Jumat, 31 Maret 2017

BANGKIT MAJU BERKUASA

Bangkit! Maju! Berkuasa!

Kabar kemenangan gemilang di Kalapa diterima Tranggana dengan kegirangan orang mabuk. Kepalanya terasa membesar dan berat. Matanya sayu tapi penuh hasrat. Dadanya naik turun dipenuhi rasa hangat. Kakinya gontai. Sesuatu ingin ia tumpahkan dari pedalamannya. Dan, satu-satunya hal yang mengisi benaknya adalah kilasan-kilasan khayalan yang mengalir dari mulut sang naga hitam yang menyemburkan api. Kilasan-kilasan khayalan itu melesat dari benaknya, terbang ke angkasa menjadi tangan-tangan hitam berkuku panjang yang menjulur ke bentangan masa depan yang diselimuti kabut misterius. Tranggana tersentak kaget ketika naga hitam yang bersarang di pedalamannya meraung keras, menggetarkan cakrawala jiwanya, �Bangkit dan majulah!�

Tranggana termangu-mangu. Ia merasakan kegembiraan bergelut dengan luapan kebanggaan memenuhi jiwanya. Lalu ia mendengar lagi raungan naga hitam di pedalamannya, �Bangkit! Maju! Berkuasalah! Raihlah keagungan dan kemuliaan raja-raja! Jaya! Jaya!� Pada saat orang masih sibuk membincang kemenangan pasukan gabungan Demak-Caruban yang menghantam keras-keras kekuatan Portugis, Tranggana sudah menitahkan Raden Ja�far Shadiq Senapati Suranata membawa pasukan untuk menggempur Majapahit. Untuk memperkuat pasukan yang dilengkapi meriam dan senapan itu, Tranggana meminta bantuan pasukan dari Giri Kedhaton. Kemenangan atas Banten dan Kalapa tampaknya memperkuat hasrat Tranggana untuk berkuasa atas seluruh Nusa Jawa.

Sangat berbeda dengan saat ayahandanya menyerang Majapahit yang berakibat kegagalan, Raden Ja�far Shadiq selaku senapati tidak lagi mempercayai bualan alim ulama yang penuh diliputi khayalan dan dalil kosong. Ia lebih percaya kepada manggala dan perwira-perwiranya yang mengenal benar makna pertempuran dan nilai-nilai yang meliputinya. Sabda Nabi Muhammad Saw., �Serahkan semua urusan kepada ahlinya� , dipegangnya sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Masalah perang hendaknya diserahkan kepada manusia-manusia yang darah dan jiwanya dialiri darah ksatria. Kegagalan dan kepedihanlah yang akan diperoleh jika masalah perang diurusi ahli agama yang hanya berbekal dalil-dalil dan semangat.

Di bawah arahan manggala dan perwira-perwira kepercayaannya, Raden Ja�far yang ditugaskan menyerang Majapahit tidak serta merta menerobos ke Wirasabha. Sebaliknya, ia menggempur Kadipaten Tuban yang merupakan pelabuhan utama Majapahit. Jika Tuban sudah dikuasai maka Majapahit akan terkucil dari dunia luar. Sebab, dengan menguasai Tuban, bukan saja alur perniagaan akan dapat dikendalikan oleh sang pemenang, melainkan lalu lintas pelayaran di Bengawan Sori pun dapat diawasi melalui tempat-tempat penambangan yang dikuasai keluarga Bajul yang sebagian sudah memeluk agama Islam. Gagasan Raden Ja�far Shadiq beserta manggala dan perwira-perwira kepercayaannya itu terbukti tidak lama setelah Tuban ditaklukkan. Seluruh jalur perniagaan dari pesisir ke pedalaman menjadi sangat terhambat.

Kehati-hatian Raden Ja�far Shadiq dalam bertindak paling tidak telah menyebabkan Tranggana tidak sabar. Ia berharap senapatinya itu bisa bertindak cepat seperti Tughril dan Fadhillah yang tanpa kesulitan berhasil gemilang menaklukkan Banten dan Kalapa. Namun, saat ia diberi tahu bahwa salah satu alasan yang sangat dipertimbangkan oleh Raden Ja�far Shadiq beserta manggala dan perwiranya untuk menunda-nunda penyerbuan ke Majapahit adalah keberadaan Raden Kusen Adipati Terung, paman Sultan Demak, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Apa pun kenyataannya, pamannya itu adalah satu-satunya sesepuh keluarga yang harus dipatuhi sebagaimana wasiat ayahandanya beberapa waktu sebelum mangkat. Bahkan, Tranggana merasakan gundah ketika Susuhunan Kalijaga, mertuanya, memberi tahu bahwa Prabu Bhre Wijaya, maharaja Majapahit pengganti Sri Surawiryawangsaja, telah menyatakan Keislaman di hadapannya.

Di tengah keraguan dan kegundahan untuk menyerang Majapahit, terbetik usulan yang disampaikan Susuhunan Dalem Timur terkait dengan usaha menyingkirkan Raden Kusen menjelang saat-saat penyerangan ke Majapahit. Dalam usulan itu, Susuhunan Dalem Timur meminta salah seorang sentana Susuhunan Ampel Denta agar menemui Raden Kusen. Sentana itu akan menuturkan bahwa ia bermimpi bertemu dengan Susuhunan Ampel Denta yang melambaikan tangan ke arah Raden Kusen tanpa berkata-kata sesuatu. Semua orang yang mengetahui bagaimana kepatuhan Yang Dipertuan Terung itu kepada gurunya dapat menduga dengan gampang apa yang akan terjadi.

Ketika saat pertempuran yang ditentukan datang, di mana pasukan gabungan Majapahit berhadap-hadapan dengan pasukan gabungan Demak di Wirasabha, terjadi sesuatu yang tak terduga-duga. Raden Kusen, dengan alasan dipanggil oleh guru suci yang dipatuhinya, pergi ke Ampel Denta untuk berziarah. Patih Mahodara dan para tetunggul Majapahit yang siaga bertempur mati-matian menghadapi serangan Demak, kebingungan dan hilang kendali menghadapi kejadian yang tak pernah disangka-sangka itu. Mahodara sempat memerintahkan kepada para tetunggulnya untuk tidak keburu menyerang sampai sang adipati kembali dari ziarah ke Ampel Denta. Kesempatan emas itu tidak disia-siakan oleh pasukan gabungan Demak. Berberapa saat setelah dilaporkan bahwa perahu yang membawa Raden Kusen sampai di pelabuhan Canggu, serangan awal dilakukan oleh pasukan gabungan Demak.

Serentetan tembakan senapan yang dihamburkan oleh sekitar lima pulu prajurit Demak asal Palembang dan menumbangkan puluhan prajurit Majapahit telah membelalakkan mata para tetunggul Majapahit. Mereka tidak pernah menduga jika alat bernama bedil yang selama itu mereka gunakan untuk merayakan upacara perkawinan dan menghormati tamu itu digunakan oleh pasukan Demak sebagai senjata pembunuh. Yang lebih membingungkan, pasukan pembawa senapan itu mengibarkan panji-panji bergambar lebah emas yang merupakan lambang panji-panji adipati Palembang. Seiring berkibarnya panji-panji tersebut, pasukan dari Wirasabha dan Japan yang diandalkan sebagai kekuatan utama pasukan Majapahit tiba-tiba mundur serentak tanpa diperintah. Akibatnya, pasukan sayap kanan Majapahit terbelah.

Melihat mundurnya pasukan Wirasabha dan Japan, pasukan gabungan Demak serta merta menyerbu secara bergelombang bagaikan ombak menerjang pantai. Sisa pasukan sayap kanan Majapahit yang dipimpin Arya Simping Adipati Kedhawung dan Arya Tiron Adipati Pamenang seketika itu berantakan formasinya diterjang pasukan dari Giri Kedhaton yang dipimpin dua pendekar Cina bernama Panji Laras dan Panji Liris. Tak lama kemudian, formasi pasukan sayap kiri Majapahit yang dipimpin Arya Puspa Adipati Dengkol dan Arya Matahun Adipati Rajegwesi berantakan juga diterjang pasukan gabungan dari Pati, Udung, dan Madura. Puncak kehancuran formasi tempur pasukan Majapahit adalah saat pasukan utama Demak di bawah Raden Ja�far Shadiq didampingi manggala Pangeran Pancawati menyerang pasukan utama yang dipimpin Arya Gugur, putera mahkota Majapahit, yang didampingi Menak Supethak Adipati Garuda, Menak Pentor Adipati Blambangan, Menak Pangseng Adipati Puger, Raden Pramana Adipati Sengguruh, Nila Suwarna Adipati Pajer, Arya Jeding Adipati Rawa, Arya Babon Adipati Srengat.

Di tengah porak-porandanya formasi tempur pasukan Majapahit, pasukan gabungan Demak tidak melakukan pengejaran sebagaimana lazimnya pasukan yang berada di atas angin. Sebaliknya, secara serentak pasukan gabungan Demak bergegas kembali ke garis belakang pasukannya masing-masing. Pasukan Majapahit yang sudah berantakan berusaha memanfaatkan kesempatan itu untuk membangun lagi formasi tempurnya. Namun, baru saja beberapa orang perwira berkuda melesat ke kanan dan kiri sambil berteriak-teriak memerintahkan pasukannya untuk menata barisan, terdengar suara gemuruh menggentarkan dada dan memekakkan telinga ketika meriam-meriam yang dipasang pasukan Demak mulai menyalak. Seiring melesatnya bola-bola besi bersalut api dari mulut-mulut meriam-meriam itu, berhamburanlah tubuh para prajurit Majapahit yang sedang menata barisan. Serpihan daging, tulang, dan rambut berserak di tengah cipratan darah. Bau mesiu dan anyir darah menebar ke mana-mana menyesakkan dada.

Ketika kabar kehancuran pasukan gabungan Majapahit di Wirasabha sampai ke Demak, Tranggana buru-buru mengirim pesan kepada Raden Ja�far Shadiq selaku senapati Suranata untuk secepat mungkin memboyong singgasana maharaja beserta pusaka dan pustaka Majapahit. Selama menunggu kembalinya sang utusan, Tranggana menitahkan kepada punggawanya agar menyebarkan kabar kemenangan tersebut kepada seluruh kawula. Mereka diperintahkan untuk datang ke alun-alun Demak menyaksikan perpindahan singgasana yang akan dikirab bersama pusaka-pusaka keramat dari kerajaan tua tersebut. Di tengah hiruk persiapan para punggawa menyongsong kirab agung itu, Tranggana justru sedang terbuai mimpi: terbang bersama naga hitam ke angkasa tinggi kediaman raja-raja leluhurnya yang gemerlap disinari cahaya emas keagungan kekuasaan. Ia terbang tinggi untuk menerima mahkota kekuasaan dari leluhurnya dan ia akan menjadi raja bagi manusia.

Beda mimpi yang dialami Tranggana beda pula kenyataan yang ditangkap oleh orang-orang di sekitarnya. Ketika Tranggana membayangkan diri sebagai raja agung penerus kekuasaan raja-raja leluhurnya, orang-orang di sekitarnya justru melihat perubahan jiwanya yang mirip seekor ular berbisa: dingin, angkuh, licik, berbisa, lidah bercabang, sulit didekati, selalu curiga, dan pendendam. Keularan Tranggana setidaknya terlihat ketika singgasana, pusaka-pusaka, dan pustaka-pustaka yang dibawa dari Kraton Majapahit di Daha ditempatkan di Giri Kedhaton selama empat puluh hari. Sekalipun para alim dan sesepuh sudah menjelaskan bahwa penempatan lambang-lambang kekuasaan Majapahit di Giri Kedhaton itu adalah prasyarat bersifat ruhani dari perpindahan sebuah kekuasaan, Tranggana diam-diam mencurigai Susuhunan Dalem Timur, sepupu dan juga sahabatnya, menyembunyikan hasrat untuk menjadi penguasa. �Darah Bhre Wirabhumi yang mengalir di tubuhmu, o Saudaraku, tampaknya tidak cukup puas dengan kekuasaan seluas Giri Kedhaton,� kata Tranggana dalam hati.

Menghadapi kemungkinan-kemungkinan munculnya kekuatan tak terduga yang bakal menghambat jalan menuju puncak kekuasaan di Nusa Jawa, Tranggana mengambil keputusan-keputusan yang memiliki kaitan dengan penguatan kekuasaannya. Untuk menjaga keseimbangan kekuatan Raden Muhammad Yusuf Adipati Siddhayu, ia mengangkat Ki Supa, adik ipar Susuhunan Kalijaga, menjadi Adipati Sendang Siddhayu yang merupakan perbatasan Siddhayu dengan Pamotan. Sementara, untuk menjaga keseimbangan kekuatan dengan Susuhunan Dalem Timur, ia mengangkat Pangeran Anggung Bhaya, putera Pangeran Pringgabhaya, menjadi adipati Sekar-Widang.

Kecurigaan Tranggana terhadap Susuhunan Dalem Timur makin meningkat manakala pusaka-pusaka Majapahit yang diharapkan dapat dimilikinya ternyata tidak satu pun sampai ke tangannya. Pusaka Kala Cakra, Sangkelat, dan Carubwuk yang menjadi lambang kekuasaan Majapahit tidak satu pun muncul di hadapannya. Raden Ja�far Shadiq sang senapati hanya menyerahkan pusaka-pusaka Majapahit yang tidak masyhur. Tranggana tidak sedikit pun curiga kepada senapatinya itu, sebab ia mengetahui jika putera Susuhunan Udung itu tidak mengenal dengan baik masalah pusaka-pusaka. Tranggana justru curiga, pusaka-pusaka itu �menghilang� saat berada di Giri Kedhaton selama empat puluh hari.

Ketidakberhasilan Tranggana memboyong pusaka-pusaka masyhur Majapahit berakibat serius pada keberadaan dirinya sebagai sultan. Meski Majelis Wali Songo telah melantiknya sebagai sultan yang memiliki kewenangan dalam pemerintahan (amir al-mu�minin), kemiliteran (senapati ing alaga), dan pengatur agama (sayidin panatagama), para adipati pesisir tetap belum menunjukkan tanda-tanda untuk mendukung kepemimpinannya. Tidak sabar lagi menghadapi sikap menunggu para adipati pesisir, Tranggana menyiagakan serangan ke Rembang untuk menyingkirkan Arya Pikrama Orob. Namun, Arya Pikrama Orob yang sejak kekalahan kemenakannya dalam pertempuran di Malaka sudah melihat gelagat kurang baik dari Tranggana, segera menyingkir ke pedalaman bersama pasukannya. Arya Pikrama Orob kemudian menggalang kekuatan bersama Arya Matahun Adipati Rajegwesi. Bahkan, persekutuan itu diperkuat oleh adipati Wirasari dan didukung pula oleh Ki Ageng Sesela yang pernah dikecewakan Tranggana karena ditolak waktu mendaftar sebagai tamtama Demak.

Marah mendengar persekutuan adipati-adipati dan penguasa Sesela untuk menentang kekuasaannya, Tranggana menyatakan mereka yang berkubu di Wirasari adalah para pemberontak. Lalu, ia memimpin sendiri pasukannya ke Wirasari. Di Wirasari ia mendapat perlawanan keras dan gagah berani dari para pemberontak. Pasukannya yang terlatih, dengan susah-payah dan banyak korban baru berhasil mematahkan perlawanan para pemberontak. Setelah tujuh hari pertempuran, Wirasari baru jatuh. Tranggana mengangkat Kidang Telangkas, putera Dewi Rasawulan dengan Syaikh Maulana Maghribi, kemenakan Susuhunan Kalijaga sebagai adipati Wirasari. Arya Pikrama Orob Adipati Rembang yang terbunuh dalam pertempuran digantikan kedudukannya oleh Raden Iman Sumantri. Kadipaten Rajegwesi yang kosong akibat terbunuhnya Arya Matahun, dimasukkan ke dalam wilayah Jipang yang dirajai putera ketiga Tranggana, Pangeran Arya Jipang.

Penumpasan terhadap pemberontakan Wirasari dijadikan salah satu alasan oleh Tranggana untuk menggempur Pengging. Pertama-tama, sisa-sisa pemberontak, yaitu Ki Ageng Sesela dan saudara-saudaranya Ki Ageng Pakis, Ki Ageng Adibaya, Ki Ageng Wanglu, Ki Ageng Bokong, Ki Ageng Kare, dan Ki Ageng Purna melarikan diri ke wilayah Pengging. Mereka menyembunyikan diri di Ngerang, yaitu kediaman ayahanda mereka Ki Ageng Ngerang. Selain itu, Tranggana mendapati kenyataan keterlibatan sejumlah pengikut Syaikh Lemah Abang dalam pemberontakan di Wirasari yang lari ke Pengging. Namun, banyak yang paham bahwa alasan Tranggana menyerang Pengging lebih disebabkan oleh rasa khawatirnya terhadap Pangeran Kebo Kenanga yang menggantika kedudukan ayahandanya sebagai penguasa Pengging. Kebo Kenanga dianggap ancaman bagi kekuasaannya. Tranggana yang terilhami kekuasaan Sultan Turki Salim tidak ingin melihat trah Majapahit menandingi kekuasaannya.

Dalam upaya mengabsahkan penyerangan ke Pengging, Tranggana kembali menggerakkan pasukan Suranata yang dipimpin alim ulama Demak untuk melakukan penumpasan terhadap penduduk yang diduga menjadi pengikut Syaikh Lemah Abang. Sejarah kelabu alim ulama membunuhi penduduk tak bersalah terulang kembali. Tombak-tombak berkelebat. Dada-dada berlubang. Darah tumpah. Nyawa beterbangan ke angkasa. Janda-janda dan anak-anak yatim berlipat-lipat jumlahnya. Penumpasan terhadap para pengikut Syaikh Lemah Abang itu diramaikan pula oleh para dukun dan pedagang jimat-jimat yang merasa dirugikan oleh ajaran Syaikh Lemah Abang. Bahkan pada gilirannya, keadaan itu dimanfaatkan oleh banyak orang untuk menjatuhkan saingan atau merebut istri orang. Kebejatan dan kelicikan manusia bergulat menjadi satu dengan lenguhan setan dan hewan buas.

Syaikh Lemah Abang sendiri, menurut kabar, ditangkap dan diadili di Demak dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Syaikh Lemah Abang dijatuhi hukuman mati. Untuk membuktikan kesesatannya, jenasah Syaikh Lemah Abang telah berubah menjadi seekor anjing hitam kudisan. Demikianlah, setelah guru suci penyebar kesesatan itu tewas, pasukan Demak disiagakan menyerang Pengging karena penguasa Pengging Pangeran Kebo Kenanga yang masyhur dengan gelar Ki Ageng Pengging itu adalah pengikut setia Syaikh Lemah Abang.

Ketika Tranggana akan berangkat memimpin pasukan ke Pengging, tiba-tiba Raden Ja�far Shadiq menghadap dan memohon agar dirinya diperkenankan memimpin penaklukan ke Pengging. Raden Ja�far Shadiq beralasan, tidak sepantasnya sultan seagung Tranggana membawa pasukan besar untuk menaklukkan Pengging yang sudah bukan merupakan kerajaan lagi. �Sepengetahuan kami, Pengging telah menjadi semacam kadipaten kecil setingkat wisaya yang dipimpin oleh seorang Ki Ageng Pengging. Apa kata orang jika Sultan Demak yang perkasa menggunakan kekuatan besar untuk menumpas Pengging yang wilayahnya hanya empat wisaya, yaitu Tingkir, Banyubiru, Butuh, dan Ngerang. Akan lebih bijak jika paduka sultan menitahkan kami untuk menaklukkan Pengging,� kata Raden Ja�far Shadiq berharap.

Tranggana yang menganggap pandangan Raden Ja�far Shadiq masuk akal, menerima usulan itu. Ia menyerahkan penaklukan atas Pengging kepada menantu dari pamannya itu. Tanpa mengeluarkan darah orang-orang tak bersalah, Raden Ja�far Shadiq berhasil menaklukkan Pengging. Menurut kabar, Ki Ageng Pengging tewas dengan luka goresan di sikunya. Setelah itu, Yang Dipertuan Tingkir, Butuh, Banyubiru, dan Ngerang menyatakan tunduk kepada sultan.

Kemenangan atas Pengging makin menyeret hasrat Tranggana untuk meyujudkan mimpinya sebagai sultan yang berkuasa atas seluruh Jawa. Segerah setelah Pengging takluk, Tranggana menyerang Kadipaten Bojong. Adipati Bojong Arya Danaraja Orob yang sudah uzur itu terbunuh. Kadipaten Bojong lalu dipecah menjadi tiga, yaitu Kersana, Tetegal, Pamalang. Belum puas menaklukkan daerah pesisir, Tranggana menggerakkan pasukannya ke pedalaman menyerang Gagelang dan Medangkungan. Badai Kematian ia embuskan. Gunung mayat ia ciptakan. Janda-janda dan anak-anak yatim ia serakkan ke permukaan bumi.

Setelah melumat Gagelang dan Medangkungan, Tranggana menggilas Kadipaten Siddhayu dan mengusir Adipati Siddhayu Muhammad Yusuf, sahabat karib Adipati Hunus. Kadipaten Tedunan di selatan Surabaya yang dikuasai Arya Bijaya Orob tak ketinggalan dibumi hangus. Pendek kata, seluruh kekuatan keluarga Orob dan adipati-adipati pendukungnya dihabisi tanpa sisa oleh Tranggana. Tak cukup melampiaskan ambisi kekuasannya di Nusa Jawa, Tranggana mengirim Tughril Muhammad Khan ke Baruna Dwipa untuk membela Raden Paksi yang berselisih dengan saudaranya, Raden Tumenggung, memperebutkan takhta kerajaan Banjar. Tranggana beralasan, dengan memiliki pijakan di Barunadwipa, alur pelayaran kapal-kapal Portugis dari dan ke Wandan dapat diawasi dan sewaktu-waktu dapat diserang. Demikianlah, hari-hari dari hidup Tranggana dilampauinya dengan ketakziman mendengar titah naga hitam di kedalaman jiwanya yang terus-menerus berseru: �Bangkit! Maju! Berkuasalah!�

Ketika ayam jantan berkokok sahut-menyahut pertanda subuh bakal menjelang, di tengah embusan angin dingin yang membawa gumpalan kabut, Raden Ketib tersentak dari kehanyutan jiwanya selama mendengarkan pengungkapan kisah Syaikh Datuk Abdul Jalil dari Susuhunan Kalijaga. Ia merasakan betapa tirai rahasia yang selama ini menyelubungi Kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil makin tersingkap seterang matahari di siang hari. Namun demikian, sekeping tanda tanya masih tersisa di benaknya tentang akhir hidup sang guru suci tersebut. Lantaran itu, setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia bertanya kepada Susuhunan Kalijaga, �Kami sudah memahami semua kisah tentang beliau, o Paduka Guru. Tetapi masih tersisa tanda tanya di benak kami yang bebal ini. Maksud kami, jika Paduka Guru menuturkan kepada kami bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil tinggal di selatan dukuh Lemah Abang di Caruban dalam keadaan hilang ingatan (majnun) akibat tarikan Ilahi (jadzab), apakah yang dibunuh di Demak itu Syaikh Lemah Abang yang bernama Hasan Ali?�

Raden Sahid diam. Setelah menarik napas, dia berkata, �Engkau benar, yang dibunuh adalah Hasan Ali. Tapi dia tidak dibunuh di Demak, melainkan di kediamannya sendiri di Kanggaraksan, kuta Caruban. Dia ditikam dengan keris Kanta Naga milik saudaraku, Syarif Hidayatullah. Sedang Syaikh Siti Jenar yang bernama San Ali Anshar dibunuh di Pamantingan.�

�Tapi cerita yang kami dengar, Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang dibunuh di Masjid Agung Demak dan di Tajug Agung Caruban. Kami benar-benar bingung dengan cerita simpang siur itu.�

Raden Sahid tertawa. Kemudian dengan suara digetari wibawa dia berkata menjelaskan, �Masjid adalah tempat manusia beribadah menyembah Allah. Masjid maknanya tempat bersujud. Lantaran itu, sangat jahil jika masjid digunakan untuk mengadili dan membunuh manusia. Bahkan, lebih jahil lagi kalau sampai terjadi bangkai anjing dikubur di mihrab masjid.�

�Jadi cerita-cerita itu?�

�Sebagian besar dibuat dan disebarkan oleh pengikut-pengikut Hasan Ali dan San Ali Anshar untuk memuliakan guru mereka. Mereka mereka-reka cerita jika jenasah guru mereka itu menebarkan wangi bunga. Mereka membuat-buat cerita jika anjing jelmaan guru mereka itu dikubur di mihrab Masjid Agung Demak.�

�Lalu cerita tentang bangkai anjing itu bagaimana? Peran Majelis Wali Songo bagaimana?� tanya Raden Ketib masih penasaran.

�Cerita tentang bangkai anjing adalah rekayasa alim ulama jahat abdi Tranggana. Mereka mengabsahkan titah pelarangan ajaran Syaikh Siti Jenar oleh Sultan Demak melalui cerita-cerita yang membodohkan manusia. Untuk mengabsahkan pelarangan itu, mereka menebar cerita bohong bahwa yang membunuh Syaikh Lemah Abang adalah Majelis Wali Songo. Padahal, yang membunuh San Ali Anshar di Pamantingan adalah aku sendiri. Lalu, yang membunuh Hasan Ali di Kanggaraksan Caruban adalah keris Kanta Naga milik saudaraku Syarif Hidayatullah. Jadi, Majelis Wali Songo tidak pernah bersidang di Masjid Agung Demak untuk mengadili Hasan Ali maupun San Ali Anshar. Itu semua kabar bohong yang dibikin alim ulama Tranggana. Tetapi biar saja begitu, karena dengan cerita-cerita itu keberadaan Syaikh Lemah Abang, Syaikh Siti Jenar, Syaikh Sitibrit, Syaikh Jabarantas, Susuhunan Binang, Pangeran Kajenar, benar-benar telah jatuh sebagai tanah yang diinjak-injak dan direndahkan manusia sesuai kehendak dan keinginan Syaikh Datuk Abdul Jalil,� kata Raden Sahid.

Raden Ketib termangu-mangu menangkap pemahaman baru tentang kisah Kematian Syaikh Datuk Abdul Jalil yang selama itu sangat membingungkan dan simpang siur. Dengan penjelasan Susuhunan Kalijaga yang begitu terang, ia menjadi paham dengan teka-teki yang pernah disampaikan Syaikh Datuk Bardud tentang Sang Rajawali yang pengarung Kesunyian dan Kehampaan. Ia semakin yakin Syaikh Datuk Abdul Jalil saat itu masih hidup. Namun demikian, ia tidak berani menanyakan hal keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil kepada Susuhunan Kalijaga. Sebaliknya, ia ingin mengetahui latar belakang alasan dibunuhnya Hasan Ali dan San Ali Anshar. �Apakah mereka berdua melakukan kesesatan sehingga pantas untuk dibunuh, o Padukan Guru?� tanya Raden Ketib.

Raden Sahid terdiam. Dia mengelus-elus janggutnya. Setelah itu, dengan suara penuh wibawa dia berkata, �Sesungguhnya, tidak ada hak bagi manusia satu menghakimi manusia lain dalam masalah amaliah agama. Sedangkal apa pun orang seorang menafsirkan ajaran agama, tidaklah ada hak bagi orang lain untu menyatakan ini sesat itu bid�ah dan kemudian membunuhnya. Satu-satunya kesalahan berat yang dilakukan San Ali Anshar adalah dia secara sengaja telah menggunakan nama orang lain, yaitu Syaikh Siti Jenar, nama masyhur Syaikh Datuk Abdul Jalil, dengan tujuan membuat fitnah dan kerusakan. Dengan sengaja ia menggunakan ilmu sihir, dzikir berjama�ah laki-laki dan perempuan, mengaku tuhan titisan Wisynu, menghujat sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. sebagai kafir, dan menjadikan perempuan sebagai barang yang bisa dimiliki bersama. Dia telah merusak tatanan hidup manusia. Itu semua dia nisbatkan kepada nama Syaikh Siti Jenar. Di balik alasan-alasan itu, aku sengaja membunuhnya untuk membalaskan utang darah yang dilakukannya terhadap keluarga kakek istriku, khususnya Syaikh Abdul Qahhar al-Baghdady, paman istriku yang dibunuh oleh orang-orang suruhannya. Dia kubunuh dengan tanganku sendiri karena aku merasa berhak melakukan belapati (qishash) atasnya.�

�Akan hal Hasan Ali, tak jauh kesalahannya dengan gurunya. Dia pertama-tama telah menggunakan nama Syaikh Lemah Abang dengan membuat fitnah dan kerusakan. Kenapa dia dibunuh di Caruban? Sebab, dia terang-terangan membangun dukuh Lemah Abang di selatan dukuh Lemah Abang yang didirikan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Dia mengajarkan ajaran sesat seperti gurunya. Dia tidak sadar bahwa para sesepuh Caruban sangat kenal siapa Syaikh Datuk Abdul Jalil dan siapa Hasan Ali putera Rsi Bungsu. Kesalahannya yang terbesar, dia memerintahkan pengikut-pengikutnya untuk membunuh Pangeran Bratakelana, putera saudaraku Syarif Hidayatullah. Dia sangat membenci Syarif Hidayatullah yang dianggapnya merampas haknya sebagai pelanjut Pesantren Giri Amparan Jati, yang didirikan oleh Syaikh Datuk Kahfi, suami dari uwaknya. Dia menganggap dirinya lebih berhak menjadi guru suci di Giri Amparan Jati dibanding Syarif Hidayatullah. Dia tidak pernah tahu jika yang mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai pelanjut Syaikh Datuk Kahfi adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil, yaitu santri terkasih dan saudara sepupu yang diamanati Syaikh Datuk Kahfi mengembangkan pesantren tersebut. Bahkan Syaikh Datuk Bayanullah, adik kandung Syaikh Datuk Kahfi tidak sedikit pun pernah menyoal masalah tersebut. Ia bahkan tinggal bersama kemenakannya, Tughril Muhammad Khan di negeri Banjar di Barunadwipa.�

Raden Ketib terdiam. Ia benar-benar merasakan kelapangan terhampar di dadanya. Benaknya yang digelayuti tanda tanya pun sudah terang laksana langit pagi hari tanpa awan. Semua telah terang. Namun, saat ia menoleh tanpa sengaja matanya melihat dua bentuk gambar aneh yang terbuat dari kulit tipis yang menempel di dinding. Gambar itu aneh, karena melukiskan sosok orang berhidung sebengkok paruh rajawali, mengenakan surban, destar, jubah, biji tasbih, dan pedang. Sesaat ia teringat bahwa Susuhunan Kalijaga selama itu dikenal sebagai guru suci yang suka menyamar sebagai dalang yang memainkan pertunjukan wayang. Ia menduga, gambar aneh itu pastilah bagian dari pertunjukan wayang, meski ia tidak tahu nama dari gambar tokoh aneh itu.

Sekalipun Raden Ketib tidak bertanya, Susuhunan Kalijaga seperti dapat membaca isi pikirannya. Tanpa terduga-duga, ia bertanya kepada Raden Ketib, �Menurutmu, gambar apakah yang menempel di dinding itu?�

�Menurut hemat kami, itu gambar alim ulama asing,� sahut Raden Ketib.

�Tahukah engkau siapakah nama dua gambar itu?�

Raden Ketib menggeleng, �Kami tidak mengetahuinya, o Paduka Guru.�

�Yang tinggi besar itu aku sebut Sang Yamadipati.�

�Dewa Kematian? Sang pencabut nyawa?� gumam Raden Ketib terkejut.

�Yang satu lagi, yang lebih kecil, aku sebut Pandita Durna.�

�Pandita yang jadi abdi setia Kurawa.�

�Tepat seperti itu.�

�Kenapa Dewa Kematian dan Pandita Durna digambarkan berpakaian alim ulama?� tanya Raden Ketib tak paham dan meminta penjelasan.

�Ini adalah caraku mencatat sejarah bangsaku yang terhina dan teraniaya akibat tindakan alim ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengannya. Ini juga caraku mengungkapkan suasana batin bangsaku yang telah mencitrakan pakaian keulamaan sebagai atribut Sang Pencabut nyawa. Gambar Pandita Durna adalah caraku mengungkapkan rasa muak bangsaku terhadap alim ulama yang menjilat kepada kekuasaan; menggunakan dalil-dalil agama untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra alim ulama tukang hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba itulah yang aku tuangkan dalam sosok wayang Durna. Jika engkau nanti kembali ke Caruban dan menangkap pandangan jiwa penduduk sepanjang perjalananmu, engkau akan mendapati sudut pandang yang sama pada mereka saat memandang alim ulama; semua orang menganggap alim ulama yang mengenakan jubah, destar, surban, terompah, dan memutar biji tasbih adalah para pencabut nyawa dan begundal sultan,� kata Raden Sahid menjelaskan.

Raden Ketib menggeleng-gelengkan kepala mendengar uraian Susuhunan Kalijaga. Meski sepintas seperti berlebihan, sepanjang perjalanan kembali ke Caruban, Raden Ketib benar-benar membuktikan Kebenaran kata-kata Susuhunan Kalijaga tersebut. Pandangan penduduk Nusa Jawa, terutama di pedalaman, benar-benar miring terhadap alim ulama yang mengenakan jubah, destar, surban, terompah, biji tasbih. Bagaikan melihat Dewa Pencabut Nyawa, Yama, penduduk serentak menutup pintu rapat-rapat setiap kali melihat ada orang seorang mengenakan pakaian keulamaan putih melintas di sekitar kampung. Bahkan, kemunculan alim ulama asal negeri Yaman yang tidak tahu-menahu tindakan rekan-rekannya, telah disalahpahami sangat serius. Sebab, nama Yamani yang lazimnya digunakan alim ulama asal negeri Yaman, dalam bahasa Jawa bermakna neraka. Sehingga, mendengar nama Yamani digunakan sebagai nama orang, penduduk seketika lari tunggang-langgang karena menyangka berhadapan dengan makhluk dari neraka, pengikut Dewa Yama. Demikianlah, hampir semua orang Jawa di pedalaman berharap orang-orang yang mengenakan pakaian keulamaan, terutama yang menggunakan nama Yamani tidak masuk ke dalam rumah mereka karena citra Sang Maut yang sudah berurat dan berakar di kedalaman jiwa. Bahkan lantaran itu, hampir seluruh alim ulama di pedalaman mengenakan pakaian khas seperti yang dikenakan Susuhunan Kalijaga, yaitu destar hitam, baju hitam, celana hitam, kain batik, ikat pinggang kulit, dan sebilah keris terselip di dada.

Read More ->>

GELIAT SANG NAGA HITAM

Geliat Sang Naga Hitam

       Di tengah gegap peningkatan kekuatan bersenjata Demak, hadirlah di Demak dua orang pejuang asal negeri Pasai yang tidak saja memiliki kemampuan tempur menakjubkan, tetapi juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam. Dia adalah Tughril Muhammad Khan dan adiknya yang bernama Fadhillah Khan. Mereka meninggalkan negeri kelahirannya barang empat tahun silam ketika Portugis menduduki Pasai. Setelah menunaikan ibadah haji dan tinggal beberapa waktu di tanah suci, dua bersaudara itu pergi ke Caruban untuk mencari paman mereka, Syaikh Datuk Abdul Jalil. Ternyata mereka tidak bertemu karena sang paman dinyatakan telah lama pergi meninggalkan Caruban dan belum pernah kembali. Mereka hanya bertemu Syaikh Datuk Bardud, putera Syaikh Datuk Abdul Jalil, sepupu mereka. Lalu, mereka dipertemukan dengan Syaikh Datuk Bayanullah, sepupu ayahanda mereka yang sudah sangat uzur. Oleh Syaikh Datuk Bayanullah, mereka disarankan pergi ke Demak, menemui Raden Sahid, menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil, yang dikenal dengan nama Susuhunan Kalijaga.

Tughril dan Fadhillah yang sudah mengenal Raden Sahid sewaktu di Pasai kemudian pergi ke Demak. Ternyata, menantu paman mereka itu menjadi imam masjid Agung Demak dan sekaligus mertua sultan Demak. Melalui Raden Sahidlah dua bersaudara itu berkenalan dengan Tranggana yang ternyata sangat membutuhkan orang-orang gagah seperti mereka. Untuk mengikat mereka, Tranggana menikahkan saudarinya yang bernama Nyi Mas Galuh dengan Tughril. Sedang Fadhillah dinikahkan dengan janda Adipati Hunus, Nyi Mas Ratu Ayu, puteri Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati.

Keberadaan Tughril, Fadhillah, dan Khwaja Zainal Abidin yang dipercaya Tranggana membangun angkatan perang Demak telah membentuk pola kemiliteran baru yang merupakan perpaduan antara dasar-dasar kemiliteran setempat dengan Portugis dan Pasai. Angkatan bersenjata Demak yang sebelumnya hanya terdiri atas pasukan tombak dan sedikit pasukan berkuda telah dikembangkan sedemikian rupa dengan pembentukan satuan-satuan pemanah, meriam, dan senapan. Formasi gelar perang pun tidak mengikuti cara lama yang mengandalkan jumlah besar pasukan. Keyakinan diri, keberanian, ketangguhan, keuletan, ketabahan, dan kepantang-menyerahan dijadika dasar utama dalam pembinaan mental setiap prajurit.

Ketika hiruk latihan tempur sedang dilakukan satuan-satuan tempur baru di bawah arahan Tughril, Fadhillah, dan Khwaja Zainal, terbetik sebuah laporan singkat dari Malaka yang mengejutkan Tranggana tentang rencana Portugis membangun benteng di pelabuhan Banten dan Kalapa yang merupakan dua pelabuhan utama Kerajaan Sunda. Laporan yang diperoleh Tranggana dari utusan Sultan Malaka di Banten itu melempar kembali ingatannya pada peristiwa empat tahun silam, ketika Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati memberi tahunya tentang perjanjian antara Kerajaan Sunda dan penguasa Portugis di Malaka yang dilakukan di pelabuhan Kalapa.

Selain dari Syarif Hidayatullah, Tranggana beroleh kebenaran adanya perjanjian Kerajaan Sunda dengan Portugis itu dari Khwaja Zainal. Menurut Khwaja Zainal, antara tanggal 18 � 21 Agustus 1522, barang tiga tahun silam, memang telah dilakukan perjanjian antara Kerajaan Sunda dan penguasa Portugis di Malaka melalui wakil-wakil mereka. Ratu Sanghyang Maharaja Sunda menunjuk Adipati Siput Tumenggung Argatala dan syahbandar Kalapa untuk mewakilinya dalam perjanjian tersebut. Jorge d�Albuquerque penguasa Malaka diwakili oleh Amrrique Leme, didampingi saksi-saksi utama: Fernam d�Almeyda, kapten kapal, Framcisquo Annes, saudagar wakil raja, Baltesar Memdez, juru tulis, Nicolao da Sylva, juru tinggi kapal, Jorge d�Oliveira, juru mudi kapal, dan para perwira militer seperti Manuell Mendez, Sebastio Diaz do Rego, Francisco Diaz, Joham Coutinho, Joham Goncalvez, Gil Barbosa, T0mee Pymto, Ruy Goncalvez, Joham Rodriguez, Joham Fernandez, Diogo Fernandez, Diogo Diaz, Alfonso Fernandez. Berdasar perjanjian tersebut, Portugis akan mendirikan benteng di pelabuhan Kalapa untuk melindungi Kerajaan Sunda dengan imbalan akan memperoleh lada berharga murah.

Kabar bakal dibangunnya benteng Portugis di Banten dan Kalapa itu dalam waktu pendek meluas ke sepanjang pesisir utara Nusa Jawa. Rupanya, Tranggana diam-diam sengaja menyebarluaskan kabar tersebut kepada alim ulama asal Maghribi, Socotra, Kozhikode, Cochazi, Goa, dan Malaka yang tinggal di kawasan tersebut. Hasilnya sudah bisa ditebak, betapa para alim yang tercekam sikap antipati terhadap Portugis itu dengan tergopoh-gopoh datang ke Demak menghadap Tranggana. Mereka memohon agar Tranggana selaku pelindung agama Islam di Nusa Jawa mengambil tindakan tegas terhadap rencana Portugis tersebut. Namun, dengan sangat diplomatis Tranggana menyatakan bahwa selaku sultan yang berkedudukan sayidin panatagama, ia tidak memiliki kewenangan untuk menindak Portugis yang akan mendirikan benteng di pelabuhan Banten dan Kalapa. �Orang-orang Peranggi dan orang-orang Sunda mengadakan perjanjian dagang. Tidak ada kaitan dengan agama. Selaku sultan yang hanya berwenang menjadi pelindung agama, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindak baik Peranggi maupun Sunda. Urusan Peranggi dan Sunda adalah urusan dagang,� kata Tranggana dingin.

Jawaban Tranggana yang dingin itu menampar keras kesadaran para alim. Mereka baru sadar jika selama itu, sejak mangkatnya Adipati Hunus, di Nusa Jawa sesungguhnya tidak ada pemimpin tertinggi dari persekutuan adipati. Padahal, umat Islam dan khususnya mereka sangat membutuhkan pemerintah yang kuat yang bisa melindungi mereka dari musuh-musuh. Mereka butuh pemerintah yang memiliki pasukan bersenjata dan tidak sekadar mengurusi tata kehidupan beragama. Mereka butuh pemerintah yang mengurusi tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Akhirnya, tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan kecuali mendaulat Majelis Wali Songo untuk menobatkan Tranggana sebagai Sultan Demak yang memegang kekuasaan adipati, senapati, dan sayidin panatagama. Untuk itu, mereka mengawali dengan menyatakan sumpah setia secara terbuka mendukung kepemimpinan Tranggana sebagai satu-satunya raja dan pelindung agama di Nusa Jawa.

Tranggana tentu saja menyambut gembira pernyataan alim ulama yang umumnya memiliki banyak pengikut itu. Ia merasakan sekujur tubuhnya digetari kegembiraan meluap-luap. Di tengah luapan kegembiraan itu, ia dapati naga hitam yang bersemayam di kedalaman relung-relung jiwanya, meraung-raung kelaparan ingin memangsa siapa saja makhluk yang terlihat sebagai musuh-musuhnya. Naga hitam itu terus meraung dan membesar tubuhnya seolah-olah menutupi cakrawala kesadaran Tranggana. Bahkan, karena berkuasanya sang naga hitam di kedalaman jiwa Tranggana, sampai-sampai Yang Dipertuan Demak itu tidak bisa lagi membedakan apakah ia masih seorang manusia atau seekor naga hitam bermahkota. Hari-hari dari hidup Tranggana panas membara akibat semburan-semburan api dari mulut sang naga hitam yang membakar jaringan tubuh dan jiwanya. Anehnya, semakin sering sang naga hitam menyemburkan api dari mulutnya, Tranggana merasakan tubuh dan jiwanya semakin kuat seolah campuran berjenis-jenis logam yang ditempa menjadi senjata pusaka.

Khawatir rencana Portugis membangun benteng di Banten dan Kalapa akan menghadang ambisinya menjadi penguasa Jawa, Tranggana mengirim 1.000 orang prajurit pilihan di bawah pimpinan Fadhillah ke Caruban. Kepada Yang Dipertuan Caruban Sri Mangana, Tranggana meminta bantuan pasukan untuk menyerang Banten dan Kalapa. Sri Mangana menambah pasukan Demak dengan 967 orang prajurit Caruban pilihan dipimpin Pangeran Cirebon, puteranya, selaku manggala yang didampingi adipati Keling, adipati Kuningan, dan adipati Cangkuwang. Pasukan gabungan Demak dan Caruban itu tidak menundukkan Kalapa dulu, melainkan langsung ke Banten yang keadaannya sudah kisruh akibat Pangeran Sabakingking, putera Syarif Hidayatullah dengan Nyi Kawunganten, mengadakan kekacauan bersama pengikut-pengikutnya.

Sejak berangkat dari Caruban, pasukan gabungan yang dipimpin Fadhillah disiagakan untuk menduduki pelabuhan Panjang yang dalam setahun belakangan dijadikan pelabuhan lada oleh Yang Dipertuan Banten. Kapal-kapal milik saudagar Sunda dari pelabuhan Banten, Kalapa, Cibuaya, dan Pamanukan secara diam-diam mengangkut lada dari gudang-gudang penimbunan yang dibangun di pelabuhan Panjang untuk dibawa ke Malaka. Bahkan, beberapa kali orang melihat kapal-kapal Portugis bersandar di pelabuhan Panjang untuk mengangkut lada. Di pelabuhan Panjang inilah Portugis rencananya akan mendirikan benteng untuk melindungi Banten dari penguasa-penguasa muslim di sekitarnya.

Sejak kekisruhan yang dilakukan Pangeran Sabakingking dan pengikut-pengikutnya, Yang Dipertuan Banten Prabu Sedah nyaris kebingungan. Sebab, putera Syarif Hidayatullah itu tidak sekadar didukung oleh penduduk beragama Islam yang kebanyakan adalah pengikut Ki Kawunganten yang tinggal di Waka, Pontang, Kasemen, dan Karanghantu, tetapi didukung pula oleh penduduk di sekitar gunung Pulasari. Bahkan Rsigana Domas, delapan ratus orang resi yang tingga di gunung Pulasari di bawah pimpinan Brahmana Kandali, diketahui memihak kepada Pangeran Sabakingking. Kebingungan Yang Dipertuan Banten makin sempurna manakala tanpa terduga-duga, pasukan gabungan Demak dan Caruban secara tiba-tiba menduduki pelabuhan Panjang dan mendirikan pertahanan kuat di sana. Prabu Sedah tidak memiliki kekuatan lagi sebab dengan dikuasainya pelabuhan Panjang dan kawasan pantai di Waka, Pontang, Kasemen, serta Karanghantu oleh Pangeran Sabakingking, pintu keluar Banten Girang ke daerah-daerah lain telah tertutup.

Kabar keberhasilan pasukan gabungan Demak dan Caruban yang dipimpin Fadhillah menduduki pelabuhan Panjang disambut gembira di Caruban dan terutama di Demak. Namun, di tengah kegembiraan itu, tanpa ada yang menduga tersiar kabar Sang Ratu Caruban Larang Sri Mangana mangkat tak lama setelah berziarah ke makam Syaikh Datuk Kahfi. Seluruh Kehidupan di Caruban seperti terhenti selama beberapa kejap. Angin tidak bertiup. Sungai-sungai seolah tidak mengalir. Burung-burung tidak ada yang terbang. Ikan-ikan berhenti berenang. Hewan ternak berhenti memamah biak. Manusia-manusia hilir mudik di jalanan menghentikan langkah dan kendaraan yang ditumpanginya. Mereka berdiri dengan dada kosong dan air mata membasahi pipi. Semua berhenti seolah ingin menghormati kepergian seorang raja yang alim, arif, bijaksana, zuhud, dan dicintai rakyatnya menghadap ke hadirat Maharajadiraja Penguasa semesta.

Sepeninggal Sri Mangana, para wali nagari dan gedeng se-Caruban Larang sepakat memilih Pangeran Muhammad Arifin putera Syarif Hidayatullah untuk menggantikan kedudukan sebagai khalifah Caruban. Semua sepakat memilih pangeran yang masih muda itu karena dianggap sebagai orang yang memenuhi syarat-syarat khilafah sebagaimana diajarkan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Pangeran Muhammad Arifin sendiri dikenal sebagai sahabat akrab Syaikh Datuk Bardud, putera Syaikh Datuk Abdul Jalil. Bahkan, nama Pasarean (pekuburan) yang diberikan oleh Syaikh Datuk Bardud kepadanya ditafsirkan oleh para wali nagari dan gedeng � yang sebagian besar adalah pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil � sebagai tanda keberhasilan putera Syarif Hidayatullah dalam mengamalkan ajaran �mati sebelum Kematian� (mutu qabla an-tamutu) sebagaimana yang disampaikan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Demikianlah, Pangeran Muhammad Arifin yang dikenal orang dengan nama Pangeran Pasarean itu dinobatkan sebagai pengganti Sri Mangana menjadi pemimpin pemerintahan (amir al-mu�minin) dan penguasa keagamaan (sayidin panatagama). Sementara Pangeran Cirebon, putera Sri Mangana yang telah ditunjuk oleh ayahandanya menjadi manggala dalam penyerbuan ke Banten dan Kalapa, ditetapkan sebagai pengganti kedudukan ayahandanya sebagai manggalayuddha (senapati ing alaga) yang memiliki kewenangan dalam menata dan memerintah kekuatan militer Caruban.

Di tengah pergantian kepemimpinan di Caruban Larang, terdengar kabar dari Malaka yang menyatakan pertahanan Sultan Malaka di Bentam baru saja dihancurkan oleh pasukan Portugis di pimpinan gubernur Malaka Pedro Mascarenhas. Dalam penyerbuan itu, pasukan Portugis diperkuat oleh pasukan pimpinan Francisco de Sa. Yang lebih mengejutkan, sehari setelah itu tersebar kabar susulan yang menyatakan bahwa gubernur Malaka menitahkan de Sa pergi ke negeri Sunda untuk membangun benteng di sana. De Sa membawa armada besar. Ia sendiri naik sebuah kapal perang dengan 300 orang prajurit pilihan. Armada de Sa diperkuat oleh Duarte Coelho yang membawa sebuah kapal jenis galeota dan dua kapal jenis fusta. Sebagai siasat penyerangan, de Sa memerintahkan sebagian kapalnya berangkat lebih dulu ke Jawa. Menurut rencana, pada minggu ketiga bulan Juni 1526 seluruh kapal akan berkumpul di Kalapa untuk melindungi pembuatan benteng di sana.

Mendengar kabar keberangkatan armada Portugis itu, Tranggana yang masih diliputi rasa bangga dengan keberhasilan pasukannya menguasai pelabuhan Panjang, buru-buru mengirim Tughril ke Caruban dengan kekuatan 500 orang prajurit pilihan. Tughril diperintah untuk meminta bantuan pasukan dari Caruban kepada pengganti Sri Mangana. Karena Pangeran Cirebon, manggala Caruban, sedang memimpin pasukan bersama Fadhillah di Banten, Pangeran Pasarean selaku khalifah Caruban mengirim Pangeran Wirakusuma, putera Pangeran Cirebon, untuk memimpin 1.000 orang prajurit Caruban dan bergabung dengan prajurit Demak untuk merebut pelabuhan Kalapa sebelum Portugis datang dan mendirikan benteng di sana.

Sesuai rencana, Kalapa akan diserang dari dua arah, dari arah barat oleh pasukan yang dipimpin Fadhillah dan dari arah timur yang dipimpin Tughril. Sekalipun dengan kekuatan 1.500 orang Tughril yakin dapat merebut Kalapa, sebagai seorang pejuang yang pernah terlibat pertempuran dengan Portugis di Pasai, ia merasa heran dengan keberadaan prajurit-prajurit Caruban yang tidak mau menggunakan meriam dan senapan. Ketika hal itu ditanyakan Tughril kepada Syaikh Datuk Bardud, sepupunya, ia diberi tahu bahwa ayahandanya telah melarang penggunaan senjata-senjata penyembur api seperti meriam, gurnita, dan senapan dengan alasan senjata berpengaruh setani. �Karena kakek kami, Sri Mangana almarhum, menyetujui pandangan ayahanda kami maka ia melarang pasukan Caruban menggunakan meriam, gurnita, dan senapan,� Syaikh Datuk Bardud menjelaskan.

�Tapi yang akan kita hadapi di Kalapa nanti adalah pasukan Portugis yang sudah termasyhur kehebatannya di medan tempur. Meriam-meriam dan senapan-senapan yang mereka gunakan tidak mungkin kita lawan dengan panah, tombak, pedang, keris, dan pentungan,� kata Tughril tidak paham dengan penjelasan Syaikh Datuk Bardud.

�Manakah menurutmu yang lebih unggul, o Saudaraku, senjata meriam dan senapan dibanding senjata iman seorang sahabat Allah?� tanya Syaikh Datuk Bardud.

�Tentu saja senjata iman seorang sahabat Allah lebih dahsyat,� kata Tughril masih belum paham, �Tetapi yang akan menghadapi meriam dan senapan Portugis itu prajurit-prajurit Demak dan Caruban yang aku pimpin. Aku bukan sahabat Allah, begitu pula prajurit-prajuritku.�

�Sebelum engkau berangkat, mohonlah doa restu dari guru suciku, Syaikh Maulana Jati. Ia telah diajari oleh ayahandaku untuk meminta kepada Allah agar menggerakkan tentara-Nya (jundullah) dalam pertempuran melawan para pemuja taghut. Yakinlah bahwa dengan perkenannya, engkau akan meraih kemenangan melawan pasukan Portugis yang bersenjata meriam dan senapan,� kata Syaikh Datuk Bardud.

Di dalam selimut kabut dan gumpalan awan yang mencurahkan hujan lebat, pada suatu siang yang gelap kelabu, perahu-perahu yang memuat prajurit gabungan Demak-Caruban yang datang dari Caruban merapat di pantai Cilincing di timur pelabuhan Kalapa. Pada saat hampir bersamaan, perahu-perahu bermuatan prajurit gabungan Demak-Caruban yang datang dari pelabuhan Panjang merapat di pantai Kamal di barat pelabuhan Kalapa. Lalu, seperti kawanan hantu yang berbaris di tengah keremangan senjakala, kedua pasukan itu bergerak tanpa suara. Rawa-rawa dangkal berlumpur dengan pohon-pohon bakau yang sering dijadikan sarang buaya tidak dianggap sebagai penghalang bagi kedua pasukan yang berlomba menjadi yang pertama sampai di Kalapa.

Setelah berjalan setengah berlari selama beberapa jam, iring-iringan pasukan gabungan Demak-Caruban mulai melihat pelabuhan Kalapa, yang samar-samar tampak seperti kerumunan pohon, pondok, dan tiang-tiang kapal yang kelabu tertutup tirai hujan dan kabut. Dengan tubuh basah kuyup, semua merunduk dan mendekam. Lalu, sambil menggunakan isyarat gerakan tangan, jatah makanan dibagikan. Prajurit-prajurit yang kelaparan dan kedinginan itu melahapnya dengan ganas. Usai menyantap jatah makan, mereka bergerak lagi mendekati Kalapa yang makin tampak remang-remang karena hari telah memasuki senjakala.

Ketika hari benar-benar gelap dan hujan tersisa dalam gerimis tipis, terjadi peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu oleh semua prajurit. Sebuah pondok di ujung dermaga terbakar hebat. Pertanda penyerangan atas Kalapa dimulai. Teriakan-teriakan perang terdengar bersahutan dan sambung-menyambung diikuti oleh bergeraknya bayangan-bayangan hitam dari kegelapan, menerjang ke depan dengan panji-panji digoyang-goyang dan tombak diacungkan. Semua bergerak sangat cepat seolah berpacu saling mendahului. Karena jalanan berlumpur dan menjadi licin akibat hujan, beberapa sosok bayangan terbanting dengan keras ke tanah, tetapi secepat itu kawan-kawannya menarik dan menggeretnya untuk bangkit dan berlari. Beberapa orang yang berlari di bagian depan berteriak lantang memberi arahan kepada kawan-kawannya.

�Ke rumah syahbandar!�

Di tengah gelap yang hanya sesekali ditandai kilatan petir, jarak bayangan-bayangan hitam para prajurit yang berlari itu semakin dekat dengan kediaman syahbandar Kalapa. Teriakan-teriakan liar bersahutan di antara suara benturan senjata. Para prajurit Sunda yang menjaga kediaman syahbandar Kalapa hanya sedikit jumlahnya. Mereka terkejut menghadapi serangan mendadak yang tak mereka sangka-sangka. Mereka melawan sekuat-kuatnya, tetapi dengan mudah ditewaskan atau dihalau dari kubu pertahanan. Kepanikan merebak di mana-mana. Syahbandar Kalapa yang melakukan perlawanan bersama pengawal-pengawalnya tanpa kesulitan dibinasakan oleh para penyerang yang bertempur bagaikan kawanan hewan buas mencabik-cabik mangsa. Dalam semalam, pelabuhan Kalapa yang dipertahankan oleh sekitar 1.000 orang prajurit Sunda itu jatuh ke dalam kekuasaan pasukan gabungan Demak-Caruban.

Kemenangan merebut pelabuhan Kalapa tidak dirayakan. Sebaliknya, seluruh pasukan digabungkan menjadi satu di bawah kepemimpinan Tughril untuk menghadapi pasukan Portugis yang sedang dalam perjalanan menuju Kalapa. Menurut perhitungan Tughril, meriam-meriam yang sudah ditempatkan pasukan gabungan Demak-Caruban di pelabuhan Panjang dipastikan akan menghalau armada Portugis yang akan singgah di sana. Portugis yang belum tahu jika Kalapa sudah jatuh pasti akan mengarahkan armadanya ke pelabuhan Kalapa. Untuk menghadang kedatangan armada Portugis, pihaknya akan menunggu di pantai sesuai petunjuk Susuhunan Gunung Jati. Meski agak kurang yakin sepenuhnya dengan penjelasan Datuk Bardud, bahwa Susuhunan Gunung Jati mampu meminta datangnya balatentara Allah, dan lantaran itu ia memerintahkan pembangunan kubu-kubu dari kayu dan bambu di sekitar muara, tak urung Tughril memerintahkan kepada seluruh pasukan untuk tidak menyerang musuh sebelum mendarat di pantai. Tughril terombang-ambing antara desakan nalarnya yang liar dan tali kendali keyakinannya yang kadang kencang tapi kadang mengendor.

Sementara, ketika armada yang dipimpin de Sa baru beberapa saat melintasi Selat Sunda tiga empat legoa (1 legoa = 5,5 mil laut), terjadi peristiwa yang hampir membuat semua pelaut di dalam armada itu ketakutan. Hujan angin turun sangat ganas disusul amukan puting beliung yang menerjang kapal-kapal raksasa itu, laksana tangan-tangan raksasa terjulur dari balik gumpalan awan mempermainkan sabut-sabut kelapa di atas laut. Kapal perang yang ditumpangi de Sa tergulung badai dan dijauhkan dari pantai Sunda, terseret gelombang hingga ke ujung timur Nusa Jawa. Kapal perang yang ditumpangi Duarte Coelho dengan satu kapal galeo dan satu kapal fusta pendampingnya berhasil lolos dari amukan badai. Coelho dan seluruh awaknya belum sadar jika kapal yang ditumpangi pemimpin mereka, de Sa, telah terseret arus dan badai jauh ke arah timur berpuluh-puluh legoa. Coelho memutuskan untuk membawa tiga kapal yang dipimpinnya ke pelabuhan Kalapa mendahului kapal de Sa. Ia berharap raja Sunda sahabat Portugis akan menyambutnya dan membantu perbaikan layar kapal-kapalnya yang rusak akibat badai.

Ketika iring-iringan kapal yang dinakhodai Coelho melintasi pulau-pulau kecil yang tersebar di teluk Kalapa, bergeraklah gumpalan awan hitam dari arah selatan menutupi langit. Pada saat bersamaan terlihat gumpalan kabut memenuhi permukaan laut. Lalu, seperti dua hamparan kegelapan disatukan, gumpalan awan hitam di langit dan gumpalan kabut di permukaan laut itu disatukan oleh gemuruh hujan dan diselingi ledakan halilintar. Semua awak kapal yang beberapa waktu sebelumnya sempat melihat remang-remang pelabuhan Kalapa, tercekam kegentaran ketika menyaksikan gumpalan awan hitam, kabut, hujan, dan halilintar bergerak cepat ke arah kapal-kapal mereka. Semua merasakan jantungnya berdebar-debar saat melihat putting beliung bergerak seperti tangan raksasa mengaduk-aduk laut.

Coelho yang masih tercekam kengerian amukan putting beliung di lepas Selat Sunda hanya membelalakkan mata dan menutup mulutnya rapat-rapat ketika pusaran putting beliung menyambar kapal fusta yang melaju di depannya. Kapal berukuran panjang dengan dua tiang dan 15 bangku pendayung itu seperti sabut dicengkeram tangan yang kuat, meronta tak berdaya ketika tiang-tiangnya satu demi satu patah. Ia menahan napas ketika menyaksikan kapal yang bermuatan 30 orang itu terangkat dari permukaan laut dan kemudian terlempar keras ke daratan. Menyaksikan keanehan demi keanehan peristiwa yang dialami sejak terempas badai di lepas Selat Sunda, ia tidak dapat berbuat lain ketika kapal yang ditumpanginya dan galeo yang berada di dekatnya terseret arus dan badai ke arah daratan, menyusul kapal fusta yang sudah tersungkur lebih dahulu di tengah rawa-rawa berlumpur. Ia hanya bisa memerintahkan kepada awak kapalnya untuk berdoa kepada Tuhan.

Di tengah kepasrahan atas nasib yang bakal mereka alami, terjadi suatu keanehan. Badai tiba-tiba menyingkir. Gumpalan awan hitam dan kabut mendadak bergerak ke timur dan menghilang. Saat itulah Coelho menyaksikan pemandangan yang membuat dadanya sesak dan tenggorokannya kering: sekumpulan orang bersenjata tombak dan kelewang menangkapi para awak kapal fusta yang sebagian melakukan perlawanan. Perlawanan tak berarti dari awak-awak kapal malang itu berakibat terjadinya penyembelihan terhadap kawan-kawan mereka. Tidak peduli tentara atau pendayung, satu demi satu seolah sengaja memamerkan kebuasan � awak kapal fusta dijagal tanpa kenal belas kasihan.

Terkejut oleh peristiwa tak terduga itu, Coelho mengirim sebuah perahu yang mengibarkan bendera putih untuk mengajak orang-orang bersenjata itu berunding. Namun saat perahu itu mendekat, dari balik gundukan-gundukan tanah dan kubu-kubu kayu yang memanjang di pantai, berhamburan ratusan anak panah disusul letusan senapan. Awak perahu yang tak menduga bakal diserang, buru-buru berbalik arah. Kembali ke kapal. Coelho dengan napas sesak menyaksikan bagaimana orang terakhir dari awak kapal fusta itu disembelih dan mayatnya dilempar ke lumpur. Sejak mengalami peristiwa mengerikan, dan berkat pertolongan Tuhan saja yang tersisa bisa selamat, Duarte Coelho tidak mau lagi ke Sunda. Tanpa menunggu lebih lama kedatangan kapal de Sa, ia kembali ke Malaka.

De Sa yang belum mengetahui nasib malang yang dialami awak kapal Duarte Coelho, mengumpulkan kapal-kapal perang yang sudah disebarnya lebih dahulu di sejumlah pelabuhan di Jawa. Ia menunggu mereka di pelabuhan Panarukan. Tak kurang dari tujuh kapal perang besar dengan tiga galeo dan tiga fusta berkumpul. Dari Panarukan, ia dengan penuh yakin diri memimpin armada ke pelabuhan Kalapa. Ketika sampai di teluk Kalapa, ia mendapati permukaan air laut sedang surut. Tanpa mengetahui jika Kalapa sudah jatuh ke tangan pasukan gabungan Demak-Caruban, ia mendarat di Kalapa dengan sekoci-sekoci yang memuat sekitar tujuh puluh orang prajurit bersenapan.

Ketika naik ke daratan, De Sa menangkap gelagat tidak beres karena pelabuhan Kalapa yang selalu ramai itu terasa sekali lengang. Ia bergegas menuju kediaman syahbandar. Sebelum masuk, ia memerintahkan beberapa orang untuk memberi tahu syahbandar yang seharusnya menyambut kedatangannya. Saat orang-orang yang disuruhnya itu kembali, ia terperangah mendengar laporan bahwa yang menguasai kediaman syahbandar adalah pejuang asal Pasai yang sudah mereka kenal, dua bersaudara Tughril dan Fadhillah Khan.

Tercekam oleh tugas yang diemban untuk secepatnya mendirikan benteng di Kalapa, De Sa tidak berpikir panjang. Saat itu pula ia memerintahkan pasukannya untuk merebut kediaman syahbandar Kalapa. Namun, dua orang pejuang asal Pasai yang sudah menyiagakan pasukan dengan keberanian luar biasa menyerang de Sa dan pasukan yang mengawalnya. Terjadi pertempuran jarak pendek. Prajurit Portugis yang tidak memiliki kesempatan mengisi senapan dalam pertempuran jarak pendek itu menjadi sasaran empuk bagi tombak dan keris yang digunakan Tughril dan Fadhillah beserta prajurit-prajuritnya. Tiga empat orang prajurit Portugis tumbang ke atas tanah berlumpur tanpa nyawa. Yang lain berusaha mundur sambil menlindungi pemimpin mereka. Saat de Sa beserta sisa-sisa pasukan kembali ke kapal dengan sekoci, Fadhillah memimpin dua puluh delapan perahu berisi pasukan panah dan tombak untuk mengejar sekoci-sekoci Portugis yang melarikan diri.

Begitu berhasil naik ke kapal, de Sa buru-buru memerintahkan kapal-kapalnya untuk bergegas pergi meninggalkan teluk Kalapa. Ia sadar, perahu-perahu yang sedang memburunya itu akan menjadi ancaman yang membahayakan bagi kapal-kapalnya. Pertempuran jarak pendek! Ia bayangkan kapal-kapalnya dikerubuti perahu-perahu kecil itu tanpa dapat menggunakan meriam. Pertempuran jarak pendek yang baru saja dialaminya di Kalapa harus dihindari. Demikianlah, di tengah sorak-sorai para penumpang perahu yang dipimpin Fadhillah, kapal-kapal Portugis di bawah de Sa terbirit-birit meninggalkan teluk Kalapa.

Read More ->>

PERANGKAP PATIH MAHODARA

Perangkap Patih Mahodara

Kekalahan memalukan di Tuban sangat menampar Tranggana. Ia geram dan menumpahkan kemarahannya, terutama kepada alim ulama terbawa badai yang selama itu dianggap terlalu banyak membual. Dalam amarahnya, Tranggana membandingkan mereka dengan para pemuka dukuh Lemah Abang yang berani menyongsong Kematian. �Aku mengira kalian setabah orang-orang Lemah Abang dalam menyongsong Maut. Ternyata, kalian lari tunggang langgang menghadapi orang-orang yang kalian anggap kafir, najis, dan hina. Memalukan. Sungguh memalukan,� kata Tranggana dengan nada sangat kecewa.

Kabar kemarahan Tranggana terhadap para alim terbawa badai ternyata sampai kepada Susuhunan Udung yang bertahan di perbatasan Lasem. Dia mengirim utusan kepada Tranggana meminta perkenan untuk memimpin kembali pasukan gabungan Demak menyerbu Majapahit. Tranggana yang sudah tertampar oleh rasa malu memperkenankan keinginan pahlawannya yang pemberani itu dengan mengirim pasukan tambahan dari Pati 1.000 orang yang dipimpin oleh Raden Iman Sumantri dan dari Sesela 1.000 orang yang dipimpin Ki Ageng Sesela. Ketika pasukan dari Pati dan Sesela berangkat ke perbatasan Lasem untuk bergabung, tidak satu pun di antara alim ulama terbawa badai yang ikut dalam serangan kedua itu. Mereka bersembunyi ketakutan dan hanya mengirim wakil-wakil keluarga mereka dari kalangan muda.

Menghadapi serangan gelombang kedua dari Demak, Patih Mahodara telah menyiapkan sebuah perangkap mematikan. Pertama-tama, ia membiarkan pasukan alim ulama memasuki Tuban tanpa perlawanan. Ketika mereka meneruskan serangan ke arah Daha, satuan-satuan kecil pasukan Majapahit akan menyerang dan lari sehingga mereka mengira mendapat kemenangan. Saat mereka sampai di Wirasabha, barulah dilakukan serangan balik secara besar-besaran sebab di Wirasabha telah berkumpul pasukan gabungan yang datang dari Kadipaten Dengkol, Garuda (Pasuruan), Kedhawung, Japan (Japanan), Pengging, Daha, Blambangan, Puger, Srengat, Panjer, Rawa, Jipang, dan Wirasabha. Menurut kabar, pasukan gabungan yang akan menghadang pasukan Demak di Wirasabha itu dipimpin sendiri oleh pemuka-pemuka mereka seperti Andayaningrat dan puteranya Kebo Kanigara dari Pengging, Menak Supethak dan saudaranya Raden Pramana dari Garuda, Menak Pentor dari Blambangan, Menak Pangseng dari Puger, Arya Simping dari Kedhawung, Arya Puspa dari Dengkol, Nila Suwarna dai Panjer, Arya Tiron dari Pamenang, Arya Matahun dari Rajegwesi, Arya Gugur putera mahkota Majapahit. Bahkan, yang ditunjuk menjadi senapati pasukan gabungan Majapahit adalah Raden Kusen Adipati Terung, paman Tranggana.

Siasat Patih Mahodara menjebak pasukan alim ulama Demak di Wirasabha sesungguhnya sudah diketahui Susuhunan Udung. Sebab, pada saat pasukan Demak akan menyeberang Bengawan Sori, Raden Kusen, yang tidak lain dan tidak bukan adalah besannya, telah mengirim peringatan lewat Raden Sulaiman, Leba Wirasabha, yang meminta agar pasukan Demak mengurungkan penyerangan ke Majapahit, karena pihak Majapahit sudah memasang jebakan. Namun, Susuhunan Udung yang sudah terlanjur malu dengan kekalahan pasukannya di Tuban tidak mengindahkan peringatan itu. Tampaknya, dia yang sejak kecil hanya mengenal masalah-masalah agama dan tidak mengetahui kemiliteran, kurang memahami isyarat-isyarat bahaya yang diberikan oleh besannya. Di samping itu, dia sudah tercekam oleh dalil-dalil agama yang menjanjikan kemenangan bagi kaum beriman dalam bertempur menghadapi kaum kafir. Dia semakin yakin bakal meraih kemenangan karena sudah mengenakan pusaka jubah antakusuma.

Dengan keyakinan kuat bakal menang itulah Susuhunan Udung memerintahkan pasukannya untuk bergerak cepat ke Wirasabha. Tanpa peduli gelap dan kabut, dia memimpin pasukan ke selatan pada malam hari dengan mengikuti jalan utama Wirasabha � Tuban. Saat pagi menjelang, ribuan kaki pasukannya sudah mengaduk-aduk dangkalan sungai Brantas yang mereka seberangi dari tepi utara ke tepi selatan. Meski jumlah pasukannya kurang dari 10.000 orang, Susuhunan Udung sangat bangga dengan mereka yang menunjukkan semangat tinggi. Seperti tak kenal lelah, setelah menyantap jatah makanan di tepi selatan sungai Brantas, mereka bergerak lagi. Seperti berlari mereka bergerak terus dengan cepat ke arah selatan. Beberapa orang penunggang kuda yang memimpin barisan terlihat berseru sambil menggeletarkan cemetinya ke udara, �Kita harus cepat sampai ke Wirasabha! Kita serang Wirasabha! Musuh-musuh kita ada di Wirasabha! Musuh Allah di sana! Cepat! Cepat!�

Dengan semangat yang terus dipacu, pasukan Demak yang berpakaian serba putih itu memang menakjubkan gerakannya. Ketika matahari baru naik sepenggalah, mereka sudah sampai di sungai Tambak Beras, sungai bersejarah yang diingat penduduk sebagai tempat hancurnya balatentara Tuban yang dipimpin Ranggalawe barang dua abad silam. Setelah berhenti beberapa jenak untuk minum usai menyeberangi sungai Tambak Beras, mereka bergerak lagi dengan langkah lebih cepat. Seperti berpacu, mereka melesat dengan cepat ke arah kuta Wirasabha.

Ketika dari kejauhan dinding kuta Wirasabha yang terbuat dari batu bata terlihat kukuh di bawah langit, mereka berhenti dan membagi pasukan dalam tiga sayap. Sayap kiri dipimpin oleh Ki Ageng Sesela. Sayap kanan dipimpin Raden Iman Sumantri. Induk pasukan tengah dipimpin Susuhunan Udung. Lalu diiringi teriakan takbir gegap-gempita laksana bukit runtuh, ketiga pasukan yang memiliki panji-panji berbeda itu bergerak cepat ke arah gerbang kuta. Mereka berlomba saling mendahului untuk bisa secepat mungkin sebagai yang pertama sampai.

Sementara, sejak pagi gerbang barat kuta Wirasabha sudah dibuka sebagian. Anehnya, di balik pintu gerbang yang ditutup sebelah itu terdapat tumpukan batu-batu besar seolah gerbang itu sengaja ditutup separo. Lebih aneh lagi, ketika gegap-gempita iring-iringan pasuka Demak mendekati kuta dan berpacu mener0b0s gerbang barat, prajurit penjaga gerbang justru lari meninggalkan pos penjagaan sambil tersenyum-senyum. Mereka seperti sengaja membiarkan gerbang yang dijaganya itu tetap terbuka separo. Mereka seperti sengaja membiarkan musuh masuk ke kuta.

Ketika pasukan Demak menerjang ke arah gerbang bagaikan air yang membanjir, terjadi sesuatu yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Pasukan Demak yang berlomba saling mendahului itu berdesak-desak, terhalang oleh pintu gerbang yang terbuka separo. Lantaran tidak ada satu pun di antara prajurit Demak yang mau mengalah dan mereka terus berdesak-desak ingin mendahului yang lain masuk ke dalam kuta, makin sesaklah gerbang itu dipadati manusia. Semangat prajurit-prajurit Demak yang berkobar-kobar ingin secepatnya masuk ke kuta Wirasabha makin menyesaki gerbang. Sementara para prajurit berkuda yang melambai-lambaikan pedang memberi perintah agar semua prajurit tidak saling berdesakan, tidak lagi digubris. Ujung dari keadaan itu adalah terjadinya kerusakan formasi pasukan Demak. Prajurit-prajurit yang dengan susah payah berhasil masuk ke dalam gerbang, terlihat celingukan mencari barisannya yang berantakan.

Di tengah rusaknya formasi pasukan yang berantakan itu, terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan. Pasukan gabungan Majapahit yang sejak pagi menunggu di dalam kuta, tiba-tiba bergerak serentak menyongsong kedatangan pasukan Demak. Lalu, seibarat beruang ganas mengangakan mulut mendekati sekawanan lebah yang berkerumun di sarangnya, demikianlah pasukan gabungan Majapahit yang berjumlah sekitar 30.000 orang dengan gelar perang Bajrapanjara-byuha (Jawa Kuno: formasi tempur sangkar intan) mendekati pasukan Demak yang berdesak-desak di pintu gerbang. Semua menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi ketika pasukan Majapahit semakin lama semakin dekat jaraknya.

Ketika jarak kedua pasukan semakin dekat, tampak sekali pasukan Demak tidak saja masih berantakan formasinya, melainkan terputus pula tali komandonya. Tanpa ada yang memerintah, tiba-tiba saja barisan pertama dari sayap kanan pasukan Suranata yang berada di bawah pimpinan Raden Iman Sumantri bergerak cepat ke depan menyerbu sayap kiri pasukan Majapahit. Dengan pekikan takbir sambung-menyambung, mereka menyambut musuh yang menghadang dengan tombak terhunus. Namun, saat jarak mereka dengan musuh tinggal tiga empat tombak, tanpa terduga-duga pasukan berkuda Majapahit dari barisan tengah mendadak bergerak cepat ke depan. Lalu, dengan kecepatan menakjubkan mereka melakukan gerakan memutar.

Pasukan Demak yang berhadapan dengan pasukan sayap kiri Majapahit tersentak kaget ketika mendengar suara gemuruh dari arah belakang mereka. Secara refleks mereka menoleh serentak. Terbelalaklah mata mereka ketika menyaksikan betapa di belakang mereka sudah mengepung pasukan berkuda musuh. Mereka gugup. Mereka baru sadar jika telah terperangkap di tengah-tengah kepungan musuh. Laksana sekumpulan rusa dikepung kawanan anjing pemburu, mereka hanya tercengang-cengang kebingungan ketika pasukan sayap kiri dan pasukan berkuda Majapahit mengerumuni dan menghujani mereka dengan tikaman-tikaman tombak dan aneka jenis senjata. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali melawan sekuat daya serangan bertubi-tubi itu. Terdengar suara gaduh dari senjata yang beradu disusul jerit kematian dan pekik kesakitan yang sambung-menyambung. Tak lama kemudian, ketika prajurit-prajurit Majapahit kembali ke barisannya masing-masing, orang melihat barisan depan pasukan sayap kanan Demak itu menjadi tumpukan mayat bersimbah darah.

Kebinasaan yang dialami barisan pertama pasukan Demak segera menyulut kemarahan kawan-kawan mereka. Bau anyir darah yang menebar di tengah medan tempur membangkitkan nafsu membunuh prajurit-prajurit Demak laksana kobaran api. Mereka merasakan tubuh mereka panas dan kaki mereka seolah tidak menginjak tanah. Saat teriakan menyerang terdengar bersahutan dari para pemimpin, mereka serentak berlari ke depan dengan berteriak sekeras-kerasnya. Mereka berteriak dengan tombak terhunus menerjang siapa saja yang berada di hadapan mereka. Mereka menerjang terus ke depan dengan membabi-buta. Namun, yang mereka saksikan hanyalah hutan tombak dan panji-panji musuh yang bergerak maju mundur dan ke kanan kiri membingungkan. Ibarat sarang lebah dicabik-cabik kuku dan mulut beruang kelaparan, serangan demi serangan membabi-buta yang mereka lakukan semburat diluluh-lantakkan pasukan Majapahit yang bertempur dengan disiplin dan semangat tinggi.

Menyaksikan barisan pasukannya selalu berantakan setiap kali menyerang musuh, Susuhunan Udung memerintahkan Ki Ageng Sesela menyemangati pasukan yang dipimpinnya dan secepatnya memimpin mereka menerjang sayap kanan musuh. Ia juga memerintahkan Raden Iman Sumantri untuk bergegas ke depan menyemangati para prajurit dan menyerang ke barisan tengah musuh. Sementara ia sendiri dengan teriakan-teriakan takbir menggetarkan, seolah-olah digetari kekuatan gaib, membangkitkan semangat tempur prajurit-prajuritnya. Setiap prajurit Demak yang mendengar pekikan takbir senapati mereka merasakan terbakar semangatnya. Mereka seperti tidak peduli dengan tebasan pedang dan tikaman tombak pasukan Majapahit. Mereka mengamuk, menerjang, menerobos, dan melangkahi mayat kawan-kawan dan musuh-musuhnya. Akibatnya, pasukan Majapahit yang selalu berhasil menahan serangan mereka terheran-heran menghadapi perubahan mendadak tersebut. Secara berangsur-angsur daya tempur mereka menurun dan formasi tempur mereka pun mulai berantakan.

Melihat formasi tempur pasukannya mulai berantakan, para pemuka pasukan gabungan Majapahit meminta Yang Dipertuan Pengging dan Yang Dipertuan Terung untuk tampil ke depan menghadapi amukan pasukan musuh. Mereka, yang sebagian besar adalah putera dan kemenakan dan cucu Patih Mahodara, ingin menguji kesungguhan janji dua orang tetunggul Majapahit yang sudah bersumpah setia akan mempertahankan kerajaan tersebut, meski keduanya telah menjadi pemeluk agama Islam. Alih-alih ingin menguji kesetiaan kedua orang tersebut, sesungguhnya Patih Mahodara ingin memecah belah kekuatan Tranggana dengan kedua orang pamannya itu. Kedua tetunggul itu tampaknya tidak memiliki pilihan lain kecuali menunaikan janji mereka untuk membela Majapahit sebagai pelaksanaan dharma ksatria mereka.

Andayaningrat, Raja Pengging yang sudah tua itu, terlihat maju ke garis depan medan tempur. Puteranya, Kebo Kanigara, dan sejumlah ksatria berkerumun di sekitarnya. Dengan tatapan mata yang sudah agak kabur, dia menyaksikan medan tempur di depannya dipenuhi gelimpangan mayat prajurit kedua pihak. Dia menarik napas berat ketika mengetahui betapa sejauh itu pasukan Majapahit belum berhasil mematahkan serangan pasukan Demak yang lebih sedikit jumlahnya. Amarahnya meledak ketika di kejauhan ia melihat senapati Demak, Susuhunan Udung, berdiri gagah sambil mengacung-acungkan keris pusaka menyemangati prajurit-prajuritnya yang memaki musuh-musuhnya sebagai kafir penghuni neraka. Dengan keris terhunus, dia berlari ke arah Susuhunan Udung. Sementara, Susuhunan Udung yang mengetahui akan diserang Raja Pengging hanya tegak berdiri sambil menggenggam erat-erat keris pusakanya. Ia menunggu.

Ketika jarak keduanya sudah sekitar tiga empat depa, Andayaningrat berteriak keras sambil menyerang dengan tikaman keris ke arah dada Susuhunan Udung. Susuhunan Udung yang sudah menunggu serangan musuh hanya berdiri tegak tidak berusaha menghindar. Ketika keris Andayaningrat terlihat berkelebat ke arah dadanya, Susuhunan Udung membarenginya dengan tikaman keris ke dada Andayaningrat.

Terdengar suara gemeretak dan jeritan terpekik ketika dua keris pusaka itu secara bersamaan mengenai sasaran. Tubuh Andayaningrat tampak limbung dan sejenak kemudian tumbang ke atas bumi. Rupanya tikaman keris Susuhunan Udung dengan telak mengenai dada kirinya hingga mematahkan tulang-tulang iganya. Sementara, dada Susuhunan Udung yang ditutupi jubah antakusuma tidak sedikit pun menunjukkan luka.

Melihat tetunggul musuhnya terbunuh, semangat pasukan Demak seketika meningkat. Sambil meneriakkan takbir mereka meningkatkan serangan yang menewaskan puluhan prajurit lawan. Namun tak lama sesudah itu, serangan mereka berantakan ketika Kebo Kanigara, putera Andayaningrat, mengamuk dan menimbulkan korban besar di antara pasukan Demak. Bahkan, beberapa jenak kemudian semua mata tertuju ke tengah medan tempur, menyaksikan Senapati Majapahit Raden Kusen berdiri berhadap-hadapan dengan Senapati Demak Susuhunan Udung. Semua seolah ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi dengan dua orang besan yang sama-sama menjadi panglima dari dua pasukan yang saling bermusuhan itu.

Susuhunan Udung sendiri merasakan adanya getaran-getaran aneh yang membuatnya gugup saat berhadap-hadapan dengan Raden Kusen. Ia merasakan jiwa seperti digelayuti lintasan bayangan bahwa laki-laki tua yang berdiri di depannya itu adalah sahabat ayahandanya, mertua puteranya, pelindung umat Islam di pedalaman, dan tentu saja paman dari sultan Demak. Ia sadar sedang berhadapan dengan manusia tangguh dalam pengalaman tempur. Ia sadar, dalam hal pertempuran ia tidak bisa dibandingkan dengan laki-laki yang sudah malang-melintang selama hampir setengah abad di medan tempur itu. Dengan suara merendah ia berusaha menyadarkan panglima yang dijadikan andalan pihak musuh itu. Ia meminta agar sebagai sesama muslim apalagi berbesan, mereka tidak perlu bertempur sebagai musuh. �Sungguh kami sulit menerima kenyataan, seorang pahlawan muslim seperti Tuan bertempur melawan saudara seiman demi membela kerajaan kaum kafir,� kata Susuhunan Udung.

�Andaikata guruku terkasih, Raden Ali Rahmatullah Susuhunan Ampel Denta, tidak memerintahkan aku untuk mengabdi kepada Majapahit, niscaya aku tidak berada di hadapanmu sebagai musuh, o Saudaraku. Aku tidak peduli apakah aku akan dituduh murtad atau kafir dengan kedudukanku sebagai panglima Majapahit ini. Aku hanya tahu bahwa dharmaku sebagai murid adalah menjalankan amanat guruku apa pun akibatnya,� Raden Kusen berkali-kali menarik napas berat dengan tubuh dibasahi keringat dingin.

Sebagai seorang guru suci, Susuhunan Udung dapat memahami pandangan Raden Kusen yang begitu teguh memegang amanat guru ruhaninya. Ia sadar, pertarungan antara dia dan besannya tidak bisa dihindari. Ia sadar, mereka berdua tidak ada yang bisa disalahkan karena masing-masing menjalankan dharma sesuai keyakinan. Dalam pertempuran satu lawan satu yang seru itu, Susuhunan Udung gugur akibat tikaman keris Raden Kusen. Prajurit Demak yang menyaksikan sendiri bagaimana pusaka jubah antakusuma itu ternyata tidak bertuah lagi karena tertembus tikaman keris Raden Kusen Adipati Terung, tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambil langkah seribu. Mereka berhamburan ke berbagai arah untuk menyelamatkan diri. Hanya pasukan yang dipimpin Ki Ageng Sesela yang tidak melarikan diri. Dengan sisa-sisa pasukannya, Ki Ageng Sesela membawa jenasah Susuhunan Udung ke Demak.

Kabar terbunuhnya secara gagah Susuhunan Udung dalam pertempuran melawan Raden Kusen menggemparkan semua orang yang mendengar. Simpati dan sesal ganti-berganti diungkapkan dengan berbagai gejolak perasaan. Ujung dari kabar menggemparkan itu, semua kegeraman diarahkan kepada Tranggana yang dianggap kurang cerdas dalam memperkuat kuasa dan wibawa melalui penyerangan ke Majapahit dengan menggunakan barisan alim ulama. Tak kurang penyesalan diungkapkan diam-diam oleh anggota-anggota Majelis Wali Songo yang tidak paham dengan jalan pikiran Tranggana yang padat dijejali ambisi berkuasa. Mereka merasa tertampar karena dengan gugurnya salah satu anggota Wali Songo di medan perang, telah menimbulkan kesan bahwa anggota-anggota Wali Songo tidak lagi dilindungi Allah. Mereka mafhum bahwa bagi kebanyakan penduduk Nusa Jawa, gambaran seorang wali identik dengan manusia setengah dewa yang diliputi anugerah-anugerah ruhani, barokah dan karomah. Lantaran itu, saat salah seorang anggota Wali Songo dikalahkan oleh seorang panglima perang, kegemparan pun tak dapat lagi dihindarkan. Penduduk dari kalangan kebanyakan nyaris tidak percaya bahwa seorang anggota Wali Songo dapat kalah menghadapi seorang panglima perang.

Kekalahan pasukan Demak dan gugurnya panglima mereka di Wirasabha ternyata membawa akibat lain yang tidak diperhitungkan Tranggana, yaitu terampasnya Kadipaten Sengguruh dan Balitar. Pada saat seluruh kadipaten di pedalaman bergabung dengan pasukan Majapahit, dua orang putera Raden Kusen, Pangeran Arya Terung Adipati Sengguruh dan Pangeran Arya Balitar Adipati Balitar, tidak muncul dan tidak pula mengirimkan bala bantuan. Ha itu dijadikan alasan oleh Raden Pramana, putera Patih Mahodara, untuk merebut kembali Kadipaten Sengguruh dari tangan Arya Terung. Tindakan merebut kembali Kadipaten Sengguruh dilakukan bersamaan dengan perebutan Kadipaten Balitar. Raden Kusen sendiri tidak dapat berbuat sesuatu menghadapi tindakan sepihak putera-putera Patih Mahodara tersebut. Jatuhnya Sengguruh dan Balitar ke tangan putera-putera Patih Mahodara telah menjadikan Tranggana tidak lagi memiliki pijakan kekuasaan di pedalaman.

Bagi Tranggana sendiri, peristiwa kekalahannya yang kedua adalah pelajaran terbaik. Ia mulai membenarkan pandangan-pandangan Raden Sahid Susuhunan Kalijaga, mertuanya, terutama yang terkait dengan pasukan alim ulama. Apa pun alasannya, ia sadar bahwa selama ini ia telah keliru menjadikan pasukan Suranata sebagai inti kekuatan militer Demak. Kekeliruan itu sebenarnya berpangkal pada kebakilannya sendiri. Ia sadar, salah satu alasannya menyandarkan kekuatan militer pada pasukan Suranata lebih disebabkan karena pasukan yang terbentuk dari kalangan petani, tukang, perajin, penyadap enau, pedagang kecil, dan buruh itu tidak digaji. Mereka adalah para pengikut alim ulama yang fanatik dan bersedia melakukan apa saja untuk mematuhi titah tokoh panutannya, termasuk menjadi prajurit pembela agama tanpa imbalan gaji kecuali mendapat bagian pampasan perang. Tranggana sadar, kebakilan yang selama ini dipeliharanya ternyata membawa akibat mengerikan bagi tewasnya beribu-ribu kaum beriman yang sudah tersihir hasutan dan bualan alim ulama kaki tangannya.

Sadar akan kekeliruannya, Tranggana menendang jauh-jauh kebakilannya. Ia sadar bahwa tanpa pesaing, ia tidak perlu risau pada aliran pajak yang selama itu mengalir ke Japara. Kini semua jenis pajak akan mengalir ke Demak. Itu berarti, sudah waktunya ia wajib membentuk satuan-satuan tempur baru yang anggota-anggotanya diseleksi sedemikian rupa ketat agar yang terjaring adalah prajurit-prajurit yang benar-benar berdarah prajurit. Untuk beroleh prajurit unggul, dilakukan seleksi dengan cara memilih juara-juara dalam lomba-lomba adu keunggulan kaum muda. Melalui lomba-lomba itulah masing-masing peserta diuji ketabahan, keberanian, ketrampilan, ketangguhan, dan kepantang-menyerahan mereka. Bahkan, untuk memilih perwira-perwira, Tranggana tidak segan menguji sendiri. Lantaran ketatnya pemilihan, Ki Ageng Sesela yang telah menunjukkan keberanian di medan tempur Wirasabha dinyatakan gagal dalam ujian, gara-gara memalingkan muka saat memecahkan kepala seekor kerbau. Ia dinilai Tranggana berdarah petani, karena tidak tahan melihat darah. Walhasil, dengan ketatnya seleksi tersebut, kebanyakan di antara mereka yang lulus ujian adalah putera-putera para prajurit Demak lama yang umumnya berasal dari Wanasalam di tenggara Wirasabha.

Galangan-galangan kapal Demak yang nyaris tak berfungsi dikembangkan lagi untuk menghasilkan kapal-kapal perang besar yang dilapisi besi dan dilengkapi meriam-meriam ukuran besar. Khusus untuk membangun armada laut, Tranggana mempercayakan kepada Khwaja Zainal Abidin, ahli meriam asal Algarvia daerah di selatan Portugal. Dari Khwaja Zainal Abidin inilah Tranggana memiliki pengetahuan tentang raja-raja di Eropa yang bermusuhan dengan Salim, sultan Turki. Tranggana tahu bahwa raja-raja Eropa adalah raja-raja miskin yang kekayaannya tidak lebih besar dibanding seorang adipati gurem di Nusa Jawa. Itu sebabnya, mereka tidak pernah menang melawan Salim, yang kekayaannya berlimpah ruah. Dengan pengetahuan barunya itu, hasrat Tranggana menjadi sultan sebesar Salim semakin menguat. Hasratnya untuk membangkitkan kembali kebesaran Majapahit makin berkobar-kobar. Ia membayangkan dirinya sebagai sultan yang memiliki kekuasaan luas, seluas Majapahit awal. Untuk itu, ia membutuhkan dukungan militer yang kuat dan tentu saja jauh lebih kuat dibanding pasukan Suranata.

Sekalipun satuan-satuan tempur baru telah dibentuk, Tranggana belum berani merombak struktur pasukannya. Ia tetap menyebut satuan-satuan tempur barunya itu dengan nama Suranata karena kedudukannya masih sebagai sultan yang memiliki kewenangan di bidang kekuasaan agama. Di samping itu, keberadaan pasukan Suranata yang dikaitkan dengan alim ulama itu dinilainya masih dapat menyulut simpati penduduk yang mulai banyak memeluk agama Islam. Ia ingin memanfaatkan ghirah Keislaman penduduk untuk memperkuat kuasa dan wibawanya. Untuk alasan itu, beberapa bulan setelah kekalahan di Wirasabha berlalu, ia mengangkat Ja�far Shadiq, putera Susuhunan Udung, sebagai adipati Udung dan sekaigus menetapkannya sebagai senapati Suranata. Demi menghindari terulangnya kekalahan � menjadikan seorang alim ulama sebagai panglima perang � Tranggana menempatkan seorang manggalayuddha yang bertugas mendampingi Ja�far Shadiq dalam penyusunan siasat dan taktik perang. Manggalayuddha dimaksud adalah seorang bangsawan Majapahit yang beragama Islam, yang dikenal orang dengan nama Pangeran Pancawati.

Dengan diangkatnya Ja�far Shadiq sebagai senapati Suranata dan sekaligus adipati Udung, jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak harus ditinggalkannya. Tranggana ternyata sudah menyiapkan pengganti untuk jabatan imam Masjid Agung Demak, yaitu Susuhunan Kalijaga, mertuanya. Tranggana sadar bahwa kehadiran sang mertua di sampingnya sangat dibutuhkannya. Sebab, selama itu sang mertua nyaris tidak pernah berada di kediaman. Dengan mengangkatnya menjadi imam Masjid Agung Demak, sang mertua tentu akan lebih sering berada di kediaman.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers