Selasa, 28 Maret 2017

KETERLEPASAN NAFS-NAFS

   Keterlepasan Nafs-Nafs

      Setelah singgah di Pekalifahan untuk berpamitan, Abdul Jalil dengan istri dan anak berjalan menuju sebuah hutan bambu yang terletak di selatan dukuh Lemah Abang. Di situ, seorang diri ia mendirikan gubuk berdinding bambu beratap daun kawung. Ia tinggal di gubuk itu bersama istri dan anak sebagai orang kebanyakan, bukan guru suci, bukan sesepuh dukuh, bukan pelopor pembaharuan, dan bukan pula seseorang yang pernah dianggap berjasa kepada masyarakat. Sebagaimana layaknya orang kebanyakan, dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan istri dan anaknya, Abdul Jalil membuka sepetak lahan untuk berladang. Pagi-pagi sekali, usai sembahyang subgih, ia sudah terlihat di ladang mengayunkan cangkul atau membuat alat-alat dapur dari bahan bambu dan tempurung kelapa, membuat kopiah rajutan, atau menganyam tikar pandan yang akan dijual ke pasar. Hari-hari hidupnya benar-benar dilaluinya sebagai orang kebanyakan tanpa atribut dan tanpa gelar apa pun. Ia bukan orang berkelebihan yang pantas disebut hormat dengan julukan Kangjeng Syaikh, Susuhunan, Syaikh Datuk, Dang Guru Suci, Pangeran, atau Sang Pandita Suci. Ia adalah Abdul Jalil. Ia adalah Pak Bardud. Ia adalah orang kebanyakan tak dikenal yang sedang menghabiskan hari-hari hidupnya untuk menunggu datangnya ajal. Ia adalah orang tua yang sedang mempersiapkan pelepasan segala sesuatu yang melekat pada dirinya untuk dipasrahkan utuh kepada Sang Pemilik Sejati.

Sekalipun sejak awal ia menyadari bahwa dengan menempatkan dirinya sebagai orang kebanyakan maka akan memudahkannya melampaui tahap-tahap keterlepasan-keterlepasan ruhani, Abdul Jalil tetap merasakan tekanan-tekanan berat menghantam jiwanya manakala ia dihadapkan pada kuatnya desakan-desakan keinginan yang mendorong-dorong dan menarik-narik hasrat jiwanya untuk berbagi keberlebih-kelimpahan kepada sesama. Sebagai orang yang sudah terbiasa berbagi keberlebih-kelimpahan, ia benar-benar merasakan suatu siksaan ketika berusaha keras menutup dan membalikkan genggaman tangan agar keberlebih-kelimpahannya terbendung dan tidak mengalir a keluar. Di tengah tekanan-tekanan jiwanya yang sangat menyiksa itu, ia merasakan sesuatu membakar hatinya, ketika tanpa terduga-duga muncul seorang laki-laki yang terluka parah, mengharap uluran tangannya.

Kemunculan laki-laki terluka itu sangat aneh. Tanpa diketahui darimana asalnya, tiba-tiba dia muncul dengan langkah terseok-seok dengan wajah menyeringai kesakitan. Tanpa terduga-duga, dia tersungkur di depan pintu gubuk sambi mengerang kesakitan. Dia meminta pertolongan dengan ratapan mengharu biru. Abdul Jalil yang saat itu berada di dalam gubuk bersama istri dan anaknya tersentak menyaksikan pemandangan menyedihkan itu. Ia merasakan jiwanya ditarik-tarik oleh keinginan kuat untuk memberikan pertolongan kepada laki-laki malang tersebut. Namun, secepat itu ia sadar bahwa tindakannya menolong orang malang itu akan mendatangkan sesuatu yang selama ini dihindarinya: membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya, terutama kebiasaan dalam mengobati orang. Dengan menolong, ia akan memberi peluang untuk menjadikan dirinya sebagai berhala bagi manusia. Ia sadar bahwa dirinya sudah memutuskan untuk benar-benar menghindari orang-orang agar tidak ada lagi yang mengenalnya, baik sebagai Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jabarantas, Syaikh Siti Jenar, Susuhunan Binang, Syaikh Sitibrit, atau Pangeran Kajenar, nama-nama yang dikenal orang memiliki daya linuwih dan kekeramatan-kekeramatan. Namun, hasrat kuat dari kedalaman dirinya untuk menolong mereka yang membutuhkan terus menggelegak dahsyat di relung-relung jiwanya, sehingga ia merasakan jiwanya sangat tersiksa. Semakin kuat ia berusaha menahan-nahan dan membendung hasrat menolongnya, semakin ia rasakan jiwanya terkoyak-koyak oleh rasa sakit tak tertahankan.

Ketika Abdul Jalil masih dibingungkan oleh hasrat menolong dan hasrat menahan diri untuk tidak menolong, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ratapan laki-laki terluka itu, yang terdengar memilukan tetapi penuh getar kemarahan, �Kenapa engkau tiba-tiba menjelma menjadi makhluk yang begitu kejam dan tidak memiliki belas kasih, o hamba Allah? Apakah hatimu sudah berubah menjadi batu sehingga tidak sedikit pun tergerak untuk menolong sesamamu? Kenapa engkau ini, o engkau yang terkasih dan selalu berbagi keberlebih-kelimpahan?�

Mendengar ratapan laki-laki malang itu, Abdul Jalil bergegas keluar dari gubuknya. Di luar, ia melihat laki-laki itu meliuk-liuk kesakitan sambil terus mengerang-erang. Namun, Abdul Jalil tidak sedikit pun merasa kasihan. Sebaliknya, dengan bentakan keras ia menghardik, �Rupanya engkau setan. Engkau akan memperdaya aku dengan siasat licikmu memanfaatkan kelemahanku. Engkau datang meratap meminta tolong. Jika aku menolongmu, engkau akan sebarkan kepada manusia jika aku adalah titisan Tuhan. Lalu, manusia datang beramai-ramai menyembahku sebagai berhala. Sungguh keji siasatmu. Sekarang pergilah engkau dari pedalamanku sebelum kutimpuk dengan batu.�

Laki-laki malang yang terluka dan tersungkur di depan gubuk itu tiba-tiba bangkit. Dengan bersungut-sungut ia berkata, �Bagaimana engkau tahu jika aku adalah aku, o Abdul Jalil?�

�Aku tahu engkau adalah engkau, karena engkau adalah setan di pedalamanku,� kata Abdul Jalil tertawa, �Aku lebih mengenalmu daripada engkau mengenalku. Ketika citra bayanganmu engkau sungkurkan di depan gubukku dalam wujud laki-laki terluka yang minta dikasihani, aku segera tahu bahwa engkau sedang berusaha memperdayaku. Engkau mau memelesetakan aku dari jalanku. Sekarang, pergilah engkau dari pedalamanku! Pergi!�

Seberkas cahaya merah tiba-tiba melesat dari mulut Abdul Jalil dan dengan kecepatan kilat menyambar tubuh laki-laki yang berdiri terperangah di depan gubuk. Terdengar jeritan panjang di tengah suara dentuman. Secara ajaib tubuh laki-laki itu menggelepar-gelepar dalam kobaran api yang menjilat-jilat ke angkasa. Dalam beberapa saat, tubuh itu sudah terpanggang menjadi setumpuk arang. Namun, secara ajaib tumpukan arang itu berubah menjadi seekor ular belang warna kuning, hitam, putih dan merah. Kemudian, dengan gerakan cepat laksana sambaran kilat, ular itu sekonyong-konyong melesat dan membelit leher Abdul Jalil erat-erat. Abdul Jalil terpekik kaget. Tanggannya menggapai-gapai berusaha menarik ular dari lehernya dan melemparkannya jauh-jauh. Saat tangan kanannya berhasil memegang ekor sang ular, tiba-tiba pendengaran batinnya disentuh oleh al-ima� yang menggema dari cakrawala kesadarannya, yang berasal dari Ruh al-Haqq.

�Kenapa engkau ingin melempar ular belang itu dari lehermu? Masakan engkau tidak mengenal ular belang yang membelit lehermu itu, o Abdul Jalil, padahal dia adalah nafs al-hayawaniyyah, anasir tanah bersifat zhulmun, yang tersembunyi di dalam diri (nafs) yang bersemayam di dalam keakuanmu. Sekarang ini engkau tidak perlu takut lagi terhadap keganasan racunnya. Sebab, ibarat seekor naga yang tidak bakal mati karena racun seekor ular kecil, begitulah engkau tidak akan binasa oleh racun nafs al-hayawaniyyah itu.�

Abdul Jalil tertawa dan membiarkan ular belang itu melilit lehernya. Ia tiba-tiba sadar sesungguhnya ia telah sering melihat ular itu berkeliaran di sekitarnya. Ia bahkan baru menyadari jika ular itu telah dikenalnya untuk kali pertama berpuluh tahun silam, saat ia berguru kepada Ario Abdillah di Palembang. Saat itu, seingatnya, ular belang kuning, hitam, putih, dan merah itu dilihatnya sekilas merayap di sampingnya saat ia mengambil air wudhu untuk bersembahyang malam. Sejak waktu itu, kelebatan ular itu sesekali ia saksikan melintas di sekitarnya. Baru setelah ia mengalami peristiwa ruhani di gunung Uhud bersama Misykat al-Marhum dan Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, kelebatan bayangan ular itu tidak pernah lagi muncul.

Kini, setelah ia melupakan citra ular belang itu, tiba-tiba sang ular muncul dengan cara menakjubkan. Ia baru sadar jika ular itu tidak lain dan tidak bukan adalah citra perwujudan nafs al-hayawaniyyah yang tersembunyi di dalam dirinya sendiri. Kini ia tidak lagi merasa khawatir terhadap keberadaan ular yang racunnya terkenal ganas tersebut. Bahkan, ia membiarkan ular itu mengikuti ke mana pun ia pergi. Ia menyebut ular belang itu dengan nama Manik Maya, yang bermakna �permata khayalan� yang menyesatkan. Dengan nama Manik Maya itu, ia berharap setiap kali melihatnya, ia akan selalu teringat bahwa leluhurnya dahulu, Adam a.s., terperosok ke dalam lingkaran dosa � melanggar titah Sang Pencipta � karena tersihir pesona keindahan kata-kata �permata khayalan� yang dipancarkan oleh Sang Iblis, sehingga Adam jatuh dari martabat �Adam Ma�rifat� yang bisa berwawansabda dengan Allah dan disujudi malaikat menjadi �Adam Mahjubin� yang terhijab dan direndahkan sebagai asfala safilin (QS. At-Tin: 4-5), yaitu dihukum di planet dunia yang ditumbuhi Pohon Kegelapan (syajarah azh-zhulmah) yang penuh ditebari jalan berliku-liku yang menyesatkan untuk bisa kembali kepada-Nya.

Hari kesembilan sejak Abdul Jalil tinggal di gubuk bersama ular sahabatnya ditandai oleh sebuah peristiwa aneh yang mengubah seluruh kisah perjalanan hidupnya sebagai adimanusia menjadi yang sendiri (fard).

Sejak pertama kali mengalami perjalanan ruhani menuju Kebenaran Sejati (as-safar min al-khaliq ila al-Haqq), telah berulang-ulang Abdul Jalil mengalami hal serupa: tenggelam ke dalam Kebenaran Sejati (fana� fi al-Haqq) dan kembali dari Kebenaran Sejati menuju ciptaan bersama Kebenaran Sejati (as-safar min al-Haqq ila al-khaliq bi al-Haqq), lalu melakukan perjalanan di dalam ciptaan bersama Kebenaran Sejati (as-safar fi al-khaliq bi al-Haqq). Ia tidak ingat lagi untuk kali keberapa ia mengalami peristiwa ruhani yang tak tergambarkan kata-kata dan tak terucap bahasa manusia itu. Namun, sejak ia bersahabat dengan ular belang yang sangat jinak itu, ia justru mengalami pengalaman ruhani mencengangkan yang sebelumnya tidak pernah ia sangka-sangka dan sedikit pun tak pernah ia bayangkan dalam pikiran. Perjalanan ruhani menuju Kebenaran Sejati (al-Haqq) yang selama ini telah dialaminya berulang-ulang itu ternyata bukan merupakan yang terpuncak. Sebab, di balik kefanaan di dalam Kebenaran sejati (fana� fi al-Haqq) yang tersembunyi di dalam kerahasiaan dirinya itu, ia mendapati Kenyataan yang lebih menakjubkan, yaitu kesadaran diri baru yang mengungkapkan rahasia bahwa selama ini yang ia alami adalah tenggelam ke dalam Rabb: Wujud al-Haqq.

Ia sendiri tidak mengetahui kenapa tiba-tiba ia mendapat kesadaran baru setelah fana di dalam Rabb (fana� fi al-Haqq) yang ia anggap sebagai puncak dari perjalanan ruhani menuju Kebenaran Sejati, karena berjalan di dalam Kebenaran Sejati (as-safar fi al-Haqq). Lantaran itu, dengan tercengang-cengang kebingungan ia melampaui pengalaman ruhani lanjutan yang menakjubkan yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan dan ia bayangkan itu: melakukan perjalanan ruhani di dalam al-Haqq menuju Allah (as-safar fi al-Haqq ila Allah) menuju Wujud al-Muhaqaq atau melakukan perjalanan di dalam Rabb menuju Rabb al-Arbab. Inilah perjalanan naik ke Hadirat Allah (mi�raj al-kubra) setelah terlebih dulu berkali-kali naik ke Hadirat al-Haqq (mi�raj al-shughra). Inilah perjalanan ruhani naik ke Hadirat Allah sebagaimana telah dialami Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa Isra Mi�raj.

Di dalam perjalanan naik ke Hadirat Allah, yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya itu, ia merasakan seperti terisap oleh suatu kegaiban yang membuat seluruh kesadarannya berubah. Ia merasakan seperti bayi yang lahir dari kandungan ibu ke dunia yang lebih luas dengan kesadaran yang lebih tinggi. Ia tiba-tiba menjadi sadar sesadar-sadarnya akan makna sejati dari Sabda Ilahi: Sungguh telah datang seorang rasul dari nafs-mu sendiri (QS. At-Taubah: 128); Aku ciptakan engkau (Muhammad) dari nur-Ku dan aku cipta seluruh ciptaan dari Nur-mu (hadits Qudsy); jika engkau tidak Aku cipta maka cakrawala tidak Aku cipta (hadits Qudsy).� Ia benar-benar menyaksikan bahwa di balik hakikat Asma�, Shifat, Af�al, dan Dzat yang terpancar pada ciptaan-Nya, tersembunyi hakikat Ahmad (Asma�), Muhammad (Shifat), Mahmud (Af�al), dan al-Hamid (Dzat). Ia merasakan dengan senyata-nyatanya keterhubungan dirinya sebagai bagian Nur Muhammad dan Haqiqat Muhammadiyyah.

Selama tenggelam di dalam al-Haqq menuju Allah � di dalam Rabb menuju Rabb al-Arbab � tidak ada satu pun pengalaman ruhani yang bisa diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Ia tidak dapat mengungkapkan segala sesuatu yang dapat diungkapkan dan digambarkan. Ia hanya tercengang-cengang menyaksikan kesadarannya terisap ke dalam kesadaran demi kesadaran baru yang tak terlukiskan, di mana dengan kesadaran-kesadaran barunya itu ia menyaksikan akhirat sebagai citra dari Yang Mahaakhir (al-Akhir). Ia mendapati pemahaman baru bahwa akhirat adalah �ruang tak beruang dan waktu tak berwaktu�; akhirat adalah �pertemuan� ruang dan waktu dan Zat; akhirat adalah wahdat adz-dzatiyyah. Di situ ia menyaksikan dengan terheran-heran pancaran al-Hadi dalam wujud sabil sebagai cermin thariq, dan sebaliknya thariq sebagai cermin sabil. Lalu, keduanya menyatu di dalam shirath. Ia menyaksikan pula dengan terheran-heran pancaran al-Hakam dalam wujud mizan al-ashli sebagai cermin mizan asy-syar�i, dan sebaliknya mizan asy-syar�i sebagaiaHakH cermin mizan al-ashli. Lalu keduanya menyatu di dalam Mizan al-Ilahi. Ia menyaksikan al-jannah sebagai kedekatan Allah dalam wujud adna sebagai cermin qurb, atau sebaliknya qurb sebagai cermin adna. Lalu, keduanya menyatu di dalam Maqam al-Mahmud. Ia juga menyaksikan an-nur sebagai kejauhan Allah dalam wujud bu�d sebagai cermin al-idhlal, atau sebaliknya al-idhlal sebagai cermin bu�d. Lalu, keduanya menyatu di dalam al-ghayr.

Dengan ketidakpahaman dengan apa yang disaksikannya, ia merasakan kesadarannya terisap oleh suatu kekuatan tak terbatas ke dalam al-Kursi. Dari dalam al-Kursi, kesadarannya tercengang-cengang menyaksikan pemandangan yang sangat menakjubkan dan tak pernah terlintas dalam angan-angan: alam semesta tampak tergelar di bawahnya laksana hamparan pasir cahaya berserak tak terhitung jumlahnya. Bumi, bulan, planet, matahari, bintang, dan galaksi terhampar laksana butiran pasir dengan bentuk-bentuk berbeda-beda dan berubah-ubah kumpulan serta kelompok-kelompoknya. Ada yang berkerumun dalam bentuk lingkaran pipih seperti telinga gajah. Ada yang berkerumun membenuk bulatan seperti gentong. Ada yang berbentuk lingkaran hitam tetapi sangat ganas memangsa benda-benda di sekitar. Ada yang terus berubah-ubah warna dan cahayanya. Seluruhnya mengagungkan Rabb mereka tanpa kecuali. Di dalam al-Kursi itu ia menyaksikan Buraq, kendaraan ruhani berwujud keledai (bighal) dengan kecepatan tak terukur dan khusus dikendarai Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa Isra Mi�raj.

Setelah tercengang-cengang di al-Kursi, ia terisap lagi oleh kekuatan dahsyat ke dalam al-Arsy. Di situ ia tidak menyaksikan sesuatu yang lain kecuali Nama-Nama Allah Yang Indah dan tak terbatas jumlah-Nya. Semua terjalin dalam suatu ikatan (muqadiyyah) dan dari situlah sejatinya Sabda Suci Ilahi (al-kalimah al-ilahiyyah) memancar menjadi hukum dan kabar Kebenaran. Di al-�Arsy inilah ia menjumpai kegandaan dirinya � �Ali al-Fatta Karamallahu Wajha sebagai pancaran citra al-�Aly, al-Fattah, ar-Rasyid, al-Karim, al-Hadi � di depan dua cermin yang disebut haqiqat al-faydh dan haqiqat al-irsyad. Anehnya, di balik �Ali al-Fatta Karamallahu Wajha bukanlah punggung, melainkan Abu Bakar ash-Shiddiq. Bahkan, yang tak terungkap dengan akal, kata-kata dan bahasa manusia, keduanya ternyata tidak saling berbeda dalam menghadapkan wajah, melainkan berhadap-hadapan wajah. Yang membedakan keduanya: �Ali al-Fattah Karamallahu Wajha memancarkan citra -al-mursyid (pembimbing ruhani) sedang Abu Bakar ash-Shiddiq memancarkan citra as-suhbah (persahabatan ruhani).

Kesadaran demi kesadaran baru yang dialami Abdul Jalil berangsur melenyap ketika ia terserap ke dalam hakikat Alif pada citra Asma� Allah. Lalu, terisap lagi ke dalam hakikat Lam pada citra Af�al Allah. Lalu, terisap lagi ke dalam hakikat Lam pada citra Shifat Allah. Dan terakhir, ia hilang kesadaran diri ketika terserap ke dalam hakikat Hu. Di situ, ia tidak sadar lagi akan siapa dirinya. Ia tidak tahu apakah berada di luar atau di dalam hakikat Hu. Ia telah hilang kesadaran karena terserap oleh Sesuatu Yang Tak Terlukiskan (laisa kamitslihi syai�un); Kunhi Dzat; Dzat al-Bahat yang bersabda: �Kun-Tu (kanzan mahfiyyun),� yang dari Sabda-Nya itu bersabda: �Ku Fayakun!.�

Sejak turun kembali (�uruj at-tarkib) dari perjalanan naik (mi�raj at-tahlil) ke Hadirat Allah Rabb al-Arbab, Abdul Jalil mengalami peristiwa-peristiwa aneh yang sebelumnya tidak pernah ia alami, yaitu keterlepasan nafs-nafs dari keakuannya. Ceritanya, tanpa disangka-sangka, pada hari ketiga setelah turun kembali dari perjalanan naik, di hadapannya tiba-tiba muncul seekor anjing berbulu hitam kemerahan yang berjalan terseok-seok karena kaki kanan depannya terluka. Dengan merintih kesakitan, anjing itu menggeser-geserkan punggungnya ke kakinya. Mendengar anjing yang merintih kesakitan itu, rasa kasihnya mengalir berkelimpahan. Ia rengkuh anjing ke dalam pelukannya dan ia belai kepalanya. Dengan penuh kasih ia mengobati lukan anjing itu sambil berkata, �Aku menolong engkau, o anjing, bukan karena aku kasihan atau iba melihatmu. Aku menolongmu semata-mata karena rasa kasihku kepada sesama makhluk yang maujud di dunia. Aku mengobati lukamu karena aku sadar bahwa antara engkau dan aku sejatinya sama-sama menyembunyikan hakikat jejak rasul (qadam rasul).�

Seperti mengerti kata-kata Abdul Jalil, anjing hitam kemerahan itu mengiuk-ngiuk dan mendesak-desakkan kepalanya ke dada Abdul Jalil. Abdul Jalil tersenyum sambil membebat kaki kanan depan anjing malang itu dengan destarnya. Namun, saat bebatannya selesai, tiba-tiba terdengar suara al-ima� menggema di relung-relung kedalaman jiwanya.

�Kenalilah citra bayangan dirimu, o Abdul Jalil! Kenalilah citra nafs yang menyelubungi keakuanmu! Bagaimana mungkin engkau tidak mengenali anjing luka yang datang kepadamu itu? Padahal, dia sejatinya adalah diri (nafs) yang tersembunyi di dalam keakuanmu. Dia adalah anjingmu yang selalu menjulurkan lidah, baik ketika engkau halau atau ketika engkau diamkan (QS. Al-A�raf: 176). Itulah diri (nafs al-ammarrah) yang tersembunyi di pedalamanmu. Nafs yang cenderung kepada perbuatan jahat (QS.Yusuf: 53). Sekarang ini, sebagaimanna ularmu, dia telah keluar dari keakuanmu. Lantaran itu, sekarang ini bukan engkau yang mengikuti dia, tetapi dia yang akan mengikuti ke mana pun engkau pergi.�

Abdul Jalil tertawa dan mengelus-elus kepala anjing hitam kemerahan itu dengan penuh kasih. Ia sadar, seburuk dan sejelek dan bahkan senajis apa pun, anjing itu adalah bagian dari diri (nafs) yang membentuk citra keakuannya sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Ia justru mensyukuri kemunculan anjing yang selama ini bersemayam di pedalaman jiwanya yang tersembunyi. Dengan suara lembut ia berkata kepada anjing itu: �Karena engkau adalah citra diri yang pernah kuikuti tetapi sekarang berbalik mengikutiku, maka engkau aku sebut dengan nama Sang Lemah Abang. Sebab, itulah kemasyhuran nama yang engkau damba-dambakan, o anjingku. Berbangga-dirilah engkau dengan nama besarmu itu.� Sejak waktu itu, ke mana pun Abdul Jalil berada, ia selalu terlihat bersama ular belang dan anjing hitam kemerahannya, bahkan saat sembahyang pun ular dan anjing itu dengan setia terlihat berdiri menunggu di belakangnya.

Ketika memasuki hari ketujuh sejak turun kembali dari kenaikan ruhani, saat Abdul Jalil sedang bermain-main dengan ular dan anjingnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan mendadak seekor anjing berbulu putih kekuningan dengan belang hitam kemerahan yang menggelepar-gelepar di depan pintu gubuknya. Rupanya, anjing itu kesakitan karena kepalanya luka mengucurkan darah. Dengan pandangan penuh kasih, Abdul Jalil menolong anjing malang itu. Namun, saat ia membersihkan luka di kepala anjing itu dengan destarnya, ia tiba-tiba mendengar suara al-ima� menggema dari cakrawala kesadarannya yang menegaskan bahwa anjing putih kekuningan yang belang itu pun sejatinya adalah bagian diri (nafs al-lawwamah) yang tersembunyi di dalam keakuannya, yaitu jiwa pencela (QS. Al-Qiyamah: 2). Lalu, ia menamai anjing belang itu Sang Siti Jenar. Sambil mengelus-elus anjing itu, ia berkata, �Sebagaimana anjing hitam yang bangga dengan kemasyhuran nama, maka engkau yang bangga dengan amaliah perbuatanmu aku gelari nama masyhur Sang Siti Jenar. Semoga engkau bangga dengan nama terkenal itu.� Lalu, ke mana pun Abdul Jalil pergi, ia selalu diikuti oleh ular dan dua ekor anjingnya.

Suatu pagi, pada hari keempat puluh, ketika Abdul Jalil sedang mengambil air wudhu di sungai kecil yang mengalir tak jauh dari gubuknya ditemani ular belang dan dua ekor anjingnya, tiba-tiba pangkuannya dijatuhi seekor kera coklat kemerahan dari atas pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Kera itu menjerit-jerit kesakitan karena punggungnya terdapat luka mengaga seperti kena tebasan pedang. Melihat keadaan kera itu, dengan penuh kasih Abdul Jalil membersihkan darah dan membebat kera itu dengan destarnya. Sebagaimana saat ia menolong dua ekor anjingnya, tiba-tiba ia mendengar al-ima� menggema di cakrawala kesadarannya yang menegaskan bahwa kera itu sejatinya adalah diri (nafs al-mulhammah) yang tersembunyi di kedalaman keakuannya, yaitu jiwa yang terilhami kejahatan dan ketakwaan (QS. Asy-Syams: 7-8). Lalu, ia menamai kera coklat kemerahan itu Sang Jnanawesa, yang bermakna masuknya ilham ketakwaan dan ilham kejahatan ke dalam jiwa.

Tidak lama kemunculan kera kemerahan yang dinamai Jnanawesa itu, muncul kera berbulu putih dengan wajah bergaris-garis biru dan putih. Begitu muncul, kera itu menjerit-jerit kesakitan karena dadanya terluka. Abdul Jalil disadarkan oleh al-ima� yang mengungkapkan bahwa kera itu tidak lain dan tidak bukan adalah diri (nafs al-muthma�innah) yang tersembunyi di dalam keakuannya, yaitu jiwa yang tenang (QS.al-Muthma�innah: 27). Kera itu pun di namai Jnanaprasada, yang bermakna ketenangan jiwa. Lalu, secara berututan muncul seekor singa putih yang merupakan dirri (nafs ar-radhiyyah) yang tersembunyi di relung-relung keakuannya. Singa putih itu dinamai Jnanekatwa, yang bermakna ketunggalan jiwa. Disusul kemunculan seekor rajawali putih yang terbang menyambar-nyambar ganas dan kemudian bertengger di atas bahunya. Rajawali putih itu adalah diri (nafs al-mardhiyyah) yang tersembunyi di relung-relung keakuannya. Rajawali putih itu ia namai Sang Jnanasunya, yang bermakna bebas dari kemenduaan. Dan, yang terakhir muncul adalah bayangan burung anqa putih laksana kabut tipis yang diliputi cahaya terang kebiru-biruan. Anqa putih itu bertengger di atas kepalanya. Anqa putih itu adalah diri (nafs al kamilah) dan ia menamainya Sang Jiwanmukta, yang bermakna �bebas� saat masih hidup di dunia.

Setelah kemunculan tujuh ekor binatang aneka warna dan seekor anqa putih laksana kabut tipis lambang citra diri (nafs) yang tersembunyi di relung-relung keakuannya, Abdul Jalil merasakan suatu perubahan dahsyat terjadi atas dirinya. Ia merasakan kegembiraan luar biasa meliputi jiwanya laksana kupu-kupu terbang di antara bunga-bunga. Atau, seperti seseorang yang terseok-seok memikul beban berat tapi kemudian terlepas dari bebannya. Atau, seperti seekor burung lepas dari sangkarnya dan terbang bebas ke angkasa. Atau, seperti seekor ikan yang menggelepar-gelepar di selokan berair keruh kemudian dipindahkan ke kolam luas berair jernih. Demikianlah, hari-hari hidupnya di gubuk yang sepi dilewati Abdul Jalil dengan kegembiraan raya bersama hewan-hewan yang begitu jinak dan bersahabat dengannya. Ke mana pun ia pergi, hewan-hewan itu selalu mengikutinya dengan setia.

Read More ->>

KETERLEPASAN IKATAN-IKATAN CITRA DIRI

Keterlepasan Ikatan-Ikatan Citra Diri

       Seperti tak peduli dengan hiruk di sekitarnya, Abdul Jalil berenang mengarungi lautan waktu yang luas seolah tanpa batas. Sesekali ia menoleh ke belakang, menyaksikan pulau duniawi yang tampak semakin samar di kejauhan. Ia merasakan betapa semua hal yang telah disaksikan matanya dan didengar telinganya tentang pulau duniawi telah semakin menjauh darinya. Cerita tentang Kematian murid-muridnya terkasih yang terbunuh dengan gagah dan pemuka-pemuka agama yang dituduh sesat dan murtad telah semakin kabur. Namun demikian, ia masih merasakan ada sesuatu yang menempel pada dirinya yang membuatnya terasa berat sehingga sering kali ia tenggelam ke dasar samudera waktu. Seperti orang berenang kehabisan udara dan terlalu banyak meminum air, ia merasa megap-megap menggapai-gapaikan tangan dan menjejak-jejakkan kaki sekuat kuasa supaya tidak tenggelam. Saat berada di antara dasar dan permukaan, ia baru menyadari jika pikiran dan jiwanya masih digelayuti oleh jaring-jaring ingatan tentang keberadaan dirinya sebagai manusia yang memiliki ikatan-ikatan dengan tubuh dan jiwa. Ya, jaring-jaring ingatan tentang keberadaan diri. Lalu, seperti kapas di dalam karung yang menjadi berat karena terkena air, begitulah ia merasakan jiwanya menjadi berat digelayuti oleh ikatan-ikatan citra diri manusiawi.

Sadar untuk menjadi yang sendiri (fard) ia harus melepas semua ikatan citra diri manusiawi, Abdul Jalil buru-buru melepas surban, jubah, dan terompah yang dikenakannya. Lalu, seperti layaknya orang kebanyakan, ia mengenakan celana hitam, baju hitam, ikat pinggang lebar dari bahan kulit, destar batik kawung warna hitam, dan bertelanjang kaki tanpa terompah. Dengan penampilan barunya itu, ketika ia bersembahyang di Masjid Agung Demak atau berjalan di jalanan dukuh Lemah Abang, ia tidak dikenal lagi oleh orang-orang yang pernah mengenalnya. Kumis dan cambangnya yang melebat hampir menutupi wajah semakin menjadikan dirinya tak dikenal. Ia merasa lebih leluasa karena ia sudah bukan lagi seorang guru ruhani. Ia hanya manusia biasa yang sedang menunggu kesendirian menjadi yang sendiri. Dengan tidak dikenalnya dirinya sebagai seseorang yang pernah termasyhur, ia merasa lebih leluasa dalam mendengar dan melihat segala sesuatu yang menjadi bagian dari citra dirinya yang harus dilepaskannya.

Ketika suatu sore, dengan penampilan yang baru, Abdul Jalil berjalan di bekas ksetra di Kaliwungu di timur kuta Demak, ia melihat seorang laki-laki duduk sendirian di bawah sebatang pohon besar. Ketika didekati, pahamlah a jika laki-laki itu adalah pelaut Potugis yang pernah dikenanya di Kozhikode beberapa tahun silam: Francisco Barbosa. Dilihat dari penampilannya dengan jubah hitam berenda benang emas dan surban hitam dihias bulu merak, jelas menunjuk bahwa pelaut Portugis itu tidak saja telah memeluk agama Islam, tetapi juga menduduki jabatan terhormat di istana. Setelah mengamati beberapa bentar, ia mendekati Francisco Barbosa dan menyapa.

�Assalamualaikum.�

�Wa alaikum salam warahmatullah.�

�Como esta usted?� Abdul Jalil menanya kabar dalam bahasa Spanyol.

�Muy bien, gracias,� seru Barbosa terkejut dan bertanya balik, �Habla usted Espanol?�

�Solo hablo un poco de Espanol,� Abdul Jalil tertawa menyatakan sedikit bicara dalam bahasa Spanyol.

Francisco Barbosa terkejut dan menatap tajam Abdul Jalil. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu. Setelah beberapa jenak diam, tiba-tiba ia tertawa sambil menyalami Abdul Jalil dan berkata penuh kegembiraan dalam bahasa Jawa yang kurang fasih. �Bapa pastilah Datuk Abdul Jalil, padre sacerdote de Jaoa. Saya tidak akan pernah lupa suara Bapa.�

�Apakah nama Tuan masih Francisco Barbosa?�

�Sejak memeluk Islam lima tahun lalu, saya ganti nama: Zainal Abidin. Tapi orang-orang memanggil saya Khwaja Zainal.�

Setelah saling mengabarkan keadaan masing-masing, Abdul Jalil dan Khwaja Zainal berbincang tentang berbagai hal. Dari dialah Abdul Jalil mengetahui jika barang tiga bulan silam Syah Ismail, sang tuhan, penguasa Persia, telah dikalahkan oleh Sultan Turki, Salim, dalam pertempuran di Chaldiran pada 23 Agustus 1514. �Syah Ismail lari terbirit-birit ke Daghestan meninggalkan haremnya yang cantik. Sang mahdi telah kalah oleh si kejam Salim,� kata Zainal Abidin.

�Apakah dalam kemenangannya anak Bayazid itu melumuri tangannya dengan darah?� tanya Abdul Jalil.

�Menurut kabar, si kejam Salim telah menjagal 40.000 orang kaum bid�ah pendukung Syah Ismail.�

Abdul Jalil menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering. Di benaknya tiba-tiba berkelebat bayangan keganasan Salim, sultan Turki itu tertawa-tawa menyaksikan musuh-musuhnya dijagal prajuritnya. Setelah menarik napas berat beberapa kali, ia berkata, �Bagiku, makhluk seperti Salim dan Ismail bukanlah penganut ajaran Muhammad Saw. yang kaffah. Mereka hanya menjadikan Islam sebagai adat warisan untuk menutupi agama mereka yang sebenarnya, yaitu agama purwakala yang di dalam memuja Tuhan mensyaratkan penyembelihan korban manusia,� kata Abdul Jalil.

�Kenapa Bapa berpandangan seperti itu? Bukankah mereka itu kalau beribadah di masjid?�

�Ya, mereka bersembahyang di masjid hanya sebagai penanda formal bahwa mereka muslim. Sebab tempat ibadah mereka yang sesungguhnya adalah mezbah tidak kasatmata yang disebut madzhab. Di atas madzhab-madzhab yang tak kasatmata itulah mereka menyembelih manusia yang mereka anggap mengotori agama Tuhan. Mereka menganggap tindakan biadab menjagal manusia itu sebagai bagian dari jihad menyucikan agama Allah. Mereka tidak sadar diri siapa sesungguhnya mereka itu. Apa hak mereka menyucikan agama Tuhan? Siapa yang memberi mereka wewenang untuk menjalankan hak itu?� kata Abdul Jalil.

�Saya paham jalan pikiran Bapa. Tapi terus terang, belakangan ini saya justru gelisah dengan tindakan sultan Jawa yang membayangkan diri sebagai Salim.�

�Maksud Tuan, Tranggana?� gumam Abdul Jalil. �Apakah dia memimpikan jadi sultan sebesar Salim?�

Khwaja Zainal mengangguk dengan muka murung.

�Berarti, dia harus menjagal orang-orang yang dia anggap bid�ah sebagaimana Salim menjagal orang-orang penganut Syi�ah,� kata Abdul Jalil.

�Itu yang sedang saya risaukan, Bapa. Dalam pertemuan dengan para alim kaki tangannya, sultan telah merencanakan pembasmian terhadap kelompok penduduk yang disebut kaum Abangan.�

�Kaum Abangan?� gumam Abdul Jalil mengerutkan kening, �Siapa mereka itu?�

�Itu sebutan untuk menandai penduduk yang mengikuti ajaran Syaikh Lemah Abang. Katanya, Syaikh Lemah Abang itu guru agama yang sesat karena mengajarkan manusia menjadi tuhan dan menyuruh pengikut-pengikutnya bunuh diri. Tapi saya tidak yakin dengan tuduhan itu. Menurut saya, itu hanya rekayasa.�

�Kenapa Tuan berpendapat begitu? Kenapa Tuan tidak percaya?�

�Kalau Syaikh Lemah Abang memang menyuruh pengikut-pengikutnya bunuh diri, kenapa sultan repot-repot menbentuk satuan-satuan bersenjata untuk menumpas mereka? Bukankah dengan dibiarkan maka pengikut Syaikh Lemah Abang akan habis sendiri karena bunuh diri semua?�

�Tuan benar. Tapi tidak semua orang berpikiran cerdas seperti Tuan.�

�Saya juga cemas mendengar kabar datangnya pengungsi-pengungsi dari Persia di Udung, Pati, Rembang, Tuban, dan Gresik. Saya khawatir sultan yang ingin seperti Salim itu akan membantai mereka, karena kemarin alim ulama asal Kerala dan Malaka telah memanas-manasi sultan dengan kabar persekutuan Syah Ismail dengan Portugis.�

�Apakah Syah Ismail memang bersekutu dengan Portugis?�

�Ya Bapa. Ismail telah mengirim utusan kepadma gubernur Portugis di India, Alfonso d�Albuquerque untuk meminta bantuan melawan Salim dalam pertempuran di Bahrain dan al-Qathib serta menindas pemberontakan di Baluchistan dan Makran. D�Albuquerque telah menyanggupi untuk membantu Ismail dalam melawan kekuatan militer Salim.�

Abdul Jalil diam. Ia menangkap sasmita bahwa badai Kebinasaan masih akan terus berlangsung dengan ganas, seolah mengaitkan gemuruh ambisi Tranggana dengan keterlepasan-keterlepasan dirinya dari keterikatan-keterikatan yang melekat pada citra dirinya. Kabar tentang kekalahan Syah Ismail, sang tuhan, semakin memperjelas sasmita Kebinasaan yang sudah ditangkapnya. Sebab, seiring menyingsingnya keagungan kekuasaan Syah Ismail, yang ternyata seorang manusia biasa yang bisa kalah perang, secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh kuat terhadap perubahan tatanan yang berlaku di Nusa Jawa. Maksudnya, jika sebelum itu lambang kewalian dalam wujud Majelis Wali Songo sebagai pemimpin tertinggi umat (wilayah al-ummah) harus dimunculkan sebagai lembaga kewalian yang diketahui manusia, sebagai lambang perlawanan terhadap Syah Ismail dan kaki tangannya yang menafikan keberadaan wali Allah, maka dengan tumbangnya kisah kemahdian dan ketuhanan cucu Syaikh Saifuddin Ishaq itu, keberadaan lembaga kewalian seperti Majelis Wali Songo secara hakiki tidak dibutuhkan lagi. Keniscayaan tentang wali Allah akan kembali menjadi sesuatu yang bersifat rahasia dari pengetahuan manusia. Itu berarti, secara ruhaniah kekuasaan Tranggana akan menjadi tidak terkendali karena tidak ada lagi lembaga ruhani berwibawa yang membatasinya. Dan salah satu sasaran yang akan dimangsa ambisi Tranggana adalah pengikut-pengikut yang sudah dikelompokkan sebagai kaum Abangan, pengikut Syaikh Lemah Abang.

Dengan hati gundah Abdul Jalil menjemput istri dan puteranya di kediaman Gagak Cemani. Namun, baru saja ia masuk ke dalam rumah Gagak Cemani, ia sudah diberi tahu oleh pengikutnya itu bahwa beberapa saat yang lalu di pantai Demak dekat muara telah terjadi pembantaian terhadap orang-orang berkulit merah yang tinggal di situ barang dua pekan silam. Entah siapa pelakunya, ungkap Gagak Cemani, menurut kabar yang didengarnya orang-orang tersebut adalah pengungsi dari negeri Persia. �Kabar yang kami dapat dari Masjid Agung Demak, orang-orang kulit merah yang terbunuh itu diduga prajurit-prajurit Persia yang menyamar dan bertujuan menyerang sultan,� kata Gagak Cemani.

Abdul Jalil diam. Ia tahu, apa yang dicemaskan Khwaja Zainal Abidin tentang para pengungsi Syi�ah telah mewujud menjadi kenyataan. Pembunuhan demi pembunuhan terus berlangsung seolah tak diketahui kapan berakhirnya. Bahkan, saat ia akan mengajak istri dan puteranya meninggalkan kuta Demak, ia mendapat kabar yang sangat mengejutkan: Abdul Qahar bin Abdul Malik Baghdady, saudara iparnya yang membantu Raden Qasim mendakwahkan Kebenaran Islam di Pamwatan, telah dibunuh beserta belasan orang pengikutnya. Padahal, saat itu istri Abdul Qahar sedang hamil lima bulan. Sepeninggal suaminya, istri Abdul Qahar tinggal di Kaninyan Sendang, pertapaan seorang bhairawi yang sangat ditakuti di Pamwatan. Istri Abdul Qahar dapat terhindar dari pembunuhan karena dilindungi oleh sang tapaswijana (pertapa perempuan) yang dikenal penduduk dengan nama masyhur: Hyang Nini Durgandini.

Mengetahui nasib malang yang dialami Abdul Qahar, terutama istrinya yang sedang hamil, ingin sekali Abdul Jalil pergi ke Pamwatan dan menjemput istri saudara iparnya itu untuk dibawa ke Caruban. Namun, ia segera sadar bahwa ia harus melepaskan semua ikatan yang �menempel� pada dirinya baik ikatan persahabatan, persaudaraan, kekerabatan, kekeluargaan, bahkan akhirnya ikatan keakuan diri pribadi. Ia menekan segala kilasan pikiran dan sentakan perasaan yang terkait dengan nasib istri Abdul Qahhar yang mengandung anak yatim yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya itu. Ia memasrahkan semua urusan yang terkait dengannya kepada Yang Mahatunggal Tak Terbandingkan. Saat sebuah kapal jung berangkat ke barat, ia buru-buru mengajak istri dan puteranya menumpang dengan tujuan Caruban. Sepanjang perjalanan ia terus dibayangi nasib bayi yatim yang tidur lelap di perut ibundanya. �Ya Allah, Engkau berkali-kali menunjukkan kepadaku kuasa dan kebesaran-Mu dengan melindungkan mereka yang tak berdaya di bawah naungan manusia-manusia peminum darah,� kata Abdul Jalil dalam hati.

Ketika kapal jung yang ditumpanginya baru saja bersandar di dermaga pelabuhan Muara Jati, Abdul Jalil sudah ditunggu oleh sesuatu yang terkait dengan keterlepasan-keterlepasan ikatan citra dirinya. Begitu akan turun dari kapal jung yang membawanya, ia mendengar juru tambat dan awak kapal berbicara tentang sesuatu yang tidak terduga-duga dan membuatnya terkejut: putera Syaikh Maulana Jati Susuhunan Cirebon Girang, Pangeran Bratakelana, telah diserang oleh sekawanan orang tak dikenal saat berlayar dari Demak ke Caruban, tepatnya di lepas pantai Gebang. Pangeran Bratakelana beserta semua pengawalnya terbunuh. Jenasah Pangeran Bratakelana ditemukan di pantai Mundu dan dimakamkan di sana.

Abdul Jalil mengatupkan mulut rapat-rapat mendengar pembicaraan itu. Meski hasrat hatinya berkobar ingin bertanya tentang kabar Kematian putera Syarif Hidayatullah itu, ia tindas sekuat daya hasrat itu sampai ia rasakan dadanya sesak. Kilasan-kilasan kenangan saat ia menggendong dan bermain dengan pangeran yang memiliki panggilan Gung Anom itu berkelebatan memasuki ingatannya. Pangeran kecil yang setiap kali ia singgah di Giri Amparan Jati selalu minta gendong itu kini telah kembali ke hadirat-Nya. Meski sadar bahwa segala sesuatu adalah tergantung mutlak pada kehendak-Nya, rangkaian ingatan yang mengikat kenangannya dengan seseorang yang pernah dekat terasa sangat menyesakkan dada. Untuk membebaskan diri dari kegundahan, ia segera menenggelamkan keakuannya ke dalam Keakuan Yang Mahaaku.

Ketika singgah di Pesantren Giri Amparan Jati, Abdul Jalil melihat suasana berkabung menyelimuti. Namun, saat ia akan masuk ke Ndalem ternyata tidak seorang pun di antara mereka yang berpapasan mengenalnya. Rupanya, penampilannya yang berubah telah menjadikannya sebagai orang seorang yang tak lagi dikenali oleh mereka yang masih terikat pada bentuk penampilan luar. Saat itu ia tiba-tiba sadar bahwa sebaiknya ia tidak ke Ndalem karena pasti akan menemui Syarifah Baghdad, ibunda Pangeran Bratakelana, yang tentu sangat berduka. Ia berbalik arah, naik ke atas pemakaman Syaikh Datuk Khafi.

Di depat makam ia melihat Syarif Hidayatullah sedang berbincang-bincang dengan Bardud, puteranya, yang sudah terlihat dewasa. Saat mereka melihatnya, mereka serentak mengungkapkan keheranan melihat perubahan yang terjadi pada dirinya. Mereka heran melihat penampilannya yang seperti petani desa. Sebelum ditanya ini dan itu, ia memberi tahu mereka tentang jalan hidup yang akan dilaluinya yang mengharuskannya uzlah meninggalkan Kehidupan duniawi. �Saat turun dari kapal tadi, aku terkejut mendengar kepergian cucuku yang memenuhi panggilan-Nya. Tapi, seberat apa pun kita harus ikhlas melepasnya. Sebab, dia yang berasal dari Dia pasti kembali kepada-Nya. Kita semua sedang menunggu giliran. Yang membedakan di antara kita adalah cara dan waktu kembali. Hendaknya engkau ketahui bahwa aku pun sekarang ini sedang mengalami detik-detik kembali kepada-Nya,� kata Abdul Jalil sambil meminta kepada Syarif Hidayatullah agar kehadirannya kembali ke Caruban dirahasiakan dari siapa pun kecuali keluarganya. �Biarlah orang-orang perlahan-lahan melupakan keberadaanku. Biarlah anak Adam menjadi �adam (tiada) dan kembali pada �Adam al-Muhith (Ketiadaan Yang Maha Meliputi) tanpa diketahui oleh siapa pun di antara makhluk. Biarlah wujud khayalan (wujud al-khayali) ini terserap ke dalam Wujud Hakiki (Wujud al-Haqiqi).�

�Kami paham akan apa yang Pamanda alami,� kata Syarif Hidayatullah dengan suara tersekat di tenggorokan, �Tapi, kami berharap sudilah Pamanda meninggalkan kepada kami warisan wejangan yang akan kami jadikan pusaka dalam mengarungi samudera Kehidupan ini.�

Abdul Jalil menatap tajam Syarif Hidayatullah. Lalu, dengan suara penuh kasih ia berkata, �Pertama-tama, sebagai penegak Tauhid, hendaknya engkau tidak mendekat tetapi tidak juga menjauhi kekuasaan Yang Dipertuan Demak. Sebab, Tranggana yang telah membeli iman dan agama alim ulama dengan sepetak tanah dan hadiah-hadiah serta jabatan duniawi itu adalah bagian dari ujian-Nya pada manusia beriman. Tranggana telah menjadi sarana penyebab bagi banyak ulama pewaris Nabi (waratsat al-anbiya�) yang berubah menjadi pedagang agama dan tukang jagal bertopeng kesucian. Tranggana telah banyak menyesatkan alim ulama. Lantaran itu, jangan engkau dekat dan jangan pula engkau jauhi dia. Hendaklah engkau mengambil jarak dengannya. Sebaliknya, jangan dekati siapa pun di antara alim ulama yang telah menukar iman dan agamanya demi segenggam bara api dunia yang mereka kira harta abadi. Sebab, mereka itu adalah wakil al-�Alim di muka bumi yang telah mengkhianati al-�Alim Yang Diwakilinya. Jauhi mereka! Hindari mereka!�

�Bagaimana dengan Majelis Wali Songo?� tanya Syarif Hidayatullah, �Apakah harus kami tinggalkan pula?�

�Sesungguhnya, salah satu alasan dibentuknya Majelis Wali Songo adalah sebagai perlambang untuk menghadapi keyakinan sesat Syah Ismail beserta pengikut-pengikutnya. Majelis Wali Songo dibentuk beberapa waktu sebelum Syah Ismail berkuasa. Lantaran itu, ketika Syah Ismail dan pengikut-pengikutnya menafikan keberadaan wali-wali Allah dan dengan tindak kekerasan membongkar kuburan-kuburan para wali di wilayah kekuasuannya, dengan kekejaman menjijikkan memburu para guru tarekat dan orang-orang yang meyakini keberadaan wali Allah, dan dengan doktrin-doktrin yang menyesatkan menghancurkan keyakinan manusia tentang keberadaan wali-wali Allah, maka keberadaan Majelis Wali Songo menjadi keniscayaan tak tersanggah. Sehingga, pada saat al-Waly menyingsing di tanah Persia dalam citra al-Bathin maka di Nusa Jawa yang sudah ditebari tanah Karbala oleh Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi, al-Waly terbit dalam citra azh-Zhahir. Tetapi kini, setelah tuhan jejadian itu dikalahkan Salim, keberadaan Majelis Wali Songo sudah tidak lagi menjadi keniscayaan karena sang tuhan yang berfirman tentang ketiadaan wali-wali Allah itu telah lari tunggang-langgang dihajar manusia kejam bernama Salim. Kewalian (wilayah) kembali menjadi sesuatu yang bersifat rahasia dan tersembuny dari manusia. Hanya mereka yang memahami hakikat keseimbangan al-Bathin dan azh-Zhahir yang dapat mengetahui rahasia tentang al-Waly dan wilayah beserta wali-wali.

�Engkau tentu telah melihat bagaimana aku melepas pakaian dan semua atribut diriku sebagai seorang alim. Sebab, aku telah malu mengenakannya. Malu. Malu. Seribu kali malu. Aku tidak tahan menyaksikan setiap mata melihat pakaian ulama yang aku kenakan dengan pandang curiga dan ketakutan, karena semua menduga siapa pun yang berpakaian alim ulama adalah tukang jagal bertopeng agama. Semua menangkap citra keulamaan sebagai Yamadipati, Sang Maut. Sehingga, dengan pakaian itu aku tidak bisa bergerak ke mana-mana. Sungguh memalukan pakaian keulamaan saat ini, karena siapa pun di antara manusia yang mengenakan jubah, destar, surban, terompah, tasbih, dan kitab suci akan dipandang oleh semua mata sebagai kaki tangan sultan. Memalukan. Memalukan. Citra wakil al-�Alim di muka bumi sudah direndahkan sebagai citra tukang-tukang sihir Fir�aun yang tidak memiliki kemampuan lain kecuali menghasut dan menebar fitnah menyesatkan. Sungguh memalukan citra al-�Alim yang telah menjadi citra kaum musyrik dan munafik, yaitu kaum yang di mulut mengaku-aku hamba Allah, tetapi dalam kenyataan bersujud di kaki sultan. Memalukan.�

�Lantaran itu, o engkau yang terkasih, tegakkan Tauhid dengan sekuat kuasamu tanpa keharusan engkau menampilkan diri sebagai ulama dalam bentuk ragawi. Lebih baik engkau menjadi sultan secara zahir, tetapi alim secara batin, daripada sebaliknya. Tidakkah engkau pernah mendengar kisah guru terkasihku, Ahmad Mubasyarah at-Tawallud? Dia adalah saudagar kaya raya secara zahir, tetapi alim secara batin. Sebaliknya, alim ulama sekarang ini secara zahir alim, tetapi secara batin adalah saudagar. Itu sebabnya, waspadalah engkau sekarang ini kepada siapa pun di antara manusia yang muncul di depanmu dengan mengenakan pakaian keulamaan. Pandanglah mereka dengan bashirah sehingga engkau mengetahui siapa mereka sejatinya.�

�Kami akan pusakakan wejangan Paman,� kata Syarif Hidayatullah.

Ketika Abdul Jalil akan beranjak pergi, Syarif Hidayatullah bertanya, �Apakah Paman nanti singgah dahulu ke Kalijaga?�

�Ke Kalijaga? Ada apa?� tanya Abdul Jalil tak paham.

�Zainab,� kata Syarif Hidayatullah menjelaskan, �Puteri Paman, sekarang tinggal di Kalijaga mendampingi suaminya yang menjadi guru suci di sana.�

�Raden Sahid sudah mengajar?�

�Pengikut-pengikut Paman yang kebingungan dengan kabar pembunuhan terhadap pemuka-pemuka dukuh Lemah Abang, berdatangan ke Kalijaga dan menjadikan dia sebagai pengganti Paman. Tidak hanya orang-orang dari Caruban yang berguru kepadanya, bahkan mereka yang mengaku pengikut Paman dari Luragung, Bojong, Tetegal, Pasir, Kendal pun berdatangan ke Kelijaga.�

�Semua sudah diatur oleh-Nya. Biarlah terjadi apa yang harus terjadi sesuai kehendak-Nya.�

�Apakah Paman sudah tahu jika Paman telah dikaruniai tiga orang cucu, si kembar Watiswari dan Watiswara serta si bungsu Wertiswari?�

�Aku sudah punya tiga orang cucu? Watiswari, Watiswara, dan Wertiswari,� gumam Abdul Jalil. �Watiswari dan Watiswara bermakna penguasa angin. Wertiswari bermakna penguasa sumbu lampu. Sungguh perlambang jalan ruhani yang baik nama-nama itu. Berapa usia mereka sekarang?�

�Yang kembar sudah sembilan tahun. Yang bungsu tujuh tahun. Tetapi, karena ketiga orang cucu Paman itu dianggap keluarga ratu Caruban, maka sebagaimana ayahanda mereka yang dianugerahi gelar Pangeran Kalijaga dan kakeknya dianugerahi gelar Pangeran Lemah Abang, Watiswari dianugerahi gelar Nyi Mas Ratu Mandapa, Watiswara dianugerahi gelar Pangeran Panggung, dan yang bungsu dianugerahi gelar Nyi Mas Ratu Campaka,� kata Syarif Hidayatullah.

Abdul Jalil diam dan menarik napas panjang berkali-kali. Ia merasakan sesuatu yang berat sedang menyesaki dadanya. Sebagai seorang ayah dan sekaligus kakek, nalurinya menarik-narik hasratnya untuk cepat-cepat melangkahkan kaki ke Kalijaga. Namun, ia segera sadar bahwa jalan hidup yang harus dilewatinya akan penuh ditandai oleh keterlepasan-keterlepasan segala sesuatu yang berkaitan dengan citra dirinya, sampai ia benar-benar sendiri tidak memiliki apa pun dan tidak dimiliki oleh siapa pun (la yamliku syaian wala yamlikuhu syaiun) kecuali Yang Mahatunggal. Ia sadar, betapa setiap keterlepasan adalah sesuatu yang menyakitkan baik bagi dirinya maupun bagi yang terlepas dengannya. Lantaran alasan-alasan itu, setelah memberi pesan secukupnya kepada Syarif Hidayatullah, ia mengajak istri dan anaknya, Fardun, meninggalkan Pesantren Giri Amparan Jati.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers