Rabu, 29 Maret 2017

TITAH SANG NAGA HITAM

Titah Sang Naga Hitam

Bagi kebanyakan penguasa di pesisir Nusa Jawa, Tranggana selalu dikesankan sebagai orang yang suka mengumbar kesenangan, sembrono, kurang cerdas, kasar, gampang naik darah, dan telengas. Namun, bagi yang cermat mengamati tindakan-tindakan yang dilakukannya selama ia menggantikan kedudukan ayahanda dan kakaknya sebagai sultan, sekalipun hanya berkedudukan sebagai penguasa keagamaan, mereka melihat kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, baik dalam hal mengorganisasi kekuatan-kekuatan pendukung, memecah belah kekuatan-kekuatan penentang, menggalang dukungan, bahkan menahan kesabaran untuk tidak bertindak di saat menguntungkan sampai benar-benar terbukti bahwa tindakannya itu dapat membawa kemenangan. Dengan kelebihan-kelebihannya itu, di tengah persaingan kuasa dan wibawa dengan saudara iparnya, Adipati Hunus, ia selalu berhati-hati dalam bertindak. Ia tidak ingin kelengahannya dimanfaatkan oleh pesaingnya. Lantaran itu, saat alim ulama pendukungnya berniat membunuh semua pengungsi asal Persia yang dituduh kaum bid�ah, ia justru melarangnya. Ia tidak ingin pesaingnya mengambil manfaat dengan menjadi pelindung bagi pengungsi-pengungsi malang itu. Bahkan, untuk menghadang langkah pesaingnya, ia memberikan wewenang kepada Susuhunan Udung, imam Masjid Agung Demak, salah seorang anggota Majelis Wali Songo yang menjadi penasihat ruhani keluarganya, untuk memberikan perlindungan kepada para pengungsi asal Persia. Penunjukan itu penting sebab yang mengangkat Susuhunan Udung sebagai imam masjid adalah Adipati Hunus.

Selain alasan tidak ingin memberi peluang kepada pesaingnya dalam hal pengungsi asal Persia, Tranggana tampaknya sadar bahwa ia tidak boleh membiarkan alim ulama asal Khanat Bukhara, Samarkand, Kerala, Ferghana, Afghan, dan Malaka yang mendukungnya memiliki kekuasaan lebih daripada alim ulama asal Persia dan Goa yang selama itu kurang berperan. Ia tidak ingin kelompok alim ulamanya memiliki pengaruh kuat melebihi kekuasaannya. Ia sengaja membentuk kelompok lain dari alim ulama yang berpaham Syi�ah dengan dukungan para alim asal Persia dan Goa. Dengan tindakan itu, ia akan beroleh dukungan dari tiga kelompok alim ulama, yaitu Majelis Wali Songo, alim ulama Sunni dan alim ulama Syi�ah.

Dengan kebijakan berdiri di atas dukungan tiga pilar keagamaan itu, kekuatan yang ditata Tranggana terbukti jauh lebih kuat dibanding pesaingnya, Adipati Hunus. Sebab, di samping alim ulama Sunni dan Syi�ah yang setia mengabdi laksana kesetiaan dan pengabdian Karna kepada Duryudana, anggota-anggota Majelis Wali Songo yang tidak lain dan tidak bukan adalah kerabatnya telah menaikkan wibawanya di mata penduduk yang menganggap para anggota Wali Songo itu sebagai sahabat-sahabat Tuhan. Jika citra yang memancar selama masa awal kesultanan Demak didirikan adalah bias dari Suryya Majapahit, amak di saat Tranggana naik takhta citra itu bertambah gemilang dengan kenyataan yang menunjuk bahwa sultan Demak adalah kerabat Wali Songo.

Pangeran Dalem Timur, pengganti Susuhunan Giri Kedhaton, yang merupakan sahabat karibnya, sesungguhnya adalah saudara sepupunya karena ibundanya dan ibunda Pangeran Dalem Timur adalah kakak beradik, putera Raden Ali Rahmatullah Susuhunan Ampel. Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati adalah besannya. Raden Mahdum Ibrahim Susuhunan Bonang, Raden Ahmad Susuhunan Khatib Ampel Denta, dan Raden Qasim Susuhunan Drajat di Pamotan adalah saudara-saudara dari ibundanya. Raden Usman Haji Susuhunan Udung adalah besan dari pamannya, Raden Kusen, karena Jakfar Shadiq, puteranya, menikahi puteri Yang Dipertuan Terung yang bernama Nyi Mas Ratu Prada Binabar. Syaikh Dara Putih, yang menggantikan kedudukan Syaikh Jumad al-Kubra, adalah saudara lain ibu dari kakeknya. Bahkan Raden Sahid Susuhunan Kalijaga, yang diharapkan dapat membantunya, adalah kerabatnya juga karena Nyi Ageng Manila, neneknya, adalah adik dari Arya Teja, kakek Susuhunan Kalijaga.

Tindakan keras Tranggana terhadap para pengikut Syaikh Lemah Abang sendiri sesungguhnya dilatari oleh kekecewaan berlebih terhadap tindakan saudara tirinya, Pangeran Panggung, murid Syaikh Lemah Abang yang tegas-tegas memihak kepada saingannya, Adipati Hunus. Kekecewaan itu ditambah lagi oleh sikap keras kepala para pemuka dukuh Lemah Abang yang tidak mau diajak bersekutu untuk mendukungnya, meski mereka telah ditawari hadiah-hadiah dan jabatan-jabatan tinggi di kesultanan. Bahkan yang paling ditakutkannya, kebanyakan mereka yang menjadi murid Syaikh Lemah Abang adalah bangsawan-bangsawan Majapahit yang memiliki kemungkinan besar untuk merebut kekuasaan dari tangannya. Untuk yang terakhir ini, ia memang telah terpengaruh oleh pandangan-pandangan alim ulamanya tentang inti kekuatan kekuasaan Sultan Salim yang ditandai oleh pembunuhan terhadap saudara-saudaranya yang dicurigai dapat merebut takhta. Setiap sultan Turki, menurut alim ulamanya, adalah putera tunggal karena ia akan membunuh semua saudaranya yang mungkin dapat merebut kekuasaan darinya.

Berangkat dari hasratnya yang kuat untuk menandingi kekuasaan sultan Turki, diam-diam Tranggana sudah menyiapkan kekuatan-kekuatan pendukung bagi upayanya merebut kuasa dan wibawa sebagai raja jawa sebagaimana leluhurnya yang menjadi maharaja-maharaja Majapahit. Namun, berbeda dengan maharaja-maharaja Majapahit yang mengedepankan kekeluargaan dalam memperkuat takhta, ia justru ingin mengikuti jejak sultan-sultan Turki yang menjadi penguasa tunggal dengan memangkas mereka yang dianggap memiliki potensi merebut kekuasaan. Persaingannya dengan saudara iparnya, Adipati Hunus, adalah bukti tentang betapa pentingnya pandangan penguasa Turki itu diterapkan dalam kekuasaan yang bakal dipegangnya. Lantaran itu, ia harus menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan yang telah digalangnya, sampai Adipati Hunus yang sudah sakit-sakitan itu mati.

Selama menahan dengan kesabaran berlalunya sang waktu, Tranggana bukan berdiam diri tidak melakukan sesuatu. Ia justru melakukan hal-hal yang dinilainya dapat mempercepat kedatangan Sang Maut ke Japara untuk mencabut nyawa saingannya. Saat ia mendengar Adipati Hunus jatuh sakit, ia diam-diam memerintahkan alim ulamanya untuk menggempur Kadipaten Pati di bawah pimpinan Raden Darmakusuma. Terbunuhnya Adipati Kayu Bralit II, sahabat dekat Adipati Hunus, terbukti semakin memperparah sakit Yang Dipertuan Japara. Tak lama setelah itu, ia mengirim utusan ke Japara meminta perkenan Adipati Hunus menggunakan tenaga Khwaja Zainal Abidin untuk memperkuat kapal-kapal Demak yang akan dilengkapi dengan lapis besi dan meriam. Lalu, seiring kembalinya Khwaja Zainal ke Demak, tersiar kabar bahwa Yang Dipertuan Japara makin parah sakitnya dan beberapa kali tidak sadarkan diri.

Sementara, untuk mengambil simpati para pemuka dukuh Lemah Abang, Tranggana melalui Syarif Hidayatullah meminta agar Raden Sahid Syaikh Malaya yang tinggal di Kalijaga berkenan membantunya menyelesaikan masalah dengan para pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Meski Tranggana tidak mengetahui jika Syaikh Malaya adalah menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil, ia meyakini penjelasan Syarif Hidayatullah bahwa guru suci dari Kalijaga itu memiliki pengaruh kuat di kalangan pengikut tokoh yang membukan dukuh-dukuh Lemah Abang. Lantaran itu, saat Syaikh Malaya datang ke Demak, Tranggana menyambut sendiri kedatangannya sebagai orang suci dan menganugerahinya tanah perdikan di Kadilangu.

Tranggana tidak mengetahui jika selama itu guru suci yang dikenal dengan nama Syaikh Malaya yang tinggal di Kalijaga itu telah berkeliling di wilayah kekuasaannya dengan menyamar sebagai penjual rumput atau dalang wayang. Lantaran itu, ia sangat heran dan takjub dengan pengetahuan sang guru suci tentang keadaan di wilayah kekuasaannya, termasuk kebijakan-kebijakannya yang tidak disukai penduduk. Tranggana bahkan menganggap sang guru suci sebagai wwang linuwih kang weruh sadurunge winarah (manusia berkelebihan yang mengetahui sesuatu sebelum dibicarakan). Untuk mengikat tali kekeluargaan dengan guru suci yang menjadi buah bibir penduduk itu, Tranggana menikahi puteri sulungnya yang bernama Nyi Mas Ratu Mandapa.

Siasat Tranggana mengikat tali kekeluargaan dengan guru suci dari Kalijaga itu terbukti membawa hasil luar biasa. Pengikut-pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil yang selama itu sangat memusuhinya dapat diredam oleh mertuanya, Susuhunan Kalijaga. Banyak dukuh Lemah Abang yang sekalipun tidak mau tunduk kepada sultan Demak, menyatakan tunduk di bawah bimbingan Susuhunan Kalijaga. Hubungan baik dengan penguasa Pengging yang selama itu renggang menjadi rapat ketika Pangeran Kebo Kenanga, putera mahkota Pengging, menikah dengan puteri Susuhunan Kalijaga yang bungsu, Nyi Mas Ratu Cempaka. Ikatan kekeluargaan Demak dengan Pengging semakin rapat dari pernikahan tersebut, karena Ratu Adi Ibunda Pangeran Kebo Kenanga adalah saudara ayahanda Tranggana. Tranggana benar-benar mendapatkan manfaat besar dengan kehadiran Susuhunan Kalijaga yang menjadi mertuanya itu. Namun demikian, ia merasa kurang puas karena sang mertua selalu tidak berada di kediaman meski telah dibangunkan rumah yang besar dan megah di Kadilangu. Tranggana selalu melihat sang mertua seolah seekor burung yang lebih suka terbang bebas di angkasa, meski telah disediakan sangkar emas.

Sementara, selama menunggu dengan sabar datangnya waktu yang tepat untuk merebut kuasa dan wibawa warisan ayahandanya, rupanya Tranggana semakin tunduk dan tidak berdaya menghadapi titah dari ular hitam yang bersarang di dalam relung jiwanya. Hari-hari hidupnya dilewati dengan mematuhi semua titah sang ular hitam yang bergelung dengan kepala mendongak ke atas. Setelah tahun-tahun berlalu dan langkah demi langkah dilaluinya dengan mematuhi titah sang ular, sampai ia merasa telah semakin tinggi mendaki puncak gunung kekuasaan, sang ular hitam telah tumbuh meraksasa menjadi naga hitam mengerikan. Dengan mata menyala laksana bara api, sang naga hitam menggeram-geram di pedalaman jiwa Tranggana seolah ingin menyemburkan api dari mulutnya untuk membakar dunia.

Setelah bertahun-tahun menunggu dengan sabar, datanglah kabar menggembirakan yang sangat diharapkan Tranggana: Adipati Hunus Sinuhun Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun Sabrang mangkat setelah menderita sakit tak tersembuhkan. Tranggana tertawa terbahak-bahak dalam hati ketika semua orang meratapi kepergian pahlawan gagah berani tersebut. Namun, tawa gembiranya itu tidak berlangsung lama sebab kesabarannya masih harus diuji lagi. Hal itu ia sadari tidak lama setelah pemakaman Adipati Hunus, ia tidak sedikit pun mendengar selentingan kabar tentang adanya rencana para adipati pesisir untuk berkumpul menentukan pengganti almarhum. Itu berarti, ia masih dituntut untuk menahan sabar menunggu sikap para adipati. Sementara berdasar kasak-kusuk yang menebar, Tranggana mengetahui jika para adipati pesisir sesungguhnya tidak melihat sosok lain yang memenuhi syarat memimpin persekututan setelah kematian Adipati Hunus selain dirinya. Namun, mereka tidak ingin ia menjadi pemimpin karena ia adalah manusia berdarah dingin yang menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Para adipati pesisir memilih diam sambil menunggu tindakan apa yang bakal dilakukan Tranggana setelah kematian pesaingnya itu.

Mengetahui sikap menunggu para adipati pesisir itu, Tranggana tetap menahan sabar dan menunggu. Namun, sebagaimana yang dilakukannya selama ini, ia tidaklah diam dan menunggu dengan pasif. Ia diam-diam selalu mengambil tindakan-tindakan yang sangat hati-hati yang berujung pada penguatan citra dirinya sebagai sultan yang berkuasa atas Nusa Jawa. Lantaran itu, sepekan setelah pemakaman Adipati Hunus, ia memaklumkan putera sulungnya, Pangeran Sabakingking, sebagai adipati Japara menggantikan Adipati Hunus. Meski kekuasaan Pangeran Sabakingking hanya sebatas Kadipaten Japara, pengangkatan tersebut melambangkan betapa kekuasaan duniawi telah digenggam sebagian oleh Tranggana. Pangeran Sabakingking akan menjadi penopang baru bagi kekuasaan Tranggana yang sudah didukung penguasa Pati, Sumenep, Sengguruh, Pasir, Samarang, dan Caruban. Dalam waktu yang berurutan, Tranggana memaklumkan pula bahwa putera keduanya, Pangeran Ratu, akan menggantikan kedudukannya sebagai sayidin panatagama, yang ditandai dengan pengangkatannya sebagai penguasa pesanggrahan sultan di gunung Prawata yang terletak di tenggara kuta Demak.

Sepintas, pengangkatan Pangeran Sabakingking sebagai adipati Japara merupakan langkah yang tepat untuk memperkuat kekuasaan Tranggana dan sekaligus melambangkan kekuasaan adipati telah digenggamnya. Namun, di balik pengangkatan itu, Pangeran Ratu, ternyata memendam ketidakpuasan karena dia ditempatkan sebagai pemimpin keagamaan (sayidin panatagama), yang dia ketahui telah membuat ayahandanya sangat menderita. Dia merasa tidak puas karena siapa pun di lingkungan keluarga sultan mengetahui bahwa di antara putera-putera sultan, hanya Pangeran Ratulah yang paling cerdas dan memiliki bakat dalam mengatur pemerintahan. Tampaknya, ketidakpuasan putera kedua Tranggana itu telah memunculkan ular hitam lain dari kedalaman jiwanya, yang menggeliat dan mendongakkan kepala karena melihat bayangan dirinya yang akan menjelma dalam bentuk naga hitam raksasa.

Sepekan setelah pengukuhan Pangeran Sabakingking, Tranggana memaklumkan penggantian jabatan imam Masjid Agung Demak dari Raden Usman Haji Susuhunan Udung kepada puteranya, Jakfar Shadiq. Meski usia Susuhunan Udung belum terlalu tua dan putera yang menggantikannya masih terlalu muda, penggantian itu sangat menentukan citra diri Tranggana sebagai penguasa baru, karena semua orang mafhum bahwa yang mengangkat Susuhunan Udung sebagai imam Masjid Agung Demak adalah Adipati Hunus. Dengan penggantian imam Masjid Agung Demak tersebut, Tranggana semakin menunjukkan kuasa dan wibawanya sebagai sultan yang memiliki kekuasaan duniawi sekaligus keagamaan.

Dengan digantikannya kedudukan Susuhunan Udung sebagai imam Masjid Agung Demak, bukan berarti putera Khalifah Husein itu tidak memiliki jabatan lagi. Sebab, Susuhunan Udung yang telah menjadi penasihat ruhani keluarga sultan dan diserahi tugas melindungi para pengungsi Syi�ah asal Persia, diberi kepercayaan oleh Tranggana untuk menduduki jabatan baru sebagai senapati Suranata: panglima pasukan bertombak yang mengawal sultan. Dengan adanya jabatan baru yang disebut Senapati Suranata tersebut maka seluruh satuan bersenjata yang dipimpin alim ulama Demak telah disatukan oleh Tranggana di bawah komando sang senapati.

Pengangkatan Susuhunan Udung sebagai senapati Suranata mengherankan dan sekaligus mengkhawatirkan para adipati pesisir, terutama dari keluarga Orob. Semua tahu bahwa Susuhunan Udung adalah seorang guru suci yang memiliki pengetahuan mendalam di bidang keagamaan. Selama bertahun-tahun menjadi anggota Majelis Wali Songo dan menduduki jabatan imam Masjid Agung Demak serta penasihat ruhani keluarga sultan, tidak sedikit pun ia diketahui memiliki keunggulan di bidang kemiliteran. Anehnya, Tranggana justru mengangkat alim ulama yang saleh itu menjadi senapati.

Tranggana tampaknya mengetahui kekhawatiran para adipati pesisir yang menduga ia akan memanfaatkan keberadaan Susuhunan Udung sebagai ujung tombak dalam memperkuat kuasa dan wibawanya selaku sultan. Lantaran itu, ia tetap berusaha sabar menunggu dan tidak menampakkan hasratnya untuk menggerakkan kekuatan bersenjata yang dipercayakannya kepada Susuhunan Udung. Ia sudah merasa cukup memberi perlambang kepada para adipati pesisir bahwa jabatan adipati dan senapati sesungguhnya telah ia pegang dan ia serahkan kepada orang kepercayaannya. Untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai penguasa keagamaan yang juga memiliki kekuasaan duniawi, Tranggana dengan terbuka melakukan peningkatan mutu pasukan Suranata melalui penambahan jumlah prajurit berkuda, dan yang tak kalah penting adalah penanaman kefanatikan para prajurit bahwa mereka adalah tentara Allah (jundullah) yang memiliki tugas utama melindungi agama dan membersihkannya dari bid�ah.

Tranggana sendiri kelihatannya sangat bangga dengan pasukan Suranata yang sudah menunjukkan kesetiaan tinggi terhadapnya. Keberhasilan-keberhasilan pasukan bertombak itu dalam menjalankan tugasnya makin meningkatkan kecintaannya kepada pasukan tersebut. Kegagahan pasukan Suranata saat menumpas para penganut bid�ah di dukuh-dukuh Lemah Abang dan Randu Sanga adalah bukti tak tersanggah dari keperkasaan sebuah pasukan kaum beriman. Pasukan yang anggota-anggotanya terdiri atas petani, pedagang kecil, perajin, tukang, penyadap enau, dan kuli geladak itu telah menunjukkan kehebatan mereka ketika memporak-porandakan Kadipaten Pati yang mengakibatkan tewasnya Kayu Bralit II, sang adipati. Kini, pasukan itu sedang ditingkatkan ketrampilan dan perlengkapan tempurnya dan diharapkan setara dengan pasukan kadipaten lain. Seiring peningkatan mutu pasukan tersebut, Tranggana tampak sekali sudah tidak dapat menahan hasrat untuk menggunakan pasukannya. Ia merasa, betapa setelah bersabar menunggu sekian lama, sudah waktunya ia memamerkan kekuatan yang selama ini digalangnya. Ia ingin menunjukkan kepada para adipati pesisir yang sudah merendahkannya bahwa ia setiap waktu dapat menciptakan kebinasaan seperti di Kadipaten Pati. Ia ingin menunjukkan bahwa kalau mau ia akan dapat mengganti kedudukan siapa pun adipati yang tidak dikehendakinya.

Tranggana adalah Tranggana. Sekalipun ia memiliki kecenderungan untuk meledakkan kemarahan, ia selalu dapat berpikir jernih ketika akan mengambil keputusan akhir. Di tengah amarah dan keinginannya untuk pamer kekuaran senjata dan menghukum para adipati pesisir, ternyata ia masih dapat menahan diri untuk tidak buru-buru mewujudkannya dalam kenyataan. Ia sadar, menciptakan kebinasaan seperti di Kadipaten Pati akan memakan waktu lama dan jalan panjang yang berliku-liku, bahkan sangat mungkin bisa memunculkan serangan balik yang dilakukan bersama-sama oleh para adipati. Ia sadar, cara lain untuk menundukkan kepongahan adipati-adipati pesisir yang tegar tengkuk itu masih terbuka. Salah satunya: menaklukkan kekuasaan tua bangka yang sedang sekarat, Majapahit. Ya, para adipati pesisir yang hampir semua � kecuali keluarga Orob � mengaku keturunan Majapahit, tentu akan tunduk menyembah di bawah telapak kakiku, jika takhta Majapahit berada di dalam genggamanku, kata Tranggana dalam hati.

Selama menunggu, Tranggana memang telah berpikir tentang kurang kuatnya pilar kekuasaan Demak yang hanya didukung adipati-adipati pesisir yang beragama Islam. Adipati-adipati di pedalaman yang lazimnya masih menganut kepercayaan lama enggan masuk ke dalam persekutuan. Mereka masih merasa sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit. Bahkan, para adipati pesisir pun masih bangga mengaku-aku trah Majapahit. Tranggana mendapati kenyataan bahwa kuatnya Majapahit bertahan � terutama Patih Mahodara dan sekutunya � lebih dikarenakan penguasaan atas pusaka-pusaka kerajaan. Ya, pusaka-pusaka kerajaan sebagai bagian dari lambang kekuasaan seorang ratu masih kuat mencekam ingatan semua orang, sehingga mereka yang memegang pusaka-pusakalah yang bakal diakui keabsahan kuasa dan wibawanya. Bahkan Raden Kusen Adipati Terung, paman Tranggana yang menyimpan keris Naga Sasra peninggalan Prabu Kertawijaya, diyakini masyarakat sebagai pembawa sebagian kuasa dan wibawa Majapahit.

Sebagai seorang pangeran keturunan Majapahit, Tranggana mengetahui sejumlah nama pusaka yang dianggap sebagai penopang kuasa dan wibawa Majapahit. Dari ayahanda, paman, kerabat, dan para empu pembuat pusaka, ia mengetahui jika kuasa dan wibawa Majapahit di bawah Sri Surawiryawangsaja yang bertakhta di Daha ditopang oleh tiga pusaka utama, yaitu Sang Kalacakra, Sangkelat, Kyayi Carubwuk. Yang disebut Sang Kalacakra adalah pusaka yang dibuat dari emas berbentuk bulat pipih dihias rajah-rajah berkekuatan gaib mengikuti delapan penjuru mata angin. Pusaka Sang Kalacakra melambangkan penguasaan atas waktu dan diyakini dapat menolak segala marabahaya melalui sarana delapan kata rahasia yang dibaca terbalik-balik: Yamaraja � Yamarani � Yamidora � Yamidosa � Yasihama � Yasilapa � Yasiyaca � Yadayuda. Pusaka Sang Kalacakra inilah yang oleh kalangan penduduk muslim disebut dengan nama Kala Munyeng (putaran waktu). Sedang yang disebut Sangkelat adalah pusaka yang diyakini dapat mengeluarkan makhluk berkekuatan luar biasa yang selalu membantu pemilik pusaka. Sementara yang disebut Kyayi Carubwuk adalah pusaka yang dibuat dari lima jenis logam campuran dan dibalur dengan tujuh jenis racun yang tidak ada penangkalnya. Tiga pusaka itulah yang harus berada di dalam genggaman Tranggana agar ia dapat berkuasa atas seluruh Yawadwipamandala.

Gagasan Tranggana untuk menyerang Majapahit ternyata mendapat sambutan gegap gempita dari alim ulama pendukungnya, meski alasan masing-masing saling berbeda. Para alim yang sudah sering mendengar kisah kebesaran kerajaan kafir itu tidak dapat lagi menahan sabar untuk tidak membasmi segala bentuk kemusyrikan yang masih berlangsung di kerajaan tua itu. Mereka mendesak Tranggana untuk secepatnya mewujudkan gagasan tersebut dalam kenyataan. Mereka bahkan menyatakan dengan terbuka bahwa di antara sekian banyak kebijakan Tranggana selama menjadi sultan, hanya kebijakan menundukkan kerajaan kafir itu saja yang paling agung dan diridhai Allah. Dengan menunjukkan keunggulan, kegagahan, keberanian, dan kehebatan prajurit-prajurit Suranata, mereka meyakinkan Tranggana bahwa masalah penaklukan Majapahit sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit. Ibarat membalikkan telapak tangan, begitulah Majapahit yang terkucil di tengah penduduk yang sudah muslim itu akan mudah ditaklukkan.

Tranggana yang sudah diamuk nafsu berkuasa tentu tidak menampik usulan-usulan alim ulama pendukungnya. Ia telah memutuskan untuk mewujudkan hasratnya menaklukkan Majapahit. Ia sangat yakin bahwa menaklukkan kerajaan tua yang sudah terkucil di pedalaman memang bukan hal sulit. Ia tampaknya telah lupa pada peristiwa pahit yang terjadi barang sewindu silam, ketika pasukan Majapahit menyerang dengan gagah tak terlawan oleh pasukan Suranata dan bahkan meluluh-lantakkan kuta Juwana. Ia benar-benar sudah tersilap oleh ambisi, hasutan, dan bualan alim ulama pendukungnya yang dibutakan oleh kemenangan-kemenangan dan dalil-dalil agama yang mereka tafsir-tafsir sendiri.

Di tengah kesibukannya mempersiapkan gempuran ke Majapahit, Tranggana tiba-tiba didatangi Raden Sahid Susuhunan Kalijaga, mertuanya. Dengan pandangan seorang arif, Raden Sahid mengingatkan menantunya agar membatalkan serangan ke Majapahit. Selain mengingatkan tentang kehancuran Juwana sewindu silam, Raden Sahid juga mengingatkan bahwa setangguh apa pun pasukan Suranata yang dibangga-banggakan itu, hendaknya tetap diingat bahwa mereka sebagian besar bukanlah prajurit-prajurit yang lahir dari keluarga prajurit. �Anggota-anggota pasukan Suranata hampir seluruhnya berasal dari kalangan petani, tukang, perajin, penyadap enau, kuli geladak. Jiwa mereka tentu tidak akan setangguh jiwa prajurit yang memang berdarah prajurit. Semangat juang mereka pun digantungkan semata-mata pada jimat-jimat, rajah, haekal, wafak, dan tosan aji. Sementara, para alim asal negeri atas angin yang memimpin mereka juga bukan orang-orang tangguh yang memiliki nyali dan ketabahan di medan laga. Mereka adalah para pecundang yang lari menghindari kenyataan pahit di negerinya. �Seibarat ayam jago kampung, dilatih setangguh apa pun jika tidak memiliki trah ayam aduan pastilah sang ayam kampung akan kalah jika berlaga melawan ayam aduan,� kata Raden Sahid.

�Ananda akan pusakakan petunjuk Ramanda Susuhunan,� kata Tranggana takzim.

�Di samping itu, penunjukan saudaraku Susuhunan Udung sebagai senapati sungguh sangat rawan karena hal itu bersangkut-paut dengan citra Majelis Wali Songo, apalagi sekarang malah diperintahkan menyerang Majapahit. Aku sangat yakin akan cepat berkembang pandangan penduduk bahwa Majelis Wali Songo sudah berubah menjadi lembaga keagamaan yang dibayar dan tunduk di bawah perintah sultan Demak. Hal itu tidak saja akan berpengaruh pada keberadaan Majelis Wali Songo, melainkan akan mempengaruhi kedudukan ananda sendiri. Jika selama ini semua tunduk dan patuh pada Majelis Wali Songo maka saat lembaga itu jatuh di bawah kaki sultan, semua orang akan merendahkannya dan sekaligus berani menentang sultan. Bukankah sikap para adipati pesisir selama ini sangat memuliakan Wali Songo tetapi kurang menghormati sultan? Dan di atas semua itu, hal penting yang hendaknya ananda pertimbangkan, betapa sesungguhnya pengaruh Patih Mahodara masih sangat kuat di pedalaman. Hendaknya ananda jangan meremehkan orang tua yang sudah puluhan tahun malang melintang mengendalikan kekuasaan Majapahit.�

Tranggana menerima baik saran dan nasihat dari Raden Sahid. Ia memutuskan untuk menunda penyerangan. Selama penundaan itu, ia memerintahkan untuk menempa lebih kuat lagi pasukan Suranata yang akan dikirimnya ke Majapahit, baik dalam ha kemampuan tempur maupun peralatan yang digunakan. Ia berharap, dengan menunjukkan keseriusannya membangun kekuatan militer, tidak saja para adipati pesisir akan secepatnya mengambil sikap untuk menentukan pilihan pemimpin persekutuan, tetapi juga untuk membuktikan kepada mertuanya bahwa pasukannya dapat setangguh pasukan Majapahit. Ia ingin menunjukkan bahwa pasukan Suranata yang dibanggakannya itu dapat menjadi �ayam aduan� yang tangguh dan tak gampang dikalahkan.

Ketika hari, pekan, bulan, dan tahun berlalu tanpa melihat adanya gelagat bahwa para adipati pesisir akan berkumpul untuk memilih sultan baru sebagai pemimpin persekutuan, kesabaran Tranggana pun akhirnya pupus. Setelah menunggu dalam kurun dua tahun lebih, Tranggana tidak dapat lagi menahan kesabaran. Naga hitam yang menguasai jiwanya menggeliat dan menyemburkan api dari mulutnya hingga membuat darah di seluruh jaringan tubuhnya mendidih. Sang naga hitam benar-benar sudah murka. Dengan raungan dahsyat yang mengguncang cakrawala jiwa, ia menitahkan Tranggana agar mematahkan leher makhluk-makhluk dekil yang tegar tengkuk supaya mereka semua menunduk di hadapan duli kuasanya. Ia menitahkan Tranggana untuk mematahkan punggung makhluk-makhluk pongah lurus punggung itu supaya mereka membongkok di depan takhtanya. Ia menitahkan Tranggana untuk mematahkan kedua lutut mereka supaya mereka berlutut di bawah kaki serojanya. Dan ia menitahkan Tranggana untuk menginjak kepala mereka supaya mereka bersujud di bawah telapak kakinya.

Tampaknya, titah sang naga hitam sudah menyilap kesadaran Tranggana. Kesabaran yang selama itu dijadikan tali kendali kuda-kuda nafsunya sudah terlepas dari genggamannya. Ia sudah melupakan segala saran dan nasihat yang pernah disampaikan Raden Sahid, mertua yang dihormatinya. Benaknya benar-benar penuh sesak dengan titah sang naga hitam. Relung-relung pemikirannya telah diliputi kelebatan bayangan-bayangan menakjubkan tentang keberhasilan menundukkan Majapahit, yang dilanjutkan dengan penghukuman terhadap adipati-adipati pesisir yang selama itu sangat merendahkan dan menista dirinya.

Sementara, Raden Sahid yang dengan kearifannya telah menyaksikan bagaimana sesungguhnya Tranggana sudah meringkuk di bawah kuasa sang naga hitam, tidak lagi bersedia mengingatkan menantunya. Ia sadar, tidak ada gunanya lagi mengingatkan manusia yang sudah terjerat oleh jaring-jaring nafsu kekuasaan yang ditebar sang naga hitam. Di samping itu, ia secara tidak sengaja telah bertemu dengan para penghuni purwakala Nusa Jawa yang akan menghadiri undangan pesta darah yang menandai pergantian kekuasaan. Ia menyimpulkan bahwa pertumpahan darah tidak akan dapat dihindari lagi. Lantaran itu, di tengah hiruk kesibukan orang berkemas mempersiapkan penyerangan ke Majapahit, ia justru meninggalkan kediamannya. Ia pergi dengan rasa malu tak terperi karena sepanjang jalan ia menyaksikan alim ulama � wakil al-�Alim di muka bumi � menepuk dada dengan pongah dan menyatakan akan mengambil alih tugas Izrail mencabut nyawa manusia. Ia malu menyaksikan para alim yang menyeru manusia agar mengikuti agama Keselamatan, tetapi mereka justru menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang akan menjadi penyebar ketidakselamatan.

Kepergian Raden Sahid tak pelak lagi menyebabkan Tranggana semakin tanpa kendali. Dengan hanya berpedoman pada dalil-dalil agama dan bualan para alim yang memesona, ia benar-benar talah membulatkan tekad untuk menggempur Majapahit yang dianggapnya sebagai lambang kekuasaan kafir di pedalaman Nusa Jawa. Namun, berbeda dengan alasan sebelumnya, kali ini ia menggunakan dalih utama menyerbu kerajaan tua itu untuk meminta hak kepewarisannya atas takhta Majapahit sebagai peninggalan dari kakeknya, Prabu Kertawijaya. Tranggana menyatakan bahwa ia lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding Patih Mahodara yang dari keturunan bangsawan rendahan itu. Demikianlah, dengan keyakinan diri tak tergoyahkan bahwa pasukan yang dikirimnya bakal meraih kemenangan besar, Tranggana melepas pasukan Suranata dengan upacara kebesaran. Beribu-ribu penduduk memenuhi alun-alun dan kanan kiri jalan untuk mengucap selamat kepada pasukan kebanggaan sultan. Mereka mendecak kagum ketika melihat iring-iringan para pejuang gagah yang akan menggempur kerajaan kafir Majapahit.

Kekuatan pasukan Suranata yang dikirim sultan sekitar 5.000 orang ditambah bala bantuan dari Madura 2.000 orang, Udung (Kudus) 1.000 orang, Samarang 1.000 orang, Japara 1.000 orang. Alim ulama yang bergabung mendampingi Senapati Suranata adalah Susuhunan Rajeg, Syaikh Maulana Maghribi, Susuhunan Mantingan, Syaikh Abdullah Sambar Khan, Kyayi Ageng Germi, Kyayi Ageng Medini, Kyayi Ageng Penawangan, Kyayi Ageng Tajug, Kyayi Sun Ging, Kyayi Anom Martani, dan Raden Ketib Anom Maranggi. Sebagaimana Tranggana, seluruh pasukan sangat yakin mereka akan meraih kemenangan, karena hampir setiap anggota pasukan telah melengkapi diri dengan jimat, rajah, haekal, dan wafak. Keyakinan akan menang itu semakin menguat manakala mereka diberi tahu bahwa Senapati Suranata Susuhunan Udung melengkapi diri dengan jubah Antakusuma, pusaka pemberian Nabi Muhammad Saw. dari langit yang tidak dapat ditembus segala jenis senjata.

Keyakinan berlebihan Tranggana dan seluruh anggota pasukan yang akan menyerbu Majapahit sesungguhnya tidak lepas dari kepandaian para alim dalam meyakinkan kehebatan tentara Allah yang bertugas membasmi kebatilan dari muka bumi. Bualan-bualan, rajah, jimat, haekal, wafak, hizb, tosan aji, sampai dalil-dalil Al-Qur�an yang mereka berikan benar-benar telah membutakan semua orang terhadap kenyataan. Bukan hanya Tranggana, para prajurit paling rendah pun sangat yakin mereka akan secepat angin mematahkan kekuatan kaum kafir Majapahit dan kemudian memporak-porandakan sarang yang penuh disesaki kemusyrikan. Namun, beda keyakinan beda pula kenyataan. Ternyata segala bualan, jimat, rajah, haekal, wafak, hizb, tosan aji, dan dalil yang disampaikan para alim itu, ditambah semangat kefanatikan, latihan-latihan, perbaikan peralatan tempur, dan penambahan jumlah prajurit terbukti malah menimbulkan catatan sejarah yang sangat memalukan, tidak menghasilkan kemenangan sedikit pun ketika berhadap-hadapan sebagai musuh dengan pasukan kafir Majapahit.

Ketika iring-iringan pasukan Demak turun dari jung-jung dengan sorak sorai menggiriskan berusaha menerobos masuk ke kuta Tuban, mereka dihadang oleh sekitar 3.000 pasukan Majapahit yang dipimpin dua patih, Patih Daha bernama Permada dan Patih Japan bernama Wahan. Dalam sebuah pertempuran singkat di barat kuta Tuban, pasukan Demak yang jumlahnya lebih banyak itu berantakan dan kocar-kacir dikejar-kejar pasukan kafir Majapahit. Para alim yang memekikkan takbir sambil berteriak-teriak membangkitkan semangat prajurit tidak dapat menahan kegentaran prajurit-prajurit yang lari tunggang langgang ketakutan, terutama saat segala benda-benda jimat yang mereka andalkan tidak terbukti keampuhannya. Pasukan Suranata yang terkenal ganas ketika melakukan penertiban agama dan selalu menang di medan tempur itu terbukti tidak berdaya saat menghadapi prajurit Majapahit. Peristiwa tragis di Juwana lebih sewindu silam terulang dengan menyakitkan di Tuban. Apa yang pernah diungkapkan Raden Sahid kepada Tranggana bahwa prajurit-prajurit Suranata tidak akan mampu menghadapi kekuatan pasukan Majapahit, telah terbukti menjadi kenyataan.

Read More ->>

SULUK MALANG SUNGSANG

Suluk Malang Sungsang

Di tengah ketercengangan dan keprihatinan Raden Sahid atas munculnya guru-guru batiniah dari kalangan orang kebanyakan yang menyampaikan ajaran Syaikh Lemah Abang secara sederhana, ia mendengar kabar mengejutkan yang tidak disangka-sangka. Saat ia berada di kediaman Ki Ageng Gabus di Wirasari, ia diberi tahu oleh murid Syaikh Datuk Abdul Jalil itu tentang kemunculan dukuh-dukuh baru bernama Lemah Abang tidak jauh dari dukuh-dukuh Lemah Abang yang dibukan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di dukuh-dukuh Lemah Abang yang baru muncul secara misterius seorang guru suci bernama Hasan Ali yang dikenal dengan nama Syaikh Lemah Abang. Laksana seorang pengembara berkaki seribu, guru suci itu berkeliling dari satu dukuh Lemah Abang baru ke dukuh Lemah Abang baru yang lain dengan kecepatan angin. Di setiap dukuh Lemah Abang baru, sang tokoh misterius mengajarkan �jalan kebenaran� kepada penduduk. �Karena ajaran-ajarannya sangat sederhana dan gampang diikuti penduduk dari kalangan kebanyakan maka dalam waktu singkat pengikutnya melimpah. Para penduduk dari kalangan petani, tukang, perajin, pedagang kecil, penambang, penyadap enau, dan kuli datang berduyun-duyun untuk membaiat diri menjadi murid Hasan Ali,� ujar Ki Ageng Gabus.

�Apakah Hasan Ali itu orangnya bertubuh pendek dan kulitnya hitam?� tanya Raden Sahid.

�Benar Raden,� sahut Ki Ageng Gabus, �Apakah Raden mengenal dia?�

�Aku mengenal nama Hasan Ali dari penuturan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Aku pernah sekali bertemu sendiri dengan dia di Giri Kedhaton,� sahut Raden Sahid.

�Tapi dia mengaku berasal dari Caruban, sama dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Sebab itu, penduduk yang belum pernah melihat Syaikh Datuk Abdul Jalil mengira Hasan Ali adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil dan karena itu mereka menyebutnya Syaikh Lemah Abang. Sebenarnya, aku dan kawan-kawan hendak meluruskan masalah itu agar tidak terjadi kekeliruan yang menyesatkan. Tetapi, aku segera ingat wejangan terakhir beliau tentang sang bayangan. Karena beliau menitahkan semua pengikut harus diam saat sang bayangan muncul maka kami semua akhirnya diam,� ujar Ki Ageng Gabus.

�Hasan Ali memang kelahiran Caruban. Dia semula bernama Raden Anggaraksa, putera Rsi Bungsu dan cucu Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan,� kata Raden Sahid menjelaskan. Saat memaparkan tentang Hasan Ali itulah tiba-tiba di benak Raden Sahid berkelebat bayangan putera Rsi Bungsu itu: Tubuh yang pendek dan kulit yang gelap. Kepala yang lonjong dibungkus destar putih yang selalu terlihat mendongak, pertanda keangkuhan bawaan darah biru. Alis mata yang tebal, tetapi bola mata yang tidak bisa tenang dan selalu bergerak-gerak dari satu sudut ke sudut yang lain. Hidung yang kecil dan kurang mancung dengan bagian bawahnya ditempeli kumis sekasar ijuk. Janggut yang ditumbuhi beberapa helai rambut menjuntai menutupi dagu. Bentuk bibir yang mencibir, seolah mengejek orang. Sungguh sebuah citra diri manusia takabur yang selalu ingin menempati kedudukan tertinggi.

Berbekal petunjuk Ki Ageng Gabus, Raden Sahid pergi ke dukuh Lemah Abang baru yang letaknya memang tidak jauh dari dukuh Lemah Abang yang dibangun Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di situ ia menyusup di antara pengikut-pengikut Syaikh Lemah Abang gadungan. Ia memahami betapa bagi kalangan orang kebanyakan, ajaran sederhana yang disampaikan Hasan Ali memang sangat mudah dipahami dan diamalkan. Sebab, sebagaimana ajaran guru-guru batiniah di Lemah Abang dan sekitarnya, ajaran Hasan Ali pun hanya berupa teknik pernapasan ditambah sederetan doa yang tidak perlu ditelaah maknanya. Doa-doa yang diajarkannya pun lazimnya berkait dengan ilmu kanuragan, ilmu pengobatan, ilmu sihir yang bercampur-aduk dengan ajaran batiniah. Murid-murid yang umumnya datang dari kalangan orang kebanyakan yang tidak memahami ilmu-ilmu Keislaman, rata-rata tidak bisa membedakan mana ilmu pengetahuan ruhani yang menuju jalan Kebenaran dan mana pengetahuan perdukunan yang menuju pemenuhan pamrih pribadi yang diliputi hasrat-hasrat nafsu rendah badani.

Dalam waktu singkat Raden Sahid sudah mengenali perbedaan mencolok antara ajaran mertuanya dan ajaran Hasan Ali dalam hal meniti jalan ruhani menuju Kebenaran Sejati (al-Haqq). Pertama-tama, ia sangat paham dan telah membuktikan Kebenaran ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil di dalam konteks Kebenaran Sejati. Syaikh Datuk Abdul Jalil tegas-tegas mengajarkan bahwa untuk mencapai Aku, yang wajib dinafikan dari keberadaan seorang salik adalah aku. Selama aku masih mengaku ada maka, Aku tidak akan mengakuinya. Sehingga, selamanya aku akan terhijab dari Aku. Sebaliknya, Hasan Ali mengajarkan bahwa untuk mencapai Aku maka yang wajib dikuatteguhkan adalah aku. Syaikh Datuk Abdul Jalil mengajarkan bahwa lamunan kosong (al-umniyyah) yang membentuk angan-angan kosong (al-wahm) harus dihindari oleh para salik karena akan membawa kepada kesesatan al-mumtani� yang terbit dari al-ghyar. Hasan Ali sebaliknya, dia justru mengajarkan tentang betapa pentingnya al-umniyyah dan al-wahm sebagai piranti untuk mencapai Kebenaran Sejati. �Tanpa menguatkan angan-angan khayalan menjadi Allah maka manusia tidak akan bisa menyatu dan menjadi Allah. Sebab itu, kuat dan teguhkan daya khayalmu bahwa engkau adalah Allah sendiri. Akumu adalah Aku Allah,� ujar Hasan Ali meyakinkan murid-muridnya.

Salah satu cara Hasan Ali untuk membuktikan kebenaran ajarannya, ia memberikan amalan-amalan doa yang salah satunya disebut Sindung Kraton, yaitu doa aneh yang jika dipaparkan maknanya kira-kira begini:

Eh ... eh ... eh. Akulah Sindung Liwang-liwung / Aku sudah ada di sini / Aku Ratu Agung / Ratu Kayaraya / Ratu Yang Berkuasa / Ratu Yang Didewakan / Ratu Sempurna Yang Tinggal di Pulau Kencana / Yang Merajai seluruh rasa / / Ruh-ku adalah ruh manusia / ruh api / ruh air / ruh angin / ruh bumi / ruh batu / ruh kayu / ruh besi / ruh nabi / ruh wali / ruh orang beriman / ruh malaikat / ruh jin / ruh setan / ruh banaspati / ruh ilu-ilu / ruh demit / ruh perayangan / ruh gandarwa / ruh makhluk sejagat / / datang hanyut datang terseret kepada seluruh ciptaan / jangan ada yang tertinggal / perkumpulan nabi wali orang beriman / terkumpul pada aku / Akulah Ratu Maulana yang bersemayam di dada manusia / Akulah Ratu Agung yang Merajai di dalam pagar batu kuasa / pintu-ku Ratu Kekayaan / tutup-ku Batu Agung / pintu rumah yang bisa menutup dan membuka sendiri / leh ... leh ... leh/

Ketika menerima amalan doa Sindung Kraton ini, Raden Sahid terkejut. Sepengetahuannya, amalan doa Sindung Kraton memuat gagasan-gagasan ajaran Majusi (Magi Zoroaster) terkait pemujaan Ormuzd. Bagaimana mungkin Hasan Ali bisa memperoleh doa-doa yang memiliki kaitan dengan ajaran Majusi? Dan yang tak kalah mengejutkan, Hasan Ali meyakinkan murid-muridnya bahwa doa Sindung Kraton tersebut selain dapat mengukuhkan keyakinan diri bahwa manusia sejatinya adalah jelmaan Yang Ilahi, yang ruh-nya menyebar ke segala ciptaan, juga dapat membuka pintu kuasa dan harta benda. Bahkan, kepada murid-murid yang dianggap sudah mendekati makrifat diajarkan doa-doa tambahan yang disebut Sindu Sepah, yang juga memuat gagasan doa bernuansa Majusi, yang kira-kira maknanya begini: Eh ... eh ... eh ... Aku Sindung Liwang-liwung / Aku sudah Ada di sini / lautan ramai / hutan kosong / ehek ... ehek ... yang ada aku sendiri //.

Semakin mengetahui ajaran yang disampaikan Hasan Ali, semakin sadarlah Raden Sahid jika makhluk dekil bernama Hasan Ali itu sangat tidak pantas menggunakan nama masyhur Syaikh Lemah Abang. Sebab, segala apa yang diajarkan Hasan Ali pada dasarnya jauh lebih berbahaya dan lebih gampang menyesatkan manusia dibanding yang diajarkan para guru batiniah di dukuh-dukuh Lemah Abang. Namun demikian, karena ia sudah diberitahu oleh mertuanya tentang akan munculnya bayangan hitam Syaikh Lemah Abang yang bakal menyesatkan umat, maka ia tidak berkata sesuatu pun tentang kepalsuan sosok Hasan Ali yang menggunakan nama Syaikh Lemah Abang itu. Ia merasa wajib untuk diam. Diam. Seribu kali diam, sebagaimana amanat terakhir sang mertua. Di tengah kemuakannya dengan sosok Hasan Ali, yang menuhankan diri itu, ia hanya menggumam dalam hati: memang, bayangan selalu lebih hitam dari wujud aslinya.

Belum hilang muaknya terhadap sosok Hasan Ali, Syaikh Lemah Abang gadungan, Raden Sahid mendapat kabar yang tak kalah mengejutkan saat berada di Pamotan menemui sahabat karibnya, Raden Qasim yang menjadi guru suci. Menurut Raden Qasim, di sejumlah dukuh di pedalaman telah muncul seorang guru suci bernama Syaikh Siti Jenar yang memiliki nama asli San Ali Anshar. Dia adalah guru ruhani Hasan Ali, San Ali Anshar mendirikan dukuh-dukuh Siti Jenar, Kajenar, dan Kamuning tidak jauh dari dukuh-dukuh yang pernah didirikan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di dukuh-dukuh itulah ia mengajarkan tarekat ganjil yang campur aduk dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir, dan ilmu kanuragan.

Mendengar nama San Ali Anshar, Raden Sahid merasa jantungnya berdegup-degup dan darahnya terpompa keras. Tak pelak lagi, San Ali Anshar yang dimaksud adalah Ali Anshar al-Isfahany, pengkhianat tengik yang menjadi penyebab kehancuran keluarga istrinya. Dan kini, makhluk rendah itu semakin menjadi-jadi kejahatannya dengan mengaku-aku sebagai Syaikh Siti Jenar. Tidak mungkin tidak, penganut ajaran Rawandi yang dibangsakan kepada Hakim bin Hasyim itu akan merusak nama Syaikh Datuk Abdul Jalil, katanya dalam hati.

Raden Qasim yang mengetahui bagaimana gejolak perasaan dan kecamuk pikiran sahabat karibnya itu membiarkan Raden Sahid menenangkan diri. Setelah suasana dirasa mereda, dia berkata, �Aku diam-diam sudah pergi ke dukuh Kajenar di Negeri Daha dengan menyamar sebagai pedagang kain. Aku berguru kepada San Ali Anshar yang dipuja seperti dewa oleh pengikut-pengikutnya. Dia mengajarkan macam-macam ilmu, terutama sejenis sihir yang disebut gendam, yaitu ilmu yang dapat mempengaruhi kesadaran orang seorang. Semua muridnya seperti tersihir kekuatan dahsyat sehingga selalu mematuhi semua titahnya.�

�Ilmu Gendam?� gumam Raden Sahid seolah mengingat-ingat, �Aku tiba-tiba teringat nama Gendam Smaradahana, penjahat yang telah mempermalukan Yang Dipertuan Terung.�

�Tepat sekali. Memang ada keterkaitan antara ilmu gendam yang diajarkan San Ali Anshar dan Gendam Smaradahana. Sebab, manusia bernama Gendam Smaradahana itu adalah murid San Ali Anshar. Dia sering membuat kisruh di berbagai tempat karena kegemarannya menggoda anak dan istri pejabat-pejabat kerajaan. Waktu aku di Daha, dia sedang dicari-cari oleh Adipati Panjer karena membawa lari selirnya.�

�Apakah Yang Dipertuan Terung sudah mengetahui kabar itu?�

�Sudah. Aku langsung menemuinya di Kraton Majahapit di Wirasabha. Sekarang ini pembunuh-pembunuh yang dikirim oleh murid ayahandaku itu sedang memburu Gendam Smaradahana,� papar Raden Qasim sambil menjelaskan bahwa semua ajaran yang disampaikan San Ali Anshar sangat bertolak belakang dengan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil. �Kalau Syaikh Datuk Abdul Jalil mengajarkan Sasyahidan kepada para murid yang menduduki maqam �ahli kasyaf� dan penemu (ahl al-kasyf wa al-wujud) agar dalam pendakian ruhani mencapai maqam Kesatuan Penyaksian (wahdat asy-syuhud), San Ali Anshar justru mengajarkan kepada murid-muridnya yang paling baru sekalipun tentang Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud). Dia sangat terbuka membabar Kesatuan Wujud. Selama membabar rahasia Kesatuan Wujud itu, jelas sekali dia hanya ingin memamerkan kehebatan nalarnya. Sebab, sewaktu aku melihat dengan pandangan mata batin ternyata dia itu hanya pintar berbicara dan beradu hujjah. Pengalaman ruhaninya sangat rendah dan dangkal diliputi pamrih-pamrih duniawi. Keganjilan-keganjilan perbuatan ajaib yang dipertontonkannya semata-mata dari ilmu sihir,� ujar Raden Qasim.

�Apakah dia mengajarkan tentang Tuhan yang menjelma dalam wujud manusia?� tanya Raden Sahid.

�Setahuku, ajarannya tidak jelas benar. Satu saat dia mengajarkan bahwa manusia adalah jelmaan Tuhan sehingga saat dicipta malaikat-malaikat disuruh bersujud. Setelah itu, dia mengajarkan bahwa sifat Ilahiyyah yang ada pada diri para utusan Tuhan (rasul) menitis dari satu rasul ke rasul yang lain. Lantaran San Ali Anshar mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw., maka ia menyatakan mewarisi sifat Ilahiyyah Nabi Muhammad Saw. tetapi yang aneh, dia mengajarkan pula keyakinan tentang avatar, yaitu titisan Wisynu. Ia mengaku sebagai titisan Wisynu wakil Tripurusa (Brahma-Wisynu-Syiwa) di dunia. Karena di Daha banyak pengikut Waishnawa, dan dia berkali-kali mempertunjukkan kehebatan ilmu sihirnya, maka dia diyakini pengikutnya sebagai titisan Wisynu. Sebab itu, dukuh Kajenar yang dijadikannya tempat membabar ilmu batiniah itu dinamai Wrendawana, yaitu kediaman Wisynu bersama para gopi pengikutnya.�

�Yang sangat membingungkan aku, dia mengajarkan dzikir berjamaah kepada pengikut-pengikutnya. Aku katakan bingung, sebab, pertama-tama, Syaikh Datuk Abdul Jalil tidak pernah mengajarkan awrad seperti itu. Kedua, dzikir berjama�ah itu dilakukan bersama-sama antara jama�ah laki-laki dan perempuan. Semua berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan banyak yang pingsan. Bahkan yang nyaris tidak aku mengerti, dzikir berjamaah itu dilakukan di makam Syaikh Syamsuddin ar-Rumi,� ujar Raden Qasim.

�Sungguh berbahaya tindakan guru-murid itu. Mereka bukan hanya merusak nama baik Syaikh Datuk Abdul Jalil, melainkan akan menyesatkan banyak manusia,� kata Raden Sahid.

�Lantaran itu, orang-orang Giri Kedhaton menyebut jalan ruhani (suluk) yang diajarkan Hasan Ali dan San Ali Anshar itu dengan nama ejekan: Suluk Malang Sungsang, ajaran perjalanan ruhani (tarekat) yang mengakibatkan sang salik makin terhijab dan terjungkir kiblatnya dari Kebenaran Sejati yang dituju,� kata Raden Qasim.

�Itu mewajibkan kita untuk mengambil tindakan pencegahan agar benih-benih Tauhid yang telah disebar Syaikh Datuk Abdul Jalil tidak terkotori oleh bid�ah-bid�ah yang disebar dua makhluk sesat itu, sebagaimana tanaman padi di sawah dirambati semak-semak,� kata Raden Sahid.

�Bukankah kita semua diperintahkan untuk diam oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil?�

�Maksudku, kita tidak perlu mengurusi San Ali Anshar dan Hasan Ali dalam hal ini. Kita hanya akan mengurusi pengikut-pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil yang tersisa dan sebagian besar malah menyembunyikan jati dirinya. Saat aku berkeliling ke sejumlah dukuh Lemah Abang, banyak orang yang tidak berhak mengajar telah lancang mengajar karena mengikuti nafsunya sehingga ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil menjadi kabur karena tercampurnya pengetahuan ruhani (tarekat) dengan ilmu perdukunan,� kata Raden Sahid.

�Caranya bagaimana?� tanya Raden Qasim.

�Kita harus menghubungi semua pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Mereka harus kita ingatkan bahwa melarikan diri dari kenyataan hidup adalah sesuatu yang paling dibenci Syaikh Datuk Abdul Jalil. Mereka harus mulai mengajarkan pengetahuan ruhani kepada yang berhak dan tidak hanya diperuntukkan bagi keluarganya sendiri. Saat mereka mengajar itulah, guru-guru batiniah yang mengaku pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil kita minta untuk belajar kepada mereka yang jelas-jelas memiliki kewenangan untuk mengajar. Jika ada yang menolak, kita maklumkan bahwa mereka itu bukan penerus ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil,� kata Raden Sahid.

�Berarti nanti akan ada penjenjangan untuk memilahkan siapa yang mengajar apa?�

�Itu sudah pasti.�

�Ukuran untuk menentukan jenjang apakah cukup dengan bashirah?�

�Tentu saja. Bukankah itu ukuran yang tidak bisa direkayasa?�

Read More ->>

BAYANGAN-BAYANGAN KUSAM

Bayangan  Bayangan Kusam

   Rentang waktu semenjak ditariknya alim ulama dan pasukan bertombaknya ke Demak adalah rentang waktu yang sarat dipenuhi ketegangan. Saat itu, ibarat menunggu badai susulan yang mengamuk, semua mata diarahkan ke sosok Tranggana dan menunggu-nunggu tindakan apa yang bakal dilakukannya bersama kaki tangannya. Tindakan-tindakan Tranggana menertibkan Kehidupan beragama yang berlanjut dengan pembunuhan terhadap para pemuka dukuh Lemah Abang telah menimbulkan berbagai reaksi yang umumnya mengarah pada lahirnya kebencian baik terhadap Tranggana, alim ulama, maupun agama Islam.

Di tengah ketegangan menunggu-nunggu itulah tersebar kabar burung yang makin lama makin berkembang meningkatkan ketegangan bahwa Tranggana sedang menyiapkan sebuah pembasmian terhadap siapa saja di antara manusia yang menjadi pengikut Syaikh Lemah Abang. Lalu, orang melihat sekumpulan demi sekumpulan orang bergerak meninggalkan dukuh Lemah Abang menuju berbagai penjuru negeri untuk menyelamatkan ajaran dan keyakinan mereka dari pemusnahan yang dilakukan penguasa. Mereka adalah penduduk dukuh Lemah Abang yang menangkap perlambang makna dari guru suci panutannya sebagai titah untuk meninggalkan dukuh dan membukan dukuh di tempat lain. Mereka yang meninggalkan dukuh Lemah Abang itu ada yang tinggal di negeri Palembang, Malaka, Pasai, Banjar, Lawe, Gowa, Butan, Haru, Hitu, Ternate, Tidore, dan Bima. Di sana mereka mendirikan dukuh-dukuh Lemah Abang, Tanah Merah, Batu Merah, Lemah Putih, Batu Putih, dan meneruskan ajaran-ajaran Syaikh Lemah Abang yang mereka yakini kebenarannya.

Sementara, di tengah hiruk kabar burung dan pengungsian penduduk dukuh Lemah Abang, tidak sedikit pun bukti menunjuk bahwa Tranggana telah menggerakkan alim ulama dan pasukannya untuk membumi hangus dukuh-dukuh Lemah Abang, meski orang-orang di Demak melihat persiapan-persiapan penyerangan sudah dilakukan. Rupanya, pada detik-detik akhir menjelang dilakukannya penyerangan, Syarif Hidayatullah datang menghadap Tranggana untuk melaporkan kematian puteranya, Pangeran Bratakelana. Saat itu pula Syarif Hidayatullah memberi saran agar penumpasan terhadap semua pengikut Syaikh Lemah Abang tidak dilakukan. Sebab, kalau yang dianggap bersalah adalah sang guru, hendaknya hukuman dijatuhkan kepada sang guru yang bersangkutan. Lalu, dengan mengambil ibarat membasmi tikus tidak perlu membakar rumah yang dijadikan sarang, tetapi cukup mengusir dan membunuh tikus-tikus, sadarlah Tranggana bahwa sebuah pembasmian tidak akan membawa hasil yang lebih baik kecuali dendam dan kebencian. Syarif Hidayatullah memberi tahu Tranggana bahwa di Caruban para pengikut Syaikh Lemah Abang dapat ditundukkan dan menjadi pengikut Syaikh Malaya Susuhunan di Kalijaga. �Jika pemuka-pemuka dukuh Lemah Abang mengetahui hal itu, tentu mereka akan beramai-ramai mengalihkan kiblat keyakinan mereka kepada saudara kami yang tinggal di Kalijaga,� ujar Syarif Hidayatullah.

Tranggana sangat yakin dengan kebenaran nasihat yang disampaikan Syarif Hidayatullah. Usai membincang nasib saudarinya, Nyi Mas Ratu Nyawa, yang sudah menjanda dan akan dinikahkan dengan putera Syarif Hidayatullah yang lain, Pangeran Muhammad Arifin, cucu Menak Lampor Adipati Tepasana, Tranggana meminta kepada Syarif Hidayatullah agar berkenan membujuk Syaikh Malaya Susuhunan Kalijaga untuk tinggal di Demak. �Kami sudah mendengar kemasyhurannya di Caruban. Kami pasti akan mengangkatnya sebagai imam masjid agung dan sekaligus guru ruhani bagi keluarga kami,� kata Tranggana berharap.

Kesanggupan Syarif Hidayatullah untuk mengusahakan agar Syaikh Malaya Susuhunan Kalijaga berkenan tinggal di Demak, meski waktunya tidak ditentukan, telah melegakan Tranggana. Ia memutuskan untuk menunda penyerangan terhadap dukuh-dukuh Lemah Abang sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun demikian, pasukan tombak yang sudah bersiaga untuk menyerang itu tidak bisa dihentikan begitu saja. Lalu, orang melihat iring-iringan pasukan tombak yang dipimpin para alim Demak itu bergerak ke wilayah Pati, menertibkan kehidupan beragama di sana yang diikuti tumpahnya darah dan bergelimpangannya mayat-mayat manusia yang dituduh murtad dan bid�ah. Bahkan, saat terdengar kabar Adipati Hunus jatuh sakit, pasukan tombak yang dipimpin alim ulama itu bergabung di bawah pimpinan Raden Darmakusuma, putera mendiang Adipati Pati Kayu Bralit. Adipati Pati Kayu Bralit II, adik Raden Darmakusuma, yang sejak penyerbuan ke Malaka tidak didukung lagi oleh pasukan dari Japara, tidak dapat menahan serangan pasukan tombak. Adipati Kayu Bralit II yang dengan gagah berani bersama sisa-sisa pasukannya melakukan perlawanan, gugur dalam pertempuran secara ksatria. Jenasah Adipati Kayu Bralit II dibuang ke tengah hutan supaya dimakan binatang buas, karena ia dianggap murtad.

Keberhasilan Raden Darmakusuma menghancurkan kekuatan adiknya ternyata tidak mematahkan pandangan penduduk yang tidak membenarkan lagi kepemimpinan berdasar pembunuhan. Saat Raden Darmakusuma dan para alim Demak beserta pasukannya merayakan kemenangan, penduduk kuta dan desa-desa di kadipaten Pati diam-diam menyingkir ke Wirasari, Sesela, Bulu, Balora, Tuban, Jipang, Rajegwesi, dan terutama di dukuh-dukuh Lemah Abang. Sebagaimana penduduk pedalaman Nusa Jawa yang lain, mereka memendam sikap antipati terhadap orang-orang berpakaian serba putih yang memaklumatkan diri sebagai alim ulama penegak kesucian agama Islam. Mereka menganggap semua ulama yang mengenakan jubah, surban, dan biji tasbih sebagai jelmaan Bhattara Yama, Sang Maut, dan para pengikut bertombaknya dianggap sebagai para Kingkara, prajurit-prajurit Yamani (Jawa Kuno: neraka).

Tindakan penduduk Pati menyingkir ke pedalaman diterima Tranggana sebagai sebuah bukti bahwa ajaran Syaikh Lemah Abang sudah begitu kuat diikuti penduduk. Sebab, sebelum gagasan masyarakat ummah yang disampaikan Syaikh Lemah Abang dijalankan di kadipaten-kadipaten pesisir, penduduk sebagai kumpulan manusia yang berkedudukan kawula (Jawa Kuno: budak) hanyalah penghuni wilayah yang paling pasif. Mereka tidak pernah peduli dengan urusan pemerintahan negerinya. Mereka tidak peduli bagaimana pemimpin-pemimpin mereka berebut kuasa dan wibawa. Bahkan, mereka tidak peduli siapa yang memimpin mereka dan bagaimana para pemimpin itu memperlakukan mereka. Mereka hanya sadar bahwa mereka adalah kawula. Budak. Tidak lebih dari itu. Bahkan untuk menandai kebudakan mereka, pribadi-pribadi manusia itu membentuk satuan-satuan terkecil anggota penduduk sebuah negeri dan menyebut keberadaannya dengan istilah kawulawarga (Jawa Kuno: kumpulan budak) yang seluruh hajat hidupnya dikuasai oleh kalangan penguasa yang menyebut diri golongan gusti (Jawa Kuno: tuan, yang berkuasa). Kini, setelah gagasan masyarakat ummah yang dikemukakan Syaikh Lemah Abang diterima sebagai tatanan baru kehidupan penduduk di pesisir Nusa Jawa, para anggota kawulawarga itu mendadak menjadi liar dan susah dikendalikan. Ibarat kawanan harimau keluar dari hutan, penduduk yang menyebut diri sebagai masyarakat ummah itu telah menjelma menjadi binatang liar yang buas dan berbahaya dan tidak gampang dijinakkan.

Sesaat setelah diberi tahu oleh Syarif Hidayatullah tentang perkembangan keadaan di Demak, Raden Sahid meninggalkan Kalijaga untuk mengunjungi dukuh-dukuh Lemah Abang. Ia ingin mengetahui apa sejatinya yang terjadi dengan dukuh-dukuh tersebut setelah kemelut panjang yang meliputi perebutan kuasa dan wibawa antara Yang Dipertuan Demak dengan Yang Dipertuan Japara.

Ketika sampai di Japara, ia menemui Ki Saridin, seorang murid Syaikh Siti Jenar yang menjadi kepala dukuh Lemah Abang di Japara. Sejak peristiwa terbunuhnya kawan-kawannya oleh satuan-satuan bersenjata, Ki Saridin didaulat menjadi guru suci wakil Syaikh Lemah Abang oleh para pengikut kepala dukuh yang terbunuh. Karena kedudukan barunya itu, Ki Saridin disebut orang dengan nama terhormat Syaikh Jangkung. Dia sangat dihormati penduduk karena merupakan salah seorang murid Syaikh Lemah Abang dari kalangan orang kebanyakan yang berhasil menjadi adimanusia. Lantaran keberhasilannya itulah Raden Sahid menempatkannya sebagai salah seorang murid Syaikh Lemah Abang terkemuka.

Menurut Ki Saridin sendiri, sejak kematian para pemuka dukuh Lemah Abang, yang disusul pengungsian sejumlah pemuka dukuh ke berbagai negeri, ditambah raibnya sang guru suci bagai ditelan bumi, terjadi perubahan besar di antara para pengikut Syaikh Lemah Abang yang tersisa. �Ibarat anak-anak ayam ditinggal induknya, para murid dan pengikut Kangjeng Syaikh terpecah menjadi tiga kelompok besar. Pertama-tama, kalangan alim ulama yang memimpin Tarekat Akmaliyyah, Haqqmaliyyah, Khaliqiyyah, Sattariyyah, Kubrawiyyah, dan Wahidiyyah memutuskan untuk menjadikan tarekat yang mereka pimpin sebagai ajaran rahasia yang khusus diajarkan kepada keluarga. Kedua, kalangan bangsawan juga memutuskan hal serupa, mengajarkan tarekat hanya kepada keluarga. Yang justru membingungkan adalah pengikut yang berasal dari kalangan orang kebanyakan, baik yang tinggal di dukuh-dukuh Lemah Abang maupun di desa-desa sekitarnya.�

�Kenapa dengan mereka?� Raden Sahid minta penjelasan.

�Mereka terpecah menjadi tiga kelompok yang saling bersaing. Kelompok pertama memilih pemimpin sendiri untuk melanjutkan ajaran tarekat yang diwariskan kangjeng syaikh. Kelompok kedua, dua tiga orang warga di sejumlah dukuh secara sepihak mengajarkan ajaran batiniah yang dinisbatkan kepada kangjeng syaikh dengan alasan mereka mendapat wangsit langsung dari Allah untuk meneruskan tugas sang guru, membimbing manusia menuju Kebenaran Sejati. Yang terakhir, beberapa orang warga desa di sekitar dukuh mengajarkan ajaran batiniah yang juga dinisbatkan kepada kangjeng syaikh dengan alasan ditemui sendiri oleh arwah Syaikh Lemah Abang. Mereka mengaku ditugasi kangjeng syaikh untuk meneruskan ajarannya. Sungguh, tiga kelompok orang ini sangat membahayakan ajaran kangjeng syaikh, karena setahu kami mereka itu kurang memahami ajaran kangjeng syaikh secara benar dan sangat sedikit memahami ilmu-ilmu Keislaman,� ujar Ki Saridin.

�Mereka menggunakan nama apa untuk tarekatnya?�

�Ada macam-macam nama yang mereka gunakan. Ada yang menyebut tarekatnya dengan nama Agama Jawa, Islam Sejati, Wahyu Utama, Murti Tunggal, Sapta Warah, Lelana Brata, dan banyak lagi yang lain.�

Raden Sahid termangu-mangu mendengar paparan Ki Saridin. Dengan bekal penjelasan singkat itu, ia mendatangi dukuh-dukuh Lemah Abang dan desa-desa sekitarnya baik dengan menyamar sebagai penjual rumput, dalang wayang, maupun Syaikh Malaya. Ketika ia berkeliling ke dukuh-dukuh dan desa-desa sekitar Lemah Abang, dan mengenali para guru batiniah tersebut melalui penglihatan mata batin dan pendengaran jiwa, ia mendapati kenyataan yang memprihatinkan sekaligus mengharukan. Dengan penglihatan mata batin, ia menyaksikan sebagian di antara guru batiniah itu berdiri tegak menepuk dada penuh kepongahan, memamerkan kehebatan dan kemegahan diri. �Lihatlah kami! Lihatlah anak-anak yang lahir dari pikiran dan mimpi-mimpi Syaikh Lemah Abang! Kami adalah anak-anak bangsa yang lahir dari kehinaan dan nistaan bangsa lain. Kami adalah anak-anak yang disusui dan disuapi Syaikh Lemah Abang dengan kesadaran dan keyakinan diri! Kami adalah anak-anak yang sudah memiliki keyakinan bahwa Tuhan adalah sesembahan segala bangsa dan bukan milik bangsa tertentu! Kami adalah penerus ajaran Bapak kami mulia, Syaikh Lemah Abang!�

Raden Sahid menarik napas panjang mendengar suara-suara itu. Dengan suara lembut penuh kasih, ia berkata, �Aku tahu siapa kalian sejatinya. Kalian adalah orang-orang yang sangat ceroboh di dalam mengajarkan pengetahuan ruhani. Seibarat satu ember air diambil dari sumber mata air yang jernih untuk dipindahkan ke dalam kendi-kendi dengan cara disiramkan, demikianlah kalian menumpahkan air yang jernih ke atas tanah dan hanya beberapa tetes saja yang masuk ke dalam kendi-kendi. Kalian telah berbuat zalim karena memberikan kalung mutiara kepada kawanan kera yang butuh pisang.�

�Wahai Syaikh Malaya! Janganlah engkau memandang kami dari kedudukanmu yang tinggi. Lihatlah kami sebagai kami! Kami adalah anak-anak bangsa yang diasuh, disusui, disuapi, dituntun, dan bahkan dicambuk oleh Syaikh Lemah Abang untuk memiliki keyakinan diri tinggi sebagai adimanusia. Kami dididik untuk yakin akan keberadaan diri. Kami dididik untuk berani tampil sebagai guru suci tanpa perlu membawa-bawa nama bangsa asing. Kami dididik untuk meyakini bahwa Allah adalah Tuhan semua bangsa dan bukan milik bangsa tertentu. Kami dididik agar yakin diri bahwa segala sesuatu adalah semata-mata kehendak Allah, sehingga kami tidak perlu berdusta mengatakan apa yang tidak kami punyai. Inilah kami!�

�Benarlah apa yang kalian katakan, o bayangan-bayangan kusam Syaikh Lemah Abang,� kata Raden Sahid penuh kasih, �Tetapi, hendaknya kalian sadar bahwa sebagian besar di antaramu menyampaikan pengetahuan yang tak jelas dari mana sumbernya. Kalian mengumpulkan air tumpahan dari ember dan memasukkannya ke kendi lain sehingga kemurnian dan kejernihan air tidak lagi tersisa. Air yang sudah keruh itu tidak lagi dapat memuaskan kehausan para musafir pencari Kebenaran, bahkan bisa mengundang penyakit.�

Terdengar suara hiruk dari orang-orang berceloteh. Sejenak kemudian, terdengar suara berisik sahut-menyahut seperti ratusan orang mengomel di dalam gua, �Tidakkah engkau mengetahui, 0 Syaikh Malaya, bahwa kecenderungan kalangan orang kebanyakan yang berpengetahuan dangkal dan berwawasan sempit dan bernalar picik adalah mencari guru yang sederajat dengan mereka? Ketahuilah olehmu, o Syaikh Malaya, kamilah guru yang sesuai dengan keinginan mereka. Sesungguhnya, Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan kepada kami bahwa Allah selalu memahami prasangka hamba-Nya sesuai batas-batas kemampuan sang hamba mengenal-Nya. Lantaran itu, biarlah kami dengan kesempitan wawasan, kepicikan nalar, kedangkalan pengetahuan, dan kepercayaan diri kami yang berlebihan, menjadi apa yang kami kehendaki. Jangan kami dinilai dengan penilaian yang tinggi. Sebab, Allah lebih tahu keterbatasan kami daripada manusia-manusia takabur yang merasa paling benar sendiri.�

Raden Sahid memahami para petani, tukang, perajin, juru tambang, penyadap getah enau, atau buruh tani yang tiba-tiba menjadi guru suci dan membaiat pengikut-pengikutnya itu telah menangkap dan memahami ajaran Syaikh Lemah Abang sebatas cakrawala pandangan mereka yang tidak pernah lebih jauh dari sawah, sungai, bukit, hutan, dan gunung yang melingkungi mereka. Wawasan mereka yang tidak pernah lebih luas dari kadipaten tempat mereka hidup telah menjadi �penghalang� untuk memahami ajaran sang syaikh yang telah melanglang buana dan mereguk segarnya mata air ilmu dari berbagai bangsa. Kurangnya mereka bergaul dengan bangsa lain, dengan pemikiran-pemikiran yang beragam, telah pula menjadikan mereka sulit untuk menangkap secara baik dan sempurna tarekat yang diajarkan Syaikh Lemah Abang yang mensyaratkan kecerdasan dan perjuangan keras untuk mewujudkannya.

Sepengetahuan Raden Sahid, ajaran tarekat yang disampaikan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil, mertuanya, selalu disampaikan secara sistematik berupa pengetahuan ruhani dalam bentuk analogi meteforik (qiyas bayani), pembabaran ungkapan (futuh al-ibarah) pengetahuan gnostik (irfani), dan pembuktian-pembuktian (burhani), sehingga dibutuhkan kecerdasan lebih untuk menangkap dan memahaminya. Sebab itu, ia sangat memahami tiga kelompok � kalangan alim ulama, bangsawan, dan orang kebanyakan � karena masing-masing kelompok memiliki pemahaman yang berbeda dalam menangkap intisari ajaran yang disampaikan mertuanya. Bahkan, ia memahami ketika mendapati ajaran agung mertuanya itu telah menjelma menjadi seperangkat ajaran batiniah yang sangat dangkal dan membingungkan. Itu sebabnya, bertolak dari pengetahuan otak-atik mathuk yang merupakan dasar pengetahuan orang kebanyakan, para guru batiniah yang menyatakan diri pelanjut ajaran Syaikh Lemah Abang itu tanpa sadar telah membangun sistem epistemologi pengetahuan batiniah dengan prinsip-prinsip analogi metaforik (qiyas bayani) yang didasarkan atas kesamaan-kesamaan dan penyerupaan-penyerupaan yang tidak terikat aturan tertentu atau sekehendak sendiri dalam menafsirkan sesuatu. Dengan keyakinan diri yang berlebih-lebihan, mereka memaklumkan bahwa apa yang mereka sampaikan itu adalah Kebenaran mutlak tak tersanggah sebagaimana diajarkan Syaikh Lemah Abang.

Raden Sahid sendiri melihat pendangkalan atas ajaran mertuanya berawal dari kekurangpahaman para guru batiniah itu di dalam memaknai pokok-pokok bahasan pengetahuan ruhani yang disampaikan Syaikh Lemah Abang. Pokok-pokok bahasan yang seharusnya dipahami sebagai sistem pengetahuan ruhani yang akan digunakan membimbing salik ke jalan Kebenaran, ternyata diajarkan sebagai rangkaian doa-doa panjang untuk mencapai Kebenaran. Entah bagaimana awalnya, ungkapan-ungkapan metaforik dan kupasan-kupasan filosofis tentang jalan Kebenaran yang diajarkan Syaikh Lemah Abang, tiba-tiba menjelma menjadi rangkaian doa yang dihafal sedemikian rupa tanpa diketahui maknanya. Ajaran Syaikh Lemah Abang yang didasarkan pada keseimbangan pengetahuan bashrah yang memancar dari qalb dengan pengetahuan akal (�aql) yang diterangi burhan itu telah berubah menjadi ajaran batiniah dangkal yang penuh mantera dan diselimuti takhayul.

Raden Sahid merasa iba kepada para guru batiniah yang memaknai ajaran Syaikh Lemah Abang sesuai pemahaman mereka yang kelewat sederhana itu. Mereka hampir selalu menyederhanakan masalah-masalah serius sesederhana penalaran mereka. Sering terjadi, ajaran Syaikh Lemah Abang yang bersifat rahasia dalam mengungkap Ruh al-Idhafi, dengan sangat naif disederhanakan sebagai sekadar kilasan-kilasan cahaya yang terlihat saat mata orang dikucek-kucek. Dengan keyakinan diri berlebihan, para guru suci menyatakan kepada pengikut-pengikutnya bahwa kilasan cahaya saat mata dikucek-kucek itu adalah cahaya Ilahi yang disebut Ruh al-Idhafi. Itulah mursyid pembimbing. Itulah guru sejati. Bahkan, dengan pongah tetapi naif dan konyol mereka menyatakan bahwa untuk melihat cahaya Ilahi tidak sulit dan hanya butuh waktu beberapa kedipan mata saja, yaitu saat mata orang dikucek-kucek. Demikianlah, murid-murid yang sama sederhananya dengan mereka dalam segala hal itu mengaminkan semua yang mereka ajarkan, sehingga sering kali terjadi peristiwa-peristiwa konyol yang memalukan di mana murid-murid yang senaif dan sekonyol gurunya itu berteriak-teriak �aku sudah ketemu tuhan,� ketika mereka menyaksikan kilasan cahaya di matanya yang sengaja mereka kucek-kucek.

Yang memprihatinkan Raden Sahid, di antara ajaran ruhani yang disampaikan guru-guru batiniah itu adalah pemberian makna kata-kata di dalam bahasa Arab dengan makna bahasa Jawa. Mereka, yang memang tidak paham dengan bahasa Arab yang menjadi dasar ilmu-ilmu Keislaman, dengan kesederhanaannya memaknai semua kata dan kalimat dalam bahasa Arab dengan bahasa Jawa. Kata �padang Arafah� mereka maknai sebagai �terangnya penglihatan�. Sebab, �padang� bermakna terang dalam bahasa Jawa. Arafah bermakna penglihatan dalam bahasa Arab. Dengan demikian, yang dimaksud �padang Arafah bukan tempat di Arab, melainkan terang-benderangnya penglihatan atas kilasan-kilasan cahaya saat mata dikucek-kucek.

Kata �Rasul Allah� mereka maknai sebagai �rasanya Allah�, karena kata �rasul� disama-artikan dengan kata �rasa�. Bunyi �ras� dalam bahasa Arab mereka pikir sama dengan �rasa� dalam bahasa Jawa. Akibatnya, mereka menafsirkan bahwa yang disebut Muhammad Rasul Allah itu bukanlah orang Arab bernama Muhammad yang menjadi Nabi umat Islam, melainkan Nur Muhammad yang ada di dalam alam ruhani. Nur Muhammad itulah �rasanya Allah�. Nur Muhammad itulah �rasul Allah�. Lantaran Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan bahwa masing-masing manusia adalah pancaran dan percikan Nur Muhammad, maka yang terpenting bagi manusia adalah bagaimana mereka mengetahui dan mengenal Nur Muhammad tersebut.

Muara dari penafsiran berdasar prinsip otak-atik mathuk � bahasa Arab dimaknai dengan bahasa Jawa dan sebaliknya � itu adalah munculnya pandangan yang menyatakan bahwa manusia yang melakukan sembahyang mengikuti ajaran agama Islam dari Arab yang disampaikan Nabi Muhammad adalah keliru, apalagi dengan berkiblat pada batu yang disebut Ka�bah. Bersembahyang menghadap Ka�bah itu musyrik karena menyembah batu. Mereka memaknai sembahyang yang dilakukan umat Islam sebagai kegiatan mobah molah muna muni (bergerak-gerak dan berkata-kata tanpa mengerti makna ucapannya). Bahkan, ajaran tentang Nur Muhammad pun akhirnya dimaknai sebagai matahari yang bersinar di tata surya.

Yang paling memprihatinkan Raden Sahid atas para guru batiniah itu adalah kecenderungan mereka untuk memperbanyak pengikut dengan membaiat semua orang secara serampangan dan borongan. Dengan alasan diperintah langsung oleh Allah atau arwa Syaikh Lemah Abang, mereka membaiat siapa pun yang datang. Tanpa kenal siang dan malam, setiap orang yang datang bertamu diiming-iming dengan cerita-cerita isapan jempol tentang tarekat, hakikat, makrifat, berkat, dan keramat yang jauh dari keagungan ilmu tasawaf. Tidak peduli apakah orang paham atau tidak dengan uraian dan penjelasannya, mereka langsung dibaiat. Sebab, dengan membaiat banyak orang, kedudukan mereka sebagai guru suci akan semakin kukuh dan melambung tinggi ke langit karena masyarakat sangat memuliakan para guru suci laksana dewa.

Sungguh berbeda apa yang dilakukan kebanyakan guru suci tersebut dengan Syaikh Lemah Abang. Jika Syaikh Lemah Abang mengajarkan tarekat secara rahasia, yakni kepada pencari Kebenaran Sejati dan para salik terpilih, maka kebanyakan guru suci baru itu mengajarkan tarekat secara terbuka selayaknya barang dagangan murah yang dijajakan kepada siapa saja yang mau menerima. Tidak hanya pencari Kebenaran Sejati, mereka yang berkeinginan mencari pangkat, derajat, jabatan, rezeki, bahkan pencari pesugihan pun diajari laku tarekat. Mereka mengajarkan semau-maunya semua ajaran rahasia dengan pamrih utama agar mereka menjadi guru suci yang memiliki banyak pengikut dan disegani manusia. Bahkan, bagian terbesar dari guru-guru batiniah baru yang semula adalah petani, pedagang kecil, tukang, perajin, penyadap getah enau, dan buruh kecil secara menakjubkan tiba-tiba menjelma menjadi �orang kaya baru�, karena selain menjadi guru batiniah mereka juga mengambil alih peran para janggan (dukun) di desanya. Dengan demikian, jika Syaikh Lemah Abang mengajarkan tarekat semata-mata untuk membimbing manusia menuju jalan Kebenaran, maka banyak di antara guru suci baru itu telah melumuri ajarannya dengan pamrih pribadi berlebihan. Pamrih. Pamrih. Beribu-ribu kali pamrih.

Read More ->>

RAHASIA DI BALIK NAFS

Makna Rahasia di Balik Nafs

    Sejak bersahabat akrab dengan hewan-hewannya, Abdul Jalil berubah menjadi orang yang berperilaku sangat aneh dalam pandangan orang-orang di sekitarnya. Segala sesuatu yang terkait dengan kebiasaan hidupnya sehari-hari mendadak berubah aneh dan sangat mencengangkan. Shafa, istri setianya, sebagai orang yang paling dekat, merasakan keheranan dan khawatir luar biasa mendapati suaminya berperilaku sangat aneh. Belum pernah ia menyaksikan suaminya berperilaku tidak lazim, seperti duduk bersila dengan mata terpejam sejak subuh sampai zhuhur. Atau, bersujud selama berjam-jam. Atau, melakukan shalat malam sampai tujuh puluh rakaat. Atau, duduk takhiyat akhir tanpa salam dari subuh hingga isya. Atau, saat shalat tidak mengikuti hitungan rakaat sesuai aturan sarak. Atau, melamun memandang langit dari pagi sampai sore.

   Ketika sudah tidak mampu lagi memahami keanehan-keanehan perilaku Abdul Jalil, Shafa akhirnya mengungkapkan keheranan dan ketidakpahamannya. Shafa berharap dapat beroleh kejelasan bahwa suami terkasihnya itu sejatinya tidak gila. Namun beda yang diharapkan, jawaban yang diberikan Abdul Jalil kepadanya justru berupa pertanyaan balik, �Siapakah engkau yang bertanya ini?�

   Shafa yang ditanya balik sangat terkejut dan menjawab sekenanya, �Aku Shafa. Aku istri Tuan.�

   �Shafa? Istriku?� Abdul Jalil mengerutkan kening, �Apakah aku punya istri?�

   �Ya, Tuan punya istri. Akulah istri Tuan.�

  �Siapakah aku yang engkau sebut Tuan?�

�Bukankah Tuan adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil? Syaikh Siti Jenar? Syaikh Lemah Abang? Syaikh Jabarantas? Syaikh Sitibrit? Susuhunan Binang?� sergah Shafa dengan hati diliputi kecemasan.

�Syaikh Datuk Abdul Jalil? Syaikh Siti Jenar? Syaikh Lemah Abang? Syaikh Jabarantas? Syaikh Sitibrit? Susuhunan Binang? Siapakah dia yang memiliki banyak nama itu?� tanya Abdul Jalil termangu-mangu.

�Bukankah itu Tuan sendiri?�

�Aku?� gumam Abdul Jalil dengan tangan menunjuk dada, �Akukah satu makhluk dengan banyak nama itu? Bukankah Syaikh Siti Jenar itu nama anjing belang yang berdiri menjulurkan lidah di depan pintu itu? Bukankah Syaikh Lemah Abang itu anjing hitam yang duduk menjulurkan lidah di sampingnya?� ia menudingkan tangan ke arah pintu gubuk.

Shafa terperangah mengikuti arah yang ditunjuk Abdul Jalil. Dia terheran-heran mendapati pintu gubuk yang ditunjuk suaminya itu kosong tanpa sekilas bayangan anjing terlihat di sana. Sadarlah dia, sesungguhnya suaminya saat itu telah menjadi orang yang hilang ingatan. Suaminya telah tidak ingat akan keberadaan dirinya sendiri. Akhirnya, tanpa dapat ditahan lagi, air mata jatuh bercucuran membasahi pipi Shafa. Dia merasakan dunianya runtuh. Dia menangis terisak-isak sambil merangkul Fardun, puteranya yang berdiri kebingungan memandang ibu dan ayahnya berganti-ganti.

Ketika Shafa memastikan Abdul Jalil benar-benar telah hilang ingatan, terjadi peristiwa yang membingungkannya. Tanpa hujan tanpa angin, tiba-tiba Abdul Jalil sadar dan berperilaku sebagaimana layaknya orang waras. Namun demikian, karena sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan perilaku Abdul Jalil yang tak terpahami, akhirnya Shafa merasa harus berlaku sangat hati-hati dalam menyimpulkan keadaan suaminya itu. Perilaku tidak lazim yang ditunjukkan Abdul Jalil belakangan memang sangat mengkhawatirkannya baik dalam hal makan, minum, duduk, berjalan, berbicara, tidur, dan beribadah. Dalam hal makan saja, jika sebelumnya dia selalu mendapati suaminya selalu menyantap makanan yang dihidangkannya asalkan baik dan halal (halal ath-thayyibah), maka belakangan dia harus menyuguhkan ubi-ubian dan buah-buahan karena makanan yang lain tidak disentuh. Yang aneh, sesekali ia melihat suaminya tidak memakan ubi dan buah-buahan yang disuguhkannya dengan alasan ada ulat atau semut kecil di dalam buah itu. Suaminya menyatakan, ia tidak mau memangsa makhluk kecil yang meratap sedih meminta kepadanya agar tidak dimangsa. Beberapa kali dia melihat suaminya memuntahkan buah yang dimakannya, hanya karena ada seekor semut yang terselip di buah tersebut dan semut tersebut meminta untuk tidak dimangsa. Bagaimana mungkin orang waras berbicara dengan ulat dan semut, tanya Shafa dalam hati, dengan perasaan tertekan.

Di antara keanehan-keanehan perilaku Abdul Jalil, yang sangat menekan perasaan Shafa adalah saat dia mendampingi suaminya melewati rentangan malam hari yang diliputi kesunyian dan keheningan. Sepanjang malam itu dia tidak lagi mendapati keberadaan suaminya sebagai sosok seorang suami yang memiliki citra kehangatan dan penuh cinta kasih sebagaimana selama ini dia kenal. Sepanjang malam sejak isya sampai subuh dia nyaris selalu mendapati suaminya menjadi sesuatu yang aneh dan tak pernah dikenalnya. Dia tidak tahu apakah yang sesungguhnya telah terjadi pada suaminya. Dia hanya merasa suaminya telah menjelma menjadi sesuatu yang diliputi keanehan tak tergambarkan. Dia selalu merasakan semacam kegentaran menerkam semangatnya setiap kali mendekati suaminya. Bahkan, yang nyaris tak dipahaminya, setiap kali dia berada di hadapan suaminya, ia merasakan hatinya seperti diisap oleh suatu kekuatan tak kasatmata yang sangat dahsyat yang tanpa sadar membuatnya menunduk dan kemudian berlutut dan bersujud menyembah.

Sesungguhnya, yang merasakan adanya perubahan dahsyat bukan hanya Shafa. Abdul Jalil sendiri, sejak kembali turun (�uruj at-tarkib) dari kenaikan ruhani (mi�raj at-tahlil), merasakan suatu perubahan terjadi atas dirinya, terutama setelah kemunculan hewan-hewan citra perwujudan nafs dari dalam dirinya. Ia tiba-tiba sering merasakan detik-detik keberadaan dirinya lenyap, tenggelam ke dalam Kemutlakan laksana setetes air menyatu dengan Samudera Mahaluas. Sang pecinta yang tulus (muhib ash-shadiq) telah lebur (fana�) ke dalam Sang Kekasih (al-Mahbub). Pada detik-detik seperti itulah ia merasakan keakuannya sirna. Lenyap. Yang Ada adalah Aku. Yang Tunggal. Mutlak. Tanpa batas. Namun, seiring berlalunya detik-detik keleburan keakuannya itu, ia mendapati cakrawala kesadaran dirinya lebih luas dan lebih bebas dari batas-batas nisbi alam. Ia mendapati keakuannya mengurai dan melepaskan segala ikatan yang selama ini mengikatnya, yaitu ikatan-ikatan yang terkait atribut-atribut citra diri.

Memang, ketersingkapan cakrawala kesadaran yang dialaminya saat ini jauh lebih mencengangkan dibanding sebelumnya, karena ketersingkapan ini berkaitan dengan keterlepasan-keterlepasan atribut citra diri. Ia tiba-tiba merasa tercengang kebingungan saat menyadari keberadaan dirinya sebagai seorang laki-laki telah menyingsing. Ia merasakan kesadarannya sebagai makhluk semesta tersingkap begitu menakjubkan, ia mendapati citra dirinya menjadi makhluk tak berjenis kelamin. Berhari-hari dan berpekan-pekan ia meresapi keberadaan dirinya yang tiba-tiba sudah tidak memiliki atribut citra diri, baik sebagai manusia berkelamin laki-laki, suami, bapak, saudara laki-laki, mertua laki-laki, maupun kakek. Semua atribut citra dirinya sebagai manusia tak jelas lagi, apakah jiwanya masih jiwa seorang manusia atau sudah menjadi jiwa makhluk semesta.

Ketika Abdul Jalil berada di tengah keheranan meresapi keberadaan jati dirinya, ia mendapati kenyataan lain yang tak kalah membingungkan, sewaktu cakrawala kesadarannya menangkap kenyataan menakjubkan bahwa sejatinya hamparan Samudera Makna-Makna (Bahr al-ma�ani) dan Samudera Bendawi Kasatmata (Bahr al-mulk) itu berada di dalam liputan Samudera Keuncuran (Bahr al-�unshuriyyah) yang merupakan pancaran dari Hakikat Sejati Segala Samudera (haqiqah al-faydh al-bahr). Dikatakan menakjubkan sebab selain di balik Samudera-Samudera itu terdapat Samudera di Atas Segala Samudera, ia juga mendapati kenyataan betapa sesungguhnya Hakikat Sejati Segala Samudera itu berada di dalam dirinya. Ia merasa keberadaan dirinya seperti setetes air di tengah samudera raya, tetapi sekaligus ia merasa seperti setetes air yang di dalamnya memuat hamparan samudera raya. Sungguh perumpamaan yang tak gampang dipahami maknanya.

Keterlepasan nafs-nafs yang dialami Abdul Jalil rupanya telah menjadikan citra keakuannya meluas ibarat Samudera Kehidupan (Bahr al-Hayy) yang membentang tanpa pantai, di mana Samudera Kehidupan itu memuat Samudera Keagungan (Bahr al-�izzah) yang suci, yakni Samudera Keagungan yang memuat Ruh al-Haqq, Ruh Suci, yang ditiupkan (nafkh) Allah ke dalam diri Adam. Samudera Keagungan itulah lambang kesucian hati manusia sempurna (insan kamil) yang tanpa batas yang mampu memuat Ruh al-Haqq. Dan, di tengah keluasan Samudera Keagungan itu tersembunyi rahasia Keberadaan Rumah Suci (Baitul Haram) yang menjadi persemayaman al-Haqq, yaitu Rumah Suci yang menjadi kiblat Kesatuan dari kesatuan (jam� al-jam�).

Pandangan mata lahirnya (bashar) yang selama ini sudah menjadi pandangan seorang ahli ma�rifat (bashar al-�arif) yang bisa digunakannya memandang segala sesuatu yang terpampang di hadapannya, tiba-tiba berubah menjadi Pandangan Ilahi (Bashar al-Haqq) yang tidak memiliki batas-batas penyekat atau nisbi penglihatan. Ia merasakan penglihatan bashirah-nya berkembang meluas. Meluas. Meluas terus hingga mencapai setiap sudut dunia, terus ke bulan, planet-planet, matahari, gemintang, galaksi-galaksi, dan alam perwujudan semesta. Demikianlah, ketika ia ingin melihat sesuatu di salah satu sudut dunia maka ia seperti orang yang melihat sekuntum bunga dari satu sisi sesuai keinginannya, dan jika diinginkan, ia dapat melihat hingga ke bagian pedalaman bunga tersebut.

Bukan hanya penglihatan bashirah Abdul Jalil saja yang meluas, bahkan pendengaran batin (sam�) yang selama ini terbatas pada penembusan obyek-obyek yang tertangkap pendengaran indriawinya, tiba-tiba berkembang menjadi lebih luas seolah telinga batinnya menjadi telinga raksasa yang dapat mendengar suara semut sampai suara makhluk-makhluk angkasa yang berjarak sangat jauh dari bumi. Dengan penglihatan dan pendengaran batin yang tak terhalang sekat-sekat nafs itulah ia merasakan pandangan bashirah-nya sangat menakjubkan, laksana kesadaran rajawali putih, Sang Pinakatunggal, yang mengembara di angkasa mengitari jagad Kehidupan. Ia sadar bahwa sesuatu di dalam dirinya memang sudah sangat berubah, hingga ia sendiri nyaris tak mengenal dirinya sendiri.

Tidak tahan menghadapi keanehan demi keanehan Abdul Jalil, Shafa mengungkapkan segala apa yang tidak dipahaminya itu kepada Bardudu, ketika suatu malam putera sulungnya itu berkunjung ke gubuknya. Bardud yang beroleh penjelasan tentang keadaan ayahandanya yang sedang mengalami proses menjadi �yang sendiri� dari pembimbing ruhaninya, Syarif Hidayatullah, tidak memberi penjelasan apa-apa kepada ibundanya. Ia tahu, ibunda terkasihnya tidak akan paham diberi penjelasan yang berbelit dan rumit dari keadaan yang dialami ayahandanya. Ia hanya mengingatkan ibundanya pada penjelasan yang pernah disampaikan Ahmad Mubasyarah at-Tawallud. �Sesungguhnya, keanehan-keanehan perilaku ramanda bukanlah perilaku orang hilang ingatan atau orang tidak waras. Apa yang dialami ramanda pada dasarnya adalah penggenapan tengara yang pernah disampaikan Kakek Ahmad at-Tawallud, bahwa ramanda akan menjadi �yang sendiri� (fard). Keanehan-keanehan perilaku ramanda yang Ibunda hadapi selama ini adalah bagian dari perubahan diri ramanda menjadi �yang sendiri�. Sebab itu, Ibunda harus bersabar mengantarkan ramanda menjadi apa yang dikehendaki-Nya.�

�Tapi aku sangat ketakutan, o Puteraku,� kata Shafa menguatkan diri, �Di tengah malam yang sunyi, aku sering mendapati ramandamu duduk dikerumuni ular, anjing, kera, singa, dan burung raksasa yang kadang menjelma dalam bentuk kabut tebal dan kadang pula menjelma dalam bentuk cahaya-cahaya aneka warna. Malah yang sering menakutkan aku, sering kali aku mendengar semacam dentang lonceng yang sangat keras memenuhi seluruh pendengaranku pada saat tubuh ramandamu diliputi semacam cahaya subuh. Aku menduga, jangan-jangan ramandamu berperilaku aneh karena diganggu setan.�

Ketika Bardud akan memberi penjelasan kepada ibundanya, tiba-tiba Abdul Jalil yang duduk bersila menepuk-tepukkan tangannya. Bardudu menoleh dan mendekati ayahandanya. Abdul Jalil diam dan tetap duduk bersila dengan mata terpejam. Sejenak kemudian, dengan menggunakan isyarah, ia berkata-kata kepada Bardud.

�Engkau sudah bertindak benar tidak menjelaskan sesuatu yang tidak dipahami seseorang. Sesungguhnya, dia, orang yang engkau sebut ayahanda itu bukan siapa-siapa. Ia tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa. Lantaran itu, o Bardud, bawalah ibunda dan adikmu pergi dari sisi ayahandamu. Sebab, semua tidak akan ada yang tahan hidup bersama ayahandamu. Biarkan ayahandamu sendiri di sini. Biarkan dia menjadi �yang sendiri�, menyatu dengan Yang Mahasendiri Tak Terbandingkan.�

Bardud termangu-mangu memandang wajah ayahandanya dengan penuh kasih. Ia merasakan kekosongan memenuhi dadanya. Ia merasa semacam kehilangan ketika mendengar kata-kata laki-laki tua yang telah menjadi sebab ia lahir ke dunia. Ia merasakan semacam kepedihan menyayat-nyayat hatinya. Dengan suara tercekat dan dada naik turun ia berkata terbata-bata, �Kenapa keluarga dia, o adimanusia yang terkasih, harus hancur berkeping-keping? Kenapa dia yang telah berjasa menegakkan Tauhid di muka bumi justru harus mengalami hidup begitu pedih? Kenapa dia tidak boleh lagi memiliki dan dimiliki oleh sesuatu?�

Wajah Abdul Jalil terlihat mengeras bagai batu. Lalu, dengan bahasa perlambang berkata, �Renungkan dan tangkap makna di balik kisah Sri Krishna yang seluruh keluarga dan keturunannya hancur binasa! Renungkan dan hayati makna di balik kisah Sri Rama yang keluarga dan keturunannya berantakan! Resapi kisah Sidharta Gautama yang tak pernah tergantikan oleh satu pun di antara keturunannya! Resapi kisah Nabi Musa a.s yang keluarga dan keturunannya berserak di muka bumi tanpa satu pun ada yang mengganti kedudukannya! Hayati kisah Nabi Isa a.s. yang tidak beristri dan tidak berketurunan! Resapi dan hayati kisah Nabi Muhammad Saw. yang keluarga dan keturunannya berserak di muka bumi tanpa satu pun yang mengganti kedudukannya!�

�Renungkan! Resapi! Hayati kisah semua avatar, manusia Ilahi, yang tidak pernah terwakili oleh siapa pun di antara manusia, sekalipun ada yang mengaku-aku keturunan mereka. Dengan memahami kisah-kisah mereka dari rana Tauhid, engkau akan mendapati kenyataan bahwa mereka yang dipilih-Nya menjadi sesuatu wadah sebagai cermin dari Yang Tunggal akan berdiri sendiri tanpa sekutu. Mereka adalah satu. Itu adalah rahasia Tauhid. Sebab, Allah telah menetapkan hukum bahwa dia yang dipilih-Nya adalah satu dan unik. Allah tidak pernah membiarkan ada sekutu bagi yang dipilih-Nya. Lantaran itu, mulai saat ini, siapa pun di antara keluarga ayahandamu jangan sekali-kali ada yang mengaku-aku memiliki suatu hubungan darah dengannya dan menjadi penerus paling sah keberadaannya. Sungguh, ia telah dipilih-Nya menjadi �yang sendiri�. Sehingga, siapa saja di antara manusia yang mengaku-aku keluarga dan keturunannya untuk melanjutkan kedudukannya akan binasa. Binasa.�

�Apakah ayahanda kami seorang avatar, manusia Ilahi?�

�Ayahandamu adalah �yang sendiri�. Jangan ditafsir-tafsir lagi makna itu dengan akalmu. Dia adalah �yang sendiri�. Sendiri. Tunggal. Dia bukan ayah, suami, saudara, sahabat, guru suci, orang beriman, muslim, atau atribut apa pun yang menandai dirinya. Dia cermin dari citra Yang Mahasendiri Tak Terbandingkan (al-Fard). Lantaran itu, jangan ada yang mencoba-coba menjadi sekutunya untuk meraih pamrih pribadi.�

Bardud terperangah mendengar kata-kata ayahandanya. Ia merasakan seluruh sendinya lemah akibat gelegak perasaan yang memenuhi dadanya. Ruang di dadanya ia rasakan semakin kosong. Rasa kosong itu makin merajalela ketika di benaknya berkelebatan bayangan ayahandanya yang duduk sendiri tanpa kawan tanpa keluarga diselimuti sepi dan sunyi, tenggelam dalam ketidaksadaran, tanpa makan tanpa minum. Terbayang pula di benaknya bagaimana ayahandanya menjadi kurus tubuhnya karena kekurangan makan dan perlahan-lahan kemudian tubuhnya tumbang ke atas bumi tanpa ada yang mengetahui. Akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelegak perasaannya yang digelayuti bayangan-bayangan buruk tentang ayahandanya, Bardud menjatuhkan diri di pangkuan ayahandanya dan menangis tersedu-sedu. Ia sadar, ia telah kehilangan ayah dan sekaligus figur teladan yang sangat dipuja dan dirindukannya semenjak ia kecil.

Keanehan di balik perubahan sikap dan perilaku Abdul Jalil yang tak terpahami itu akhirnya terungkap sebagian ketika Raden Sahid bersama istri dan tiga orang anaknya berkunjung ke gubuknya pada sore hari menjelang maghrib. Ia mendapati Shafa, Bardud, dan Fardun sedang duduk menunggu selesainya Abdul Jalil bersembahyang. Mereka kelihatan sudah berkemas akan berpamitan meninggalkan Abdul Jalil yang belum selesai sembahyang. Saat itulah mereka membincang Abdul Jalil yang bersembahyang dengan duduk takhiyat akhir sangat lama. Menurut Shafa, suaminya sudah melakukan sembahyang sejak subuh. Zainab yang mendengar penuturan ibunda tirinya itu tidak dapat menahan perasaan khawatir. Dengan hati diliputi kerisauan ia bertanya ini dan itu tentang keadaan ayahandanya. Penjelasan Shafa tentang sikap dan perilaku ayahandanya yang tak terpahami, benar-benar membuatnya sangat terpukul. Sambil menangis tersedu-sedu ia merangkul ayahandanya dan berusaha membangunkannya. Namun, seperti orang mati, sedikit pun tubuh ayahandanya bergeming, laksana karang di tengah samudera.

Ketika kekhawatiran Zainab makin memuncak dan ia memanggil-manggil ayahandanya, tanpa terduga-duga tiba-tiba Raden Watiswara, putera keduanya berlari kencang ke samping kanannya. Kemudian dengan gerakan sangat cepat, anak yang baru berusia sembilan tahun itu memungut tongkat yang tergeletak di samping kakeknya. Lalu dengan sebuah sabetan dari atas ke bawah, dia memukul tanah kosong di bagian belakang punggung kakeknya. Terdengar bunyi gedebug ketika tongkat itu menghantam tanah. Sebuah keanehan terjadi: saat itu, tanpa terduga Abdul Jalil terlonjak kaget dan membelalakkan mata. Lalu, dengan tatapan tajam yang menggetarkan ia memandang ke arah Raden Watiswara.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu menahan napas. Mereka menduga Abdul Jalil akan marah. Namun, sejenak kemudian Abdul Jalil justru tertawa terkekeh-kekeh merangkul Raden Watiswara sambil menggumam, �Allah menganugerahimu dengan kemuliaan, o Cucuku, sampai engkau bisa melihat ularku dan memukulnya keras sekali.� Lalu, dengan suara digetari wibawa ia berpaling ke arah Raden Sahid dan bertanya, �Bukankah engkau menyaksikan dengan bashirah apa yang dilakukan puteramu itu?�

�Ananda menyaksikannya, Ramanda Syaikh,� kata Raden Sahid takzim, �Tapi, ananda tidak mengetahui rahasia apa di balik hewan-hewan yang berbaris di belakang punggung Ramanda itu. Kenapa mereka melakukan gerakan-gerakan shalat: qiyam � ruku� � i�tidal � sujjud � jalsah � sujjud � jalsah akhir ? Ananda tahu bahwa mereka itu sejatinya adalah nafs-nafs Ramanda yang telah keluar dari takhta mahligai keakuan Ramanda. Tetapi, ananda tidak mengetahui makna-makna di balik gerakan shalat mereka. Ananda mohon, sudilah kiranya Ramanda berkenan mengungkapkan rahasia di balik gerakan shalat mereka itu.�

Abdul Jalil menarik napas panjang dan membuat gerakan tangan mengisyaratkan agar istri dan puteri serta cucu-cucu perempuannya untuk pergi keluar gubuk. Setelah itu, ia memangku Raden Watiswara dan merangkul Fardun, puteranya, yang duduk di sampingnya. Ia meminta Bardud dan Raden Sahid mendekat. Kemudian dengan suara lain, ia berkata.

�Ular belang yang dipukul oleh puteramu itu adalah citra perwujudan nafs al-hayawaniyyah yang menjadi bagian keakuanku. Secara naluriah, ia dikodratkan untuk selalu ingkar pada titah Sang Pencipta (al-Khaliq). Ia adalah citra pengejawantahan Sang Iblis, yang tubuhnya mengandung racun ganas yang disebut al-umniyah dan al-wahm, yaitu racun yang akan membuat siapa pun di antara manusia yang terkena akan kehilangan kesadaran. Terseret imaji nirwujud (al-mumtami�) yang membuat seseorang sesat (al-idhlal) dalam memaknai segala sesuatu. Tetapi, jangan menganggap ia tidak beribadah memuja Tuhannya, karena sebagaimana sudah engkau ketahui, tidak ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang tidak memuja Sang Pencipta. Hanya saja, caranya beribadah memuliakan dan mengagungkan Allah, Rabb al-Arbab, berbeda dengan manusia. Ia beribadah dengan cara menjalankan titah Yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill), yaitu menggoda orang-orang beriman (qaum al-mu�minin) agar mereka tergelincir dari jalan lurus (shirat) yang menuju istana Sang Pemberi Keamanan (al-Mu�min) dan jatuh ke jurang kehinaan al-Mudzill yang sangat pedih. Lantaran itu, ular beludak itu aku namai Manikmaya, yang bermakna �permata khayalan sang ablasa�, yang menyesatkan Adam a.s. beserta keturunannya.�

�Anjing hitam kemerahan yang engkau saksikan berdiri di barisan belakang sambil menjulurkan lidah itu adalah perwujudan nafs al-ammarah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara berdiri (qiyam). Ia perlambang api yang secara kodrati selalu naik dengan arah tegak lurus. Citra perwujudan anjing itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah al-Islam, yaitu tangga Pengetahuan tingkat pertama. Ia hanya mengetahui bagaimana menggonggong, menggigit, dan mencakar untuk menunjukkan citra dirinya. Secara naluriah, ia cenderung mengajak kepada perbuatan jahat. Meski gonggongan dan lenguhannya terdengar jinak, ia sering menggigit tuannya dan orang lain. Ia sangat bangga dengan nama besar dan identitas diri. Ia melakukan sesuatu karena dilandasi pamrih ingin dipuji dan ingin merasakan kenikmatan badani maupun ruhani. Lantaran itu, ia aku namai Sang Lemah Abang, nama masyhur yang pernah membuatku nyaris menjelma jadi berhala terkutuk.�

�Anjing putih kekuningan dengan belang hitam kemerahan yang engkau saksikan merunduk di depan anjing hitam kemerahan sambil menjulurkan lidah itu adalah citra perwujudan nafs al-lawwammah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara merunduk (ruku�). Ia perlambang tanah yang secara kodrati menyamping datar. Citra perwujudan anjing itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah al-Iman, yaitu tangga Pengetahuan tingkat kedua. Ia cenderung suka mengaku-aku kehebatan diri dan mencela orang lain, atau sebaliknya mencela diri dan memuji orang lain. Pengetahuannya masih sebatas mendengar. Keyakinannya masih sebatas mulut. Sekali waktu, ketika ia mengarahkan pandangan ke dalam dirinya, ia akan mencela dirinya sendiri dan menemukan kebijaksanaan berlimpah di dalamnya. Tetapi, saat ia mengarahkan pandangan ke luar dirinya, ia cenderung menggonggong dan mencela orang lain. Ia sangat bangga dengan amaliah perbuatannya. Lantaran itu, anjing itu aku namai Sang Siti Jenar, nama besar yang bangga dengan amaliah berbagi keberlebih-kelimpahan yang nyaris menjerumuskanku ke jurang pemberhalaan diri.�

�Kera coklat kemerahan yang engkau saksikan berdiri tegak di depan anjing putih kekuningan adalah perwujudan nafs al-mulhammah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan berdiri (i�tidal). Ia perlambang air yang secara kodrati turun dengan arah tegak lurus. Citra perwujudan kera coklat kemerahan itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah al-Ihsan, yaitu tangga Pengetahuan tingkat ketiga. Ia adalah kesadaran jiwa yang sudah dapat merasakan perbedaan nuansa Kebenaran dan Kebatilan. Ia mampu menangkap sarana yang bisa mengantar ke samudera kebahagiaan. Ia dapat membedakan ilham kefasikan dan ilham ketakwaan yang masuk ke dalam hatinya. Tetapi, sering kali ia kurang waspada dan terseret ke dalam lingkaran ilham kefasikan. Jiwa ini di dalam melakukan perjalanan ruhani berada di bawah pengawasan Allah. Lantaran itu, ia aku namai Sang Jnanawesa, yaitu nama yang bermakna masuknya ilham ketakwaan dan ilham kefasikan ke dalam jiwa manusia.�

�Kera putih yang engkau saksikan bersujud di depan kera coklat kemerahan adalah perwujudan nafs al-Muthma�innah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan bersujud (sujjud awwal). Ia perlambang angin yang secara kodrati melingkupi Kehidupan di muka bumi. Citra perwujudan kera putih itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah �ilm al-Yaqin, yaitu tangga Pengetahuan tingkat keempat. Ia adalah jiwa yang sudah tenang karena kedudukannya berada di tengah-tengah antara ruh dan nafs. Jiwa ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada bersama Allah. Ia masih memiliki kecenderungan untuk tertarik pada suara-suara keindahan yang terdengar dari taman surgawi pancaran al-Jamal. Itu sebabnya, aku menamainya Sang Jnanaprasada, yang bermakna ketenangan jiwa surgawi.�

�Singa putih yang engkau saksikan duduk di depan kera putih adalah perwujudan nafs ar-radhiyyah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk (jalsah awwal). Ia perlambang aether. Citra perwujudan singa putih itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah�ain al-Yaqin, yaitu tangga Pengetahuan tingkat kelima. Jiwa ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada di dalam Allah. Jiwa ini tenggelam di dalam Pengetahuan Allah. Ia adalah jiwa yang sudah berada di dalam keyakinan sempurna atas kehambaan dirinya dan Keilahian Rabb-nya. Ia aku namai Sang Jnanekatwa, yang bermakna ketunggalan jiwa dan Jiwa.�

�Rajawali putih yang engkau saksikan bersujud di depan singa putih adalah perwujudan nafs al-mardhiyyah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan bersujud (sujjud tsani). Ia perlambang cahaya yang dipancarkan dari matahari, bulan, dan bintang ke permukaan bumi. Citra perwujudan rajawali putih itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah haqq al-Yaqin, yaitu tangga Pengetahuan tingkat keenam. Ia adalah jiwa yang diridhoi Allah. Ia menyaksikan Kebenaran Tuhan dengan Tuhan (�araftu Rabbi bi Rabbi). Ia jiwa yang terbang bebas memuji Keagungan dan Kebesaran Yang Mahabenar. Dalam kelana jiwanya yang bebas, ia selalu memuja Penciptanya dengan suara Kebenaran: Haqq! Haqq! Haqq! Lantaran itu, ia aku namai Sang Jnanasunya, yang bermakna bebas dari kemenduaan.�

�Sedang burung anqa putih laksana kabut tipis yang engkau saksikan duduk di depan rajawali putih adalah perwujudan nafs al-kamilah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk (jalsah tsani). Itulah lambang al-haba (atom). Citra perwujudan burung anqa putih selembut kabut tipis itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan istilah al-Islam, yaitu tangga Pengetahuan tingkat ketujuh. Inilah tahap puncak perkembangan aku menuju Aku. Iniah jiwa yang disucikan (nafs al-qaddisah). Aku namai burung anqa putih laksana kabut tipis itu dengan gelar kemuliaan Sang Kawula Pinakatunggal, yang bermakna hamba yang menyelam ke Sumber Samudera Kesendirian Tuhan (al-�aini al-bahri al-wahdati).�

�Terima kasih Ramanda,� kata Raden Sahid takzim. �Sekarang jelaslah bagi ananda, bahwa di balik ketentuan hukum sarak yang mewajibkan manusia mendirikan shalat dengan gerakan qiyam � ruku� � i�tidal � sujjud � jalsah � sujjud � jalsah itu sejatinya tersembunyi rahasia kodrati penyembahan masing-masing nafs manusia. Ananda pun sekarang paham kenapa gerakan shalat tiap satu raka�at itu terdiri atas tujuh gerakan, yaitu qiyam � ruku� � i�tidal � sujjud � jalsah � sujjud � jalsah. Rupanya, masing-masing gerakan shalat itu mewakili kodrat penyembahan tujuh nafs di dalam diri manusia, yaitu ammarah � lawwammah � mulhammah � muthma�innah � radhiyyah � mardhiyyah � kamilah. Ananda juga baru beroleh jawaban sekarang, kenapa di dalam melakukan shalat, tujuh bagian anggota badan manusia harus menyentuh tanah: kening � dua telapak tangan � dua lutut � dua ujung telapak kaki. Bahkan sebelum shalat, ketika orang mengambil air wudhu untu membasuh tujuh bagian anggota tubuhnya: mulut � hidung � wajah � tangan � telinga � kepala � kaki, rupanya semua itu terkait dengan lambang penyucian tujuh nafs yang memiliki lima pintu indria.�

�Memang demikianlah adanya,� sahut Abdul Jalil datar. �Bahkan, ibadah shalat pun dianggap tidak sah jika tidak membaca surat al-Fatihah yang terdiri atas tujuh ayat. Itu berarti, masing-masing ayat dari surat al-Fatihah memiliki kaitan rahasia dengan pendakian tujuh tangga Pengetahuan dari masing-masing nafs tersebut. Dengan demikian, bagi orang-orang beriman yang sudah mengetahui rahasia ini, ia tidak lagi menjadikan shalat sebagai upacara formal di dalam menyembah Tuhan sebagaimana layaknya seorang hamba menyembah rajanya. Mereka yang sudah mengetahui rahasia ini menjadikan shalat sebagai proses kenaikan (mi�raj) kesadaran dari anak tangga pertama kemajemukan (katsrah), melampaui lima tahap kehadiran (al-hadharat), dan berakhir pada anak tangga ketujuh: Kesatuan (tauhid). Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad Saw. dengan ucapan �shalat itu mi�raj bagi orang-orang beriman (ash-shalat al-mi�raj al-mu�minin)�, yakni proses terlampauinya tangga Pengetahuan Islam � Iman � Ihsan � �Ilm al-Yaqin � �Ain al-Yaqin � Haqq al-Yaqin � Islam. Dengan demikian, akhir sebuah shalat adalah salam. Salam. As-Salam. Yang Maha memberi Kedamaian. Islam adalah damai. Damai.�

�Bagaimana dengan tindakan orang-orang yang mengaku sudah makrifat dan kemudian meninggalkan shalat?� tanya Bardud minta penjelasan.

Abdul Jalil diam. Mengatup rahang kuat-kuat. Matanya disapukan ke sekitar. Sejenak setelah itu, ia berkata dengan suara aneh seperti digetari lengkingan rajawali, �Jika ada manusia menyatakan dirinya tidak perlu lagi melakukan ibadah shalat jasad karena mengaku sudah makrifat � sementara jika dilihat dengan bashirah, nafs-nafs-nya masih berkerumun di dalam keakuannya � maka aku katakan, sesungguhnya manusia itu pembohong takabur yang sesat jalan. Dia masih mengaku-aku. Mengaku Aku tetapi sejatinya masih aku. Lantaran itu, lihatlah dengan bashirah. Bashirah. Sebab, dengan bashirah, segala macam kebohongan akan tersingkap.�

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers