Selasa, 24 Januari 2017

KARTTIKEYASINGHA SANG NRPATI DEWASIMHA

Karttikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha

Memasuki pekan ketiga kehadiran Abdul Jalil di padepokan, terjadi peristiwa yang tidak tersangka-sangka. Ketika matahari terbenam dan menyisakan cahaya merah darah di langit barat, tiba-tiba ia diingatkan oleh Ruh al-Haqq di kedalaman kalbunya agar secepatnya pergi meninggalkan padepokan. Meski tidak tahu apa yang bakal terjadi, ia menangkap sasmita bahwa suatu marabahaya tampaknya sedang mendekat. Dan kali pertama yang diingatnya adalah Nirartha beserta istri-istri dan putera-puterinya.

Maka, ia buru-buru memerintahkan sepuluh orang prajurit Terung untuk mengiringi Nirartha dan keluarganya meninggalkan padepokan menuju Terung. Nirartha yang belum memahami maksud Abdul Jalil menjadi kebingungan ketika didaulat oleh prajurit Terung untuk meninggalkan padepokan secepatnya. Dengan keheranan dia menghadap Abdul Jalil, �Apakah sebenarnya yang akan terjadi, o Tuan Syaikh, sehingga paduka menghendaki kami dan keluarga harus cepat-cepat pergi meninggalkan padepokan?�

�Demi Allah, aku tidak tahu kenapa harus menyuruhmu pergi meninggalkan padepokan,� kata Abdul Jalil. �Tetapi, aku menangkap sasmita bahwa padepokan ini sedang dikepung oleh marabahaya. Karena itu, engkau dan keluargamu harus secepatnya pergi sebelum hal itu terjadi.�

Nirartha yang sangat mempercayai Abdul Jalil sebagai guru ruhaninya buru-buru memerintahkan para istrinya untuk berkemas. Sedang ia sendiri bergegas menemui Wiku Suta Lokeswara untuk berpamitan. Ternyata Wiku Suta Lokeswara pun menangkap sasmita yang sama dengan Abdul Jalil. Ia menangkap tengara marabahaya yang sedang mengintai padepokannya. Itu sebabnya, saat Nirartha menghadap ia sudah memerintahkan tiga orang siswanya untuk mengiringi Nirartha meninggalkan padepokan. �Apa pun yang terjadi, malam ini engkau harus membawa keluargamu jauh-jauh dari sini. Pilihlah jalan timur yang melintasi hutan Wanasalam. Meski agak jauh dan berat, daerah itu sangat aman,� kata Wiku Suta Lokeswara.

Terburu-buru Nirartha meninggalkan padepokan. Namun, ketika Nirartha dan rombongan belum jauh dari padepokan, masuklah seorang penduduk yang diantar oleh salah seorang siswa. Penduduk itu dengan tergopoh-gopoh menghadap Wiku Suta Lokeswara yang sedang berbincang-bincang dengan Abdul Jalil. Kepada Wiku Suta Lokeswara dia melaporkan kehadiran serombongan prajurit berkuda yang diiringi beratus-ratus prajurit bertombak dari selatan menuju ke arah padepokan. �Kami melihat puluhan kawula di desa-desa selatan bergelimpangan mati. Setiap langkah dari pasukan itu menjadi langkah Bhattara Yama. Mereka menebar kematian di mana-mana, o Paduka Wiku.�

�Pasukan Patih Mahodara,� gumam Wiku Suta Lokeswara dingin.

Mendengar Wiku Suta Lokeswara menggumamkan �Patih Mahodara�, Abdul Jalil menyela, �Kami sungguh merasa bersalah, Paduka Wiku. Mereka kemari tentu telah mengetahui kehadiran kami.�

�Tuan Syaikh tidak perlu merasa bersalah,� kata Wiku Suta Lokeswara. �Tanpa kehadiran Tuan Syaikh pun sang patih akan menyerang padepokan ini. Dia sudah cukup lama tidak menyukai padepokan ini, terutama sejak Nirartha menghindari keinginan sang patih untuk bergabung menjadi pendukungnya.�

Ketika Abdul Jalil akan berkata-kata tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar gerbang selatan padepokan. Ia menoleh dan melemparkan pandangan ke arah gerbang selatan untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Ternyata gerbang selatan telah merah dikobari nyala api. Ia melihat bayangan puluhan penunggang kuda berkelebatan di tengah amukan api sambil berteriak-teriak mengacungkan busur ke atas. Rupanya, para penunggang kuda baru saja melepaskan panah-panah berapi untuk membakar gerbang padepokan. Bahkan setelah itu, Abdul Jalil melihat betapa beringas para penunggang kuda itu menerobos kobaran api dengan cara beriringan. Dalam hitungan detik ia saksikan halaman dalam padepokan sudah dimasuki oleh iring-iringan kuda yang meringkik dan menghentak-hentakkan kakinya ke bumi.

Tak lama kemudian terdengar teriakan-teriakan perang membahana dari berbagai sudut. Mereka serentak menarik tali kekang sehingga membuat kuda-kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas. Rupanya teriakan-teriakan perang itu berasal dari mulut para prajurit Terung yang menyerang mereka dengan tombak dan pedang. Akhirnya, tak terhindarkan lagi pecah pertarungan sengit di tengah kobaran api yang mulai menyambar-nyambar dan membakar bangunan-bangunan di padepokan.

Di tengah sengitnya pertempuran terdengar teriakan dan sorak-sorai gemuruh dari arah selatan, diikuti tombak-tombak teracung yang bermunculan di tengah kobaran api. Rupanya para prajurit Daha berhasil menerobos masuk ke bagian dalam padepokan. Mereka dengan beringas naik ke asrama-asrama dan membuat kerusakan di sana. Mereka memanjat dinding dan membakari atap-atap. Namun, tindakan perusakan itu tidak berlangsung lama. Mereka dihadang siswa-siswa padepokan dengan dipimpin sendiri oleh Wiku Suta Lokeswara.

Sebagai seorang pendeta bhairawa, Wiku Suta Lokeswara tidaklah berbeda dengan pendeta bhairawa yang lain dalam hal kesaktian. Itu terlihat saat ia dan siswa-siswanya menghadapi prajurit-prajurit Daha yang sedang mengamuk di padepokannya. Bagaikan orang sedang membersihkan halaman dengan sapu, setiap kali ia menggerakkan tangannya ke depan atau ke samping selalu diikuti oleh terpentalnya tubuh prajurit Daha ke berbagai arah, bagaikan daun-daun kering dikebas sapu. Para siswa pun mengikuti tindakan gurunya sehingga dalam waktu singkat terlihat berpuluh-puluh prajurit Daha bergelimpangan di halaman padepokan sambil mengerang kesakitan.

Ketika malam makin merambat menuju puncak, pertempuran di padepokan berlangsung lebih seru dan lebih sengit. Pasukan Daha bagaikan kesetanan merangsak maju sambil berteriak-teriak. Mereka maju dari arah selatan, barat, dan timur. Mereka menyerbu bagaikan kawanan semut mengerumuni bangkai. Sementara itu, para prajurit Terung dan Wiku Suta Lokeswara beserta siswa-siswanya bertahan mati-matian di bagian utara padepokan, di tengah kobaran api yang sudah melahap seluruh bangunan. Mereka bertahan sekuat daya dari serbuan prajurit-prajurit Daha yang menggelombang bagaikan tak ada habisnya.

Menjelang tengah malam, ketika Wiku Suta Lokeswara dan prajurit-prajurit Terung terdesak hebat, terjadi suatu peristiwa aneh. Di tengah kobaran api yang mulai meredup tiba-tiba muncul kabut berasap yang bergumpal-gumpal dan mengambang menutupi sisa-sisa bangunan yang terbakar. Kabut berasap itu terus mengambang seolah-olah menyelimuti padepokan yang sudah menjadi tumpukan arang. Beberapa jenak kemudian, keadaan di sekitar padepokan menjadi sangat gelap. Sejauh mata memandang, hanya kegelapan yang terlihat melingkupi. Di tengah kegelapan itu secara samar-samar terlihat bayangan-bayangan hitam berkelebat bagaikan mengitari para prajurit Daha.

Seiring berkelebatnya bayangan hitam, terjadi suatu keanehan lagi: prajurit Daha tiba-tiba saling bertabrakan dengan sesama kawannya. Terdengar suara caci maki, lalu umpatan-umpatan balasan. Setelah itu terdengar jerit kesakitan yang diikuti gemerincing senjata yang beradu. Rupanya terjadi pertempuran di antara prajurit Daha sendiri. Mereka saling menikam.

Menyaksikan para prajurit Daha saling bertempur sendiri di tengah kegelapan, Wiku Suta Lokeswara dan prajurit Terung keheranan. Mereka hanya bisa berdiri tercengang menyaksikan pemandangan yang menakjubkan itu. Namun, tak lama kemudian mereka tersadar dan harus segera mundur, terutama setelah mendapat laporan bahwa Nirartha dan keluarganya telah berhasil melewati kediaman Sang Pamget Kandangan Tuha menuju arah hutan Wanasalam. Demikianlah, dengan diam-diam mereka bergerak mundur ke arah timur, meninggalkan kegelapan yang menyelimuti padepokan dengan kabut berasap itu.

Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk prajurit Daha yang saling bertempur sendiri, di tengah selimut kabut berasap yang bergumpal-gumpal meliputi padepokan, Abdul Jalil yang hanya didampingi seorang prajurit Terung, terlihat menyelinap di bawah sebatang pohon yang terbakar sebagian daunnya. Di tengah kelebatan bayangan-bayangan hitam ia melihat satu sosok dengan kecepatan menakjubkan melintas di atas hamparan kabut berasap; mula-mula sebesar domba, kemudian makin membesar seukuran gajah. Tepat di depan Abdul Jalil, sosok seukuran gajah itu berhenti dan memberikan isyarat gerakan tangan agar ia menjauh.

Sadar bahwa sosok sebesar gajah itu bermaksud baik, Abdul Jalil menarik tangan prajurit Terung di sampingnya. Dengan isyarat gerakan tangan, ia meminta sang prajurit untuk mengikutinya meninggalkan padepokan yang sudah menjadi puing-puing hitam itu. Abdul Jalil tersuruk-suruk di tengah kegelapan. Malam yang berkabut telah membuatnya bergerak tanpa tahu arah, namun ia terus berjalan.

Ia baru sadar dirinya terpisah dari rombongan yang lain pada dini hari ketika berada di tepi sungai Nilakantha di utara Jnanabharan. Ceritanya, saat itu tanpa diduga di depan Abdul Jalil telah berdiri sosok sebesar gajah yang tadi dilihatnya di padepokan. Abdul Jalil terkejut dengan kemunculan tiba-tiba sosok itu. Dari kegelapan ia mengamati sosok tersebut berwujud manusia raksasa setinggi sekitar tujuh depa. Rambutnya yang panjang dan lebat terurai hingga ke bawah lutut. Matanya menyala hijau dengan manik-manik kecil. Abdul Jalil cepat tersadar bahwa sosok di depannya itu bukanlah manusia, melainkan sebangsa makhluk berbadan halus dari antara bangsa jin.

Ketika ia mengecilkan mata untuk menegasi wajah sosok raksasa di depannya itu, tiba-tiba sang makhluk mengucap salam, menyapa dengan bahasa perlambang (isyarat), dan memperkenalkan diri sebagai Yang Dipertuan Bumi Pangjalu, Sang Bhuta Locaya. Ketika melihat Abdul Jalil bergeming, sosok bernama Bhuta Locaya itu mengaku telah pernah bertemu dengannya di Gunung Pulasari. Mendengar pengakuannya, Abdul Jalil segera memahami bahwa keanehan yang baru saja terjadi di padepokan itu tidak lain dan tidak bukan tentu ulah Bhuta Locaya. Itu sebabnya, ia mengucapkan terima kasih kepada penguasa Bumi Pangjalu tersebut.

Mendapat ucapan terima kasih dari Abdul Jalil, Bhuta Locaya heran dan bertanya, �Kenapa Paduka Syaikh mengucapkan terima kasih kepada kami?� Kami merasa tidak melakukan sesuatu untuk Paduka Syaikh. Kami datang ke padepokan Wiku Suta Lokeswara karena kami melihat tengara kabut berasap di situ. Kami menduga Paduka Syaikh sengaja memanggil kami dengan membuat kabut berasap itu.�

Pengakuan Bhuta Locaya bahwa kedatangannya karena kabut berasap itu mengherankan Abdul Jalil. Sebab, ia merasa tidak tahu-menahu. Seingatnya, kabut berasap itu muncul begitu saja menyelimuti padepokan. Lantaran itu, ia akhirnya menganggap peristiwa kabut aneh itu adalah bagian dari pertolongan Ilahi. Hanya Allah jua yang kuasa melakukan hal-hal aneh yang tak masuk akal guna melindungi hamba-Nya.

Ketika Bhuta Locaya menyinggung kembali tentang pertemuan di Gunung Pulasari, ingatan Abdul Jalil pun melayang pada detik-detik saat ia berkhotbah di depan makhluk-makhluk gaib tersebut. Ia tiba-tiba ingat bahwa makhluk-makhluk gaib itu memiliki tradisi pesta darah manusia. Terdengar oleh ingatan tentang kebiasaan berpesta darah manusia, Abdul Jalil pun menanyai Bhuta Locaya, �Apakah di kalangan bangsamu dalam waktu dekat ini tidak ada perhelatan besar pesta darah?�

�O ada, Paduka Syaikh,� sahut Bhuta Locaya gembira. �Kami diundang untuk menghadiri pesta besar perburuan manusia.�

�Siapa yang mengundangmu?�

�Setan Kabir Yang Dipertuan Caruban, Ki Kareteg Yang Dipertuan Pakuan Pajajaran, dan Bangsan Yang Dipertuan Gunung Kumba (ng). Mereka mengundang kami untuk pesta besar itu.�

Abdul Jalil tersentak kaget mendengar pengakuan Bhuta Locaya. Tak pelak lagi, pesta darah para makhluk halus itu akan terjadi di Caruban. Ini bermakna, perang di Caruban tidak akan terhindarkan lagi. Berarti, ia harus secepatnya kembali ke Caruban. Ia tidak bisa meninggalkan ayahanda asuhnya menghadapi masalah itu tanpa keterlibatan dirinya, meski ia sadar tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman berperang. Namun, saat hendak menanya Bhuta Locaya tentang seberapa besar pesta darah itu akan diselenggarakan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh pancaran cahaya gaib yang terlihat oleh mata batinnya (�ain al-bashirah) dalam wujud sinar (teja) yang memancar dari arah tenggara. Dengan penuh rasa ingin tahu Abdul Jalil bertanya kepada Bhuta Locaya tentang sinar yang tertangkap oleh mata batinnya, �Apakah makam itu milik seorang manusia suci?�

�Sinar apakah yang Paduka saksikan itu, o Paduka Syaikh.� Bhuta Locaya heran karena tidak melihat sesuatu pun. �Kami tidak melihat apa pun di sini.�

�Sinar yang memancar di sana itu,� kata Abdul Jalil menunjuk ke arah sinar.

�Kami tidak melihat apa pun, o Paduka Syaikh. Tetapi, yang paduka tunjuk itu kalau tidak salah adalah pendharmaan Sang Nrpati Dewasimha dan penasihat setianya, Yang Mulia Jnanabhadra.�

�Maksudmu, Yang Mulia Karttikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha, pendiri Kerajaan Kalingga?� sergah Abdul Jalil ingin tahu.

�Benarlah demikian, Paduka Syaikh,� jawab Bhuta Locaya takzim.

�Jika demikian, aku akan berziarah ke sana.�

Pulau-pulau di tengah samudera raya yang dikenal sebagai wilayah Majapahit pada masa silam merupakan negeri yang sangat menakutkan bagi bangsa manusia yang tinggal di Bharatnagari. Tidak banyak yang mengetahui makhluk apa yang tinggal di tengah samudera raya itu. Namun, para dewa mengatakan bahwa di tengah samudera raya itu tinggal para Kalakeya, Naga, Wanara, Lembu, Barwang, Anjing, Rakshasa, Danawa, Daitya, Pisaca, Yaksa, Aditya, dan Asura; makhluk-makhluk demonis pemakan manusia yang sangat buas dan menakutkan. Makhluk-makhluk itu dipimpin oleh seorang Asura Raja bernama Varuna, pemuka wangsa Aditya.

Menurut cerita dewa-dewa, para makhluk buas penghuni samudera raya itu berkali-kali naik ke daratan dan mendaki puncak-puncak gunung tempat persemayaman Bhattara Indra. Dipimpin oleh raja-rajanya yang sakti mandraguna seperti Asura Vrithra, para makhluk buas menjarah Indraloka dan mengejar-ngejar para apsara-apsari. Suatu saat Asura Vrithra berhasil dibinasakan oleh Indra. Namun, lahir lagi pemimpin baru bernama Kasin, yang kembali memimpin makhluk-makhluk mengerikan itu menyerbu Indraloka. Tatkala Kasin dibinasakan Balarama, muncul saudaranya yang bernama Niwatakawaca, yang dengan penuh amarah menggempur Indraloka. Namun, seperti nasib pemimpin makhluk buas terdahulu, Niwatakawaca pun dapat dibinasakan putera Bhattara Indra, Arjuna.

Setelah pemuka-pemukanya terbunuh dalam pertempuran, makhluk-makhluk ganas penghuni lautan itu tidak pernah lagi menyerbu Indraloka. Mereka tinggal tenang di dalam lautan. Namun, sifat mereka yang mirip dengan sifat lautan sering kali berubah dengan cepat dan menggiriskan. Meski tak pernah lagi menyerbu Indraloka, mereka masih sering naik ke daratan Bharatnagari dan melakukan penjarahan serta perampokan besar-besaran. Setelah puas menjarah, merampok, merusak, dan membunuh manusia, makhluk-makhluk ganas itu kembali ke dalam lautan dan tidur selama bertahun-tahun.

Ketika pelaut-pelaut Gurjaradwipa mulai berani berlayar ke tengah samudera, mereka mengunjungi sarang-sarang kediaman para makhluk buas yang menakutkan itu. Dari para pelaut Gurjaradwipa itulah sarang-sarang makhluk ganas di tengah samudera itu disebut dengan nama Nagnaloka (dunia manusia telanjang). Rupanya para makhluk buas itu telah berubah menjadi setengah manusia. Namun, mereka masih belum mengenal pakaian. Sebagian mereka masih menggunakan nama-nama wangsa yang menunjuk pada asal-usul leluhurnya yang buas, yaitu Danawa, Daitya, Rakshasa, Kalakeya, Naga, Wanara, Anjing, Lembu, dan Barwang.

Selama beratus-ratus tahun makhluk setengah manusia itu hidup dalam keadaan liar dan tanpa aturan. Mereka dikenal sebagai bangsa lautan yang memiliki sifat tidak jauh dari leluhurnya yang suka membanggakan kehebatan diri dan kelompoknya, makhluk yang gemar berperang, suka menjarah dan merampok, senang membunuh, dan haus darah. Hari-hari dari kehidupan mereka tidak pernah diwarnai ketenangan, kedamaian, kerukunan, dan ketenteraman. Mereka benar-benar makhluk berjiwa lautan. Sekalipun tampak tenang, tanpa terduga mereka sering mengamuk. Jika mengamuk mereka akan menghancurkan segala sesuatu yang ada di depannya sebagaimana gelombang menghancurkan kapal-kapal dan desa-desa di pesisir.

Di tengah kengerian hidup semacam itu, datanglah ke tengah lautan itu seorang Brahmana Panca Dravida dari negeri Andra di selatan Bharatnagari yang bernama Kundungga. Ia adalah keturunan Asura Varuna dari galur Rishi Agastya. Dari Kundungga lahirlah raja-raja besar yang berusaha menata kehidupan di tengah samudera raya itu sebagaimana layaknya tatanan kehidupan manusia. Di antara keturunan Kundungga yang termasyhur adalah Aswawarman, Bhagawan Manumanasya Sri Jayasinghawarman, Mulawarman, Purnawarman, Suryyawarman, Chakrawarman, Indrawarman, Kesariwarman, dan Singhawarman. Itulah barisan manusia luhur keturunan Varuna yang melahirkan Karttikesingha Sang Nrpati Dewasimha, pendiri kerajaan besar pertama di samudera raya yang masyhur dikenal sebagai Kerajaan Kalingga.

Paparan itulah yang didengar Abdul Jalil dengan isyarah saat menemui arwah Sang Nrpati Dewasimha di pendharmaannya untuk meminta petunjuk bagi penyempurnaan gagasannya tentang khilafah. Yang paling mengejutkan Abdul Jalil, arwah Nrpati Dewasimha menertawakan gagasannya itu dengan ibarat mangga matang sebelum waktu. Merasa bahwa tidak ada yang salah dalam gagasannya tentang khilafah itu, Abdul Jalil memohon agar Nrpati Dewasimha menunjukkan keburukan dan kelemahan gagasannya tersebut.

Sebagai manusia besar yang pernah malang melintang di atas takhta kencana yang menyatukan dua puluh tujuh kerajaan di samudera raya, sang Nrpati Dewasimha sudah tentu sangat memahami tata negara dan tata kehidupan penduduk negerinya. Saat Abdul Jalil memintanya untuk menunjukkan keburukan dan kelemahan khilafah, dengan sangat tenang sang Nrpati Dewasimha berkata, �Tidak ada yang buruk dan tidak ada yang lemah dari gagasanmu itu, o Anak. Yang aku tertawakan adalah rencanamu untuk menerapkan tatanan agung dan mulia itu di negeri ini tanpa memperhitungkan watak dasar dari manusia-manusia yang engkau harapkan mendukung gagasan itu. Sebab, dengan mengabaikan watak dasar manusia pendukung, engkau dapat diibaratkan seperti orang yang berusaha menjadikan sebuah kota sebagai hunian kawanan binatang buas. Sehingga bukan keamanan, ketenteraman, kedamaian, kemakmuran, keadilan, dan kesentosaan yang akan engkau hadapi jika gagasanmu itu dijalankan, sebaliknya kekacauan dan kerusakanlah yang akan terjadi jika gagasan itu engkau laksanakan.�

�Apakah yang harus kami lakukan agar gagasan itu dapat dijalankan dan menghasilkan kemaslahatan bagi seluruh penduduk, o Paduka Mulia?� tanya Abdul Jalil.

�Tidak ada cara lain, kecuali melakukan tindak kekerasan atas nama hukum sebagaimana yang telah aku lakukan,� kata Nrpati Dewasimha tegas. �Sebab, telah berbilang abad leluhurku menegakkan kekuasaan di tengah samudera yang dihuni makhluk-makhluk setengah manusia ini, namun mereka semua merasa gagal menjadikan penghuni negeri ini sebagai manusia sempurna. Kekuasaan yang ditegakkan para leluhurku selalu ternoda oleh kebiadaban para kawula yang memiliki sifat seperti leluhurnya; para makhluk buas dari antara wangsa Kalakeya, Danawa, Daitya, Rakshasa, Yaksa, Naga, Anjing, Wanara, Lembu, dan Barwang.�

�Lantaran itu, ketika aku menegakkan kekuasaan di Kalingga, aku pilih jalan yang paling tegas untuk membedakan manusia dari binatang dan makhluk-makhluk buas yang biadab, yakni dengan cara penegakan hukum. Maksudku, untuk mendidik makhluk setengah manusia agar menjadi manusia utuh, hendaklah dilakukan dengan mengenalkan mereka pada hukum. Seluruh penduduk Kalingga harus disadarkan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang hidup di atas peraturan hukum, bukan hidup liar seperti binatang di hutan.�

�Aku tidak tahu pasti berapa puluh ribu manusia setengah binatang yang terbunuh atas nama hukum Kalingga yang keras. Sebab, tidak kenal kawula, tidak kenal nayakapraja, tidak kenal keluarga raja, yang melanggar peraturan akan dijatuhi hukuman berat. Waktu itu aku dicaci maki oleh semua orang sebagai raja setan yang jahat dan haus darah. Tetapi, aku menutup mata dan telingaku. Tidak ada yang aku dengarkan di antara semua suara itu, kecuali suara hukum yang jernih laksana pantulan denting pedang yang lurus dan tajam.�

�Akhirnya, selama puluhan tahun sejak hukum ditegakkan dengan keras, penduduk Kalingga benar-benar menjadi manusia yang baik budi pekertinya. Sifat-sifat buruk warisan para Kalakeya, Danawa, Daitya, Rakshasa, Pisaca, Yaksa, Naga, Anjing, Wanara, Lembu, dan Barwang telah lari bersembunyi di kedalaman jiwa seluruh penduduk. Seluruh warga Kalingga hidup dalam keadaan aman, damai, tenteram, makmur, dan sentosa. Kejahatan sekecil apa pun tidak terjadi di Bumi Kalingga karena semua penduduk tunduk pada hukum. Semua penduduk sudah menjadi manusia utuh.�

�Tetapi, saat aku mengundurkan diri menjadi pertapa, terjadi peristiwa yang menguji ketegasanku. Pangeran Pradah Putra, putera mahkotaku, melakukan pelanggaran terhadap hukum. Dia menginjak-injak pundi-pundi berisi emas yang diletakkan seorang pedagang Arab di pasar kutaraja. Orang Arab sombong itu tidak yakin bahwa ada bangsa selain bangsanya, apalagi bangsa keturunan makhluk buas, yang bisa patuh hukum. Lantaran itu, dia ingin menguji hukum Kalingga.�

�Selama dua tahun tidak satu pun orang berani menyentuh pundi-pundi itu. Tetapi, putera mahkotaku justru mengijak-injaknya, sebagai ungkapan sikap bahwa tumpukan emas baginya bukanlah barang berharga. Rupanya dia tidak sadar bahwa hukum Kalingga melarang orang-seorang mengganggu barang milik orang lain. Lantaran itu, dia diancam hukuman mati. Sebagaimana aku, istriku yang menggantikan kekuasaanku pun dengan tegas menjatuhkan hukuman mati atas putera mahkota. Hak atas takhta dicabut darinya. Hanya atas saran para pejabat tinggi kerajaan akhirnya hukuman mati dicabut dan diganti hukuman potong kedua kaki. Demikianlah, Pradah Putra, sang putera mahkota dipotong kedua kakinya tanpa ampun. Itulah hukum adil yang harus dipatuhi oleh setiap penghuni negeri tidak pandang kawula, tidak pandang keluarga raja.�

Mendengar uraian Nrpati Dewasimha, Abdul Jalil sadar betapa gagasannya tentang khilafah sangat lemah dalam hal perangkat hukum yang sesuai untuk menata dengan tertib kehidupan masyarakat ummah dan aparat walu al-Ummah. Ia sadar bahwa Nabi Muhammad Saw. pun saat membangun komunitas ummah di Yatsrib menetapkan hukum yang keras sehingga beliau berkata akan memotong sendiri tangan puterinya, Fatimah r.a., jika kedapatan sang puteri terbukti melakukan pencurian. Ah, bukankah kekacauan di Caruban Larang akibat orang-orang berebut tanah hanya bisa diredakan oleh tindakan keras Sri Mangana yang mengancam dengan hukuman berat bagi siapa saja yang terbukti melanggar batas tanah orang lain? Bukankah compang-camping kehidupan di Bumi Majapahit juga disebabkan lumpuhnya penegakan hukum Kutaramanawa?

Petunjuk Nrpati Dewasimha sesungguhnya telah menempatkan Abdul Jalil pada kedudukan yang sulit. Di satu pihak, ia bisa menerima alasan Nrpati Dewasimha itu bahwa penghuni negeri ini hanya bisa dimanusiakan lewat penegakan hukum yang tegas dan keras karena mereka dianggap sebagai manusia setengah hewan. Namun di pihak lain, ia merasa jika petunjuk Nrpati Dewasimha diikuti tentu akan bertentangan dengan dasar-dasar ajaran yang disampaikannya yang meyakini bahwa di dalam diri manusia sejatinya terdapat ruh Yang Ilahi. Dengan ajarannya itu ia secara tegas menghendaki para penghuni negeri dapat mematuhi hukum karena kesadaran, bukan didasari oleh rasa takut. Sebab, jika penegakan hukum hanya didasarkan pada rasa takut maka saat yang ditakuti sudah tidak ada, kembalilah orang-orang ke sifat semula. Porak-porandanya Kalingga terbukti karena raja-raja penerus tidak lagi memiliki sikap tegas seperti Nrpati Dewasimha dan permaisurinya, sehingga para kawula Kalingga kembali menjadi liar sepeninggal mereka.

Read More ->>

BELAJAR KEPADA PENDETA BIRAWA

Belajar kepada Pendeta Bhairawa

Menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga masuk ke liang kubur! Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina! Sabda Nabi Muhammad Saw. itu mendorong Abdul Jalil untuk belajar tentang sesuatu yang belum diketahuinya: tata praja dan tatanan kehidupan kawula Majapahit. Untuk maksud itu, ia belajar kepada Wiku Suta Lokeswara, yang belakangan diketahuinya adalah mantan pejabat negara Majapahit berpangkat demung (pengatur rumah tangga kerajaan) yang masyhur dikenal dengan sebutan Rakryan Demung Pu Hastadhara. Sekalipun telah belasan tahun mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dan menjadi dewa guru, pengetahuannya tentang tata praja dan tata kehidupan kawula serta pasang surut sejarah para penguasa Majapahit masih belum hilang dari ingatannya.

Berdasar penjelasan Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil mengetahui jika tata pemerintahan Majapahit terbagi atas lima bagian menurut asas peranan masing-masing dalam pemerintahan. Pertama, raja. Kedua, dewan pertimbangan kerajaan. Ketiga, pejabat pemerintah. Keempat, pejabat keagamaan dan peradilan. Dan kelima, pejabat lain yang membantu pelaksanaan pemerintahan.

Seorang raja dalam tata praja Majapahit adalah pusat seluruh kekuasaan dalam negara. Itu sebabnya, raja haruslah titisan dewata yang suci (avatar) dan mampu menjalankan tugas-tugasnya baik sebagai pelindung dunia, pemelihara agama, penjaga moral, pemakmur bumi, maupun penyejahtera kawula. Ukuran kelayakan seorang raja adalah tuntunan tentang Astabrata (Delapan Ajaran) yang memberikan gambaran ideal tentang raja yang dapat menjalankan tugasnya sebagaimana dewa-dewa memelihara seluruh dunia. Tetapi di atas itu semua, untuk menduduki jabatan raja, seseorang harus memiliki hubungan darah dengan raja terdahulu yang sudah membuktikan �kedewaan� dirinya. Dan para raja Majapahit adalah pewaris keagungan dan kemuliaan darah Raja Tumapel pertama, Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, titisan Brahma, Bhattara Guru, dan Wisynu yang mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (teja) yang memancar dari �rahasia� Ken Dedes, naraiswari (raja puteri) Kerajaan Purwa.

Ketika Wiku Suta Lokeswara memaparkan konsep Nawasanga (sembilan perwujudan Syiwa) dalam lingkup kekuasaan seorang raja, Abdul Jalil terkejut. Ingatannya tiba-tiba melayang ke Caruban Larang. Sosok Sri Mangana pun melesat ke relung-relung ingatannya. Ya, ia ingat benar ketika ayahanda asuhnya itu mengemukakan pandangan untuk menyempurnakan gagasan khilafah yang diajukannya dengan membagi wilayah Caruban Larang menjadi sembilan nagari. Rupanya, pikir Abdul Jalil, ayahanda asuhnya mengikuti konsep Nawasanga, lambang Syiwa yang dikelilingi delapan manifestasi-Nya: Brahma (selatan), Maheswara (barat laut), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut), Wisynu (utara), Sambhu (timur laut), Iswara (timur), Rudra (tenggara), dan Paramasyiwa sebagai pusat.

Dengan menduga kemungkinan diterapkannya konsep Nawasanga dalam tatanan baru khilafah, Abdul Jalil pun mengira-ngira tentang sikap para penguasa Galuh Pakuan, Rajagaluh, Talaga, dan Dermayu yang belum berani mengambil tindakan terhadap Caruban Larang. Boleh jadi mereka mengetahui sang kalifah Caruban Larang menerapkan gagasan Nawasanga dalam menata kekuasaannya sehingga mereka tidak berani gegabah menyerangnya.

Dengan dugaan itu, Abdul Jalil pun memahami betapa di balik �perang siasat� antara Sri Mangana dan saudara-saudaranya sesungguhnya berlangsung pergulatan sengit untuk mengukuhkan diri sebagai �titisan dewa�. Dan Sri Mangana tampaknya menang beberapa langkah dibanding saudara-saudaranya karena pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang ajaran Syiwa-Budha. Sebab, dengan konsep Nawasanga itu Sri Mangana tidak sekadar menunjukkan keberadaan dirinya sebagai penguasa unsur-unsur alam, tetapi juga sebagai penjaga tanah-tanah larangan (samiddha) di keempat gerbang Mahameru. Sehingga, di dalam �perang siasat� itu Sri Mangana seolah-olah berkata, �Akulah Paramasyiwa, pusat dari delapan penjuru dunia. Siapakah di antara manusia yang berani berdiri tegak melawan kekuasaanku?�

Dengan pandangan bahwa raja adalah titisan dewa, menurut hemat Abdul Jalil, sesungguhnya sebuah tatanan kekuasaan memang bisa menjadi sangat ideal terutama jika sang raja benar-benar dapat berkuasa sesuai sifat-sifat dewa dalam Astabrata. Namun, bahaya dari tatanan semacam itu adalah saat tampilnya raja yang jahat dan mengabaikan Astabrata. Bahkan bahaya yang lebih dahsyat lagi, jika anak-anak raja yang sama-sama mengaku titisan dewa itu kemudian berebut takhta sepeninggal orang tuanya. Tak pelak lagi, akan terjadi keguncangan jagad semesta karena anak-anak dewa tersebut saling bertempur mengadu kekuatan. Kemunduran Majapahit jelas berpangkal dari pertarungan �anak-anak dewa� itu dalam berebut mahkota. Mereka melibatkan para pemuja dan penyembahnya masing-masing. Bahkan, di tengah kecamuk perang bermunculan adipati-adipati gurem yang mengaku �cucu dewa�, �cucu buyut dewa�, dan bahkan �keturunan kelima dewa�, merki kenyataan menunjuk bahwa bagian terbesar di antara mereka adalah begundal Patih Mahodara.

Setelah memahami seluk-beluk tata praja Majapahit dari Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil akhirnya memahami kenapa para penguasa Bumi Pasundan sangat sulit menerima gagasannya tentang khilafah. Rupanya orang-orang Sunda tidak berbeda dengan orang-orang Majapahit. Mereka menetapkan tata prajanya didasarkan pada ajaran Astabrata, yakni menempatkan maharaja sebagai penguasa puncak yang memiliki citra diri dewa-dewa. Salah satu gambaran ideal raja, sebagaimana tuntunan Astabrata, selain wajib memiliki keunggulan di bidang kewiraan seperti Bhattara Indra, dewa perang, juga wajib memiliki keunggulan dalam kepemilikan harta seperti Bhattara Kuwera (dewa kekayaan; kakak Rahuwana, Raja Lankapura).

Dengan citra diri sebagai jelmaan Bhattara Kuwera maka seorang maharaja di Majapahit maupun Sunda harus menempati kedudukan sebagai �manusia dewa� yang paling kaya di seluruh penjuru negeri. Tidak boleh ada satu pun orang yang memiliki kekayaan melebihi maharaja. Salah satu pintu gerbang untuk memperoleh kekayaan itu adalah ketentuan hukum yang mengatur hak-hak istimewa bagi sang raja untuk memungut pajak (drwya haji), menerima upeti (paripuja), menerima persembahan (bulubekti), dan hadiah lain-lain. Bahkan, di dalam pasal-pasal hukum perundang-undangan Majapahit, Kutaramanawa, maharaja beroleh hak untuk memperoleh harta benda dan anak-anak beserta istri para pelanggar hukum pidana.

Dengan memahami betapa mengakarnya ajaran Astabrata di kalangan penguasa dan nayakapraja, Abdul Jalil pun sadar jika gagasan khilafah yang ditawarkannya sesungguhnya akan sulit diterima baik di Bumi Sunda maupun di Majapahit. Sebab, konsep khilafah yang mendasarkan kekuasaan pada masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah itu justru menempatkan kezahidan (asketisme) sebagai syarat mutlak bagi seorang wali nagari terutama wali al-Ummah. Ya, konsep dasar khilafah yang diajukannya jelas-jelas bertentangan dengan konsep kerajaan berdasar Astabrata.

Demikianlah, semakin memahami tata praja Majapahit, semakin sadarlah Abdul Jalil bahwa gagasannya merupakan sesuatu yang asing di Majapahit dan Sunda. Bahkan, kelihatannya para adipati muslim di pesisir utara pun tidak semuanya bisa menerima utuh gagasannya tentang khilafah, terutama yang terkait dengan wilayah al-Ummah.

Wilayah al-Ummah. Kepemimpinan yang dipilih! Gagasan itu tampaknya berlawanan dengan kelaziman yang berlaku. Baik penduduk beragama Syiwa-Budha maupun Islam yang tinggal di Bumi Pasundan dan Majapahit sebagian besar tetap meyakini bahwa kekuasaan dan kepemimpinan wajiblah ditentukan oleh faktor keturunan. Lantaran itu, perselisihan untuk berebut takhta pun sejatinya hanya boleh terjadi di antara para keturunan penguasa sendiri. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa Patih Mahodara yang berasal dari kalangan kebanyakan dapat menduduki jabatan tinggi di Majapahit. Bukankah Patih Gajah Mada pun berasal dari kalangan kebanyakan? Bukankah imam besar Syiwa-Budha yang bernama Anawung Sangkha juga berasal dari kasta rendah? Bukankah Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, leluhur raja-raja Majapahit, asalnya dari kalangan kebanyakan juga?

Berdasarkan uraian Wiku Suta Lokeswara, semakin sadarlah Abdul Jalil bahwa nilai-nilai lama masih sangat kuat dianut oleh orang-orang Majapahit. Itu sebabnya, pertikaian di seputar perebutan takhta adalah perselisihan antarwangsa di dalam keluarga. Bahkan, yang berkembang terakhir adalah perselisihan sengit antara keturunan dua bersaudara putera Prabu Wikramawarddhana: Prabu Kertawijaya dan Bhre Tumapel. Perebutan kedua keturunan itulah yang sebenarnya telah menguras habis keperkasaan Majapahit.

Pangkal pertikaian disulut kali pertama oleh Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan Sang Sinagara, yakni orang yang membunuh Prabu Kertawijaya di atas dampar kanchana. Dyah Wijayakumara sendiri sejatinya bukan orang lain, melainkan kemenakan dan sekaligus menantu Prabu Kertawijaya. Ia putera sulung Bhre Tumapel, saudara lain ibu Prabu Kertawijaya. Dyah Wijayakumara memiliki tubuh pendek sehingga ia dijuluki gelas ejekan Ratu Bajang oleh kerabatnya sesama pangeran Majapahit.

Boleh jadi karena sering diejek, Dyah Wijayakumara dikenal sebagai orang yang selalu mau menang sendiri. Dia selalu berusaha memperoleh posisi tinggi dalam pergaulan. Untuk itu, dia tidak segan-sagan menghamburkan kekayaan dan membual tentang kehebatan dirinya. Dalam setiap kesempatan dia seolah-olah ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa sekalipun tubuhnya pendek, ia tidak akan pernah kalah dalam segala hal dengan orang-orang yang bertubuh lebih tinggi. Lantaran sifatnya itu dianggap berlebihan maka dia sangat tidak disukai di lingkungan kraton Majapahit.

Ketika Bhre Tumapel, ayahandanya, meninggal, Dyah Wijayakumara beroleh banyak anugerah dari pamannya, Prabu Kertawijaya. Ia mula-mula dijadikan raja muda di Keling dengan gelar Bhre Keling. Namun, ia tidak merasa senang karena para kerabatnya masih mengejeknya dengan sebutan �Si Bajang, Ratu Keling� yang bermakna �Si Cebol, raja orang-orang berkulit hitam�. Itu sebabnya, Prabu Kertawijaya kemudian menganugerahinya gelar tituler Bhre Pamotan, meski ia tetap menduduki takhta di Keling. Bahkan sang Ratu Bajang itu diambil menantu oleh Prabu Kertawijaya.

Anak-anak Dyah Wijayakumara yang masih kecil tak luput dari kasih sayang Prabu Kertawijaya. Mereka dianugerahi gelar tituler Bhre Mataram, Bhre Kretabhumi, Bhre Pamotan, dan Bhre Kahuripan. Masing-masing mereka diberi puri di kutaraja. Adik Dyah Wijayakumara yang bungsu dan masih kecil, Dyah Suryyawikrama dipungut sebagai anak oleh Prabu Kertawijaya dan dianugerahi gelar tituler Bhre Wengker. Dyah Suryyawikrama diasuh oleh Bhre Daha, istri Prabu Kertawijaya, bersama-sama putera-puteri kandungnya sendiri: Bhattara Katwang, Bhre Kabalan, dan Bhre Jagaraga.

Namun, segala kebaikan dari Prabu Kertawijaya ternyata malah mengobarkan rencana jahat Dyah Wijayakumara. Para kawi mencatat, maharaja Majapahit ketujuh itu dimangsa oleh �hewan peliharaan� yang selama ini dirawat dengan penuh kebaikan dan kasih sayang. �Sungguh amat jahatlah manusia yang sudah mabuk kekuasaan sehingga dia tidak kenal lagi akan paman dan tidak pula kenal akan mertua yang berjasa. Sesungguhnya telah buta orang-orang yang dicekam kuat oleh hasrat berkuasa yang tak terkendali. Sejak Dyah Wijayakumara, terbakarlah takhta Majapahit dalam pertikaian tak berujung. Kasih sayang yang seharusnya menjadi ikatan persaudaraan telah berubah bara api yang membakar lautan dendam kesumat,� kata Wiku Suta Lokeswara.

�Jika tidak salah, paman Adipati Terung menyatakan bahwa pertikaian untuk memperebutkan takhta itu telah meluas menjadi tiga poros kekuatan. Benarkah demikian keadaannya?� tanya Abdul Jalil.

�Sekarang ini memang demikian itu keadaannya,� ujar Wiku Suta Lokeswara. Sebagaimana telah dijelaskan Adipati Terung, kekuatan yang ada di Majapahit dewasa ini terbagi atas tiga kelompok besar. Pertama, kekuatan dari para adipati yang memihak kepada keturunan Sri Prabu Kertawijaya. Kedua, kekuatan para adipati yang memihak kepada keturunan Bhre Tumapel. Dan yang ketiga, kekuatan para adipati dan pejabat kerajaan yang berpihak kepada Patih Mahodara; pejabat asal Madura yang tak tahu diri, yang belakangan ini mewajibkan para pengikutnya yang hendak menghadap dengan menyebut kata ganti diri sebagai lebu ni paduka Sri Prabu Udara (debu di bawah telapak kaki Sri Prabu Udara).�

Tindakan Patih Mahodara yang bertindak seolah-olah maharaja Majapahit itulah yang menjadi salah satu pemicu bagi kemunculan kadipaten-kadipaten gurem. Sebab, pertama-tama, adipati-adipati yang merasa memiliki ikatan darah dengan Prabu Kertawijaya dan Bhre Tumapel tidak ada yang sudi mengakui kekuasaan patih tak tahu diri itu. Lantaran itu, para buyut yang mengepalai wisaya banyak yang diangkat oleh sang patih menjadi adipati, dengan catatan akan bersetia kepadanya.

Pengangkatan adipati-adipati gurem yang berasal dari para buyut itu bisa terjadi karena berpangkal pada kelemahan sistem tatanan kehidupan desa-desa di Majapahit. Menurut Wiku Suta Lokeswara, desa-desa di Majapahit disebut dengan nama thani. Pemimpin thani disebut wisaya. Nah, pemimpin wisaya dipilih oleh raja di antara para rama yang ada. Pemimpin wisaya terpilih itulah yang disebut buyut.

Sepanjang sejarah Majapahit, ungkap sang wiku, yang disebut buyut adalah kepala wisaya yang memiliki makna �sesepuh� yang disegani dan dihormati oleh para rama yang mewakili thani-thani. Mereka lazimnya dipilih di antara para rama yang sudah tua usianya. Namun, di bawah patih Mahodara, jabatan buyut diisi oleh orang-orang pilihan sang patih yang umumnya berusia sangat muda. Mereka adalah pribadi-pribadi yang mengatasnamakan wisaya, namun sejatinya abdi setia sang patih. Mereka dikenal sebagai makhluk-makhluk rakus dan serakah, yang kerjanya sehari-hari menumpuk kekayaan dan bersenang-senang. Mereka tidak pernah peduli dengan nasib penduduk wisaya yang mereka kuasai dan wakili. Umumnya mereka berasal dari kalangan kebanyakan yang mengharapkan kamukten (kemuliaan) tanpa peduli jalan yang dilewatinya akan mengorbankan orang lain atau tidak.

Ketika para buyut busuk itu dinilai sudah memiliki kekayaan cukup melimpah dan prajurit-prajurit pengawal yang banyak jumlahnya, diam-diam mereka diperintahkan oleh sang patih untuk memaklumkan diri sebagai adipati. Biasanya, seiring dengan pemakluman seorang buyut menjadi adipati, sang patih selalu mendatanginya atas nama maharaja untuk mengakui keberadaan kadipaten baru itu sebagai bagian dari Majapahit. Walhasil, pada masa akhir kekuasaan Sri Prabu Girindrawarddhana, telah bermunculan kadipaten-kadipaten gurem yang dipimpin para petualang tengik yang terkenal rakus dan berakhlak bejat; para adipati jahat yang mengumbar nafsu berkuasa dan meyengsarakan penduduk.

Di dalam tata praja Majapahit, baik rama maupun buyut adalah bawahan dari raja. Itu sebabnya, seorang rama atau buyut memiliki kewenangan mengatur desa dengan atas nama sang raja. Bahkan, untuk desa-desa khusus seperti shima dan watek i jro, pemimpinnya memiliki hak-hak untuk bertindak atas nama raja; baik dalam hal memungut pajak (mangilala drwya haji), menarik denda kepada para pelanggar peraturan, mengerahkan tenaga penduduk (kerigaji), memakan makanan jenis khusus yang dimakan para raja (rajamangsa), menggunakan payung putih kutlima, dan berpakaian sebagaimana yang dikenakan keluarga raja. Di antara mereka bahkan ada yang beroleh perkenan dari raja untuk menggunakan ceker (genteng) untuk atap rumahnya dan ada pula yang beroleh tandu.

Dengan membandingkan tatanan tata praja Majapahit yang begitu rumit, feodal, menguntungkan para petualang tengik, dan sangat menyengsarakan kawula, Abdul Jalil melihat kemungkinan-kemungkinan buruk dari gagasan khilafah yang ditawarkannya. Maksudnya, meski gagasan khilafah jauh lebih baik dan lebih ideal dibandingkan dengan tatanan kerajaan, gagasan itu sejatinya juga mengandung bahaya yang tidak kalah dahsyat. Sebab, jika gagasan khilafah yang didasarkan pada konsep masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah itu diselewengkan oleh manusia-manusia berakhlak bejat dan berjiwa bobrok, sebagaimana para petualang busuk memanfaatkan tatanan kerajaan di Majapahit, boleh jadi gagasan khilafah itu justru akan menjadi monster yang jauh lebih kejam, lebih buas, dan lebih biadab daripada monster kerajaan. �

Ayahanda kami, Sri Mangana, pernah mengatakan bahwa kepercayaan orang-orang Majapahit pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kepercayaan penduduk Sunda. Maksudnya, di balik keyakinan terhadap dewa-dewa sesungguhnya orang-orang Majapahit melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur. Bahkan, kepercayaan di kalangan kawula sangat berbeda dengan keyakinan para penghuni kraton,� kata Abdul Jalil.

�Kami kira memang demikian kenyataannya,� kata Wiku Suta Lokeswara. �Kami tidak tahu bagaimana perbedaan kepercayaan di Sunda. Tetapi, di Majapahit kepercayaan para kawula memang berbeda dengan kepercayaan kalangan kraton.�

�Berarti penduduk Majapahit di pedesaan jarang yang mengenal dewa-dewa Hindu-Budha?�

�Hampir bisa dikatakan begitu,� kata Wiku Suta Lokeswara. �Sebab, penduduk desa umumnya tidak peduli dengan dewa-dewa. Mereka hanya butuh hidup aman dan makmur. Karena itu, seorang janggan (dukun) yang bisa membantu penduduk dalam memilihkan hari baik untuk menanam padi, memperbaiki rumah, mempunyai hajat, mengobati orang sakit, dan meramal peruntungan nasib lebih dibutuhkan daripada seorang pendeta. Selain itu, penduduk desa yang umumnya kalangan sudra memang tidak diperkenankan mengurusi sesuatu yang berkaitan dengan agama. Jadi, penduduk desa di Majapahit memang hidup dengan dunianya sendiri.�

�Apakah para kawula di desa-desa tidak ada yang pergi ke pura untuk beribadah?�

�Para perajin di desa-desa biasanya membawa sesaji persembahan kepada sthapaka (pendeta penjaga candi) yang mengadakan upacara-upacara di candi. Tapi, itu dilakukan lebih banyak untuk memenuhi tuntutan agar �sang penguasa candi� memberi berkah dan tidak menimbulkan bencana bagi penduduk sekitar. Sedang para petani lazimnya memuja Sri-Sadhana dan arwah leluhurnya. Bahkan, pada waktu-waktu tertentu penduduk mendatangi para marhyang (juru kunci) yang menjadi �pengantar� mereka dalam memuja batu-batu keramat dari leluhur pembuka desanya,� kata Wiku Suta Lokeswara.

Saat kami berada di Surabaya dan Kadipaten Terung, kami saksikan banyak penduduk yang mempercayai berbagai jenis makhluk berbadan halus yang menghuni pohon, sungai, danau, hutan, gunung, dan batu. Apakah penduduk Majapahit juga seperti mereka?� tanya Abdul Jalil.

�Sesungguhnya kepercayaan terhadap makhluk berbadan halus bukan hanya menjadi keyakinan penduduk di Surabaya dan Terung. Penduduk kutaraja pun mempercayai yang demikian. Mereka yakin di sekitar mereka hidup makhluk-makhluk setengah dewa, seperti Yaksa, Pisaca, Wwil, Raksasa, Gandharwa, Bhuta, Khinnara, Widyadhara, Ilu-Ilu, Dewayoni, Banaspati, dan arwah leluhur.�

Dari penjelasan Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil menyimpulkan bahwa kepercayaan orang-orang Surabaya dan Terung yang mirip dengan kepercayaan orang-orang Caruban Larang kelihatannya bukan berasal dari Majapahit, melainkan kepercayaan dari orang-orang Campa. Sebab, baik di Caruban, Surabaya, dan Terung, orang-orang mempercayai berbagai jenis makhluk halus yang tidak dikenal penduduk pedalaman Sunda dan Majapahit. Mereka, misalnya, percaya ada hantu penghuni danau dan sungai yang bernama Ka-lap. Mereka percaya ada hantu yang disebut Setan Gundul, Jim, Gendruwo, Way-Way, Demit, Kuntilanak, Wedhon, Thuyul, Kemamang, dan banyak lagi jenis hantu yang sesungguhnya tak dikenal penduduk pedalaman Sunda dan Majapahit.

Belum puas dengan jawaban Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil bertanya tentang kebiasaan orang pedalaman Majapahit untuk memperingati hari kematian orang-seorang. Ternyata, menurut sang wiku, di Majapahit orang hanya kenal upacara enthas-enthas dan sraddha yang dilaksanakan dua belas tahun setelah kematian seseorang. Padahal, di Caruban, Surabaya, dan Terung, orang mati diperingati pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu, dan setiap tahun sekali. Berarti, semua kepercayaan itu merupakan hal baru yang berasal dari pengaruh Campa.

Ketika Abdul Jalil meminta penjelasan kepada Wiku Suta Lokeswara tentang kebiasaan orang-orang Terung memperingati orang mati, sang wiku menyatakan tidak paham. �Kami tidak mengetahui banyak tentang hal itu. Tetapi seingat kami, yang melakukan kebiasaan itu adalah orang-orang Campa muslim di kutaraja.�

�Itu benar sekali,� sahut Abdul Jalil. �Di Caruban pun kepercayaan itu sangat kuat diyakini orang-orang keturunan Campa. Tapi, bagaimana pengaruh itu bisa sampai ke Terung?�

�Sepengetahuan kami, kepercayaan Campa mulai dikenal di sekitar kutaraja kira-kira tujuh windu silam. Saat itu Prabu Kertawijaya menikahi puteri Darawati dari Campa. Para pengiring sang puteri tinggal dan menetap di kutaraja. Mereka itu orang-orang Islam yang sangat ramah dan karenanya disukai oleh warga kutaraja. Mereka menikah dengan orang-orang Majapahit dan tinggal di kutaraja. Mereka itulah yang kami ketahui memiliki adat yang jauh lebih rumit daripada adat orang-orang Majapahit. Tentang berkembangnya kepercayaan itu hingga ke Terung, kami tidak tahu pasti. Tetapi, kami mengira itu berkaitan dengan pengungsian besar-besaran warga kutaraja saat terjadi penyerbuan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Sehari sebelum kutaraja dihancurkan, orang-orang Islam telah keluar meninggalkan kutaraja dibawah lindungan adipati Terung,� kata Wiku Suta Lokeswara.

Dengan penjelasan Wiku Suta Lokeswara, semakin jelaslah bagi Abdul Jalil bahwa tugas yang harus dipikulnya benar-benar berat. Ia tidak hanya dituntut untuk berjuang mempengaruhi perubahan komunitas masyarakat di Sunda yang bermental budak menjadi komunitas bermental tuan, atau menjadikan orang-orang Majapahit yang �gila� keagungan dan penaklukan menjadi orang-orang rendah hati dan mau menghargai orang lain, tetapi juga harus menghadapi �mental kalah� orang-orang Campa yang sudah mempengaruhi orang-orang Majapahit dan Sunda. Abdul Jalil sendiri memahami betapa di tengah kekalahannya yang pahit itu, bangsa Campa telah lari dari kenyataan dan jatuh ke jurang takhayul. Ya, mereka telah lari dari dunia nyata dan terjerembab ke dalam dunia khayalan. Kepercayaan bangsa Campa yang sedang mengalami kemerosotan itu tampaknya bakal menjadi santapan yang menyenangkan bagi orang-orang Majapahit yang juga sedang mengalami kemerosotan di berbagai bidang kehidupan.

Sepanjang kesaksiannya tentang kehidupan penduduk di pedalaman Sunda dan Majapahit, Abdul Jalil memang menyaksikan betapa kuat sisa-sisa ajatan Sang To-gog dalam bentuk pengeramatan benda-benda bertuah, seperti To-san (pusaka), To-peng, To-pong (mahkota), To-wok (lembing), Tu-mbak, Tu-nggul (bendera), Tu-k (mata air), Tu-gu. Sisa-sisa ajaran Sang To-gog makin tumbuh dan berkembang sangat rumit ketika mendapat pengaruh kepercayaan orang-orang keturunan Campa yang penuh diliputi takhayul. Bagi guru manusia yang ingin menyampaikan ajaran Tauhid sejati seperti Abdul Jalil, keadaan itu benar-benar sangat mencemaskan. Sebab, sewaktu-waktu keadaan itu akan bisa berkembang tanpa kendali seibarat benang kusut.

Menurut hematnya, kepercayaan penduduk negeri ini sesungguhnya sudah sangat berlebihan. Dunia tempat mereka hidup seolah-olah penuh sesak dihuni hantu-hantu dan makhluk gaib yang menakutkan. Di dalam rumah, di dapur, di kamar tengah (sentong), di pintu, di teras, di pohon, di sawah, di perempatan jalan. Pendek kata. Di segala tempat di penjuru dunia penuh sesak dihuni hantu. Dan hantu-hantu itu jumlahnya makin bertambah dengan terjadinya kematian manusia karena mereka yakin sebagian hantu-hantu itu berasal dari ruh orang mati.

Ya, orang-orang keturunan Campa sangat meyakini bahwa orang-orang yang mati dalam keadaan buruk, seperti kecelakaan atau bunuh diri, arwahnya akan gentayangan menjadi hantu yang suka menggoda orang lewat. Para ibu yang mati saat melahirkan juga akan menjadi hantu. Orang mati yang tidak dilepas ikatan tali mayitnya akan menjadi hantu juga. Anak-anak yang dikorbankan untuk mencari kekayaan akan menjadi hantu. Bayi-bayi yang mati karena keguguran juga akan menjadi hantu. Pendek kata, mereka meyakini orang mati masih terikat dengan kehidupan di dunia ini dalam wujud arwah gentayangan. Padahal, keyakinan itu menurut akidah Islam sangat ganjil dan menyesatkan dan tanpa dasar sama sekali.

Abdul Jalil sendiri sangat heran dengan cara pandang dan cara bernalar orang-orang keturunan Campa yang sarat dikuasai takhayul. Mereka sangat yakin suara tokek dapat mendatangkan keberuntungan sekaligus kesialan. Lantaran itu, saat mendengar tokek bersuara, mereka akan menghitung jumlah bunyi untuk menentukan keberuntungan dan kesialan yang ditimbulkannya. Takhayul lain yang tak kalah ganjil adalah, meski orang-orang Campa dan keturunannya adalah muslim, mereka yakin bahwa leluhur mereka merupakan binatang seperti harimau, banteng, ikan lele, belalang, buaya, kura-kura, burung, atau kucing sehingga mereka tabu memakan daging binatang-binatang tersebut. Mereka pantang menyebut harimau sebagai harimau, melainkan menyebutnya dengan penuh hormat dengan sebutan �Yang� (kakek). Mereka juga pantang menyebut tikus sebagai tikus, namun menyebutnya dengan penuh hormat dengan sebutan �tuan yang tampan�. Bahkan di kalangan keturunan Campa di Junti, Abdul Jalil pernah mendengar cerita takhayul yang sangat merusak akidah, yang intinya begini:

Mula-mula alam diliputi kegelapan dan kekacauan. Lalu muncul Dewa yang pertama, Po Nagar, kemudian diikuti Po Allah, Po Ya Ama dan Po Dobataswar. Po Nagar meletakkan tangan di atas kekacauan. Lalu terbentuklah angkasa. Kemudian Po Nagar memerintahkan Po Allah untuk membangun masjid dan menciptakan para imam dan khatib. Po Nagar menugaskan Po Dobataswar membuat perahu serta menciptakan pendeta dan ajar. Po Ya Ama ditugaskan meniup sangkakala untuk menghidupkan manusia dan hewan. Kemudian Po Nagar mencipta neraca. Dari neraca itu ketiga dewa tersebut kemudian mencipta bumi, air, padi, tepung, batu, dan pohon.

Sesungguhnya tidak berbeda dengan orang-orang Majapahit dan Sunda, orang-orang Campa dan keturunannya memiliki kepercayaan pada Tu-ah yang bersembunyi di dalam benda-benda. Namun, jumlah Tu-ah dalam kepercayaan Campa lebih banyak dan lebih rumit. Orang-orang keturunan Campa sangat yakin kalau kuku, kumis, kulit, gigi, dan tulang harimau memiliki daya sakti yang bisa melindungi orang dari marabahaya. Mereka percaya cermin atau air kencing dapat mengusir setan. Mereka yakin jika kuburan seseorang dijadikan sarang anai-anai maka keluarga ahli kubur akan dapat keberuntungan besar. Mereka sangat percaya pada perhitungan hari baik dan buruk, juga berbagai jenis ramalan sebagaimana termaktub dalam Tapuk Musarar (Kitab Rahasia) yang mereka bawa dari Campa. Bahkan, berbagai jenis hantu yang mereka yakini pun jumlahnya jauh melebihi keyakinan orang-orang Majapahit dan Sunda.

Masalah kepercayaan orang-orang Campa yang sarat takhayul ini tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa arah. Sebab, kepercayaan mereka terhadap takhayul benar-benar sudah berlebihan. Padahal, segala sesuatu yang berlebihan pasti akan menimbulkan ketidakseimbangan. Lantaran itu, Abdul Jalil berusaha mengatasinya dengan cara membuka cakrawala kesadaran umat Islam di Caruban Larang lewat pesantren.

Ia menganggap dunia takhayul yang merebak begitu kuat di kalangan umat Islam Caruban Larang hanya bisa diatasi dengan pengembangan tradisi keilmuan. Itu sebabnya, ia menata Pesantren Giri Amparan Jati sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan agama. Dengan harapan, penduduk Caruban khususnya warga keturunan Campa yang belajar di situ akan terdidik menjadi orang-orang yang dapat menggunakan penalaran secara baik dan perlahan-lahan akan meninggalkan hal-hal yang terkait dengan takhayul. Namun, usaha itu terpaksa dihentikannya karena menurut Syaikh Abdul Malik Israil, kekuasaan nalar di Granada telah kalah oleh kefanatikan. Sehingga, pendidikan di Giri Amparan Jati pun pada gilirannya lebih diarahkannya pada hal-hal yang terkait dengan pengembangan Tauhid, Fiqh, pendalaman Al-Qur�an, hadits, dan kesenian.

Menyadari �medan tempur� yang dihadapinya begitu berat, Abdul Jalil sadar dirinya tidak akan cukup mampu mempengaruhi perubahan tersebut seorang diri. Sebab, yang dihadapinya adalah pekerjaan maharaksasa yang hanya mungkin dilakukan secara serentak oleh banyak pihak dengan risiko akan jatuh banyak korban. Bagaikan orang mendirikan bangunan baru dari reruntuhan bangunan lama, hendaknya ada martir yang bersedia menjadi umpak, dinding, tiang, sakaguru, blandar, dan atapnya. Bagi Abdul Jalil, cukuplah dirinya menjelma sebagai tanah yang menghampar bangunan baru yang disebut khilafah itu akan ditegakkan agar bisa dijadikan tempat berlindung yang aman bagi penghuninya.

Read More ->>

WAHDAH AL-ADYAN

Wahdah al-Adyan

Ketika malam membentangkan selimut hitam di atas permukaan bumi, kegelapan pun mengembangkan sayap-sayapnya yang sehitam bulu gagak. Di tengah kegelapan yang menghitam, di antara ladang-ladang dan hutan-hutan yang terhampar di negeri Daha, terlihat bayangan sebuah padepokan kecil yang dibangun dari bahan kayu dengan atap ijuk, yang letaknya tak jauh di barat sebuah candi. Baik candi baik padepokan, di malam yang hitam itu terlihat seperti bayangan hewan raksasa yang mendekam di tengah kegelapan.

Padepokan itu terletak kira-kira empat atau lima pal dari candi, berdiri di atas tanah shima (perdikan) milik candi, yang menurut cerita adalah tanah milik Dang Acarya Tunglur, pemangku Candi Surabhawana. Padepokan itu sendiri, menurut cerita, dibangun oleh cucu buyut Dang Acarya Tunglur yang bernama Wiku Suta Lokeswara, seorang guru agung para pendeta bhairawa di negeri Daha. Di padepokan itulah para pendeta penganut ajaran Bhairawapaksa � salah satu sekte dari madzhab Kalacakra yang paling berpengaruh di Majapahit menuntut ilmu kepada Wiku Suta Lokeswara.

Malam itu, di tengah kegelapan langit dan bumi, sang wiku terlihat duduk di atas batu gilang yang terletak di halaman asrama. Di hadapannya para siswa duduk bersila menirukan sikap duduk sang guru agung. Malam itu Wiku Suta Lokeswara akan memberikan wejangan. Namun, baru berujar beberapa kata tiba-tiba salah seorang siswa datang dan menyembah sambil berkata, �O Guru Agung, hamba melaporkan bahwa serombongan tamu yang mengaku dari Kadipaten Terung menunggu di luar padepokan. Mereka ingin bertemu dengan Guru Agung. Bicara mereka sangat aneh dan tidak hamba mengerti. Tetapi, satu orang yang bernama Syaikh Lemah Abang berbicara tentang Rishi Purnajanma dan Wahanten Girang. Hamba menduga mereka adalah orang Wahanten Girang dan orang-orang Terung.�

Wiku Suta Lokeswara terdiam dan mengerutkan kening. Sejenak setelah itu ia bangkit dan berjalan ke pintu pagar padepokan. Sepanjang berjalan ia menduga-duga, salah seorang tamu tak diundang itu mestilah orang asal Wahanten Girang yang membawa berita tentang kakaknya, Rishi Punarjanma. Dan saat bertemu dengan tamunya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Abdul Jalil, dugaan sang wiku terbukti benar, sang tamu memang membawa berita tentang kakak kandungnya.

�Ah rakanda Rishi, engkau telah mendahului kami,� kata Wiku Suta Lokeswara menarik napas berat dengan mata berkaca-kaca, saat mengetahui kakaknya telah pergi ke Syiwapada dengan kisah yang begitu aneh.

Kabar meninggalnya Rishi Purnajanma yang dibawa Abdul Jalil memang menyulut tanda tanya besar dalam benak Wiku Suta Lokeswara. Sebab, apa yang dikemukakan Abdul Jalil tentang kematian kakaknya itu seperti dongeng yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang rishi meninggal di tanah suci milik orang Islam? Bagaimana mungkin di tanah suci orang-orang Islam yang suka mencela orang-orang Hindu sebagai pemuja berhala ternyata terdapat lingga raksasa di atas bukit yang disucikan? Bagaimana mungkin ada seseorang beragama Islam bersedia dengan susah payah datang ke negeri Daha yang sedang dilanda peperangan hanya untuk menyampaikan amanat seorang rishi?

Sekalipun gumpalan tanda tanya menumpuk di benak Wiku Suta Lokeswara, ia sadar sangatlah tidak pantas mengemukakannya kepada tamu yang telah bersusah payah menyampaikan kabar duka tersebut. Itu sebabnya, selama menjamu Abdul Jalil dan rombongan ia memulai pembicaraan dengan menuturkan tentang keberadaan Rishi Purnajanma.

Kepada Abdul Jalil, Wiku Suta Lokeswara mengisahkan bahwa kakaknya itu adalah pejabat keagamaan di Majapahit yang dikenal dengan nama Mantri Herhaji Dang Acaryya Candralekha. Dia dikenal sangat dekat dengan para maharaja Majapahit sejak Hyang Purwawisesa hingga Prabu Adi-Suraprabhawa. Di dalam tata praja Majapahit, mantri herhaji merupakan pejabat keagamaan kerajaan yang mengawasi bangunan-bangunan suci para rishi (dharma ipas karsyan). Jabatan mantri herhaji sendiri kedudukannya setara dengan jabatan dharmadhyaksa ring Kasyaiwan dan dharmadhyaksa ring Kasogatan, sehingga sang mantri herhaji pun dibantu oleh tujuh pejabat bawahannya yang disebut saptopapatri, yaitu Tirwan, Kandamuhi, Panjang Jiwa, Kandangan Atuha, Kandangan Raray, Lekan, dan Tanggar.

�Ketika terjadi kekacauan di ibukota yang mengakibatkan Sri Prabu Adi-Suraprabhawa menyingkir dari Kedaton Wilwatikta, kakak kami itulah yang mengiringkan sang maharaja hingga ke Daha. Ketika Prabu Adi-Suraprabhawa mangkat, kakak kami itu menolak kepemimpinan Prabu Kretabhumi yang dianggapnya pemberontak. Dia kemudian mengabdi kepada Dyah Ranawijaya, putera mahkota Sri Prabu Adi-Suraprabhawa. Sebagai risiko dari penolakannya itu, dia kehilangan jabatan mantri herhaji Majapahit. Tetapi saat Dyah Ranawijaya dengan pasukan Daha menghancurleburkan kutaraja Majapahit tanpa sisa, kakak kami sangat kecewa. Dia kemudian meninggalkan Bumi Majapahit setelah menitipkan puteranya, Nirartha, kepada kami. Dan kabar terakhir, kami dengar dia tinggal di Wahanten Girang. Di sana dia menjadi guru sekaligus pemimpin Rsigana Domas di Gunung Pulasari, yaitu sthana Syiwa di Jawadwipa,� ujar Wiku Suta Lokeswara.

Abdul Jalil tercenung lama. Ia sungguh tak mengira, rishi tua yang memiliki kisah hidup menakjubkan itu adalah pejabat tinggi keagamaan di Majapahit. Namun, dengan kenyataan itu Abdul Jalil pun akhirnya memahami kenapa Rishi Purnajanma begitu dihormati oleh para Rsigana Domas. Rupanya, pengetahuan dan wawasan sang rishi yang jauh melebihi para anggota Rsigana Domas lain itu karena latar belakangnya sebagai pejabat tinggi Majapahit.

Ketika perbincangan makin akrab, Abdul Jalil menuturkan keberadaan dirinya sebagai putra Sri Mangana, ratu Caruban Larang. Wiku Suta Lokeswara pun merasa keheranan. Sebab menurut sang wiku, Sri Mangana yang memiliki nama Walangsungsang itu adalah anggota persaudaraan antarksetra. �Sungguh kami terkejut dan heran jika saudara kami itu telah memeluk Islam dan sudah naik haji pula. Sungguh aneh kejadian ini. Semua orang ramai masuk Islam dan menjadi haji,� ujar Wiku Suta Lokeswara.

Melihat sang wiku terheran-heran, Abdul Jalil malah menambahkan jika ayahanda asuhnya sedang membangun tatanan baru kehidupan yang berbeda dengan tatanan lama. Sebuah tatanan kehidupan manusia yang sederajat sebagaimana tatanan yang didambakan oleh para penganut ajaran bhairawa. Namun akibat usahanya itu, ungkap Abdul Jalil, keberadaan Sri Mangana saat ini menjadi terancam. Seluruh penguasa Bumi Pasundan marah bahkan memusuhi dan menginginkan kematian Sri Mangana.

Mendengar kabar Sri Mangana terancam, Wiku Suta Lokeswara tiba-tiba merah wajahnya. Tanpa diminta ia menyatakan kesediaan untuk berangkat ke Caruban Larang demi membela saudaranya tersebut. �Hidup atau mati, kami adalah bersaudara. Baik atau buruk, kami juga bersaudara. Jika darahnya tumpah maka darahku pun harus tumpah pula,� kata Wiku Suta Lokeswara seolah-olah kepada dirinya sendiri.

Mendengar tekad Wiku Suta Lokeswara untuk membela Sri Mangana, Abdul Jalil tercekat kaget. Ia tidak menduga jika ikatan persaudaraan antarksetra yang pernah diungkapkan ibunda asuhnya, Nyi Indang Geulis, terbukti melebihi dugaannya. Dan tanpa sadar ingatan Abdul Jalil melayang kepada ibunda asuhnya yang sedang berkeliling ke berbagai ksetra di Bumi Pasundan maupun Nusa Jawa. Ia dapat mengira-ngira ibundanya itu pastilah tidak akan menemui banyak kesulitan untuk memperoleh dukungan dari para penguasa ksetra yang begitu kuat rasa persaudaraannya.

Setelah membayangkan besarnya dukungan yang bakal diperoleh dari ksetra-ksetra, Abdul Jalil menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menggumam dalam hati, �Ya Allah, bantuan yang hamba harapkan datang dari saudara-saudara hamba seagama seperti Sayyid Habibullah al-Mu�aththal untuk mendukung perjuangan mulia ini ternyata Engkau gagalkan. Sebaliknya, dukungan kuat justru hamba terima dari orang-orang yang paling tidak hamba sukai, yaitu para peminum darah dan pemangsa manusia. Tetapi, apa yang terjadi ini sesungguhnya bergantung mutlak pada kehendak-Mu. Engkau Zat Yang Maha Berkuasa, Maha Mengatur, dan Maha Menentukan segala-galanya. Sesungguhnya, apa yang hamba anggap buruk, belum tentu buruk. Sedang apa yang Engkau anggap baik, pastilah itu yang terbaik.�

Setelah berkisah cukup lama tentang berbagai hal, termasuk kepergian ibunda asuhnya ke berbagai ksetra untuk mencari dukungan membangun tatanan masyarakat ummah, Abdul Jalil bertanya, �Dimanakah putera Rishi Purnajanma yang bernama Nirartha? Sebab, kami harus menyampaikan pesan khusus ayahandanya kepadanya.�

�Dia baru sepekan ini kembali dari Gelgel di Balidwipa. Dia berencana akan membawa istri dan putera-puteranya ke Balidwipa,� kata Wiku Suta Lokeswara.

�Apakah Paduka Wiku memiliki keluarga di Balidwipa?�

�O tidak. Dia pergi ke Balidwipa barang empat tahun silam ketika terjadi perang kedua antara Yang Mulia Adipati Terung dan Patih Mahodara. Hal itu dilakukannya demi menghindari usaha sang patih untuk melibatkan padepokan ini dalam peperangan dengan Terung. Dia bercerita kalau kehadirannya di Balidwipa sudah bisa diterima oleh Dalem Waturenggong, Yang Dipertuan Gelgel. Tetapi, bagaimana enaknya hidup di rantau, dia tetap tidak bisa melupakan istri-istri dan anak-anaknya di Daha.�

�Ah, kami ingin sekali bertemu dengannya,� kata Abdul Jalil.

�Biar nanti dia dipanggil kemari,� kata Wiku Suta Lokeswara memerintahkan seorang siswa untuk memanggil Nirartha.

Selama menunggu kehadiran Nirartha, Wiku Suta Lokeswara akhirnya tidak dapat menahan gejolak jiwanya untuk tidak menanyakan hal kematian kakaknya yang aneh itu. Ia menanyakan ini dan itu kepada Abdul Jalil. �Penjelasan Tuan Syaikh sungguh mengherankan saya. Bagaimana mungkin orang-orang Islam mencela dan mengutuk orang-orang Hindu dan Budha sebagai pemuja berhala jika ternyata di negeri asal mereka itu ada pemujaan terhadap lingga? Padahal, selama ini yang kami pahami, orang-orang Islam menyembah kuburan pendeta agungnya yang bernama Muhammad di negeri Arab. Ini sungguh aneh dan membingungkan,� ujar Wiku Suta Lokeswara.

Abdul Jalil tersenyum. Kemudian dengan berpegang pada prinsip dakwah yang menetapkan bahwa ia harus berbicara kepada suatu kaum sesuai bahasa dan pemahamannya, maka ia pun berkata, �Sesungguhnya, antara ajaran Islam dan Syiwa-Budha tidak ada beda dalam hakikat. Hanya nama-nama, bahasa, serta tatanan yang ada pada keduanya yang berbeda. Sebab, sesungguhnya semua ajaran agama adalah satu dalam hakikat (wahdah al-adyan). Jika kita kaji dan renungkan secara benar apa yang disebut dengan �Yang Mahabaik dan Pangkal Keselamatan� di dalam keyakinan Syiwa-Budha, sejatinya tidaklah berbeda dengan apa yang disebut Allah �Yang Mahabaik (al-Jamal al-Kamal) dan �Pangkal Keselamatan (as-Salam)� di dalam Islam.�

�Jika Syiwa sebagai pangkal penciptaan makhluk yang dicipta-Nya disebut dengan nama Brahma, maka Allah sebagai pangkal penciptaan makhluk yang dicipta-Nya disebut dengan nama al-Khaliq. Syiwa sebagai penguasa makhluk disebut Prajapati, Allah sebagai penguasa makhluk disebut al-Malik al-Mulki. Jika Syiwa sebagai penguasa Iblis disebut Bhutaswara maka Allah pun sebagai penguasa Iblis disebut al-Mudhill. Syiwa sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih disebut Sankara, Allah sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih disebut ar-Rahman ar-Rahim.�

�Sesungguhnya, lambang-lambang lingga yang dijadikan pratima (sarana bantu) bagi pemujaan terhadap Syiwa tidaklah berbeda dengan Ka�bah batu yang dijadikan kiblat oleh orang-orang Islam di dalam menyembah Allah. Baik Syiwalingga maupun Ka�bah adalah lambang yang menyelubungi rahasia keberadaan-Nya. Sebab, baik Syiwa maupun Allah, pada hakikat-Nya adalah Dia; Yang Ilahi, Yang Mahatunggal, Yang Tak Terjangkau Akal, dan Yang Tak Tersentuh Indera, yaitu Dia; yang memiliki sifat Bhawo (Wujud), Na Jayate (Tak Dilahirkan), Nitya (Kekal), Saswato (Abadi), Purano (Yang Awal), Satah (Riil), Awinasi (Tak Termusnahkan), Widhi (Mahatahu), Aprameyasya (Tidak Terbatas), Sarwagatah (Mahaada), Sthanur (Tidak Berubah), Acintya (Tidak Terpikirkan), Awyakta (Tidak Terbandingkan).�

�Jadi, dengan memahami bahwa keberadaan Ka�bah bagi orang-orang Islam adalah tidak berbeda dengan keberadaan Lingga bagi orang-orang Hindu, yakni sebagai lambang pemujaan kepada Yang Mutlak, maka kami katakan, sangatlah tidak benar jika ada yang menganggap orang-orang Islam adalah penyembah kuburan pendeta agungnya yang bernama Muhammad Saw.. Sebab, orang-orang Islam jika bersembahyang menghadap ke arah Ka�bah, bukan ke arah makam Nabi Muhammad Saw.. Bahkan jika dihitung dengan ukuran, jarak antara makam Nabi Muhammad Saw. di kota Yatsrib dan Ka�bah di kota Makah jauhnya hampir empat ratus yojana.�

�Kami berani mengatakan kepada Paduka Wiku bahwa sebenarnya tiap-tiap pertentangan dalam masalah agama sejatinya berpangkal pada ketidaktahuan masing-masing pengikut agama terhadap hakikat Yang Ilahi dan alam ciptaan-Nya beserta peraturan-peraturan yang ditetapkan-Nya. Orang Islam mencela Syiwa-Budha, itu disebabkan mereka tidak mengetahui bahwa di dalam Syiwa-Budha pun terdapat ajaran rahasia adwayasastra (ilmu tauhid) yang mengesakan Tuhan. Orang-orang Islam awam banyak yang tidak mengetahui bahwa di antara umat Hindu terdapat orang-orang ahli tauhid, seperti Rishi Purnajanma dan Paduka Wiku, yaitu mereka yang tidak lagi menggunakan pratima dalam memuja-Nya, yakni orang-orang yang mengenal Syiwa melalui Kulatattwa. Orang-orang Islam awam juga banyak yang tidak menyadari jika dengan bersembahyang menghadap ke Ka�bah, sesungguhnya mereka menggunakan pratima sebagaimana penganut Syiwa-Budha menggunakan lingga.�

�Sementara itu, umat Hindu awam yang mencela Islam sebagai agama pemuja kuburan pun sebenarnya berpangkal dari ketidaktahuan mereka tentang hakikat ajaran Islam yang sempurna. Mereka tidak mengetahui bahwa kiblat umat Islam bukan kuburan Nabi Muhammad Saw., melainkan Ka�bah, yakni pratima yang disebut Rumah Tuhan (Baitullah) yang terletak di kota Makah. Yang membedakan Ka�bah dan Syiwalinnga adalah pratima Ka�bah itu merupakan satu kiblat pemujaan umat Islam di seluruh dunia, sedangkan Syiwalingga berada di berbagai tempat di mana orang bisa memuja-Nya. Dan sejatinya, baik Ka�bah maupun Syiwalingga adalah pratima, yakni lambang Yang Ilahi dalam bentuk batu.�

�Ah, jika saja orang-orang Islam seperti Tuan Syaikh, pastilah agama itu akan mudah diikuti oleh orang-orang Majapahit,� ujar Wiku Suta Lokeswara sembari menuturkan suatu rangkaian kekacauan yang pernah terjadi di pedalaman Daha akibat tindak kekerasan yang dilakukan orang-orang Islam. Barang tiga windu silam, ungkap sang wiku, putera bupati Surabaya yang bernama Raden Mahdum Ibrahim pernah mengacau kehidupan di Daha. Dia menyiarkan Islam dari barat sungai, tepatnya di Thani Singkal yang masuk ke dalam Wisaya Urawan. Dia dan pengikutnya tidak sekadar mencela dan mencaci maki penduduk yang dianggapnya memuja berhala, tetapi merusakkan pula arca-arca dengan kapak dan memporakporandakan ksetra-ksetra.

Saat itu, ungkap Wiku Suta Lokeswara, penduduk dan pejabat keagamaan di Daha serba susah. Mau dilawan, namun dia adalah putera Pangeran Ampel Denta, yang tidak lain adalah kerabat maharaja Majapahit. Jika tidak dilawan, keyakinan penduduk dirusakbinasakan. Namun, keadaan itu mulai mereda ketika terjadi pertempuran antara Raden Mahdum Ibrahim dan Nyi Pluncing, seorang Bhairawi (bhairawa perempuan) asal Wisaya Siman. Dalam pertempuran itu Raden Mahdum Ibrahim terluka parah, namun Nyi Pluncing tewas terbunuh. �Untuk meredam keadaan di pedalaman, Sri Prabu Adi-Suraprabhawa kemudian mengangkat Raden Mahdum Ibrahim sebagai adipati Lasem. Meski keadaan di Daha sudah tenteram kembali, sejak saat itu hampir semua penduduk di negeri Daha menganggap Islam sebagai ajaran yang suka mencela, mencaci maki, menghina, dan merusak agama lain.�

�Ah, sesungguhnya hal itu dilakukan Raden Mahdum Ibrahim karena dorongan masa muda yang berkobar-kobar. Kira-kira tiga pekan silam kami bertemu dia di Surabaya. Dia sudah banyak berubah. Dia menjadi orang tua yang sangat bijak dan memiliki wawasan yang luas, sehingga dia dengan mudah dapat menerima gagasan kami tentang masyarakat ummah yang menghargai keragaman. Mungkin peristiwa masa mudanya di Daha telah menjadi pelajaran berharga bagi langkah-langkah hidupnya kemudian,� kata Abdul Jalil.

�Tapi benarkah dia tidak menikah sampai sekarang?� tanya Wiku Suta Lokeswara.

�Tentang itu kami tidak tahu. Kami bertemu sangat singkat di Surabaya. Tetapi yang kami dengar, dia memang tidak memiliki istri. Tapi dia memiliki puteri angkat,� kata Abdul Jalil.

�Kami menduga Raden Mahdum Ibrahim terluka sangat parah saat bertempur dengan Nyi Pluncing,� kata Wiku Suta Lokeswara, �sebab Nyi Pluncing itu bhairawi yang sangat ahli dalam menggunakan berjenis-jenis racun.� �

Kami pernah diberi tahu oleh Tuan Abdurrahman Tan King Ham, saudagar Cina di kutaraja Majapahit, bahwa di dalam ajaran Islam sebenarnya dikenal juga tentang loka-loka dari tiga dunia yang mirip dengan ajaran Syiwa-Budha tentang Bhur Bhuwa Swa. Yang membedakan adalah orang-orang Islam meyakini bahwa kehidupan si swarga dan neraka itu kekal abadi. Sedang, menurut Syiwa-Budha, yang abadi hanya Brahman. Swarga dan neraka akan hancur karena keduanya adalah ciptaan. Keduanya bersifat maya,� kata Wiku Suta Lokeswara.

�Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, swarga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal swarga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua itu hanya makhluk ciptaan. Jadi, keduanya wajib rusak dan binasa. Hanya Allah, Zat Yang Wajib Abadi, Kekal, Langgeng, dan Azali,� kata Abdul Jalil.

�Apakah di dalam ajaran Islam yang disebut swarga itu juga bertingkat-tingkat seperti yang diyakini oleh kalangan kami, yaitu ada Bhurloka, Bhuwarloka, Swarloka, Maharloka, Janarloka, Tapoloka, dan Satyaloka?�

�Sesungguhnya tempat kebahagiaan dan kemuliaan yang disebut swarga oleh orang-orang Hindu-Budha, di dalam Islam disebut dengan nama Jannah (Taman), yang bermakna tempat sangat menyenangkan yang di dalamnya hanya terdapat kebahagiaan dan kegembiraan. Hampir mirip dengan swarga yang dikenal di dalam Syiwa-Budha, di dalam Islam dikenal ada tujuh surga besar yang disebut �Ala �Iliyyin, al-Firdaus, al-�Adn, an-Na�im, al-Khuld, al-Ma�wah, Darussalam. Di surga-surga itulah arwah orang-orang yang baik ditempatkan sesuai amal ibadahnya selama hidup di dunia.�

�Sementara itu, tidak berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha yang meyakini adanya Alam Bawah, yaitu neraka yang bertingkat-tingkat dan jumlahnya sebanyak jenis siksaan, Islam pun mengajarkan demikian. Jika di dalam ajaran Syiwa-Budha dikenal ada tujuh neraka besar, yaitu Sutala, Witala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Atala, dan Patala, maka di dalam ajaran Islam pun dikenal tujuh neraka besar yang disebut Jahannam, Huthamah, Hawiyyah, Saqar, Jahim, dan Wail. Bahkan sebagaimana kenyataan yang ada di dalam agama Hindu, di dalam agama Islam pun masalah swarga dan neraka adalah masalah yang selalu menjadi bahasan utama kalangan awam. Sehingga, mereka salig berebut pengakuan sebagai yang paling benar dan paling berhak menghuni swarga. Orang-orang bertentangan dengan mereka dianggap sebagai calon penghuni neraka,� kata Abdul Jalil.

�Kata Tuan Abdurrahman Tan King Ham, orang-orang Islam pun sama seperti pengikut Syiwa-Budha dalam mempercayai hari kebinasaan alam semesta yang disebut kiamat. Benarkah itu?� tanya Wiku Suta Lokeswara.

�Itu benar adanya. Yang membedakan hanya nama. Jika orang Islam menyebut hari kehancuran semesta itu dengan nama hari akhir (yaum al-akhir) atau di kalangan awam disebut Hari Kiamat (yaum al-qiyamah), maka di kalangan penganut Syiwa-Budha disebut Pralaya (kehancuran semesta) yang terjadi pada zaman akhir (kaliyuga).�

�Jika memang banyak persamaan antara Islam dan ajaran Syiwa-Budha,� kata Wiku Suta Lokeswara, �kenapa orang harus berselisih?�

�Sesungguhnya semua agama adalah sama dalam hakikat, yaitu berisi tatanan yang mengatur kehidupan makhluk terhadap sesamanya dan terhadap Penciptanya. Semua agama yang benar pasti berisi ajaran penyembahan kepada Tuhan, Sang Pencipta. Semua agama yang benar pasti berdiri di atas landasan Hukum Suci yang berdasarkan moral demi terjaganya keseimbangan di dunia. Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa semua agama adalah sama, sebangun, sewarna, dan secitra. Keragaman agama-agama justru merupakan keniscayaan dari kesempurnaan-Nya sebagai Sang Pencipta yang wajib disembah oleh segala bangsa dan segala agama, bahkan oleh segala makhluk di alam semesta yang tak terhitung ragamnya,� kata Abdul Jalil.

�Jika demikian, apakah yang merupakan perbedaan mendasar antara Islam dan Syiwa-Budha?� tanya Wiku Suta Lokeswara.

�Kalau tidak salah, perbedaan keduanya terletak pada pemujaan terhadap pengejawantahan Tuhan. Jika di dalam Syiwa-Budha tidak ada pembedaan dalam pemujaan terhadap Tuhan dalam manifestasi Mahadewa, Mahaguru, Mahakala, Sankara, Sambho, Chandrasekhara, Bhirawa, Putikecwara, Bhutaswara, Rudra, dan Mrtyunjaya, maka di dalam Islam pemujaan terhadap Tuhan dipilahkan secara tegas melalui Hukum Suci yang disebut syari�at. Di dalam Islam, misalnya, Tuhan dipuja dan dusembahsujudi sebagai manifestasi Yang Mahabaik, Maha Pemurah, Mahakasih, Maha Penyelamat, Mahaagung, Mahasuci, dan Maha segala yang baik dan sempurna. Tidak ada ajaran Islam yang memberi petunjuk untuk memuja Dia Yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill).�

�Lantaran keniscayaan Islam seperti itu maka tidak dikenal adanya ajaran korban-korban berwujud manusia seperti dikenal dalam ajaran Bhairawa-Tantra. Sebab, bagi hukum Islam, sungguh merupakan hal yang bertentangan dengan kodrat dan akal sehat manusia jika sebuah �jalan kebebasan� menuju Yang Ilahi untuk melepas keakuan dilakukan dengan cara mengorbankan keakuan orang lain. Meski demikian, di dalam Islam tetap ada korban darah, yakni korban sembelihan berupa hewan peliharaan domba, yang dagingnya didermakan kepada orang-orang fakir dan miskin yang membutuhkan.�

�Apakah itu berarti Islam lebih benar dibanding Syiwa-Budha?�

�Sesungguhnya tidak ada hal yang keliru dalam ajaran suatu agama. Tidak ada agama yang keliru dalam pandangan Tuhan. Yang membedakan agama satu dengan agama yang lain adalah zaman di mana bagian-bagian dari ajaran sebuah agama bisa dijalankan dan kapan bagian-bagian tersebut tidak dapat dijalankan. Maksudnya, ajaran Bhairawa-Tantra yang merupakan bagian dari ajaran Syiwa-Budha yang paduka Wiku jalankan saat ini tidak akan lagi bisa dipertahankan untuk masa yang akan datang. Kenapa demikian? Sebab, ajaran Bhairawa-Tantra pada masa datang akan dijadikan bahan ejekan dan cercaan oleh orang-orang. Bahkan, ajaran Pancamakara bisa dianggap melanggar hukum. Sebab, pada masa datang orang-orang dari berbagai belahan dunia dengan agama-agama mereka pasti datang ke Bumi Majapahit. Mereka pasti akan menilai ajaran Bhairawa-Tantra sebagai ajaran aneh dan mengerikan yang bertentangan dengan rasa keadilan,� kata Abdul Jalil.

�Apakah orang-orang dari belahan dunia lain itu orang-orang Islam seperti Raden Makhdum Ibrahim?�

�Tentu saja tidak, o Paduka Wiku,� kata Abdul Jalil. �Mereka ada yang datang dari negeri-negeri Barat dengan membawa agamanya yang sangat berbeda dengan Syiwa-Budha. Mereka ada yang beragama Nasrani, Yahudi, dan Islam. Mereka semua pasti menolak upacara korban manusia. Mereka akan datang ke Bumi Majapahit ini dengan jumlah yang tidak bisa dihitung dengan jari. Mereka akan berdatangan bagaikan daun-daun kering ditiup angin. Mereka datang beriap-riap memenuhi permukaan Bumi Majapahit.�

�Apakah itu berarti Syiwa tidak akan dipuja lagi di dunia?�

�Syiwa tetap akan dipuja sepanjang zaman sampai akhir dunia. Tetapi, pada masa mendatang Dia akan dipuja dengan �Wajah� yang lain. Pada saat kami berada di pedalaman Bumi Pasundan, kami telah menyaksikan �penampakan gaib� yang menunjukkan bahwa Islam di Nusa Jawa dan Bumi Pasundan akan menggantikan ajaran Syiwa-Budha. Maksudnya, dalam �penampakan gaib� itu Syiwa sendiri telah berkenan memalingkan wajah-Nya yang menyeramkan sebagai Rudra, Bhirawa, Bhutaswara, Putikecwara, dan Mahakala, kemudian menampakkan wajah-Nya yang indah sempurna dan penuh welas asih, yaitu sebagai Mahadewa Yang Bermahkota Rembulan (Chandrasekhara), Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang (Sankhara), dan Sang Mahaguru (Bintang Agastya).�

�Dengan demikian, terlebih dahulu kami beri tahukan hendaknya Paduka Wiku nanti tidak terkejut jika kelak melihat orang-orang Islam mengibarkan panji-panji berlambang bulan sabit dengan bintang di atasnya. Sebab, sesungguhnya itulah lambang-lambang keagungan Sang Chandrasekhara, Sankara, dan Agastya. Itulah lambang ardachandra, nada, dan windu yang membentuk kata suci OM. Jika nanti Paduka Wiku menyaksikan juga panji-panji bergambar Trisula bercadik (tulisan Allah dalam huruf Arab) dikibarkan orang-orang Islam, maka itulah penampakan lambang Syiwa, Mahadewa Yang Bersenjata Trisula. Jika Paduka Wiku kelak menyaksikan orang-orang Islam mengibarkan lambang harimau Ali (kaligrafi mirip harimau), maka itulah lambang penampakan pakaian Syiwa yang terbuat dari kulit harimau. Bahkan, jika Paduka Wiku menyaksikan orang-orang Islam ke mana-mana membawa aksamala (biji tasbih), maka mereka itu sejatinya menampakkan lambang atribut Syiwa,� ujar Abdul Jalil.

�Ah, aku sekarang mulai paham,� kata Wiku Suta Lokeswara. �Rupanya, kakakku itu meninggal saat melakukan ibadah haji karena dia sebelumnya sudah mendapat perlambang dengan menduduki jabatan mantri herhaji. Bukankah demikian makna rahasia di balik kematian kakak kami?�

Mendengar komentar Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil tercekat. Ia mulai menangkap gejala buruk dari kerangka berpikir otak-atik mathuk dari sang wiku, yang mengaitkan jabatan mantri herhaji dengan ibadah haji. Abdul Jalil makin tertegun-tegun ketika sang wiku menganggap agama Islam sesungguhnya ajaran yang diperuntukkan bagi para raja (Jawa Kuno, Haji: raja), terbukti dengan masuk Islamnya Prabu Kertawijaya dan para raja muda (adipati) di pesisir. �Rupanya, Yang Mulia Prabu Kertawijaya dan para adipati di pesisir sudah mengetahui perubahan itu daripada kami, yang tinggal di pedalaman,� kata Wiku Suta Lokeswara.

�Sesungguhnya, yang disebut Islam tidaklah seperti itu, o Paduka Wiku,� kata Abdul Jalil menjelaskan. Ia kemudian memaparkan bahwa di dalam ajaran Islam tidak dikenal perbedaan derajat dan kedudukan manusia sebagaimana yang dikenal di dalam tatanan Hindu. Ajaran Islam justru lebih mirip tatanan Syiwa-Budha yang tak mengenal kasta. �Di dalam Islam, perbedaan derajat dan kedudukan manusia di depan Tuhan bukan didasarkan atas keturunan, pangkat, kedudukan, dan kekayaan, tetapi oleh ketakwaan, yakni kedekatan orang-seorang terhadap Tuhan. Jadi, seperti ajaran Syiwa-Budha, jalan pembebasan dalam Islam dapat dicapai oleh siapa saja di antara manusia tanpa memandang tinggi dan rendahnya kasta seseorang,� ujar Abdul Jalil.

Nirartha, putera Rishi Purnajanma, adalah laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Perawakannya yang tinggi semampai dengan kulit kuning bersih menunjukkan asal-usul leluhurnya bukanlah orang kebanyakan. Kepalanya yang besar dengan kening lebar mencerminkan kecerdasan para cerdik cendikia. Matanya bulat lebar dan bening memancarkan kebijaksanaan para brahmana. Alisnya yang tinggi adalah alis para raja agung dan berwibawa. Bentuk rahangnya yang kukuh menyimpan keteguhan jiwa dan cermin keberpantangan untuk menyerah dalam menghadapi tantangan seberat apa pun.

Kesan itu tidakklah berlebihan. Saat Nirartha melakukan pertukaran pikiran dan menyauk Kebenaran Sejati dari Abdul Jalil, terbentanglah kenyataan tentang betapa cerdas dan mudah putera Rishi Purnajanma itu dalam memahami sesuatu. Meski sejak kecil dia tinggal di pedalaman, saat diajak oleh Abdul Jalil untuk memperbincangkan gagasan dan pemikiran yang lazim dijadikan pokok bahasan oleh cendikiawan Baghdad, terbukti dia dapat menerima dan memahaminya tanpa kesulitan. Dalam waktu singkat ia sudah dapat memahami gagasan dan pemikiran besar yang disampaikan Abdul Jalil.

Nirartha yang sejak pergi ke Balidwipa hingga menginjakkan kaki kembali ke Daha masih seorang Nirartha yang berwawasan pedalaman sempit, dalam hitungan hari ternyata sudah tercerahkan oleh matahari kesadaran yang dipancarkan Abdul Jalil. Dia mendadak sadar betapa bangsa Majapahit yang dibanggakannya itu sesungguhnya sedang sekarat akibat mengikuti nilai-nilai yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Ia sadar betapa sejak perbatasan Kadipaten Pasir di barat hingga kerajaan Blambangan di timur, raksasa Majapahit sesungguhnya sedang mengerang kesakitan menunggu ajal. Ibarat orang sedang terserang kusta, keperkasaan Majapahit digerogoti borok-borok busuk yang mengerikan. Ya, raksasa Majapahit sedang sekarat menunggu ajal. Tubuhnya yang perkasa sedang terlepas satu persatu diganyang borok-borok kusta yang mengerikan.

Nilai-nilai! Ya, nilai-nilai yang menjadi pegangan dan kebanggaan wangsa-wangsa Majapahit selama ratusan tahun kini berubah menjadi senjata dahsyat yang bakal memangsa tuannya. Keagungan, kemuliaan, keberanian, keperkasaan, kemenangan, kebanggaan, penaklukan, dan ketidakbersalahan yang menjadi sendi-sendi utama nilai-nilai di Majapahit telah menjadi Yamastra (senjata Yama, Sang Pencabut Nyawa) yang berhamburan laksana hujan dari langit dan menghujam dengan ganas ke tubuh para pemujanya. Anehnya, orang-orang yang sedang mabuk dengan nilai-nilai itu tidak ada yang sadar bahwa mereka sebenarnya sedang berbaris-baris di depan Sang Maut, menunggu disembelih para Yamakingkara, pasukan penjagal, yang membantu Yama mencabut nyawa.

Memang, selama ratusan tahun nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang dianut di Majapahit telah membawa wangsa-wangsa pada kebesaran dan keagungan. Ya, kebanggaan terhadap sifat adhigana (paling unggul), adhigung (paling agung), adhiguna (paling hebat), rajas (nafsu syahwat yang berkobar-kobar), jaya (penaklukan), niratisaya (tak tertanding), dan nirbhaya (tak kenal takut) memang telah membawa Majapahit ke puncak kebesaran. Dengan sifat-sifat yang dibanggakannya itu, manusia-manusia Majapahit telah berhasil menaklukkan manusia-manusia di sekitarnya dan menjadikan manusia taklukan itu sebagai budak. Ya, dengan nilai-nilai itu Majapahit telah menjadi kekaisaran besar yang membentang di tujuh samudra dan tujuh benua; dari Lamuri di barat hingga Wwanin di timur dan Solor di utara. Tiap-tiap bangsa harus tunduk di bawah kuasanya.

Kenapa nilai-nilai yang bersumber dari kebanggaan akan sifat-sifat keagungan dan penaklukan itu bisa membawa Majapahit pada kebesaran dan keagungan? Sesungguhnya, nilai-nilai itu menjadi daya hidup yang kuat ketika berada di tangan para pemimpin yang lahir dari antara manusia-manusia unggul. Para pemimpin yang memiliki wawasan luas, pandangan jauh ke depan, dan dapat mempersatukan seluruh kekuatan wangsa-wangsa yang terbentuk atas nilai-nilai keagungan dan penaklukan. Para manusia unggul itulah yang di dalam sejarah dikenal dengan nama Sri Prabu Kertanegara, Sri Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Sri Prabu Tribhuwanatunggadewi, Sri Prabu Rajasanagara, Sri Prabu Wikramawarddhana, dan terakhir Sri Prabu Kertawijaya.

Ketika tidak lagi lahir pemimpin-pemimpin unggul di antara wangsa-wangsa Majapahit, jatuhlah seluruh bangunan keagungan dan kemegahannya. Sebab, para pemuka wangsa tidak lagi bersatu, saling merasa diri sebagai penguasa yang paling berhak memimpin wangsa lain dengan mengatasnamakan Majapahit. Dan muara dari kecenderungan itu adalah pecahlah pertempuran antar wangsa. Wangsa satu dengan wangsa yang lain sama-sama bernafsu untuk berkuasa dengan cara penundukan dan penaklukan.

Nilai-nilai yang dibangga-banggakan Majapahit terbukti telah berubah menjadi senjata pembunuh mengerikan. Para pemuka wangsa yang entah bodoh, entah lemah, entah picik, entah tidak bercermin diri, dengan kepercayaan diri berlebih berdiri di atas bukit ambisi sambil berteriak lantang: �Akulah putera terbaik wangsa-wangsa Majapahit yang paling unggul, paling agung, paling hebat, paling tak tertandingi, paling tak kenal rasa takut, sang pemilik sifat rajas, dan sang penakluk yang berkemenangan. Aku lahir sebagai penakluk besar. Karena itu, takluklah kalian semua, o wangsa-wangsa rendah, di bawah kaki serojaku.�

Nirartha sadar apa yang dikemukakan Syaikh Lemah Abang adalah benar adanya. Betapa sudah waktunya nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang dibanggakan wangsa-wangsa Majapahit harus diakhiri dengan cara melahirkan tatanan nilai-nilai baru. Bukti sejarah menunjuk, betapa para pemuka wangsa yang mengikuti nilai-nilai lama itu telah membawa malapetaka bagi segenap penghuni Bumi Majapahit. Mereka saling perang dan saling bunuh hanya karena ingin mewujudkan diri sebagai sang penakluk yang berkemenangan.

Perang! Ya, perang berkepanjangan bagaikan tanpa akhir telah menjelma menjadi padang penjagalan terbesar sepanjang sejarah Majapahit. Beratus-ratus ribu bahkan berjuta penduduk Majapahit terbunuh. Sungguh tak terbilang jumlah nyawa yang binasa hanya karena rasa bangga mengikuti para pemuka wangsa yang mabuk kekuasaan. Bahkan, pertempuran antara Adipati Terung dan Patih Mahodara pun sesungguhnya merupakan pertarungan antarwangsa yang berpangkal pada kesetiaan terhadap nilai-nilai keagungan dan penaklukan Majapahit.

Dengan terbitnya cakrawala kesadaran itulah Nirartha kemudian mempelajari nilai-nilai baru kepada Abdul Jalil, yaitu nilai-nilai asing yang sebelumnya tak pernah dikenalnya. Nilai-nilai tentang penghormatan dan keselarasan hidup yang bertolak dari ajaran Islam tentang kesabaran, kerelaan (ridho), keadilan (�adl), keikhlasan, pengorbanan (qurb), kerukunan (ukhuwah), tawakal, sederhana (qama�ah), randah hati (tawadhu�), sebagai penyeimbang dari nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang bersumber pada kebanggaan terhadap sifat adhigana, adhigung, adhiguna, rajas, niratisaya, jaya, nirbhaya. Ya, dengan nilai-nilai baru yang masih asing inilah, pikir Nirartha, sejatinya sisa-sisa penduduk Majapahit dapat diselamatkan dari kebinasaan.

Nilai penghormatan dan keselarasan yang diajarkan Abdul Jalil telah membentangkan cakrawala kesadaran Nirartha. Ia benar-benar sadar bahwa hanya dengan nilai-nilai baru itulah cakrawala baru akan bersinar benderang menggantikan malam-malam Majapahit yang tak lagi disinari rembulan dan gemintang. Ya, dengan nilai-nilai baru itu � penghormatan dan keselarasan � Nirartha dapat memahami kelak ajaran Islam akan lebih bisa diterima di Majapahit yang sedang sekarat. Ah, betapa indah jika tatanan kehidupan di Majapahit sekarang ini tegak di atas nilai penghormatan dan keselarasan, ungkapnya dalam hati. Para adipati yang suka berperang dan mabuk kuasa itu akan bisa menghargai dan menghormati adipati lain demi terciptanya keselarasan dalam tatanan kehidupan negerinya. Betapa indahnya!

Penerimaan Nirartha terhadap nilai-nilai baru itu tidak sekadar penerimaan dalam pemikiran dan pemahaman. Ia menerima dan sekaligus menerapkannya sebagai jalan hidup. Itu terbukti saat ia dengan tegas memohon Abdul Jalil berkenan menjadi guru ruhani yang mengajarkan rahasia Kebenaran dari agama yang selama ini dianggapnya asing. Rupanya, bertolak dari nilai penghormatan dan keselarasan itu, Nirartha akhirnya menyadari bahwa �jalan� Kalachakra yang diikutinya harus diakhiri. Upacara meminum darah dan memakan daging manusia yang dikorbankan, apa pun alasannya, adalah tindakan yang tidak bisa diterima apalagi jika dikaitkan dengan nilai penghormatan dan keselarasan. Sehingga, di hadapan Abdul Jalil, ia mengikrarkan diri untuk tidak lagi melakukan upacara-upacara itu.

Sebenarnya, sejak lama Nirartha gelisah dengan perkembangan ajaran Bhairawa-Tantra yang sangat merosot. Para pendeta bhairawa dari kalangan muda terbukti tidak ada yang bisa dibandingkan dengan pendeta dari generasi sebelumnya, baik dalam pemahaman maupun pengalaman ajaran. Kalangan kebanyakan yang beramai-ramai mempelajari dan mendalami ajaran Bhairawa-Tantra tidak lebih dari manusia rendah pencari harta dan kekuasaan. Mereka mempelajari yoga-tantra hanya demi menjadi orang-orang sakti andalan para adipati yang membayarnya untuk keperluan perang. Mereka hanyalah para bhairawa peminum darah yang mendalami ilmu untuk mencari nafkah. Mereka sekadar orang-orang bayaran yang rendah dan nista.

Di tengah kegelisahannya itulah Nirartha menyaksikan cakrawala baru yang dibentangkan Abdul Jalil, yang dirasanya jauh lebih manusiawi dan lebih masuk akal. Itu sebabnya, ia sangat menaruh minat besar terhadap ajaran Islam yang disampaikan Abdul Jalil. Nirartha menilai ajaran baru itu sangat sederhana dan gampang dipahami. Akhirnya, pada hari kesembilan dari perjumpaannya dengan Abdul Jalil, Nirartha mengambil baiat Tarekat Akmaliyyah.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers