Senin, 16 Januari 2017

KEMBALI KE SARANG

Kembali ke Sarang

Abdul Jalil, anak negeri yang lahir dalam kepedihan seorang yatim dan tumbuh di tengah hiruk pikuk sejarah dan ketidakpastian zaman, adalah manusia yang hanyut diseret arus nasib hingga terlempar jauh dari bumi tumpah darahnya yang diliputi kegelapan. Kerinduannya akan kebenaran telah mengubah arus kehidupannya menjadi sesuatu yang mencengangkan zamannya. Dengan kenaifan seorang anak dari negeri yang sedang dilanda kegelapan, ia saksikan gilang-gemilangnya kota antarabangsa, Baghdad. Di kota sumber pengetahuan dan pusat peradaban itulah ia sadari keberadaan dirinya yang laksana setitik air sedang terbawa arus menuju ke samudera kehidupan tak bertepi.

Dengan kesadaran diri bagai setitik air, Abdul Jalil membiarkan dirinya hanyut mengikuti liku-liku sungai nasib hingga ke muara. Di muara nasib itu ia dapati dirinya hanyut terbawa pusaran air ke tengah samudera kemanusiaan. Dengan ketakjuban setitik air, ia terbawa terbang ke angkasa oleh kumparan nasib menjadi setitik air jernih di tengah gumpalan awan. Lalu jatuhlah ia ke tanah suci sebagai setitik air di tengah rinai hujan yang mengguyur padang belantara. Dan, tercenganglah ia saat menyadari betapa dirinya telah berada di Mata Air Suci Abadiyang merupakan Sumber segala sumber air kehidupan. Kesadarannya tersingkap (kasyf), kekeruhan (ghain) jiwanya tersibak, jiwanya terjernihkan (zawa�id), mata hatinya (�ain al-bashirah) tercelikkan. Ia pun menjadi sadar betapa di dalam setitik air itu sesungguhnya tersimpan hakikat mata air, sungai, telaga, air terjun, muara, samudera, awan, hujan, angin, dan getar kehidupan sejati.

Kini, setelah diseret kembali oleh arus nasib pengembaraan panjang pencarian jati diri tentang asal usul kejadian dari mana segala sesuatu berawal, ia telah menjadi anak negeri yang terjaga di antara bangsanya yang masih terlelap tidur. Seiring terbitnya matahari pagi kehidupan, ia dengan didampingi Syarif Hidayatullah kembali ke tanah kelahirannya di Caruban Larang dengan tugas utama untuk membangunkan saudara-saudara sebangsanya yang sedang mengalami mimpi buruk; terjerat jaring-jaring kejahilan yang mereka pintal sendiri menjadi tali-temali yang membahayakan kehidupan seluruh negeri.

Ibarat pepatah setinggi-tinggi burung terbang akhirnya kembali ke sarang juga, begitulah Abdul Jalil kembali dari pengembaraan melanglang buana langsung menuju ke sarang asalnya, Padepokan Giri Amparan Jati, tempat ia sebagai telur telah ditetaskan dan dibesarkan oleh induknya. Ia pun bersyukur saat mendapati guru agung yang telah mengukir jiwanya, Syaikh Datuk Kahfi, berada dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa pun, meski usianya sudah lebih tujuh puluh tahun.

Dengan air mata bercucuran menyaksikan anak asuh, saudara sepupu, dan murid terkasih yang senantiasa dirindukannya, Syaikh Datuk Kahfi bergumam dengan suara bergetar, �Ya Allah, terima kasih. Engkau telah mengabulkan permohonan hamba untuk tidak memanggil hamba ke hadirat-Mu sebelum bertemu kembali dengan anak yang hamba rindukan ini. Kini, hamba telah siap menghadap-Mu, Ya Ilahi Rabbi, Gantungan jiwa hamba.�

Abdul Jalil tidak berkata sesuatu. Ia hanya bersujud ke haribaan Syaikh Datuk Kahfi. Ia seperti terlempar kembali ke rentangan masa kecil saat ia bermanja dengan sang guru yang berperan sebagai pengganti ayahandanya itu. Ia seolah ingin merasakan kembali kehangatan kasih guru agung yang sangat dihormati dan dimuliakannya. Sementara itu, menghadapi sikap Abdul Jalil yang bagai mengurai masa silam, Syaikh Datuk Kahfi tersenyum bahagia dengan air mata berlinang-linang membasahi kelopak matanya. Kemudian dengan suara tersendat-sendat ia berkata, �Anakku, di ujung usiaku yang sudah senja ini, tidak ada lagi yang aku inginkan dari sisa hidupku kecuali ingin melihatmu kembali dengan selamat dan berharap engkau berhasil menemukan apa yang engkau cari. Jika engkau tidak keberatan, aku mohon agar engkau berkenan menuturkan tentang apa saja yang telah engkau alami dan engkau peroleh dari pencarianmu selama ini. Sebab, hari-hari dari hidupku sejak kepergianmu selalu kuisi dengan doa agar kelak aku bisa bertemu kembali denganmu dan bisa mendengar kisahmu menemukan Kebenaran Sejati. Di atas itu semua, o Anakku, hanya satu harapan yang aku harapkan darimu, yaitu engkau bisa menjadi penuntunku saat aku menghadapi ajal.�

Abdul Jalil tercekat mendengar ucapan Syaikh Datuk Kahfi. Ia menangkap betapa arif guru agungnya itu dalam menentukan pilihan hidup yang beragam. Harapan utamanya agar dituntun saat menghadapi ajal telah menunjukkan kewaskitaan yang menakjubkan. Sebab, pada detik-detik menjelang ajal itulah sesungguhnya citra keselamatan dan ketidakselamatan seorang manusia tercermin. Lantaran itu, sambil mencium tangan Syaikh Datuk Kahfi, Abdul Jalil berkata, �Sungguh, Allah SWT. telah membentangkan jalan keselamatan atas Ramanda Guru. Semua perjuangan Ramanda Guru yang tak kenal lelah dan tak kenal menyerah dalam menerangi jalan hidup manusia telah menuai hasil. Ramanda Guru telah dianugerahi pengetahuan rahasia oleh-Nya untuk bisa memilih jalan terang keselamatan.� �

Jalan keselamatan Allah SWT. untukku? Aku dianugerahi-Nya pengetahuan untuk bisa memilih jalan terang keselamatan? Apa maksud semua ini, o Anakku?� tanya Syaikh Datuk Kahfi heran. �

Harapan Ramanda Guru untuk bisa dituntun secara benar saat menjelang ajal adalah bukti bahwa Ramanda Guru telah dianugerahi pengetahuan rahasia oleh Yang Ilahi. Sebab, tidak banyak orang tahu bahwa citra keselamatan dan citra ketidakselamatan manusia akan terlihat saat ia menjelang ajal. Betapa banyak manusia yang bibirnya bergerak-gerak dan tangannya tak henti-henti memutar biji tasbih berdzikir menyebut Asma Allah, namun saat menjelang ajal justru hilang akal dan tidak bisa mengingat Allah.� �

Rasulullah Saw. sudah menyatakan jaminan bahwa barang siapa di antara manusia saat menjelang ajal bisa berujar tidak ada sesembahan yang lain selain Allah (La ilaha illa Allah), ia bakal masuk surga tanpa hisab. Namun, prasyarat sederhana itu ternyata menjadi masalah maharumit manakala dihadapkan pada kenyataan hidup. Bahkan, jumlah umat Islam yang bisa mengucap La ilaha illa Allah dalam makna yang sebenarnya saat menjelang ajal bisa dihitung dengan jari. Karena itu, o Ramanda Guru, sungguh arif keinginan paduka yang menempatkan tuntunan yang benar saat menjelang ajal itu sebagai pilihan utama. Sebab, di situlah terletak kunci rahasia keselamatan yang hampir selalu dilalaikan manusia,� kata Abdul Jalil.

Syaikh Datuk Kahfi mengangguk haru mendengar uraian Abdul Jalil. Dia menangkap sasmita bahwa saudara sepupu sekaligus siswa kesayangannya itu kiranya telah menemukan hakikat Kebenaran yang selama ini dicarinya. Dengan suara bergetar dia berkata, �Aku tahu, o Anakku, bahwa engkau telah menemukan apa yang engkau cari selama ini. Karena itu, ajarilah aku tentang jalan Kebenaran Sejati menuju-Nya.� �

Ananda tidak berani berlaku tidak pantas kepada paduka, Ramanda Guru,� ujar Abdul Jalil sambil menghaturkan sembah. �Ananda hanyalah seorang siswa. Justru dari Ramanda Guru jua ananda selama ini berhasil mengatasi berbagai rintangan. Bahkan, ananda yakin Allah SWT. telah mengajarkan jalan Kebenaran Sejati kepada Ramanda Guru.� �

Engkau benar sekali, Anakku. Memang Allah SWT. selama ini telah mengajarkan jalan Kebenaran kepadaku. Namun, jalan Kebenaran yang aku lewati itu belum selesai aku lintasi. Kini Allah SWT. menyuruhku agar meminta engkau menuntun aku melewati lintasan jalan akhir kebenaran-Nya. Maklum, mungkin aku sudah tua bangka, rabun, dan tidak kuat lagi berjalan di atas jalan Kebenaran-Nya sehingga aku harus dituntun oleh yang lebih muda dan yang lebih tahu arah.�

Abdul Jalil tersenyum kagum mendengar ucapan Syaikh Datuk Kahfi. Ia tahu bahwa saudara sepupu sekaligus guru agungnya itu memang dikenalnya sebagai orang cerdik dan sangat piawai dalam memainkan kaidah-kaidah ilmu manthiq (ilmu logika). Rupanya, usia tua tidak menjadikannya lemah dalam berpikir. Diam-diam Abdul Jalil bersyukur karena selama hampir lima belas tahun ia telah dibimbing untuk menggunakan kecerdasan akalnya oleh seorang guru cerdik seperti Syaikh Datuk Kahfi. Ia pun harus mengakui bahwa dalam menggunakan nalar berpikir, jejak-jejak yang ditinggalkan Syaikh Datuk Kahfi di benaknya masih sangat jelas mencitrai kerangka dan alur berpikirnya.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, tiba-tiba Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa ada sesuatu yang terjadi pada ibunda asuhnya, Nyi Rara Anjung, yang tidak ia lihat sejak ia menginjakkan kaki ke padepokan. Dengan tergesa ia bertanya, �Ampun seribu ampun, o Ramanda Guru, di manakah gerangan ibunda saya? Kenapa sejak tadi ananda tidak melihat beliau?�

Syaikh Datuk Kahfi tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Hanya air matanya tiba-tiba jatuh bercucuran membasahi pipinya yang keriput. Setelah beberapa jenak terisak dia berkata tersendat-sendat, �Ibundamu kurang beruntung, o Anakku. Barang tiga bulan yang lalu dia telah dipanggil menghadap hadirat-Nya. Sungguh menyedihkan, dia tidak sempat melihat putera kesayangannya kembali dari rantau.� �

Inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un,� desah Abdul Jalil menarik napas panjang dan berat. �

Sesungguhnya, ibundamu tidak sakit apa-apa. Dia masih sangat sehat. Tapi aku kira dia sangat terkejut dan terpukul jiwanya.� �

Ada kejadian apakah sebenarnya, o Ramanda Guru, sehingga ibunda saya terpukul jiwanya?� �

Salah satunya peristiwa Raden Anggaraksa masuk Islam.� �

Raden Anggaraksa, putera Pamanda Rsi Bungsu?� �

Ya.� �

Apa yang membuat ibunda terpukul dengan masuk Islamnya Raden Anggaraksa?� �

Ceritanya panjang, o Anakku. Tapi, pangkalnya justru bermula dari keinginan keras Raden Anggaraksa memeluk Islam. Hal itu telah membuat marah ayahandanya yang sangat melarang keras keinginannya itu. Tetapi ia nekat dan melarikan diri dari rumah. Ia meminta perlindungan ibundamu. Ia membaca syahadat di masjid Amparan Jati dan kemudian tinggal di sini sampai dua bulan lebih. Namanya kuganti menjadi Hasan Ali, nama yang mirip denganmu.� �

Namun, tanpa terduga tiba-tiba padepokan ini diserang para begal yang dipimpin Bergola Hideung. Tiga pondok tempat siswa tinggal dibakar. Anehnya, para begal itu tidak merampok apa-apa kecuali menculik Hasan Ali. Nah, peristiwa aneh itulah yang rupanya memukul jiwa ibundamu. Bermalam-malam dia tidak bisa tidur dan terus-menerus menangis. Dia tidak saja khawatir dengan nasib kemenakannya, tetapi sifat buruk adiknya yang tak pernah bisa berubah itu pun benar-benar membuatnya sangat sedih.� �

Jadi, ibunda saya sudah tahu jika yang menyuruh para begal itu adalah Pamanda Rsi Bungsu?� �

Aku kira ibundamu lebih paham sifat adiknya itu.� �

Di manakah ibunda saya dimakamkan?� �

Di sebelah kiri tajug.� �

Ananda mohon izin berziarah ke makam beliau.� �

Sebentar,� Syaikh Datuk Kahfi menyela, �siapakah pemuda tampan di belakangmu itu?� �

Dia Syarif Hidayatullah, putera dari Syarif Mahmud al-Yamani, cucu Syaikh Syarif Abdullah al-Yamani. Ibundanya adalah puteri Abdul Malik Israil al-Gharnatah, sahabat saya. Jika ditinjau dari nasabnya, Syarif Hidayatullah masih sedarah dengan kita.� �

Berarti dia dari golongan Alawiyyin.� �

Benar, tapi dia dari golongan Syarif, keturunan Imam Hasan. Bahkan, kakeknya, Syaikh Syarif Abdullah al-Yamani adalah wali Allah yang di antara segolongannya disebut dengan nama rahasia Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri.�

Syaikh Datuk Kahfi mengangguk-angguk sambil memandangi Syarif Hidayatullah yang beringsut ke arahnya, menyalami, dan mencium tangannya. Lama dia memandangi Syarif Hidayatullah seolah-olah hendak mengukur pedalamannya. Bagaikan menyaksikan bias cahaya rembulan di malam hari, begitulah dia menangkap pancaran kemuliaan yang tersembunyi di dalam diri Syarif Hidayatullah.

Tanpa terasa telah hampir seharian Abdul Jalil menuturkan liku-liku perjalanan pencariannya. Namun ia terkejut ketika usai ziarah ke makam ibundanya, tiba-tiba Syaikh Datuk Kahfi memperkenalkan keluarganya yang baru; istri keduanya, Nyi Halimah, dan tiga orang kemenakan Nyi Halimah, yaitu Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, dan Siti Syarifah.

Tentang keluarga barunya itu, menurut Syaikh Datuk Kahfi, sesungguhnya terkait dengan kepergian Abdul Jalil dari padepokan. Saat Abdul Jalil meninggalkan padepokan barang tiga bulan, Syaikh Datuk Kahfi dengan terpaksa pergi meninggalkan Giri Amparan Jati mencari Abdul Jalil hingga ke Baghdad. Kepergian Syaikh Datuk Kahfi sendiri sesungguhnya akibat desakan, rasa iba, sekaligus rasa bersalahnya terhadap seorang saudara sepupunya yang bernama Muthmainah, yang terus memohon agar Abdul Jalil dapat kembali ke padepokan.

Selama di Baghdad Syaikh Datuk Kahfi tinggal di rumah salah seorang kenalannya yang bernama Sulaiman Rumi. Dia kemudian dinikahkan dengan saudari Sulaiman Rumi yang bernama Halimah. Setelah tinggal kira-kira tiga tahun di Baghdad dan usai menunaikan ibadah Haji, Syaikh Datuk Kahfi kembali ke Giri Amparan Jati dengan membawa serta istri dan anak-anak Sulaiman Rumi yang masih kecil. Rupanya, saat itu Sulaiman Rumi sedang dikejar-kejar oleh penguasa Baghdad karena dituduh sebagai pendukung keluarga Shafawy.

Mendengar penuturan Syaikh Datuk Kahfi, Abdul Jalil mengerutkan kening dan bertanya, �Siapakah sepupu Ramanda Guru yang bernama Nyi Muthmainah itu? Mengapa dia mendesak Ramanda Guru untuk mencari ananda?�

Syaikh Datuk Kahfi menunduk dengan air mata berlinang-linang. Kemudian dengan terisak-isak dia berkata, �Muthmainah sesungguhnya kakakmu lain ibu. Dia adalah puteri ayahandamu dengan Nyi Fatimah binti Abdul Malik Khan, asal Gujarat yang tinggal di Negeri Pasai.�

Abdul Jalil merasakan kilat menyambar kepalanya. Ia sangat terkejut dengan kenyataan yang tak pernah dibayangkannya itu. Kemudian dengan terburu-buru ia bertanya, �Jadi, saya masih memiliki seorang saudari? Kenapa Ramanda Guru tidak pernah menceritakan hal itu kepada saya?� �

Aku dan ayahanda asuhnya, Ki Samadullah, telah terikat janji dengan ayahanda angkatmu, Ki Danusela. Kami berdua terikat janji untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang jati dirimu. Karena, beliau akan mengangkatmu sebagai Kuwu Caruban, penggantinya kelak. Jika orang-orang tahu bahwa engkau bukan putera kandung Ki Danusela, pastilah kelak mereka akan menolakmu untuk menggantikan kedudukannya sebagai Kuwu Caruban. Tapi, ternyata Allah berkehendak lain. Rsi Bungsu sudah membuka semua rahasia tentang jati dirimu,� jelas Syaikh Datuk Kahfi. �

Tetapi, kenapa setelah ayahanda meninggal Ramanda Guru tidak menceritakannya kepada saya?� �

Saat itu semua sedang kalut. Keributan terjadi di mana-mana. Engkau sendiri tahu bagaimana keadaan waktu itu. Aku baru sadar saat Muthmainah datan ke sini dan menangis, memintaku untuk mencarimu yang telah pergi entah ke mana.� �

Jika demikian,� sahut Abdul Jalil, �di manakah selama ini kakak saya tinggal?� �

Muthmainah diangkat anak oleh ayahanda asuhmu, Ki Samadullah. Tetapi dia tinggal di Selapandan, dititipkan di bawah asuhan Ki Gedeng Selapandan. Dia sengaja dijauhkan darimu demi memenuhi janji kami kepada Ki Danusela.� �

Manusia pada hakikatnya hanya berusaha, tetapi Allah jua yang menentukan dan mengatur segala sesuatu,� gumam Abdul Jalil seolah kepada diri sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. �

Bahkan sesungguhnya engkau masih memiliki seorang kakak lagi yang sekarang ini tinggal di Pasai. Namanya Tughra Hasan Khan. Ia kakak kandung Muthmainah. Tetapi, sejak kecil ia diasuh oleh kakak ibundamu yang bernama Tughril Ahmad Khan,� kata Syaikh Datuk Kahfi. �

Mahasuci Allah, Zat Yang Berkuasa mengatur kehidupan makhluk sesuai kehendak-Nya.� �

Justru karena aku merasa telah berusaha mengubah sesuatu yang bertentangan dengan syari�at maka akibatnya menjadi kacau,� gumam Syaikh Datuk Kahfi pedih. �Sampai kini aku masih merasa bersalah terhadap Muthmainah, meski dia sudah memaafkan aku. Aku selalu merasa bahwa tekadnya untuk tidak menikah sebelum bertemu denganmu adalah hukuman yang berat bagiku. Aku selalu merasakan lecutan cambuk mendera hatiku setiap kali aku berbicara tentang dia.� �

Jadi, kaka saya sampai sekarang belum menikah?� �

Ya, karena dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum bertemu denganmu.� �

Berapa usaianya sekarang?� �

Dia setahun di atasmu.� �

Ananda ingin sekali menemuinya. Ananda ingin mensyukuri nikmat-Nya yang telah menggelarkan kenyataan bahwa ananda bukanlah putera tunggal dan bukan pula sebatangkara.� �

Sesungguhnya, tidak ada manusia yang sebatangkara di dunia ini,� ujar Syaikh Datuk Kahfi. �

Saat ananda tadi diberi tahu bahwa ibunda telah kembali ke hadirat-Nya, sempat ananda bayangkan Ramanda Guru tentu sangat kesepian hidup sendiri. Ternyata, Ramanda Guru sudah memiliki keluarga baru.�

Disinggung tentang keluarga barunya, Syaikh Datuk Kahfi menuturkan bahwa beberapa bulan sebelum keberangkatan Abdul Jalil meninggalkan Nagari Caruban, datanglah dua gadis kecil bernama Umi Kalsum dan Siti Zainab ke Padepokan Kuro di Karawang. Usia mereka sekitar delapan dan sembilan tahunan. Mereka meminta perlindungan kepada Syaikh Hasanuddin karena ayahanda Umi Kalsum, Sayyid Maulana Waly al-Islam, dan ayahanda Nyai Siti Zainab, Syaikh Suta Maharaja, gugur dalam pertempuran mempertahankan Kadipaten Samarang dari serbuan pasukan Demak yang dipimpin Adipati Lembusora.

Sesungguhnya, Umi Kalsum masih tergolong kerabat Syaikh Datuk Kahfi karena ayahandanya adalah putera Sayyid Jamaluddin Husein, saudara kanduk Syaikh Datuk Isa Malaka. Sayyid Maulana Waly al-Islam adalah sepupu Syaikh Datuk Ahmad dan Syaikh Datuk Sholeh. Umi Kalsum memiliki tidak kakak lelaki, yaitu Sayyid Kalkum, Sayyid Adurrahman, dan Sayyid Abdullah. Namun akibat porak-porandanya kekuatan Kadipaten Samarang, Sayyid Kalkum lari ke Negeri Benggala, Sayyid Abdurrahman lari ke Gujarat, dan Sayyid Abdullah menyingkir ke lereng Gunuhng Merbabu. Di sana dia disebut orang dengan nama Syaikh Jatiswara.

Sementara Siti Zainab pun tergolong kerabat Syaikh Datuk Kahfi karena ayahandanya adalah putera Sri Prabu Kertawijaya dengan Ratu Darawati, puteri asal Campa yang merupakan adik ipar Sayyid Ibrahim al-Ghozi as-Samarkandi, putera Sayyid Jamaluddin Husein. Jadi, baik Umi Kalsum dan Siti Zainab sesungguhnya masih terhitung kerabat karena mereka berdua adalah cucu Sayyid Jamaluddin Husein.

Selama beberapa waktu kedua gadis kecil itu tinggal di Padepokan Kuro. Tergugah oleh rasa iba melihat nasib mereka maka Syaikh Datuk Kahfi meminta keduanya tinggal di Padepokan Giri Amparan Jati sekaligus menemani Nyi Rara Anjung, yang akan ditinggalkan selama dia pergi mencari San Ali. �Saat aku kembali dari Baghdad dengan istri dan ketiga orang kemenakan istriku yang masih belum dewasa, mereka kuasuh bersama-sama dengan Umi Kalsum dan Siti Zainab. Setelah cukup umur mereka aku nikahkan. Abdurrahman Rumi aku nikahkan dengan Umi Kalsum. Abdurrahim Rumi aku nikahkan dengan Siti Zainab.� �

Jika ananda boleh bertanya, dengan nama Rumi, benarkah keluarga baru Ramanda Guru sesungguhnya bukan orang Baghdad?� �

Memang, Baha�uddin Rumi, ayah mertuaku, adalah orang asal Persia yang tinggal di Konya, Turki. Tetapi, karena beliau diburu penguasa yang menuduhnya sebagai pendukun keluarga Shafawy maka beliau kemudian berpindah-pindah dan akhirnya tinggal di Baghdad.�

Kenangan adalah bayangan yang selalu mengikuti ke mana pun manusia berada. Semua kenangan, manis maupun pahit, tidak pernah bisa ditinggalkan. Laksana bayangan, ia akan terus mengendap di relung-relung jiwa manusia. Kenangan memang tidak terpisah dengan kesan. Itu sebabnya, kesan seseorang terhadap sesuatu, sebagaimana kenangan baik manis maupun pahit, cenderung tidak berubah sekalipun kenyataan telah berubah.

Ketidaksesuaian antara kenangan dan kesan di satu sisi dan kenyataan di sisi lain, setidaknya dialami Abdul Jalil saat ia dengan didampingi Syarif Hidayatullah menghadap ayahanda dan ibunda asuhnya di Kraton Caruban Larang. Sejak berangkat dari Padepokan Giri Amparan Jati hingga menapakkan kaki di halaman Bale Rangkang, yang terbayang di benaknya adalah wajah dan sosok Ki Samadullah dan Nyi Indang Geulis sebagaimana yang pernah ia kenal dulu. Ia juga membayangkan suasana kraton yang tak jauh berbeda seperti saat masih menjadi Pakuwuan Caruban.

Namun, beda yang dibayangkan ternyata beda pula yang terpampang sebagai kenyataan. Ketika Abdul Jalil menginjakkan kaki di halaman Bangsal Kaprabon (kantor raja) di lingkungan Kraton Caruban Larang, ia justru termangu keheranan menyaksikan perubahan yang begitu dahsyat dari bumi tumpah darahnya itu. Ternyata ia salah. Kraton Caruban Larang yang sekarang tidak sama dengan Pakuwuan Caruban sebagaimana ia kenal dulu.

Pakuwuan Caruban yang dulu dikenalnya berubah dengan sangat menakjubkan. Bangsal Kaprabon yang terdiri atas tiga bangunan besar � Bangsal Manguntur, Bangsal Sri Manganti, dan Bangsal Prabhayaksa � yang menggantikan pendapa pakuwuan, terlihat tegak menjulang bagaikan bangsal seorang maharaja agung. Di belakang Bangsal Kaprabon yang dibatasi dinding baluwarti (benteng) membentang kawasan puri kediaman pribadi raja. Di dalamnya terdapat Bale Rangkang, Parapuri, Purasabha, Kaputrian, dan Kebon Raja. Sementara agak jauh ke arah tenggara terlihat menara pengawas jagasatru.

Kesalahan kesan itu terulang saat ia mengurai kembali kenangan manis masa kecil di tanah kelahiran yang telah berbelas tahun ditinggalkannya. Ia tercekam oleh kenangan belaian kasih yang tulus dari ibunda asuhnya, Nyi Indang Geulis, yang tiba-tiba berkelebatan memasuki ingatannya. Kesabaran ibunda asuhnya yang penuh perhatian mengurus segala kebutuhannya itu tiba-tiba membayang lagi di pelupuk matanya. Ia juga membayangkan kesabaran ayahanda asuhnya yang sering mengantarnya berkeliling ke desa-desa sekitar pakuwuan.

Ternyata kesan yang terbayang di benak Abdul Jalil salah lagi. Ketika menginjakkan kaki ke Bale Rangkang yang masuk ke dalam wilayah puri, ia benar-benar terkejut saat berhadap-hadapan dengan Ki Samadullah. Ayahanda asuhnya itu kini telah menjadi Raja Muda (prabu anom) Caruban Larang dengan gelar Sri Mangana. Sri Mangana bukan lagi sosok laki-laki muda bernama Ki Samadullah yang pernah dikenalnya dulu. Kesan Abdul Jalil tentang ayahanda asuhnya benar-benar salah.

Meski demikian, ia tetap dapat menangkap wajah dan sosok Sri Mangana yang masih mencerminkan citra Ki Samadullah. Hanya saja, kehidupan telah mengubahnya menjadi laki-laki gagah dan penuh wibawa di usianya yang setengah abad lebih itu. Tubuhnya jangkung. Kulitnya kuning. Wajahnya bulat dihiasi kumis tebal dan dagunya digantungi janggut. Sorot matanya tajam laksana rajawali. Siapa saja yang berhadapan dengannya akan menunduk tak kuasa menatap pancaran wibawanya. Di atas semua perubahan itu, berdasarkan kesan Abdul Jalil, Sri Mangana dalam pandangannya sekarang adalah perwujudan citra diri Ki Samadullah yang sudah matang.

Penampilan keseharian Sri Mangana memang tidak berbeda dengan penampilan Ki Samadullah yang pernah dikenalnya, yakni selalu diliputi kesahajaan. Malam itu Sri Mangana yang sedang tidak dinas terlihat duduk bersila di atas permadani tebal bikinan Persia yang digelar di Bale Rangkang. Ia hanya mengenakan kain putih yang menutupi bagian bawah tubuhnya dari perut hingga ke lutut. Kepalanya gundul ditumbuhi rambut halus dengan beberapa uban dibiarkan terbuka tanpa destar.

Kata orang, saat berdinas sebagai raja pun Sri Mangana selalu terlihat bersahaja, malah sangat bersahaja dibandingkan dengan para raja di Bumi Pasundan yang lain. Ia tidak pernah terlihat mengenakan mahkota emas bertatah intan permata. Ia juga tidak pernah terlihat mengenakan perhiasan tubuh sebagaimana lazimnya pakaian kebesaran para raja di Bumi Pasundan. Saat berdinas sebagai raja tubuhnya yang gagah hanya ditutupi jubah putih. Kepalanya ditutupi destar polos putih. Semuanya dibuat dari kain katun kasar dan tanpa hiasan. Satu-satunya benda mewah yang melekat di tubuhnya adalah sebilah keris bergagang gading berukir kepala naga dengan serasa emas dan hiasan intan permata gemerlapan. Keris itu masyhur disebut orang: Kanta Naga.

Menurut cerita, keris Kanta Naga adalah anugerah dari ayahanda Raja Caruban Larang, Prabu Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran. Keris tersebut dianugerahkan bersamaan dengan pelantikan Pangeran Walangsungsang menjadi raja muda Caruban Larang dengan gelar Abhiseka Sri Mangana. Penganugerahan keris pusaka dan nama abhiseka itu sesungguhnya menyiratkan makna yang selaras, yakni pengakuan terhadap keberadaan raja muda Caruban Larang sebagai penjaga wilayah lautan bagi Kerajaan Sunda. Kanta Naga (Sansekerta: dinding naga) adalah perlambang kubu (benteng) yang melingkari Kerajaan Sunda laksana seekor naga, sedangkan nama Abhiseka Sri Mangana (Sansekerta: cahaya kekuasaan sang ular laut) adalah perlambang sang panglima penjaga kubu.

Meski telah menduduki jabatan yang sangat penting di Kerajaan Sunda, sebagaimana sifat ular laut (mang), Sri Mangana tetap terlihat bersahaja dan tenang. Dengan kesahajaan dan ketenangannya itu ia sangat dihormati dan dimuliakan laksana maharaja agung. Kata-katanya menjadi sabda dan perintahnya menjadi titah tak tersanggah. Seluruh penghuni Caruban Larang baik yang tinggal di sekitar Kutha Caruban, lingkungan kraton di desa-desa di lereng gunung tunduk patuh di bawah kuasa dan wibawanya yang luar biasa.

Sri Mangana sendiri selain dikenal sebagai orang yang bersahaja, juga dikenal sebagai raja yang ramah dan suka bergaul dengan berbagai jenis manusia mulai raja-raja, pangeran, saudagar, ruhaniwan, kepala desa, pedagang kecil, bahkan perajin dan nelayan. Ia juga dikenal sebagai pelindung kaum fakir miskin, penegak keadilan, dan pemberi pengayoman bagi yang lemah. Harta kekayaannya senantiasa terbuka bagi mereka yang membutuhkan. Ia dikenal sebagai raja yang sangat saleh dan taat menjalankan perintah agamanya. Setiap sore usai menjalankan tugas sebagai raja muda ia selalu menyempatkan diri mengajar agama di Tajug Jalagrahan.

Kegagahan dan kewibawaan yang memancar dari pribadi Sri Mangana sesungguhnya merupakan warisan dari para leluhurnya, yaitu para raja Sunda yang agung dan mulia. Semua orang percaya, darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah biru para Raja Agung Bumi Pasundan. Semua sesepuh Caruban mengatakan bahwa Sri Mangana adalah putera Prabu Siliwangi, Maharaja Sunda yang termasyhur dengan gelar kebesaran Prabu Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Jika dirunut ke atas, galur leluhur Sri Mangana setelah Prabu Siliwangi adalah Prabu Dewa Niskala, Prabu Niskala Wastu Kancana, Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sunda Sang Mokteng Bubat (Maharaja yang gugur di Bubat), Prabu Banyak Wangi (Sang Adubasu), Prabu Banyak Larang (Sang Pulanggana), Prabu Susuk Tunggal (Sang Haliwungan), Prabu Lingga Wastu (Sang Surugana), Prabu Lingga Wesi (Sang Halu Wesi), Prabu Lingga Hyang (Bhattara Hyang Purnawijaya), Ratu Stri Purbasari Bhattari Prthiwi, Prabu Dharmastyadewa (Prabu Siung Wanara), Prabu Lingga Sakti, Prabu Arya Galuh (Sang Rawisrengga), dan Raka I Sirikan Pu Samarawikranta.

Adapun Raka I Sirikan Pu Samarawikranta adalah Raja Galuh Lalean pertama yang dikenal dengan nama Abhiseka Prabu Hari Murti Ratu Haji di Adi Mulya. Dia adalah putera Maharaja Mataram Raka I Watukara Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu dan adik lain ibu Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksayaksaya. Dyah Balitung adalah putera Raka I Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sajjanotsawatungga. Raka I Kayuwangi putera Raka I Pikatan Pu Manuku Sang Jatiningrat.

Raka i Pikatan Pu Manuku Sang Jatiningrat adalah putera Sri Mani Raja Wwotan Mas. Sri Mani putera Sang Manarah Brahmanaraja, yakni Sang Surottama pendiri Wwotan Mas. Sang Surottama putera Rahyang Tamperan (Sang Wariga Agung). Rahyang Tamperan putera Sri Maharaja Raka I Mataram Ratu Sanjaya, yang tak lain adalah putera Sang Sannaha dengan Maharaja Sanna. Dan, Sang Sannaha adalah puteri Prabu Stri Parwati Tunggal Prthiwi. Prabu Stri Parwati Tunggal Prthiwi adalah puteri hasil perkawinan Prabu Kartikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha dengan Sri Maharani Simha, pendiri Kerajaan Kalingga. Dengan demikian, jika ditarik ke atas para leluhur Sri Mangana adalah para raja Sunda keturunan Sri Purnawarman Bhimaparakramadipa, Maharaja Tarumanagara, karena baik Kartikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha maupun Sri Maharani Simha adalah keturunan Maharaja Tarumanagara.

Meski darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah para Raja Bumi Pasundan, berbeda dengan selazimnya para ningrat yang bangga dengan darah birunya, Sri Mangana, pangeran yang pernah lari dari lingkungan istana dan hidup sebagai orang kebanyakan itu, tidak membeda-bedakan keberadaan manusia berdasarkan warna kulit dan aliran darah. Ia selalu terlihat bersahaja, meski telah menduduki takhta Caruban Larang. Kesahajaannya itu setidaknya tercermin saat ia menerima putera asuhnya, Abdul Jalil, di Bale Rangkang, balai tamu pribadi raja di dalam Kraton Caruban Larang. Bagi Abdul Jalil, penerimaan dirinya di Bale Rangkang itu mengandung makna betapa sesungguhnya ayahanda asuhnya tidak pernah berubah sedikit pun dalam sikap dan kesahajaan. Bahkan, setelah menjadi raja pun ia tetap mengakui Abdul Jalil sebagai putera, bagian dari keluarga dalamnya.

Kesan keakraban antara putera dan ibunda serta ayahanda asuh yang pernah dibangun sejak masa kecil ternyata tidak berubah. Hal itu terlihat, saat mereka usai melepas rindu dan berbincang-bincang tentang keadaan masing-masing, ketika Sri Mangana mempertemukan Abdul Jalil dengan para selir dan putera-puterinya. Yang mengejutkan, ia memperkenalkan Abdul Jalil sebagai putera sulung yang selalu dirindukan kedatangannya.

Tidak berbeda jauh dengan Sri Mangana, Nyi Indang Geulis, sang permaisuri yang adalah ibunda asuh Abdul Jalil, dalam pertemuan itu juga tampil seperti biasanya, yakni sangat bersahaja sehingga tidak mengesankan bahwa dia adalah permaisuri raja. Dia tidak mengenakan perhiasan berlebih di tubuhnya, kecuali dua pasang giwang emas dengan hiasan permata sebesar butiran kacang. Meski demikian, keanggunan dan kewibawaan seorang permaisuri memancar agung dari citra dirinya. Sejumlah uban yang tampak menyelip di rambutnya yang hitam tidak menghapus gari-garis kecantikan yang masih membias di wajahnya.

Bagi Abdul Jalil, ibunda asuh yang dihadapinya malam itu, meski sudah berubah dalam tampilan, yakni lebih tua dan lebih berwibawa, tidaklah berubah dalam sikap. Ibunda asuhnya itu seperti tidak peduli bahwa ia telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang telah merasakan pahit dan getir kehidupan. Ibunda asuhnya seolah-olah tetap menganggap San Ali kecil yang bisa digendong, ditimang, dimanja, dan diawasi gerak-geriknya. Di atas itu semua, Abdul Jalil menangkap kesan bahwa ibunda asuhnya kini telah berubah menjadi perempuan yang tegas, penuh semangat, tegar, berwibawa, bahkan cenderung menguasai.

Kesan yang ditangkap Abdul Jalil tampaknya tidak keliru. Malam itu setiap orang yang berada di Bale Rangkang, baik Sri Mangana, Abdul Jalil, Syarif Hidayatullah, para selir maupun putera-puteri raja, lebih banyak menjadi pemirsa dan pendengar pembicaraan sang permaisuri. Mereka tidak berbicara jika tidak diperintah. Mereka tidak menjawab jika tidak ditanya. Saat diresapi lebih mendalam, terhampar kenyataan yang menunjukkan betapa di antara sang raja dan keluarganya yang memiliki pancaran kharisma sejatinya bukanlah sang raja, melainkan sang permaisuri, Nyi Indang Geulis.

Saat Abdul Jalil tertegun-tegun menyaksikan betapa ibunda asuhnya menjadi pusat perhatian semua orang yang hadir di Bale Rangkang, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seruan Ruh al-Haqq yang menggema dari kedalaman jiwanya, yang jika dipaparkan dalam bahasa manusia intinya kira-kira berbunyi: �Ketahuilah, o Abdul Jalil, sesungguhnya perempuan perkasa itu adalah penghulu para perempuan pada zamannya. Dia adalah perempuan yang paling sabar pada zamannya sehingga di mana pun dia berada selalu bersama-sama dengan Yang Mahasabar (ash-Shabur). Sesungguhnya, tanpa keberadaan perempuan mulia itu, sudah lama Raja Caruban Larang tumbang ke bumi memunguti remah-remah kehidupan dan menelan kekalahan yang pahit.� �

Ayahanda asuhmu memang lahir dari kalangan darah biru sebagai ksatria yang memiliki sifat pemberani, penuh semangat, tahan menderita, dan pantang menyerah. Namun, ia adalah manusia yang sembrono, kurang perhitungan, meledak-ledak, tidak pedulian, dan cenderung nekat. Sehingga, dengan sifatnya itu ia cenderung gampang terperosok ke jurang kekalahan. Sesungguhnya, tanpa pengendalian dan arahan dari permaisurinya, dia tidak akan pernah berhasil melampaui berbagai tantangan kehidupan. Tanpa istrinya, ia tidak akan pernah menjadi raja. Dan, jika engkau saksikan ke kedalaman hatinya, sesungguhnya jauh di relung-relung terdalam dirinya tersembunyi kekuatan kelam dari ilmu sakti seratus ribu hulubalang yang diperolehnya dari Gunung Kumbha(ng).�

Abdul Jalil tersentak kaget. Kemudian dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala ia memandang ibunda asuhnya penuh ketakjuban. Sungguh, mereka yang melihat ibunda asuhnya dari penglihatan indriawi tidak akan mampu menangkap kenyataan betapa di dalam penampilan ibunda asuhnya yang tegas, penuh semangat, berwibawa, dan cenderung menguasai itu sesungguhnya tersembunyi kesabaran yang tak tertandingi. Bahkan, lantaran kesabarannya itulah dia diangkat menjadi penghulu para perempuan yang dicintai Allah pada zamannya.

Kemuliaan Nyi Indang Geulis sendiri baru tersingkap sebagian ketika hari sudah larut dan semua yang hadir sudah beristirahat, kecuali Abdul Jalil yang masih duduk di Bale Rangkang bersama Sri Mangana dan Sang Permaisuri. Dengan tidak menutup-nutupi apa yang telah diterimanya dari Ruh al-Haqq, Abdul Jalil berkata, �Barusan tadi ananda mendapat isyarat gaib yang menyatakan bahwa sesungguhnya Ibunda adalah penghulu para perempuan yang paling agung dan mulia pada zaman ini. Ibunda adalah perempuan yang paling sabar sehingga di mana pun Ibunda berada, selalu bersama-sama dengan Yang Mahasabar (ash-Shabur). Apakah sesungguhnya amaliah ibadah yang telah Ibunda lakukan sehingga Ibunda berkedudukan begitu mulia di hadapan-Nya?�

Mendengar kata-kata Abdul Jalil, ganti Nyi Indang Geulis tercengang keheranan. Dengan suara bergetar dia bertanya, �O Puteraku terkasih, dari mana engkau mengetahui jika ibundamu ini selama bertahun-tahun berjuang menahan kesabaran sampai tidak lagi bisa membedakan apa yang disebut sabar dan tidak sabar? Bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa sekaran aku sudah menyerahkan segala urusan hanya kepada Yang Mahasabar? Bagaimana engkau bisa tahu jika sekarang ini tidak ada yang bisa membuatku marah karena sesungguhnya aku sudah tidak memiliki sesuatu yang bisa membuatku marah?�

Abdul Jalil tidak bisa menjawab. Ia terdiam selama beberapa jenak. Saat suasana hening tiba-tiba Sri Mangana berkata, �Engkau tidak perlu bertanya kepada puteramu bagaimana ia bisa mengetahui pedalamanmu yang aku pun tidak pernah mengetahuinya. Tetapi perlu engkau ketahui, o Adinda, bahwa dulu sewaktu puteramu masih kecil, guru agung kita, Syaikh Datuk Kahfi, pernah mengungkapkan suatu rahasia tentang puteramu itu kepadaku. Beliau saat itu berkata bahwa puteramu kelak akan menjadi kekasih Allah. Dan, aku diminta untuk melindunginya meski dengan taruhan nyawaku. Nah, Adinda, aku kira puteramu mengetahui pedalamanmu karena ia telah diberi tahu oleh Dia Yang Mengasihinya.�

Dengan mata berkaca-kaca Nyi Indang Geulis bertanya, �Benarkah ucapan ayahandamu itu, o Puteraku?� �

Ibunda,� kata Abdul Jalil tenang, �sesungguhnya untuk mengetahui apakah kita tergolong kekasih Allah atau bukan tergantung pada penilaian jujur kita terhadap diri sendiri. Maksud ananda, apakah kita sudah meyakini dengan jujur bahwa kiblat hati dan pikiran tertuju utuh hanya kepada Allah? Jika kita yakin sepenuh jiwa dan raga bahwa hati dan pikiran kita benar-benar hanya terarah kepada Allah maka sesungguhnya Allah telah mengasihi kita. Itu berarti sudah menjadi kekasih-Nya.�

Nyi Indang Geulis tersedu sedan mendengar penjelasan putera asuhnya. Kemudian dengan air mata berlinang-linang dia mengungkapkan dengan jujur keadaan jiwanya saat itu. Dia jelaskan kepada suami dan putera asuhnya bahwa saat itu sesungguhnya dia sudah tidak lagi merasakan keterikatan yang kuat dengan suami dan putera-puterinya. �Bukan aku tidak mencintai mereka, o Puteraku. Tapi, aku merasa ada semacam jarak gaib yang telah memisahkan aku dengan mereka. Aku sendiri tidak tahu apa sesungguhnya yang sedang aku alami.� �

Ibunda, sesungguhnya keindahan perjalanan hidup manusia bukanlah saat ia berada di puncak kehidupan yang sejati. Ibarat seseorang mendaki gunung, keindahan perjalanan hidup bukanlah kebanggaan dan bukan pula kegembiraan saat ia berada di puncak. Melainkan, liku-liku perjuangan saat ia meninggalkan rumah, keluarga, kampung halaman, dan merangkak di antara tebing-tebing yang curam itulah keindahan dari sebuah perjalanan hidup.� �

Karena itu, o Ibunda, sangatlah wajar jika Ibunda saat ini yang sudah berada di puncak justru merasakan ada jarak gaib yang memisahkan ibunda dengan suami, putera-puteri, dan segala sesuatu yang Ibunda miliki. Karena, Ibunda sudah berada di puncak kehidupan yang sejati. Saat ini sejauh Ibunda menyapukan pandangan, hanya langit luas, gumpalan awan, gugusan sawah, hutan, desa-desa, aliran sungai, dan lautan saja yang tampak di kejauhan. Ibunda tidak merasa memiliki semuanya. Ada jarak yang memisahkan Ibunda dengan mereka. Bahkan, jika dirasa-rasakan saat ini Ibunda sesungguhnya tegak sendirian di puncak gunung kehidupan. Ibunda hanya dikawani rasa sunyi, senyap, hening, dan hampa. Dan, sesungguhnya rasa hampa yang meliputi Ibunda, yakni rasa hampa yang tak terjangkau akal, tak tersentuh pikiran, tak terbayangkan, tak terbandingkan, itulah hakikat sejati dari kedekatan Ibunda dengan Sang Hampa (laisa kamitslihi syaiun) yaitu Sang Mahaada (al-Wujud), Yang Zhahir dan Batin.� �

Benarlah apa yang engkau ucapkan, o Puteraku,� ujar Nyi Indang Geulis. �Saat ini aku merasakan sesuatu yang aneh pada jiwaku. Aku merasakan jiwaku kosong, tetapi sekaligus penuh. Ketika kuintai kekosongan yang kudapati justru kepenuhan. Ketika kuanggap penuh, ia justru kosong. Karena itu, tidak ada kesedihan, kegembiraan, kekecewaan, sukacita, dan berbagai jenis perasaan yang bisa masuk dan bersemayam di dalam hatiku. Sungguh! Selama ini tidak ada satu pun orang yang bisa menjelaskan kepadaku apa sesungguhnya yang telah aku alami ini. Sebab, aku tidak pernah mengungkapkannya, bahkan kepada ayahandamu pun aku tidak pernah bercerita.� �

Berbahagialah Ibunda yang telah sampai di puncak kehidupan sejati. Tetapi jika ananda boleh tahu, laku kesabaran apa yang telah Ibunda laksanakan sehingga Ibunda bisa mencapai kedudukan yang begitu mulia di hadapan-Nya?�

Nyi Indang Geulis diam sejenak seolah mengingat-ingat. Beberapa saat kemudian dia bercerita bahwa pada awalnya dia sangat terkesan oleh wejangan Syaikh Datuk Kahfi saat mengupas hakikat agama. Menurut Syaikh Datuk Kahfi, pada hakikatnya apa yang disebut agama adalah ajaran yang melatih, menekan, bahkan memaksa manusia untuk menahan dan mengekang diri dari dorongan keakuan. Pengekangan diri, menurut Syaikh Datuk Kahfi, bisa menjadi siksaan bagi mereka yang mencintai kehidupan duniawi. Tetapi sebaliknya, pengekangan akan menjadi kegembiraan bagi para pencari Kebenaran Sejati.

Ajaran agama yang dimaknai pengekangan diri itu ternyata memiliki arti yang luas dan mendalam. Sebab, telah terbukti bahwa segala sesuatu yang terkait dengan amaliah ibadah yang diajarkan oleh agama-agama yang benar, pada hakikatnya dinilai sebagai penyiksaan oleh para pecinta kehidupan duniawi. Orang-orang Hindu yang melakukan upawasa (puasa), menjalankan dharma, melakukan yoga-samadi, menjalani wairagya, oleh para pecinta kehidupan duniawi dianggap telah melakukan kebodohan dalam bentuk penyiksaan diri. Padahal, bagi para pencari Kebenaran Sejati, tanpa perjuangan keras mengekang dan menyiksa diri, seorang manusia tidak akan pernah menjadi orang-orang suci yang tercerahkan seperti para Rishi, Brahmana, Sannyasin, dan Sadhu.

Orang-orang muslim pun jika dilihat dari pandangan para pecinta kehidupan duniawi tidak lepas dari kecenderungan mengekang dan menyiksa diri. Itu tercermin dari ketentuan ajaran Islam untuk berkhitan, berpuasa menahan lapar dan dahaga sebulan penuh, bersembahyang wajib sehari lima kali ditambah sembahyang sunnah, berzakat dan bersedekah mengeluarkan harta, menunaikan ibadah haji, dan berbagai ibadah nawafil yang lain yang oleh para pecinta tubuh dianggap sebagai kebodohan dan penyiksaan diri. �

Saat aku bertanya kepada guru agung apakah amaliah ibadah yang paling menyiksa, tetapi paling utama bagi seorang perempuan?� ujar Nyi Indang Geulis, �beliau menjawab: sabar dan ikhlas dimadu.� �

Ah, ananda tadi sudah mengira ketika Ibunda memperkenalkan dua selir Ramanda Ratu beserta putera dan puterinya,� Abdul Jalil tersenyum lebar. �Ananda sudah menduga Ibunda pasti melewati jalur pintas yang luar biasa berat itu.� �

Tapi tungguh dulu,� tukas Nyi Indang Geulis. �Sesungguhnya bukan aku yang dimadu oleh ayahandamu, sebaliknya aku yang sengaja memadukan diriku.� �

Maksud Ibunda?� �

Yang merencanakan semua perkawinan ramandamu adalah aku. Padahal, saat itu ramandamu sedikit pun tidak memiliki niat untuk menikah lagi.� �

Mahasuci Allah,� gumam Abdul Jalil. �Dia telah membentangkan jalan-jalan menuju-Nya dengan cara yang tak terduga dan tak terpikirkan. Tetapi sebagaimana yang ananda tadi jelaskan, keindahan bagi sang pemenang bukanlah saat ia meraih kemenangan. Keindahan bagi pendaki gunung bukanlah saat ia berada di puncak, melainkan justru perjuangan menuju puncak itulah perjalanan yang terindah.� �

Benarlah apa yang engkau ucapkan itu, o Puteraku,� kata Nyi Indang Geulis. �Saat aku sendirian di puncak dan kemudian teringat akan masa-masa jahil ketika aku masih menjadi pecinta kehidupan duniawi, sering aku menertawakan sendiri kebodohan diriku. Saat itu betapa tidak tahu malunya aku karena menganggap segala apa yang mengitariku adala mutlak milikku. Suami, anak-anak, keluarga, perhiasan, harta benda, rumah, kehormatan, kemuliaan, dan sanjungan kuanggap sebagai milikku yang tak bisa diganggu gugat. Ketika itu aku sungguh-sungguh merasa diriku seperti iblis jahat yang tidak pernah rela melihat manusia lain beroleh keberuntungan, kegembiraan, kebahagiaan, dan kemuliaan yang melebihi diriku. Semuanya seolah-olah harus kuakui sebagai milikku.� �

Berkali-kali aku tanya diriku apakah sesungguhnya beban tanggungan yang paling berat bagi manusia? Kuperoleh jawaban: beban tanggungan terberat bagi manusia adalah keangkuhan dan kepongahan seekor merak yang dengan sombong membentangkan ekornya di bawah intaian harimau pemangsa. Atau, kebanggaan seekor gajah yang membanggakan kebesaran tubuhnya yang terperosok ke perigi. Atau, nyanyian seekor burung yang berkicau di sangkar emas. Atau, kelincahan seekor kijang yang diincar panah pemburu. Itu berarti, sesungguhnya beban tanggungan terberat bagi manusia adalah beban keakuan yang menjadikan manusia sebagai hewan pengangkut beban. Ya, beban keakuan yang menyebabkan jiwa manusia berlutut seperti kuda yang memohon punggungnya ditunggangi beban. Adakah kejahilan yang melebihi kebodohan dan ketololan manusia yang sudah diperbudak beban keakuan diri yang mengendalikan jalan hidupnya?� �

Syukurlah, kejahilan jiwaku yang gelap, pengap, dan panas laksana api itu berangsur-angsur pupus digantikan pancaran keindahan ketika aku lewati liku-liku pendakian hidup yang curam dan terjal. Perlahan-lahan tetapi pasti, aku tanggalkan beban keakuan yang memberati punggungku. Aku lepaskan keterikatanku pada suami. Aku lepas rasa kepemilikanku terhadap suami. Saat itu aku yakinkan sepenuh jiwaku bahwa sesungguhnya suamiku bukanlah milikku. Suamiku adalah milik Allah. Demikian pun, aku tekan rasa kepemilikanku untuk bisa bersabar dan ikhlas menyaksikan perempuan lain � para maduku � menikmati kebahagiaan bersama suamiku. Ah, betapa indah saat aku bergulat mati-matian memerangi diriku sendiri. Betapa indahnya saat aku menitikkan air mata di lereng terjal pendakianku. Dan, betapa indah saat awal aku gapai puncak kemenanganku.� �

Jika Ibunda tidak keberatan, bolehkah ananda mendengarkan kisah indah Ibunda saat berjuang menaklukkan diri sendiri, agar nanti bisa ananda ceritakan kepada istri-istri ananda. Biarlah mereka berdua meneladani keteguhan dan ketegaran Ibunda mertuanya yang telah berhasil meraih kemenangan dan mengibarkan bendera kejayaan,� ujar Abdul Jalil.

Seperti tanpa beban apa pun Nyi Indang Geulis menuturkan liku-liku cerita yang melatari perkawinan suaminya. Mula-mula, ia memaparkan kenyataan betapa selama bertahun-tahun perkawinannya ternyata tidak dikaruniai keturunan. Namun, saat itu dia tidak pernah merasakan keadaan itu sebagai sesuatu yang berat karena dia selalu menumpahkan kasih sayang seorang ibu kepada putera asuhnya, San Ali. �Tetapi, semenjak kepergianmu, o Puteraku, aku rasakan hidupku tiba-tiba menjadi sepi dan lengang. Apa yang aku rasakan itu ternyata dirasakan juga oleh ramandamu. Akhirnya, aku meminta saran guru agung. Dan, beliau menuturkan tentang ketentuan hukum kauniyah adanya pertemuan dan perpisahan, di mana keberadaan agama pada hakikatnya adalah melatih manusia untuk tulus mengikuti hukum kauniyah itu dengan pengekangan-pengekangan dan bahkan penyiksaan diri,� ujar Nyi Indang Geulis.

Langkah awal yang dilakkukannya untuk mengekang diri, ungkap Nyi Indang Geulis, adalah memohon kepada Syaikh Datuk Kahfi untuk menikahkan suaminya dengan Nyai Retna Riris, puteri almarhum Ki Danusela. Mula-mula Syaikh Datuk Kahfi terkejut dengan permohonan itu, namun akhirnya ia bisa memahami. Pernikahan itu terjadi dan hasilnya adala seorang putera yang dinamai Pangeran Cirebon.

Mendengar uraian Nyi Indang Geulis bahwa istri kedua Sri Mangana adalah puteri Ki Danusela, Abdul Jalil tercekat kaget. Sebab, sepengetahuannya, Ki Danusela, ayahanda angkatnya itu, tidak memiliki keturunan seorang pun. Itu sebabnya dengan penasaran ia bertanya, �Apakah Ibunda maksud Ki Danusela, ayahanda Nyi Retna Riris itu adalah ayahanda saya?� �

Ya, benar begitu, Puteraku.� �

Bukankah beliau tidak memiliki keturunan seorang pun?� �

Dari ibundamu Nyi Ratu Inten Dewi, beliau memang tidak memiliki keturunan. Namun, dari istrinya yang bernama Ratu Arumsari, puteri Yang Dipertuan Singhapura, beliau memiliki puteri bernama Nyi Retna Riris.� �

Kenapa ananda tidak pernah tahu akan hal itu?� �

Tentang itu tanyalah ayahandamu sebab ayahandamu lebih tahu tentang persoalan itu.�

Abdul Jalil menarik napas berat dan kemudian memandang Sri Mangana dengan tatapan memohon. Sri Mangana yang tidak sampai hati menyaksikan putera asuhnya terombang-ambing ketidakpastian, akhirnya bercerita. �

Ketahuilah, o Puteraku, bahwa sesungguhnya ayahandamu memang memiliki istri selain ibundamu, yaitu Ratu Arumsari. Dan, sesungguhnya Ratu Arumsari adalah bibiku karena dia adala puteri Ratu Surantaka. Sedangkan Ratu Surantaka adalah saudara lain ibu dari kakekku, Ki Gedeng Tapa. Ratu Surantaka adalah putera kakek buyutku, Prabu Kasmaya dengan Ratu Suragharini Bhre Singhapura, puteri Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit.� �

Karena di dalam diri Ratu Arumsari mengalir darah Majapahit maka atas perintah ayahandaku, Prabu Guru Dewata Prana, Ki Danusela menikahinya. Tujuannya tidak lain untuk memasukkan semua kekuatan Majapahit di Bumi Pasundan ke dalam lingkungan kekuasaan Maharaja Sunda. Bahkan, beberapa waktu setelah ayahandamu meninggal dan aku menikahi Nyi Retna Riris, datanglah utusan dari Pakuan Pajajaran yang membawa pesan Sri Maharaja agar aku menikahi puteri Ki Danusela itu. Saat itu aku katakan kepada utusan itu bahwa sesungguhnya aku telah menikahinya beberapa waktu lalu sebelum perintah itu aku terima.� �

Jika demikian, Nyi Retna Riris adalah saudara angkat saya?� �

Demikianlah sebenarnya. Dia sekarang bernama Nyi Kencana Larang?� �

Jika demikian, tentunya Nyi Kencana Larang masih sepupu Ibunda Nyi Indang Geulis.� �

Benarlah demikian, o Puteraku, karena ayahanda Nyi Kencana Larang adalah adik Ki Danuwarsih, ayahanda ibundamu Nyi Indang Geulis.� �

Tapi, kenapa perkawinan itu dilakukan secara diam-diam dan seolah-olah rahasia?� �

Sebab, di balik niat perkawinan ayahandamu dengan Ratu Arumsari tersembunyi iktikad untuk menghilangkan pengaruh Majapahit. Itu sebabnya, setelah penguasa Singhapura, Dyah Surawijaya Bhre Singhapura, meninggal, yang menggantikannya adalah kakekku, Ki Gedeng Tapa, yakni kemenakan tirinya. Di bawah kakekku itulah nama Singhapura diam-diam ditenggelamkan oleh nama Pasambangan.�

Abdul Jalil mengangguk-angguk. Ia memahami penjelasan ayahanda asuhnya itu. Ia sadar bahwa di balik perkawinan-perkawinan itu sesungguhnya terselip hasrat perebutan kekuasaan yang dahsyat. Lantaran tak ingin terperangkap ke dalam lingkaran setan tak berujung pangkal, ia pun meminta ibundanya, Nyi Indang Geulis, untuk melanjutkan kisah perjuangan menaklukkan keakuannya.

Nyi Indang Geulis melanjutkan cerita dengan menuturkan kehadiran seorang ulama asal Negeri Campa bernama Syaikh Ibrahim Akbar bersama puterinya, Nyai Rasa Jati. Syaikh Ibrahim Akbar adalah sepupu Raden Ali Rahmatullah, Bupati Surabaya. Semula Syaikh Ibrahim Akbar tinggal di rumah kerabatnya, Syaikh Hasanuddin bin Yusuf Siddhiq, di Padepokan Kuro, Karawang. Tak lama sesudah itu ia dan puterinya tinggal di Junti dan kemudian di Giri Amparan Jati.

Bersimpati terhadap nasib tak beruntung yang dialami Syaikh Ibrahim Akbar dan puterinya, akhirnya Nyi Indang Geulis meminta agar Syaikh Datuk Kahfi menikahkan Nyai Rasa Jati dengan suaminya. Keinginan Nyi Indang Geulis itu pun dikabulkan oleh Syaikh Datuk Kahfi. Dari pernikahan itu Sri Mangana dikaruniai tujuh puteri, yaitu Nyai Rara Konda, Nyai Rara Sejati, Nyai Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga, Nyai Campa, dan Nyai Rasa Melasih.

Pergulatan Nyi Indang Geulis untuk menaklukkan diri sendiri ternyata berbuah kegembiraan yang tidak pernah diduganya. Saat dia sudah tidak lagi mengharapkan kelahiran seorang bayi dari rahimnya, tiba-tiba saja dia hamil. Padahal, saat itu usia perkawinannya sudah lebih dari dua puluh tahun. Lalu lahirlah seorang puteri yang dinamai Pakungwati. �Lahirnya puteriku itu sempat membuatku berpaling. Puteriku sempat menjadi buah hatiku dan kuanggap sebagai milikku yang paling berharga. Tetapi, kemudian aku sadari bahwa dia sesungguhnya milik-Nya, yang digunakan untuk menguji keteguhan hati dan kesetiaanku kepada-Nya.�

Nyi Muthmainah yang masyhur disebut Nyi Mas Gandasari, puteri angkat Raja Caruban Larang, Sri Mangana, adalah perempuan yang sangat cantik. Tubuhnya tinggi dan terkesan sangat jangkung dibandingkan dengan perempuan Sunda seumumnya. Mukanya bulat telur. Bentuk matanya bulat indah dengan bulu mata lebat. Namun, di balik mata yang indah itu memancar sorot ketegaran sebongkah bukit karang tak tergoyahkan. Hidungnya tinggi dan mancung. Bibirnya berbentuk sangat indah, tetapi selalu mengatup.

Penampakan fisik Nyi Mas Gandasari adalah penampilan perempuan yang lahir dari macam-macam anasir bangsa. Dari ibundanya mengalir darah Hindustan dan Mongolia karena leluhurnya adalah keturunan Janghiz Khan yang menaklukkan Hindustan dan mendirikan Dinasti Moghul. Sedangkan dari ayahandanya mengalir darah Arab-Hindustan-Campa karena neneknya dari pihak ayah adalah seorang muslimah asal Campa yang tinggal di Malaka. Dan, boleh jadi karena mewarisi berbagai-bagai aliran darah maka naluri yang mengendap di kedalaman jiwa Nyi Mas Gandasari agak berbeda dengan seumumnya perempuan Sunda. Baju warna hitam penutup tubuh bagian bawah, memang terlihat aneh bagi seumumnya perempuan di Bumi Pasundan yang hanya menutup bagian bawah tubuhnya � sebatas perut ke bawah lutut � dengan kain. Sementara itu, sebilah keris yang terselip di dadanya menunjukkan Nyi Mas Gandasari adalah seekor singa betina pada zamannya; singa betina yang ditakuti binatang jantan yang bukan singa.

Menurut cerita orang-orang Caruban Larang, Nyi Mas Gandasari merupakan puteri Syaikh Datuk Sholeh yang diangkat anak oleh Raja Caruban Larang untuk dijadikan panglima perempuan Caruban Larang yang bakal mengalahkan penguasa Galuh Pakuan. Sebab, menurut ramalan, Yang Dipertuan Galuh, Ratu Aji Surawisesa, Sang Putera Mahkota Pakuan Pajajaran, yang tidak lain adalah saudara lain ibu Sri Mangana, konon tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh seorang perempuan hing wanojaha kang pangawijing. Entah benar entah tidak cerita orang-orang Caruban Larang yang berkembang dari mulut ke mulut itu, yang jelas orang akhirnya melihat dengan mata kepala sendiri keberadaan Nyi Mas Gandasari sebagai pendekar wanita yang sakti mandraguna; wanojaha linggihing pangelmu wuleding raga kang sakti mandraguna; wanojaha pangestu mungguhing sesanggah.

Sementara menurut cerita orang-orang Galuh Pakuan, Nyi Mas Gandasari sengaja disiapkan sebagai alat oleh Sri Mangana untuk merebut takhta Pakuan Pajajaran yang sudah jelas-jelas menjadi hak Ratu Aji Surawisesa, sang putera mahkota, yakni putera Prabu Guru Dewata Prana dari permaisuri. Niat Sri Mangana itu setidaknya terlihat saat terjadi kekisruhan di Pakuwuan Caruban. Saat itu, Ki Danusela, Kuwu Caruban, adalah menantu Ratu Aji Surawisesa. Namun, saat Ki Danusela meninggal secara misterius dan kedudukannya digantikan oleh Rsi Bungsu, putera Ratu Aji Surawisesa, justru Sri Mangana merebutnya dengan kekerasan bersama-sama dengan orang Demak. Bahkan setelah menduduki jabatan Kuwu, Sri Mangana masih belum puas dan meminta kepada ayahandanya agar dianugerahi jabatan Raja Caruban Larang.

Entah yang benar orang-orang Caruban Larang atau orang-orang Galuh Pakuan, orang umumnya hampir tidak peduli dengan pertikaian dua bersaudara tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Hari demi hari orang-orang justru seperti tidak ada bosan-bosannya membicarakan kecantikan, kegagahan, sekaligus kesaktian Nyi Mas Gandasari. Ibarat wangi bunga yang memabukkan kumbang-kumbang jantan, begitulah keharuman nama Nyi Mas Gandasari telah memabukkan banyak lelaki. Namun setiap kali datang kumbang hendak membaui keharumannya, Nyi Mas Gandasari selalu menghalau mereka dengan duri-durinya yang tajam.

Orang bilang jumlah kumbang jantan yang luka tertusuk duri bunga Gandasari sudah tidak terhitung. Di antara beberapa kumbang jantan yang terbanting dari kelopak bunga harum Gandasari yang diingat orang adalah Ki Gedeng Plered, Ki Gedeng Dermayu, Ki Gedeng Pekandangan, Ki Gedeng Paluamba, Ki Gedeng Sindanggaru, Ki Gede Sembung, Ki Gede Bungko, dan Syaikh Magelung.

Sekalipun kesaktian dan keteguhan Nyi Mas Gandasari sudah termasyhur melebihi laki-laki, hati yang tersembunyi di dalam dadanya sesungguhnya tetaplah hati perempuan yang penuh kasih dan kelembutan. Hal itu terlihat tatkala Sri Mangana mengunjunginya dengan mengajak Abdul Jalil. Semula, seperti sikap sehari-harinya dalam menghadapi laki-laki, dia sedikit pun tidak menghiraukan Abdul Jalil. Dia hanya menyongsong ayahanda angkatnya dan mempersilakannya masuk.

Saat Abdul Jalil duduk bersila penuh hormat di hadapannya, Nyi Mas Gandasari tetap tidak menghiraukannya meski dia merasakan suatu sentuhan melintas di hatinya saat sepintas melihat Abdul Jalil. Namun, sentuhan itu ia abaikan karena yang terbayang di dalam benaknya adalah kesan bahwa kehadiran ayahanda angkatnya tentu tidak jauh berbeda dengan kehadiran-kehadiran sebelumnya, yakni memintanya untuk menikah dengan lelaki yang dianggapnya baik.

Namun, anggapan Nyi Mas Gandasari ternyata salah. Saat ayahanda angkatnya menjelaskan bahwa laki-laki muda yang duduk di hadapannya adalah adik yang selalu dirindukannya selama bertahun-tahun, yaitu San Ali, runtuhlah keteguhan bukit karang hatinya yang termasyhur itu. Bagaikan selembar kain jatuh, dia duduk berlutut dan merangkul adik yang dirindukannya sambil menangis tersedu-sedu. Dia menjadi perempuan biasa yang berhati sangat lembut.

Abdul Jalil membiarkan Nyi Mas Gandasari menumpahkan semua gelegak perasaannya. Ia membiarkan jubah di bagian bahunya basah oleh air mata bahagia kakaknya. Ia hanya duduk bersila sambil merenungi liku-liku kehidupan yang dilaluinya yang penuh pergulatan tak berkesudahan dan hampir selalu menampilkan keanehan-keanehan yang tak ia pahami.

Betapa aneh hidup ini jika direnungkan, ujarnya dalam hati. Betapa berbelit hidup ini jika dipikir-pikir. Betapa mengherankan hidup ini jika dibayang-bayangkan. Dan, betapa berat hidup ini jika diingat-ingat lekuk dan likunya. Namun sebagai manusia yang sudah merasakan pahit dan getir hidup hingga mencapai kedewasaan ruhani, aku sadar bahwa hidup adalah untuk dinikmati dan dijalani apa adanya tanpa perlu dipikir-pikir, direnung-renung, dibayang-bayangkan, dan diingat-ingat. Hidup adalah ibarat setitik air yang harus setia pada aliran hukum kauniyah yang menyeretnya ke lingkaran siklus, yaitu menuju ke Muara dan sekaligus Sumber Sejati.

Sri Mangana yang berdiri di belakang Abdul Jalil dan menyaksikan pemandangan mengharukan itu berkali-kali menarik napas berat. Beberapa jenak kemudian dengan terbatuk-batuk kecil ia berkata, �Sekarang sirna sudah kabut kepedihan karena terbitnya matahari kebahagiaan. Engkau, putera dan puteriku terkasih, adalah rembulan dan matahari yang didambakan oleh mereka yang sedang berada di dalam kegelapan. Sebagaimana dambaanku yang ingin melihat kalian berdua sebagai rembulan dan matahari yang ditunggu terbitnya oleh umat manusia pada siang dan malam hari, demikianlah hendaknya kalian berdua memaknai hidup kalian.�

Nyi Mas Gandasari tersadar dia telah cukup lama mengabaikan ayahanda angkatnya. Buru-buru dia bersimpuh menyembah sambil berucap, �Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu. Ananda telah berlaku kurang pantas membiarkan Ramanda Ratu. Ananda memohon ampunan dari Ramanda Ratu.� �

Sudahlah, tidak perlu berbasa-basi,� sahut Sri Mangana duduk bersila di samping Abdul Jalil. �Aku ini ayahanda kalian berdua. Aku tahu, pusaran nasib telah memisahkan kalian berdua. Tetapi, aku berharap kalian berdua, terutama engkau, o Puteriku, untuk bisa berbesar hati menerima kehendak-Nya meski itu sering tidak engkau pahami.� �

Ananda mempusakakan wasiat Ramanda Ratu.� �

Satu hal yang harus engkau ketahui, yaitu adik yang terus-menerus engkau rindukan sekarang telah kembali dengan membawa kemenangan. Maksudku, ia telah berhasil meraih keinginannya yaitu menemukan Kebenaran Sejati. Itu sebabnya, sebagaimana aku, hendaknya engkau pun belajar darinya tentang jalan Kebenaran Sejati.� �

Benarkah demikian, o Adikku,� tanya Nyi Mas Gandasari dengan mata berkilat-kilat penuh harap. �

Maafkan saya, o Ayunda,� Abdul Jalil merendah, �sesungguhnya jalan Kebenaran yang telah saya temukan hanyalah jalan Kebenaran menuju Dia, al-Haqq, Yang Tak Terjangkau Akal dan Tak Tersentuh Pancaindra. Maksudnya, saya tidak memiliki ilmu kesaktian dan kedigdayaan seperti aji-aji kememayam, pangasihan, pangabaran, kapaliyasan, karosan, kateguhan, pangerutan, dan kadewan. Jadi, meski saya mengetahui jalan Kebenaran, saya bukanlah orang yang memiliki kelebihan apa pun apalagi sakti mandraguna.�

Nyi Mas Gandasari tersentak kaget mendengar ujar Abdul Jalil. Sebab, beberapa macam ilmu yang disebut oleh adiknya itu justru merupakan ilmu andalan yang dia warisi dari Sri Mangana dan Ki Gede Selapandan, gurunya. Sambil tersenyum kecut dia berkata kepada Sri Mangana, �Ramanda Ratu ternyata benar. Rupanya, dia bisa mengetahui segala apa yang ada di dalam diri kita. Itukah yang disebut waskita? Weruh sadurunge winara?� �

Karena itulah aku sendiri ingin belajar tentang ilmu Kebenaran Sejati kepadanya.� �

Mohon maaf kepada Ramanda Ratu dan Ayunda,� Abdul Jalil menyela, �sesungguhnya, saya sedikit pun tidak memiliki kewaskitaan untuk bisa mengetahui hal-hal gaib dan kejadian yang akan datang. Sungguh, demi Allah, saya tidak memiliki kemampuan itu. Saya hanya berbicara sesuai �sentuhan rasa� yang saya rasakan di kedalaman relung-relung jiwa saya. Dengan demikian, sesungguhnya saya tidak mengetahui apakah ucapan saya itu mengenai seseorang atau tidak.� �

Justru �sentuhan rasa� yang engkau hamburkan lewat mulutmu itulah, o Puteraku, yang sering menelanjangi orang seorang. Dan sebagaimana telah dialamai orang lain, aku kira kakakmu pun barusan tadi telah engkau telanjangi hingga terlihat jelas semua ilmu yang disembunyikannya. Aku rasa, aku pun tinggal menunggu giliran,� ujar Sri Mangana tertawa.

Abdul Jali tertegun. Sesaat kemudian ia pun tertawa.

Malam terus bergulir bersama putaran roda waktu. Sri Mangana, Nyi Mas Gandasari, dan Abdul Jalil seperti jari-jari roda, ikut berputar dalam pusaran perbincangan; menyeret masa lalu dan menarik masa depan. Sebagai anak negeri yang sudah melanglang buana hingga menjadi salah satu warga Bumi Pasundan yang terbuka cakrawala pandangnya, ia terlihat lebih banyak menguraikan tentang perubahan-perubahan yang bakal terjadi di berbagai negeri di muka bumi. �Tidak terkecuali Bumi Pasundan, akan terlanda prahara perubahan. Itu sebabnya, bagi mereka yang belum sadar dengan datangnya perubahan dahsyat itu pastilah bakal tersapu dari permukaan bumi.�

Read More ->>

AIN AL-BASHIRAH

Ain al-Bashirah

Saat-saat awal ketersingkapan (kasyf) kesadaran jiwa adalah saat-saat yang paling berkesan bagi seorang penempuh jalan ruhani (salik). Dikatakan paling berkesan karena selama melintasi detik-detik terhalaunya gumpalan awan hitam penutup hati (ghain) yang menyesaki jiwanya, seorang salik akan mengalami pengalaman yang tak pernah ia pikirkan dan ia bayang-bayangkan sebelumnya.

Dengan ketakjuban luar biasa, saat itu sang salik akan merasakan pancaran kecermelangan purnama ruhani (zawa�id) melimpahi relung-relung kalbunya yang diliputi pemahaman ruhani (fawa�id). Ia juga akan merasakan betapa menggetarkan dan memesonanya saat mata batin (�ain al-bashirah) dengan kejernihan dan kebeningan kesadaran jiwanya menyaksikan pancaran keindahan bintang-gemintang pengetahuan hati (thawali�) yang tak tergambarkan oleh bahasa manusia.

Ketersingkapan awal seorang salik adalah pengalaman paling menggetarkan yang tidak akan terlupakan. Karena dalam detik-detik dari rentangan waktu itu, kesadaran jiwanya akan menyaksikan gambaran-gambaran matra baru yang serba asing yang dicitrai nuansa pelangi aneka rasa dan aneka warna kebahagiaan. Ibarat hari-hari malam dari cakrawala al-basyar yang gelap diliputi kesunyian, kepedihan, nestapa, dan duka cita, ketersingkapan itu menyembulkan purnama kesadaran cahaya berkah dalam alunan irama musik dan nyanyian ruhani.

Sebagaimana para salik yang lain, saat mengalami peristiwa awal penyingkapan kesadaran jiwa itu, Raden Ketib tercengang-cengang dalam pesona ketakjuban. Bagaikan mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa, dalam waktu cukup lama ia masih merasakan betapa kuat kesan itu melekat di relung-relung ingatannya. Ia seperti masih bisa merasakan betapa saat itu seolah-olah bertiup angin yang membadai dan mengamuk dari relung-relung kedalaman jiwanya, menghalau gumpalan awan hitam penutup hati ghain yang menyesaki cakrawala jiwanya. setelah itu, dengan sangat jelas, ia saksikan terbitnya matahari zawa�id yang bersinar gemilang menerangi relung-relung pemahaman fawa�id yang membentang di cakrawala jiwanya.

Meski kesan dari peristiwa itu sangat kuat melekat di relung-relung kedalaman jiwanya, Raden Ketib sendiri sulit menggambarkan dengan bahasa manusia tentang bagaimana sejatinya rangkaian penyaksian dan perasaan yang dialaminya saat detik-detik kesadaran jiwanya itu tersingkap. Ia hanya bisa membandingkan pengalamannya itu ibarat kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Demikianlah ia merasakan kesadaran jiwanya tersingkap. Kemudian, dengan kepak sayap yang indah sang kupu-kupu terbang bebas menyaksikan keluasan dunia baru yang jauh lebih akbar dan menakjubkan dibandingkan dengan kepompong.

Di tengah semerbak wangi bunga-bunga, sejuk udara, dingin embun, dan hangatnya mentari pagi, sang kupu-kupu yang keluar dari kepompong mengepakkan sayap untuk mencari sari madu di antara kelopak bunga sambil memuji keagungan dan kemuliaan Ilahi. Sang kupu-kupu merasa dunianya adalah dunia keindahan dan kesucian yang diliputi keagungan dan kemuliaan. Namun, saat terbang di antara bunga-bunga itulah dengan pandang heran ia melihat � dengan pandangan mata seekor kupu-kupu � kawanan ulat yang ganas dan rakus menggeragoti daun-daun, buah, dan bunga dari Pohon Kehidupan. Ah, betapa rakus. Betapa ganas. Betapa menjijikkan. Tidak ada manfaat apa pun dari ulat-ulat ganas dan rakus itu selain merusak dan membinasakan Pohon Kehidupan. Dan, sang kupu-kupu pun berkata dalam hati, �Sesungguhnya, dari ulat-ulat yang ganas, rakus, dan menjijikkan itulah aku dulu berasal.�

Selama mengalami ketersingkapan itu Raden Ketib merasakan tengara misterius yang mengisyaratkan betapa sesungguhnya awan hitam ghain yang bergumpal-gumpal menyesaki jiwanya itu tidak pernah terhalau tanpa kehendak Yang Ilahi, yakni Dia Sang Pencipta, Yang Berkuasa mutlak memberi petunjuk (al-Hadi) sekaligus Yang Berkuasa mutlak menyesatkan (al-Mudhill) makhluk ciptaan-Nya. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya, yang jelas sejak mengalami peristiwa itu ia benar-benar merasa gumpalan awan hitam penutup hatinya disibakkan oleh kuasa gaib al-Hadi, seibarat terkuaknya lapisan kepompong saat sang ulat hendak keluar menjadi kupu-kupu.

Pengalaman ruhani adalah pengalaman rasa. Itu sebabnya, Raden Ketib tidak bisa menjelaskan dalam bahasa manusia bahwa sesungguhnya keakuannya tidak ikut campur dalam proses menguak lapisan kepompong saat ia merasakan keberadaan dirinya sebagai kupu-kupu. Ia tidak bisa menjelaskan pengalamannya secara tepat, kecuali mengungkapkan dengan jujur betapa dirinya dalam bentuk kupu-kupu itu telah diserap oleh semacam �daya gaib� yang mendorongnya keluar dari kepompong. Bahkan, saat dirinya telah keluar dari kepompong pun ia hanya bisa mengungkapkan perasaan betapa semua gerak dari kehidupannya sebagai kupu-kupu seolah-olah diarahkan dan dituntun oleh �daya gaib� tersebut.

Ya, �daya gaib� misterius itulah yang sejatinya telah membimbingnya untuk mengenal dan memahani makna kehidupan yang tergelar di hadapannya. Laksana wangi bunga yang menarik penciuman kupu-kupu, begitulah keberadaan �daya gaib� itu telah memesonanya untuk mengepakkan sayap dan terbang. �Daya gaib� itu telah menuntunnya untuk mengenali dan memahami alam semesta tempat hakikat pengetahuan (�ilm) tersembunyi, yang membawanya pada penyaksian (ma�rifat) atas Kebenaran Sejati (al-haqq) sebagai pengejawantahan dari Yang Mahaada (al-Wujud).

Peristiwa penyingkapan kesadaran jiwa yang dirasakan Raden Ketib ternyata menjadi peristiwa yang sangat menentukan perubahan jalan hidupnya. Peristiwa itu tidak saja membuat awan hitam ghain yang menyesaki jiwanya terhalau sehingga purnama pemahaman fawa�id bersinar benderang di cakrawala jiwanya, tetapi ia juga merasakan betapa cakrawala pemahaman baru atas keberadaan segala sesuatu di sekitarnya tiba-tiba terasa membentang luas dan ganti-berganti di hadapannya. Benda-benda yang terhampar di sekitarnya, misalnya, sebelumnya selalu ia pahami sebagai benda mati tak berjiwa. Seiring terkuaknya tirai penutup hati hingga terpancar purnama pemahaman fawa�id, ia tiba-tiba menangkap suatu pemahaman aneh yang mengungkapkan betapa di dalam benda-benda yang terhampar di sekitarnya itu sesungguhnya tersembunyi �bekas jejak� ciptaan yang sama dengan keberadaan dirinya.

Keberadaan makhluk hidup yang selama ini dianggapnya sosok asing yang sama sekali tidak berhubungan dengan dirinya, tiba-tiba disadarinya memiliki �bekas jejak� ciptaan yang sama dengan dirinya. Ia merasa segala sesuatu yang tergelar di alam semesta; manusia, burung, hewan melata, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan semua makhluk hidup tiba-tiba berubah seolah-olah menjadi sesuatu yang memiliki hubungan dengan dirinya. Demikianlah, meski sulit diterima nalar, ia merasakan betapa sesungguhnya keberadaan dirinya menjadi bagian dari semesta benda, makhluk hidup, rembulan, matahari, bintang, tanah, langit, air, dan angin.

Penyingkapan yang dirasakan Raden Ketib ternyata tidak hanya mengubah cara pandangnya terhadap segala sesuatu yang tergelar di alam semesta, tetapi berkaitan pula dengan perubahan liku-liku perjalanan hidup yang dilaluinya. Entah apa yang sesungguhnya telah terjadi dengannya. Kini ia tiba-tiba merasa gerak kehidupannya seolah-olah diarahkan dan dituntun oleh �daya gaib� ke arah yang tidak ia ketahuhi ujungnya. Bahkan, saat menghadapi persoalan rumit pun ia merasakan seolah-olah diarahkan oleh �daya gaib� untuk mengikuti jalan yang sering kali tak pernah dipikir dan dibayangkannya.

Keberadaan �daya gaib� dalam gerak kehidupan itu setidaknya ia rasakan saat ia dililit persoalan rumit yang terkait dengan liku-liku usahanya mengungkap tabir misteri di balik kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil. Sebelum mengalami peristiwa penyingkapan itu, ia merasakan betapa rumit dan berliku-liku jalan untuk menguak misteri Syaikh Datuk Abdul Jalil. Namun, setelah peristiwa menakjubkan itu ia seolah-olah selalu mendapat jalan mudah yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikiran dan angan-angannya. Tabir gelap misteri kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil yang selama ini tertutup gumpalan awan hitam tebal tiba-tiba bersinar terang di hadapannya, laksana matahari kebenaran yang menginginkan keberadaannya diketahui.

Setelah tabir awal misteri Syaikh Abdul Jalil disingkap oleh Ki Gedeng Pasambangan, tiba-tiba ia merasa dibimbing oleh �daya gaib� misterius ke arah penyingkapan tirai kedua. Yang mengherankannya, tabir kedua itu justru disingkap oleh Pangeran Pamelekaran, kakeknya sendiri. Sungguh, sebelumnya tidak pernah ia bayangkan di benaknya bahwa sang kakek pernah bertemu apalagi sampai memiliki hubungan dekat dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Pangeran Pamelekaran ternyata telah berkali-kali bertemu dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil; bukan hanya dalam peristiwa penyerangan Pakuwuan Caruban, melainkan juga dalam serangkaian peristiwa penting baik di Terung, Surabaya, Demak, Caruban, bahkan di Wirasabha.

Tersingkapnya tirai pertama dan kedua yang menyelubungi kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata diikuti dengan tersingkapnya tirai-tirai berikutnya. Tanpa pernah menduga sebelumnya ia berjumpa dengan pembuka tirai ketiga, yakni Adipati Cirebon. Sang Adipati merupakan putera almarhum Raja Muda (prabu anom) Caruban Larang, Sri Mangana. Dia ternyata mengenal Syaikh Datuk Abdul Jalil dengan sangat dekat, yang sudah dianggapnya kakak sulung. Adipati Cirebon banyak mengungkap liku-liku perjuangan dan ajaran rahasia yang disampaikan Syaikh Datuk Abdul Jalil, termasuk yang berasal dari penuturan ayahandanya, Sri Mangana.

Tirai keempat tanpa disangka-sangka disingkap oleh Syaikh Maulana Jati, guru agungnya, saat ia diajak Ki Gedeng Pasambangan ke Banten. Sebagaimana kisah yang telah diketahuinya dari penuturan Ki Gedeng Pasambangan, ternyata guru agungnya itu benar-benar mengetahui secara mendalam kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil setelah kembali dari Hindustan. Dari Guru Agung Syaikh Maulana Jati itu pula ia mengetahui bahwa sesungguhnya Syaikh Datuk Abdul Jalil bukan hanya seorang guru manusia, melainkan juga seorang pembaharu yang menata kehidupan masyarakat dengan kaidah-kaidah dan asas-asas yang sama sekali baru pada zamannya. �

Tetapi seibarat matahari yang tak pernah menyisakan pamrih akan kecemerlangan cahayanya saat menerangi dunia, demikianlah Syaikh Datuk Abdul Jalil meninggalkan semua hasil perjuangannya, demi menyongsong datangnya malam indah yang diterangi bulan sabit dan berjuta-juta bintang yang gemerlapan memenuhi penjuru langit,� ujar Syaikh Maulana Jati tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil yang sangat dihormati dan dimuliakannya.

Kebenaran, jika sudah muncul maka ia akan terbit laksana matahari di pagi hari. Pencarian kebenaran tentang kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil yang dilakukan Raden Ketib telah membawanya ke cakrawala pagi saat terbit fajar kebenaran. Bagaikan berada di alam mimpi, tiba-tiba ia merasakan bimbingan �daya gaib� telah mempertemukannya dengan Syaikh Datuk Bardud, salah seorang putera Syaikh Datuk Abdul Jalil. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan bertemu dengan putera guru manusia dan tokoh pembaharu itu. Bahkan, yang lebih membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa Syaikh Datuk Bardud selama ini ternyata tinggal di ndalem Pamelekaran bersama kakeknya.

Keberadaan Syaikh Datuk Bardud di kediaman kakeknya sempat memunculkan tanda tanya di benak Raden Ketib tentang sikap kakeknya yang seperti sengaja menyembunyikan putera Syaikh Datuk Abdul Jalil itu. Kenapa tidak sejak awal ia diperkenalkan dengan Syaikh Datuk Bardud? Kenapa ia terlebih dahulu harus diperkenalkan dengan Ki Gedeng Pasambangan? Kenapa keberadaan Syaikh Datuk Bardud di kediaman kakeknya sangat dirahasiakan hingga ia pun tidak diperbolehkan mengetahuinya?

Di tengah kecamuk tanda tanya yang memenuhi benaknya itulah Raden Ketib menjalin keakraban dengan Syaikh Datuk Bardud yang usianya lebih tua sekitar sepuluh tahun. Meski usia Syaikh Datuk Bardud baru sekitar empat puluhan tahun, dia tampak lebih tua. Kumis dan cambangnya yang dibiarkan memenuhi hampir separo wajah mengesankan dia seolah-olah berusia hampir enam puluhan tahun. Selama berbincang-bincang dengan Syaikh Datuk Bardud itulah Raden Ketib menangkap pancaran mutiara kebijaksanaan di tengah samudera pengetahuan yang tersembunyi di kedalaman jiwanya. �

Sebagian orang menilai ayahandaku, Syaikh Datuk Abdul Jalil, adalah manusia besar yang salah tempat dan salah waktu lahir ke dunia sehingga kehadirannya sulit diterima,� Syaikh Datuk Bardud menuturkan kisah kehidupan ayahandanya kepada Raden Ketib. �Namun bagiku, o Adinda, segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan beliau semata-mata adalah rahasia-Nya. Sebab sesuai ajaran beliau, Allah �Azza wa Jalla tidak pernah keliru menempatkan seseorang pada suatu zaman. Dan, lantaran itu saya yakin bahwa kelahiran, liku-liku hidup, bahkan kematiannya adalah semata-mata karena kehendak-Nya.� �

Sungguh telah termaktub di dalam firman-Nya bahwa tidak ada buah-buahan keluar dari kelopaknya serta tidak seorang pun perempuan mengandung dan tidak pula melahirkan, kecuali dengan pengetahuan-Nya (QS Fushshilat: 47). Ini bukan berarti bahwa Sang Pencipta hanya menyaksikan segala sesuatu secara pasif, melainkan secara mutlak dan aktif. Dia ikut terlibat di dalam merancang, membentuk, memelihara, dan bahkan menghancurkan seluruh ciptaan melalui ilmu-Nya. Bukankah Dia, Yang Maha Mengetahui, tiada lain adalah Sang Pengetahuan (al-�Alim) itu sendiri?� �

Jika Adinda bertanya-tanya tentang keberadaan saya yang disembunyikan oleh Eyang Pangeran Pamelekaran di kediamannya tanpa sepengetahuan Adinda, pun jika Adinda bertanya kenapa tidak diperkenalkan dengan rakanda sejak awal, maka sesungguhnya hal itu adalah atas kehendak-Nya semata. Sesungguhnya, liku-liku perjalanan Adinda dalam menelusuri jejak kehidupan dan ajaran ayahandaku merupakan bagian dari �jalan� (sabil) yang digelar-Nya. Sebab, jika Dia menghendaki, bisa saja Eyang Pangeran Pamelekaran langsung memperkenalkan Adinda dengan saya sehingga Adinda tidak perlu susah payah menelusuri jejak kehidupan ayahandaku. Namun, Dia menghendaki agar Adinda berjalan melingkar-lingkar dulu dengan berbagai hambatan dan rintangan. Itu berarti, dengan sukarela atau terpaksa, Adinda harus menerima kehendak-Nya tanpa perlu bertanya ini dan itu.� �

Sesungguhnya, menurut ajaran ayahandaku, segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini sudah ditata sangat rapi tanpa setitik pun mengandung kekeliruan. Hanya mereka yang terhijab dari kebenaran-Nya saja yang menganggap kehidupan di alam semesta ini kacau balau tidak teratur. Saya masih ingat bagaimana ayahandaku mengambil ibarat dengan mengisahkan sekumpulan orang buta yang diundang dalam perjamuan agung oleh sang raja.� �

Dalam kisah itu disebutkan pada saat pesta dimulai sekumpulan orang buta yang diundang sang raja datang dan berjalan beriring-iringan. Saat memasuki bangsal agung yang sudah dipenuhi hidangan lezat yang tertata rapi di atas meja, tiba-tiba salah seorang di antara mereka menabrak meja. Tumpah-ruahlah sebagian hidangan tersebut. Sang raja tersenyum. Para undangan juga tersenyum. Namun, orang buta itu marah-marah. Dia memaki-maki para pelayan yang dianggapnya tidak mengatur meja secara benar. Seperti halnya orang buta itu, kawan-kawannya yang juga buta menganggap ruangan itu tidak diatur dengan baik dan benar.� �

Begitulah, Adinda, bagi mereka yang telah tercelikkan mata batinnya (ain al-bashirah) akan memahami bahwa segala sesuatu yang tergelar di alam semesta sesungguhnya sudah diatur dan ditata secara sempurna oleh Sang Pencipta. (al-Khaliq). Bahkan bagi yang sudah tercelikkan mata batinnya, kehidupan di dunia ini hanya sebuah mimpi yang harus dilampaui seperti saat kita tertidur singkat. Hanya mereka yang sudah tercelikkan mata batinnya saja yang bisa memahami makna kebenaran (al-haqq) di balik kehidupan yang dekat (ad-Dunya) ini.� �

Apakah Rakanda melihat saya tergolong d antara mereka yang sudah tercelikkan mata batinnya?� tanya Raden Ketib meminta penjelasan.

Syaikh Datuk Bardud tersenyum mendengar pertanyaan Raden Ketib. Sesaat setelah itu, dengan bahasa perlambang (isyarat), dia mengatakan bahwa Raden Ketib sesungguhnya telah dapat merasakan dan menerima pesan darinya tanpa melalui bahasa indriawi manusia. Lantaran itu, pertanyaan lisan itu tidak perlu dijawab melalui bahasa indriawi manusia.

Raden Ketib tertegun saat menyadari betapa dirinya dapat menangkap bahasan perlambang yang diungkapkan Syaikh Datuk Bardud. Namun, saat itu pula ia sadar bahwa yang dimaksud Syaikh Datuk Bardud sebagai manusia yang sudah tercelikkan mata batinnya itu tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang telah tersingsingkan awan hitam ghain dari dalam hatinya hingga pemahaman fawa�id-nya dapat menangkap kenyataan yang tergelar di sekitarnya sebagai kebenaran hakiki (al-haqq). Dengan kesadaran itu, Raden Ketib bersyukur bahwa dirinya telah beroleh anugerah tak ternilai berupa ketercelikan mata batin dari kebutaan (zhulman) manusiawi (al-basyar).

Dalam berbagai perbincangan dengan Raden Ketib, Syaikh Datuk Bardud mengungkapkan kesaksian tentang ayahandanya dengan luas dan mendalam. Dia tidak hanya mengungkapkan kesaksian tentang liku-liku kehidupan dan ajaran ayahandanya, tetapi mengisahkan pula tentang siapa saja putera-puteri, sanak keluarga, kerabat, dan pengikut-pengikut utama ayahandanya baik yang tinggal di Caruban Larang, Banten Girang, Jawa, Malaka, maupun Gujarat.

Keakraban Raden Ketib dan Syaikh Datuk Bardud ternyata tidak sekadar dibangun melalui perbincangan mendalam tentang perikehidupan dan ajaran Abdul Jalil. Hubungan itu dilanjutkan pula melalui penguatan tali silaturahmi. Melalui Syaikh Datuk Bardud pula, Raden Ketib pada gilirannya dapat bertemu dengan Raden Sahid, adik seperguruan sekaligus murid ruhani Syaikh Datuk Abdul Jalil yang menjadi Susuhunan Kalijaga (Jawa Kuno: Raja Muda Kalijaga), yang tinggal di Demak. Ia juga diperkenalkan dengan menantu Syaikh Maulana Jati, yaitu Pangeran Pasai Fadhillah Khan, kemenakan Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Ibarat pembuktian kebenaran melalui tingkat keyakinan ilmu (�ilm al-yaqin), Raden Ketib secara bertahap merasa setapak demi setapak langkah pencariannya mendekati matahari kebenaran. Entah benar entah tidak penuturan para saksi kepadanya, yang jelas ia telah memiliki cakrawala pandang sendiri tentang bagaimana sesungguhnya kebenaran kisah kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil, Sang Pembaharu itu. Saat ia bersama Syaikh Datuk Bardud menapaktilasi liku-liku perjuangan Syaikh Datuk Abdul Jalil berdasarkan kesaksian para saksi hidup yang mengenal dengan sangat dekat tokoh tersebut, ia seolah-olah terlempar kembali ke masa silam, ke sebuah kurun waktu yang mencengangkan, yakni kurun ketika Syaikh Datuk Abdul Jalil meniti tali sejarah yang membentang di antara dua bukit karang yang tegak di tengah samudera kehidupan yang penuh karang tajam dan empasan ombak mengerikan.

Read More ->>

WARISAN BANI ADAM

Warisan Bani Adam

Sejak awal manusia diciptakan dan dikaruniai kemuliaan yang kepadanya malaikat diperintahkan bersujud, Allah telah menempatkan musuh utama baginya, yakni iblis. Dengan musuh itulah manusia setiap saat dapat terancam jatuh ke jurang kenistaan sebagai makhluk yang sederajat dengan iblis. Dan Adam, manusia pertama yang mulia yang disujudi malaikat, ternyata jatuh ke dalam lingkaran tipu daya iblis yang menyebabkannya terdepak dari kemuliaan surgawi ke kenistaan duniawi.

Fitrah Adam yang dicipta sesuai gambar Allah (khalaq al-insan �ala shurah ar-Rahman) sebagai makhluk sempurna (al-kamal), yang kepadanya ditiupkan ruh ilahiah (ruh al-haqq) dan dikaruniai kemuliaan untuk disujudi malaikat, ternyata hanya pencitraan yang bersifat nisbi. Artinya, saat iblis muncul dan berhasil memperdayanya maka citra ar-Rahman, al-Kamal, al-Haqq, al-Jalal, al-Jamal, dan berbagai kemuliaan-Nya yang melekat pada Adam terserap kembali kepada-Nya.

Keberadaan Adam beserta keturunannya tidaklah dimaksudkan lain, kecuali sebagai bukti kemuliaan dan kebesaran Allah, Azza wa Jalla, yang memiliki kehendak untuk diketahui keberadaan-Nya. Itu sebabnya, penciptaan Adam di antara berbagai makhluk tidaklah dimaksudkan untuk menandingi Allah, tetapi lebih sebagai citra Esa dari keberadaan diri-Nya. Karena itu, Adam beserta keturunannya hanya berhak menyandang gelar wakil Allah (khalifah Allah) yang kepadanya seluruh makhluk mengenal Kasih (ar-Rahman), Kemuliaan (al-Aziz), Keagungan (al-Jalal), Keindahan (al-Jamal), Kesempurnaan (al-Kamal), dan Kebenaran (al-Haqq) Sang Pencipta.

Jika Allah dilukiskan bersabda kepada malaikat tentang ciptaan-Nya yang paling mulia dan sempurna, Adam, maka kira-kira Dia akan bersabda:

�Ketahuilah, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, telah Aku ciptakan wakil-Ku (khalif) yang jasadnya terbuat dari bahan tanah. Jasad itu diolah oleh kedua belah tangan-Ku (al-Jalal dan al-Jamal). Setelah jasadnya terwujud sempurna (al-Kamal) seperti gambar-Ku (Shurah ar-Rahman) maka Aku tiupkan ruh-Ku ke dalam jasad wakil-Ku itu (QS al-Baqarah:30 Shad:71-72).�

�Ketahuilah, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, bahwa wakil yang kepadanya telah Aku tiupkan ruh-Ku itu akan mewarisi secara nisbi sebagian dari Nama (Asma�) dan Sifat (Shifat) serta perbuatan-Ku (Af�al). Wakil-Ku itu akan mewarisi Nama-Ku (Asma�), yaitu Yang Melihat (al-Bashir), Yang Mendengar (as-Sami�), Yang Mengetahui (al-Alim), Yang Merajai (al-Malik), Yang Agung (al-Jalal), Yang Indah (al-Jamal), Yang Sempurna (al-Kamal), dan Yang Benar (al-Haqq). Wakil-Ku itu juga mewarisi sifat kasih (ar-Rahman), sayang (ar-Rahim), mulia (al-Aziz), mengampuni (al-Ghaffar), dermawan (al-Bari�), bijaksana (al-Hakim), melindungi (al-Waly), dan sabar (ash-Shabur). Oleh karena itu, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, sujudlah engkau sekalian kepada wakil-Ku itu! Karena, sesungguhnya engkau sekalian tidak sujud kepada segumpal tanah yang aku bentuk dengan kedua belah tangan-Ku, melainkan engkau sekalian bersujud memuliakan Aku yang telah meniupkan ruh-Ku kepada segupal tanah itu. Adam itulah citra-Ku yang bisa engkau kenal. Dan engkau sekalian tidak akan mampu mengenal apalagi melihat hakikat Aku yang sesungguhnya.�

�Iblis pun tidaklah Aku cipta kecuali untuk meneguhkan keesaan Aku dalam Af�al, Asma�, Shifat, dan Dzat. Sungguh, iblis Aku cipta sebagai bukti bahwa wakil-Ku, Adam, hanyalah pewaris sebagian kecil Asma�, Shifat, dan Af�al-Ku. Dan lewat iblis jua sekalian makhluk ciptaan-Ku akan mengetahui bahwa wakil-Ku itu, Adam, adalah makhluk yang tidak sempurna, namun diliputi kesempurnaan. Lewat iblis, sekalian makhluk ciptaan-Ku mengetahui bahwa segala sesuatu yang Aku limpahkan kepada Adam adalah nisbi. Sungguh hanya Aku Yang Esa dan Mutlak.�

Dengan memahami keberadaan Adam dan iblis maka menjadi jelaslah bahwa iblis tidak boleh hanya dipandang sebagai musuh bebuyutan bagi Adam beserta keturunannya. Sebab, yang lebih mendasar untuk lebih dipahami dari keberadaan iblis adalah sebagai pengingat bahwa sebenar-benar ar-Rahman, ar-Rahim, al-Aziz, al-Ghaffar, al-Bari�, al-Waly, al-Hakim, ash-Shabur, al-Jalal, al-Jamal, al-Kamal, dan al-Haqq hanyalah Allah Subhanahu wa Ta�ala. Kemuliaan hanyalah milik Allah. Yang wajib mutlak disujudi hanyalah Allah. Dan lantaran hanya sebagai wakil maka keturunan Adam hanya berhak menggunakan nama Abdur Rahman, Abdur Rahim, Abdul Aziz, Abdul Ghaffar, Abdul Bari�, atau Abdul Hakim.

Manusia sebagai keturunan Adam pada hakikatnya hanyalah sebatas citra kemuliaan yang semata-mata merupakan piranti untuk memuliakan dan mengagungkan-Nya; yang tinggi tidak akan ada jika yang rendah tidak ada. Dengan demikian, manusia bukanlah yang tertinggi, meski malaikat-malaikat diperintahkan sujud kepadanya.

Untuk memelihara kelestarian penauhidan terhadap Allah dan pembatasan terhadap Adam beserta keturunannya agar tidak memuliakan, mengagungkan, meninggikan, dan meyucikan dirinya sebagai pengejawantahan Allah, maka keberadaan iblis pun menjadi keharusan fundamental bagi kehidupan Adam beserta keturunannya. Maksudnya, kemuliaan dan keagungan yang tercurah kepada Adam beserta keturunannya senantiasa diikuti oleh kemunculan iblis dalam berbagai manifestasi. Iblis dalam berbagai bentuknya seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemuliaan dan keagungan Adam beserta keturunannya.

Kisah tergelincirnya Adam dari kemuliaan dan keagungan akibat tipu daya iblis adalah bagian yang terus-menerus menjadi citra kehidupan keturunannya. Habil yang terkasih dan terpuji harus tersingkir oleh Qabil yang mengejawantahkan sifat iri hati dan dendam kesumat iblis. Kematian Habil bukanlah pertanda bagi kemenangan daya dan kekuatan iblis, melainkan semata-mata untuk meneguhkan keesaan Allah. Citra Habil sebagai anak Adam yang terkasih dan terpuji harus terhapus dari hati ayah, ibunda, dan saudara-saudarinya; hanya Allah saja Yang Mahakasih (Ar-Rahman) dan Maha Terpuji (al-Hamid).

Tak jauh berbeda dengan apa yang telah diwarisi Habil dan Qabil dari ayahanda mereka, Adam, yang kemuliaannya senantiasa terancam intaian kenistaan iblis, Abdul Jalil pun dalam meniti jalan kesempurnaan ruhani ternyata diintai oleh iblis yang mewujud dalam bentuk Ali Anshar at-Tabrizi. Laki-laki yang dikenalnya di Baghdad dan kemudian diketahui sebagai pengikut Syaikh Abdul Malik al-Baghdady itu ternyata memiliki aliran nasib yang tak jauh berbeda dengan Qabil. Bagaikan mengulang sejarah, Ali Anshar pun tanpa sadar telah terperosok ke dalam lingkaran kuasa iblis.

Sebagaiman peristiwa Qabil dan Habil, perseteruan antara Ali Anshar dan Abdul Jalil diawali dengan keberuntungan dan kemuliaan yang diperoleh Abdul Jalil menyunting Fatimah, puteri Syaikh Abdul Malik al-Baghdady. Pernikahan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan itu ternyata telah menumbuhkan benih-benih kekecewaan di dalam hati Ali Anshar.

Benih kekecewaan yang tumbuh di hati Ali Anshar semestinya akakn kering dan mati jika ia memiliki kebesaran jiwa dan iman yang kuat untuk memasrahkan segala urusan yang menimpanya kepada Allah. Namun, Ali Anshar ternyata tidak mampu menerima kekecewaan. Dia seolah-olah lupa bahwa segala yang terjadi di alam semesta baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan adalah semata-mata kehendak Allah.

Berawal dari kekecewaan ini, Ali Anshar pun pada gilirannya terjerat oleh jaring-jaring ilusi yang ditebar iblis. Tanpa disadari dan tanpa dipikir lagi secara jernih, jaring-jaring ilusi iblis di dalam dirinya telah memerangkap kesadarannya untuk memasuki lorong gelap yang membawanya ke hamparan jiwa berwujud tanah berlumpur yang dilingkari sumur api.

Di tengah hamparan itu Ali Anshar mengalami peristiwa yang aneh dan menakjubkan, terutama yang terkait dengan Abdul Jalil. Entah bagaimana awalnya, setiap kali dia menangkap citra diri Abdul Jalil di cakrawala ingatannya maka seluruh sumur di hamparan jiwanya mengobarkan api yang luar biasa dahsyat. Seiring kobaran api dahsyat itu, ikut terbakarlah seluruh hamparan dan lorong-lorong jiwanya.

Keberadaan Abdul Jalil yang semula hanya berupa lintasan ilusi yang tidak menyenangkan, karena ia merupakan pangkal dari segala kekecewaan Ali Anshar, secara berangsur-angsur berubah menjadi benih tumbuhan aneh yang mengerikan. Pada awalnya Ali Anshar hanya menganggap bahwa tanpa kehadiran Abdul Jalil, tentulah ia tidak akan menuai kekecewaan yang sedemikian rupa pahitnya. Namun, lama-kelamaan benih tanaman aneh itu tumbuh berwujud pohon iri hati dengan cabang-cabang kebencian, ranting-ranting kedengkian, daun-daun �ujub, bunga-bunga takabur, dan buah dendam kesumat.

Sebagai pengikut Syi�ah yang mendukung gerakan Safawy dan selama bertahun-tahun setia kepada Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, Ali Anshar yang dikenal ramah, santun, berpengetahuan luas, dan memiliki wawasan yang mendalam tentang kehidupan tiba-tiba berubah menjadi sosok menakutkan. Kekecewaan, iri hati, benci, dengki, �ujub, takabur, dan dendam kesumat telah mengubahnya menjadi makhluk jahat yang mungkin tidak dikenali bahkan oleh dirinya sendiri.

Jika pada awalnya dia hanya merasa betapa semua harapannya untuk memiliki Fatimah dan menjadi bagian keluarga mulia Syaikh Abdul Malik al-Baghdady telah pupus, maka berikutnya dia merasa harga diri dan kehormatannya telah diinjak-injak dan dihinakan. Namun, dia tidak berani menuduh bahwa Syaikh Abdul Malik al-Baghdadylah sumber petaka itu. Sebaliknya, dia menduga Abdul Jalil telah menipu dan bahkan mungkin menggunakan sihir untuk mempengaruhi Syaikh Abdul Malik al-Baghdady.

Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang tidak jelas galur nasabnya itu tiba-tiba bisa masuk ke dalam keluarga Syaikh Abdul Malik? Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang sebelumnya tak pernah dikenal itu mendadak bisa menjadi menantu Syaikh Abdul Malik yang terhormat? Jika tanpa tipuan atau pengaruh ilmu sihir mana mungkin ia bisa menipu Syaikh Abdul Malik?

Berangkat dari rasa penasaran, iri hati, benci, dan dendam kesumat, Ali Anshar tidak lagi menyadari apa yang sedang dialaminya. Dia hanya merasakan betapa seluruh aliran darahnya terbakar hebat setiap kali melihat Abdul Jalil. Dadanya terasa sesak. Matanya pedih. Giginya bergemerutuk. Seolah-olah melihat dirinya terkapar bagai bangkai anjing najis yang tidak berharga. Saat seperti itu dia hanya melihat satu kemungkinan untuk mengubah keadaan dirinya yang terhinakan itu, yakni membuat Abdul Jalil celaka dan sengsara melebihi dirinya. Bahkan tidak cukup sampai di situ, dia menginginkan Abdul Jalil lenyap dari muka bumi dan tenggelam ke dasar neraka jahanam.

Ali Anshar benar-benar menjelma sebagai iblis berwujud manusia. Tidak ada hari yang terlewatkan tanpa membayangkan Abdul Jalil. Benaknya seolah penuh berisi sosok Abdul Jalil dalam berbagai keadaan yang hina dan nista. Malah dalam doa-doanya tak pernah luput nama Abdul Jalil disebut dengan getar kebencian tanpa tepi. Dalam amalan-amalan hizb yang dibacanya senantiasa tersangkut nama Abdul Jalil sebagai sasaran bidik yang harus binasa. Singkatnya, seolah-olah mewarisi permusuhan Qabil dan Habil, dia telah membulatkan tekad untuk menjadikan Abdul Jalil sebagai satu-satunya musuh terbesar yang wajib dibinasakan.

Sebenarnya, ayahanda mertua Abdul Jalil telah mengetahui bara api yang berkobar di hati Ali Anshar karena hasrat cintanya kepada Fatimah tidak kesampaian. Sebagai seorang wali Allah, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady paham benar betapa berbahayanya jiwa Ali Anshar yang sudah dikuasai nafsu setani. Itu sebabnya, dengan penuh kebijakan dia perintahkan Abdul Jalil secepatnya pergi dari Baghdad ke negeri Jawy.

Abdul Jalil sendiri baru menangkap upaya bijak mertuanya yang ingin menghindarkannya dari api dendam Ali Anshar setelah berbincang-bincang dengan Ahmad at-Tawallud. Sahabatnya itu bahkan dengan tegas mengingatkannya pada bahaya Ali Anshar.

Sekalipun demikian, Abdul Jalil tidak pernah menghiraukan apalagi memberi kesempatan bagi pikirannya untuk menilai sepak terjang Ali Anshar. Ia tidak ingin membiarkan pikirannya terbawa oleh kumparan kecurigaan dan prasangka-prasangka. Ia tidak mau hati dan pikirannya disemayami bayangan manusia bernama Ali Anshar. Ia pasrahkan semua yang berkenaan dengan keberadaan dirinya kepada Allah �Azza wa Jalla.

Ali Anshar sendiri tampaknya sudah tidak mampu mengendalikan iri hati, benci, dan dendamnya. Itu sebabnya, saat Abdul Jalil meninggalkan Baghdad, diam-diam dia mengikuti ke mana pun musuh besarnya itu pergi. Bagaikan memiliki penglihatan batin yang tajam, dia seolah-olah mengetahui di mana pun Abdul Jalil berada. Dan lantaran itu, saat Abdul Jalil menikahi Shafa binti Adamji Muhammad, dia menyambutnya dengan penuh sukacita. Kemudian lewat seorang pendukung Safawy yang akan ke Baghdad, dia menitipkan pesan agar berita pernikahan Abdul Jalil disebarluaskan di lingkungan keluarga Syaikh Abdul Malik al-Baghdady.

Tidak cukup mengawasi semua gerak-gerik Abdul Jalil selama di Gujarat, dia juga telah menebarkan fitnah di kalangan kaum Ismailiyyah Gujarat. Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah nawasib (pemberontak) yang berasal dari golongan Khawarij yang ditugaskan menyusup ke kalangan penganut Syi�ah untuk memecah-belah golongan Alawiyyin dari dalam. Lantaran fitnah itu maka ke mana pun Abdul Jalil pergi menyampaikan risalah kebenaran Islam di Gujarat, ia senantiasa di kuntit oleh pengikut Ismailiyyah. Dan melihat isi dari khotbah yang disampaikan Abdul Jalil, yang intisarinya mengungkapkan kesadaran bahwa setiap manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat sebagai Bani Adam; tidak boleh ada manusia atau kelompok yang meninggikan diri dan merendahkan manusia atau kelompok lain; seluruh manusia berhak menjadi Adam Ma�rifat, al-Insan al-Kamil; dan pengakuan terhadap keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali; maka kaum Ismailiyyah pun makin yakin dengan kebenaran fitnah Ali Anshar.

Sebenarnya, beberapa pengikut Ismailiyyah di Gujarat telah merencanakan pembunuhan terhadap Abdul Jalil. Namun tanpa diduga, beberapa hari setelah putera Abdul Jalil lahir ke dunia, ia pergi meninggalkan Gujarat. Rencana pembunuhan itu pun tertunda karena Abdul Jalil diketahui memasuki wilayah Deccan yang sedang bergolak akibat Adil Shahi, Raja Bijapur yang menganut paham Syi�ah Isna Asyariyah, berusaha memisahkan wilayahnya dari Deccan. Namun, Ali Anshar tidak surut langkah. Dia terus mengintai dan mengikuti ke mana pun Abdul Jalil pergi.

Ketika Abdul Jalil tiba di wilayah Deccan, Ali Anshar menghubungi sejumlah pengikut Syi�ah Isna Asyariyah yang dikenalnya. Kepada mereka, dia mengatakan bahwa Abdul Jalil adalah seorang Alamutiah sisa-sisa pengikut Hasan bin Muhammad Sabbah al-Himyari. Abdul Jalil, menurut fitnah itu, merupakan malahidah (ateis) yang bersembunyi di belakang paham Ghalliah (Syi�ah Ghullat) yang mengajarkan kepercayaan tentang penitisan, Muhammad adalah penjelmaan Allah, dan menyesuaikan doktrin tritunggal Nasrani menjadi pancatunggal (Muhammad � Ali � Fatimah � Hasan � Husain). Kehadiran Abdul Jalil di wilayah Deccan semata-mata untuk merusak tata kehidupan masyarakat pecinta Ahlul Bait.

Selain fitnah, dia juga menyebarkan berita buruk tentang Abdul Jalil kepada sejumlah pejabat Deccan yang setia kepada Brahmani. Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah pengikut Sultan Umar Syaikh Mirza, penguasa kerajaan Farghana. Abdul Jalil membawa misi sultan keturunan Timur I Lenk itu untuk memecah-belah kekuasaan raja-raja Muslim di selatan, termasuk Deccan.

Ali Anshar yang memiliki pengetahuan luas dengan mudah meyakinkan pejabat-pejabat Deccan dengan mengajukan bukti-bukti tentang adanya tengara bahwa Adil Shahi ingin memisahkan diri dari Deccan untuk menjadi raja Bijapur. Jika hal itu dibiarkan maka kekuasaan dinasti Bahmani akan hancur dalam tempo lima belas tahun mendatang. �Setelah Berar dan Bijapur lepas, bagaimana jika Golkunda, Ahmadnagar, Bidar, Gulbarga, dan Raicur ikut-ikutan memisahkan diri? Bukankah itu akan membuat dinasti Bahmani hancur berkeping-keping karena semuanya ingin menjadi raja sendiri-sendiri di wilayahnya?�

Untuk membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan Ali Anshar, pejabat-pejabat Deccan mengirimkan beberapa kurir untuk mengawasi gerak-gerik Abdul Jalil dan pandangan-pandangannya yang dianggap membahayakan kerajaan. Dan keterangan yang disampaikan oleh Ali Anshar benar-benar ditangkap sebagai kebenaran oleh para pejabat Deccan setelah mereka mendapat laporan dari para kurir. �

Kepada kaum Muslimin, mualaf, dan dari kalangan berkasta rendah, Abdul Jalil jelas-jelas telah membakar semangat perlawanan mereka terhadap raja. Ia bercerita tentang raja tua bangka yang tetap dipertahankan menduduki takhtanya karena para pelayan dan pengawal raja tua bangka itu bermental budak. Itu yang saya ketahui tentang pengacau bernama Abdul Jalil, Tuanku,� kata kurir itu menjelaskan.

Bagi sebuah dinasti yang berusia hampir satu setengah abad, kekuasaan Bahmani atas wilayah Deccan memang semakin merosot. Korupsi di kalangan pejabat berlangsung semena-mena. Keamanaan rakyat tidak terjamin. Kemakmuran makin jauh. Pada saat seperti itu, fitnah dan adu domba berlangsung sangat mengerikan karena bermuara pada terciptanya kerusuhan yang berujung pada kematian dan kerusakan. Pihak kerajaan sendiri tidak mampu lagi bersikap arif dalam mengatasi perubahan-perubahan. Yang terjadi justru sebaliknya, pihak kerajaan menjadi sangat sensitif dan penuh curiga terhadap berita dan laporan yang acap kali hanya didasarkan pada prasangka-prasangka dan bahkan fitnah.

Abdul Jalil harus menghadapi ancaman bencana yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya. Ali Anshar yang mewarisi naluri leluhurnya, Qabil, telah memasang perangkap yang mematikan. Jika Qabil membunuh saudaranya, Habil, dengan kedua tangannya sendiri, maka Ali Anshar akan membunuh Abdul Jalil melalui kecerdikan akalnya dengan menggunakan tangan orang lain, yakni tangan kekuasaan penguasa Deccan.

Angin laut berhembus di antara rumah-rumah yang berdiri di pelabuhan Goa ketika seseorang memacu kudanya menembusi keremangan malam. Di tengah kelengangan suasana, kemunculan penunggang kuda itu menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Saat sampai di depan sebuah rumah besar yang berdiri di pertigaan jalan ke arah pelabuhan dan pasar, penunggang kuda itu berhenti dan melompat turun dengan sigap. Tanpa menambatkan kudanya, dia langsung bergegas masuk lewat pintu belakang.

Ramchandra Gauranga, saudagar asal Khozikode (Calicut), pemilik rumah, saat itu sedang berbincang-bincang dengan tamunya ketika pelayannya memberi tahu kedatangan sang penunggang kuda yang tidak lain adalah kurirnya. �Suruh dia menunggu sebentar,� perintahnya.

Setelah berpamitan pada tamunya, ia bergegas ke belakang. Namun, tak lama kemudian ia tergopoh-gopoh menemui tamunya sambil berkata, �Celaka Tuan Abdul Malik, pasukan kerajaan baru saja masuk ke gerbang utara kota Goa. Kata kurir saya, mereka mancari Tuan Abdul Jalil yang dituduh bersekongkol dengan gerakan pemberontakan Yang Mulia Adil Shahi. Celakanya lagi, mereka tahu bahwa Tuan Abdul Jalil besok pagi akan menumpang kapal saya ke Malaka.�

Abdul Malik Israil, tamu Ramchandra Gauranga, menegrutkan kening sambil menggumam, �Dari mana mereka tahu Abdul Jalil akan naik kapal Tuan?�

�Itulah persoalannya, Tuan,� kata Ramchandra Gauranga dengan kening dipenuhi keringat dingin. �Pasukan itu pasti akan mengobrak-abrik seluruh tempat di Goa, termasuk kapal-kapal yang akan berangkat besok pagi, utamanya kapal saya.�

�Jikalau demikian, keberangkatan sahabat saya, Abdul Jalil, dan cucu saya harus dibatalkan. Saya tidak mau Tuan menerima akibat dari sesuatu yang tidak Tuan lakukan. Saya tidak ingin Tuan kecewa karena iktikad baik Tuan ternyata berbuah kesusahan,� ujar Abdul Malik Israil.

�Tuan dan sahabat serta cucu Tuan dapat berlindung di rumah saya di Bijapur. Di sana pasukan kerajaan tidak akan berani masuk karena seluruh warga Bijapur sydah memihak kepada Yang Mulia Adil Shahi. Biar nanti kurir saya yang mengantarkan Tuan ke sana,� tawar Ramchandra Gauranga.

�Terima kasih atas kebaikan hati Tuan,� kata Abdul Mailk Israil, �namun saya akan menemui sahabat dan cucu saya lebih dulu. Sekali lagi, terima kasih atas kebeikan Tuan yang sangat peduli kepada kami.�

�Itu sudah kewajiban saya sebagai kawan,� kata Ramchandra Gauranga sambil memeluk dan menepuk-nepuk bahu Abdul Malik Israil.

Setelah berpamitan, Abdul Malik Israil bergegas keluar rumah. Seorang pelayan mengantarkannya sampai ke pintu belakang. Kemudian dengan langkah cepat dia bergerak ke arah selatan, menembus keremangan malam.

Setelah beberapa jenak berjalan, tepat di tikungan dekat pasar dia bertemu dengan Abdul Jalil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad. Rupanya, saat Abdul Malik Israil bertamu ke rumah Ramchandra Gauranga untuk menegaskan keberangkatan mereka ke Malaka esok pagi, ketiganya menunggu di pinggir jalan. Abdul Jalil tampaknya sudah menangkap gelagat tidak baik jika ia juga ikut bertamu. Itu sebabnya, ia memilih menunggu di luar.

Berita yang dibawa Abdul Malik Israil bahwa pasukan dari Deccan telah masuk ke gerbang utara kota Goa untuk mencari Abdul Jalil diterima dengan tarikan napas berat. Setelah berdiam beberapa jenak, ia kemudian berkata dengan suara datar, �Andaikata aku ikut ke rumah Ramchandra, kenalan saudaraku Malik Israil, tentulah dia akan menerima musibah dari kehadiranku. Dia akan celakan oleh sesuatu yang dianggapnya baik, yaitu menolong orang yang membutuhkan bantuannya. Namun, Allah Maha Mengatur semuanya.�

�Ramchandra tadi menawari aku untuk berlindung di rumahnya di Bijapur,� kata Abdul Malik Israil. �Menurutnya, pasukan kerajaan tidak berani melakukan tidakan apa-apa di wilayah kekuasaan Adil Shahi.�

�Ramchandra memang orang baik,� kata Abdul Jalil. �Namun, demi kebaikan bersama maka kita harus menolak tawarannya. Sebab, jika kita menerima kebaikannya itu, tidak ada yang menjamin bahwa Ramchandra tidak bakal menemui kesulitan dengan kaki tangan Adil Shahi.�

�Aku juga berpikir demikian,� sahut Abdul Malik Israil, �karena bagaimana pun, Ramchandra adalah saudagar asal Calicut. Dia warga Wijayanagar dan beragama Hindu. Selama ini ia tinggal di Goa karena mendapat perintah dari permaisuri untuk mengawasi Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, putera Maharaja Wijayanagar, yang meninggalkan istana dan menjalani hidup sebagai brahmin gelandangan.�

Ketika Abdul Malik Israil hendak melanjutkan kata-kata, tiba-tiba dari arah utara terdengar hingar-bingar memecah kegelapan. Makin lama suara itu makin mendekat.

�Itu pasti suara pasukan kuda kerajaan,� kata Abdul Jalil.

�Ya, itu suara derap ladam kuda,� kata Abdul Malik Israil.

�Tuan Syaikh,� Fadillah Ahmad menyela dengan suara bergetar, �kita harus pergi dari sini sebelum pasukan kerajaan menemukan Tuan.�

Abdul Jalil diam seolah tidak menghiraukan ucapan Fadillah Ahmad. Sebaliknya, ia bersujud ke hamparan jalan berdebu sambil menggumam lirih, �Ya Allah, jika Engkau hendak menguji hamba dengan rasa takut maka hamba memohon kepada-Mu agar hamba senantiasa dikuatkan dan diteguhkan dalam keberanian. Sungguh, hanya Engkau yang hamba takuti. Hamba yakin pasukan-pasukan berkuda itu hanya �alat� yang Engkau jadikan sarana untuk menguji iman hamba.�

Beberapa jenak bersujud, Abdul Jalil lantas berdiri. Ia menyaksikan Fadillah Ahmad tegak di depannya dengan wajah pucat dan tangan gemetar. Abdul Jalil tersenyum. Kemudian dengan suara mantap ia menyitir ayat-ayat Al-Qur�an, �Sungguh Allah akan memberikan ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, dan jiwa ....... Sampaikan kabar gembira bagi mereka yang sabar, yaitu mereka yang jika ditimpa musibah mengucapkan inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un (QS al-Baqarah:155-156). Bagaimana manusia bisa digolongkan sebagai orang sabar sehingga dapat bersama-sama dengan ash-Shabur, jika kiblat hati dan pikirannya berubah arah hanya dikarenakan munculnya manusia-manusia penunggang kuda yang mencari orang di dekatnya?�

�Tuan Syaikh, maafkan saya,� kata Fadillah Ahmad dengan bibir bergetar dan suara terbata-bata, �Saya paham bahwa Tuan Syaikh telah mengenal Allah lebih dari saya. Tuan Syaikh telah membuktikan keberadaan Allah. Karenaitu, kiblat hati dan pikiran Tuan tidak berubah arah ketika Tuan menghadapi ujian yang berat dari-Nya. Tetapi saya, Tuan Syaikh, saya hanya kenal Allah dari cerita ayah, ibu, guru mengaji, kawan-kawan, dan dari Tuan Syaikh sendiri. Jujur saja saya katakan bahwa saya masih sering ragu dan melupakan keberadaan Allah. Saya masih terpengaruh oleh segala sesuatu di sekitar saya yang bisa ditangkap indera. Sementara Allah, hanya saya kenal dari dalil-dalil kitab yang saya baca. Itu sebabnya, o Tuan Syaikh, sekarang ini saya benar-benar takut mendengar kabar bahwa pasukan kerajaan sedang mencari Tuan. Maafkan saya, Tuan Syaikh.�

Badul Jalil tersenyum mendengar kepolosan Fadillah Ahmad. Tanpa berkomentar apa pun, kembali ia menyitir ayat-ayat Al-Qur�an, �Sungguh engkau akan diuji dengan harta dan jiwamu (QS Ali Imran:186). Jika Allah menghendaki, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, namun Allah hendak menguji sebagian engkau dengan sebagian yang lain (QS Muhammad:4). Janganlah engkau takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku agar Aku sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan agar engkau mendapat petunjuk (QS al-Baqarah:150).�

�Janganlah rasa takut terhadap sesuatu selain Allah membuatmu kehilangan keyakinanmu kepada-Nya. Janganlah engkau mengikuti jejak murid Nabi Isa yang karena rasa takutnya tak terkendali ketika pasukan kerajaan mencari gurunya maka sebelum ayam berkokok dia telah mengingkari gurunya tiga kali. Sebaliknya, ikutilah jejak sahabat Abu Thalhah yang menyediakan dadanya untuk melindungi Rasulullah Saw. dari panah musuh saat perang Uhud. Ikuti juga jejak Abu Dujanah yang melindungi Rasulullah Saw. dengan menyediakan punggungnya sebagai perisai untuk panah-panah yang dibidikkan musuh!�

�Tapi, dengan cara bagaimana saya mengatasi rasa takut ini, o Tuan Syaikh?� Fadillah Ahmad terbata-bata.

�Duduklah!� kata Abdul Jalil menekan bahu Fadillah Ahmad ke bawah.

Fadillah Ahmad yang tertekan bahunya langsung duduk bersila dengan dada turun naik menahan gejolak perasaan.

�Pejamkan matamu!� kata Abdul Jalildengan suara ditekan. �Atur napasmu! Tutup telinga inderamu dari mendengar sesuatu di sekitarmu! Arahkan kiblat kesadaran hati dan pikiranmu ke cahaya di antara kedua matamu sebagaimana yang telah aku ajarkan!�

Fadillah Ahmad mengikuti perintah Abdul Jalil.

Setelah melihat Fadillah Ahmad tenggelam dalam konsentrasi, Abdul Jalil mendekati Syarif Hidayat dan berkata, �Apakah engkau tidak takut, Anakku?�

�Saya tadi sempat takut, Paman,� kata Syarif Hidayat polos, �namun sekarang tidak lagi. Rasa takut saya sudah hilang.�

�Kenapa?� tanya Abdul Jalil.

�Karena saya segera sadar bahwa saya sekarang ini bersama Paman dan Kakek saya, yaitu orang-orang yang dicintai Allah. Jadi, saya sangat yakin Allah pasti akan menolong Paman dan Kakek saya,� kata Syarif Hidayat.

Abdul Jalil tertawa. Abdul Malik Israil juga tertawa.

Sementara itu, pasukan berkuda kerajaan yang telah sampai di pertigaan jalan berpencar menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bergerak ke arah pelabuhan. Kelompok kedua bergerak menuju pasar.

Syarif Hidayat, yang melihat betapa pasukan berkuda itu bergerak ke arah mereka, segera berseru, �Paman! Kakek! Orang-orang berkuda itu ke sini!�

Abdul Malik Israil menoleh ke arah pertigaan jalan. Dengan cepat dia menggandeng tangan Syarif Hidayat dan mengajaknya ke lorong yang memisahkan deretan rumah dengan pasar. Sementara Abdul Jalil dengan tenang menunduk sambil menepuk bahu Fadillah Ahmad dan menggumam, �Bangunlah!�

Fadillah Ahmad membuka mata sambil berkata, �Rasa takut saya sudah agak berkurang, Tuan Syaikh.�

�Kalau begitu, ikuti aku!� kata Abdul Jalil menarik tangan Fadillah Ahmad dan mengajaknya berjalan ke arah lorong mengikuti jejak Abdul Malik Israil dan Syarif Hidayat.

Dari dalam lorong yang gelap, dengan jelas mereka menyaksikan pasukan berkuda itu bergerak di jalan yang jaraknya hanya tujuh tombak dari persembunyian mereka. Saat itulah Fadillah Ahmad menyaksikan pedagang budak, yang kemarin dilihatnya duduk di kereta, ada bersama para penunggang kuda.

�Bukankah itu pedagang budak yang Tuan Syaikh tunjukkan kepada saya?� gumamnya dengan kening berkerut bercampur terkejut.

Abdul Jalil mengangguk sambil memberi isyarat agar diam. Fadillah Ahmad terdiam. Namun, dalam hati dia membenarkan ucapan guru ruhaninya itu, betapa pedagang budak itu pada hakikatnya memang bukan saudara sesama pemuja Allah. Entah untuk alasan duniawi apa sehingga pedagang budak itu ikut bersama pasukan kerajaan mencari gurunya.

Ketika sedang memikirkan kebenaran demi kebenaran yang telah diungkapkan oleh Abdul Jalil, tiba-tiba saja ia merasakan denyut jantungnya lenyap tatkala pasukan berkuda itu berhenti tepat di depan pasar dekat dengan tempat persembunyian mereka. Darahnya serasa berhenti mengalir. Dadanya bagai lautan diaduk gelombang yang mengguncangkan jiwa. Namun, cepat-cepat ia menarik napas untuk meneguhkan keberanian. Ia berusaha membulatkan tekad untuk menghadapi bahaya apa pun bersama dengan gurunya.

Beberapa jenak setelah pasukan berkuda itu berhenti, tiba-tiba pemimpin pasukan yang berada di barisan paling depan mengangkat pedangnya ke atas. Kemudian dengan teriakan keras dan tudingan ke arah depan, menghamburlah pasukan berkuda ke arah pasar dan rumah-rumah di sekitarnya. Bagaikan kawanan pemburu mengejar mangsa yang tersembunyi di semak-semak belukar, mereka mengobrak-abrik seluruh isi pasar dan dengan beringas menggedor setiap pintu rumah.

Di tengah hujaman rasa takut dan gentar, tanpa sadar Fadillah Ahmad memejamkan mata dengan perasaan panik ketika dia melihat beberapa penunggang kuda bergerak ke arah lorong. Dia genggam lengan Abdul Jalil erat-erat dan menahan napas ketika telinganya mendengar detak ladam kuda makin mendekat. Kelebatan bayangan prajurit-prajurit ganas yang mengerikan memasuki benaknya ganti-berganti, makin membuatnya tegang dan panik.

Ketika jarak mereka tinggal satu tombak, terdengar salah seorang prajurit berseru keras, �Itu dia yang kita cari. Tangkap! Tangkap!�

Dalam sekejap para penunggang kuda berhamburan. Bukan ke arah lorong, melainkan ke arah pasar. Mereka berteriak-teriak keras. Abdul Jalil dengan sigap menutup mulut Fadillah Ahmad yang hendak memekik dengan tangan kanannya. Suara caci maki dan detak ladam kuda sahut-menyahut dan sela-menyela, membelah keheningan malam.

�Seret dia kemari!�

�Cari kawannya!�

�Pancung saja kepalanya!�

�Gantung di gerbang kota biar jadi contoh yang lain.�

�Ayo menyebar! Cari kawan-kawannya!�

Fadillah Ahmad yang masih memejamkan mata sudah membayangkan bagaimana guru yang dimuliakannya itu ditangkap dan diseret beramai-ramai oleh orang-orang berkuda. Dia bayangkan betapa dengan keganasan tiada tara gurunya dihajar dan dicambuk hingga tersungkur ke tanah. Diterkam oleh lintasan-lintasan bayangan yang berkelebatan memasuki benaknya dia pun nekat membela gurunya. Namun, saat dia meronta dan membuka matanya, sadarlah dia bahwa guru mulia yang dihormatinya itu masih berada di sisinya. Dia baru sadar jika tangannya menggenggam erat-erat lengan gurunya.

�Siapakah yang ditangkap, Tuan Syaikh?� kata Fadillah gemetar.

�Dia berteriak-teriak, mengaku pencuri,� sahut Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad menarik napas lega. Namun, sedetik sesudah itu ketegangan kembali merayapi aliran darahnya ketika seorang penunggang kuda menuju ke arah lorong persembunyiannya sambil berteriak-teriak. Tidak bisa tidak, serunya dalam hati, dia pasti akan menemukan kami karena lorong ini satu arah.

Saat penunggang kuda sudah berada di ujung lorong, muncul bayangan manusia berkelebat. Sekejap kemudian, di antara keremangan, tampaklah sosok Brahmin yang dengan tegar berdiri menghadang penunggang kuda. Samar-samar terlihat brahmin itu menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah menyuruh penunggang kuda berbalik arah. Anehnya, bagai tersihir, penunggang kuda itu menarik kendali kudanya, tidak jadi masuk ke lorong.

Beberapa jenak setelah berdiri di ujung lorong, Brahmin itu membalikkan badan dan melangkah ke dalam. Dengan sikap tidak peduli dia berjalan dengan langkah lebar. Ketika malewati Abdul Jalil, brahmin itu berkata dengan suara dingin, �Ikutilah saya jika Tuan-Tuan ingin selamat dari terkaman hewan-hewan pemangsa yang buas itu.�

Dengan beriringan mereka mengikuti langkah Brahmin yang berjalan cepat menembusi kegelapan lorong. Ketika sampai di ujung lorong yang mengarah ke pantai, dia menghentikan langkah. Kemudian dengan isyarat tangan, dia memerintahkan agar semuanya merunduk. Rupanya, empat orang penunggang kuda sedang melintas di depan jalan.

Ketika penunggang kuda paling belakang sudah berlalu, Brahmin dengan cepat berlari ke seberang jalan sambil tangannya memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Abdul Jalil dan yang lainnya bergegas mengikuti Brahmin yang begitu sampai di seberang jalan, bayangannya langsung menghilang. Ternyata di sana terdapat parit kering yang menuju ke arah laut. Melalui parit itulah mereka sampai di pantai selatan pelabuhan Goa.

Setelah sekitar seperempat jam berjalan, sampailah mereka di suatu tempat yang ditumbuhi pohon-pohon Chatka dan Saptaparna. Di tempat itu telah menunggu tiga laki-laki berkulit legam yang membawa lima ekor kuda. Ketiga orang itu rupanya adalah pengikut Brahmin. Itu terlihat dari sikap mereka yang sangat hormat kepadanya.

Brahmin yang kemudian dikenali oleh Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil sebagai Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, tanpa berkata sesuatu mempersilakan mereka menaiki kuda. Namun, Abdul Jalil tidak segera naik, sebaliknya ia melangkah mendekat sambil berkata lirih, �Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri yang telah menolong kami.�

�Tuan mengenal saya?� tanya Brahmin mengerutkan kening. �Apakah Tuan diberi tahu oleh Ramchandra Gauranga?�

�Sejak pertama kali melihat Tuan duduk di pertigaan jalan, saya telah mengenali siapa Tuan sebenarnya,� kata Abdul Jalil menjabat tangan Brahmin, �yaitu, seorang manusia yang jauh lebih agung dan lebih mulia daripada takhta yang ditinggalkannya. Bahkan saat Tuan barusan tadi menyebut penunggang kuda itu dengan sebutan hewan pemangsa yang buas, saya makin yakin bahwa Tuan benar-benar telah melihat kenyataan bahwa para penunggang kuda itu adalah manusia-manusia yang mengerikan karena mereka membawa hewan buas pemangsa di dalam diri mereka. Tuan telah �terbangun� dari tidur sesaat di dunia ini dan menyaksikan kenyataan yang sebenarnya dari kehidupan ini.�

Brahmin tercengang makna-makna di balik pembicaraan Abdul Jalil. Itu sebabnya, dengan pandangan tajam dia menatap mata Abdul Jalil seolah ingin mengukur kedalaman jiwanya. Namun, setelah beberapa jenak dia tertawa terkekeh-kekeh dan merangkul erat-erat Abdul Jalil sambil menggumam, �Pantas saja hati saya tergerak untuk menolong Tuan, ternyata Tuan bukanlah orang lain, melainkan diri saya sendiri yang terpisah karena kehendak-Nya.�

Fadillah Ahmad, Syarif Hidayat, dan ketiga orang berkulit hitam itu tercengang keheranan melihat adegan aneh itu. Mereka benar-benar tidak bisa memahami apa yang sebenarnya telah terjadi, terutama ketika mendengar isi pembicaraan keduanya. Bahkan yang paling takjub adalah ketiga orang berkulit hitam yang sepanjang hidupnya belum pernah melihat junjungannya itu tersenyum apalagi tertawa. Lantaran itu, mereka bertiga merasakan seolah-olah sedang bermimpi.

Pembicaraan yang akrab dan aneh antara Abdul Jalil dan Bharatchandra Jagaddhatri ternyata tak berlangsung lama. Sebab, dari arah utara terdengar suara hingar-bingar suara derap kaki kuda dan jeritan sahut menyahut dari para penunggangnya.

�Perahunya di mana, Tamrej?� seru Brahmin kepada salah seorang lelaki berkulit hitam yang bertubuh paling tinggi.

�Di pantai Karwar, Yang Mulia,� sahut Tamrej takzim.

�jauh sekali.�

�Tero, teman hamba, tidak berani berlabuh dekat Goa,� kata Tamrej.

�Jika begitu, larilah engkau dan kawan-kawanmu ke arah pantai. Biar aku akan mengalihkan perhatian mereka,� kata Bharatchandra Jagaddhatri tegas.

Dengan penuh takzim Tamrej dan kedua kawannya melakukan anjali (menghormat dengan dua tangan seperti menyembah) kepada Bharatchandra Jagaddhatri. Kemudian bagaikan terbang, mereka melesat ke arah pantai yang menuju Karwar. Dalam tempo singkat, mereka telah hilang ditelan kegelapan malam.

�Saudaraku,� seru Bharatchandra Jagaddhatri kepada Abdul Jalil, �cepatlah berpacu ke arah selatan dengan menyisir pantai. Perahu yang akan membawamu ke Calicut sudah menunggu di sana. Cepatlah! Tero sudah menunggumu!�

Abdul Jalil menarik napas berat sambil menatap dalam-dalam mata Bharatchandra Jagaddhatri. Ada semacam rasa berat menggelayuti hatinya. Namun, dengan terpaksa ia menaiki kudanya.

Saat ia baru saja duduk di atas pelana, tiba-tiba Bharatchandra Jagaddhatri menepuk keras pantat kuda yang ditungganginya. Merasa kaget, kuda Abdul Jalil melonjak dan meringkik, kemudian melesat ke arah selatan dengan membawa penunggangnya. Abdul Malik Israil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad yang sudah menunggu, secara serentak memacu kudanya mengikuti Abdul Jalil.

Bharatchandra Jagaddhatri ternyata tidak kehilangan kemampuannya menunggang kuda, meski dia telah bertahun-tahun hidup sebagai brahmin. Dengan gesit dia melompat ke atas punggung kuda dan kemudian memacunya dengan gerakan melingkar dan berputar-putar. Bharatchandra Jagaddhatri seolah-olah menunggu kehadiran pasukan pemburu Abdul Jalil.

Beberapa jenak menunggu, dia melihat bayangan tujuh ekor kuda beserta penunggangnya bergerak cepat ke arahnya. Makin lama makin dekat. Debu mengepul. Dengan tenang, Bharatchandra menghadapkan kudanya ke arah datangnya ketujuh penunggang. Kemudian dia membungkukkan badan seolah-olah hendak merangkul leher kudanya.

Ketika bayangan tujuh ekor kuda itu makin dekat, tampaklah para penunggangnya mengacungkan pedang sambil berteriak-teriak. Bharatchandra bergeming dan tetap membungkukkan badan. Penunggang kuda paling depan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, hendak diayun menebas ke arah depan. Bharatchandra tetap menunggu.

Saat jarak mereka tinggal sekitar dua tombak, tiba-tiba penunggang kuda terdepan menebaskan pedangnya tepat ke arah kepala Bharatchandra. Angin maut berdesir. Bharatchandra menjatuhkan tubuhnya ke samping kiri lambung kuda tunggangannya dengan kaki masih melekat di pijakan pelana.

Tebasan pedang mengenai angin kosong. Kemudian bagai didorong kekuatan raksasa, penunggang kuda itu melesat ke selatan diikuti oleh kawan-kawannya. Bharatchandra tegak kembali di atas kudanya. Sedetik kemudian dia sudah melesat ke arah utara menuju pasar.

Ketujuh penunggang kuda itu berteriak-teriak marah. Mereka berbalik arah. Kemudian sambil mencaci-maki, mereka memburu Bharatchandra. Namun, arah utara yang dituju Bharatchandra ternyata hanya siasat. Setelah berlari cepat sejauh tujuh puluh tombak, tiba-tiba dia membelokkan kudanya ke timur. Bagaikan hendak mengejek para pemburunya, Bharatchandra sengaja memperlambat lari kudanya.

Ketujuh penunggang kuda yang sudah dirasuk amarah itu dengan sumpah serapah yang kasar terus memburu ke mana pun Bharatchandra memacu kudanya. Dada mereka bahkan hendak meledak ketika melihat Bharatchandra mempermainkan irama lari kudanya. Kadang lambat dan kadang cepat. Mereka terus memburu Bharatchandra hingga tidak sadar telah masuk ke kawasan selatan Belgaum yang dikuasai oleh para pengikut Adil Shahi.

Sementara itu, tanpa menemui kesulitan berarti rombingan Abdul Jalil telah mencapai pantai Karwar. Tero, pemilik perahu, sudah gelisah menunggu kehadiran junjungannya yang sampai larut malam belum juga datang. Dia merasa lega ketika melihat bayangan empat orang dari arah utara. Namun, betapa kecewanya Tero saat mengetahui bahwa junjungannya tidak ikut bersama mereka.

Tero hampir tidak mempercayai bahwa Abdul Jalil adalah kawan Bharatchandra, junjungannya. Dia baru yakin setelah Tamrej beserta kedua kawannya menyusul ke tempat itu dan menjelaskan bahwa Abdul Jalil dan kawan-kawan adalah sahabat junjungannya. Meski demikian, tak urung hatinya diamuk gelisah tak bertepi.

Sebenarnya, bukan hanya Tero yang gelisah menunggu kehadiran Bharatchandra. Mereka semua malihat ke arah utara dengan hati berdebar-debar. Waktu berjalan begitu lambat dan menyiksa.

Ketika kabut mulai turun menyelimuti bumi, pertanda dinihari, tiba-tiba Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa sesuatu yang tidak diharapkan telah terjadi pada diri Bharatchandra. Itu sebabnya, ia bangkit dari duduk dan melangkah ke arah kuda tunggangannya. Ia memutuskan menyusul Bharatchandra apa pun resiko yang bakal dihadapinya.

�Tuan Syaikh mau kemana?� tanya Fadillah Ahmad.

�Aku hendak menyusul saudaraku, Bharatchandra Jagaddhatri. Aku merasa ada sesuatu yang tidak kita harapkan telah terjadi padanya. Aku akan menjemputnya apa pun resiko yang akan aku hadapi.�

�Tuan,� seru Tamrej menyela, �Tuan jangan pergi. Yang Mulia Bharatchandra Jagaddhatri telah mewanti-wanti kami agar membawa Tuan ke Calicut, apa pun yang terjadi dengan kami. Karena itu, Tuan, biarlah kami saja yang menyusul junjungan kami. Biarlah Tuan menunggu di sini.�

Namun, belum lagi Tamrej melanjutkan kata-katanya, Abdul Jalil melihat bayangan kuda hitam berjalan dari arah utara. Tanpa menunggu waktu, ia langsung berlari ke arah kuda yang berjalan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dan ternyata, di atas punggung kuda itu telah terkulai tubuh Bharatchandra Jagaddhatri dengan posisi tertelungkup. Di punggungnya tertancap sebatang anak panah.

�Saudaraku, apa yang terjadi?� seru Abdul Jalil sambil menurunkan Bharatchandra.

Bharatchandra adalah manusia yang memiliki daya tahan luar biasa dan kuat menahan rasa sakit. Dia hanya tersenyum sambil menggumam, �Aku terkena panah nyasar. Namun, tujuh orang penunggang kuda yang memburuku mati semua dihabisi orang-orang Adil Shahi.�

Angin pagi berembus kering menerpa daun-daun kelapa yang berjajar di sepanjang pantai barat Wijayanagar. Di bawah bayangan pohon kelapa di utara pelabuhan Calicut, Abdul Jalil berdiri tegak memandang ke arah laut yang menggelora. Di samping kirinya berdiri Syarif Hidayat dan Fadillah Ahmad. Di samping kanannya berdiri Bharatchandra Jagaddhatri.

Bagaikan melihat bentangan gambar kehidupannya tergelar di hamparan lautan, ia merasakan dirinya bagai seorang anak yang akan pergi bermain ke tengah lautan. Ia bayangkan dirinya berlari-lari di atas gelombang. Dan saat itu, ia merasakan sentuhan lembut menyentuh kedalaman jiwanya seiring kelebatan bayangan orang-orang yang dicintainya, yang tertinggal nun jauh di dalam selimut halimun kenangan indahnya.

Ia teringat saat kali pertama meninggalkan tanah kelahiran tercinta, Caruban Girang. Saat itu, ia merasa sedih dan pilu menyayat jiwanya. Ia rasakan kehampaan memenuhi dadanya. Ia benar-benar merasakan sentakan pedih ketika harus melepaskan diri dari orang-orang yang dicintainya. Namun, kini, setelah peristiwa itu berlalu puluhan tahun silam, ia tidak merasakan kepedihan dan kepiluan apa-apa dari kepergiannya meninggalkan mereka yang dekat dengannya. Ia justru merasakan dirinya seperti anak-anak yang sedang bermain penuh kegembiraan.

Ketika pandang matanya diarahkan ke utara, ia saksikan kapal yang bakal dinaikinya diliputi kesibukan luar biasa. Sebagian awak ada yang mengatur tali-temali, menata layar, mengikat peti-peti, dan ada beberapa yang naik ke anjungan.

Menyaksikan kesibukan di atas kapal, ia tahu bahwa beberapa saat lagi ia akan berangkat merenangi lautan menuju Malaka. Itu berarti ia akan mengalami babak baru kehidupan sebagai bagian dari alur cerita yang ditentukan-Nya. Itu sebabnya, sebelum menaiki kapal, ia memberi amanat kepada Fadillah Ahmad untuk secepatnya kembali ke Ahmadabad dan mengambil baiat kepada Syaikh Abdul Ghafur Muffaridun al-Gujarati.

�Engkau lebih dibutuhkan di Ahmadabad,� ujar Abdul Jalil.

�Tapi Tuan Syaikh,� ujar Fadillah Ahmad, �Bolehkah saya bertanya sesuatu tentang Tarekat asy-Syatariyyah yang Tuan suruh saya berbaiat kepadanya?�

�Apa yang engkau tanyakan?�

�Saat di Belgaum, Tuan Syaikh meminta saya untuk berbaiat Tarekat asy-Suatariyyah. Saya merasa heran karena saya yang tinggal di Ahmadabad bertahun-tahun belum sedikit pun pernah mendengar nama tarekat seperti itu. Bahkan saat saya renung-renungkan, sepanjang pengetahuan saya tidak ada tarekat seperti itu di Ahmadabad. Apakah Tarekat asy-Syatariyyah itu sama rahasianya dengan Tarekat al-Akmaliyyah?� tanya Fadillah Ahmad.

Abdul Jalil tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar pertanyaan Fadillah Ahmad. Ia sadar bahwa apa yang disampaikannya itu memang tidak lazim. Itu sebabnya, ia segera memberi penjelasan, �Aku telah keliru menyebutkan istilah asy-Syatariyyah kepadamu. Karena, engkau cari sampai ke ujung dunia pun, engkau tidak akan mendapati Tarekat asy-Syatariyyah.�

�Ketahuilah, o salik, bahwa Tarekat asy-Syatariyyah adalah sebutan rahasia bagi tarekat yang diajarkan oleh kalangan Alawiyyin, khususnya dari keturunan Syaikh Abdul Malik al-Qozam. Sebutan tarekat itu sendiri adalah ajaran rahasia yang diajarkan turun-temurun dari kalangan Ahlul Bait Rasulullah Saw., yaitu dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, Imam Ali Zainal Abidin, Imam al-Baqir, Imam Ja�far Shadiq, dan seterusnya hingga akhir zaman nanti. Tarekat itu ada yang menyebut dengan nama Ja�fariyyah yang dibangsakan (dinisbatkan)kepada Imam Ja�far Shadiq. Namun, ada juga yang menggunakan sebutan lain.�

�Tarekat asy-Syatariyyah adalah sebutan yang diberikan oleh kakek buyutku Syaikh Sayyid Amir Abdullah Khanuddin. Aku sendiri semula tidak tahu kenapa beliau menamakan tarekat yang diajarkannya demikian. Namun, belakangan baru aku tahu bahwa hal itu terkait dengan rahasia-Nya. Jadi, kupesankan kepadamu, o Salik, bahwa mulai saat ini jangan sekali-kali engkau secara terbuka menyebut Tarekat asy-Syatariyyah di mana pun dan kepada siapa pun. Karena, sekali engkau menyebut-nyebutnya berarti engkau telah membuka rahasia-Nya.�

�Kenapa demikian, o Tuan Syaikh?� Fadillah Ahmad heran.

�Karena, Tarekat asy-Syatariyyah baru diajarkan secara terbuka barang seratus tahun lagi dari sekarang. Saat ini, tarekat ini diajarkan sangat tertutup kepada kalangan terbatas, terutama di kalangan Alawiyyin. Karena itu, meskipun diam-diam banyak orang mengamalkan tarekat ini, diharamkan bagi mereka untuk menyebutkan secara terbuka nama Syatariyyah. Itu sebabnya, sekarang ini tidak akan engkau dapati sebutan Syatariyyah di mana pun di negeri Gujarat. Sebab, dia yang akan mengajarkan Tarekat asy-Syatariyyah secara terbuka, hidupnya sezaman dengan cucuku. Jadi, aku pun tidak akan bertemu dia,� ujar Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad termangu sambil mengangguk-angguk takjub. Sungguh dia nyaris tidak bisa memahami bagaimana mungkin ajaran yang bakal lahir seratus tahun lagi sudah bisa diketahui saat ini. Namun, selama mendampingi Abdul Jalil sejak di Belgaum, Fadillah Ahmad yakin sekali bahwa Tuan Syaikhnya itu adalah kekasih Allah yang diliputi barokah dan karomah pengetahuan ilahiah yang penuh keajaiban. Karena itu, tak perlu lagi ada yang ditanyakan terhadap uraiannya tentang Tarekat asy-Syatariyyah. Bahkan diam-diam ia bangga karena akan berbaiat suatu tarekat yang baru dikenal orang seratus tahun lagi.

Ketika layar-layar kapal mulai dibentangkan, Abdul Jalil memegang erat tangan Bharatchandra Jagaddhatri, Brahmin yang telah begitu berkesan dalam jiwanya, meski dipertemukan dalam tempo singkat. Ia pandangi matanya yang teduh bagai telaga. Ia saksikan getar-getar ilahiah yang memancar dari keteduhan jiwanya. Dan bagaikan hendak berpisah dengan dirinya sendiri, ia merasakan jiwanya menyentak-nyentak kesadarannya.

Tak berbeda dengan Abdul Jalil, Bharatchandra Jagaddhatri pun merasakan semacam kehilangan merajalela di jiwanya. Namun, secepat itu dia sadar bahwa keterikatan antara dia dan Abdul Jalil adalah keterikatan jiwa yang satu, yang sudah tersingkap selubungnya. Itu sebabnya, sambil menarik napas berat dia kemudian menggumam, �Bagaikan anak-anak berlari di pantai, kita akan bermain penuh kegembiraan. Namun, jika sore menjelang kita akan pulang ke rumah kita yang sejati. Kapankah kita akan bertemu lagi di pantai yang lain?�

�Saudaraku, di mana pun pantai adalah sama, meski namanya berbeda. Tapi, satu hal yang hendak kutanyakan kepadamu, o Saudaraku,� kata Abdul Jalil.

�Tentang apa?�

�Apakah engkau tetap dengan tekadmu untuk pergi dari kerajaan dan menyerahkan takhta kepada adikmu?� tanya Abdul Jalil.

Bharatchandra Jagaddhatri mengangguk sambil tersenyum.

Abdul Jalil tersenyum lebar dan kemudian merangkul Bharatchandra Jagaddhatri sambil berbisik lirih, �Dia yang meninggalkan kerajaan dan kemuliaan duniawi tentu lebih mulia dari kerajaan dan kemuliaan duniawi.�

Sayap malam yang terbentang menutupi permukaan bumi telah terangkat ketika cahaya merah sang surya mulai membias tipis di ufuk timur. Angin berdesau di pepohonan menghamburkan hawa dingin di antara tetes-tetes embun pagi. Di kejauhan terdengar pukulan bedug ditabuh bertalu-talu pertanda waktu subuh datang menjelang.

Di pendapa ndalem Pemelekaran, di bawah pancaran cahaya pelita yang bergoyang-goyang, Ki Gedeng Pasambangan duduk bersila dengan punggung disandarkan pada tiang saka, dengan mata menatap ke depan seolah-olah melihat keremangan pagi yang diliputi kabut. Setelah bercerita semalaman, dia kelihatan lelah. Itu sebabnya, setelah berhenti sesaat dan menarik napas dalam-dalam, dengan senyum mengembang dalam mata tuanya, dia melanjutkan ceritanya. �Setelah Syaikh Datuk Abdul Jalil berangkat dari Calicut dan kapal yang ditumpanginya berlabuh di Pasai, ia tinggal selama sebulan di situ, di kediaman sahabat yang dikenalnya sewaktu haji, Husein bin Amir Muhammad. Di Pasai, dalam waktu singkat ia telah memiliki tiga pengikut dari antara pembesar Pasai, yakni Orang Kaya Kenayan, Abdullah Kandang, dan Abdurrahman Singkel. Namun, suasana perang yang terjadi antara Sultan Zainal Abidin dan adiknya yang berlarut-larut, telah menyebabkan ia harus cepat-cepat meninggalkan Pasai menuju Malaka. Di Malaka, dia mendapati uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad, telah wafat. Maka, ia pun segera bertolak ke Palembang untuk berziarah ke makam Ario Abdillah di Pedamaran. Sesudah itu, ia pergi ke Caruban.� �

Begitulah Raden, kisah sahabat dan guru Aki, Syaikh Datuk Abdul Jalil. Cerita Aki disudahi dulu sampai di sini. Soalnya, tidak terasa sudah semalam suntuk Aki bercerita. Sekarang waktu subuh sudah datang.� �

Ah, maafkan saya karena telah menyusahkan Aki,� ujar Raden Ketib merendah. �Namun, sungguh saya tidak sadar telah semalam suntuk mendengar cerita Aki yang begitu menarik dan memukau. Saya merasakan seperti sedang bermimpi ketika mendengar cerita Aki tentang liku-liku perjalanan Syaikh Datuk Abdul Jalil dalam mencari Kebenaran Sejati.� �

Sebelumnya Aki mohon maaf, Raden, jika dalam bercerita ada hal-hal yang tidak sengaja atau sengaja Aki tambah-tambahi tentang sahabat dan guru Aki itu. Namun, itulah garis besar perjalanannya di dalam mencari Kebenaran Sejati. Apakah Raden menganggap dia orang sesat atau tidak, itu terserah sepenuhnya kepada Raden,� Ki Gedeng Pasambangan tertawa hangat. �

Setelah mendengar cerita Aki, mana mungkin saya berani gegabah menuduh ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil sebagai ajaran sesat. Namun, yang saya herankan kenapa beliau sampai mengalami nasib begitu memilukan? Karena itu, saya mohon agar Aki berkenan menceritakan kepada saya kelanjutan kisah Syaikh Datuk Abdul Jalil sampai tuntas,� kata Raden Ketib berharap.

Ki Gedeng Pasambangan mengangguk sambil tertawa hangat. Setelah itu, dia berdiri dan melangkah menuju ke masjid diikuti oleh Raden Ketib.

Usai shalat subuh dan keduanya hendak berpisah, Raden Ketib dengan agak ragu-ragu bertanya, �Sebelum kita berpisah, apakah Aki membpunyai warisan berharga dari Syaikh Datuk Abdul Jalil yang bisa Aki ajarkan kepada saya?�

Ki Gedeng Pasambangan tersenyum hangat memandangi Raden Ketib dengan tenang dan damai. Raden Ketib, memandang Ki Gedeng Pasambangan dengan pandangan penuh harapan.

Beberapa jenak terdiam, Ki Gedeng Pasambangan tersenyum hangat mengulurkan tangan kanannya sambil berbisik lirih, �Jabatlah tanganku! Mendekatlah kemari! Dan pejamkan matamu!�

Dengan keheranan dan benak diliputi tanda tanya, Raden Ketib menjabat tangan kanan Ki Gedeng Pasambangan dan mendekatkan tubuhnya. Ia memajamkan matanya. Tangan kiri Ki Gedeng Pasambangan kemudian memegang bahunya. Beberapa jenak Raden Ketib merasakan keheningan meliputi dirinya. Dan saat itulah dengan suara lirih Ki Gedeng Pasambangan membisikkan sesuatu ke telinga kirinya.

Raden Ketib tersentak kaget mendengar bisikan Ki Gedeng Pasambangan. Di tengah kekagetannya itu ia merasakan bisikan Ki Gedeng Pasambangan mengalir deras ke kedalaman jiwanya bagaikan cahaya. Ia biarkan bisikan itu meluncur terus menembus relung-relung jiwanya hingga cakrawala kesadaran di hamparan jiwanya yang ditutupi lapisan-lapisan hijab tersingkap bagai tirai disibakkan. Raden Ketib merasakan matahari kesadarannya bersinar kilau-kemilau menerangi jiwa.

Ketika sedang meresapi perubahan yang dialaminya itu, sesuatu yang menakjubkan terjadi padanya. Selagi membuka matanya tiba-tiba ia mendapati dirinya seperti sebongkah batu di dalam sungai dangkal yang sangat jernih. Ia bisa melihat dan merasakan aliran sungai kehidupan yang sambung-menyambung dan susul-menyusul dalam satu rangkaian tak berkesudahan. Dia bisa melihat matahari menyinari bumi, namun sekaligus merasakan hangatnya yang menimpa permukaan air dan mengalir ke pedalaman. Langit biru lazuardi yang membentang di atasnya, terbias bayangannya bagai cermin di permukaan air dan terserap ke dalamnya. Awan-gemawan yang putih berarak dalam bentuk-bentuk yang terus berubah membias di permukaan air dan terserap ke dalamnya. Burung-burung beterbangan dengan aneka bulu dan kicaunya pun membayang di permukaan air dan tembus ke dalamnya.

Tercengang oleh peristiwa itu, Raden Ketib memandang wajah Ki Gedeng Pasambangan yang hanya tiga empat jengkal di depannya. Namun, betapa terperanjatnya ia ketika menyaksikan wajah Ki Gedeng Pasambangan berubah-ubah secara ajaib. Wajah tua itu tiba-tiba menjadi muda dan berubah lagi seperti bayi. Dan wajah itu berangsur-angsur berganda dan berderet-deret panjang bagaikan aliran sungai sambung-menyambung dan susul-menyusul.

Dalam ketakjuban luar biasa, ia terus melihat wajah itu berjajar-jajar dalam rangkaian panjang, berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu, berjuta-juta wajah. Secara ajaib kemudian mewujud dalam bentuk pohon-pohon, rerumputan, bebatuan, gunung, lembah, tebing, bukit, awan, langit, matahari, hewan-hewan, ikan, burung, serangga, dan manusia. Makna apakah di balik yang tergelar di hadapanku ini, tanya Raden Ketib dalam hati. Antara sadar dan tidak, antara lantang dan samar-samar, antara hingar-bingar dan hening, jauh di kedalaman jiwanya, ia menangkap getaran suara dalam bahasa perlambang, yang maknanya kira-kira berbunyi: �Ke mana pun engkau menghadap, di situ wajah Allah� (QS al-Baqarah: 115).

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers