melihat sekawanan anak laki-laki beranjak dewasa datang dari arah perkampungan nelayan di selatan. Anak-anak berusia sepuluh hingga tiga belas tahun itu menyunggi tampah berisi kue appam dan pisang. Kelihatannya mereka memiliki tujuan yang sama dengan dua pemuda Kozhikode, yaitu ke tajug untuk mengikuti upacara Nercha. Abdul Jalil menyapa salah seorang anak yang paling besar. Anak laki-laki yang kemudian diketahui bernama Enceng itu adalah anak nelayan setempat. Dia mengaku akan pergi ke tajug untuk mengikuti upacara Kenduri Neja bersama warga kampung baru. Bakdal maghrib, ungkap Enceng, semua penduduk akan berkumpul di tajug untuk mengikuti kenduri Neja dengan membawa sesaji kue Appam dan pisang.

�Ada hajat apakah orang-orang mengadakan Kenduri Neja maghrib nanti?� tanya Abdul Jalil tersenyum geli karena Enceng mengucapkan nercha dengan lafal neja, yang secara kebetulan di dalam bahasa Sunda bermakna permohonan.

�Negeri Caruban sedang perang, Tuan Syaikh. Orang-orang kafir dari Galuh Pakuwan keluar sarang. Mereka akan menyerang kuta dan membunuh semua penduduk. Semua orang ketakutan. Kami mengikuti Kenduri Neja untuk meminta tolong arwah leluhur dan arwah-arwah pelindung desa agar berkenan memberikan perlindungan kepada kami semua,� ujar Enceng polos.

�Caruban sedang berperang?� seru Abdul Jalil terkejut, �Caruban diserang Galuh Pakuwan?�

�Apakah Tuan Syaikh belum mengetahui kabar itu?�

Abdul Jalil diam. Sejurus kemudian ia menguji keberanian anak yang baru beranjak dewasa itu dengan bertanya, �Jika negeri Caruban sedang perang, kenapa engkau dan kawan-kawanmu tidak ikut berperang mengangkat senjata? Kenapa engkau tidak membantu Yang Dipertuan Caruban melawan serangan musuh?�

Enceng terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, setelah menoleh ke arah kawan-kawannya, dengan terbata-bata dia berkata, �Kami belum dianggap dewasa, Tuan Syaikh. Bapak dan kakak-kakak kami sudah berangkat ke medan perang dipimpin Ki Dipati Suranenggala. Ibu kami menyuruh kami mengikuti Kenduri Neja agar arwah leluhur kami dan arwah pelindung desa kami berkenan melindungi bapak dan kakak-kakak kami.�

�Tolong jelaskan kepada aku, o Anak Muda, kenapa engkau membawa kue appam dan pisang?� tanya Abdul Jalil ingin mengetahui pemahaman Enceng tentang kue appam yang digunakannya sebagai sesaji dalam Kenduri Neja, yang di negeri asalnya, Kerala, disebut upacara Nercha. �Bukankah orang Caruban tidak pernah menggunakan kue appam dalam kenduri?�

�Kami tidak tahu, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti perintah ibu kami. Ibu kami pun mengikuti suruhan guru mengaji kami, Tuan Guru Kasim Kharab Andhkar,� kata Enceng polos.

�Apakah ibumu tidak pernah memberi tahumu tentang guna dan manfaat dari kue appam dalam upacara Kenduri Neja itu?� tanya Abdul Jalil.

�Pernah, Tuan Syaikh. Ibu kaimi menerangkan jika kue appam adalah sesaji yang sangat disukai arwah leluhur dan arwah pelindung desa.�

�Apakah menurutmu arwah masih suka menyantap makanan dunia seperti kue appam?�

�Kami tidak tahu, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti apa yang diajarkan ibu kami. Menurutnya, arwah orang mati memang suka sekali mengisap saripati kue appam.�

�Selain arwah orang mati suka saripati kue appam, apa lagi yang dikatakan ibumu?�

�Kata ibu, kue appam sangat berguna bagi kehidupan di alam kubur dan di alam akhirat,� kata Enceng.

�Kue appam sangat berguna di alam kubur dan alam akhirat?�

�Itu benar, Tuan Syaikh.�

�Apa maksudnya? Tolong jelaskan. Aku belum paham.�

�Menurut ibu, kue appam bisa dijadikan alat perlindungan dalam kehidupan sesudah mati.�

�Kue appam bisa dijadikan sarana perlindungan sesudah mati?� Abdul Jalil mengerutkan kening.

�Benar demikian, Tuan Syaikh.�

�Alat perlindungan apa yang engkau maksud, o Anak Muda?�

�Menurut ibu, kue appam bisa digunakan untuk melindungi diri dari hal-hal mengerikan baik di alam kubur maupun di alam akhirat.�

�Melindungi diri dari hal-hal mengerikan? Aku masih belum paham. Apa maksudnya itu?�

�Bukankah di padang mahsyar di akhirat nanti, pada waktu kiamat, matahari jaraknya hanya sejengkal di atas kepala manusia? Bukankah saat itu seluruh makhluk akan kepanasan dan banyak di antaranya yang terbakar hangus? Pada saat itulah, menurut ibu kami, kue appam yang pernah disajikan pada upacara Kenduri Neja akan bisa dijadikan payung untuk menaungi kita dari sengatan panas matahari,� kata Enceng.

�Kue appam untuk payung?� Abdul Jalil menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. �Adakah kegunaan lain kue appam selain itu?�

�Ada, Tuan Syaikh.�

�Apa itu?�

�Menurut ibu kami, kalau kita di alam kubur dipukuli malaikat dengan gada, kue appam bisa dijadikan perisai untuk menangkis pukulan malaikat yang bertubi-tubi.�

�O begitu,� ujar Abdul Jalil terbahak. �Kalau begitu, pisang yang disajikan bersama kue appam itu tentunya akan bisa dijadikan senjata untuk melawan malaikat?�

�Memang begitu yang diajarkan ibu kepada kami, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti petunjuk ibu.�

Abdul Jalil tertawa dan mempersilakan Enceng dan kawan-kawannya ke tajug. Kemudian, dengan tatapan lain, ia memandang Enceng dan kawan-kawannya yang berjalan beriringan menyunggi kue appam. Ia termangu sambil menarik napas panjang berulang-ulang. Dari sekilas peristiwa yang ditemuinya, ia mendapati kenyataan betapa keyakinan orang-orang muslim asal Kerala yang aneh itu begitu cepat diikuti oleh penduduk awam, terutama para perempuan dan anak-anak. Ia mengira, cepat atau lambat keyakinan-keyakinan aneh itu akan menular ke tempat lain seperti Samarang, Demak, Jepara, Tuban, dan Gresik yang dijadikan tempat mengungsi orang-orang Kerala. Ia paham, betapa keyakinan aneh itu akan cepat diikuti kalangan awam yang sedang diguncang peristiwa menggetarkan seperti perang dan bencana, terutama pada saat jiwa manusia dicekam rasa takut yang berkeliaran bagai kawanan hantu di tengah kegelapan. Ya, ia sadar betapa keyakinan-keyakinan aneh itu jauh lebih sederhana dan memiliki cekam gegwantuhwan (takhayul) dibanding ajaran Tauhid yang disampaikannya melalui Sasyahidan yang butuh penalaran, perenungan, wawasan, kebijaksanaan, dan amaliah yang tidak menarik.

Senja itu, ketika awan kapas berubah menjadi gumpalan mendung hitam, Abdul Jalil dengan istri dan anaknya terlihat berjalan di antara batang-batang pohon kelapa menuju pondok Pesantren Giri Amparan Jati. Sejak mengikuti sembahyang maghrib di tajug orang-orang Kozhikode hingga perjalanan ke pondok, ia menangkap suasana mencekam membias pada wajah setiap orang yang dijumpainya. Di jalan ia melihat hampir setiap wajah diliputi rasa was-was dan curiga. Semua orang yang berada di luar rumah selalu membawa senjata dan mengawasi siapa saja yang mereka temui dengan pandang penuh kecurigaan.

Di tengah perjalanan, ketika berada di Kalisapu, ia bertemu dengan Ki Gedeng Jatimerta yang sedang mengumpulkan penduduk Kalisapu untuk diajak ke medan perang menghadapi musuh. Berdasar penuturan Ki Gedeng Jatimerta, ia mengetahui jika keadaan Caruban saat itu memang sedang genting, karena terancam serbuan besar-besaran pasukan Galuh Pakuwan. Pasukan Galuh Pakuwan yang memiliki tetunggul-tetunggul sakti mandraguna dan masih didukung pula oleh tetunggul dari Talaga dan Rajagaluh telah bergerak menuju kuta Caruban. Jumlah seluruh kekuatan mereka, kabarnya, lebih dari setengah juta pasukan.

Sekalipun Caruban sedang dicekam suasana genting, dengan penduduk yang merasa cemas akibat simpang-siurnya kabar yang tak jelas sumbernya, suasana sangat berbeda dengan rentang waktu Caruban bertempur melawan Rajagaluh. Saat menghadapi Galuh Pakuwan sekarang ini tidak ada satu pun di antara penduduk Caruban yang mengungsi. �Seluruh penduduk Caruban telah bertekad untuk mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah yang penghabisan. Seluruh penduduk sudah bersumpah akan melawan sampai titik darah terakhir.�

Mendengar tekad penduduk itu, Abdul Jalil sangat senang. Sebab, apa yang telah diajarkannya, terutama tentang hak milik pribadi dari wakil al-Malik di muka bumi, telah dipahami dan dijadikan sikap hidup oleh penduduk Caruban. Bahkan, para Gede sebagai kepala wisaya dan sekaligus pemimpin kabilah pun telah memiliki sikap yang tegas dan jelas dalam menempatkan keberadaan dirinya sebagai wakil al-Malik (khalifah al-Malik fi al-ardh) sekaligus wakil al-Wakil (khalifah al-Wakil fi al-ardh) yang dipilih penduduk, yaitu dengan tanggap dan tangkas menggalang kekuatan penduduk yang diwakilinya untuk melawan musuh yang akan menyerang wilayahnya. Caruban memang pantas disebut Garage, Nagara Gede, pejabat daerah yang dipimpin dan diatur oleh para Gede, pejabat daerah yang dipilih masyarakat, kata Abdul Jalil dalam hati.

Setelah berbincang-bincang beberapa bentar dengan Ki Gedeng Jatimerta, Abdul Jalil melanjutkan perjalanan ke Giri Amparan Jati. Ternyata, suasana mencekam tetap ia rasakan sampai saat ia memasuki gerbang pondok pesantren. Ia mendapati setiap wajah yang dijumpai selalu ditandai ketegangan. Wajah-wajah yang pucat, kuyu, dan sorot mata yang diliputi rasa curiga. Empat-lima orang anak laki-laki berusia belasan tahun dan anak-anak kecil yang merupakan santri pondok, ia lihat berkeliaran di sekitar gerbang dengan membawa obor dan sarung yang diisi bongkahan batu. Anak-anak itu memandang curiga kepada siapa saja yang tidak mereka kenal. Beberapa di antara mereka terlihat membawa pentungan kayu. Dengan mengendap-endap, mereka menyelinap di balik batang pohon-pohon jati yang menghutan di sekitar pondok.

Abdul Jalil menarik napas panjang melihat suasana yang melingkupi pesantren tempat ia pernah di tempa itu. Suasana asri dan damai yang mencitrai pesantren, saat-saat senja hari seperti sekarang ini selalu diwarnai alunan suara anak-anak mengaji atau menghafal pelajaran dengan nyanyian, tiba-tiba telah berubah mencekam. Benderang nyala pelita yang menghiasi tiap-tiap bangunan di lingkungan pesantren tidak lagi terlihat. Semua pelita dipadamkan. Sejauh mata memandang, hanya keremangan senjakala menyelimuti pohon-pohon jati dengan kelebatan bayangan santri-santri kecil di sekitar gerbang. Sejauh telinga mendengar, hanya nyanyian serangga dan cacing tanah yang terdengar bersahutan di tengah gemerisik daun-daun jati kering yang diserakkan angin ke berbagai arah.

Suasana mencekam di pondok berubah hiruk pikuk ketika Abdul Jalil yang disertai istri dan anaknya memasuki kawawan dalam pondok. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja berpuluh-puluh santri yang rata-rata terdiri atas anak-anak usia sepuluh dan dua belas tahun berhamburan dari berbagai arah bagaikan kawanan lebah keluar sarang. Dengan berteriak-teriak dan sebagian menangis ketakutan, mereka berebut saling berdesak dan dorong untuk mendekati Abdul Jalil. Mereka yang di depan berebut menyalami sambil menciumi tangan Abdul Jalil. Tidak cukup menyalami dan mencium tangan, mereka merangkul dan menciumi kaki Abdul Jalil. Bahkan, santri-santri di belakang mereka berebut memegangi dan menarik-narik jubahnya. Mereka terlibat saling desak dan saling dorong sehingga istri dan anak Abdul Jalil tergeser oleh pusaran arus santri sampai tersingkir keluar gerbang pondok.

Abdul Jalil kebingungan dikerubuti santri-santri kecil itu buru-buru menyambar bahu seorang santri agak besar yang berada di dekatnya. Dengan sekali sentakan, ia mendekatkan wajah santri itu ke wajahnya sambil berkata dengan suara ditekan tinggi, �Kenapa engkau dan kawan-kawanmu berteriak-teriak dan menangis ketakutan seperti orang tidak beriman? Di manakah kakak-kakak kalian?�

Santri itu terbelalak ketakutan. Air matanya bercucuran membasahi pipi. Dengan suara bergetar dan terbata-bata dia berkata, �Orang-orang Galuh Pakuwan mengepung kuta Caruban, Kangjeng Syaikh. Desa-desa dibakar. Prajurit Caruban banyak yang terbunuh. Kakak-kakak kami semua berangkat ke medan perang menghadapi musuh. Di pondok tidak ada yang memimpin. Semua orang pergi meninggalkan kami.�

Abdul Jalil menarik napas panjang dan mengembuskannya keras-keras. Ia sadar betapa serbuan Galuh Pakuwan kali ini tidak main-main. Tekanan dari berbagai sisi tampak sekali dilakukan pihak Galuh Pakuwan untuk mengguncang Caruban yang sedang tidak siap tempur. Sadar akan apa yang sedang terjadi, setelah terdiam beberapa jenak, ia mengangkat tangan kanannya ke atas memberi isyarat kepada semua santri agar duduk tenang. Kegaduhan pun terjadi, tapi setelah itu berangsur-angsur tenang. Santri-santri kecil dengan berdesakan duduk mengerumuni Abdul Jalil seperti anak-anak ayam meminta perlindungan induknya.

Ketika Abdul Jalil akan memberikan wejangan kepada santri-santri kecil yang dicekam ketakutan itu, tanpa sengaja ia melihat ke bagian bawah bukit. Ia tercekat ketika melihat puluhan nyala obor bergerak di antara bebatuan yang bertonjolan menuju pondok. Ia mengerutkan kening. Ia tidak tahu siapa orang-orang yang naik ke pondok dengan membawa obor itu. Ia menajamkan penglihatan dan pendengaran ketika obor-obor itu semakin dekat dan mendengar suara puluhan kaki menginjak ranting dan daun-daun jati kering. Lalu, terdengar celoteh gaduh dari orang-orang yang membawa obor itu. Ia merasa lega ketika mendengar namanya disebut-sebut di tengah celotehan gaduh itu. Rupanya, malam itu kabar kedatangannya ke Giri Amparan Jati telah disebarkan oleh orang-orang Kalisapu ke desa-desa di sekitar Gunung Jati. Akibatnya, penduduk sekitar Gunung Jati yang sedang dicekam ketakukan berbondong-bondong pergi ke pondok pesantren untuk menemuinya.

Tidak berbeda jauh dengan para santri, penduduk desa-desa di sekitar Gunung Jati yang sedang dicekam ketakutan itu begitu masuk halaman pondok sudah berdesak-desak dan berebut mendekati Abdul Jalil. Yang di bagian depan menyalami dan mencium tangannya. Yang terdekat merangkul lututnya. Sementara yang agak jauh menarik-narik jubahnya, bahkan yang tersungkur berusaha mencium kakinya. Lalu dengan suara gaduh bersahutan mereka beramai-ramai memohon agar Abdul Jalil berkenan menyelamatkan mereka dari serbuan orang-orang Galuh Pakuwan. Mereka memohon agar Abdul Jalil berkenan memanjatkan do�a kepada Allah. Mereka sangat yakin do�a Abdul Jalil pasti dikabulkan Allah. Ketika Abdul Jalil termangu-mangu tidak menunjukkan tanggapan, mereka mengiba dan menangis serta memohon agar Abdul Jalil mau berdoa bagi keselamatan negeri Caruban beserta penduduknya.

Abdul Jalil bergeming. Sejurus kemudian dengan penuh kasih, ia memandang orang-orang desa dan santri-santri kecil yang duduk berkerumun mengitarinya. Ia melihat wajah-wajah ketakutan yang menengadah penuh harapan. Ia menangkap jiwa-jiwa yang runtuh ke jurang tanpa harapan pada wajah-wajah itu. Ia tidak ingin ketakutan yang dirasakan penduduk itu meledak menjadi keputusasaan dan bahkan kepanikan. Itu sebabnya, ia memutuskan untuk memberikan penguatan jiwa khotbah Tauhid. Sebab, hanya dengan kesadaran Tauhid, rasa takut orang seorang terhadap selain Allah dapat dikalahkan. Lalu, di tengah beratus-ratus wajah ketakutan orang-orang yang mengitarinya itu, ia memulai khotbahnya.

�Dengarlah, hai anak-anak dan saudara-saudaraku, janganlah engkau sekalian pernah melupakan Allah, Tuhan, Penciptamu, Zat Yang Maha Melindungi (al-Waliy) dan Maha Menjaga (al-Muhaimin). Ingatlah selalu akan Dia di mana pun engkau sekalian berada. Memintalah pertolongan hanya kepada-Nya dalam kesempitan maupun keluasan. Jangan sekali-kali engkau sekalian melalaikan Allah. Jangan pernah membiarkan orang-orang fasik menggoyahkan imanmu dengan mengatakan bahwa Allah tidak akan menolong umat-Nya yang memohon pertolongan. Jangan pernah meragukan sedikit pun akan pertolongan-Nya. Karena Dia adalah Perisai dan Senjata pelindung bagi kaum beriman. Lantaran itu, jika engkau sekalian merasa sebagai kaum beriman, jangan lagi ada syak dan ragu menggelayuti hati kalian, meski kalian mendengar kabar dan kemudian menyaksikan sendiri beratus ribu musuh mengepungmu. Pertolongan-Nya pasti akan datang jika kalian benar-benar orang beriman dan bertakwa.�

�Camkanlah, o anak-anak dan saudara-saudaraku, bahwa Allah, Zat Yang Maha Mendengar, selalu mendengar doa dari mulut hamba-Nya yang tidak menipu dan tidak suka berdusta. Allah, Zat Yang Maha Melihat, selalu melihat kesucian hati hamba-Nya yang tidak diselubungi kefasikan dan kemunafikan. Allah, Zat Yang Maha Mengetahui, selalu mengetahui kelempengan pikiran hamba-Nya yang tidak dinodai angan-angan palsu dan kejahilan. Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa, selalu menerima dan mengabulkan doa hamba-Nya yang tidak pernah menajiskan nama-Nya dengan kemusyrikan dan kejahilan.�

�Sekarang ini, hai anak-anak dan saudara-saudaraku, marilah kita memuji keagungan dan kemuliaan Allah, Zat Yang Mahasuci, Yang Maha Mencipta, Maha Melindungi, dan Maha Memelihara hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Hadapkanlah kiblat hati dan pikiran kalian hanya kepada-Nya. Teguhkan konsentrasimu hanya kepada-Nya. Jangan biarkan bayangan manusia, pohon, batu, kayu, batu nisan, gunung, dan segala sesuatu yang maujud di alam ini melintas di dalam ingatanmu. Teguhkan ingatanmu bahwa tidak ada sesuatu yang patut diingat kecuali Allah: Cahaya di atas segala cahaya. Ingatlah hanya Allah. Allah. Seribu kali hanya Allah.�

Abdul Jalil diam dan memejamkan mata. Para santri kecil dan orang tua pun diam. Mereka berusaha menyatukan hati dan pikiran untuk diarahkan kepada Allah sesuai petunjuk Abdul Jalil. Suasana berubah sepi dan senyap. Hanya desah napas dan isak tangis lirih terdengar menembus kesenyapan di antara desau angin yang meluruhkan daun-daun jati. Setelah suasana benar-benar hening, dengan suara lain yang digetari wibawa, Abdul Jalil mulai berdzikir, menyebut Asma Allah dengan suara lirih. Meski lirih, seluruh yang hadir terpesona mendengar kemerduan suaranya. Ketika seluruh jama�ah mengikuti dzikir, menyebut-nyebut Asma Allah seperti dicontohkan Abdul Jalil, terdengar suara bergelombang seperti ombak lautan yang susul-menyusul dan sambung-menyambung, yang membuat semua orang merasa seperti ditarik oleh daya pesona yang memukau kesadaran. Ketika pribadi-pribadi yang berdzikir sudah disatukan di dalam Asma Allah yang mengalun indah laksana musik surgawi, Abdul Jalil mengucapkan doa kepada Allah dengan suara keras.

�Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha Melindungi! Engkaulah Pelindung bagi hamba-Mu yang tertindas! Engkaulah Pelindung di waktu sempit dan sesak! Engkaulah Pembela semua hamba-Mu yang setia memuja dan menyembah hanya kepada-Mu! Engkau tidak pernah meninggalkan hamba-Mu yang mengagungkan nama-Mu. Engkau senantiasa merentangkan sayap-sayap rahmat-Mu untuk menaungi hamba-Mu yang mencintai-Mu. Hanya kepada-Mu, o Allah, hamba-Mu yang ditimpa kesusahan ini berserah diri.�

�Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha Memelihara! Engkaulah Gembala bagi hama-Mu di padang gembalaan duniawi yang dihuni hewan-hewan pemangsa ganas. Bimbing dan gembalakan kami, hamba-Mu, di padang gembalaan-Mu yang subur dan penuh limpahan keselamatan. Lindungi kami, hamba-Mu, dari intaian para pemangsa yang haus darah. Jauhkan kami, hamba-Mu, dari orang-orang fasik. Jauhkan kami, hamba-Mu, dari orang-orang tamak, loba, serakah, lalim, kejam, penindas, yang mulutnya penuh fitnah dan sumpah serapah. Gembalakan kami, hewan peliharaan-Mu, ke padang gembalaan yang aman dan penuh dilimpahi kedamaian. Jangan biarkan kami jatuh ke jurang kefasikan. Jangan biarkan kami memasuki gua singa. Peliharalah kami dari segala kejahatan makhluk ciptaan-Mu. Lindungilah kami dari panah-panah musuh yang dibidikkan dari tempat gelap. Engkau adalah Pelindung kami. Engkau adalah Perisai kami.�

�Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha kuasa! Engkau, al-Malik al-Mulki, Zat Yang Berkuasa atas segala ciptaan yang Engkau cipta! Kami, hamba-Mu, berlindung di bawah naungan kuasa-Mu. Kuatkan hati kami dari keraguan yang meruntuhkan iman. Teguhkanlah hati kami dari kegoyahan jiwa yang menggeragoti iman. Kibarkan bendera kemenangan di atas menara ruh kami yang tegak di dalam benteng keimanan yang kukuh. Lindungilah benteng kami dengan tentara-tentara-Mu (jundullah) yang memenuhi langit dan bumi! Biarlah tentara-tentara-Mu menghancurkan musuh kami dengan angin prahara, hujan badai, tanah longsor, genangan lumpur, pohon-pohon yang tumbang, dan sambaran halilintar! Halaulah musuh-musuh yang mengintai kami dengan cara-Mu yang tidak kami ketahui! Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Mahaagung! Kami berpasrah diri melindungkan diri di dalam naungan keagungan-Mu!�

Setelah berdoa dengan sura keras, Abdul Jalil tiba-tiba terdiam dengan tangan tetap menengadah ke atas. Ia berdoa tanpa bersuara. Orang-orang terus berdzikir dengan mata terpejam dan air mata bercucuran. Ketika Abdul Jalil akan mengakhiri doa dengan membaca shalawat, terjadi sesuatu yang mengejutkan semua orang. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara guruh bersahutan di empat penjuru langit disusul sambaran halilintar menghajar bumi. Selama beberapa kejap, pemandangan di sekitar pondok pesantren menjadi terang-benderang oleh keredap cahaya halilintar. Sedetik kemudian, hujan turun sangat lebat seperti tumpahan air bah dicurahkan dari langit disambung embusan angin yang bertiup membadai.

Perubahan alam yang mendadak itu membuat semua hati tercekam dan mulut bungkam. Orang-orang saling pandang. Beberapa jenak kemudian, dengan suara gaduh mereka berdesak-desak berusaha mendekati Abdul Jalil sambil menangis dan berteriak-teriak memuji kebesaran Allah. Mereka yakin doa yang baru saja dipanjatkan Abdul Jalil telah diterima Allah dengan pertanda halilintar dan hujan angin. Peristiwa alam itu pun mereka yakini sebagai tengara hadirnya tentara Allah yang bakal menceraiberaikan musuh yang sudah mengepung Caruban.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers