Sabtu, 21 Januari 2017

HANTU-HANTU HITAM BERKELIARAN

Hantu-Hantu Hitam Berkeliaran

Tahun 1416 Saka merupakan rentangan waktu paling berat bagi penduduk Caruban Larang sejak tengara pembaharuan ditabuh Sri Mangana barang dua tahun silam. Sejak hadirnya pasukan Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh di sepanjang perbatasan Caruban Larang pada awal tahun tersebut, hantu-hantu hitam yang mengerikan mulai terlihat bergentayangan di wilayah itu. Hantu-hantu hitam dengan ganas menebar kekacauan dan kematian. Sukacita dan kegembiraan yang semula dirasakan penduduk dengan diterapkannya tatanan baru yang mereka sebut masyarakat adil dan makmur, berangsur-angsur pupus menjadi mimpi buruk yang mencekam dan mengerikan.

Memang, sejak pengerahan besar-besaran pasukan dari tiga kerajaan Sunda itu di perbatasan, semua pandangan diarahkan kepada kalifah Caruban Larang, Sri Mangana. Semua seakan-akan menunggu tindakan apakah gerangan yang akan diambil oleh penguasa Caruban Larang dengan peristiwa-peristiwa yang seolah-olah menantangnya itu. Bagi penduduk Caruban Larang, satu-satunya kekuatan yang mereka miliki untuk bisa tetap bertahan di tengah kecemasan adalah keberadaan Sri Mangana, ratu dan sekaligus kalifah yang mereka jadikan tumpuan harapan.

Beda yang dirasakan penduduk, beda pula yang dirasakan Sri Mangana dan para pemuka masyarakat ummah di Caruban Larang. Pengerahan pasukan besar-besaran dari tiga kerajaan itu bagi mereka adalah bagian dari sebuah �perang siasat� yang sudah berlangsung sejak tengara perubahan dikumandangkan. Maksudnya, meski pasukan ketiga kerajaan dan Caruban Larang tidak berhadap-hadapan sebagai lawan di medan tempur, di bawah permukaan kedua pihak sejatinya sudah saling berusaha mengalahkan satu sama lain dengan siasat yang sering kali tidak disangka-sangka. Ketika gemuruh perubahan berlangsung di segenap penjuru Caruban Larang, misalnya, tanpa terduga tiba-tiba para gedeng di Palimanan memilih adipatinya. Dan, sang adipati terpilih menyatakan diri bernaung di bawah kekuasaan Rajagaluh.

Penguasa Caruban Larang yang tidak menduga langkah licik Rajagaluh itu tidak bisa berbuat sesuatu, kecuali membiarkan Palimanan lepas. Namun, tak lama kemudian para gedeng di perbatasan selatan memilih wali nagari Kuningan sebagai pemimpin. Padahal, Nagari Kuningan adalah wilayah Galuh Pakuan. Tak cukup dengan Kuningan, para gedeng di perbatasan timur memasukkan Luragung ke dalam Nagari Losari. Padahal, Luragung juga termasuk wilayah Galuh Pakuan.

Dalam �perang siasat� itu jelas sekali bahwa pihak Caruban Larang telah kalah karena keliru mengambil langkah. Sebab, dengan tindakan menjadikan Kuningan dan Luragung sebagai bagian dari wilayah Caruban Larang, meski dengan cara pemilihan adipati oleh para gedeng, tersulutlah amarah Yang Dipertuan Galuh Pakuan. Ujung dari peristiwa saling berebut wilayah itu adalah terjadinya pengerahan besar-besaran pasukan Galuh Pakuan di sepanjang tepian Sungai Sanggarung, yang diikuti Talaga dan Rajagaluh.

Saling serang dalam �perang siasat� itu ternyata berlangsung semakin sengit di bawah permukaan seiiring memuncaknya suhu ketegangan kedua belah pihak. Tanpa tersangka-sangka, desa-desa di wilayah Caruban Larang yang berada di dekat perbatasan mendadak diguncang oleh kekacauan. Pencurian, perampokan, penjarahan, perusakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan tercurah bagai hujan dari langit. Pihak Caruban Larang buru-buru mengirim pasukan untuk melindungi penduduk di desa-desa perbatasan dan menangkapi para pembuat kekacauan. Berdasarkan pengakuan para pengacau yang tertangkap, mereka hanya sekedar menjalankan tugas dari orang-orang Galuh Pakuan.

Ketika desa-desa di perbatasan Caruban Larang dapat diamankan, ganti wilayah Galuh Pakuan yang terbakar kekacauan, wilayah Galuh Pakuan yang termasyhur subur dan makmur serta aman sentosa tiba-tiba diguncang oleh kawanan pengacau yang dipimpin kepala begal bernama Sang Lokajaya. Kata orang, Sang Lokajaya adalah kepala begal asal Japura, Caruban Larang. Anehnya, yang dirampok dan dijarah kawanan begal pimpinan Sang Lokajaya bukanlah penduduk desa seperti yang terjadi di wilayah Caruban Larang, melainkan para saudagar dan ningrat darah biru. Barang-barang perniagaan para saudagar dirampas ditengah jalan. Rumah dan lumbung para ningrat darah biru dijarah. Dan yang lebih aneh lagi, kawanan begal itu sering kedapatan membagi-bagi hasil rampokannya kepada penduduk desa yang hidup kekurangan.

Para saudagar dan ningrat darah biru Galuh Pakuan yang sangat cemas dengan keadaan buruk itu memohon kepada Prabu Surawisesa agar melakukan larangan bagi pedagang-pedagang Caruban Larang untuk berdagang di wilayah Galuh Pakuan. Sebab, mereka khawatir para pedagang itu adalah mata-mata para begal. Ketika Prabu Surawisesa memenuhi permintaan para saudagar dan ningrat darah biru itu, pihak Caruban Larang membalas dengan tindakan yang sama: melarang semua jenis perahu asal Galuh Pakuan melayari Sungai Sanggarung. Kepala perdagangan Caruban Larang, Abdurrahman Rumi, menetapkan larangan bagi pedagang-pedagang Caruban Larang untuk menjual garam, terasi, petis, dan hasil ikan laut kepada pedagang asal Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh. Langkah itu diikuti oleh para pedagang Dermayu.

Tindakan saling cegat dan saling jegal itu terbukti mengacaukan dan sekaligus memperlemah perekonomian Galuh Pakuan. Galuh Pakuan tidak saja kehilangan penghasilan dari pajak dan cukai lalu lintas perniagaan sungai, tetapi kehilangan pula kesempatan berniaga di kota-kota pelabuhan di pantai utara. Galuh Pakuan praktis bergantung dari hasil pertanian di pedalaman saja. Bahkan, yang membuat para pedagang Galuh Pakuan pontang-panting adalah kesepakatan para pedagang Cina untuk tidak berjual beli dengan mereka karena alasan takut dengan ancaman orang-orang Caruban Larang.

Di tengah sengitnya �perang siasat� itu sesungguhnya bukan hanya penduduk kedua belah pihak yang hidup tercekam, para perencana dan pelaksana perang pun tak luput dari ketegangan dan kecemasan. Mereka sesungguhnya saling bertahan dalam kesabaran untuk tidak lebih dahulu menyerang. Karena, pihak yang memulai peperangan akan dianggap melanggar titah maharaja Sunda yang tidak menghendaki terjadinya perpecahan di wilayah kekuasaannya. Lantaran itu, pertempuran di bawah permukaan itu makin lama terasa makin mencekam, terutama bagi penduduk yang tidak mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya dari berbagai peristiwa yang terjadi sangat membingungkan itu.

Prabu Surawisesa sendiri sudah kehilangan akal menghadapi langkah-langkah Sri Mangana yang terbukti sangat ulet dan sulit dipatahkan. Berbagai usaha yang dilakukannya mulai dari mengadu domba antara Caruban Larang dan Pakuan Pajajaran hingga pelarangan berdagang bagi para pedagang Caruban Larang, tidak satu pun membawa hasil. Hasutan kepada maharaja Sunda bahwa Sri Mangana tidak lagi mengakui kekuasaan maharaja karena kalifah dipilih dan tidak diangkat maharaja, dimentahkan oleh pengiriman bulubekti (upeti) dari Caruban Larang ke Pakuan Pajajaran. Usaha menghasut para rishi dan guru suci di berbagai padepokan yang ada di wilayah Galuh Pakuan, Talaga, Rajagaluh, dan bahkan Caruban Larang digagalkan oleh para rishi yang menjadi siswa Syaikh Lemah Abang.

Di tengah kebingungannya itu Prabu Surawisesa akhirnya lebih banyak menyerahkan masalah �perang siasat� kepada para pembantunya, terutama para perwira muda yang hanya mengenal bahasa tempur. Akibatnya, percik-percik api peperangan mulai tertabur. Pertempuran-pertempuran antar satuan kecil mulai terjadi di wilayah Caruban Larang. Bahkan yang tak pernah disangka-sangka, Syaikh Jamalullah, wali nagari Susukan, tiba-tiba dikabarkan raib ketika melakukan perjalanan dari Susukan ke Ujungsemi. Tak lama setelah itu istri Syaikh Jamalullah dan sejumlah pengawalnya menemukan jenasah sang wali nagari di sungai dalam keadaan mengenaskan.

Ketika jenasah Syaikh Jamalullah dibawa ke Kuta Caruban dan dishalatkan di Tajug Agung, tersiar kabar susulan bahwa Ki Gedeng Kemuning telah raib sekembalinya dari Kadipaten Kuningan. Sepekan kemudian orang menemukan jenasahnya membusuk tergantung di pohon. Ki Gedeng Plumbon yang diutus Sri Mangana ke Kuningan untuk mencari Ki Gedeng Kemuning, kembali dengan menuturkan penemuan jenasah tersebut. Namun, saat ia memaparkan keadaan jenasah di depan hadirin, ia ditegur keras oleh Syarif Hidayatullah karena dalam Islam terlarang membicarakan keburukan mayat. Selanjutnya, atas perkenan Sri Mangana, Ki Gedeng Plumbon diangkat menjadi Gedeng Cigugur.

Perang siasat yang terjadi antara Caruban Larang di satu pihak dan Galuh Pakuan, Rajagaluh, dan Talaga di pihak lain, sesungguhnya dapat digambarkan seperti pertarungan harimau-harimau dalam memperebutkan daerah kekuasaan. Masing-masing harimau merunduk dan menggeram untuk menakuti lawan. Tidak satu pun yang berani menyerang lebih dulu. Harimau-harimau itu hanya meraung dan menggeram-geram sambil mengais-ngaiskan cakarnya ke arah lawan. Harimau-harimau itu hanya menyeringai menunjukkan gigi dan taringnya yang tajam. Namun, bagi binatang lain yang lebih kecil, geraman harimau-harimau yang sedang berlaga itu sungguh sangat menakutkan.

Harapan agar matahari perubahan yang memancarkan daya hidup dan menumbuhkanbenih-benih baru yang tumbuh di atas hamparan bumi Caruban Larang terus bersinar terang ternyata tidak selamanya terpenuhi. Ketika gumpalan awan dari selatan dan barat berarak di atas langit dan mengepung Caruban Larang dengan suara guntur menggemuruh, tercekamlah penduduk dalam kecemasan dan ketegangan.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari perilaku alam. Siapa di antara makhluk yang ingin hidup di atas roda kehidupan, wajib berpacu dengan waktu dan sesamanya. Ibarat benih-benih tetumbuhan, yang terlemah dan tidak mempu menghadapi gilasan waktu serta tantangan alam akan merana dan mati, demikian pun gegap gempita tumbuhnya tatanan baru masyarakat di Caruban Larang tidak luput dari perilaku alam. Seiring merebaknya kabar pengepungan Caruban Larang oleh pasukan Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh yang menyebar dari tajug ke tajug, dari rumah ke rumah, juga dari mulut ke mulut, disusul kabar terbunuhnya Syaikh Jamalullah, mantan gedeng Ujungsemi, dan Ki Gedeng Kemuning, terjadilah kegemparan yang mengancam kelangsungan hidup tatanan baru yang sedang bersemi tersebut.

Sesungguhnya, tidak banyak yang memahami bahwa bagian terbesar dari penduduk baru yang datang ke Caruban Larang dan membuka lembaran baru kehidupan itu adalah orang-orang yang memiliki harapan untuk sekedar mendapat bagian tanah sehingga dengan tanah itu mereka dapat hidup lebih baik. Tidak banyak yang paham jika mereka adalah sekumpulan tukang mimpi yang menganggap kehidupan di dunia serba mudah dan tanpa resiko. Ya, kumpulan tukang mimpi yang tidak pernah memiliki pandangan masuk akal bahwa kehidupan di alam nyata sangat berbeda dengan kehidupan di alam harapan yang mereka bangun dari angan-angan kosong dan mimpi indah. Itu sebabnya, para tukang mimpi itu sangat terkejut dan ketakutan ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang berbeda dengan yang mereka impikan. Mimpi indah yang mereka bayangkan bakal abadi ternyata menjadi hantu menakutkan saat mereka terbangun dalam kenyataan. Mereka seolah-olah menyaksikan isi dunia hanyalah bayangan-bayangan hitam dari hantu-hantu mengerikan yang berkeliaran memenuhi benak dan jiwa.

Belum genap sepekan kabar terbunuhnya Ki Gedeng Kemuning tersebar, ketika matahari bersinar di ufuk timur, terlihatlah di sejumlah desa baru di perbatasan selatan iring-iringan manusia menyuruk-nyuruk di pamatang-pematang sawah dan jalan-jalan desa. Mereka adalah penduduk desa-desa baru, para tukang mimpi, yang meninggalkan rumah dan kampung halaman karena dicekam ketakutan dan kepanikan. Mereka bergerak bagaikan kawanan semut ke arah utara. Sepanjang pergerakan itu, jumlah iring-iringan manusia makin lama makin membesar.

Kabar terjadinya pengungsian besar-besaran penduduk perbatasan selatan dengan cepat melanda Kuta Caruban dan mengejutkan penduduk. Sri Mangana buru-buru mengadakan pertemuan dengan para wali nagari dan semua tokoh pendukung gerakan perubahan di Bangsal Kaprabon. Mereka mencemaskan pengungsian besar-besaran tersebut. Sebab, kehadiran para pengungsi yang ditengara bakal menuju Kuta Caruban itu tidak saja akan menambah berat beban penduduk, tetapi akan meruntuhkan semangat penduduk di tempat lain.

Li Han Siang, syahbandar Caruban, yang mula-mula mengemukakan kemungkinan timbulnya akibat-akibat samping yang buruk dari peristiwa pengungsian tersebut. Syahbandar yang juga pemuka warga Cina asal suku Han itu mengatakan bahwa ia baru saja memerintahkan orang-orangnya untuk membunuh tiga kepala keluarga Cina yang berada di bawah lindungannya. Pasalnya, sesaat setelah mendengar kabar pengungsian penduduk perbatasan mereka buru-buru mengajak keluarganya pergi meninggalkan Kuta Caruban. �Orang-orang yang ingin hidup enak tanpa mau menanggung resiko tidak pantas hidup di muka bumi. Karena itu, saya selaku pemimpin mereka memutuskan untuk membunuh orang-orang tak berguna itu. Itu saya lakukan untuk menjadi contoh bagi keluarga yang lain agar tidak bersikap bodoh seperti mereka,� papar Li Han Siang kepada Sri Mangana.

Pernyataan Li Han Siang menjadi bahasan utama dalam musyawarah karena menimbulkan kelompok yang setuju dan yang tidak setuju. Kelompok yang setuju menilai tindakan keras itu sangat diperlukan untuk mengendalikan penduduk yang ketakutan dan panik. Kelompok ini diwakili Syaikh Duyuskhani pemuka warga Kalijaga asal Baghdad, sedangkan kelompok yang tidak setuju menganggap tindakan itu tidak perlu dilakukan. Kelompok ini diwakili oleh Sayyid Habibullah al-Mu�aththal, menantu Ki Gedeng Trusmi.

Sayyid Habibullah al-Mu�aththal mengecam tindakan Li Han Siang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Menurutnya, rasa takut adalah fitrah. Karena itu, mengganjar orang ketakutan dengan membunuh mereka merupakan tindak kezaliman. �Justru kita sebagai pemimpin berkewajiban melindungi mereka dan memberikan rasa aman kepada mereka. Sunnguh tidak bisa diterima akal jika ada orang yang ketakutan justru kita bunuh,� ujar Sayyid Habibullah al-Mu�aththal.

�Adat dan tradisi yang berlaku di kalangan kami memang seperti itu, Tuan Sayyid.� Li Han Siang membela diri. �Siapa di antara anggota kelompok yang sudah tidak patuh kepada pemimpin, apakah dengan alasan takut atau ingin menyelamatkan diri sendiri, mereka wajib dibunuh. Bagi orang-orang perantauan seperti kami, adalah suatu kebohongan jika orang mau hidup enak namun menolak kerja keras dan risiko mati. Sesungguhnya, kepada tiga orang kepala keluarga itu telah kami peringatkan agar tidak meninggalkan Kuta Caruban tanpa perintah kami. Tetapi, mereka malah mempengaruhi kawan-kawannya.�

�Tetapi, membunuh jelas tindakan yang tanpa hak. Tidak ada dalil dan contoh dari Rasulullah Saw. yang membenarkan tindakan itu. Bahkan, kepada orang-orang yang teraniaya Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk melakukan hijrah,� ujar Sayyid Habibullah al-Mu�aththal.

Li Han Siang kelihatan terpojok dengan hujjah-hujjah yang disampaikan Sayyid Habibullah al-Mu�aththal. Ia tidak menanggapi kecaman-kecaman yang dilontarkan menantu Ki Gedeng Trusmi itu. Syaikh Duyuskhani yang melihat Li Han Siang terpojok, beringsut ke depan dan berkata, �Sesungguhnya, tindakan yang dilakukan saudara kami, Li Han Siang, sudah kami ketahui. Sesaat setelah itu, kami datang ke Lemah Abang dan bertemu dengan saudara kami Syaikh Abdul Malik Israil. Ketika kami sampaikan kepada beliau, ternyata beliau bisa memahami tindakan yang dilakukan Li Han Siang, meski tidak ada dalil dan contoh dari Rasulullah Saw.. Untuk itu, kami memohon agar saudara kami Syaikh Abdul Malik Israil menjelaskan alasan-alasan kenapa tindakan Li Han Siang dapat dipahami sebagai keniscayaan.�

Para hadirin serentak melemparkan pandangan ke arah Syaikh Abdul Malik Israil yang duduk diapit Abdul Jalil dan Syarif Hidayatullah. Syaikh Abdul Malik Israil yang tidak menduga bakal didaulat untuk berbicara mengernyitkan dahi dan menyapukan pandangan ke arah hadirin yang duduk melingkar. Kemudian dengan suara yang lain, ia berkata, �Sesungguhnya tiap-tiap kelompok bangsa menganut nilai-nilai yang berbeda. Itu sebabnya, anasir-anasir yang mengikuti perubahan suatu bangsa tidaklah wajib sama dengan bangsa yang lain. Gerakan pembaharuan yang saat ini sedang berlaku di negeri Caruban Larang adalah gerakan dari suatu kelompok bangsa yang memiliki nilai-nilai sendiri yang berbeda dengan apa yang pernah terjadi di belahan bumi lain. Maksud kami, apa yang saat ini sedang terjadi pada tatanan kehidupan masyarakat ummah yang berasal dari gagasan saudara kami Syaikh Datuk Abdul Jalil, tentu berbeda keadaannya dengan saat tatanan ummah yang ditegakkan kali pertama oleh Baginda Rasulullah Saw. di Yatsrib.�

�Kenapa kami katakan berbeda? Sebab, komunitas di Bumi Arabia saat itu terbentuk atas kabilah-kabilah yang dipimpin oleh seorang pemimpin kabilah dan masing-masing anggota kabilah diakui keberadaannya. Seorang kepala keluarga di sebuah kabilah memiliki hak penuh atas tenda dan seluruh isinya, meski untuk hal-hal tertentu ia wajib patuh kepada pemimpin kabilah. Masing-masing anggota kabilah memiliki tujuan dan kiblat yang sama. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kebebasan dan tali persaudaraan yang erat di dalam kabilahnya.�

Sebaliknya, penduduk negeri ini adalah kawula yang bermakna sama dengan budak. Penduduk negeri tidak diakui keberadaannya sebagai anggota komunitas. Yang ada dan diakui keberadannya hanya raja dan para pemimpin komunitas. Nilai-nilai yang dibentuk pun adalah nilai-nilai budak. Itu sebabnya, jika seorang raja sebagai pemimpin kawula kalah maka kawula akan memindahkan kiblat panutan kepada tuannya yang baru. Nilai-nilai budak itu rupanya sudah merasuk ke dalam jaringan darah dan segenap penjuru jiwa dan raga para kawula negeri ini.�

�Usaha saudara kami Syaikh Datuk Abdul Jalil dalam mengubah tatanan kawula menjadi tatanan masyarakat ummah sesungguhnya mahaberat dan butuh pengorbanan yang tidak sedikit. Ia harus didukung banyak pihak demi lahirnya tatanan nilai-nilai baru tersebut. Dan sesungguhnya, pertempuran dalam menegakkan nilai-nilai adalah jauh lebih berat daripada pertempuran di medan laga. Sebagaimana disebutkan dalam sirah nabawi, sekembali dari pertempuran di Badar, Rasulullah Saw. bersabda: �Kita baru kembali dari perang kecil dan sedang menuju perang besar, yaitu perang terhadap hawa nafsu.�

�Memang banyak orang menafsirkan perang melawan hawa nafsu hanya sekedar menghindari kemaksiatan sebagaimana diperintahkan hukum suci (syari�at). Tetapi bagi kami pribadi, sabda Rasulullah Saw. jauh lebih luas dan mendalam dibanding sekadar makna kemaksiatan. Kami pribadi malah memahami sabda beliau terkait dengan nilai-nilai karena sejatinya nilai-nilai terbentuk dari hasil pergumulan antara nafsu-nafsu rendah manusia dengan kodrat-kodrat Ilahiyyah yang tersembunyi di dalam diri manusia. Itu sebabnya, tinggi dan rendahnya peradaban suatu bangsa akan tercermin dari nilai-nilai yang dianutnya.�

�Kami tidak perlu menjadikan kasus saudara Li Han Siang sebagai sumber perpecahan di antara kita. Tetapi, dalam hal ini kami akan menuturkan suatu cerita yang mungkin mirip dengan kejadian yang sedang kita alami ini. Cerita itu menyangkut kisah Musa a.s. saat membawa Bani Israil keluar dari gerbang perbudakan Bangsa Mesir. Musa a.s. yang sejak kecil dididik sebagai pangeran di istana Fir�aun menganut nilai-nilai yang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dianut Bani Israil seumumnya. Musa a.s. terbiasa dengan keagungan, kemuliaan, keberanian, kegagahan, kepahlawanan, kesulitan di medan perang, dan kemenangan. Sementara Bani Israil terbiasa dengan kemiskinan, ketertindasan, ketakutan, kepengecutan, ketidakberdayaan, mimpi-mimpi kosong, dan kekalahan.�

�Jika saudara-saudara sekalian pernah membaca kitab suci Bani Israil yang hal itu dikuatkan dalam Al-Qur�an maka saudara-saudara akam menyaksikan bagaimana Musa a.s. mengalami kekecewaan demi kekecewaan dalam menghadapi sikap dan perilaku bangsanya yang selama beratus tahun tumbuh dan berkembang di bawah kendali nilai-nilai budak. Ketika Musa a.s. atas titah Allah SWT mengajak Bani Israil untuk berperang membebaskan tanah Kanaan yang dihuni bangsa Amalik, Heti, Yebus, dan Amorit, yang diperolehnya bukan sambutan kepahlawanan yang gagah perkasa dari bangsanya. Bani Israil yang masih tercekam oleh nilai-nilai budak malah bersungut-sungut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. sambil meratap-ratap: �Aduh, sekiranya kami mati di tanah Mesir atau di padang gurun ini, mengapa Tuhan membawa kami ke negeri ini? Apakah agar kami terbunuh oleh pedang dan istri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah kami lebih baik pulang kembali ke Mesir? (Bemidbar, 14: 1-4).�

�Kami kira, apa yang sudah dialami Bani Israil saat dipimpin Musa a.s. keluar dari Mesir tidak berbeda dengan yang sedang terjadi di Caruban Larang sekarang ini. Maksud kami, bangsa ini masih kuat tercekam oleh nilai-nilai kawula yang membentuk alam pikiran dan jiwa mereka. Menurut hemat kami, sangat perlu rangkaian tindak kekerasan sebagaimana yang pernah diberikan Allah SWT. terhadap Bani Israil selama empat puluh tahun pengembaraan di gurun untuk menghilangkan noda-noda hitam dari sisa-sisa jiwa budak yang melekat di tengah matahari keagungan manusia. Sejarah Bani Israil mencatat, betapa generasi tua yang terbentuk oleh nilai-nilai di Mesir itu telah bertumbangan di atas bumi tanpa nyawa ketika generasi baru Bani Israil berhasil menduduki tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka.�

�Dengan apa yang sudah kami uraikan ini, sesungguhnya musuh yang paling utama bagi kita bukanlah Yang Dipertuan Galuh Pakuan, Yang Dipertuan Talaga, atau Yang Dipertuan Rajagaluh, justru nilai-nilai kawula yang masih kuat mencengkeram alam pikiran dan jiwa penduduk Caruban Larang itulah yang harus kita tundukkan bersama. Sesungguhnya, apa yang dialami Bani Israil ketika melepaskan diri dari perbudakan adalah cerminan yang paling sesuai bagi usaha-usaha pembaharuan di Caruban Larang ini. Itu sebabnya, kami menilai tindakan saudara kami Li Han Siang, dapat dipahami karena peristiwa itu sesungguhnya pernah tercermin pada cerita Qarun (Korah) dan para pemuka Bani Israil yang menentang Musa a.s., meski alur cerita, tempat kejadian, dan para pelakunya berbeda.�

Mendengar uraian Syaikh Abdul Malik Israil, hadirin mengangguk-angguk kepala tanda setuju. Ketika Sayyid Habibullah al-Mu�aththal menggeser tempat duduknya dan terlihat akan menanggapi Syaikh Abdul Malik Israil, tiba-tiba Syaikh Duyuskhani mengacungkan tangan dan berkata lantang, �Kami kira, masalah yang dihadapi saudata kami, Li Han Siang, tidak perlu dijadikan perdebatan berlarut-larut. Itu bisa kita selesaikan di kelak kemudian hari. Yang penting, sekarang kita perlu ketegasan untuk menghadapi gertakan penguasa Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh. Apakah kita akan lari meninggalkan Caruban Larang dengan berdalih hijrah seperti saat Rasulullah Saw. menganjurkan berhijrah bagi kaum beriman dari Makah? Ataukah kita melawan seperti saat Rasulullah Saw. berada di Yatsrib yang menghadang musuh-musuhnya di Badar dan Uhud?�

�Bagi kami, para pendatang dari Baghdad yang terusir dari tanah kelahiran kami, sebagai seorang laki-laki sejati tidak ada pilihan lain kecuali mengangkat senjata mempertahankan apa yang sudah kami miliki di Caruban Larang ini. Kami semua siap syahid di medan tempur karena kami yakin apa yang kami dukung dalam perjuangan ini adalah Kebenaran yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.�

Kata-kata Syaikh Duyuskhani yang berkobar-kobar penuh semangat menimbulkan pengaruh yang sangat besar. Para pemuka warga saling menyatakan tekad untuk maju ke medan tempur dan siap gugur sebagai syuhada.

Sri Mangana yang menyaksikan semangat para pemuka warga dengan gembira menyatakan rasa terima kasihnya. Namun, dengan penuh kearifan ia meminta mereka menyiapkan satuan-satuan yang terlatih sehingga saat maju ke medan tempur tidak hanya berbekal semangat. �Aku akan mengirim perwira-perwira Caruban Larang untuk melatih warga kalian masing-masing. Selama menunggu waktu berlatih itu hendaknya kita tetap waspada akan bahaya penyusupan yang bakal menggeragoti kekuatan kita dari dalam.�

Kisah Nabi Musa a.s. memimpin Bani Israil dari keluar dari gerbang perbudakan di Mesir menuju tanah yang dijanjikan bagi sebagian orang dianggap sebagai kisah biasa yang berisi keteladanan seorang utusan Allah dalam menegakkan ajaran Tauhid. Namun bagi Sri Mangana, kisah yang dipaparkan Syaikh Abdul Malik Israil, meski sudah ia ketahui sebelumnya, menjadi cahaya benderang bagi tersingkapnya kesadaran baru. Sri Mangana mendadak merasakan betapa sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan besar dalam menilai gerakan pembaharuan bagi lahirnya tatanan baru yang disebut masyarakat ummah. Ia sadar bahwa langkahnya sesungguhnya terlalu terburu-buru.

Uraian Syaikh Abdul Malik Israil tentang latar nilai-nilai yang membentuk Nabi Musa a.s. dan Bani Israil benar-benar menyadarkannya akan kekeliruan itu. Ya, ia menyadari bahwa sejauh ini ia selalu menganggap kawula Caruban Larang adalah manusia-manusia yang sama dengan dirinya. Padahal, sejak lahir hingga dewasa ia dibentuk oleh nilai-nilai ksatria di istana Pakuan Pajajaran yang menanamkan keagungan, kemuliaan, keberanian, kegagahan, ketabahan, kemenangan, dan prinsip dharma ksatria. Sementara itu, para kawula sejak lahir hingga dewasa dibentuk oleh nilai-nilai budak yang akrab dengan kerendahan diri, ketidakberdayaan, kepengecutan, ketertindasan, kekalahan, dan tak kenal prinsip dharma.

Dengan kesadaran itu Sri Mangana pada gilirannya menyadari betapa sesungguhnya Abdul Jalil, putera asuhnya, sang penggagas masyarakat ummah, pada dasarnya tidak jauh berbeda jauh dengan dirinya. Ya, Abdul Jalil sejak kecil dididik di lingkungan Padepokan Giri Amparan Jati sebagai putera kuwu Caruban. Alam pikiran dan jiwanya dibentuk oleh nilai-nilai keberanian, kejujuran, keagungan, kemuliaan, kesucian, ketabahan, kemenangan, dan prinsip dharma seorang mujahid. Dalam pergulatan mencari jati diri, Abdul Jalil telah membuktikan diri sebagai pribadi yang tabah dan tidak kenal menyerah. Ah, kata Sri Mangana dalam hati, ternyata anak itu juga keliru seperti aku; menilai alam pikiran dan jiwa kawula seakan-akan sama dengan dirinya.

Ketika Sri Mangana menengok ke belakang, menapaki jejak-jejak dari langkah pembaharuan yang sudah dijalankannya, ditemuilah kenyataan yang mengejutkannya; betapa sesungguhnya yang berubah dalam gerakan pembaharuan itu hanyalah tatanan belaka. Pelaku-pelaku dari perubahan itu terbukti tetap sama. Hal itu baru ia sadari ketika merenungkan para pembantunya di dalam pemerintahan kalifah. Betapa yang ia dapati para pembantunya hampir seluruhnya adalah para ningrat darah biru. Ya, para gedeng yang pada masa silam ditunjuk atas kekuasaan ratu, kini, setelah dilakukan pemilihan masyarakat ummah pun yang terpilih tetap juga dari kalangan tersebut. Para wali nagari yang dipilih pun tidak ada yang berasal dari kalangan orang kebanyakan. Semua merupakan pemuka di dalam kelompoknya. Bahkan, para pejabat keturunan Cina yang membantunya pun di kalangan bangsanya adalah kaum ningrat darah biru.

Akhirnya, dengan kesadaran itu, Sri Mangana makin meneguhkan sikap untuk meneruskan perjuangan, dengan mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan kecewa dan putus harapan akibat masyarakat ummah yang dipimpinnya sesungguhnya masih merupakan bahan mentah dari kawanan budak. Sebenarnya, kepanikan penduduk yang beramai-ramai mengungsi adalah awal yang paling awal dari rentangan perjuangan yang harus dilaluinya. Ya, aku akan berhadapan dengan �musuh-musuh� yang harus aku lindungi, yaitu masyarakat ummah yang bermental budak. Aku akan bersikap sebagaimana Nabi Musa a.s. menghadapi Bani Israil. Sangat besar kemungkinan aku akan menghadapi kenyataan pahit sebagaimana Nabi Musa a.s. saat mengajak kaumnya bertempur untuk merebut tanah yang dijanjikan, yakni jawaban yang menyakitkan: �Wahai Musa, kami tidak akan memasuki negeri itu selamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah engkau berdua. Sesungguhnya kami akan duduk menunggu di sini saja (QS al-Ma�idah: 23-24).�

Dengan kesadaran itu, segunung masalah yang menunggu sang kalifah di tengah gemuruh arus perubahan yang menegangkan itu, tidaklah dianggapnya sebagai beban mahaberat. Dengan ketenangan yang mengagumkan Sri Mangana menerima berbagai laporan tentang ganasnya perampok-perampok yang membakar dan menjarah desa-desa di lereng timur Gunung Ciremai. Atau, terbunuhnya para santri Giri Amparan Jati yang ditempatkan Abdul Jalil di Lemah Abang di dekat Sukapura. Atau, kepergian mendadak Sayyid Habibullah al-Mu�aththal ke Malaka dengan alasan berniaga sehingga kedudukannya sebagai pemuka warga Arab di Kuta Caruban digantikan oleh Abu Ismail al-Basgrowi. Atau, menyingkirnya sebagian warga Kuta Caruban secara diam-diam ke Dermayu. Semua laporan itu ia terima dengan senyuman sambil berkata dalam hati: ini adalah penyaringan yang dahsyat untuk membedakan siapa di antara warga Caruban Larang yang sudah menjelma menjadi masyarakat ummah dan siapa yang masih terjerat dalam kungkungan kawula.

Saat para pemuka warga di Caruban Larang menghadap Sri Mangana untuk melaporkan gelombang pengungsian yang tidak menyenangkan dari desa-desa di bagian barat dan selatan Caruban Larang, bahkan Kuta Caruban, Sri Mangana dengan tenang berkata, �Sesungguhnya yang tersisa di antara penduduk Caruban Larang adalah para singa dan harimau yang gagah perkasa. Jumlah mereka memang tidak perlu banyak, tetapi mereka adalah penguasa di daerahnya. Sesungguhnya tidak semua warga desa di Caruban Larang ini pergi mengungsi. Lihatlah penduduk Lemah Abang! Lihatlah penduduk Kalijaga! Lihatlah penduduk Gunung Jati! Lihatlah penduduk Kuningan! Lihatlah penduduk Caruban Larang! Merekalah sesungguhnya pahlawan pembaharu yang gagah perkasa. Merekalah kumpulan singa dan harimau Allah yang akan mempertahankan keyakinan dan wilayah kekuasaannya sampai titik darah yang penghabisan.�

�Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,� kata Abdul Jalil kepada Sri Mangana yang sedang berbincang-bincang dengan Nyi Indang Geulis dan Nyi Muthma�inah di ndalem Pekalipan, �Ananda mohon petunjuk tentang apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mengatasi perkembangan keadaan yang semakin tak menentu ini. Sebagian besar penduduk di Caruban Larang beramai-ramai meninggalkan kampung halamannya. Sementara yang tersisa ananda kira tidak akan cukup mampu menghadapi kekuatan gabungan Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh.�

�Engkau tidak perlu cemas menghadapi keadaan ini, o Puteraku,� kata Sri Mangana tenang, �Sekecil apa pun kekuatan yang kita miliki, kedudukan kita jauh lebih tangguh dan lebih ulet dibanding yang mereka miliki. Karena itu, dalam hal kekuatan pasukan aku tidak ragu menghadapi mereka bertiga.�

�Berapakah sesungguhnya kekuatan pasukan Caruban Larang?�

�30.000 orang.�

�Hanya 30.000 orang?� gumam Abdul Jalil terkejut. �Padahal, kekuatan Galuh Pakuan saja menurut kabar lebih dari 200.000 orang.�

�Engkau tidak paham tentang kemiliteran, o Puteraku,� kata Sri Mangana tersenyum. �Karena itu, engkau seperti umumnya yang lain, menganggap kekuatan tempur pada jumlah orang dan kelengkapan senjata. Padahal, meski hanya 30.000 orang kekuatan yang telah kubangun selama tujuh tahun ini, mereka adalah orang-orang yang terlatih. Sedangkan prajurit Galuh, Talaga, dan Rajagaluh hanyalah anak bawang dalam pertempuran karena mereka dibentuk secara paksa dan buru-buru. Yang tidak kalah penting untuk dihitung adalah kekuatan warga yang dilatih oleh perwira-perwiraku. Mereka akan menambah jumlah kekuatan Caruban Larang. Aku perkirakan jumlah mereka lebih dari 40.000 orang. Itu pun belum kita hitung bala bantuan dari orang-orang Dermayu.�

�Jika hanya menghadapi Galuh Pakuan, ananda kira pihak kita pasti menang, apalagi kalau yang memimpin Ramanda Ratu sendiri. Tapi, bagaimana dengan Talaga dan Rajagaluh? Ananda juga mendapat kabar jika Prabu Surawisesa sudah mengirim utusan ke Pasir Luhur untuk meminta dukungan dari Prabu Banyak Belanak.�

�Jadi, dia sudah minta bantuan Pasir Luhur?� gumam Sri Mangana dengan wajah merah menahan amarah. �Jika kabar itu benar, berarti dia benar-benar menginginkan perang terbuka. Ini tidak bisa kubiarkan. Besok akan kugerakkan pasukanku. Akan aku hancurkan seluruh kekuatan Galuh Pakuan.�

Menyaksikan Sri Mangana dibakar amarah, Nyi Indang Geulis, sang permaisuri, berusaha meredakannya. �Aku memohon Rakanda Ratu tidak terpancing amarah. Sebab, jika Rakanda Ratu sampai menggerakkan pasukan dan menyerbu Galuh Pakuan maka ayahanda Prabu Guru Dewara Prana akan murka dan menuduh Rakanda Ratu sebagai penyerbu. Karena itu, hendaknya Rakandan Ratu bersabar dan menahan diri.�

�Menunggu sampai si Tua Bangka itu memiliki kekuatan besar?�

�Kita memang harus menunggu, o Rakanda Ratu,� kata Nyi Indang Geulis. �Tetapi, di dalam menunggu itu kita harus melakukan usaha untuk menambah kekuatan sekaligus merongrong kekuatan lawan.�

�Dengan cara apa?�

�Rakanda Ratu selama ini telah melupakan jalinan persaudaraan antarksetra.�

�Astaghfirullah!� seru Sri Mangana dengan wajah mendadak berubah ceria. �Aku sungguh-sungguh lupa pada kekuatan itu. Aku telah lupa bahwa jalinan ksetra-ksetra itulah sesungguhnya kekuatan yang paling kokoh di Nusa Jawa dan Bumi Pasundan ini. Ya, aku sungguh telah khilaf melupakan petarung-petarung unggulan itu.�

Abdul Jalil yang tidak memahami apa yang dibicarakan Sri Mangana dan permaisuri dengan heran bertanya, �Persaudaraan antarksetra itu apa, o Ibunda Ratu? Kenapa ia disebut kekuatan paling kokoh?� Nyi Indang Geulis tersenyum dan memandang suaminya, seolah menginginkan agar sang suami yang menjawab pertanyaan putera mereka.

�Sesungguhnya, yang dimaksud ksetra adalah lapangan pekuburan tempat para bhairawa-bhairawi melakukan upacara pancamakara. Tiap-tiap ksetra sesungguhnya merupakan jalinan dari ksetra yang lain, seibarat kalung yang terbuat dari untaian mutiara. Tiap-tiap pemimpin dan anggota ksetra satu selalu menganggap pemimpin dan anggota ksetra yang lain sebagai saudara. Karena itu, mereka sangat bersatu padu sehingga saat kekuatan sebuah kerajaan terpecah belah, persaudaraan mereka tetap utuh,� ujar Sri Mangana.

�Sesungguhnya kekuatan yang sebenarnya di Nusa Jawa dan Bumi Pasundan ini berada di tangan mereka. Sebab, mereka adalah petarung-petarung yang memiliki kesaktian luar biasa dan tanpa tanding. Seratus prajurit pun tidak akan mampu mengalahkan seorang bhairawa karena mereka memiliki ilmu seratus ribu hulubalang. Namun, mereka adalah orang-orang merdeka yang enggan mengabdi kepada kerajaan karena aturan-aturan kerajaan yang bertentangan dengan ajaran mereka. Nah, jika kita dapat merangkul mereka, pastilah kita tidak perlu khawatir dengan kekuatan Galuh Pakuan, Talaga, Rajagaluh, dan bahkan Pakuan Pajajaran sekalipun.�

�Tapi Ramanda Ratu, mereka adalah para peminum darah dan pemakan mayat. Mungkinkah mereka bersedia membantu gerakan kita, orang-orang yang selama ini mengecam mereka sebagai pemeluk ajaran najis?�

�Engkau jangan lupa, o Puteraku, bahwa aku dan ibundamu masih mereka anggap sebagai saudara, meski kami sudah memeluk Islam. Engkau pun harus tahu bahwa di dalam ajaran Bhairawa Tantra tidak dikenal kasta-kasta yang membedakan kedudukan orang seorang. Karena itu, aku yakin mereka akan lebih bersimpati mendukung gerakan masyarakat ummah di Caruban Larang ini daripada mendukung Galuh Pakuan,� kata Sri Mangana.

�Apakah Ramanda Ratu akan berkeliling ke ksetra-ksetra untuk meminta bantuan?�

�Tidak,� Nyi Indang Geulis tiba-tiba menukas, �Ramandamu tidak boleh meninggalkan Caruban Larang pada saat genting seperti ini. Sebaliknya, aku akan meminta izin dari ramandamu untuk berkeliling ke ksetra-ksetra dengan ditemani kakakmu, Nyi Muthma�inah.�

�Jika demikian, ananda juga mohon izin agar diperkenankan pergi ke Kendal, Samarang, Demak, Giri, dan Surabaya untuk meminta bantuan dari sana. Ananda berusaha menemui Pamanda Raden Kusen di Majapahit untuk meminta bantuan. Sungguh, ananda malu jika dalam keadaan seperti ini hanya berpangku tangan tidak berbuat sesuatu. Sebab, semua yang terjadi ini, sesungguhnya adalah akibat dari gagasan ananda. Sungguh, ananda akan merasa jadi manusia durhaka jika harus berdiam diri,� ujar Abdul Jalil.

�Niatmu untuk memperoleh bantuan itu sangat baik, o Puteraku,� kata Sri Mangana penuh kearifan. �Tetapi menurut hematku, ada hal lain yang lebih penting dan lebih mendesak untuk engkau jalankan sebagai bagian dari perjuanganmu menegakkan tatanan baru ini.�

�Ananda mohon petunjuk,� kata Abdul Jalil. �Ananda tidak memahami siyasah, tata negara, dan kemiliteran. Jadi, ananda tidak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seperti ini.�

�Ada pepatah lama yang mengatakan sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui,� kata Sri Mangana. �Itulah yang sekarang hendaknya engkau lakukan.�

�Ananda belum memahami maksud Ramanda Ratu. Ananda mohon petunjuk.�

�Tidakkah engkau sadari bahwa di atas segunung masalah yang timbul sekarang ini sesungguhnya berpangkal pada perubahan tatanan yang terjadi di Lemah Abang?� tanya Sri Mangana.

�Ananda paham itu, o Ramanda Ratu.�

�Itu berarti, Lemah Abang adalah benih yang harus ditabur ke berbagai lahan agar tumbuh benih Lemah Abang yang lain. Bukankah menebar butir gabah di atas sawah lebih baik hasilnya daripada di atas pot?�

�Ananda masih belum paham dengan penjelasan Ramanda Ratu.�

�Bukankah engkau sudah membuka Lemah Abang di Karawang dan Sukapura?�

�Benar demikian, o Ramanda Ratu,� kata Abdul Jalil. �Tetapi, itu hanya ananda lakukan untuk menempatkan Tu-mbal yang menangkal pengaruh buruk para makhluk gaib penghuni Nusa Jawa. Para santri yang ananda tempatkan di sana pun dibunuh oleh orang-orang tidak dikenal.�

�Menurut hematku, seharusnya Lemah Abang yang engkau buka bukanlah sekadar tempat menanam Tu-mbal, melainkan hendaknya Lemah Abang sebagai dukuh bertatanan baru sebagaimana yang engkau dirikan di Japura. Ya, Dukuh Lemah Abang di Japura itulah yang hendaknya engkau tebarkan di berbagai tempat. Dengan demikian, jika benih Lemah Abang di Japura harus mati karena suatu hal, setidaknya engkau masih memiliki benih lain.�

�Ah, ananda benar-benar tidak berpikir ke arah sana. Tetapi, apakah dengan menumbuhkan benih Lemah Abang di tempat lain tidak malah memperparah keadaan?� tanya Abdul Jalil.

�Peristiwa kekisruhan yang terjadi di Caruban Larang ini hendaknya kita jadikan pelajaran terbaik,� kata Sri Mangana mengemukakan gagasannya. �Setelah aku nilai kembali, sesungguhnya kita terlalu terburu-buru untuk mewujudkan tatanan baru dengan serentak mengubah tatanan lama dalam lingkup luas. Seharusnya, aku tidak tergesa-gesa menetapkan peraturan tentang tatanan baru itu. Seharusnya, aku harus bersabar menunggu pengaruh Lemah Abang berkembang secara alamiah mempengaruhi wilayah di sekitarnya. Sehingga, saat seluruh tatanan baru sudah siap, barulah dibuat ketetapan resmi tentang diberlakukannya tatanan baru. Ya, kita semua tercekam oleh keinginan untuk buru-buru mewujudkan tatanan baru. Semua tidak bisa menahan kesabaran.�

�Sementara itu, kesalahan yang juga tak kalah penting yang telah kita perbuat adalah kekeliruan kita dalam membaca keberadaan penduduk negeri. Selama ini baik aku maupun engkau sendiri selalu menganggap semua orang sama dengan kita yang dibentuk oleh nilai-nilai yang berbeda dengan seumumnya penduduk. Syaikh Abdul Malik Israil yang menyadarkan aku tentang itu. Karena itu, o Puteraku, hendaknya di dalam menebar benih-benih Lemah Abang di tempat lain masalah itu harus engkau perhatikan benar. Engkau harus sadar bahwa yang akan kita ubah adalah nilai-nilai, bukan sekadar tatanan. Sehingga, sejak awal engkau harus sadar bahwa menata nilai-nilai baru itu membutuhkan waktu lama, setidaknya satu sampai dua generasi.�

�Ananda akan pusakakan petunjuk dan nasihat Ramanda Ratu.�

�Karena itu, jika engkau berangkat ke timur, hendaklah membawa serta murid-muridmu. Tempatkanlah mereka sebagian demi sebagian di Dukuh Lemah Abang baru. Perintahkan kepada mereka agar sedapat mungkin menegakkan tatanan baru di dukuhnya dan kemudian berusaha mempengaruhi dukuh-dukuh di sekitarnya. Insya Allah, dengan cara demikian, gagasanmu untuk mewujudkan tatanan masyarakat ummah tidak akan mati dibentur keadaan dan digilas zaman. Gagasanmu yang mulia itu akan tetap menjadi harapan yang diimpi-impikan oleh setiap orang yang mendambakan kebebasan, kesederajatan, dan keadilan,� kata Sri Mangana.

Abdul Jalil termangu-mangu selama mendengarkan penjelasan dan petunjuk Sri Mangana. Ia merasa setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Sri Mangana adalah Sabda Ilahi yang menyingkapkan nur lawami� dan menerbitkan pemahaman fawa�id di dalam dirinya. Ia merasakan getar-getar Ilahiah meliputi kata-kata yang diucapkan Sri Mangana. Ia pandangi mata ayahanda asuhnya yang bening bagai danau. Ia dapati jiwa yang lain di dalam diri ayahanda asuhnya, yaitu jiwa yang sama dengan jiwanya. Kemudian bagaikan digerakkan oleh kekuatan gaib yang tidak kelihatan, tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri diharibaan ayahanda asuhnya seolah-olah seorang anak yang diburu ketakutan dan mencari perlindungan kepada ayahnya.

Read More ->>

AMARAH PARA BANGSAWAN

Amarah Para Bangsawan

Sesungguhnya, saat Prabu Surawisesa menerima susunan tata pemerintahan Caruban Larang yang baru beserta nama pejabatnya, ia sedang diliputi oleh kegembiraan sehingga tidak memikirkan lebih jauh tentang hal lain di balik itu. Namun, saat ia mencermati lagi tatanan pemerintahan Caruban Larang, ia merasakan kepalanya bagai disambar petir. Pasalnya, di antara nagari-nagari yang dibentuk penguasa kalifah Caruban Larang itu terdapat nama Kuningan dan Luragung. Dua wilayah yang merupakan bagian Galuh Pakuan.

Saat Prabu Surawisesa dengan dada dikobari api amarah memanggil Rsi Bungsu untuk menjelaskan nama-nama tempat terkait dengan nagari-nagari baru di Caruban Larang, menghadaplah adipati Kuningan, Susuhunan Pajengan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah saudaranya lain ibu. Kepada Prabu Surawisesa, Susuhunan Pajengan melaporkan bahwa ia baru saja kehilangan kekuasaan atas Kadipaten Kuningan. �Para gedeng telah sepakat untuk memilih Angga, anak Ki Gedeng Kemuning, sebagai penggantiku. Usahaku menyadarkan mereka bahwa Kuningan adalah bagian dari Galuh Pakuan tidak mereka hiraukan. Mereka tetap berkukuh bahwa junjungan mereka yang baru adalah Sri Mangana,� ujar Susuhunan Pajengan dengan wajah muram.

�Apakah engkau diusir dari kadipaten?� tanya Prabu Surawisesa berang.

�Tidak, mereka tidak melakukan tindakan apa-apa kepadaku,� kata Susuhunan Pajengan. �Tetapi, semua nayaka di kadipaten tidak lagi mematuhi perintahku. Mereka semua bersikap seolah-olah aku bukan lagi adipati yang menjadi junjungan mereka.�

Mendengar laporan Susuhunan Pajengan, Prabu Surawisesa tak kuasa menahan diri. Dengan amarah meledak-ledak ia memerintahkan patihnya untuk mendampingi Susuhunan Pajengan ke Rajagaluh, Talaga, dan Pakuan Pajajaran. Prabu Surawisesa menitahkan agar mereka berdua menuturkan �kekurangajaran� orang-orang Caruban Larang yang telah merampas wilayah Galuh Pakuan dengan siasat licik.

Beberapa hari setelah sang patih dan Susuhunan Pajengan pergi, Prabu Surawisesa mengutus Rsi Bungsu untuk mengundang Yang Dipertuan Talaga, Yang Dipertuan Dermayu, Yang Dipertuan Sumedang Larang, dan penguasa Bumi Pasundan untuk hadir ke Galuh Pakuan. Ketika semua raja muda Bumi Sunda yang sudah mendapat laporan keluh kesah Susuhunan Pajengan itu berkumpul di Kraton Surawisesa, dengan keahlian bersilat lidah yang menakjubkan Rsi Bungsu berusaha mempengaruhi saudara-saudara ayahandanya agar bersama-sama membenci dan memusuhi Sri Mangana.

�Jelaslah kini bahwa dengan tindakannya itu Yang Dipertuan Caruban Larang memang berkeinginan menghancurkan Kerajaan Sunda yang kita agungkan dan kita muliakan. Bayangkan, dengan mula-mula membuat aturan yang berbunyi �tanah untuk ra�yat� dan �pemimpin dipilih dari ra�yat�, Pamanda Sri Mangana berusaha mempengaruhi para kawula agar memandang kita sebagai pendusta dan penipu yang rakus dan menguntungkan diri sendiri.�

�Kini setelah Pamanda Sri Mangana mempunyai kekuatan karena dipilih oleh ra�yat, pejabat-pejabat yang diangkatnya adalah orang-orang dari negeri asing yang bahasa dan agamanya berbeda dengan kita. Jelaslah sudah alasan Pamanda Sri Mangana mengangkat orang asing karena beliau memandang kita sebagai penipu dan pembohong. Tetapi, mungkin juga alasan beliau bukan sekadar itu. Mungkin ada latar lain kenapa beliau lebih percaya kepada orang-orang asing.�

�Sesungguhnya tidak syak lagi, Pamanda Sri Mangana yang telah tersihir oleh kesaktian Syaik Lemah Abang telah menjadikan dirinya perampok sejati yang lebih ganas daripada harimau lapar. Dia tidak saja akan merampas agama warisan leluhur kita untuk diganti dengan agama barunya, bahkan dia akan merampas pula tanah dan kekuasaan yang diwariskan leluhur kita. Sungguh, tidak ada yang tahu, pamanda kami yang tercinta itu sedang menderita sakit gila apa.�

�Sesungguh-sungguhnya, satu hal yang paling tidak kami sukai dari sepak terjang Yang Dipertuan Caruban Larang. Apakah itu? Dia kelihatannya telah bersekongkol dengan maharaja Cina untuk menghancurkan Kerajaan Sunda. Jika dugaan ini benar, kekuasaan yang dia tegakkan di Caruban Larang sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari maharaja Cina. Hal itu jelas telah menginjak-injak harga diri dan kehormatan kita sebagai orang Sunda. Sebagai bukti bahwa penguasa Caruban Larang adalah begundal maharaja Cina, paman-paman sekalian bisa melihat nama pejabat baru yang diangkat sang kalifah. Menurut daftar ini, lebih dari separo pejabat Caruban Larang adalah orang-orang Cina perantauan yang tak diketahui asal-usulnya,� ujar Rsi Bungsu sembari menyerahkan susunan pejabat baru Caruban Larang kepada raja muda Talaga, Prabu Pucuk Umun.

Prabu Pucuk Umun yang sebelumnya sudah mendengar keluhan dari saudaranya, Susuhunan Pajengan, dengan mudah terpengaruh oleh kata-kata Rsi Bungsu. Ia makin terpengaruh ketika menerima dan membaca daftar nama para pejabat baru Caruban Larang. Dalam daftar nama itu terbukti jelas jabatan-jabatan penting di Caruban Larang memang dipegang oleh orang asing. Dan di atas semua itu, Prabu Pucuk Umun sangat khawatir saat mendapat bukti bahwa Kuningan dan Luragung sebagai wilayah Galuh Pakuan telah dimasukkan ke dalam wilayah Caruban Larang. Itu berarti, tidak tertutup kemungkinan wilayah Talaga pun sedang menunggu giliran dicaplok Caruban Larang.

Akhirnya, dengan dada dikobari api amarah, Prabu Pucuk Umun kembali ke kratonnya di Talaga. Ia kemudian mengirim para pengintai ke Kuta Caruban untuk membuktikan kebenaran data dari Rsi Bungsu. Prabu Pucuk Umun sendiri sesungguhnya sudah lama mendengar kabar mengkhawatirkan tentang saudaranya yang menjadi penguasa Caruban Larang. Namun, akibat sibuk menikmati kemewahan dan sanjungan di kratonnya, ia tidak menganggap serius kabar tersebut. Dengan sangat yakin diri ia selalu berkata, �Sebuas-buas harimau tidak akan memangsa saudaranya sendiri.�

Kini setelah Kuningan direbut Caruban Larang dan nasib saudaranya, Susuhunan Pajengan, menjadi tidak menentu, sadarlah ia bahwa Sri Mangana tidaklah boleh dianggap sebagai saudara lagi. Sadarlah ia bahwa sang harimau telah menjadi haus darah sehingga akan mungkin akan memangsa dirinya. Harimau itu, kata Prabu Pucuk Umun dalam hati, tidak boleh mendekati Talaga, kalau perlu mesti dibunuh beramai-ramai.

Sementara itu, Prabu Cakraningrat, Yang Dipertuan Rajagaluh, pada awalnya juga berpikiran sama dengan Prabu Pucuk Umun. Segala kabar miring tentang Sri Mangana yang diperolehnya dari Prabu Surawisesa selalu dianggapnya sebagai bagian dari persaingan dua saudara dalam merebut takhta Kerajaan Sunda. Namun, kini ketika Sri Mangana terbukti menerapkan tatanan baru di Caruban Larang, yang jelas-jelas mengancam keberadaan para penguasa di Bumi Pasundan, ia tiba-tiba menjadi sangat cemas. Itu sebabnya, sekembali dari Galuh Pakuan ia buru-buru mengutus Adipati Kiban, Yang Dipertuan Palimanan, ke Kuta Caruban untuk meminta penjelasan dari Sri Mangana tentang nama-nama orang asing dalam tata pemerintahannya yang baru.

Di antara para raja muda yang hadir dalam pertemuan di Galuh Pakuan itu ternyata yang paling tidak diuntungkan kedudukannya akibat gelombang perubahan di Caruban Larang adalah Prabu Indrawijaya, Yang Dipertuan Dermayu. Lebih dari setengah penduduk Dermayu adalah para pendatang Campa, pemukim Melayu, pedagang Siam, dan perantau Cina yang umumnya beragama Islam. Sedangkan sisa penduduk yang terpilah atas orang-orang Sunda dan Jawa lebih setengahnya juga sudah beragama Islam. Walhasil, kekuasaan raja muda Dermayu terkucil ibarat sebuah kapal berada di tengah lautan sehingga saat gelombang pasang perubahan terjadi di Caruban Larang, getarannya terasa hingga di Dermayu dan kapal itu pun ikut oleng diempas ombak perubahan.

�Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi perubahan ini,� kata Prabu Indrawijaya dengan nada putus asa. �Gelombang perubahan itu begitu cepat melanda wilayah kekuasaanku. Para kawula Dermayu yang umumnya muslim mengikuti tindakan saudara-saudaranya di Caruban Larang. Mula-mula Demang Mundu dipilih menjadi gedeng dan ia membagi-bagikan tanah kepada penduduknya. Setelah itu Demang Kertasemaya mengikuti jejaknya. Hingga kini para demang di wilayah Dermayu yang dipilih penduduk menjadi gedeng sudah ada tujuh orang yaitu gedeng Majasih, Rambatan, Tegalwurung, Malang Sumirang, dan Sindang.�

�Menurutku, orang-orang Islam itu sungguh licin dan banyak akal. Mereka memiliki banyak siasat. Saat penduduk Junti membuka desa baru yang dinamai Lemah Abang di sebelah timur Kraton Dermayu, aku mengutus Demang Singajaya untuk menanyakan maksud dan tujuan mereka menamakan desa tersebut Lemah Abang. Ternyata, Demang Singajaya kembali melapor bahwa warga baru itu menamai desanya Lemah Abang, bukan Lemah Abang. Sebaliknya, kampung di selatan Lemah Abang dinamai Lemah Mekar. Saat Demang Pasekan kuutus mengawasi perikehidupan warga dari kedua desa baru itu, dia melaporkan bahwa nama yang benar dari desa-desa itu adalah Lemah Abang dan Lemah Mekar. Ini sungguh memusingkan. Bahkan, saat Demang Singajaya kuutus kembali kedua desa baru itu, penduduk berlagak tolol seolah-olah tidak mengetahui pasti nama yang benar dari desanya.�

Para putera maharaja Sunda yang mendengar keluhan Yang Dipertuan Dermayu tidak bisa memberikan saran apa pun atas nasib malang yang dialami saudaranya. Mereka hanya meminta agar Prabu Indrawijaya tabah dan tidak menyerah pada perubahan yang dilakukan oleh para demang yang membagi-bagikan tanah kepada penduduk. Mereka juga memintanya tidak perlu memikirkan penduduk baru yang membuka desa bernama Lemah Abang. Mereka umumnya menyarankan agar semuanya menunggu kelanjutan dari perubahan di Caruban Larang yang secara cepat atau lambat akan melanda wilayah kekuasaan mereka. Dan, mereka umumnya sangat cemas jika kelak mengalami nasib seperti saudara mereka, Prabu Indrawijaya dan Susuhunan Pajengan.

Sesungguhnya mereka yang cemas dengan perubahan yang terjadi di Caruban Larang bukan hanya putera raja yang menjadi penguasa di berbagai kerajaan kecil di Bumi Pasundan. Para bangsawan rendahan yang menduduki jabatan demang, wadana, dan mantri wadana pun tak kurang cemasnya. Dengan diberlakukannya peraturan baru tentang kepemilikan tanah di Caruban Larang, sesungguhnya pihak yang dirugikan adalah para pemilik tanah, yakni para pangeran dan adipati, yang mempercayakan tanah-tanah mereka kepada para mantri wadana, wadana, dan demang untuk disewakan kepada kawula. Bukankah dengan diakuinya hak kepemilikan pribadi tiap-tiap kawula atas tanah sebenarnya bermakna merampok tanah milik raja yang diwariskan kepada keturunannya? Bukankah dengan peraturan baru itu para demang, wadana, mantri wadana, adipati, dan pangeran tidak lagi menerima uang sewa tanah dari kawula penggarap?

Kecemasan para bangsawan rendahan itu dimanfaatkan benar oleh Prabu Surawisesa untuk memperoleh dukungan besar bagi hasratnya untuk meraih takhta Kerajaan Sunda. Dengan membuat peraturan baru tentang ketentuan mengelola tanah garapan yang memberikan bagian lebih besar kepada para demang dan wadana, dibangunlah kekuatan militer Galuh Pakuan untuk mengimbangi Caruban Larang. Dalam peraturan baru itu masing-masing demang mendapat separo bagian dari uang sewa tanah garapan di daerahnya. Para wadana mendapat bagian seperempat, sedangkan sisanya untuk mantri wadana, adipati dan pangeran pemilik tanah.

Dengan peraturan baru itu bukan berarti para demang dan wadana bisa menikmati bagian besar dari hasil sewa tanah dengan percuma. Sebab masing-masing demang dibebani kewajiban memelihara seratus prajurit, sementara wadana berkewajiban menggalang sepuluh kesatuan prajurit yang dipelihara demang. Itu berarti, bagian yang didapata dari sewa tanah itu digunakan para demang untuk membiayai kehidupan seratus prajurit. Menurut kabar, dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak peraturan baru itu diterapkan, Galuh Pakuan sudah memiliki prajurit sekitar 100.000 orang.

Merasa masih kurang cukup dengan kekuatan militer yang dimilikinya, Prabu Surawisesa meminta dukungan dari saudaranya yang lain, para raja muda Bumi Pasundan, untuk menghadapi kekuatan militer Caruban Larang. Para penguasa Bumi Pasundan yang cemas dengan tindakan-tindakan Sri Mangana memang tidak bisa berbuat lain, kecuali harus medukung Prabu Surawisesa. Akhirnya satuan-satuan pasukan dari berbagai kadipaten seperti Sukapura, Sindangbarang, Kidang Lamotan, Ukur, Sumedang Larang, Kamuning Gading, Ajong Kidul, Pasir Panjang, Limbangan, Maleber, Panembong, dan Batu Layang berdatangan ke Galuh Pakuan untuk memperkuat bala tentara yang disiagakan Prabu Surawisesa dalam menghadapi kekuatan militer Caruban Larang.

Langkah Prabu Surawisesa membangun kekuatan militer Galuh Pakuan diikuti oleh Yang Dipertuan Talaga dan Yang Dipertuan Rajagaluh. Dengan menerapkan peraturan baru yang sama dengan Galuh Pakuan dalam waktu kurang dari dua bulan militer Talaga sudah berjumlah 75.000 orang. Sementara di Rajagaluh, jumlah militer membengkak dari 20.000 menjadi 100.000 orang. Demikianlah, bagaikan sedang berlomba memamerkan kekuatan masing-masing, para putera maharaja Sunda itu saling berpacu menyaingi kekuatan militer Caruban Larang.

Pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah Caruban Larang, ternyata tidak hanya menimbulkan kekhawatiran dan kemarahan para bangsawan Sunda yang merasa terancam kepentingannya. Para bangsawan Arab Kuta Caruban yang dipimpin oleh Sayyid Habibullah al-Mu�aththal sangat tidak suka dengan pengangkatan kalifah tersebut. Pasalnya, menurut Sayyid Habibullah al-Mu�aththal, manusia yang menduduki jabatan kalifah ar-rasul wajib berasal dari suku Quraisy, terutama dari antara ahlul bait, keturunan Nabi Muhammad Saw.

Sayyid Habibullah al-Mu�aththal adalah menantu Ki Gedeng Trusmi. Ia disegani orang lebih disebabkan karena keberadaannya sebagai menantu seorang gedeng. Tanpa status menantu gedeng, ia hanyalah gumpalan daging bernyawa rakus dan tidak pantas dihargai. Hari-hari dilewatinya dengan membual. Makan enak. Tidur mendengkur. Mengumbar nafsu membuat keturunan.

Matanya yang selalu tampak setengah terkatup seperti mengantuk, sering terbelalak dan bersinar kilau-kemilau manakala melihat kelebatan perempuan di depannya. Hidungnya yang sebengkok paruh burung betet termasyhur ketajamannya ketika membaui anak gadis orang dan janda-janda muda. Telinganya yang kecil tetapi panjang keledai akan tegak jika mendengar orang bicara tentang uang dan perempuan. Mulutnya yang tebal ditutupi kumis sering kedapatan berdecak-decak manakala melihat perempuan lewat di depannya.

Sesungguhnya tidak satu pun orang tahu apakah Sayyid Habibullah al-Mu�aththal benar-benar bangsawan Arab keturunan Nabi Muhammad Saw. seperti pengakuannya. Orang hanya mengiyakan karena memang tidak ada yang tahu bagaimana cara membedakan wajah orang Arab satu dengan wajah orang Arab yang lain. Dalam pandangan orang Sunda dan orang Jawa, wajah orang Arab itu sama. Orang umumnya tidak peduli apakah pengakuan seseorang sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. itu butuh bukti atau tidak. Pendek kata, mereka menganggap setiap orang Arab sah saja mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw.

Keluguan orang-orang Caruban dalam menyikapi kehabaiban itu oleh Sayyid Habibullah al-Mu�aththal sering diartikan sebagai ketololan dan kepandiran. Itu sebabnya, dengan kepandaiannya membual ia bentangkan permadani ketidakbersalahan pada alam pikiran orang-orang di sekitarnya. Kemudian di atas permadani itu ia melompat-lompat dan berguling-guling semau-maunya untuk melampiaskan hasrat nafsunya. Ia sangat yakin bahwa penghormatan dan kepatuhan orang-orang kepadanya disebabkan oleh keberhasilannya membual dengan mengaku-aku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Padahal, dengan kemalasan, kerakusan, dan bualan kosongnya itu orang tidak pernah menilainya lebih dari segumpal daging bernyawa. Ia dihormati karena keseganan orang terhadap mertuanya, Ki Gedeng Trusmi.

Sekalipun keberadaannya nyaris seperti segumpal daging bernyawa, Sayyid Habibullah al-Mu�aththal sangat cermat mengamati keadaan. Itu sebabnya, meskipun ia sangat tidak senang dengan pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah, ia tidak berani secara terbuka menentangnya. Ia mengetahui benar pengaruh dan kekuatan sang ratu yang semakin kuat setelah diangkat menjadi kalifah. Ia sadar bahwa menggugat keberadaan Sri Mangana pada saat seperti itu sama dengan membenturkan kepala ke tembok. Lantaran itu, diam-diam ia pergi ke Lemah Abang untuk menjumpai Abdul Jalil dan menyampaikan kekecewaan dan luapan amarahnya.

�Antum sudah kelewatan melakukan perubahan, hai Abdul Jalil,� ujar Sayyid Habibullah al-Mu�aththal dengan suara ditekan tinggi. �Saking kelewatan sampai antum tidak tahu di mana harus berhenti. Antum sudah kebablasan. Antum sudah melanggar kaidah-kaidah kekalifahan yang pernah ada.�

�Aku tidak paham dengan apa yang Anda katakan,� kata Abdul Jalil. �Apa yang Anda anggap telah kelewatan dari perubahan yang kami lakukan? Apakah Anda tidak suka dengan tatanan baru masyarakat ummah? Di mana letak ketidaksetujuan Anda dan di mana letak pelanggaran kami atas kaidah-kaidah kekalifahan?�

�Antum menunjuk Sri Mangana sebagai kalifah,� sergah Sayyid Habibullah al-Mu�aththal keras, �Itu satu kesalahan besar. Itu pelanggaran kaidah-kaidah kekalifahan. Menurutku, kedudukan Sri Mangana sebagai kalifah tidak sah.�

�Bagaimana Anda mengatakan yang menunjuk Sri Mangana sebagai kalifah adalah aku, Syaikh Lemah Abang? Bukankah semua orang tahu bahwa penunjukka beliau sebagai kalifah berdasarkan atas pilihan seluruh gedeng di Caruban Larang? Dan, aku kira itu tidak melanggar kaidah-kaidah kekalifahan,� kata Abdul Jalil.

�Tapi dia itu siapa? Ada hubungan darah apa dia dengan kemuliaan dan kesucian darah Quraisy? Dia anak negeri Sunda, yang kebetulan anak maharaja. Jadi, dia itu hanya layak jadi ratu di negerinya. Ingat itu: Sri Mangana hanya layak jadi ratu. Ratu. Sekali lagi, hanya ratu. Sedang untuk jabatan kalifah, kalifah ar-rasul, dia sama sekali tidak memiliki hak,� kata Sayyid Habibullah al-Mu�aththal dengan sudut bibir mulai membusa.

Sesuatu di dalam diri Abdul Jalil bergolak saat mendengar ucapan Sayyid Habibullah al-Mu�aththal yang merendahkan Sri Mangana. Untuk beberapa jenak ia terdiam. Setelah itu, sesuatu yang bergolak di dalam jiwanya itu menghambur lewat mulut bagaikan semburan kawah gunung berapi.

�Jika Anda menilai Sri Mangana tidak pantas menjadi kalifah ar-rasul dengan alasan keempat sahabat Nabi Muhammad Saw. yang menjadi kalifah adalah orang Quraisy, maka aku katakan bahwa Anda telah keliru memahami maksudku. Dalam berbagai kesempatan telah aku jelaskan bahwa tatanan baru yang disebut masyarakat ummah tidak didasarkan atas ikatan keturunan, kesukuan, kebangsaan, bahasa, dan agama tertentu. Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang pemimpin masyarakat ummah yang menduduki jabatan wali al-Ummah pun wajib mengikuti ketentuan yang sama. Sungguh aneh dan lucu jika tatanan masyarakat ummah itu diikuti ketentuan yang mengatakan bahwa pemimpin masyarakat ummah hendaknya berasal dari suku atau keluarga tertentu. Kalau ketentuan itu yang diterapkan, pastilah yang akan menduduki jabatan kalifah ar-rasul sayyidin panatagama di Caruban Larang anda sendiri. Karena, menurut cerita orang Anda adalah ahlul bait keturunan Rasul Allah Saw. yang berasal dari antara orang Quraisy.�

�Sungguh, aku tidak ingin berdebat dengan anda tentang Quraisy dan bukan Quraisy dalam hal kekalifahan. Tetapi, andaikata aku membenarkan dan kemudian mengikuti pandangan Anda, maka sesungguhnya aku akan menempatkan gagasan khilafah hanya dalam mimpi dan angan-angan karena tidak akan mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Kenapa aku katakan tidak akan mungkin diwujudkan dalam kenyataan? Sebab, syarat-syarat untuk menjadi kalifah sebagaimana yang aku gagas bukanlah syarat yang ringan. Syarat itu sangat berat. Mahaberat.�

�Pertama, seorang calon kalifah wajib berasal dari kalangan manusia beriman yang dikenal jujur dan terpercaya serta pemberani. Kedua, wajib cerdas dan berwawasan luas. Ketiga, berpengetahuan mendalam tentang agama, tata negara, dan kehidupan masyarakat. Keempat, hidup sebagai zahid sejati agar bisa berbuat adil. Kelima, rela berkorban jiwa, raga, dan harta untuk melindungi dan memakmurkan masyarakat yang dipimpinnya. Keenam, pekerja keras yang menjalankan tugas sebagai wakil Allah di muka bumi. Ketujuh, dicintai dan dijadikan panutan dan keteladanan masyarakat karena akhlak yang mulia.�

�Nah, dengan tujuh syarat itu, mohon Anda tunjukkan kepada aku siapa di antara keturunan Quraisy di Caruban Larang ini yang bisa memenuhinya? Anda tunjukkan kepada aku calon kalifah yang memenuhi syarat-syarat itu! Jika Anda bisa menunjukkan kepadaku calon kalifah yang memenuhi syarat itu, sekarang juga aku akan pergi ke Kuta Caruban. Aku akan meminta Sri Mangana meletakkan jabatan dan mendaulat sang calon tersebut untuk menggantikannya, dengan catatan calon itu disetujui oleh para gedeng.�

�Sungguh, demi Allah aku bersumpah, sepanjang aku lahir hingga sekarang belum pernah aku jumpai orang di Bumi Caruban Larang yang bisa memenuhi tujuh syarat itu. Bahkan, orang-orang yang mengaku keturunan Quraisy pun tidak. Yang aku saksikan di antara mereka yang mengaku berdarah Quraisy justru para pemalas yang mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw., namun hidup menganggur (mu�aththal). Tidak bekerja. Menikahi anak pejabat negeri setempat. Menambah jumlah istri dan menafkahi istri barunya dengan harta mertua. Anaknya tercecer di mana-mana. Bahkan yang menyedihkan, mereka tidak memahami ajaran Islam dengan baik. Sembahyang lima waktu tidak dijalankan. Puasa Ramadhan tidak dilakukan, apalagi zakat, infak, dan sadaqah. Mereka berdiri di atas permadani ketidakbersalahan dan merasa sudah beroleh jaminan sebagai penghuni surga karena merasa anak cucu Rasulullah Saw.. Sungguh memuakkan tingkah mereka itu bagiku.�

�Sekarang Anda bandingkan mereka dengan Sri Mangana, anak negeri yang Anda nilai tidak pantas dan tidak berhak menjadi kalifah. Pertama-tama, dia adalah mukmin yang tidak diragukan lagi keimanannya. Dia dikenal sebagai orang alim yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam. Itu terbukti bahwa dia adalah pengajar tafsir al-Qur�an, fiqh madzhab Syafi�i, ushul fiqh, mustholah hadits, balaghah, dan manthiq di Pesantren Giri Amparan Jati. Beliau satu-satunya orang di Caruban Larang yang memiliki sekaligus mampu mengajarkan kitab asybah wa an-nadhar, bidayah al-mujtahid, bughiyah al-murtasyidin, fath al-wahhab, ijma�adz-dzirayyah, al-luma�, al-jami� ash-shaghir, al-muhadzdzab. Bahkan, andaikata dibandingkan dengan orang yang mengaku berdarah Quraisy seperti Anda, misalnya, sesungguhnya dia pasti jauh lebih Quraisy dalam lughat ketika membaca Al-Qur�an.�

�Tentang kejujuran? Dia tentu saja sudah termasyhur sebagai raja yang jujur dan dipercaya oleh seluruh ra�yat Caruban Larang. Tentang keberanian? Anda tentu sudah mafhum. Jika ditanya tentang pengetahuan dalam tata negara dan tata kehidupan masyarakat, tentu saja dia jauh lebih layak karena dia seorang raja. Tentang kerelaan berkorban untuk masyarakat yang dipimpinnya? Tentu semua warga Caruban Larang telah paham betapa sesungguhnya dia telah rela memberikan semua tanah miliknya di seluruh negeri untuk dihibahkan demi kemaslahatan masyarakat ummah.�

�Tentang kehidupan sebagai zahid sejati? Dia teladan sempurna di Caruban Larang dan bahkan di seluruh Bumi Pasundan. Siapa pun di antara orang beriman mengetahui dia merupakan zahid sejati, yang pergi meninggalkan kemewahan hidup dan tinggal di gubuk kecil beratap daun kawung. Dia memang memegang kunci perbendaharaan negara (Baitul Mal), namun secuil pun dia tidak pernah mengambil untuk kepentingan pribadi. Dia dan keluarga merajut kopiah dan menenun pakaian untuk dijual sebagai nafkah sehari-hari. Dengan kezahidannya, tidak syak lagi bahwa kebijakan-kebijakan yang diambilnya akan selalu tegak di atas keadilan. Karena, keadilan hanya mungkin dipunyai oleh seorang zahid yang hatinya selalu terikat kepada al-�Adl.�

�Siapa yang bisa mengingkari kenyataan bahwa Sri Mangana adalah pribadi agung seorang pejuang yang tak pernah kenal istirahat dalam menjalankan dharma sebagai wakil Allah di muka bumi? Seluruh ra�yat Caruban Larang tentu sudah tahu bahwa Sri Mangana adalah satu-satunya raja di Bumi Pasundan yang sangat membenci pesta pora mengumbar kesenangan. Dia pekerja keras yang tidak suka kemalasan. Hartanya lebih banyak didermakan kepada para fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Dan yang terpenting di atas itu semua, dia adalah raja yang dicintai oleh seluruh ra�yatnya, kecuali orang-orang yang pamrih pribadinya terhambat oleh keberadaannya. Sehingga, bagiku, apa yang terkait dengan keberadaan Sri Mangana sebagai kalifah adalah sah dan tidak melanggar kaidah-kaidah kekalifahan yang kumaksud. Entah jika kekalifahan itu menurut Anda.�

Mendengar kata-kata Abdul Jalil yang disemburkan tanpa basa-basi dan sebagian besar menyinggung perasaannya, Sayyid Habibullah al-Mu�aththal bangun dari tempat duduk, berdiri tegak dengan mata berkilat-kilat dan bibir bergetar serta dada naik turun menahan amarah. Tanpa mengucap salam ia bersungut-sungut keluar dari gubuk Abdul Jalil. Mendapati sikap Sayyid Habibullah al-Mu�aththal itu, Abdul Jalil tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia sadar telah menyinggung dan menyakiti hati Sayyid Habibullah al-Mu�aththal tanpa ia kehendaki sebelumnya.

Ketika Abdul Jalil melangkah keluar dari gubuknya mengejar Sayyid Habibullah al-Mu�aththal yang keluar rumah dengan marah, ia berpapasan dengan Ki Gedeng Pasambangan di pintu. Rupanya, sejak tadi Ki Gedeng Pasambangan mendengar perbincangan Abdul Jalil dengan Sayyid Habibullah al-Mu�aththal. Setelah sama-sama terhenti di depan pintu, Ki Gedeng Pasambangan bertanya, �Hendak ke manakah engkau, o sahabat terkasih?�

�Aku hendak meminta maaf kepada Sayyid Habibullah al-Mu�aththal. Aku merasa telah menyinggung perasaannya sehingga ia pulang dengan hati diliputi kemarahan.�

�Sesungguhnya engkau tidak perlu meminta maaf kepadanya,� kata Ki Gedeng Pasambangan. �Karena apa yang telah engkau katakan benar adanya. Mudah-mudahan dengan ucapanmu itu dia akan sadar diri.�

�Aku tidak paham maksudmu, o Sahabat.�

�Sesungguhnya, al-Mu�aththal itu pemalas termasyhur dan tukang mimpi kawakan,� kata Ki Gedeng Pasambangan. �Aku pertama kali mengenal dia sebagai menantu Ki Gedeng Trusmi. Sejak awal menjadi menantu Ki Gedeng Trusmi sampai sekarang ini dia tidak bekerja apa-apa. Maksudku, dia tidak memiliki pekerjaan tertentu sebagai sumber nafkah. Hidupnya sehari-hari hanya diwarnai kegiatan makan, duduk di teras rumah, mengudap di warung, membual, mengisap candu, beranak pinak, dan tidur. Orang tidak pernah melihatnya ke tajug untuk sembahyang. Orang juga kerap kali melihatnya menyantap makanan di warung pada bulan Ramadhan. Jika orang bertanya kenapa dia tidak pernah kelihatan sembahyang dan berpuasa maka dia akan berkata bahwa anak cucu Rasul Saw. adalah orang-orang suci yang sudah memegang kunci surgawi.�

�Aku tidak tahu makhluk satu itu tubuhnya dibuat dari bahan apa. Aku sering melihat dia suka tidur di atas kursi di rumahnya sambil mendengkur keras-keras. Tubuhnya aku bayangkan seperti kain disangkutkan ke sandaran kursi. Sungguh tidak ada kesan lain yang kutangkap dari al-Mu�aththal kecuali kemalasan. Dengan bualannya yang membosankan, ia berikan alasan-alasan kepada mertuanya untuk menanggung nafkah keluarganya. Bahkan tanpa tahu malu, saat menikah lagi, ia juga menafkahi istri-istri barunya dengan harta mertuanya. Dan yang paling memuakkan, dengan istri-istrinya itu ternyata dia belum puas juga. Kata orang, al-Mu�aththal suka bercanda dan menggoda pelayan-pelayan warung tempat ia mengudap. Sehingga, di Trusmi banyak kedapatan anak-anak pelayan warung yang berwajah Arab. Mereka, entah benar entah tidak, adalah anak gelap al-Mu�aththal dengan para pelayan warung.�

�Menurut pandanganku, al-Mu�aththal itu adalah makhluk tengik yang tidak saja pemalas, tetapi juga rakus. Bayangkan, saat Ki Gedeng Trusmi membagi-bagikan tanah kepada penduduk, dia justru meminta bagian lebih. Tidak ada penduduk yang berani menentangnya. Ki Gedeng Trusmi yang lemah itu membiarkan saja tidakan menantunya yang melanggar hak penduduk lain. Sehingga, dibandingkan dengan penduduk Trusmi yang lain, al-Mu�aththal memiliki tanah sepuluh kali lebih luas. Tanah itu disewakannya kepada penggarap baru. Sepanjang tahun dia menikmati uang hasil sewa sambil bermalas-malasan.�

�Aku sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar habaib keturunan Nabi Muhammad Saw. atau petualang Arab yang mengaku-ngaku. Tapi, saat aku bertemu Sayyid Abdurrahman al-Yamani di Dermayu dan menyoal perilaku al-Mu�aththal, beliau hanya berkata begini: �Jika benar seseorang mengaku keturunan Rasulullah Saw. hendaknya engkau lihat cerminan akhlaknya. Jika ternyata dia berakhlak bejat maka dia penipu.� Dengan berpegang pada ucapan Sayyid Abdurrahman al-Yamani itulah aku tidak yakin al-Mu�aththal itu seorang habaib. Lantaran itu, ketika orang-orang ramai memilih calon wali nagari, nama al-Mu�aththal tidak sedikit pun disentuh karena hampir semua gedeng di Caruban Larang ini sudah tahu siapa makhluk itu: pemalas rakus yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi dengan berlindung di balik agama dan keturunan Nabi Saw..�

�Apakah dia tidak akan menimbulkan kesulitan di kelak kemudian hari?�

�Aku kira, kesulitan yang akan ditimbulkan al-Mu�aththal tidak banyak berarti. Sebab, semua orang sudah tahu siapa al-Mu�aththal, si pembual yang ke mana-mana tempat hanya menyemburkan busa dari mulutnya.�

Ketika ketegangan antara Sri Mangana dan saudara-saudaranya makin memuncak, terjadilah peristiwa yang tidak tersangka-sangka. Di tengah kobaran api perubahan yang sedang menggelombang menyapu Bumi Caruban Larang, percik apinya ternyata terbawa angin dan menebar ke daerah perbatasan dan menerobos ke sudut-sudut kehidupan penduduk di Bumi Pasundan. Akibatnya, arus perubahan mulai dijadikan bahan pembicaraan para penduduk di pedalaman Bumi Pasundan. Ketika sejumlah demang dan wadana di wilayah Galuh Pakuan mulai sering bertemu dan membicarakan perubahan di Caruban Larang, beratus dan mungkin beribu kawula diam-diam meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk menjadi penduduk Caruban Larang.

Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan, sangat kebingungan dengan peristiwa tak terduga-duga di wilayah kekuasaannya itu. Padahal, selama ini ia dan saudaranya yang lain sedang bertindak bagaikan sekawanan harimau yang mengendap-ngendap mengintai mangsa: mengamati semua gerak kehidupan Sri Mangana yang sibuk mengendalikan bahtera di tengah arus perubahan. Ternyata, saat hendak menerkam, tiba-tiba mereka disadarkan oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa di tempat mereka berdiri sesungguhnya sudah berkobar api perubahan yang siap membakar mereka.

Sekalipun yakin dirinya bakal ditunjuk menjadi pengganti ayahandanya sebagai maharaja Sunda, Prabu Surawisesa tetap sadar bahwa takhta itu belum didudukinya. Itu sebabnya, ia merasa kebingungan untuk membendung gelombang perubahan yang sudah menerobos ke wilayah kekuasannya. Sebagai raja muda, ia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pelarangan atas nama hukum terhadap gerakan pembaharuan itu. Hak atas hukum masih dipegang oleh maharaja Sunda, yang justru tidak menganggap berbahaya arus perubahan tersebut, bahkan sang maharaja merasa iba hati terhadap nasib pemimpin gerakan perubahan itu.

Di tengah ketidakberdayaan menghadapi arus perubahan yang sudah melanda wilayah kekuasaannya, Prabu Surawisesa didesak oleh Rsi Bungsu, putera bungsunya, agar melakukan tindakan rahasia membendung kekuatan inti dari arus tersebut. �Tanpa memangkas akar utama pohon perubahan itu, ananda kira pohon itu akan terus tumbuh membesar dan membahayakan pohon lain yang sudah ada,� kata Rsi Bungsu.

�Aku tidak paham maksudmu, o Puteraku,� kata Prabu Surawisesa.

�Ramanda Prabu harus mengenyahkan si keparat Abdul Jalil dari muka bumi,� sahut Rsi Bungsu dingin.

�Tapi, dia alat dari ratu Caruban belaka. Jadi menurutku, tidak ada gunanya membunuh dia. Karena hal itu hanya akan menyulut amarah ratu Caruban Larang,� kata Prabu Surawisesa.

�Mohon ampun, sesungguhnya Ramanda Prabu sangat keliru menilai Abdul Jalil,� kata Rsi Bungsu. �Dia bukanlah alat Pamanda Sri Mangana. Justru dialah sesungguhnya binatang penghasut yang telah mempengaruhi saudara Ramanda Prabu itu dengan ilmu sihirnya.�

�Kenapa engkau bisa berkata begitu, o Puteraku?� tanya Prabu Surawisesa mengerutkan kening.

�Abdul Jalil, Syaikh Lemah Abang itu, sesungguhnya adalah anak orang asing yang dipungut Ki Danusela dan diasuh Sri Mangana di padepokan Syaikh Datuk Kahfi. Dia pergi ke negeri asing bertahun-tahun silam. Kemudian, saat kembali dia mendapati ayahanda asuhnya telah menjadi ratu di Caruban Larang. Maka, seperti pengemis hina, dia bersimpuh dan menjilat kepada ayahanda asuhnya agar beroleh kemuliaan di istana.�

�Sesungguhnya Abdul Jalil sangat mengharap kedudukan yang tinggi, yaitu menjadi ratu Caruban Larang menggantikan ayahanda asuhnya. Sebab, dia dulu adalah calon kuwu Caruban. Tapi, dia sadar hal itu mustahil terjadi karena orang-orang Sunda dan Jawa yang menjadi penduduk Caruban Larang tidak akan sudi dipimpin oleh orang asing. Selain itu, dia juga sadar bahwa putera Sri Mangana, Pangeran Cirebon, lebih berhak mengganti kedudukan ayahandanya daripada dia. Nah, tatanan baru yang dikumandangkan Abdul Jalil di Lemah Abang dan diikuti oleh kagedengan di seluruh Caruban Larang sejatinya adalah jalan lurus yang bakal membawanya ke puncak takhta saat Sri Mangana mangkat. Sebab, para gedeng yang kebanyakan adalah murid-muridnya itu tentu akan lebih memilih dia sebagai pengganti Sri Mangana daripada Pangeran Cirebon,� kata Rsi Bungsu berapi-api.

�Tapi, laporan-laporan yang aku terima justru mengatakan bahwa Syaikh Lemah Abang adalah seorang guru ruhani yang hidup menjauhi keduniawian. Bagaimana mungkin orang seperti itu berambisi merebut takhta Caruban Larang?� ujar Prabu Surawisesa.

�Ananda menduga sikapnya itu hanya merupakan kepura-puraan,� kata Rsi Bungsu berusaha meyakinkan ayahandanya. �Tetapi, jika Ramanda Prabu berkenan mengikuti nasihat ananda maka arus itu akan terbendung dengan sendirinya. Sebab, kematian Abdul Jalil memiliki makna kematian juga bagi Sri Mangana.�

�Kenapa engkau berkata begitu?�

�Sebab Abdul Jalil adalah anak kesayangan yang sangat dipercaya oleh saudara Ramanda Prabu itu. Apa pun yang diminta Abdul Jalil pasti dipenuhi Pamanda Sri Mangana. Bahkan, ketika beliau sakit hilang ingatan, mendadak sembuh ketika didatangi Abdul Jalil. Tidakkah Ramanda Prabu mendengar cerita orang yang mengaitkan sembuhnya sakit Sri Mangana dan kedatangan Abdul Jalil?�

�Aku sudah mendengar soal itu.�

�Jadi, menurut hemat ananda, akar dari semua masalah ini adalah Abdul Jalil.�

�Tapi membunuh orang secara licik bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan bagi seorang raja. Aku tidak keberatan engkau membunuh Syaikh Lemah Abang atau Sri Mangana sekalipun dengan caramu, o Puteraku. Namun, aku akan mengatakan kepadamu bahwa aku tidak akan pernah ikut melumuri tanganku dengan darah mereka,� kata Prabu Surawisesa tegas.

Mendapat jawaban tegas Prabu Surawisesa, Rsi Bungsu kecewa. Ia segera berpamitan dan pergi meninggalkan Galuh Pakuan. Ia tahu ayahandanya adalah raja yang memiliki sikap tegas. Ia yakin jika sarannya sudah ditolak, tidak akan dipertimbangkan lagi upaya mengubahnya. Lantaran itu, ia berniat pergi ke Talaga, Rajagaluh, dan Dermayu untuk mempengaruhi paman-pamannya agar menyingkirkan Abdul Jalil dari daftar hidup manusia. Rupanya, Rsi Bungsu diam-diam menyimpan dendam kesumat terhadap Abdul Jalil yang tidak saja dianggap telah merusak rencananya menduduki jabatan kuwu Caruban belasan tahun silam, tetapi juga menjadi sosok yang diam-diam dikagumi putera tunggalnya, Raden Anggaraksa, hingga puteranya itu memeluk Islam.

Sepak terjang Rsi Bungsu di tengah membadainya arus perubahan di Caruban Larang ternyata menimbulkan pengaruh yang tidak kecil bagi perubahan itu sendiri. Ia seperti memunculkan pusaran angin lain yang berputar-putar di sekeliling arus utama angin perubahan. Berbagai kabara angin yang menyangkut keberadaan tatanan baru tiba-tiba terasa menampar-nampar di sekitar gerak perubahan. Satu saat, misalnya, berembus kabar angin bahwa perubahan yang terjadi di Caruban Larang adalah bikinan kaki tangan maharaja Cina. Hal itu terbukti dengan banyaknya jabatan penting yang diduduki oleh orang-orang Cina. Pada saat yang lain, berembus kabar angin yang menyatakan bahwa sang kalifah akan memaksa penduduk Bumi Pasundan untuk memeluk agama Islam dengan cara memotong kemaluan para lelaki secara serentak. Bahkan, tersebar pula kabar angin yang menyatakan bahwa penggagas tatanan baru, Syaikh Lemah Abang, adalah tukang sihir dari negeri Arab yang ditugasi oleh raja Arab untuk menundukkan Kerajaan Sunda melalui penaklukan Caruban Larang.

Di tengah pusaran berita yang teraduk-aduk tak tentu arah itu, terjadi peristiwa lain yang menegangkan para penduduk Caruban Larang. Menurut berita yang beredar dari tajug ke tajug dan dari rumah ke rumah, Prabu Surawisesa Yang Dipertuan Galuh Pakuan telah menggerakkan sekitar 200.000 pasukan ke perbatasan Caruban Larang. Berdasarkan pengakuan penduduk Galuh Pakuan yang berhasil meloloskan diri ke wilayah Caruban Larang, pasukan Galuh Pakuan itu terlihat beriap-riap bagaikan kawanan semut di sepanjang tepi selatan Sungai Sanggarung, antara Sagala Herang hingga Panembong. Mereka seperti hendak mengepung Kuningan dan Luragung. Sementara, Prabu Pucuk Umun Yang Dipertuan Talaga juga menggerakkan sedikitnya 100.000 pasukan yang berpangkalan di Nusa Herang dan Gunung Sirah. Tidak ketinggalan Prabu Cakraningrat Yang Dipertuan Rajagaluh menggerakkan sekitar 120.000 pasukan dengan pangkalan utama di Bobos.

Read More ->>

KHILAFAH

Khilafah

Ketika api perubahan sedang berkobar di segenap penjuru Caruban Larang membakar tatanan lama dan memberi daya hidup pada tatanan baru, terjadi peristiwa yang tidak disangka-sangka oleh semua orang. Pada saat tatanan baru yang bertolak dari peraturan Sri Mangana itu dijalankan dengan gegap gempita oleh masyarakat dengan kericuhan di sana-sini, tersiar kabar bahwa Sri Mangana gering. Bagaikan kawanan orang yang sedang berpacu dan tiba-tiba terhalang oleh jalan buntu, seluruh penduduk Caruban Larang secara serentak menghentikan kegiatan untuk menggerakkan perubahan. Bagaikan orang kebingungan, mereka saling pandang seolah tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kemudian seperti digerakkan oleh kekuatan gaib, mereka mengarahkan mata dan telinga ke Puri Kaprabon; menuggu dengan harap-harap cemas tentang apa yang akan terjadi dengan sang ratu Caruban Larang yang mereka jadikan tumpuan harapan.

Sebagai orang-orang yang tidak pernah diperkenalkan pada kebebasan pribadi dan hanya mengenal keberadaan diri sebagai kawula (budak), penduduk Caruban Larang memang sangat tergantung pada keberadaan Sri Mangana. Andaikata yang memimpin gerakan pembangunan tatanan baru itu bukan sang raja muda Caruban Larang, pastilah mereka tidak akan berani mengikutinya. Saat mereka berselisih karena berebut batas tanah, misalnya, junjungan mereka itu dengan mudah melerainya dan menempatkan peraturan tambahan tentang batas-batas kepemilikan tanah yang layak bagi satu keluarga. Bahkan saat tersebar berita yang simpang-siur tentang kemarahan para raja muda dari Galuh Pakuan, Talaga, Raja Galuh, dan Dermayu, tidak sedikit pun mereka risaukan karena bagi mereka raja muda Caruban Larang adalah pimpinan tertinggi yang harus mereka patuhi. Tapi kini, saat kabar geringnya Sri Mangana itu merebak ke berbagai penjuru negeri, mereka benar-benar cemas dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, kecuali menunggu kabar lanjutan tentang ratu mereka.

Di tengah kecemasan seluruh penduduk Caruban Larang, tanpa terduga tersiar kabar yang tak kalah mengejutkan: sesungguhnya Sri Mangana sakit ingatan. Gila. Sehari-harinya ratu Caruba Larang itu mengurung diri di dalam kamar bagaikan orang linglung. Tugas sebagai imam sembahyang Jum�at di Tajug Agung Caruban sudah tidak lagi di lakukannya selama beberapa pekan. Kebiasaannya membaca Al-Qur�an setiap usai sembahyang subuh dan isya tidak lagi berjalan. Kehadirannya di Tajug Jalagrahan dan Pesantren Giri Amparan Jati pun tidak lagi diketahui. Bahkan, putera dan puterinya yang mendekat dihardiknya agar menyingkir.

Kabar sakitnya Sri Mangana, meski agak terlambat, sangat mengejutkan Abdul Jalil yang baru tiba dari Luragung. Dengan diikuti Syaikh Abdul Malik Israil dan Ballal Bisvas, ia datang ke Puri Kaprabon untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang dialami ayahanda asuhnya. Saat sampai di Puri Kaprabon, tepatnya di Purasabha, Abdul Jalil melihat para gedeng berkumpul dengan wajah diliputi kecemasan. Dari mereka Abdul Jalil mendapat penjelasan jika sang ratu benar-benar sedang mengalami tekanan batin. Sikapnya seperti orang hilang akal. Perilakunya bagai orang mengalami gangguan jiwa. �Beliau seperti ketakutan setiap melihat atau mendengar sesuatu,� lapor Ki Gedeng Pasambangan getir.

Saat melangkah masuk ke Parapuri, ia bertemu dengan ibunda asuhnya, Nyi Indang Geulis, yang sedang berbincang-bincang dengan kakaknya, Nyi Muthma�inah, di Bale Rangkang. Kemudian dengan beriringan mereka masuk ke dalam ruang utama Parapuri.

Betapa Abdul Jalil terkejut melihat keadaan Sri Mangana. Bagaikan berada di alam mimpi, ia terperangah dengan hati pedih. Ratu Caruban Larang yang selama ini ia kenal sebagai laki-laki tegar dan tak kenal takut itu dilihatnya sedang meringkuk di sudut ruangan dengan wajah kuyu dan tubuh gemetar. Saat Abdul Jalil tengah menduga-duga apa yang sesungguhnya sedang dialami ayahanda asuhnya itu, tiba-tiba Sri Mangana mendekatinya. Ketika jarak mereka tinggal sejangkauan, tiba-tiba Sri Mangana menjulurkan kedua tangannya dan mencengkeram erat-erat kedua bahu Abdul Jalil sambil berkata, �Tolonglah aku, o Puteraku. Aku sekarang sedang mengalami kegilaan. Tidak tahu apa yang sedang aku alami ini. Aku merasa sedang dicekam kegilaan yang tidak aku ketahui ujung dan pangkalnya.�

�Apakah yang sesungguhnya sedang Ramanda Ratu rasakan dan alami?� ujar Abdul Jalil menyeringai kesakitan karena bahunya diterkam Sri Mangana. �Ananda benar-benar tidak melihat ada sesuatu yang disebut kegilaan pada diri Ramanda Ratu.�

�Entah apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada diriku. Aku merasakan segala sesuatu yang ada di dunia ini tiba-tiba berubah dengan aneh. Segala sesuatu yang aku saksikan seperti menyingkapkan tirai dan menunjukkan jati dirinya.� Sri Mangana berkata dengan tangan gemetar dan peluh bercucuran. �Seolah-olah semua yang terhampar di hadapanku menyatakan diri sebagai pengejawantahan Tuhan. Semua selubung tersingkap. Lalu �wajah� Yang Ilahi menampak di mana-mana. Bukankah itu gila? Bukankah itu sesuatu yang menyesatkan? Aku tidak tahu kenapa bisa mengalami kejadian gila seperti itu.�

�Bagaimana awal mula kejadian itu berlaku pada Ramanda Ratu?�

�Awalnya, ketika aku membaca Al-Qur�an tiba-tiba kusaksikan ayat-ayat di situ menyingsingkan selubungnya dan mengungkapkan jati dirinya,� kata Sri Mangana.

�Apakah ketika itu Ramanda Ratu membaca surah al-Fatihah?�

�Benar sekali,� ujar Sri Mangana.

�Apakah Ramanda Ratu melihat ayat demi ayat dari surah itu membuka selubung jati diri?�

Sri Mangana membenarkan. Saat membaca ayat demi ayat surah al-Fatihah, ia mendapati semua ayat tersebut seperti membuka selubung jati diri masing-masing. Pertama-tama, ayat berbunyi alhamdu li Allahi rabbi al-alamin, maknanya bukan lagi sebagai yang ia pahami selama ini yaitu �segala puji bagi Allah Rabb alam semesta.� Masing-masing kata di dalam ayat itu tiba-tiba seperti bisa berbicara dan mengungkapkan jati diri bahwa di balik kata alhamdu sesungguhnya terselubung hakikat al-Hamid. Di balik kata li Allahi sesungguhnya selubung hakikat Allah. Rabbi al-alamin, selubung hakikat al-�Alim. Begitupun ar-rahman dan ar-rahim, mengungkap jati diri sebagai selubung hakikat ar-Rahman dan ar-Rahim. Maliki yaum ad-din, selubung dari hakikat al-Malik al-Mulki. Iyyaka na�budu, selubung dari hakikat Allah sebagai Ma�bud, yaitu Ism al-Zat dari yang wajib disembahsujudi. Wa iyya nasta�in, selubung dari hakikat ash-Shamad. Ihdina ash-sirath al-mustaqim, selubung dari hakikat al-Hadi. Demikianlah, kata demi kata di dalam al-Fatihah mengungkapkan jati dirinya sebagai selubung dari asma�, shifat, dan af�al Allah, di mana kata dhallin pun merupakan selubung dari hakikat al-Mudhill.

�Usai membaca al-Fatihah, aku langsung menutup al-Qur�an. Aku benar-benar ketakutan karena akalku tidak bisa menerima kenyataan huruf-huruf itu bisa hidup dan memberi kesaksian jati diri kepadaku. Aku merasa sesuatu yang tidak beres pada jiwaku tentu sedang terjadi. Setelah kejadian itu, ke mana pun aku berpaling dan melihat benda-benda aku menyaksikan semuanya mengungkapkan jati diri sebagai pengejawantahan dari �wajah� Ilahiyyah yang menyelubungi hakikat Allah.�

Keanehan yang makin menakutkanku adalah ketika aku kembali dari Tajug Jalagrahan, tepatnya saat melewati pekuburan Pamelathi. Saat itu aku mendengar suara hiruk pikuk yang mengerikan. Sewaktu aku perhatikan, ternyata suara-suara itu berasal dari pekuburan. Suara itu adalah jerit tangis orang-orang mati dari dalam kuburnya. Sungguh menakutkan sekali pengalaman itu. Lantaran aku tidak kuasa menghadapi semua kenyataan itu maka aku mengurung diri di dalam kamar. Aku benar-benar takut jika aku sesungguhnya sedang menderita gangguan jiwa,� kata Sri Mangana.

Abdul Jalil tertawa mendengar penjelasan Sri Mangana. Kemudian dengan bahasa perlambang ia bercerita tentang seekor ikan yang kebingungan katika menyadari keberadaan dirinya di dalam air. Ikan itu makin kebingungan ketika ia bisa menyaksikan betapa sesungguhnya batu karang, pasir laut, ubur-ubur, dan ikan-ikan lain sesungguhnya berada di dalam liputan air. Ketika sedang bingung itulah datanglah seekor ikan tua yang berkata begini: �Sesunguhnya engkau harus menjadi pemimpin dari ikan-ikan sebangsamu. Sebab, engkau telah mengetahui hakikat air dan seluruh kehidupan di dalamnya. Engkau sudah bisa membedakan mana air yang keruh dan mana air yang jernih. Engkau telah tahu ke mana arus air bergerak. Karena itu, o ikan yang sudah sadar diri, jika engkau menjadi pemimpin dari ikan-ikan sebangsamu, pastilah engkau membawa mereka ke jalan keselamatan dan kebahagiaan. Engkau tidak akan mungkin membawa mereka yang engkau pimpin itu masuk ke perairan yang keruh dan dangkal. Engkau juga tidak akan membawa ikan-ikan yang engkau pimpin ke kawasan yang penuh umpan para pemancing.�

�Aku belum paham maksudmu, o Puteraku,� kata Sri Mangana.

�Ramanda Ratu sesungguhnya tidak mengalami kegilaan. Sebaliknya, Ramanda Ratu telah menapaki tangga ma�rifat tanpa Ramanda Ratu sadari. Ramanda Ratu sekarang ini berada dalam keadaan awal menyaksikan �wajah� Yang Ilahi (QS al-Baqarah: 115). Apa yang Ramanda Ratu alami seibarat Rasulullah Saw. Saat menyaksikan Jibril a.s. kali pertama. Beliau saat itu menyaksikan Jibril a.s. laksana cahaya subuh. Ke mana pun berpaling, yang beliau saksikan adalah penampakan Jibril a.s..�

�Sesungguhnya Ramanda Ratu sedang mengalami penyingkapan (kasyf) kesadaran jiwa. Gumpalan awan hitam ghain yang menyelubungi kalbu Ramanda Ratu telah tersingsingkan akibat terbitnya purnama ruhani zawa�id sehingga jiwa Ramanda Ratu diliputi pemahaman ruhani fawa�id. Itu berarti, mata batin Ramanda Ratu telah tercelikkan. Telinga batin (sama�) Ramanda Ratu telah tersingkap. Dan sesungguhnya, itulah yang disebut al-wajd, yang menimbulkan keguncangan pada diri Ramanda Ratu,� Abdul Jalil menjelaskan.

�Apa yang harus aku lakukan sekarang ini?� tanya Sri Mangana dengan wajah tiba-tiba diliputi harapan dan gairah hidup. �Karena aku sudah menduga jika diriku gila.�

�Ramanda Ratu harus mendaki terus tangga demi tangga maqamah sehingga akhirnya Ramanda Ratu dapat mencapai hadirat-Nya dan fana ke dalam keesaan-Nya.�

�Dengan cara bagaimana?�

�Dengan menyingsingkan keakuan yang lebih dari sebelumnya sampai Ramanda Ratu kehilangan segala-galanya kecuali Allah.�

�Apalagi yang harus aku singsingkan dari keakuanku?� tanya Sri Mangana. �Bukankah aku sudah tidak memiliki sesuatu lagi? Ilmu kedigdayaan, tanah, kawula, sumber nafkah, kekuasaan, kehormatan, bahkan semua pamrih yang melekat ke padaku sudah habis. Aku sekarang ini sudah merasa seperti orang sebatang kara yang hidup sendirian tanpa kawan.�

�Justru saat inilah Ramanda Ratu harus berkhidmat kepada tugas mulia sebagai wakil Allah di muka bumi. Maksud ananda, maqam Ramanda Ratu akan meningkat ke maqamah yang lebih tinggi jika Ramanda Ratu merelakan sisa terakhir yang ada pada Ramanda Ratu untuk dibagi-bagikan lagi kepada yang lain. Apakah sisa terakhir yang paling berharga yang masih Ramanda Ratu miliki? Menurut ananda, keluasan ilmu siyasah dan tata negara yang Ramanda Ratu miliki sebagai harta benda tak ternilai hendaknya didermakan untuk berkhidmat kepada tugas mulia sebagai wakil Rasul Allah. Bukankah saat Rasulullah Saw. Mengalami peristiwa bertemu Jibril a.s. di Gua Hira tidak menjadikan beliau makin bersembunyi? Bukankah setelah itu malah turun ayat yang memerintahkan beliau untuk bangkit memberi peringatan kepada manusia (QS al-Mudatsir: 1-7)? Bukankah Rasulullah Saw. dan keempat sahabatnya tidak pernah mengurung diri di gua? Bukankah berkhidmat kepada umat adalah bagian dari jalan hidup beliau dan keempat sahabatnya?�

Ketika Sri Mangana akan berkata-kata, Abdul Jalil memegang kedua tangan ayahandanya yang masih mencengkeram bahunya. Kemudian dengan mata berbinar-binar Abdul Jalil berkata, �Sekarang ini matahari harapan yang ananda tunggu-tunggu telah terbit. Ternyata matahari itu terbit tidak jauh dari diri ananda, yakni Ramanda Ratu sendiri. Ramanda Ratulah matahari harapan itu.�

�Aku tidak memahami maksudmu, o Puteraku,� kata Sri Mangana dengan tanda tanya.

�Bukankah di tengah perubahan tatanan lama kawula menjadi tatanan baru masyarakat ummah sesungguhnya tetap dibutuhkan seorang pemimpin? Bukankah dalam khotbah-khotbah yang ananda sampaikan selalu ananda katakan bahwa pemimpin masyarakat ummah adalah wali al-Ummah yang bergelar kalifah ar-rasul sayyidin panatagama? Ananda yakin, pasti Ramanda Ratulah wakil Allah di muka bumi yang paling layak menduduki jabatan itu saat ini.�

Ketika para ningrat darah biru Sunda bersukacita mendengar kabaar geringnya Sri Mangana, terjadi suatu peristiwa yang tak pernah mereka bayangkan. Kabar dari para pengintai mengatakan, keberadaan sepuluh gedeng yang menduduki jabatan gedenga atas dasar pilihan warga itu ternyata telah diikuti oleh gedeng yang lain, seperti Ki Gedeng Jatimerta, Ki Gedeng Mundu, Ki Gedeng Ujung Gebang, Ki Gedeng Buntet, Ki Gedeng Selopandan, Ki Gedeng Japura, Ki Gedeng Plumbon, Ki Gedeng Sembung, Ki Gedeng Plered, Ki Gedeng Tedeng, Ki Gedeng Losari, Ki Gedeng Pangarengan, Ki Gedeng Kadanggaru, Ki Gedeng Panderesan, Ki Gedeng Tameng, dan Ki Gedeng Sura (Tegal Gubuk). Yang lebih mengejutkan, seluruh gedeng serempak menyatakan kesepakatan untuk memilih dan mengangkat Sri Mangana sebagai penguasa baru Caruban Larang dengan nama Abhiseka Sri Mangana, Kalifah ar-Rasul Sayyidin Panatagama, Ratu Aji di Caruban.

Kabar dari para pengintai tentu saja membuat para penguasa dan ningrat darah biru Sunda tertegun-tegun. Mereka tidak bisa memahami lahirnya sebuah tatanan baru yang menempatkan keberadaan seorang pemimpin didasarkan atas pilihan para gedeng. Tatanan itu benar-benar aneh dan mengherankan mereka. Peraturan yang berlaku selama ini menunjukkan bahwa para gedeng adalah pejabat daerah yang ditunjuk dan diangkat oleh adipati. Sementara adipati-adipati diangkat atas tunjukan ratu. Dengan demikian, jelaslah bahwa tatanan baru di Caruban Larang merupakan hal aneh karena terbalik dengan tatanan yang ada.

Belum usai para penguasa dan ningrat darah biru Sunda terheran-heran dengan pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah, mereka memperoleh kabar yang lebih mengejutkan. Menurut laporan lanjutan para pengintai, segera setelah dinyatakan terpilih sebagai kalifah, Sri Mangana meninggalkan Puri Kaprabon dan tinggal di gubuk kayu beratap daun kawung yang terletak di luar tembok baluwarti, tepatnya di utara Lawang Gede. Gubuk kayu kecil itu dinamai Pekalipan (pekalifahan), yaitu tempat kediaman sang kalifah. Sementara seluruh keluarganya juga meninggalkan puri dan tinggal di dalam tembok di dekat Lawang Gede. Kediaman baru keluarga sang kalifah itu juga berupa gubuk-gubuk kayu yang sangat sederhana dan disebut ndalem Pekalipan. Dan yang lebih aneh lagi, sekarang ini seluruh kawula dan bahkan budak sekali pun setiap saat dapat menghadap sang kalifah. Bahkan, sejumlah pejabat penting kalifah adalah kawula yang berasal dari kasta rendahan.

Kabar tentang perubahan yang terjadi atas kehidupan Sri Mangana benar-benar menimbulkan kegemparan di kalangan penguasa dan ningrat darah biru Sunda. Mereka tidak paham dengan apa yang sedang terjadi pada pemimpin tertinggi Caruban Larang itu. Prabu Guru Dewata Prana Sang MahaRaja Sunda, ayahanda Sri Mangana, bahkan merasa hatinya pedih dan jiwanya terluka ketika mendengar kabar bahwa puteranya itu memilih hidup dalam kehinaan di gubuk-gubuk kecil dengan didampingi pejabat-pejabat dari kasta rendahan.

Sebagai maharaja yang berkuasa atas seluruh Bumi Pasundan, Prabu Guru Dewata Prana, yang belum mengetahui konsep khilafah di dalam ajaran Islam sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabatnya, sangat berduka mendengar puteranya dipilih dan diangkat sebagai pemimpin tertinggi, namun hidup miskin di gubuk-gubuk hina dengan dibantu pejabat-pejabat berkasta rendah. Sebab, sebagaimana umumnya pandangan yang lazim, Prabu Guru Dewata Prana menganggap tiap-tiap kekuasaan harus selalu terkait kuat dengan kemegahan, kemewahan, kekayaan, dan kemuliaan tetesan darah agung para raja.

Dengan ketidakpahamannya tentang konsep khilafah itulah Prabu Dewata Prana kemudian mengutus Pangeran Raja Sanghara, adik kandung Sri Mangana, dengan didampingi Adipati Liman Sanjaya, Yang Dipertuan Sunda Larang, puteranya yang lain, pergi ke Kuta Caruban untuk meminta penjelasan dari Sri Mangana tentang apa yang sesungguhnya sudah terjadi pada dirinya. �Apa pun yang terjadi, janganlah kalian membiarkan saudaramu itu hidup dalam kehinaan dengan menghuni gubuk-gubuk kecil yang hanya cocok untuk hunian kalangan potet (gelandangan). Sebab, kehinaan yang dialaminya sesungguhnya akan menyangkut-paut pula takhta kerajaan Sunda. Jangan menista dan merendahkan keagungan darah leluhur yang mengalir di tubuhnya dengan memilih hidup seperti itu,� ujar Prabu Guru Dewata Prana sedih.

Pangeran Raja Sanghara dan Adipati Liman Sanjaya pun pergi menemui Sri Mangana untuk menjalankan titah maharaja Sunda. Namun, saat mereka bertemu dan berbincang-bincang dengan Sri Mangana soal khilafah, keduanya justru tertarik. Mereka berdua dapat memahami apa yang dikemukakan Sri Mangana sebagai suatu keniscayaan dari perubahan yang bakal melanda tatanan lama kehidupan di Bumi Pasundan. Sehingga, di sepanjang perjalanan kembali dari Caruban Larang mereka terus memperbincangkan masalah khilafah tersebut.

Ketika hasil pertemuan dengan Sri Mangana disampaikan Pangeran Raja Sanghara kepada ayahandanya, ternyata sang maharaja bertambah bingung. Prabu Guru Dewata Prana sulit sekali menerima alasan-alasan yang mendasari konsep khilafah yang tidak lazim itu. Sebagai keturunan raja besar Sunda, di dalam jiwa dan pikiran Prabu Guru Dewata Prana memang hanya dikenal satu gambaran utuh bahwa sebuah kekuasaan adalah identik dengan kemegahan, kemewahan, keagungan, kemuliaan, kekayaan berlimpah, dan ketidakbersalahan. Itu sebabnya, ia tetap menganggap aneh perilaku puteranya yang menerapkan khilafah di Caruban Larang. Untuk kali kedua ia mengutus Ki Purwagalih menemui Sri Mangana di gubuknya.

Tidak berbeda dengan Pangeran Raja Sanghara dan Adipati Liman Sanjaya, Ki Purwagalih, penasihatnya yang beragama Islam itu, menuturkan alasan-alasan kuat Sri Mangana untuk menerapkan khilafah di Caruban Larang sesuai yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat. Dan untuk kali ke sekian, maharaja Sunda itu kecewa karena tetap sulit menerima kenyataan adanya kekuasaan yang terkait dengan kemiskinan dan kekurangan. Setelah itu ia mengutus Adipati Liman Sanjaya kembali ke Kuta Caruban untuk melihat istri-istri dan putera-putera Sri Mangana. Sang maharaja pun makin terkejut ketika mendapat laporan para menantu dan cucunya juga harus hidup di gubuk-gubuk kecil beratap daun kawung. �Aturan hidup apa yang sesungguhnya diikuti oleh puteraku itu? Ini sungguh hal yang sulit dimengerti,� gumam Prabu Guru Dewata Prana pedih.

Keheranan dan ketidakpahaman Prabu Guru Dewata Prana atas apa yang dilakukan Sri Mangana makin meningkat menjadi kekecewaan ketika ia beroleh laporan bahwa puteranya yang menjadi kalifah itu menempatkan orang-orang dari kalangan prthagjana (kasta rendah) sebagai nayakapraja. Bahkan, seorang pujut (budak kulit hitam) bernama Ballal Bisvas dari Bharatnagari tidak ditempatkan sebagai pameng-amengan (permainan kesukaan) sebagaimana lazimnya, tetapi malah diangkat menjadi raja muda dengan gelar Adipati Suranenggala.

Di tengah pusaran arus berita yang teraduk-aduk tentang perubahan di Caruban Larang, Prabu Surawisesa, penguasa Galuh Pakuan, adalah satu-satunya penguasa Bumi Pasundan yang berada pada kedudukan paling sulit. Dikatakan paling sulit karena segala sesuatu yang terkait dengan Sri Mangana, saudara tiri yang menjadi penguasa Caruban Larang itu, sebenarnya telah mengombang-ambingkan harapan dan langkah-langkah yang dilakukannya untuk mewarisi takhta kerajaan Sunda. Sejak awal ketika ia berusaha menancapkan kekuasaan atas Caruban Larang, tanpa terduga saudara tirinya itu muncul dan menjadi penghalang utama yang menjegal langkahnya. Ya, sejak semula saudara tirinya itu telah menjadi penghalang berat baginya untuk meraih takhta kerajaan Sunda.

Sebagai putera maharaja yang sangat yakin bakal mewarisi takhta, di tengah gemuruh ambisi yang mengobari jiwanya, Prabu Surawisesa pun sesungguhnya mewarisi kebijaksanaan ayahandanya. Sekali � di tengah langkah-langkahnya � ia menoleh ke belakang untuk menilai kembali liku-liku dan tanjakan jalan yang telah dilewatinya. Tahun ini ia memasuki usia enam puluh lima tahun. Usia yang sesungguhnya sangat lanjut bagi seseorang untuk memikirkan bagaimana merebut takhta kerajaan.

Prabu Surawisesa sering menyadari bahwa di usianya yang sudah tidak muda itu seharusnya ia lebih memikirkan masalah ruhani. Namun, nafsu kekuasaan yang mengalir di tubuhnya sering menindas kesadaran itu. Yang sering kali muncul di tengah kesadaran itu adalah peristiwa penuh korban besar bagi langkahnya menuju takhta. Itu sebabnya, ia tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan itu.

Sesungguhnya pengorbanan Prabu Surawisesa untuk merebut Caruban Larang sudah sangat besar. Puluhan tahun silam ia telah merelakan putri kesayangannya, Nyi Ratu Inten Dewi, yang kala itu berusia sebelas tahun untuk diperistri kuwu Caruban Ki Danusela yang berusia empat puluh tahun. Selanjutnya, ia juga merelakan puterinya yang lain, Nyi Rara Anjung, yang kala itu berusia sepuluh tahun untuk diperistri oleh Syaikh Datuk Kahfi yang sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Saat itu ia benar-benar yakin tanah samiddha Caruban Larang sudah berada di dalam pengaruhnya. Bahkan saat puteranya, Rsi Bungsu, menduduki jabatan kuwu menggantikan Ki Danusela, ia merasa Caruban Larang benar-benar berada di dalam genggamannya.

Namun, pengorbanan yang dilakukannya untuk merebut Caruban Larang mendadak pupus manakala terjadi kericuhan yang melibatkan orang-orang Demak, yang kemudian disusul munculnya saudara tirinya, Pangeran Walangsungsang, sebagai kuwu sekaligus cakrabhumi Caruban Larang. Pengorbanannya makin terasa sia-sia ketika Pangeran Walangsungsang dinobatkan oleh ayanhandanya sebagai raja muda Caruban Larang dengan gelar Sri Mangana dan diberi kewenangan menerima upeti dari negeri-negeri taklukan (sakawat bhumi) di Sunda wilayah pesisir timur. Kesia-siaan pengorbanannya itu menjadi ancaman ketika ia menerima bahwa Yang Dipertuan Caruban Larang diam-diam giat membangun kekuatan militer dan menjalin hubungan erat dengan para adipati di pesisir Nusa Jawa.

Kini, di tengah kekecewaan dan rasa terancamnya, Prabu Surawisesa semakin cemas dan curiga dengan hingar bingar api perubahan yang disulut Sri Mangana. Sebab, ia sadar benar arah gerakan saudara tirinya itu bermuara ke perebutan takhta Kerajaan Sunda. Lantaran itu, ia menyambut kabar pemilihan ratu Caruban Larang sebagai kalifah itu dengan perasaan yang sulit diungkap: cemas, curiga, penasaran, benci, dan takut yang teraduk-aduk menjadi satu.

Ketika sang penguasa Galuh Pakuan tengah terombang-ambing oleh perasaan yang sulit diungkapkan, tanpa terduga muncul puteranya, bekas kuwu Caruban pengganti Ki Danusela: Rsi Bungsu. Anak bungsunya yang pernah dicari-cari orang Pakuan Pajajaran karena melakukan kekacauan di Caruban Larang dan membohongi maharaja Sunda itu muncul pada saat kesulitan menghadang penguasa Galuh Pakuan. Sebagai seorang ayah, Prabu Surawisesa tahu benar jika kemunculan puteranya itu tentu sudah diperhitungkan.

Rsi Bungsu sendiri tampaknya mengetahui kapan ia harus muncul dan menghadap ayahandanya yang telah diberinya banyak kesulitan akibat sepak terjangnya. Demikianlah, dengan keahliannya bersilat lidah, saat menghadap ayahandanya ia menuturkan perjuangan kerasnya untuk menghalang-halangi niat jahat Sri Mangana yang mengancam keutuhan Kerajaan Sunda. Ia mengemukakan usahanya itu dengan cara memberi nasihat kepada Yang Dipertuan Rajagaluh, Prabu Cakraningrat. �Kepada Pamanda Prabu Cakraningrat ananda mengusulkan untuk menjadikan daerah Palimanan sebagai �pagar pertahanan� dari ancaman Sri Mangana. Maksud ananda, Palimanan yang menjadi bagian dari Caruban Larang harus dimasukkan ke dalam wilayah Rajagaluh melalui siasat. Dan, ternyata siasat ananda berhasil dengan gemilang,� kata Rsi Bungsu.

�Siasat apa? Ceritakanlah kepadaku, o Puteraku terkasih!� kata Prabu Surawisesa.

�Ananda mengikuti tata cara yang sama dengan yang dianut penguasa Caruban Larang.�

�Maksudnya?�

�Penguasa Palimanan harus dipilih oleh para gedeng. Dan penguasa terpilih, sang adipati, akan menyatakan kesetiaan kepada Yang Dipertuan Rajagaluh,� kata Rsi Bungsu.

�Bagaimana hal itu bisa dilakukan?� tanya Prabu Surawisesa penasaran.

�Atas perkenan dan dukungan Pamanda Prabu Cakraningrat, ananda mendatangi Ki Gedeng Kiban, Ki Gedeng Leuimunding, Ki Demang Dipasara, Ki Demang Surabangsa, Ki Gedeng Kenanga, dan Ki Ardisora, penguasa Bobos. Kepada mereka ananda bagikan masing-masing sekarung uang emas dan dua karung uang perak. Kepada mereka ananda menjanjikan jabatan-jabatan tinggi di Rajagaluh jika mereka bersedia secara terbuka memilih adipati Palimanan untuk memimpin mereka. Usaha ananda itu terbukti berhasil gemilang sehingga Palimanan sekarang ini masuk ke dalam wilayah Rajagaluh karena sesuai keinginan para gedengnya masing-masing sebagaimana yang diberlakukan di Caruban Larang,� kata Rsi Bungsu bangga.

�Siapakah adipati Palimanan sekarang ini?� tanya Prabu Surawisesa.

�Ki Kiban, Gedeng Palimanan.�

Prabu Surawisesa sangat bersukacita mendengar penjelasan Rsi Bungsu. Diam-diam ia memuji kecerdikan putera bungsunya. Ia mengakui betapa kemunculan putera bungsunya di Galuh Pakuan telah mengubah kecemasannya menjadi ledakan rasa sukacita. Pasalnya, selain melaporkan keberhasilannya menghalangi usaha ratu Caruban Larang, puteranya itu menyerahkan pula susunan tata pemerintahan kalifah Caruban Larang lengkap dengan nama pejabatnya. Bahkan, puteranya itu masih menyampaikan gagasan-gagasan cemerlang yang dapat digunakan untuk menekuk pesaingnya dalam merebut takhta.

Prabu Surawisesa benar-benar sangat bergembira. Di dalam susunan tata pemerintahan kalifah itu tertera dengan jelas bahwa jabatan-jabatan penting yang ada di Caruban Larang telah dipegang oleh orang-orang bukan Sunda.

�Ananda berharap Ramanda Prabu Guru Dewata, Ratu Aji di Surawisesa, dapat menggunakan apa yang telah ananda peroleh itu untuk menyingkirkan penguasa Caruban Larang yang sudah tidak waras lagi. Tanpa bermaksud menggurui, ananda berharap Ramanda Prabu dapat memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Maksud ananda, hendaknya Ramanda Prabu dapat menggunakan masalah banyaknya orang asing dalam pemerintahan di Caruban Larang itu untuk menyulut kebencian orang-orang Sunda. Ananda yakin setiap orang Sunda akan sakit hati jika melihat susunan pemerintahan ratu Caruban Larang.�

�Adakah saranmu yang lebih baik lagi?� tanya Prabu Surawisesa.

�Sebaiknya Ramanda Prabu menyebarkan para pengintai ke berbagai tempat di Caruban Larang dan sepanjang pesisir utara Sunda. Ramanda Prabu hendaknya menitahkan kepada mereka untuk menyebarkan berita burung yang mengatakan bahwa Sri Mangana adalah utusan maharaja Cina yang sedang menjalankan tugas merongrong kerajaan Sunda. Ananda kira, siapa pun di antara orang Sunda dan terutama para putera maharaja akan menentang sang kalifah dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi,� kata Rsi Bungsu.

Prabu Suraswisesa sangat bergembira menerima saran puteranya. Ia merasa seolah-olah telah memiliki senjata ampuh, yang jika dilepaskan akan membinasakan pesaingnya dalam perebutan takhta itu. Ya, sekarang ia telah memegang senjata ampuh. Sebab, di dalam daftar nama pejabatat Pekalipan yang disampaikan puteranya itu, memang menunjukkan lebih dari separo jabatan penting dipegang oleh orang-orang bukan Sunda. Wilayah Caruban Larang, misalnya, dibagi menjadi sembilan nagari yang pemimpinnya disebut wali nagari, dan jabatan itu bahkan lebih banyak diserahkan kepada anak-anak yang terlalu muda usianya.

Pertama, Nagari Kalijaga membawahi Kagedengan Kalijaga, Mundu, Astanamukti, Beber, Karangwuni, Munjul, Japura, Pangarengan, dan Buntet. Para gedeng sepakat menunjuk Raden Sahid putera Adipati Tuban, Arya Sidik, sebagai wali nagari Kalijaga.

Kedua, Nagari Cangkuang membawahi Kagedengan Cangkuang, Ender, Babakan, Gebang, Karangsembung, Kertawana, Cihaur, dan Taraju. Para gedeng sepakat menunjuk Raden Anggaraksa sebagai wali nagari Cangkuang dengan gelar Ki Dipati Cangkuang. Raden Anggaraksa adalah putera Dalem Naya, Yang Dipertuan Ender.

Ketiga, Nagari Losari membawahi Kagedengan Losari, Tersana, Bojong Nagara, Luragung, dan Waled. Para gedeng sepakat menunjuk Arya Wangsa Goparana, mantan penguasa Sagara Herang, sebagai wali nagari. Arya Wangsa Goparana tersingkir dari Sagara Herang dan bermukim di Caruban Larang karena memeluk Islam.

Keempat, Nagari Kuningan membawahi Kagedengan Kuningan, Nanggerang, Panderesan, Cigugur, dan Sambawa. Para gedeng sepakat menunjuk Angga, putera Ki Gedeng Kemuning, sebagai wali nagari Kuningan. Ki Gedeng Kemuning adalah seorang Cina muslim. Ia bernama Ong Wi, keturunan pemuka Cina asal Palembang yang bernama Ong Te.

Kelima, Nagari Gunung Jati membawahi Kagedengan Pasambangan, Trusmi, Kalisapu, Sembung, Babadan, Jamaras, dan Plumbon. Kedudukan wali nagari dipercayakan para gedeng kepada Syarif Hidayatullah, anak muda asal negeri Arab, menantu Ki Gedeng Babadan.

Keenam, Kuta Caruban dan Puri Caruban Girang dipimpin oleh Raden Qasim � di kalangan warga asal Campa dikenal dengan nama Masaih Munat � putera bupati Surabaya, Pangeran Ali Rahmatullah. Agak berbeda dengan wali nagari yang lain, Raden Qasim menduduki jabatan penguasa Kuta Caruban dan Puri Caruban Girang tidak dengan cara dipilih, tapi ditunjuk Sri Mangana. Ia juga dianugerahi gelar Pangeran Darajat oleh sang ratu Caruban Larang karena ayahandanya adalah kemenakan ratu Majapahit.

Ketujuh, Nagari Gegesik yang membawahi Kagedengan Gegesik, Kapetakan, Pangurangan, Karangkendal, Kartasemaya, Srengseng, dan Junti. Kedudukan wali nagari dipercayakan para gedeng kepada Ballal Bisvas yang namanya diganti menjadi Suranenggala, seorang pendeta Bhairawa asal Bharatnagari.

Kedelapan, Nagari Susukan yang membawahi Kagedengan Susukan, Glagahamba, Tegal Karang, Tegal Gubuk, Ujungsemi, dan Luwung Kancana. Kedudukan wali nagari dipercayakan para gedeng kepada Syaikh Jamalullah, gedeng Ujungsemi.

Kesembilan, Nagari Sindangkasih yang membawahi Kagedengan Sindangkasih, Sedong, Kaliaren, Nanggela, dan Pancalang. Kedudukan wali nagari dipercayakan para gedeng kepada Abdul Qadir , seorang kepala pemberontak asal Pulau Upih (Pinang). Dengan sembilan wali nagari di Caruban Larang itu jelaslah bahwa hanya wali nagari Cangkuang dan Losari saja yang putera Sunda, selainnya orang asing.

Selain memuat nama-nama wali nagari, daftar nama yang dibawa Rsi Bungsu juga memuat sejumlah nama pejabat dalam pemerintahan kalifah Caruban Larang yang sangat sedikit menempatkan orang-orang Sunda pada kedudukan penting. Jabatan adhyaksa, misalnya, oleh Sri Mangana dipercayakan kepada Abdurrahim Rumi, anak muda asal Baghdad, kemenakan istri Syaikh Datuk Abdul Kahfi. Jabatan manghuri (sekretaris negara) dipercayakan kepada Haji Musa, putera Syaikh Hasanuddin bin Yusuf Shiddiq, Karawang.

Jabatan syahbandar diberikan kepada Li Han Siang, pemuka warga Cina asal Dermayu. Pejabat pabean dipercayakan kepada Haji Shang Shu, pemuka warga Cina Kuta Caruban. Jabatan juru sukat dipercayakan kepada Ling Tan, pemuka warga Cina asal Junti. Jabatan baru wazir dipercayakan kepada Syaikh Bentong, saudara tua Haji Musa. Jabatan manggalayuddha Caruban dipegang sendiri oleh Sri Mangana. Sedangkan jabatan kepala perdagangan diserahkan kepada Abdurrahman Rumi, kakak Abdurrahim Rumi, dengan dibantu Wu Lien dan Wang Tao, keduanya orang Cina asal Karawang. Sementara orang-orang Sunda hanya diberi kepercayaan menduduki jabatan demang, wadana, juru demung (kepala pegawai di istana), rangga (pejabat istana), juru gusali (kepala pande besi), juru dyah (kepala pelayan istana), juru taman (kepala tukang kebun istana), juru pangalasan (kepala prajurit pangalasan), tumenggung (pejabat tinggi kraton), dan nayarma domas (komandan batalyon).

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers