Jumat, 24 Maret 2017

AL-FARD

Al-Fard

Setelah tinggal selama empat puluh hari di lingkungan Kraton Pengging dan menjadi salah satu penyebab bagi masuk Islamnya Pangeran Kebo Kenanga, dengan diiringi tangis pedih para pemuka penduduk yang menjadi muridnya, Abdul Jalil meneruskan perjalanan ke arah timur untuk berbagi keberlebih-kelimpahan. Memang, empat puluh hari adalah sebuah rentang waktu yang terlalu pendek bagi seseorang untuk melakukan perubahan. Namun, dalam keterbatasan waktu yang menghimpit itulah Abdul Jalil menunjukkan kelebihan yang sulit dicari tolok bandingan pada zamannya: menjadi penggerak utama sebuah perubahan.

Jejak yang ditinggalkan Abdul Jalil, yang mengarah pada terjadinya perubahan tatanan kehidupan masyarakat, dari tatanan yang berdasarkan gagasan catur-warna dan kasta menjadi masyarakat ummah, terlihat pada kebijaksanaan raja Pengging yang memberlakukan peraturan baru menyangkut status kependudukan warga kerajaan yang beragama Islam. Di dalam peraturan itu ditetapkan bahwa penduduk kerajaan yang berasal dari kalangan rendah seperti Dhapur, Kewel, Domba, Sasak, Potet, dan Mambang yang kedudukannya sangat hina dan nista di tengah masyarakat, seketika akan disetarakan dengan penduduk yang lain. Ketetapan raja itu sangat mengejutkan para bangsawan dan warga kerajaan. Bagaimana mungkin kalangan rendah dan hina papa itu bisa diberi status sederajat dengan warga kerajaan? Bagaimana mungkin manusia berkasta rendah dapat disejajarkan dengan manusia luhur berkasta tinggi? Bukankah perubahan itu akan merusak tatanan yang sudah berlaku beribu tahun? Bagaimana mungkin Prabu Andayaningrat bisa menista peraturan agamanya sendiri?

Keterkejutan para bangsawan dan warga Pengging adalah keterkejutan yang ke sekian kali. Sebelum itu, mereka sudah dikejutkan oleh kabar yang nyaris tidak masuk akal: mahkota Pangeran Kebo Kanigara telah diserahkan kepada adiknya, Pangeran Kebo Kenanga, setelah putera mahkota tersebut kalah bertaruh dengan Syaikh Siti Jenar. Di saat orang masih ramai membincang peristiwa aneh itu, telah tersiar lagi kabar yang sangat tak terduga-duga: raja dan putera mahkota Pengging yang baru, Pangeran Kebo Kenanga, menyatakan memeluk agama Islam.

Perubahan bertubi-tubi yang terjadi di Pengging tak pelak lagi telah membuat semua mata diarahkan kepada sosok Abdul Jalil. Sebagian memandang dengan penuh kekaguman, tapi tidak sedikit yang memandangnya dengan mata menyembunyikan api kemarahan. Sejumlah pendeta kerajaan yang benci, menjulukinya dengan gelar hebat: si lidah menyala, si pengacau, si pembuat kisruh, dan si perusak tatanan. Abdul Jalil sendiri tidak peduli dengan pandangan dan penilaian yang dibidikkan orang ke arah dirinya. Dengan tegar, seolah tidak terjadi sesuatu, ia terus melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Tanpa peduli dengan hantu-hantu fitnah yang berkeliaran mengerumuninya, ia dengan penuh sukacita menyemburkan api menyala dari lidahnya untuk menghangatkan manusia yang kedinginan atau mencurahkan air segar dari mulutnya yang berkelebih-kelimpahan kepada manusia yang kehausan. Laksana bongkahan batu karang di tengah telaga yang bergeming diterpa hujan, badai, dan panas, di tengah gemuruh kecaman, caci maki, umpatan, fitnah, dan ancaman, ia dengan ramah memberikan keberlebih-kelimpahannya kepada makhluk yang menghampirinya.

Tanpa kenal lelah, ia ajarkan kepada manusia tentang cara bercermin yang benar. Bercermin untuk mengenal diri sendiri sebagai citra ar-Rahman. Ia sulut dan kobarkan semangat perlawanan manusia terhadap keterbatasan diri sendiri. Ia ajarkan kepada manusia-manusia yang mengikuti jalannya tentang kewajiban dasar manusia untuk berjuang mewujudkan diri menjadi adimanusia (insan kamil). Ia ajarkan kepada mereka cara-cara sederhana bagi manusia untuk melampaui liku-liku jalan menanjak dan menurun yang terentang antara martabat hewan dan adimanusia. Ia ajarkan semua yang ia punyai sampai tuntas tanpa sisa. Ia buka tangannya lebar-lebar sampai tak ada lagi sisa di genggamannya. Lalu, dengan pengetahuannya yang mendalam tentang jiwa manusia dan pengalaman ruhaninya yang matang, ia meneguhkan kepercayaan diri para pengikutnya terhadap keberadaan diri mereka sebagai makhluk paling agung dan mulia di jagad raya. Ia untkapkan kepada mereka rahasia Ilahiyyah yanmeng tersembunyi di daam diri setiap manusia, yang dengan rahasia tersebut orang seorang akan memiliki senjata untuk berjuang mewujudkan diri menjadi adimanusia. Ya, adimanusia, insan kamil, wakil Allah di muka bumi, makhluk yang menduduki derajat paling tinggi dan paling mulia di antara segala makhluk di jagad raya, yaitu wakil Allah yang menjadikan para malaikat bersujud kepadanya.

Setelah merasa cukup berbagi selama empat puluh hari di Pengging, dengan meninggalkan panji-panji persamaan derajat di antara warga kerajaan, Abdul Jalil melanjutkan perjalanan ke arah timur. Tanpa kenal lelah ia telusuri hutan jati, bukit padas, jurang, lembah, dan jalanan berbatu. Ia hanya singgah di beberapa desa untuk sekadar beristirahat, ketika melihat istrinya sangat kelelahan. Setelah sepekan berjalan, ia sampai di Pamantingan, daerah keramat tempat orang memuja Dewi Manting (dewi kesuburan). Di tempat itu ia memutuskan untuk tinggal dan mengajar penduduk sekitar. Ia berharap, dengan tinggal di tempat terkucil yang terletak di tengah hutan jati ituta orang tidak akan banyak yang mengenalnya. Namun, ibarat ratu lebah yang ke mana pun pergi selalu diikuti lebah-lebah, begitulah kehadiran Abdul Jalil di Pamantingan secepat embusan angin sudah menjadi buah bibir penduduk sekitar. Kemunculan Abdul Jalil di tempat itu pun dalam hitungan hari diikuti munculnya beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu manusia dari berbagai kalangan yang datang berduyun-duyun mengerumuninya untuk beroleh berkah keselamatan. Di antara mereka yang datang dan mengambil baiat kepadanya adalah para bangsawan, pemuka penduduk, ruhaniwan, dan cerdik cendikia pencari Kebenaran. Mereka itu adalah Ki Ageng Tarub, Ki Buyut Brati, Ki Ageng Gabus, Kyayi Ageng Bulu, Pngerban Pandanarum, Pangeran Sukalila, Pangeran Matahun, Pangeran Rajegwesi.

Diserbu berarus-ratus dan bahkan beribu-ribu orang yagn meminta berkah, Abdul Jalil untuk kali ke sekian merasa dihadapkan pada persoalan yang membingungkan. Dikatakan membingungkan karena setelah melampaui keadaan (hal), tingkatan (makanah), derajat (martabat), dan kedudukan (maqam) ruhani yang tak terhitung, ia tetap merasa sebagai orang bodoh yang belum banyak mengetahui rahasia di balik kehendak Allah atas dirinya. Ia sering terheran-heran dan kebingungan menghadapi hal-hal tak terduga: ia diberhalakan manusia di saat ia meyakini jika kedudukannya sebagai �yang terendah� dalam perubahan tatanan itu makin mendekati kenyataan. Bagaimana mungkin ia yang sejak awal perubahan tatanan kehidupan baru sudah menempatkan diri pada kedudukan di bawah seibarat tanah tempat berpijak, tiba-tiba diserbu beribu-ribu orang dan disanjung-sanjung manusia setinggi langit?

Bingung dan terheran-heran dengan kenyataan yang dialaminya, Abdul Jalil dalam suatu sembahyang malam mengungkapkan keterbatasan dirinya itu kepada Allah, Rabb al-Arbab, yang belakangan ia rasakan seperti menutup Diri di balik selimut al-Haqq. Ia mengungkapkan ketidakpahamannya terhadap kehendak Rabb al-Arbab atas dirinya yang mendadak diberhalakan manusia. Ia mengungkapkan rasa khawatirnya, betapa keadaan itu akan mengancam ajaran Tauhid yang selama itu diajarkannya. Ia mengungkapkan semua keheranan dan ketidakmengertiannya. Ia mengungkapkan semua. Semua. Namun, sampai jauh malam ia tidak mendapat secuil pun jawaban dari-Nya. Barulah pada detik-detik menjelang subuh ia beroleh jawaban sangat singkat dari Allah melalui al-Haqq yang menerobos relung-relung pedalaman ruhnya lewat al-ima�, yang jika diungkapkan denga bahasa manusia, kira-kira intinya:

�Siapa yang memberimu hak untuk memilih? Siapa yang memberimu hak untuk mengetahui sesuatu melebihi apa yang Ku-kehendaki?�

Abdul Jalil tersentak kaget. Ia seketika sadar, jawaban itu sejatinya merupakan sebuah perubahan dahsyat yang sedang berlangsung atas jalan hidupnya. Sehingga, ia wajib memasrahkan utuh semua urusan dirinya kepada-Nya. Ia pun segera sadar, inilah rentang waktu di mana keberlebih-kelimpahannya akan berakhir. Ia sadar, segala sesuatu harus terjadi sesuai waktu yang ditetapkan-Nya. Tidak bisa diundur dan tidak bisa pula diajukan. Demikianlah, setelah kesadaran demi kesadaran terdalamnya terkuak, ia menutup diri di dalam kamar dan tidak bicara selama berhari-hari

Ketika rentang waktu seratus hari berlalu dan Abdul Jalil meninggalkan Pamantingan, ia memutuskan untuk tidak memilih tempat lain lagi untuk tinggal dan mengajar. Sebaliknya, ia melanjutkan perjalanan ke arah timur sepanjang pedalaman, mengunjugi dukuh-dukuh bercitra caturbhasa mandala daan lemah larangan yang telah dibukanya, lalu berputar dan berbalik arah ke arah barat sepanjang pantai utara, dengan tujuan akhir tanah kelahiran, Caruban. Sesuai rencana, sepanjang perjalanan itu ia akan singgah di dukuh-dukuh yang tersebar di berbagai tempat tersebut, untuk mengetahui apakah tanaman yang telah ditebarnya telah tumbuh dengan baik atau merana tak berkembang. Ia gembira sekaligus takjub ketika melihat ladang persemaian yang dibukanya telah tumbuh subur menjadi tempat penyebaran benih-benih unggul yang memberikan manfaat bagi Kehidupan di sekitarnya.

Di tengah kegembiraan menyaksikan kesuburan pengajaran Tauhid di dukuh-dukuh yang dibukanya itu, Abdul Jalil tiba-tiba melihat setan muncul dalam wujud bayangan palsu dirinya, dengan tujuan utama menodai dan meyimpangkan kemurnian ajaran Tauhid yang disampaikannya. Hal itu ia ketahui ketika beberapa murid terkemukanya melaporkan munculnya dukuh-dukuh baru bernama Lemah Abang dan Kajenar, yang letaknya tidak jauh dari dukuh-dukuh Lemah Abang dan Kajenar yang dibukanya. �Di negeri Daha sekarang ini saja sudah ada dua dukuh Kajenar. Yang satu di barat kutaraja, yaitu dukuh Kajenar yang paduka buka. Yang satu lagi, dukuh Kajenar di dekat Tirwan, yang dibuka seorang guru suci bernama San Ali Anshar. Kami tidak tahu berapa dukuh lagi nanti yang muncul,� kata Kyayi Pocanan.

Menerima laporan kemunculan dukuh-dukuh baru bercitra Lemah Abang dan Lemah Kuning, Abdul Jalil tiahdak merasa terkejut dan khawatir. Tengara bakal munculnya setan yang akan menyimpangkan ajarannya ke arah kesesatan yang sesesat-sesatnya telah ia tangkap bertahun-tahun silam, saat ia bertemu Pangeran Arya Pinatih di Bangsal Sri Manganti di Giri Kedhaton. Munculnya orang bernama Hasan Ali alias Bango Samparan, yang mengaku murid Syaikh Lemah Abang yang bernama asli San Ali Anshar, telah ia tangkap sebagai tengara tentang bakal munculnyaq setan yang menyaru dalam wujud bayangan palsu dirinya. Lalu, setan itu akan melakukan penyelewengan besar-besaran terhadap ajaran yang sudah disampaikannya kepada manusia. Ia merasa betapa kemunculan setan itu akan menjadi salah satu penyebab yang menggenapi perjanjiannya dengan Sang Prthiwi, yaitu mengobarkan keakuannya sebagai Putera Sang Bhumi (Ksitiputera) yang akan disembelih sebagai santapan Mahaksitiputra, Putera Teragung Sang Bhumi, Sang Bhoma Narakasura.

Sadar munculnya setan yang menyaru dirinya itu adalah tengara keniscayaan baginya untuk mengakhiri jalan dharmanya membagi-bagi sisa keberlebih-kelimpahannya, Abdul Jalil tidak berkomentar apa-apa menanggapi kemunculan dukuh-dukuh baru di sekitar caturbhasa mandala yang dibukanya. Ia hanya meminta kepada murid-murid terkemukanya untuk berdiam diri. Kepada murid-murid terkemukanya itu, ia memberikan wejangan singkat:

�Ketahuilah, o engkau yang memiliki mata indriawi dan penglihatan batin! Bahwa telah menjadi kodrat Kehidupan, di mana kehadiran sesuatu yang haqq selalu diikuti oleh sesuatu yang batil, laksana siang yang terang benderang diikuti malam yang gelap gulita. Itu sebabnya, jika suatu ketika engkau sekalian berada di suatu masa yang tak jelas batas-batas terang dan gelapnya, karena bumi diliputi gumpalan awan, atau diselimuti gerhana, atau di ambang fajar dan senjakala, di mana antara yang haqq dan yang batil tidak jelas, maka saat itu diamlah! Diam! Seribu kali diam!�

�Ketahuilah, o engkau yang memiliki penglihatan batin! Bahwa dengan diam, mata hatimu (�ain al-bashirah) yang tersembunyi di relung-relung jiwamu akan menangkap tengara Kebenaran yang muncul laksana matahari kembar, yaitu matahari yang sebenarnya dan bayangan palsunya. Dengan demikian, o engkau yang melihat dengan mata batin, engkau akan menemukan aku dan bayangan palsuku berdiri di ujung jalan Kebenaran. Saat itu, engkau akan sulit membedakan antanra aku dan bayangan palsuku. Sebab, ibarat matahari di pagi dan sore hari yang sama-sama merah cahayanya, demikianlah citra diriku dan citra diri bayangan palsuku itu sama-sama menebarkan cahaya merah keraguan di hati sanubarimu. Lantaran itu, aku beri tahukan kepada engkau sekalian tentang tanda-tanda yang bisa engkau jadikan pedoman untuk membedakan keberadaanku dan keberadaan bayangan palsuku.�

�Pertama-tama, jika engkau sekalian bertemu dan berjabat tangan dengan aku maka engkau akan mendapati tanganmu bersih tanpa bekas apa pun. Sebaliknya, jika engkau sekalian menjabat tangan bayangan palsuku maka engkau akan mendapati bekas tanda pamrih berwarna hitam di telapak tanganmu. Segera lari menjauhlah kalian dari bayangan palsuku jika melihat tanda hitam itu, karena tanda itu akan melebar dan membesar, hingga menutupi seluruh tubuh dan jiwamu. Bekas tanda hitam pamrih itu akan membuatmu terhijab dari jalan Kebenaran dan bahkan akan mementalkanmu jauh-jauh dari jalan-Nya sampai engkau terperosok ke jurang Kesesatan.�

�Aku beri tahukan kepadamu bahwa jalan Kebenaran adalah jalan berliku-liku dan berkelok-kelok, terjal, curam, dan carut-marut membingungkan jika tidak diterangi cahaya matahari Kebenaran. Jalan Kebenaran yang terhampar pada Kitab Suci hanya mungkin dilewati hingga ke mahligai Kebenaran Sejati jika ia diterangi cahaya matahari Kebenaran yang tersembunyi di langit batin. Jika suatu saat nanti engkau sekalian mendapati bayangan palsuku mengaku-aku sebagai diriku, maka bentangkanah jalan Kebenaran Kitab Suci dan berjalanlah di bawah pancaran cahaya matahari Kebenaran yang menerangi penglihatan mata batinmu. Dengan piranti Kitab Suci sebagai jalan Kebenaran dan penglihatan mata batin sebagai cahaya matahari Kebenaran, engkau sekalian dengan mudah akan bisa membedakan mana Syaikh Siti Jenar yang sesungguhnya dan mana pula yang bayangan palsunya. Ujilah kemunculan setan pengaku-aku itu dengan Kitab Suci dan penglihatan mata batin, niscaya engkau sekalian akan menemukan Kebenaran bahwa dia, bayangan palsuku, itu hanyalah bayangan maya fatamorgana yang menyesatkan.�

�Ketahuilah oleh engkau sekalian, o para penempuh jalan ruhani yang berjalan di bentangan jalan Kebenaran, bahwa aku akan meninggalkan hiruk Kehidupan yang melingkupi bumi manusia ini. Aku akan pergi ke duniaku sendiri. Aku tidak bisa mendampingi kalian terus-menerus. Aku tidak bisa berkata ini dan itu ketika bermunculan setan-setan penyesat yang menyaru diriku. Lantaran itu, diamlah dan pasrahkan semua urusan kepada-Nya!�

Sewaktu perjalanan yang dilakukannya sampai di Giri Kedhaton, Abdul Jalil mendapati orang sedang sibuk mempersiapkan peringatan khaul kesembilan wafatnya Prabu Satmata Sri Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul Khalifatullah. Ia buru-buru menemui Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur, putera Prabu Satmata yang menggantikan kedudukan ayahandanya baik sebagai raja Giri Kedhaton maupun guru suci Tarekat Ni�matullah. Saat bertemu dengan Pangeran Zainal Abidin yang disebut orang dengan gelar Susuhunan Dalem Timur, ia beroleh kabar yang mengejutkan, terkait dengan Majelis Wali Songo. Setelah Prabu Satmata Susuhuna Giri Kedhaton mangkat, anggota majelis lain yang meninggal adalah Pangeran Arya Pinatih Susuhunan Giri Gajah, Khalifah Husein Imam Madura, dan Syaikh Jumad al-Kubra. �Kakek kami, Susuhunan Giri Gajah digantikan oleh putera Eyang Susuhunan Ampel Denta, Raden Qasim. Yang Mulia Khalifah Husein digantikan oleh putera sulungnya, Usman Haji. Yang Mulia Syaikh Jumad al-Kubra digantikan oleh adiknya, Syaikh Dara Pethak. Sementara Paman, yang tak pernah terdengar kabarnya, digantikan oleh Raden Sahid Susuhunan Kalijaga. Yang menunjuk Raden Sahid sebagai pengganti Paman adalah Syaikh Dara Putih,� kata Pangeran Zainal Abidin menjelaskan.

�Kenapa Syaikh Manganti Susuhunan Giri Gajah diganti Raden Qasim? Apakah ia meninggalkan wasiat agar digantikan Raden Qasim?� tanya Abdul Jalil.

�Kakek kami memang berwasiat seperti itu.�

�Bagaimana dengan putera-puteranya?�

�Pangeran Pringgabhaya menjadi kepala wisaya di Pamwatan dan mengepalai keluarga Bajul di sepanjang Bengawan Sori hingga muara. Sementara, Pangeran Kedhanyang menggantikan kakek kami sebagai guru suci di Sri Manganti,� Pangeran Zainal Abidin menerangkan.

Abdul Jalil mengangguk-angguk. Setelah itu ia berkata, �Tapi, tadi sewaktu aku sembahyang di masjid, aku dengar kabar jika di Demak sekarang ini ada ratu kembar: Yang Dipertuan Demak dan Yang Dipertuan Japara. Bagaimana itu? Apakah yang sudah terjadi sepeninggal Sultan Abdurahman Surya Alam Senapati Jimbun Panembahan Palembang Sayidin Panatagama? Kenapa bisa ada dua penguasa?�

�Semula yang mengganti sultan adalah Pangeran Sabrang Lor, putera sulung sultan. Tapi, belum genap tiga tahun dia mangkat. Sekarang ini Tranggana, yang menjadi Sultan Demak.�

�Tranggana?� gumam Abdul Jalil heran, �Putera sultan yang suka mengumbar nafsu kesenangan itu?�

�Benar Paman. Kami juga tidak mengira kalau dia bakal naik takhta.�

�Bagaimana para adipati dapat memilih dia sebagai sultan?�

�Maaf Paman. Tranggana belum utuh menggantikan kedudukan ayahandanya. Sebab, para adipati yang tergabung dalam persekutuan telah sepakat menunjuk saudara iparnya, Pangeran Hunus Adipati Japara, sebagai adipati dan senapati. Jadi sekarang ini penguasa Demak yang berwenang memimpin persekutuan adipati se-Nusa Jawa adalah Pangeran Hunus,� kata Pangeran Zainal Abidin.

�Mungkin itu yang disebut penduduk dengan istilah ratu kembar. Apakah itu tidak menimbulkan masalah?� tanya Abdul Jalil ingin penjelasan.

�Kami berusaha memecahkan masalah itu dengan membagi kekuasaan menjadi dua, yaitu kekuasaan duniawi yang dipegang Pangeran Hunus dan kekuasaan ruhani yang dipegang Tranggana. Pangeran Hunus menduduki jabatan adipati dan senapati, sedang Tranggana menduduki jabatan sayidin panatagama yang hanya mengurusi masalah keagamaan. Jadi, meski ia bergelar sultan tetapi kekuasaannya hanya di bidang agama.�

Abdul Jalil diam. Ia tidak ingin terlibat dengan masalah-masalah rumit seputar pemerintahan, karena ia sudah menangkap sasmita bakal mengalami perubahan jalan hidup yang sangat dahsyat. Itu sebabnya, usai mengikuti upacara peringatan khaul Prabu Satmata, ia beserta istri dan anaknya bergegas meninggalkan Giri Kedhaton ke barat. Sepanjang perjalanan mengunjungi dukuh-dukuh bercitra caturbhasa mandala dan lemah larangan, Abdul Jalil justru mendapati kenyataan yang sangat menggembirakan hatinya. Sebab, tatanan kehidupan masyarakat ummah di kawasan pesisir terlihat jauh lebih baik dibanding kehidupan di pedalaman. Bukan saja bandar-bandar di pesisir dimakmurkan oleh perdagangan dari pedalaman ke pesisir, melainkan perniagaan antara bangsa pun membawa kelimpahan yang menakjubkan. Kemakmuran benar-benar melimpah di pesisir seolah sulit ditemukan orang fakir. Tajug dan masjid tegak di mana-mana. Pesantren dan khanaqah pun tumbuh seperti jamur. Di tengah berlimpahnya kemakmuran itu, tatanan kehidupan masyarakat pesisir jauh terasa lebih aman dan tertib dibanding pedalaman karena diterapkannya undang-undang hukum yang disebut Angger-Angger Suryangalam, yakni hukum yang diberlakukan di Kadipaten Demak dan seluruh kadipaten sekutunya. Keadaan itu sangat berbeda dengan di pedalaman, di mana hukum Majapahit Kutaramanawa sudah compang-camping dan menjadi barang dagangan yang sangat murah sehingga tak mampu membawa ketertiban apalagi keadilan.

Ketika perjalanan yang dilakukannya mencapai Demak, Abdul Jalil melakukan sembahyang di Masjid Agung Demak yang telah diperluas dan diperindah dengan segala kemegahan. Para arsitek dan tukang yang diserahi tugas memperluas masjid adalah orang-orang Mappila asal Kerala. Lantaran itu, rancang bangun masjid baru itu mirip dengan masjid Kerala, yaitu beratap limas tingkat tiga. Masjid baru itu merupakan masjid terbesar di Nusa Jawa dan dijadikan salah satu tempat bertemunya Majelis Wali Songo. Sebenarnya, setelah bersembahyang Abdul Jalil berniat akan singgah ke kraton menemui Tranggana untuk mengingatkan bahaya dari takhta kekuasaan sebagai amanah Ilahi. Namun, baru saja ia berjalan dari masjid ke alun-alun, tiba-tiba ia tersentak kaget karena menjumpai sesuatu yang sedikit pun tidak pernah diduganya: bertemu muka dengan sahabat penunjuk jalan Kebenaran yang sangat dihormatinya, guru ruhani yang dimuliakan dan pembimbing jalan lurus yang membawanya ke lingkaran Jama�ah Karamah al-Auliya�, yaitu Ahmad Mubasyarah at-Tawallud.

Seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Abdul Jalil terperangah kebingungan menatap wajah Ahmad at-Tawallud yang seperti tidak termakan usia. Dengan wajah berbinar-binar penuh kegembiraan, ia menyalami, merangkul, mencium pipi, dan kemudian berlutut sambil memegangi kaki guru tercintanya itu. Lama ia terdiam seolah ingin menumpahkan kerinduannya sebagai anak lewat kaki guru yang dihormatinya. Setelah diam beberapa jurus, ia bertanya dengan suara bergetar, �Apakah yang membuat Tuan, guru suci kami, datang ke negeri yang jauh tersembunyi di balik kabut ini?�

Ahmad at-Tawallud tidak buru-buru menjawab. Sebaliknya, dia mengusap kepala si kecil Fardun yang dipangku Shafa sambil bertanya, �Berapa usianya?�

�Satu tahun delapan bulan,� jawab Shafa.

�Siapa namanya?�

�Fardun.�

Ahmad at-Tawallud tertawa. Lalu dengan suara lain dia berkata, �Nama anak ini Fardun, terkait dengan tugasku. Maksudku, aku sekarang ini sedang mengemban tugas dari Misykat al-Marhum untuk mencari engkau, o Tuan Abdul Jalil, untuk memberikan jubah kehormatan (an-nawalah), sebagai tanda bahwa engkau telah menjadi �orang yang sendiri� (fard). Sebab, telah beberapa waktu ini Misykat al-Marhum mengaku tidak lagi dapat memantau dan mengawasi keberadaan Tuan. Ternyata, barang setahun delapan bulan silam Tuan sudah mengetahui kedudukan Tuan itu.�

�Maaf Tuan, apakah dengan itu berarti kami sudah tidak menjadi anggota Jama�ah Karamah al-Auliya�?�

�Tidak hanya itu.�

�Maksudnya?�

�Keberadaan Tuan sebagai apa pun sudah selesai,� kata Ahmad at-Tawallud lepas. �Artinya, Tuan tidak boleh lagi menjadi guru manusia atau menjadi apa pun yang berkaitan dengan urusan duniawiah. Tuan harus meninggalkan segala-galanya. Tuan telah dipilih-Nya untuk menjadi kekasih-Nya yang setia. Kekasih yang tidak memalingkan kiblat kepada yang lain kecuali kepada-Nya. Dia menginginkan Tuan utuh sebagai pribadi tanpa predikat dan atribut apa pun. Tuan akan dijadikan-Nya sebagai Abdul Jalil (hamba Yang Mahaagung) dalam makna yang sebenar-benarnya. Tuan akan dijadikan sebagai �yang sendiri�, kekasih �Yang Tunggal� (al-Fard).�

Abdul Jalil tersungkur mencium tanah. Bersujud syukur atas anugerah yang tak pernah dibayangkan dan diimpikannya itu. Dengan air mata bercucuran ia menangis terisak-isak sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia merasakan seluruh aliran darahnya mengalir deras laksana air sungai. Ia merasakan napasnya bertiup laksana angin pegunungan bertiup di musim kemarau. Ia benar-benar merasa hilang diri. Hanya rasa rindu yang tak kesampaian ia rasakan naik perlahan-lahan dari dada hingga ke ubun-ubun.

Berbeda dengan Abdul Jalil yang menerima anugerah dari al-Fard dengan penuh kesyukuran, Shafa justru terheran-heran dan kebingungan menyaksikan kenyataan terkait nasib suaminya. Dengan benak dipenuhi tanda tanya, dia bertanya kepada Ahmad at-Tawallud, �Apakah dengan menjadi �yang sendiri� dan menjadi kekasih Yang Tunggal, suami kami sudah kehilangan segala-galanya? Apakah dia akan kehilangan juga istri dan anak-anak yang dikasihinya?�

�Ananda,� kata Ahmad at-Tawallud lembut, �Secara manusiawi, Tuan Abdul Jalil tetaplah suami ananda dan ayahanda dari putera-puteranya. Tetapi, secara ruhaniah dia adalah mutlak milik-Nya. Sebab itu, jika ananda melihat ke dalam relung-relung jiwa suami ananda maka yang akan ananda dapati adalah Kehampaan. Kosong. Kepenuhan. Pepat. Yang ada hanyala Yang Tunggal dan Tak Terbandingkan. Tidak ada yang lain lagi.�

�Apakah tidak ada sedikit ruang yang tersisa bagi kami, istri dan anak-anaknya?�

�Dia Mahasuci. Maha Pencemburu. Tidak mau disekutukan. Tidak mau diduakan. Jika di dalam relung-relung jiwa orang-orang seperti suami ananda masih terdapat ruang untuk yang lain, maka yang lain itu akan dihapus dan dihancurkan tanpa sisa.�

�Lalu bagaimana dengan nasib kami, o Tuan?� tanya Shafa minta penegasan dengan air mata bercucuran.

�Ananda janganlah berpikir dangkal sebagaimana pemikiran orang kebanyakan pada umumnya, yang selalu bertanya begini: Bagaimana nasibku dan nasib anak-anakku? Apa yang diberikan Tuhan untukku? Apa yang diberikan suamiku untuk aku? Bagaimana hak-hakku sebagai istri dan bagaimana pula hak anak-anakku sebagai anak? Sungguh, aku katakan kepada ananda bahwa sebagai istri seorang penempuh jalan ruhani, hendaknya ananda berpikir yang sebaliknya dari pandangan umum orang kebanyakan. Ananda harus berpikir begini: bagaimana seharusnya saya mengabdi secara benar kepada Allah, Sang Pencipta! Bagaimana aku dapat melayani Allah dengan sebaik-baiknya. Sebesar apakah pengorbanan yang harus aku lakukan untuk berbakti kepada-Nya? Bukankah dengan melayani dan mengabdi kepada kekasih Allah, sejatinya aku sudah melayani dan mengabdi kepada-Nya? Bukankah semua yang ada di dalam dan di luar diriku pada hakikatnya adalah milik-Nya? Pantaskah aku menentang Dia Yang mengambil milik-Nya?�

Read More ->>

SYAIKH SITI JENAR

Syaikh Siti Jenar

       Setelah memasuki tahun kelima dari perjalanannya di pedalaman Nusa Jawa, sampailah Abdul Jalil di dukuh Lemah Abang yang terletak di kaki utara gunung Mahendra (Lawu) di lembah selatan Bengawan Sori. Di dukuh yang dibukanya barang enam tahun silam itu ia disambut dengan penuh sukacita oleh murid-murid yang sangat merindukannya. Namun, ia memutuskan tidak tinggal di Lemah Abang. Ia tinggal dan mengajar di Siti Jenar, yang terletak di utara Bengawan Sori. Hari-hari pun diliputi oleh semarak para murid yang dengan setia mengerumuninya. Berbeda dengan tampilan keseharian sewaktu ia menggunakan nama masyhur Syaikh Jabarantas, di dukuh Siti Jenar itu ia melepaskan khirqah sufi dan tidak memperkenalkan diri dengan nama Syaikh Jabarantas. Pelepasan khirqah sufi itu terkait dengan peringatan-peringatan yang disampaikan istrinya menyangkut sikap para wiku yang sangat berlebihan menghormatinya, seolah-olah mereka adalah sekumpulan umat yang menunggu sabda nabi panutannya. Para wiku selalu mengiyakan apa saja yang disampaikan Abdul Jalil tanpa ada yang bertanya apalagi membantah.

Bertolak dari peringatan-peringatan istrinya itu, Abdul Jalil tiba-tiba disadarkan oleh cakrawala pemahaman baru yang tersingkap di balik latar sikap para wiku yang terkesan sangat berlebihan itu. Rupanya, semua hal yang terkait dengan penghormatan berlebihan yang dialamatkan kepadanya itu berhubungan dengan khirqah sufi yang dikenakannya dan nama Syaikh Jabarantas yang disandangnya. Tanpa ia sadari sebelumnya, khirqah sufi yang seperti pakaian compang-camping, telah menumbuhkan kesan mendalam di relung-relung ingatan para wiku tentang sosok pertapa suci dari zaman purwakala yang berpakaian compang-camping. Sosok pertapa suci yang terlihat hina, tetapi sangat dihormati manusia dan disegani dewa-dewa. Dialah Bhagawan Dhruwasa (pertapa yang berpakaian compang-camping). Seperti menguatkan kembali sisa-sisa keyakinan umum tentang penitisan, para wiku diam-diam menganggap Syaikh Jabarantas sebagai titisan Bhagawan Dhruwasa, manusia setengah dewa berpakaian compang-camping yang disucikan manusia dn dimuliakan dewa-dewa.

Sadar anggapan keliru para wiku itu bakal mendatangkan masalah yang tidak kalah pelik dibanding nama masyhur Syaikh Lemah Abang di Caruban, Abdul Jalil pun buru-buru melepas khirqah ketika akan memasuki dukuh Siti Jenar. Itu sebabnya, tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai guru suci termasyhur bernama Syaikh Jabarantas. Kepada para murid yang semula mengenalnya dengran nama Syaikh Lemah Abang, ia meminta untuk tidak menggunakan nama itu lagi. Para murid dan penduduk desa-desa sekitar menyebutnya dengan nama baru sesuai dukuh tempatnya mengajar, yaitu Syaikh Siti Jenar (Jawa Kuno: guru suci dari dukuh Siti Jenar).

Dengan nama baru itu, Abdul Jalil menduga dirinya tidak bakal dikenal oleh banyak orang karena dukuh Siti Jenar berada di tengah hutan dan jauh dari keramaian. Namun, dugaan itu meleset. Sebab, tidak berbeda dengan kebiasaannya selama itu, di dukuh Siti Jenar yang terpencil itu ia tidak pernah berhenti mengajarkan Sasyahidan, belajar mati, menaklukkan setan, dan menjadi adimanusia kepada siapa saja tanpa memandang derajat dan pangkat, sehingga keberadaannya sebagai guru manusia yang ditandai citra berbagai keberlebih-kelimpahan dalam waktu singkat telah menjadi buah bibir penduduk sekitar. Buah bibir itu makin panjang sambung-menyambung ketika orang mengenal bahwa dia, guru suci, yang disebut orang dengan nama Syaikh Siti Jenar, tidak lain dan tidak bukan adalah Syaikh Jabarantas yang juga disebut orang sebagai Syaikh Lemah Abang. Bahkan, sebagian pengikut menyebutnya dengan nama hormat Susuhunan Binang atau Syaikh Sitibrit, yang maknanya sama: guru suci dari Lemah Abang. Lalu, terjadilah sesuatu di luar dugaannya. Bagaikan kawanan anai-anai melihat cahaya pelita, atau kawanan lalat membaui bangkai, atau seperti iring-iringan semut menyerbu gula, penduduk dari berbagai desa di seputar lereng gunung Mahendra dan tlatah timur Pajang berdatangan ke dukuh Siti Jenar untuk beroleh berkah keselamatan dan limpahan kekeramatan.

Seperti pepatah sepanjang-panjang tali masih panjang mulut orang, begitulah kabar kemunculan Syaikh Jabarantas yang menggunakan nama baru Syaikh Siti Jenar bersambung dari satu mulut ke mulut yang lain. Di dukuh Siti Jenar, beribu-ribu orang datang untuk meminta berkah keselamatan dan limpahan kekeramatan kepada seorang guru manusia yang waskita. Para pemuka penduduk dari berbagai tempat berdatangan untuk berguru dan mengambil berkah darinya. Mereka yang datang itu selain kawula alit, juga bangsawan, pemuka penduduk, ruhaniwan, cerdik cendikiawan, dan para brahmin pencari Kebenaran. Orang pun menyaksikan bagaimana manusia-manusia berdarah biru yang unggul dan termasyhur seperti Pangeran Danaraja, Kyayi Ageng Bhuwana Gumelar, Ki Bhisana, Kyayi Ageng Jumantana, Ki Wanabaya, Tumenggung Karanganom, Ki Pringgabhaya, Ki Buyut Sukadana, Ki Buyut Masahar, Ki Buyut Kedawung, dan Ki Gatak berkerumun mengitari kakinya untuk mengambil baiat jalan Keselamatan sebagai murid-murid terkasih. Tanpa kenal pagi, siang, sore, dan malam, orang-orang kebanyakan dari berbagai penjuru negeri datang berdesak-desak dan berkerumun-kerumun berusaha mendekatinya. Sebagian di antara mereka ada yang menyalami dan mencium tangannya. Sebagian ada yang merangkul mencium lututnya. Sebagian yang lain lagi mengusap dan mencium kakinya. Bahkan, tidak kurang di antara orang-orang yang berdesak-desak itu mengambil tanah bekas telapak kakinya yang dianggap mengandung berkah.

Perubahan demi perubahan yang terkait dengan semakin masyhurnya nama Syaikh Siti Jenar sedikit pun tidak disadari Abdul Jalil. Saat kemasyhuran telah mendorongnya ke puncak kemuliaan yang berlebihan dan mendudukkannya sebagai manusia yang diberhalakan, ia belum juga sadar. Ketidaksadaran Abdul Jalil akan keadaan itu sesungguhnya sangat wajar dalam kehidupan ruhani seorang manusia yang sudah melampaui derajat maqam ruhani yang tinggi. Sejatinya jiwanya sudah tergolong jiwa orang-orang yang sibuk tetapi bebas dari kesibukan (al-masyghul al-farigh). Maknanya, jiwa orang seperti Abdul Jalil telah masuk ke dalam golongan jiwa orang-orang yang sibuk membagi keberlebih-kelimpahannya, tetapi hatinya terbebas dari pamrih dan hanya diliputi oleh kehadiran Allah. Allah. Allah. Tanpa sedikit pun berkesempatan untuk berpaling kepada selain-Nya. Itu sebabnya, ia baru sadar jika dirinya diberhalakan manusia ketika istrinya menegurnya dengan keras karena selama berhari-hari ia membiarkan para pengikutnya memperlakukannya secara tidak semestinya.

Sadar apa yang selama ini dihindarinya, diberhalakan oleh sesama manusia, terulang tanpa disadari, Abdul Jalil buru-buru mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan dukuh Siti Jenar, meski ia tahu istrinya sedang hamil tua. Sebelum pergi, ia menyampaikan khotbah Tauhid kepada para murid dan orang-orang yang mengaku pengikutnya.

�Sebelum aku pergi meninggalkan kalian, sangat baik jika aku tinggalkan wasiat kepada kalian, yang dengan wasiat itu kalian tidak akan tersesat dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. Ya, dengan wasiat itu kalian akan selalu berada di Jalan Kebenaran sampai ke hadirat-Nya. Sebab itu, jangan sekali-kali kalian melepaskan wasiat yang aku tinggalkan itu. Pegang erat wasiat itu sebagai pusaka!�

�Pertama-tama, inilah wasiatku, setiap orang harus sadar jika segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini adalah nisbi. Tidak ada yang bersifat mutlak. Lantaran itu, masing-masing orang harus hidup madya (tengah-tengah), ora ngoyo (tidak berlebihan), dan ora ngongso (tidak melampaui batas). Prinsip ini hendaknya kalian jadikan pusaka dalam segala hal yang menyangkut kehidupan kalian, baik yang duniawiah maupun ukhrawiah dan Ilahiah. Dalam kehidupan duniawiah, kalian bisa memaknai prinsip ini dengan kehidupa dunia yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga membuat orang tertimbun benda-benda kekayaannya. Kalian juga boleh memaknainya sebagai pengekangan terhadap nafsu perut dan nafsu syahwat yang sesuai dengan nilai-nilai kepantasan manusia. Kalian juga boleh memaknainya sebagai pengekangan terhadap ambisi kekuasaan yang membahayakan. Pendek kata, maknailah prinsip madya itu sesuai kemampuan akal budi dan hati nurani kalian masing-masing dengan ukuran keseimbangan dan penghormatan atas Kehidupan.�

�Di dalam kehidupan ruhaniah pun berlaku prinsip madya. Lantaran itu, aku melarang murid-murid dan pengikutku untuk bertapa di gua-gua dan di hutan-hutan, kurang makan, kurang tidur, tidak kawin, tidak bergaul dengan manusia, tenggelam dalam lautan ruhani. Sebab, hak-hak ruhani harus dipenuhi secara pantas. Hak-hak jasmani pun hendaknya tidak diabaikan. Bayarlah hak ruhani dan jasmani secara seimbang. Bukan aku menganggap tidak baik perilaku orang-orang yang meninggalkan keduniawian dengan menjadi pertapa. Semua manusia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya. Tetapi, bagi pengikut Syaikh Siti Jenar, hal seperti itu tidak dibenarkan. Hiduplah dengan prinsip tengah-tengah (wasathan), yaitu madya. Madya. Madya. Seribu kali madya.�

�Di dalam pengetahuan tentang Yang Ilahi pun prinsip madya itu hendaknya tetap kalian pusakakan. Sebab, ada di antara umat Islam yang memiliki pandangan berlebihan dalam memaknai Yang Ilahi. Mereka memandang bahwa Allah adalah Zat Yang Mahasuci, Mahasempurna, Mahabaik, Mahakasih. Lantaran itu, dari Allah selalu memancar Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, dan Kasih. Mereka menganggap mustahil dari Allah bisa memancar ketidakbaikan, ketidaksempurnaan, ketidaksucian, dan kemurkaan. Pandangan semacam itu sah bagi pengikut paham itu. Pandangan itu benar bagi yang meyakininya.�

�Tetapi, dengarlah, o murid-murid dan pengikutku, bahwa aku, Syaikh Siti Jenar, tidak pernah mengajarkan keyakinan yang berlebihan dan melampaui batas seperti itu. Ajaranku tetap bertolak dari prinsip-prinsip madya, wasathan, tengah-tengah. Sebab, jika orang seorang menganggap bahwa Allah adalah Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, Mahakasih dan dari-Nya tidak bisa memancar ketidakbaikan, ketidaksempurnaan, ketidaksucian, dan kemurkaan maka sejatinya orang tersebut telah terperangkap ke dalam jaring-jaring masalah rumit yang bakal membawanya ke jurang kemusyrikan. Mereka akan menganggap ketidakbaikan dan ketidaksempurnaan berasal dari Zat selain Allah, yaitu kuasa Kegelapan dan Kejahatan. Itu berarti, mereka menganggap ada dua Zat berbeda, yaitu Zat Allah dan Zat selain Allah. Kalau keyakina itu diikuti maka orang akan menolak keberadaan Asma Ilahi yang saling bertolak belakang (al-asma� al-mutaqabilah) yang berujung pada Asma Allah sebagai �keseluruhan yang bertentangan� (majmu� al-asma� al-mutaqabalah). Mereka akan menolak nama Ilahi Yang Maha Menyesatkaan (al-Mudhill), Yang Memberi Kesempitan (al-Qabidh), Yang Maha Menista (al-Mudzil), Yang Memberi Bahaya (adh-Dharr), Yang Membinasakan (al-Mumit). Mereka juga akan mengingkari bahwa dunia yang tidak sempurna ini berasal dari Allah. Atau mengingkari bahwa iblis, setan, makhluk-makhluk kegelapan, dan manusia-manusia terkutuk tidak berasal dari Allah. Padahal, sesuai prinsip inna li Allahi wa inna ilaihi raji�un: segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.�

�Dengan memegang teguh prinsip hidup madya ini, sangatlah tidak masuk akal jika kalian sebagai murid-murid dan pengikutku memperlakukan aku secara berlebihan. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan kalian menciumi kakiku, merangkuk lututku, mengusap jubahku, mengelus terompahku, bahkan mengambil tanah bekas telapak kakiku. Itu berlebihan. Itu melampaui batas. Itu thaghut. Itu pemberhalaan yang justru aku tentang selama ini. Sebab, Nabi Muhammad Saw., manusia agung yang menjadi panutanku, selalu menolak diperlakukan secara berlebihan. Dia selalu menampakkan kehambaan dan kerendahatian. Dia selalu berada di tengah-tengah (wasathan). Lantaran itu, mulai saat ini, aku katakan bahwa mereka yang memperlakukan aku atau siapa pun di antara manusia secara berlebihan dan bahkan memberhalakan, maka bukanlah dia itu dari antara pengikutku, apalagi murid ruhaniku.�

Setelah memberikan petunjuk secukupnya kepada para sesepuh di antara murid-muridnya, Abdul Jalil bersama istri meninggalkan dukuh Siti Jenar. Kali ini karena sang istri sedang hamil tua, ia berusaha menghindari desa-desa yang memungkinkan ia singgah dan beroleh penghormatan berlebih yang mengakibatkan istrinya terabaikan. Ia memilih melewati jalan setapak berliku di hutan atau lembah yang tak banyak dilewati manusia. Namun, sepanjang perjalanan yang diliputi kesunyian itu, ia justru merasakan kerinduan yang kuat untuk berbagi keberlebih-kelimpahannya kepada manusia. Ia merasa berat untuk menggenggam tangannya erat-erat dan tidak memberi. Ia merasakan jiwanya seperti mata air berbual-bual yang airnya tidak dapat mengalir karena tertahan tumpukan batu-batu berbalut lumpur kotor.

Ketika jiwanya yang ingin memberi sedang menggemuruh laksana kawah gunung berapi, tiba-tiba Abdul Jalil melihat sesosok manusia muncul dari balik pepohonan dan berdiri tegak di depannya. Wajah manusia itu sangat rupawan dengan memancarkan cahaya berpendar-pendar. Lalu tanpa mengucap salam, dengan suara semerdu kicauan burung, manusia rupawan itu berkata, �Wahai engkau yang telah membagi-bagi keberlebih-kelimpahanmu, hendaknya mulai engkau sadari bahwa segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini, sebagaimana pandanganmu, tidaklah abadi. Sebab itu, janganlah engkau menganggap bahwa keberlebih-kelimpahanmu bakal terus langgeng mencitrai dirimu. Ibarat sumur berkelimpahan air yang ditimba oleh banyak orang, suatu saat ia akan kering juga. Bukankah sudah sering engkau saksikan keberadaan sumur-sumur mati tak berair? Lantaran itu, bersiagalah engkau untuk menghadapi akhir-akhir dari masa keberlebih-kelimpahanmu. Engkau harus bersiaga. Siaga. Siaga. Seribu kali siaga.�

Abdul Jalil termangu-mangu menatap manusia rupawan itu. Setelah diam sejenak, ia kemudian berkata, �Jika Allah, Zat Yang Mahakuasa dan Maha Berkehendak mencabut keberlebih-kelimpahan yang dianugerahkan-Nya kepadaku, maka hal itu bukanlah sesuatu yang patut kurisaukan. Sebab telah jelas bagiku: segala sesuatu berasal dari-Nya dan bakal kembali kepada-Nya.�

Manusia rupawan itu tertawa. Lalu, dengan suara sebening tetesan air di malam hari ia berkata, �Sesungguhnya, di tengah kemasyhuran namamu yang mengarah pada pemberhalaan diri itu, engkau sudah menempati kedudukan ruhani orang-orang yang terkucil sendirian (fard), yaitu orang yang mengejawantahkan citra nama Ilahi: Yang Mahasendiri (al-Fard). Dengan demikian, engkau tidak akan bisa lagi membagi-bagi sekehendakmu keberlebih-kelimpahanmu kepada yang lain, kecuali sebatas yang dibutuhkan musafir-musafir yang kehausan. Keberlebih-kelimpahanmu akan menggenang menjadi telaga sunyi rahasia yang hanya diketahui oleh-Nya dan mereka yang dikehendaki-Nya.�

�Jika memang demikian, aku akan membagi-bagikan sisa keberlebih-kelimpahanku sebatas yang aku bisa,� kata Abdul Jalil membalikkan badan, pergi menemui istrinya. Namun, manusia rupawan itu mengejar dan menarik jubahna dari belakang sambil berkata, �Tunggu! Tunggu! Jangan tinggalkan aku! Aku adalah bayanganmu.�

Dengan kesadaran orang-orang yang mencapai derajat kesendirian, Abdul Jalil bersama istri melanjutkan perjalanan. Tanpa kenal malam yang membentangkan selimut hitam dan jalan berliku yang dihiasi batu-batu tajam, ia berjalan tertatih-tatih ke arah barat sambil menuntun istri yang semakin tua usia kandungannya. Setelah berjalan hampir tiga hari, sampailah ia di kediaman Ki Buyut Butuh yang terletak di perbatasan Kerajaan Pajang dan Pengging. Di kediaman Ki Buyut Butuh itulah, saat menjelang subuh, istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Lantaran saat kelahiran puteranya itu Abdul Jalil berada pada kedudukan orang yang sendiri (fard), maka sebagai penanda kedudukannya itu ia menamai puteranya: Fardun.

Sekalipun sudah sadar akan keberadaan diri sebagai orang yang sendiri (fard) serta sudah berbilang keadaan (hal), kedudukan (maqam), dan derajat ruhani (martabat) ia lampaui dengan tingkat-tingkat ketersingkapan kesadaran (kasyf) yang tak terhitung, dalam banyak hal, terutama yang terkait dengan keberadaan diri sendiri, Abdul Jalil sering heran ketika dihadapkan pada masalah rahasia di balik kehendak (iradah) dan kekuasaan (qudrah) )Allah atas dirinya. Sewaktu ia menyadari keberadaan dirinya sebagai orang yang sendiri, orang yang mengejawantahkan citra al-Fard, Yang Mahasendiri, ia justru tidak tahu haris bersikap bagaimana: apakah ia tetap menjadi orang sibuk yang tidak terikat kesibukan (al-masyghul al-farigh), dengan akibat tak terduga bisa disembah orang sebagai manusia berhala, ataukah ia membagi-bagi sisa keberlebih-kelimpahannya lalu mengasingkan diri dari keramaian hidup manusia sebagai telaga sunyi rahasia milik-Nya.

Di tengah keheranannya sebagai orang yang sendiri dan di tengah ketidaktahuan akan apa yang harus dilakukannya itu, tanpa diduga-duga Ki Buyut Butuh datang menghadap dan meminta untuk membaiatnya sebagai murid ruhaninya. Sebagai seorang guru manusia yang selalu melayani dan berbagi, ia tentu tidak bisa menolak permohonan Ki Buyut Butuh. Namun, seiring menyebarnya kabar berbaiatnya Ki Buyut Butuh, datanglah kerabat dan kawan-kawannya sesama buyut yang memohon agar mereka dibaiat sebagai murid ruhani Syaikh Siti Jenar. Di antara para buyut yang mengikuti jejak Ki Buyut Butuh adalah buyut Ngerang, Banyubiru, Tingkir, Banyudana, Susukan, Susuruh, Wanasegara, Pabelan, dan Banyumanik. Tidak berbeda dengan saat tinggal di dukuh Siti Jenar, di Kabuyutan Butuh pun kehadiran Syaikh Siti Jenar ditandai dengan kerumunan-kerumunan manusia yang mencari limpahan berkah dan keselamatan.

Kerajaan Pengging, yang dijadikan persinggahan Abdul Jalil dalam perjalanan berbagi keberlebih-kelimpahan, adalah daerah subur makmur, gemah ripah lohjinawi, yang membentang sejak lembah selatan dan tenggara gunung Candrageni hingga wilayah timur gunung Candramukha, terus ke utara hingga perbatasan Kadipaten Samarang. Meski Pengging hanya negara kecil sempalan Majapahit yang lebih sempit wilayahnya dibanding Pajang, Mataram, dan Pasir Luhur, di bawah kepemimpinan Prabu Adi Andayaningrat, kemakmuran Pengging tidak kalah dibanding ketiga kerajaan tersebut. Bahkan, dalam hal keamanan boleh dikata Pengging sangat kuat dan mantap kecuali wilayah perbatasan Mataram � Pajang � Pasir � Pengging yang seperti tanpa penguasa.

Sebagai sebuah kerajaan, Pengging baru muncul pada paro terakhir abad ke-15 ketika keagungan Majapahit mengalami kemerosotan. Prabu Adi Andayaningrat sendiri, penguasa pertama Pengging, bukan seorang yang memiliki galur kebangsawanan dari maharaja Majapahit. Ia anak Ki Bajul Sanghara, kepala wisaya Semanggi, suatu daerah kabuyutan yang terletak di pinggiran kutaraja Pajang. Meski hanya berkedudukan sebagai kepala wisaya, di tengah kemerosotan Majapahit, Ki Bajul Sanghara sangat berkuasa di wilayah Pajang karena keluarga-keluarga Bajul yang tersebar di sepanjang Bengawan Semanggi hingga Bengawan Sori tunduk di bawah perintahnya. Ki Bajul Sanghara di daerah kekuasaannya ibarat seorang raja kecil yang disegani dan ditakuti oleh kawan maupun lawan.

Ibunda yang melahirkan Prabu Andayaningrat adalah puteri Raden Juru, ksatria Majapahit, adik kandung Patih Mahodara. Sejak kematian istrinya Raden Juru bersama puteri tunggalnya mengasingkan diri sebagai pertapa di kaki gunung Argapura. Ayah beranak itu ingin meninggalkan kehidupan duniawi. Namun, di tengah gemuruh ambisi Patih Mahodara menggalang kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan di Majapahit, kemenakannya itu dinikahkan dengan Ki Bajul Sanghara. Sebuah pernikahan politik yang lazim dilakukan untuk beroleh dukungan dari penguasa Bengawan Semanggi. Pernikahan itu membuahkan hasil seorang anak yang diberi nama Jaka Sanghara. Namun, karena sejak kecil anak itu dilatih olah keprajuritan dan olah kanuragan oleh guru-guru unggul yang sakti mandraguna di Desa Bobodo, yang terletak di kutaraja Pajang, maka ia dikenal pula dengan nama Jaka Bobodo (pemuda dari Bobodo).

Ketika usianya sudah cukup dewasa, Jaka Sanghara pergi ke gunung Argapura untuk berguru kepada kakeknya, Raden Juru, yang mengajarinya ilmu pemerintahan. Setelah dianggap cukup, ia pergi ke kutaraja dan bergabung dengan keluarga ibundanya yang cukup kuat di kutaraja Majapahit. Atas jasa Patih Mahodara, saudara tua kakeknya, ia menjadi salah seorang perwira andalan kerajaan tua yang mulai merosot itu. Selama menjadi perwira Majapahit, ia beberapa kali diikutsertakan dalam tugas menumpas pemberontakan di ujung timur Jawa dan Bali. Dengan dukungan tetunggul-tetunggul keluarga Bajul, Jaka Sanghara berhasil menjalankan tugasnya menumpas kekuatan para pemberontak. Atas jasa-jasanya itu, ia mendapat berbagai anugerah pangkat dan jabatan tinggi, bahkan akhirnya ia diangkat menjadi menantu oleh Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit. Ia dinikahkan dengan puteri bernama Ratu Adhi. Setelah menjadi menantu maharaja, ia dirajakan di Pengging didampingi permaisuri Ratu Adhi yang memberinya dua orang putera: Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga.

Sekalipun Andayaningrat dikenal sebagai raja yang cakap dan memiliki kekuatan militer cukup besar, ia bukanlah seorang yang teguh pendirian. Itu yang menyebabkan ia sering dijadikan ajang tarik menarik di antara pihak-pihak yang bersengketa memperebutkan kuasa dan wibawa di Majapahit. Satu saat ia ditarik oleh kelompok-kelompok kepentingan dari trah Prabu Kertawijaya yang sebagian besar adalah para penguasa pesisir beragama Islam. Di saat yang lain, ia ditarik oleh kelompok-kelompok kepentingan dari Patih Mahodara yang sebagian besar adalah penguasa-penguasa di pedalaman yang bukan muslim. Akibat seringnya ditarik oleh kekuatan-kekuatan yang saling berselisih memperebutkan kuasa dan wibawa, Adi Adayaningrat sering mengorbankan nyawa perwira-perwira dan prajurit-prajurit Pengging untuk membela kepentingan pihak-pihak yang berperang. Sementara, letak Pengging yang merupakan perlintasan antara daerah pedalaman dan pesisir utara telah pula menempatkan wilayah itu sebagai daerah yang strategis, tetapi sekaligus rawan konflik. Wilayah Pengging sangat rentan terhadap pecahnya perselisihan antara penguasa muslim di pesisir dan penguasa bukan muslim di pedalaman.

Sejak berembusnya angin perubahan di pesisir utara Nusa Jawa yang melahirkan tatanan baru masyarakat ummah, yang dengan cepat diikuti oleh penduduk dari kalangan kebanyakan, terjadi kegemparan di kalangan pendeta-pendeta fanatik Syiwa-Buda dan bangsawan-bangsawan Pengging, karena mereka melihat bahaya besar sedang mengintai di balik perubahan yang digagas Syaikh Lemah Abang itu. Secara bahu membahu mereka berusaha menangkis pengaruh perubahan itu dengan membangun �benteng pertahanan�, jalinan kekuatan antara pendeta penguasa ksetra, dukuh, padepokan, dan asrama-asrama dengan pendeta-pendeta kraton dan bangsawan-bangsawan darah biru, untuk menahan arus masuknya pengaruh agama Islam yang sangat deras menerobos ke lapisan terbawah penduduk pedalaman. Namun, di tengah usaha bahu membahu para pendeta fanatik dan bangsawan-bangsawan Pengging itu, terjadi sesuatu yang mencengangkan semua orang: tanpa disangka-sangka dan tanpa diduga-duga, tersiar kabar di keempat penjuru negeri bahwa sejumlah kepala wisaya yang masih terhitung kerabat raja tiba-tiba memeluk agama Islam di bawah bimbingan Syaikh Siti Jenar, seorang guru suci yang membawa ajaran pembaharuan Syiwa-Buda yang disebut Islam.

Seperti sedang menyaksikan pemandangan menakjubkan, para pendeta fanatik dan bangsawan-bangsawan Pengging itu saling pandang, seolah mereka tidak percaya dengan kabar yang didengarnya. Bagaimana mungkin �benteng pertahanan� yang mereka bangun jalin-menjalin di sepanjang perbatasan utara Pengging untuk menahan serbuan pengaruh Islam, tiba-tiba ditembus dari arah selatan? Keadaan itu membuat mereka kebingungan, terutama saat mereka menyadari bahwa orang-orang yang memeluk Islam di tlatah Pengging bukan dari kalangan penduduk kebanyakan, melainkan dari kalangan atas, termasuk kerabat raja, yakni para kepala wisaya yang selama ini dipatuhi dan dijadikan panutan masyarakat seperti raja-raja kecil. Bahkan, mereka menjadi tercengang ketika mengetahui jika Syaikh Siti Jenar sesungguhnya adalah Syaikh Lemah Abang, orang yang menyebarkan gagasan masyarakat umat di pesisir utara.

Ketercengangan para pendeta, terutama pendeta-pendeta kraton, wajar karena mereka sadar bahwa kemunculan tak terduga seorang guru suci bernama Syaikh Siti Jenar, yang belakangan menjadi buah bibir di pedalaman dan bahkan menjadi guru panutan para buyut di Pengging, tidak saja akan mengubah tatanan Kehidupan penduduk di Pengging, melainkan akan mengancam pula kedudukan mereka. Sementara, para bangsawan Pengging pun tidak kurang merasakan ancaman yang berat karena mereka sadar ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar sangat membahayakan kedudukan mereka. Lantaran itu, disatukan oleh kepentingan yang sama, mereka berusaha keras menolak kehadiran Syaikh Siti Jenar di wilayah Pengging. Mula-mula mereka berusaha mempengaruhi raja agar menggunakan kekuasaannya untuk mengusir Syaikh Siti Jenar dari wilayah Pengging. Namun, raja Pengging tidak percaya begitu saja dengan alasan-alasan mereka, terutama setelah mendapat laporan dari nayaka kepercayaannya bahwa guru suci yang dikenal dengan nama Syaikh Siti Jenar itu sebenarnya bernama Syaikh Abdul Jalil, berasal dari dukuh Lemah Abang di Caruban. Raja Pengging tahu pasti siapa guru suci yang belakangan termasyhur dengan nama Syaikh Siti Jenar itu. Lantaran itu, ia justru membuat keputusan yang mengecewakan para pendeta fanatik dan bangsawan-bangsawan yang ketakutan.

�Jika guru suci yang disebut Syaikh Siti Jenar itu adalah Abdul Jalil, orang asal Lemah Abang Caruban, maka dia tidak lain dan tidak bukan adalah kerabatku sendiri. Karena ayahandanya, Ki Danusela, adalah saudara tua istriku. Biarlah dia tinggal di Pengging dan menyebarkan ajarannya di tlatah ini.�

Kecewa karena tidak berhasil mempengaruhi raja, para pendeta dan bangsawan yang bersekutu itu berusaha menghadang kehadiran Abdul Jalil melalui putera mahkota Pengging, Pangeran Kebo Kanigara. Pangeran muda yang dikenal angkuh dan pemarah itu dengan gampang terhasut. Dengan sedikit memuji-muji kehebatan ilmu kesaktian dan kedigdayaan Syaikh Siti Jenar, mereka berhasil membakar api kebesaran diri putera mahkota. Tanpa berpamitan kepada ayahandanya, Pangeran Kebo Kanigara dengan diiringi sepuluh orang pendeta kraton mengajak adiknya, Kebo Kenanga, untuk mencegat Abdul Jalil yang sedang berjalan bersama istri dan anaknya menuju kutaraja Pengging.

Di depan gerbang selatan kutaraja Pengging, Pangeran Kebo Kanigara mendapati Abdul Jalil sedang menggendong puteranya yang berusia kurang dari dua bulan dengan diikuti sang istri. Tanpa basa-basi, dengan dada dikobari kepongahan ia menghadang dan langsung menantang Abdul Jalil untuk mengadu kesaktian.

Abdul Jalil yang tanggap cepat mengetahui jika pangeran muda di depannya itu adalah orang yang angkuh dan pemarah. Ia tidak mau meladeni tantangannya. Sebaliknya dengan suara lembut ia berkata, �Jika ada orang yang menyampaikan berita kepada Pangeran Kebo Kanigara bahwa kami, Syaikh Siti Jenar, adalah orang yang memiliki kesaktian dan kedigdayaan luar biasa, maka itu adalah bohong. Itu fitnah. Perlu Pangeran ketahui, selama kami hidup di dunia, belum pernah kami berkelahi dengan orang seorang. Kami juga tidak memiliki ilmu kanuragan, apalagi kasantikan jayakawijayan. Lantaran itu, kalau Pangeran mau, dengan hanya menjentikkan telunjuk ke tubuh kami, dapat dipastikan tubuh kami akan terpental dan hangus terbakar.�

�Tetapi, nama Tuan Syaikh sangat termasyhur sebagai orang yang tak terkalahkan. Lalu apa yang menjadi kebiasaan Tuan Syaikh sampai para buyut di tlatah Pengging beramai-ramai menjadi pengikut Tuan Syaikh?�

�Terlalu sombong jika dikatakan tak terkalahkan. Soal buyut-buyut yang menjadi pengikut kami, itu lebih terletak pada penghargaan mereka terhadap kelebihan akal pikiran dan pengetahuan ruhani yang dilimpahkan Allah kepada kami,� kata Abdul Jalil merendah.

�Bagaimana kalau kita mengadu keunggulan akal pikiran dan pengetahuan ruhani kita?� tantang Pangeran Kebo Kanigara.

�Pangeran tidak bakal menang melawan kami,� kata Abdul Jalil memancing amarah sang pangeran.

�Tuan Syaikh meremehkan aku,� tukas Pangeran Kebo Kanigara dengan suara ditekan tinggi, �Apa yang membuat Tuan Syaikh yakin bisa mengalahkan aku?�

�Usia kami jauh lebih tua dari Pangeran. Pengalaman hidup kami pun lebih banyak dibanding Pangeran. Tempat-tempat di dunia yang pernah kami datangi lebih banyak daripada Pangeran. Bahkan, dalam hal menyelam di dunia ruhani pun kami merasa lebih dalam.�

�Tapi itu bukan ukuran untuk menduga kemampuan orang seorang. Itu bukan ukuran untuk menilai Pangeran Kebo Kanigara sebagai katak di dalam tempurung,� kata Pangeran Kebo Kanigara berapi-api.

�Tidak perlu menilai berlebihan tentang ucapan kami itu, o Pangeran.�

�Untuk membuktikan itu, kita harus mengadu akal pikiran dan pengetahuan ruhani. Harus. Harus.�

�Apa yang akan Pangeran pertaruhkan dalam adu akal pikiran dan pengetahuan ruhani ini?�

�Apa pun yang Tuan Syaikh inginkan akan aku pertaruhkain: emas, permata, uang, tanah, atau apa? Sebaliknya, apa yang akan Tuan Syaikh pertaruhkan?� tantang Pangeran Kebo Kanigara jumawa.

�Taruhan kami adalah jiwa dan raga kami. Maksudnya, jika kami kalah, kami akan menjadi hamba Pangeran. Hidup dan mati kami akan kami pasrahkan kepada Pangeran sebagai budak, karena kami adalah hamba dan pangeran adalah tuan kami.�

�Lalu taruhan apa yang akan Tuan Syaikh minta dari aku?�

�Mahkota.�

�Mahkota?� sergah Pangeran Kebo Kanigara terkejut, �Apakah Tuan Syaikh ingin menjadi raja?�

�Sama sekali keliru penilaian Pangeran. Kami sedikit pun tidak ingin menjadi raja. Kami hanya menginginkan Pangeran tidak menjadi raja kelak. Sebab, seorang raja yang angkuh dan pemarah akan membahayakan negeri dan kawulanya. Sebaliknya, kami ingin Pangeran kelak menjadi seorang ruhaniwan. Sebab, dengan menempa ruhani, Pangeran akan beroleh keselamatan di dunia dan di akhirat serta negeri pun akan sentosa,� kata Abdul Jalil sambil memandang ke arah Pangeran Kebo Kenanga yang termangu-mangu heran melihat keangkuhan kakaknya.

�Baik, jika itu keinginan Tuan Syaikh. Mulai sekarang ini aku tetapkan bahwa andaikata nanti aku kalah dalam mengadu akal pikiran dan pengetahuan ruhani dengan Tuan Syaikh Siti Jenar, maka mahkota Pengging kelak akan jatuh ke tangan adik kandungku, Pangeran Kebo Kenanga,� kata Pangeran Kebo Kanigara sambil menepuk-nepuk bahu adiknya yang terheran-heran.

Abdul Jalil tertawa. Ia menyerahkan bayi Fardun kepada istrinya dan memintanya untuk menjauh. Setelah itu, ia menghampiri Pangeran Kebo Kanigara dan berkata, �Kami siap menjawab teka-teki yang akan Pangeran ajukan.�

Pangeran Kebo Kanigara terkejut karena Abdul Jalil ternyata seperti sudah mengetahui jika dalam adu kemampuan akal pikiran dan pengetahuan ruhani itu, ia akan mengajukan sebuah teka-teki. Dengan pikiran kacau dan keyakinan diri yang goyah, ia melontarkan juga teka-teki yang sudah disiapkannya.

�Tahukah Tuan Syaikh jawaban dari pertanyaan ini: apakah itu yang luhur melebihi gunung, luas melebihi samudera, terang laksana cahaya matahari siang hari, dan rata laksana padang rumput?�

�Pertanyaan Pangeran, menurut kami, jawabnya terkait dengan keberadaan seorang raja yang arif bijaksana,� kata Abdul Jalil menebak. �Pertama, luhur melebihi gunung adalah gambaran raja yang suka berderma membagi-bagikan harta kekayaan kepada siapa saja yang membutuhkan. Kedua, luas melebihi samudera adalah gambaran raja yang suka memberi ampunan kepada orang-orang yang bersalah dan meminta pengampunan. Ia juga menerima segala kritik dan kecaman, laksana lautan menerima air dari sungai-sungai. Ketiga, terang laksana cahaya matahari di siang hari adaah gambaran raja yang memiliki kesadaran tinggi sehingga dapat menjadi penerang pengetahuan bagi negerinya. Keempat, rata laksana padang rumput adalah gambaran raja adil bijaksana yang memberikan keamanan dan perlindungan kepada seluruh penghuni negeri dan menjadi limpahan keguna-manfaatan bagi siapa saja.�

�Benarlah apa yang Tuan jawabkan pada pertanyaanku,� kata Pangeran Kebo Kanigara dengan tubuh gemetar dan dada naik turun. �Sekarang ganti Tuan Syaikh yang harus memberi pertanyaan kepada aku.�

Abdul Jalil tersenyum dan berkata, �Pertanyaan yang akan kami ajukan sangat sederhana, tetapi tak gampang dijawab. Lantaran itu, kami memberi kesempatan kepada para pendeta yang mendampingi Pangeran untuk ikut serta menjawab pertanyaan kami nanti.�

�Tuan Syaikh meremehkan kemampuan kami?� tukas Pangeran Kebo Kanigara tersinggung.

�Sekali-kali tidak, Pangeran.�

�Baiklah, apa pertanyaan Tuan Syaikh untuk kami?�

�Ada beberapa cara yang saling berbeda dari kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini. Tolong jelaskan kepada kami, cara apa saja itu dan disebut apa proses kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini.�

Pangeran Kebo Kanigara tercekat kaget. Ia sungguh tidak menduga akan mendapat pertanyaan yang benar-benar belum pernah ia pelajari. Ia merasa sudah kalah sebelum berusaha memikirkan jawaban. Tanpa sadar, ia menoleh ke arah para pendeta yang mengawalnya. Ia berharap mereka dapat membantunya. Namun, para pendeta itu kelihatannya tidak memiliki jawaban pula. Akhirnya, setelah cukup lama terdiam, ia berkata, �Kami tidak bisa menjawab pertanyaan Tuan Syaikh. Kami mohon penjelasan.�

�Ketahuilah, o Pangeran, bahwa kemunculan makhluk hidup di dunia ini melalui tiga cara berbeda yang disebut wetu telu (keluar tiga). Pertama, adalah yang disebut manganak (melahirkan anak). Kedua, adalah yang disebut mangendog (melalui telur). Ketiga, adalah yang disebut masemi (tumbuh). Seluruh makhluk hidup yang memiliki daun telinga, umumnya muncul ke dunia melalui cara manganak. Sedang makhluk-makhluk yang tidak memiliki daun telinga umumnya muncul ke dunia melalui cara mangendog. Dan semua makhluk hidup yang muncul tidak melalui cara manganak dan mangendog, umumnya muncul ke dunia melalui cara masemi,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

�Baik, kami kalah satu. Tetapi kami belum menyerah,� kata Pangeran Kebo Kanigara. Lalu, dengan emosi meningkat tetapi keyakinan diri goyah, ia bertanya, �Tahukah Tuan Syaikh akan makna rahasia di balik kata Uninang, Unining, Uninong?�

Abdul Jalil tersenyum dan berkata, �Sungguh tinggi nilai pertanyaan Pangeran. Sebab jawaban dari pertanyaan itu tidak bisa diungkap dengan kata-kata. Tetapi hanya bisa dibuktikan dengan kenyataan.�

�Aku tidak paham dengan ucapan Tuan Syaikh.�

�Jika kata Uninang dimaknai dengan kata-kata maka jawabannya bisa bermacam-macam tergantung yang menafsirkan. Bisa saja Uninang dimaknai �suara nang-nang� yaitu bunyi kepala botak saat diketuk. Bisa juga Uninang dimaknai �suara inang� yaitu panggilan ibu. Bisa juga Uninang dimaknai �suara kanang� yaitu tangisan. Jadi ada seribu jawaban yang tidak pasti. Padahal, pertanyaan itu harus dijawab dengan satu Kebenaran.�

�Itulah yang aku harapkan, Tuan Syaikh. Satu jawaban!�

�Kami akan menjawab dengan satu Kebenaran. Tapi tidak dengan kata-kata dan bahasa manusia.�

�Bagaimana Tuan bisa menjelaskan kepada aku bahwa itu benar jika tanpa kata dan bahasa manusia?�

Abdul Jalil mendekati Pangeran Kebo Kenanga. Kemudian dengan memegang kedua bahunya, ia berkata, �Maukah Pangeran membantu aku memberi jawaban kepada kakakmu tanpa kata dan bahasa manusia?�

�Kami akan melakukan apa yang kami mampu lakukan, Tuan Syaikh,� kata Pangeran Kebo Kenanga.

�Pejamkan matamu, o Pangeran,� kata Abdul Jalil sambil menutupi telinga Pangeran Kebo Kenangan dengan kedua telapak tangannya.

Semua mata memandang ke arah Pangeran Kebo Kenanga. Semua menunggu apa yang akan terjadi padanya. Dan, semua terperangah seperti mimpi saat menyaksikan Pangeran Kebo Kenanga terhenyak dengan wajah tegang dan keringat dingin bercucuran. Namun sebelum mereka melakukan sesuatu, Pangeran Kebo Kenanga dengan mata tetap terpejam berteriak, �Aku mendengar suara genta berdentang-dentang memenuhi seluruh pendengaranku.�

Abdul Jalil menepuk bahu Pangeran Kebo Kenanga dan memintanya membuka mata. Pangeran Kebo Kenanga dengan sikap seperti meminta perlindungan merangkul erat-erat tubuh Abdul Jalil. Melihat adiknya ketakutan, Pangeran Kebo Kanigara menghardik, �Tuan Syaikh, apakah Tuan menggunakan sihir hingga membuat adikku ketakutan?�

�Pangeran tidak perlu berlebihan curiga. Sesungguhnya, adik Pangeran tadi mendengar suara Uninang, Unining, dan Uninong yang Pangeran tanyakan kepada kami. Di dalam istilah agama kami, itulah yang disebut jaras. Kami tidak bisa menjelaskan apa itu sebab memang tidak bisa dijelaskan. Tapi, sudah menjadi kehendak Hyang Tunggal jika adik Pangeran akan menjadi seorang muslim sejati karena ia telah beroleh risalah Ilahi.�

Pangeran Kebo Kanigara sangat marah dengan penjelasan Abdul Jalil. Ia berusaha menahan sambil terus menghujani Abdul Jalil dengan berbagai pertanyaan dan teka-teki berat, tetapi semuanya bisa dijawab dengan baik oleh Abdul Jalil. Sebaliknya, ketika hari menjelang sore dan pertanyaan-pertanyaan Abdul Jalil tidak ada satu pun yang bisa dijawabnya, maka meledaklah amarahnya. Dengan mata menyala dan dada naik turun, ia memandang para pendeta yang mendampinginya. Kemudian, dengan suara meledak bagai halilintar ia menghardik, �Kalian semua adalah pendeta-pendeta bodoh. Pemalas. Kerja kalian cuma menghasut dan memanas-manasi orang. Kalian jahat. Penuh dengki dan iri hati. Kalian sesungguhnya takut dengan kehadiran Tuan Syaikh Siti Jenar yang ternyata jauh lebih cerdas dan lebih bijaksana daripada kalian. Sungguh malu aku hari ini karena mengikuti hasutan orang-orang bodoh!� Dengan langkah lebar ia mendekati Abdul Jalil dan berkata, �Tuan Syaikh, aku mengakui kekalahanku. Ucapan Tuan Syaikh benar, aku terlalu angkuh dan pemarah. Sesuai petunjuk Tuan Syaikh, aku akan menjadi ruhaniwan. Tetapi, aku tidak akan berguru kepada pendeta-pendeta bodoh seperti mereka. Adakah petuah yang bisa Tuan Syaikh berikan untuk aku?�

�Pangeran,� kata Abdul Jalil lembut, �Pangeran adalah ksatria sejati. Lantaran itu, jika Pangeran akan mendalami kehidupan ruhani, Pangeran pasti akan melebihi orang biasa. Dan perlu Pangeran ketahui, mendalami pengetahuan ruhani tidak harus melalui guru tertentu. Sebab, guru sejati ada di dalam kalbu. Carilah dia. Tanyalah segala sesuatu kepada kalbu Pangeran sendiri.�

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers