Minggu, 22 Januari 2017

PERTARUNGAN RAJAWALI

Pertarungan Rajawali

Ketika kegelapan bagaikan permadani hitam menyelimuti langit jiwa penduduk Majapahit, kematian bergentayangan di sudut-sudut kehidupan dengan kepak-kepak sayap yang menggemuruh. Di tengah ratap tangis anak-anak dan perempuan yang meminta tolong, berkeliaranlah para prajurit yang melambai-lambaikan panji kemenangan dan menyanyikan lagu perang dengan penuh kegembiraan. Itulah gambaran sehari-hari dari kehidupan anak-anak manusia yang tinggal di tengah reruntuhan Kerajaan Majapahit; kecemasan, ketakutan, kepanikan, dan kematian saling berpacu dengan kegembiraan, kemenangan, kekuasaan, dan keangkuhan.

Di tengah reruntuhan Majapahit, ketika adipati-adipati gurem saling berebut kekuasaan bagaikan lalat-lalat memperebutkan bangkai, di atas angkasa sesungguhnya sedang bertarung sengit dua ekor rajawali yang saling menyambar dengan pekikan-pekikan ganas memenuhi langit. Dua rajawali yang bertarung di atas gumpalan awan kelabu Majapahit itu adalah Raden Kusen, adipati Terung, dan Pu Mahodara, patih Majapahit.

Hingar bingar suasana perang pertarungan dua rajawali perkasa. Itulah yang dirasakan Abdul Jalil dan rombongan ketika datang ke Kadipaten Terung. Kibaran umbul-umbul dan panji-panji, kilatan pedang, ringkik kuda, nyanyian kemenangan, dan iring-iringan prajurit terlihat memenuhi penjuru kadipaten. Para prajurit gagah perkasa itu adalah pasukan-pasukan pilihan yang datang dari lima belas kadipaten untuk memberikan dukungan kepada pihak Terung. Menurut rencana, pasukan akan menyerbu Japan, pangkalan utama yang dijadikan pertahanan Pu Mahodara dalam menangkis serangan pasukan Terung.

Menurut Menak Lampor, adipati Tepasana yang memihak Terung, patih Majapahit yang bernama Mahodara itu sesungguhnya berasal dari kalangan sudra papa yang berubah menjadi jahat ketika beroleh kedudukan sebagai patih. Asal usul patih itu dari daerah Propo, Pamadegan, di Pulau Madura. Dia merupakan abdi dari Pangeran Menak Sunaya, putera Ario Damar dengan Dewi Wahita. Lewat jasa Pangeran Menak Sunaya, abdi yang bernama Udara (perut) itu menjadi hamba pembawa kasut Sri Prabu Adi-Suraprabhawa.

Karena selalu dekat maharaja, diam-diam Udara belajar banyak tentang pemerintahan. Lantaran ia pandai menjilat dan menyenangkan hati maharaja maka jabatannya dinaikkan setapak demi setapak hingga menjadi nayakapraja. Udara dikenal sebagai abdi setia yang merelakan apa pun demi kesenangan maharaja. Bahkan, saat terjadi kekacauan di ibu kota akibat pemberontakan Bhre Kretabhumi, Udara dan prajurit-prajurit asal Madura dengan setia mengawal Sri Prabu Adi-Suraprabhawa hingga pengungsian ke Daha.

Karena Sri Prabu Adi-Suraprabhawa mangkat dalam perjalanan maka Udara dan kawan-kawannya kemudian mengabdikan diri kepada Dyah Ranawijaya, putera junjungannya. Rupanya bintang Udara sedang bersinar terang sehingga dia menduduki jabatan patih Daha. Jabatan itu meningkat menjadi patih Majapahit dan namanya diganti menjadi Mahodara segera setelah Dyah Ranawijaya dinobatkan sebagai maharaja Majapahit dengan gelar Sri Prabu Natha Girindrawarddhana. Untuk memperkuat kedudukan, Mahodara menikahkan puteranya, Menak Supethak, dengan puteri Sri Prabu Natha Giridrawarddhana yang bernama Ratu Kadhiri.

Setelah menikahi puteri Sri Prabu Girindrawarddhana, Menak Supethak diangkat menjadi adipati Garudha (Pasuruan). Menak Supethak kemudian menikah lagi dengan puteri Menak Pentor, Yang Dipertuan Wirabhumi. Untuk lebih memperkuat kedudukan, Menak Supethak menikahi cucu Yang Dipertuan Pamadegan, Menak Sunaya. Setelah itu saudara Menak Supethak diangkat menjadi adipati Panjer, Japan, dan Keniten. Bahkan, anak Menak Supethak yang masih belum cukup umur diangkat menjadi adipati Dengkol.

Kedudukan Patih Mahodara makin lama makin kuat dan bahkan lebih kuat dibandingkan Sri Prabu Natha Girindrawarddhana yang terbuai kemewahan, sanjungan, dan puja-puji. Sebagai pejabat yang berkuasa menata dan menjalankan pemerintahan, Patih Mahodara menempatkan orang-orang yang setia kepadanya di berbagai kedudukan penting sehingga kedudukan maharaja Majapahit pada dasarnya hanya sebagai boneka yang tak memiliki kekuatan apa pun, kecuali menjadi lambang kekuasaan. Namun, keleluasaan sang patih di dalam menata dan menjalankan roda pemerintahan Majapahit itu menghadapi �batu sandungan� yang sangat menyusahkan.

Raden Kusen, adipati Terung, cucu Sri Prabu Kertawijaya dan juga sepupu Sri Prabu Natha Girindrawarddhana, adalah satu-satunya pejabat kerajaan yang berani menantangnya. Malah secara �kurang ajar� Raden Kusen sering menghina dengan menyebutkan namanya yang asli, Udara, yang dianggapnya bekas abdi dari uwaknya, Pangeran Menak Sunaya. Dan yang paling tak pernah diduga, pangeran asal Palembang itu berani menghancurkan pasukan yang dikirim Mahodara untuk mengusir pemukim-pemukim muslim dari Surabaya.

�Peperangan Terung dengan Daha yang pertama terjadi barang tujuh tahun silam,� kata Menak Lampor, yang adalah putera Menak Gadru, adipati Babadan, yang tidak lain merupakan kemenakan Raden Kusen. Meski Menak Lampor beragama Hindu, dalam perselisihan Terung dan Daha itu ia memihak Terung dengan alasan ikatan darah yang mengalir di tubuhnya sama dengan darah adipati Terung. Bagi para adipati yang mendukung Terung, Patih Mahodara tidak pernah dianggap sebagai sosok yang perlu dihargai dan dihormati karena asal usulnya yang rendah dari kalangan sudra.

Sementara itu, menurut Raden Kusen, pertarungannya menentang Patih Majapahit lebih disebabkan oleh prinsip-prinsip hidup yang sudah diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun. Hampir tidak ada yang memahami bahwa di tengah hingar-bingar kebangkitan Majapahit itu sesungguhnya terjadi persaingan dan sekaligus persekongkolan antara keturunan Akuwu Tumapel, Sang Jayakerta Tunggul Ametung, dan keturunan raja Tumapel, Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Keturunan Sang Jayakerta Tunggul Ametung menggunakan wangsakara Warddhana, yang bermakna pelindung agama dan pemakmur bumi. Sedangkan keturunan Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi menggunakan wangsakara Rajasa, yang bermakna diberkati sifat rajas (nafsu berahi).

�Sepanjang ratusan tahun sejarah Majapahit, yang berselisih dan sekaligus bersekutu dalam membangun kekuasaan adalah dua trah itu. Pasang dan surut Majapahit tergantung pada dua trah itu. Tapi, sekarang ini ada hamba sahaya yang karena pintar menjilat dan menduduki jabatan patih hendak ikut campur berebut kekuasaan di Majapahit,� kata Raden Kusen dengan mata berkilat-kilat diliputi amarah.

�Mohon maaf, Pamanda Adipati,� kata Abdul Jalil takzim, �Menurut saudara kami, Pangeran Menak Lampor, pertempuran kali ini sesungguhnya merupakan pertempuran yang ketiga dalam tujuh tahun ini. Apakah latar perang kali ini juga akibat masalah yang sama dengan perang pertama dan kedua?�

�Kali ini sudah agak beda masalahnya,� kata Raden Kusen. �Dulu saat pertama kali bertempur, aku hancurkan seluruh pasukannya di Sungai Terung. Tidak satu pun prajuritnya yang aku biarkan hidup. Bahkan, tidak satu pun perahu yang digunakan mengangkut prajurit itu yang tidak dibakar.�

�Apakah itu gara-gara mereka menyerbu Surabaya?�

�Ya,� kata Raden Kusen datar. �Dia tidak menyangka jika aku akan membela Surabaya.�

�Apakah Sri Prabu Natha tidak marah dengan tindakan Pamanda Adipati?�

�Mula-mula begitu. Tetapi, setelah aku jelaskan bahwa tindakan patih dungu itu menyerang Surabaya adalah tindakan bodoh karena sama dengan menista kebijakan Sri Prabu Kertawijaya, barulah Prabu Natha memaklumi tindakanku. Ya, aku jelaskan kepada maharaja Majapahit bahwa kedudukan bupati Surabaya didasarkan atas kebijakan Sri Prabu Kertawijaya. Kedudukan itu diperkuat lagi oleh Sri Prabu Adi-Suraprabhawa. Jadi, menyerang Surabaya, walaupun dengan alasan untuk mengusir orang-orang Islam yang berbahaya bagi Majapahit, tetaplah aku nilai sebagai penghinaan terhadap dua maharaja yang telah mangkat. Dan lantaran itu, mereka tidak pantas diampuni,� kata Raden Kusen dingin.

Abdul Jalil mengangguk-angguk paham dan berkata, �Lalu alasan perang yang kedua, apakah sama?�

�Ya, sama,� kata Raden Kusen. �Perang terjadi ketika patih jahat itu memerintahkan para prajurit untuk mengusir orang-orang Islam di Wirasabha dan kemudian menyuruh anaknya, Menak Supethak, mengusir dan membunuhi orang-orang Islam di Garudha. Aku gempur Garudha. Aku gempur Japan. Bahkan aku sudah menggerakkan pasukan melintasi Wirasabha untuk mengepung ibu kota Daha. Tetapi, Sri Prabu Natha memohon agar aku tidak melanjutkan tindakan menyerang Daha karena orang bisa menyangka aku melakukan pemberontakan.�

�Untuk yang kedua, alasan apakah yang Pamanda Adipati gunakan kepada Sri Prabu Natha? Bukankah Pamanda Adipati bisa dituduh membela orang-orang Islam karena Pamanda beragama Islam? tanya Abdul Jalil.

�Aku katakan kepada Prabu Natha bahwa darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah wangsakara Warddhana yang bermakna pelindung agama dan pemakmur bumi. Itu sebabnya, sebagai seorang maharaja beliau wajib menjalankan prinsip-prinsip wangsakara untuk menjadi pelindung bagi agama apa pun di wilayah kekuasaannya. Kepada Prabu Natha aku tunjukkan bukti-bukti betapa sejak masa pemerintahan Sri Prabu Rajasanagara pun sudah tinggal orang-orang muslim di ibu kota. Jadi, lagi-lagi, patih tolol itu aku sudutkan sebagai kerbau dungu yang suka menista dan menghina leluhur maharaja Majapahit,� kata Raden Kusen, kali ini sambil tertawa terbahak-bahak.

�Dan untuk kali ketiga ini rupanya sudah menyangkut kekuasaan.�

�Hmm, begitulah. Patih dungu itu diam-diam sudah menyusun kekuatan di berbagai kadipaten. Dengan iming-iming jabatan tinggi dan kekayaan dia menawari sejumlah adipati untuk mendukung kekuasaannya yang makin kukuh di tengah melemahnya kekuasaan Prabu Natha. Tapi dasar bodoh, dia tidak tahu bahwa lebih dari separo jumlah adipati di Kahuripan, Janggala, Daha, dan Kadhiri adalah keturunan kakekku, Prabu Kertawijaya. Sehingga, hampir semuanya melaporkan kepadaku tentang gerakan busuk patih tolol itu. Dan, aku tentu saja akan mengambil tindakan demi menyelamatkan takhta Majapahit dari orang dungu itu,� kata Raden Kusen.

Abdul Jalil memahami bahwa jika saja mau sesungguhnya Raden Kusen dapat merebut takhta Majapahit dari tangan Sri Prabu Girindrawarddhana. Sebab, ia bukan saja cucu maharaja Majapahit Sri Prabu Kertawijaya, keahliannya dalam pertempuran dan kekuatan pasukan juga kekayaan yang dimilikinya sesungguhnya dapat digunakan dengan mudah untuk meraih takhta Majapahit yang sedang lemah. Sebagai pemimpin perang unggulan di medan tempur, ia termasyhur dengan sebutan Juru Pangalasan ing Terung. Sebagai adipati yang juga merangkap jabatan pecat tandha di Terung, kekayaannya yang tak terhitung tercermin dari sebutan para saudagar Cina yang menamainya Kin San, Sang Gunung Emas.

Semula Abdul Jalil menduga tentulah Raden Kusen yang termasyhur sebagai panglima unggulan dan kaya raya itu akan menolak gagasannya tentang masyarakat ummah. Namun, setelah berbincang-bincang tentang keniscayaan tatanan baru di tengah reruntuhan nilai-nilai luhur yang sudah jungkir balik, tanpa terduga putera Adipati Palembang itu menyatakan sangat senang menerimanya. Ia bahkan menunjuk tanah miliknya yang membentang dari Sumengka di selatan, Wanjang di utara, Kamalagi di barat, dan Sasawo di timur untuk dibagikan kepada siapa pun di antara masyarakat ummah yang berhak. Tanah seluas 200 jung (560 hektar) yang terletak di antara Kedung Peluk dan Wayuwo, jalan masuk ke Tumapel, juga dihibahkan kepada Abdul Jalil untuk dijadikan Dukuh Lemah Abang yang diharapkan dapat menjadi pusat perkembangan tatanan baru di Majapahit.

Tidak cukup menyatakan dukungan dengan bukti pemberian tanah hibah, Raden Kusen yang sedang terlibat perang dengan patih Mahodara itu memutuskan untuk mengirim seribu prajurit pilihan dari Terung ke Caruban Larang. Atas perkenan Raden Kusen, puteri Menak Lampor yang bernama Tepasari dinikahkan dengan Syarif Hidayatullah. �Mudah-mudahan dengan pernikahan ini semua orang tahu bahwa baik Islam, baik Hindu, maupun Budha di negeri ini sesungguhnya disatukan oleh satu ikatan darah, yaitu darah Majapahit. Inilah ajaran yang aku pegang teguh dari guruku yang mulia, Pangeran Ali Rahmatullah,� kata Raden Kusen.

Ketika Abdul Jalil dengan dikawal tiga puluh prajurit pilihan meninggalkan Kadipaten Terung dengan tujuan Daha untuk menemui Nirartha, putera Rsi Punarjanma, ia saksikan pemandangan yang sangat memilukan dari kehidupan penduduk di sekitar Japan. Ketenteraman, keamanan, dan kemakmuran yang dikisahkan menjadi bagian keagungan dan kemuliaan Majapahit tidak lagi terlihat. Di sepanjang perjalanan ia hanya menyaksikan ketakutan, kecurigaan, kecemasan, dan kekurangan membayang di setiap mata penduduk yang menatap langit dengan pandangan kosong tanpa harapan.

Saat melintasi reruntuhan bekas ibu kota Majapahit, Abdul Jalil menyaksikan wajah kematian begitu mencekam di sela-sela dinding baluwarti yang terguling. Dulu, barang dua windu silam, kematian telah membentangkan sayap-sayapnya yang dikobari api. Ya, dua windu silam, kematian berpesta-pora menyantap daging dan menenggak darah penghuni ibu kota Majapahit. Tak kenal orang tua, tak kenal anak, tak kenal bayi, semuanya saat itu dimangsa dengan lahap oleh kematian. Sementara di tengah genangan darah dan air mata itu, para pemenang mengibarkan panji-panji dan umbul-umbul sambil menyanyikan lagu kemenangan. Mereka menyoraki dan mengelu-elukan kematian yang telah memberikan kemenangan bagi mereka.

Perang! Peperangan telah membawa manusia ke hamparan lembah derita yang tak bertepi. Sepanjang hamparan derita itu yang terlihat hanyalah tubuh-tubuh kurus dari manusia-manusia tak berdaya yang harta dan makanannya terampas tangan-tangan perkasa tanpa belas kasih. Atau, mayat-mayat prajurit yang bergelimpangan menebarkan anyir darah. Atau, pedang dan tombak patah yang berserak di antara perisai dan anak panah. Atau, kibaran sisa panji-panji yang berserpihan dilepoti darah kering. Atau, bangkai kuda dan gajah yang bertumpuk di samping bangkai manusia. Atau, burung-burung gagak dan serigala yang berebut daging prajurit-prajurit yang terkapar tak bernyawa. Atau, embusan angin berdebu yang menebarkan bau busuk mayat-mayat membusuk. Atau, sisa-sisa reruntuhan bangunan yang merana terbalut debu.

Pemandangan mengerikan yang disaksikan Abdul Jalil menggetarkan jiwanya yang sedang dicekam oleh suasana ketegangan di Caruban Larang. Apakah yang sedang terjadi di sana sepeninggalnya? Apakah pasukan Galuh Pakuan sudah menerobos masuk ke wilayah Caruban Larang? Apakah sudah pecah pertempuran antara Caruban Larang dan Galuh Pakuan? Apakah Talaga dan Rajagaluh tidak ikut-ikutan mengeroyok Caruban Larang? Mampukah Sri Mangana menghadapi serangan pasukan gabungan yang jumlahnya lima kali lipat pasukannya itu?

Dengan gemuruh tanda tanya yang bergumpal-gumpal memenuhi kepalanya, Abdul Jalil membayangkan pemandangan menyedihkan yang disaksikannya itu seolah-olah peristiwa yang menimpa penduduk Caruban Larang. Ia saksikan tubuh prajurit-prajurit yang berserpihan dagingnya akibat dimangsa anjing dan burung gagak itu sebagai prajurit-prajurit Caruban Larang. Ia bayangkan pedang-pedang yang patah dan berserakan itu adalah pedang prajurit-prajurit Caruban Larang yang kalah perang. Saat ia saksikan anak-anak kecil dengan tubuh kurus dan perut buncit menangis di depan halaman rumah, ia bayangkan seolah-olah anak-anak di Caruban Larang yang menderita akibat peperangan. Ah, akankah setiap perubahan mesti ditandai peperangan?

Read More ->>

SIRNA ILANG KERTANING BHUMI

Sirna Hilang Kertaning Bhumi

Sebagai maharaja yang berwawasan sempit dan tidak memiliki pandangan jauh ke depan, Bhre Kretabhumi ternyata sangat ketakutan dengan kenyataan yang menunjukkan kuatnya �jaringan hijau� yang dibangun Sri Prabu Kertawijaya dan dilanjutkan oleh Sri Prabu Adi-Suraprabhawa. Itu sebabnya, ia kemudian terlihat lebih mengarahkan kewaspadaan terhadap perkembangan yang terjadi di kawasan pantai utara, di mana kekuatan Islam mulai berkembang kuat. Beribu-ribu telik sandhi disebarkannya untuk memantau segala gerak-gerik para bangsawan, saudagar, guru, nelayan, pedagang kecil, bahkan tukang dan kuli yang rumahnya dekat surau dan pusat-pusat perdagangan orang-orang muslim.

Kewaspadaan berlebihan Bhre Kretabhumi terhadap orang-orang muslim di pantai utara ternyata membuatnya lengah. Ia menjadi sangat mengabaikan perkembangan di pedalaman. Sedikit pun ia tidak mengetahui jika di daerah pedalaman diam-diam sedang terjadi penyusunan kekuatan besar-besaran yang dilakukan oleh Dyah Ranawijaya, putera Sri Adi-Suraprabhawa, yang merasa lebih berhak atas takhta Majapahit. Dyah Ranawijaya tidak sekadar berambisi menuntut hak sebagai pewaris takhta, tetapi yang tak kalah mengerikan, ia juga dirasuk dendam kesumat terhadap Bhre Kretabhumi yang dianggapnya telah menjadi penyebab utama kematian ayahandanya.

Api dendam yang membakar jiwa dan pikiran Dyah Ranawijaya meledak menjadi malapetaka besar bagi Majapahit. Itu terlihat saat ia dengan seratus ribu prajurit datang ke ibu kota untuk mengambil kembali haknya atas takhta Majapahit yang sudah dirampas Bhre Kretabhumi. Dyah Ranawijaya dengan dendam kesumat tak bertepi menyerbu dan melakukan kebiadaban tak terbayangkan. Dikatakan kebiadaban tak terbayangkan sebab dalam penyerbuan itu bala tentara Daha yang dipimpin oleh Dyah Ranawijaya sendiri telah melibatkan para kawula alit untuk menjarah ibu kota.

Keterlibatan kawula alit dalam penyerbuan biadab itu tidak bisa dinilai lain, kecuali sebagai peristiwa munculnya kawanan setan berwujud manusia dari relung-relung bumi yang gelap gulita. Kemunculan kawanan manusia setan yang bangga ketika merusak kebudayaan, menista tradisi, menginjak-injak hukum, menghancurkan tatanan nilai-nilai, dan melampiaskan nafsu yang tak kenal batas.

Menurut ingatan warga ibu kota yang selamat, peristiwa biadab yang menenggelamkan ibu kota Majapahit ke dalam kobaran api dan penjarahan dahsyat itu berlangsung sangat mencekam. Mula-mula berlangsung pertempuran sengit antara pasukan Majapahit dan pasukan Daha di luar dinding baluwarti. Suara gemerincing senjata yang beradu terdengar menggiriskan karena diiringi jerit kesakitan dan lolongan kematian. Ketika pasukan Majapahit terdesak dan bertahan di dalam baluwarti, terdengar suara benturan benda-benda keras seperti suara orang menumbuk padi di lesung. Tak lama kemudian robohlah dinding baluwarti dengan suara gemuruh, diikuti oleh serbuan pasukan Daha yang mengalir seperti kawanan semut memasuki ibu kota.

Pertempuran berlangsung sengit. Pasukan Majapahit berusaha bertahan dengan menghadang gerak maju pasukan Daha setapak demi setapak. Jengkal demi jengkal tanah dipertahankan dengan darah. Ketika pertempuran meluas ke dalam Bangsal Manguntur, tempat para pengawal Bhre Kretabhumi mengadu nyawa untuk menyelamatkan junjungannya, terjadilah peristiwa yang tak pernah terbayangkan: kerumunan-kerumunan kawula alit di antara kalangan hina papa memasuki ibu kota bagai kawanan hewan buas haus darah. Dengan dipimpin satu dan dua prajurit Daha, sambil berteriak-teriak dengan caci-maki yang kasar, mereka menyulutkan api kerumah-rumah dan semua jenis bangunan yang ada. Hanya dalam hitungan detik ibu kota Majapahit tenggelam ke dalam kobaran lautan api yang membara dan menjilat-jilat ke langit.

Penghuni ibu kota yang tak pernah menduga bakal terjadi malapetaka laknat itu hanya kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Rumah mereka luluh lantak dimangsa api. Harta benda mereka dijarah dengan beringas. Di tengah kebingungan itu berpuluh ribu warga, beribu-ribu prajurit, beribu-ribu nayakapraja, beratus-ratus punggawa, beratus-ratus pejabat tinggi, beratus-ratus keluarga maharaja dan bahkan maharaja sendiri terpanggang binasa di tengah lautan api.

Selama tiga hari tiga malam ibu kota Majapahit dimangsa keganasan api. Menjelang hari keempat api mulai padam. Kesenyapan dan kesunyian pun menggelar permadani hitam yang melingkupi reruntuhan bekas ibu kota maha-kerajaan itu. Sejauh mata memandang hanya tumpukan abu hitam dan asap tipis yang mengepul di antara mayat manusia dan bangkai binatang yang hangus meranggas. Sebuah citra kematian yang mencekam dan menakutkan. Di tengah kesenyapan dan kesucian mahakuta yang pernah menjadi kebanggaan itu, para kawi menggubah syair dan kidung ratapan dengan mengguratkan tanah (pena batu) di atas karas (papan batu) yang melukiskan malapetaka itu dengan ungkapan: �Sirna Hilang Kertaning Bhumi� (sirna dan hilang maharaja Kretabhumi) dan �Sunya Nora Yuganing Wwang� (kosong tiada anak manusia), yakni menandai tahun 1400 Saka ketika bencana menggiriskan itu terjadi.

Dengan binasanya Bhre Kretabhumi dan luluh lantaknya ibu kota Majapahit, Dyah Ranawijaya memang berhasil melampiaskan dendam kesumatnya dan merebut takhta Majapahit. Dengan bangga ia mengangkat diri menjadi maharaja Majapahit. Namun seiring dengan naik takhtanya Dyah Ranawijaya, fajar kejayaan Majapahit yang pernah bersinar gemilang telah surut memasuki sandyakala. Panji-panji surya Majapahit yang pernah berkibar di tujuh samudera telah berserpihan menjadi robekan-robekan kain tak bermakna. Pendek kata, ibarat rajawali tua yang telah patah kedua sayapnya, Majapahit di bawah Dyah Ranawijaya tidak mampu lagi terbang ke angkasa memperlihatkan keperkasaan dan kewibawaannya.

Sesungguhnya, pudarnya keperkasaan dan kewibawaan Majapahit tidak terlepas dari para pewaris takhta kekuasaan yang makin lama makin lemah seperti Bhre Pamotan Sang Sinagara, Bhre Kretabhumi, dan Dyah Ranawijaya. Para pewaris takhta yang hidup di tengah kemewahan dan sanjungan itu tidak saja menjadi lemah, tetapi wawasan mereka pun sempit. Mereka tidak lagi memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan seperti pendahulunya. Mereka seolah-olah tidak sadar jika negara yang mereka warisi adalah sebuah kekaisaran maharaksasa yang memiliki wilayah membentang dari Lamuri di barat hingga Wuanin di timur dan solor di utara.

Sejarah kebesaran Majapahit akhirnya mencatat, hanya Sri Prabu Kertawijaya seoranglah maharaja terakhir yang memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan. Setelah ia mangkat, para penggantinya sekadar raja-raja yang lemah. Mereka naif dan kekanak-kanakan akibat hidupnya dilingkari kemewahan, kemuliaan, sanjungan, dan puja-puji berlebihan. Mereka tenggelam dininabobokkan lingkungan laknat yang sarat dengan penjilat. Kecelakaan sejarah pun akhirnya menjadi keniscayaan ketika maharaja yang mewarisi takhta Majapahit itu dilingkari pejabat-pejabat berjiwa kerdil, bebal, sempit wawasan, dan dangkal pandangan. Pejabat-pejabat yang hanya pintar menjilat, pandai menyanjung, dan piawai dalam menyuguhkan kemewahan kepada maharajanya.

Dyah Ranawijaya adalah salah satu di antara pewaris takhta Majapahit yang hidup dilingkari pejabat-pejabat berjiwa kerdil, berwawasan sempit, dan berpandangan dangkal. Ia hidup dilingkungi pejabat-pejabat bebal. Akhirnya, tak jauh berbeda dengan pejabat-pejabat yang mengitarinya, Dyah Ranawijaya pun kemudian menjadi maharaja berjiwa kerdil yang sempit wawasan dan dangkal pandangan. Ia sesungguhnya tidak memiliki bekal kemampuan apa pun untuk menerima warisan takhta Majapahit. Ia hanya memiliki bekal ambisi yang kuat untuk menduduki takhta kerajaan. Sejarah akhirnya mencatat Dyah Ranawijaya tidak tahu apa yang seharusnya diperbuat seorang maharaja ketika ia berhasil duduk di atas singgasana Majapahit.

Tinta hitam sejarah kesuraman Majapahit mencatat pula, beberapa waktu setelah berhasil meluluhlantakkan ibu kota, Dyah Ranawijaya mengangkat diri sebagai maharaja Majapahit menggantikan Bhre Kretabhumi. Namun, sebagai seorang putra yang sejak kecil tinggal di pedalaman dan dilingkari oleh pejabat-pejabat berjiwa kerdil, ia pun tidak pernah memiliki wawasan berpikir dan pandangan yang lebih jauh dari pemandangan yang disaksikannya sehari-hari. Ia tidak pernah melihat pemandangan lebih jauh dari puri kediamannya yang dilingkari lembah, sawah, sungai, hutan, dan gunung. Ia tidak pernah memiliki kesadaran bahwa Majapahit adalah negara maharaksasa yang wilayahnya jauh lebih luas dari sekedar Daha dan Janggala.

Dyah Ranawijaya pada akhirnya menyadari dirinya sesungguhnya tidak mampu menunjukkan keperkasaan dan kewibawaan sebagai maharaja Majapahit yang agung seperti leluhurnya. Hari-hari dari hidupnya justru selalu dihantui rasa curiga dan ketakutan jika takhta yang sudah didudukinya dirampas oleh sanak kerabatnya.

Diburu rasa takut kehilangan takhta, tanpa pemikiran yang matang, Dyah Ranawijaya akhirnya membuat keputusan konyol memindahkan ibu kota Majapahit ke pedalaman, yakni ke Kadhiri, ibu kota Daha. Keputusan konyol Dyah Ranawijaya itu terungkap saat ia dinobatkan menjadi maharaja Majapahit di Kadhiri dengan bangga ia menggunakan gelar kebesaran Sri Prabu Natha Girindrawarddhana, Jiwanendradhipa ring Daha, Janggala, Kadhiri.

Jelas sudah, betapa dengan gelar kebesaran sebagai Jiwanendradhipa raing Daha, Janggala, Kadhiri itu, di dalam pandangan Sri Prabu Natha Girindrawarddhana, Majapahit yang dikuasainya adalah kerajaan kecil yang wilayahnya tidak lebih luas dari Kahuripan, Daha, Janggala, dan ibu kota Kadhiri. Semua itu menunjukkan betapa sesungguhnya ia dengan kekerdilan jiwa dan kepicikan wawasan telah berusaha memperkuat takhta kekuasaannya di pedalaman, ibarat ulat masuk ke dalam kepompong.

Perpindahan ibu kota kerajaan ke pedalaman menjadi titik balik sejarah yang mengakibatkan Majapahit terempas tanpa daya di palagan sejarah akibat tidak mampu menhadapi tiupan dahsyat angin perubahan. Sebab, perpindahan ibu kota ke pedalaman dengan tata pemerintahan dipegang oleh raja dan pejabat-pejabat asal pedalaman yang berwawasan sempit dan berpandangan dangkal mengakibatkan perubahan mendasar dalam tata pemerintahan, terutama kerangka berpikir para pemegang kekuasaan yang didasarkan pada sifat-sifat petani pedesaan.

Menurut catatan-catatan termasyhur para kawi, selama berpuluh windu Majapahit tumbuh dan berkembang sebagai kekuatan laut yang perkasa dan mampu mempersatukan negeri-negeri yang terhampar di samudera raya. Panji-panji Majapahit berkibar gagah di atas kapal-kapal yang mengarungi tujuh samudera. Para kaisar Cina di utara dan para maharaja di Bharatnagari mengakui wilayah kedaulatan Majapahit. Armada-armada dagang yang hilir mudik dari selatan ke utara wajib membayar pajak saat singgah di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Tidak satu pun kapal perang kerajaan lain yang berani memasuki perairan Majapahit tanpa izin!

Kini, setelah ibu kotanya dipindahkan ke pedalaman, Majapahit tiba-tiba berubah menjadi negeri yang bertumpu pada kekuatan pertanian. Majapahit tiba-tiba terkunci di daratan. Armada Majapahit yang pernah jaya di samudera raya tiba-tiba terbengkalai, keropos, berkarat, dan menjadi ronsokan tak berharga. Penanda batas wilayah Majapahit yang berupa gelombang ganas samudera raya, tiba-tiba berubah menjadi lembah subur yang membentang di sepanjang aliran Sungai Brantas yang dibatasi Gunung Kamput (Kelud), Gunung Anjasmara, Gunung Arjuna, Gunung Mahameru, Gunung Lawu, Gunung Wilis, dan sebagian kecil pantai utara Jawadwipa.

Akibat kepindahan ibu kota Majapahit yang diikuti perubahan tatanan pemerintahan yang semula bersifat kelautan menjadi pertanian, ternyata mendatangkan peristiwa-peristiwa yang sangat menyedihkan. Dikatakan menyedihkan karena seiring pernyataan maharaja Majapahit yang memaklumatkan wilayah kekuasaannya hanya mencakup Kahuripan, Daha, Janggala, dan Kadhiri; kerajaan-kerajaan bawahan yang berada di luar wilayah empat tersebut merasa tidak lagi sebagai bagian dari wilayah Majapahit. Akibatnya, kerajaan-kerajaan bawahan yang selama berbilang abad tunduk, patuh, dan setia kepada Majapahit beramai-ramai melepaskan diri dari pemerintahan pusat yang sudah tak bergigi itu.

Bagaikan rajawali tua dengan kedua sayap patah, Sri Prabu Natha Girindrawarddhana yang picik dan kurang cerdas itu hanya bisa kebingungan ketika dipaksa menyaksikan satu demi satu wilayah yang semula dianggapnya bagian Majapahit, memisahkan diri secara diam-diam dari induknya. Ia tidak paham kenapa hal itu bisa terjadi. Ia hanya tertegun-tegun ketika menerima laporan bahwa para raja muda Wirabhumi, Lumajang, Wengker, Kahuripan, Matahun, Pawanuhan, Mataram, Pajang, Pengging, Demak, Giri, Gresik, Siddhayu, Kendal, Samarang, dan Lasem menyatakan kerajaannya berdiri sendiri-sendiri sebagai kekuasaan yang berdaulat dan tidak lagi tunduk kepada maharaja Majapahit.

Di tengah hiruk kerajaan-kerajaan bawahan yang memisahkan diri, bermunculanlah kadipaten-kadipaten gurem yang dengan lantang menyatakan tidak terikat lagi baik dengan Majapahit maupun dengan kerajaan-kerajaan bawahannya. Ibarat bangkitnya kembali bentuk kekuasaan purba yang dipimpin para raka, tumbuhlah kadipaten-kadipaten itu menjadi daerah-daerah guram yang merdeka dan berdaulat seperti Kadipaten Puger, Babadan, Tepasana, Kedhawung, Garudha, Dengkol, Banger, Gending, Panjer, Jamunda, Sengguruh, Hantang, Srengat, Balitar, Rawa, Kampak, Pesagi, Mahespati, Pasir, Uter, Wirasari, Wedi, Taji, Bojong, Jagaraga, Tedunan, Jaratan, Surabaya, Kajongan, Pati, dan Rajegwesi, mengibarkan panji-panji kebesaran masing-masing. Keindahan Majapahit pada masa silam yang berhasil merangkai untaian zamrud hijau laksana mahkota yang mengagumkan, kini berantakan dan tinggal menjadi serpihan-serpihan zamrud retak yang lepas dari tali pengikatnya.

Seiring berserpihannya Majapahit menjadi kerajaan kecil dan kadipaten gurem yang merdeka dan berdaulat, terperosoklah nilai-nilai keagungan dan keluhuran manusia ke tingkat yang paling menjijikkan. Para penguasa kerajaan, terutama penguasa kadipaten gurem, tidak berbuat sesuatu yang pantas untuk meningkatkan harkat, martabat, dan wibawa manusia melalui kekuasaan yang telah mereka genggam. Hari-hari dari kehidupan para penguasa itu nyaris diwarnai perjamuan dan pesta pora besar menikmati lezatnya makanan, merdunya gamelan, kerasnya tuak, gemerincingnya uang, mahalnya hadiah-hadiah, dan hangatnya tubuh para perempuan penghibur.

Entah bodoh, entah berwawasan sempit, entah tidak memiliki pengetahuan pemerintahan, atau entah tidak mampu mengukur kemampuan diri, para pemimpin kadipaten gurem itu secara seragam memiliki anggapan bahwa kebesaran dan keagungan dirinya tergantung pada kemampuan di dalam menjamu dan membayar serta memberi hadiah para kepala desa, kepala begal, bromocorah, dan dukun-dukun yang mendukung kekuasaan mereka. Untuk memperkuat daerah kekuasaan, mereka mengirim hadiah-hadiah mahal ke padepokan-padepokan, asrama-asrama, dan perguruan-perguruan yang kebanyakan dipimpin oleh ruhaniwan-ruhaniwan mata duitan.

Akibat kepicikan dalam memaknai kebesaran dan keagungan seorang penguasa, yang terjadi sebagai keniscayaan adalah kesengsaraan dan penderitaan dari warga yang berkedudukan sebagai kawula alit yang rendah dan hina. Sebab, seiring hingar bingarnya perjamuan, pesta pora, gemerincing uang suap, dan hamburan hadiah-hadiah, tergencetlah para kawula alit dengan berbagai jenis pajak baru yang mencekik.

Entah bodoh, entah kejam, entah bengis, entah tidak memiliki hati nurani, entah setan berwujud manusia, para penguasa kadipaten gurem itu memperkenalkan berbagai jenis pajak yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh penduduk untuk memenuhi segala hajat mereka. Menurut catatan juru manghuri Terung, para penguasa memungut berbagai jenis pajak kepada warganya secara semena-mena berupa pajak tanah (pajeg), pajak pekarangan (karang kopek), pajak rumah tangga (pacumpleng), pajak penghasilan (upajiwa), pajak keamanan (rajabhaja), pajak jalan (kerigaji), pajak untuk upacara-upacara kerajaan (rajawali), pajak pembangunan rumah pejabat (taker turun), pajak cacah jiwa (peniti), pajak hajatan pejabat (pasumbang), pajak kunjungan pejabat (pajidralan), pajak perkenalan pejabat (uwang bekti), dan seterusnya.

Sementara itu, bagi warga miskin yang tidak memiliki tanah dan rumah dikenakan pajak dalam bentuk kerja-wajib tanpa bayar, seperti menjaga rumah pejabat (kemit), melayani pejabat (pancen), membantu urusan rumah tangga pejabat (ayeran), membuat dan memperbaiki jalan umum (krigaji), mengangkut barang milik pejabat (gladhag). Bahkan tak jarang di antara kalangan bernasib sial ini yang harus menyetor anak-anaknya kepada penguasa untuk dijadikan budak, wadal, dan tumbal.

Kesengsaraan dan penderitaan kawula alit yang sudah mengering diisap berbagai jenis pajak, ternyata masih diikuti oleh kesengsaraan dan penderitaan yang tak kalah pedihnya. Hal itu tergambar ketika para penguasa yang mabuk kekuasaan dengan kepercayaan diri yang berlebihan memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut wilayah kadipaten guram lain.

Genderang perang mereka tabuh. Pedang dan tombak mereka acungkan ke atas. Saat sangkakala perang ditiup, pekik peperangan pun mengumandang membelah angkasa. Dan apa yang terjadi setelahnya sudah bisa diduga, yaitu tumpahnya darah para prajurit kecil yang membasahi bumi. Tidak ada tangis dan penyesalan dari para penguasa atas terbunuhnya beribu-ribu prajurit, sebab telah tertulis pada keniscayaan sejarah bahwa di tengah gegap gempita peperangan yang menitikkan air mata duka cita adalah para kawula alit. Bukankah para prajurit yang terbunuh dalam perang � dari pihak mana pun � sesungguhnya merupakan putera-putera terbaik dari para kawula alit, yang mencari sesuap nasi dengan menjadi tentara?

Hari, pekan, bulan, tahun, dan windu yang membentang dalam kehidupan manusia yang hidup di bekas wilayah Majapahit terlewati tanpa kedamaian, tanpa pengayoman, tanpa keamanan, bahkan tanpa tujuan yang pasti. Yang tersuguh sebagai hidangan utama sehari-hari bagi mereka yang hidup di rentangan waktu itu tidak ada yang lain, kecuali kekacauan demi kekacauan yang sambung menyambung dan susul-menyusul seperti tanpa akhir. Api peperangan berkobar dimana-mana. Penjarahan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan membadai tanpa kendali dan melanda setiap hunian manusia.

Tidak ada setetes pun tinta sejarah yang mencatat bagaimana kesengsaraan dan penderitaan yang dialami manusia di rentangan kelabu �Sandyakala Majapahit� itu. Tidak ada catatan kesengsaraan dan penderitaan kalangan ningrat berdarah biru, apalagi kalangan kawula alit berdarah hitam yang menempati kedudukan golongan sudra yang hina, nista, dan papa. Lembar-lembar sejarah hanya mencatat bagaimana keagungan, kemuliaan, keperkasaan, serta kehebatan para raja dari kerajaan kecil dan para penguasa kadipaten gurem yang saling pamer kekuatan dalam bertarung, bertempur, saling bunuh untuk memperebutkan takhta kekuasaan dengan membinasakan saudara-saudaranya.

Di tengah hiruk pikuk peperangan yang berkobar, di tengah intaian hantu kematian, di tengah kesibukan para prajurit membinasakan musuh-musuhnya, terjadilah hiruk kebinasaan yang tak kalah dahsyat dibandingkan medan perang. Kawanan bromocorah, perampok, lanun, maling, penjarah, dan bajingan tengik dengan liur menetes laksana binatang buas terlihat berkeliaran mencari mangsa. Manusia-manusia berjiwa binatang itu dengan kelicikan dan kebuasan melebihi hewan liar, menyerbu desa-desa untuk menganiaya, memperkosa, merampas, membakar, dan membunuh kawula alit yang lemah dan tidak memiliki pelindung.

Di rembang senja usianya yang uzur Majapahit benar-benar menjadi tumpukan sampah raksasa yang berisi manusia-manusia berakhlak bejat dan berjiwa bobrok. Manusia-manusia tengik yang tidak mengenal nilai-nilai luhur kemanusiaan. Manusia-manusia jelata yang muncul dari lumpur nista dengan impian tinggi di langit menggapai bintang-bintang. Ibarat pepatah katak hendak menjadi lembu, demikianlah citra diri manusia-manusia berjiwa kerdil itu memenuhi cakrawala Majapahit. Dan saat manusia-manusia rendah itu membusuk dikerumuni lalat-lalat kejahilan, berkumandanglah kidung pralaya Majapahit yang dinyanyikan iring-iringan prajurit Bhattara Yama.

Orang bijak berkata: runtuhnya sebuah bangsa selalu ditandai oleh jungkir baliknya nilai-nilai tatanan kehidupan yang dianut bangsa itu. Tengara kehancuran Majapahit diawali oleh tanda jungkir baliknya nilai-nilai dan tatanan kehidupan yang pernah dijunjung dan dimuliakan di situ.

Kejungkirbalikan nilai-nilai dan tatana kehidupan itu sendiri mulai terlihat pada peristiwa kematian para brahmin, yogi, bagawan, acarya, wiku, muni, rishi, dan guru suci yang agung tanpa penerus yang sesuai. Setelah kepergian mereka, yang muncul sebagai pengganti adalah para pewaris dari kalangan orang kebanyakan, yang dengan pengetahuan rendah, wawasan sempit, dan pandangan dangkalnya menapasi kehidupan asrama-asrama, padepokan-padepokan, vihara-vihara, dan perguruan-perguruan yang unggul.

Jika dicermati lebih rinci, kemunculan gelombang kebangkitan kalangan jelata ke pentas sejarah Majapahit bermula dari lingkaran anggota chakra, yakni penganut Bhairawa-Tantra. Berbeda dengan Weda yang melarang kaum sudra melakukan upacara pemujaan, membaca Weda atau mengungkap rahasia mantra Waidika, di dalam pemujaan Tantrika yang dilakukan penganut Bhairawa Tantra tidak dikenal perbedaan golongan. Itu sebabnya, pada masa kekuasaan Prabu Jayanegara pernah tampil seorang dari golongan jelata menjadi pemimpin chakra: Sang Chakreswara.

Berawal dari Sang Chakreswara ini, selama puluhan dan bahkan ratusan tahun, jumlah golongan jelata yang menempati kedudukan penting di lingkaran anggota chakra makin tak terhitung jumlahnya. Bahkan pada gilirannya tidak sekadar di lingkaran anggota chakra, golongan jelata ini pun akhirnya muncul di berbagai sisi kekuasaan Majapahit, yang hal itu mulai kentara pada masa kekuasaan Prabu Stri Suhita dan dilanjutkan oleh Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana.

Pada masa Sri Prabu Natha Girindrawarddhana berkuasa, keberadaan golongan jelata ini sudah memenuhi hampir seluruh sisi kehidupan Majapahit laksana kawanan semut mengerumuni bangkai. Dan seiring bergulirnya waktu sandyakala bagi Majapahit, bermunculan di panggung sejarah para nayakapraja, brahmin, rishi, yogi, wiku, acarya, guru suci, bahkan para cerdik cendikia dari kalangan jelata yang menganut nilai-nilai jelata.

Kehidupan telah mengajarkan bahwa keberadaan kalangan jelata senantiasa ditandai oleh ciri-ciri khas jelata. Pertama-tama, jika mereka menduduki jabatan yang tinggi, mereka akan segera melupakan asal-usul kelahirannya. Kemudian mereka akan mencari-cari cara bagaimana menempatkan keberadaan dirinya sebagai keturunan bangsawan tinggi. Untuk itu mereka tidak segan-segan bersikap lebih bangsawan dibanding bangsawan berdarah biru yang sebenarnya. Dan kenyataan menunjukkan betapa seluruh adipati gurem yang suka memeras kawula alit dan gemar perang itu senantiasa mengakui diri sebagai trah Majapahit dan bersikap lebih feodal dibandingkan pangeran Majapahit.

Kenyataan pun membuktikan bahwa setinggi apa pun jabatan yang bisa diraih oleh kalangan jelata, tidak akan membuat wawasan mereka lebih luas dan tidak pula membuat pandangan mereka bisa menembus jauh ke depan. Sejauh-jauh pandangan mereka menembus ke depan, hanya dirinya pribadi, keluarganya, dan desanya saja yang terbayang. Sebesar dan seagung apa pun kemuliaan yang bisa mereka peroleh, tidak akan membuat kerangka pikir mereka berubah lebih luas dan lebih jauh.

Para bijak Majapahit berkata, mereka itu sudah dibentuk alam untuk menjadi kalangan jelata yang teguh memegang prinsip �bagaimana aku bisa memanfaatkan segala sesuatu untuk kepentingan diriku�. Mereka orang-orang yang selalu menginginkan orang lain berbuat sesuatu yang berguna untuk kepentingannya. Sementara, mereka tidak pernah peduli dengan nasib orang lain. Itu sebabnya, demi jabatan, mereka tidak segan-segan menyuguhkan istri dan anak-anaknya demi memuaskan junjungannya.

Entah benar entah tidak, entah berdasarkan kenyataan entah hanya isapan jempol, yang jelas kata-kata para bijak Majapahit seperti mengharuskan orang untuk mengiyakan hal tersebut. Kenyataan sejarah mencatat, seiring menjamurnya kalangan jelata yang memenuhi seluruh sisi kehidupan Majapahit, tiba-tiba saja seluruh kegemilangan kerajaan maharaksasa itu memudar. Para muni, brahmin, yogi, acarya, wiku, guru suci, dan kaum cerdik cendikia yang muncul dari kelangan jelata ternyata menunjukkan kecenderungan yang sama yakni kurang menganggap penting keberadaan bahasa Sansekerta sebagai bahasa ilmu. Sesungguhnya mereka adalah pemalas yang enggan bersusah payah mempelajari bahasa Sansekerta.

Tidak bisa diingkari bahwa pengabaian terhadap bahasa ilmu telah menjadi tengara awal bagi runtuhnya peradaban sebuah bangsa. Memudarnya pemahaman atas bahasa Sansekerta telah menjadikan kemustahilan bagi lahirnya manusia-manusia agung yang unggul untuk menghadapi zamannya. Sebaliknya yang terjadi adalah keniscayaan bagi lahirnya manusia-manusia berjiwa kerdil yang berwawasan sempit, yang memiliki kerangka berpikir otak-atik mathuk, yang berbicara dengan bahasa jelata, yang memandang dunia hanya sebatas diri pribadi dan lingkungan sekitarnya, yang mudah berputus asa dalam menghadapi kesulitan, dan yang tidak memiliki keyakinan diri kuat. Ujung dari kemunculan manusia-manusia jelata itu di panggung kekuasaan adalah tergelarnya sebuah lakon yang sangat mengerikan dalam sejarah kehidupan manusia. Laksana binatang buas yang kelaparan; mereka menjelmakan diri menjadi kawanan ganas yang gemar memangsa sesamanya.

Read More ->>

SANDYAKALA MAJAPAHIT

Sandyakala Majapahit

Abdul Jalil meninggalkan Caruban Larang dengan disertai Abdul Malik Israil, Syarif Hidayatullah, Raden Qasim, tiga puluh tiga murid Paguron Lemah Abang, dan sembilan belas santri Giri Amparan Jati. Ketika ia memasuki kadipaten-kadipaten yang pada masa lalu merupakan bagian Majapahit, sadarlah dia bahwa di balik segunung masalah yang sangat sulit dipecahkan di Caruban Larang itu sesungguhnya terhampar kemudahan di tempat yang selama ini dibayangkannya jauh lebih berat dibandingkan Caruban Larang. Kenyataan tak tersangka-sangka itu dialaminya ketika ia menghadap para adipati muslim yang menjadi penguasa di sepanjang pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan menerima sesuatu yang tidak asing, para raja muda itu menyambut dengan suka cita gagasan masyarakat ummah yang ditawarkan Abdul Jalil.

Memang, bagi setiap muslim yang memahami makna Kebenaran Islam secara benar, gagasan Abdul Jalil untuk menegakkan tatanan baru masyarakat ummah bukanlah sesuatu yang sama sekali baru dan asing. Sebab, kisah hidup Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya bukanlah sesuatu yang terpisah sama sekali dari ajaran Islam. Perikehidupan mereka sebagai pemimpin umat telah menjadi bagian dari harapan ideal yang diabadikan dalam kitab-kitab dan dilegendakan dari mulut ke mulut. Gagasan kekalifahan, diakui atau tidak, telah menjadi bayangan indah yang ingin diwujudkan oleh setiap muslim yang benar-benar memahami makna keislaman. Dan lantaran itu, tanpa kesulitan berarti para adipati muslim di sepanjang pesisir utara Nusa Jawa tidak sekadar menerima gagasan masyarakat ummah, tetapi bahkan menyatakan dukungan untuk mewujudkannya dalam kehidupan penduduk di wilayahnya masing-masing.

Mula-mula Abdul Jalil mendapat dukungan dari Pangeran Gandakusuma, Adipati Kendal, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera adipati pertama, Syaikh Suta Maharaja. Adipati yang juga kakak lain ibu Siti Zainab, istri Abdurrahman Rumi, ternyata sudah mendengar gegap gempita perubahan tatanan baru di Caruban Larang berdasarkan penuturan orang-orang Kendal yang tinggal di sana. Sebagai bukti penerimaan dan dukungannya, sang adipati menghadiahi Abdul Jalil tanah shima seluas 70 jung (196 hektar) yang terletak di antara Sungai Wela dan Sungai Salak. Tanah shima itu adalah tanah perbatasan yang diperebutkan antara adipati Bojong (Tegal), Pangeran Danaraja. Itu berarti, keberadaan tanah itu sebagai shima masih membutuhkan persetujuan dari adipati Bojong.

Abdul Jalil menempatkan sembilan santri Lemah Abang dan Giri Amparan Jati serta membuka pemukiman baru dan mengatur pembagian tanah garapan kepada penduduk yang ingin tinggal di situ. Sesuai petunjuk Sri Mangana, tugas utama mereka adalah menegakkan tatana sebagaimana yang berlaku di Lemah Abang, Japura. Mereka diharapkan dapat mempengaruhi penduduk desa sekitar dengan tatanan baru tersebut.

Dukungan adipati Kendal ternyata tidak hanya pemberian hadiah tanah shima. Sekitar 500 orang prajurit pilihan dikirimnya ke Caruban Larang untuk membantu perjuangan kalifah dan memberikan semangat kepada warga Kendal di Caruban Larang. Sang adipati tampaknya sadar bahwa warga Kadipaten Kendal yang tinggal di Caruban Larang berjumlah ribuan orang, terutama warga asal Kendal, Magelung, Getas, Pandes, dan Gebang. Sehingga, menurut sang adipati, kehancuran kalifah Caruban Larang akan bermakna kehancuran pula bagi warga Caruban Larang asal Kendal. Sebelum pergi meninggalkan kadipaten, Abdul Jalil mendapat kepastian bahwa sang adipati akan segera mewujudkan gagasan masyarakat ummah di Kadipaten Kendal.

Usai dari Kendal, Abdul Jalil dan rombongan menghadap adipati Samarang, Raden Sahun ibnu Abdillah, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera Ario Abdillah, adipati Palembang. Tanpa kesulitan berarti, adipati yang dikenal dengan sebutan Pangeran Pandanarang (nama tempat di dekat Langkat, Sumatera Selatan) menerima gagasannya dan menyatakan dukungan penuh, terutama setelah Abdul Jalil mengaku putera Ki Danusela, kuwu Caruban, dan murid ruhani almarhum Yang Mulia Ario Abdillah.

Raden Sahun adalah saudara lain ibu Raden Kusen. Ibunya yang bernama Nyimas Sahilan merupakan puteri Syarif Husein Hidayatullah, keturunan Arab yang menjadi pemuka penduduk Usang Sekampung. Lantaran perkawinan ibundanya dengan Ario Abdillah maka kakeknya diangkat menjadi bangsawan Palembang dengan gelar Menak Usang Sekampung. Boleh jadi karena ibundanya berdarah Arab maka Raden Sahun memiliki tubuh lebih tinggi, hidung lebih mancung, kumis dan cambang lebih lebat, serta suara yang lebih lantang dibandingkan orang-orang di sekitarnya.

Sekalipun ketampanan dan kegagahan Raden Sahun pada usianya yang hampir setengah abad itu tak tertandingi oleh orang-orang di sekitarnya, sungguh aneh ketika orang mengetahui bahwa sang adipati ternyata memiliki satu istri, yaitu sang permaisuri. Ya, hanya satu permaisuri tanpa selir seorang pun. Hal itu tidak lazim bagi seorang adipati. Kata orang, sesungguhnya sang adipati tidak berani memiliki selir karena takut dengan sang permaisuri. Pasalnya, sang permaisuri yang bernama Sekar Kedhaton itu adalah puteri Bhattara Katwang, adipati Samarang pertama. Sehingga, Raden Sahun merasa lebih �randah� kedudukannya dibandingkan istrinya. Namun, dengan hanya memiliki satu istri, tidak menjadikan sang adipati itu sedih dan malu. Sebaliknya, ia sangat memuji-muji istrinya yang setia dan telah memberinya lima putera, yaitu Pangeran Mangkubhumi, Pangeran Ketib, Pangeran Bojong, Nyimas Ilir, dan Pangeran Wotgalih.

Sebagaimana yang dilakukan adipati Kendal, sang adipati Samarang pun menghadiahi Abdul Jalil sebidang tanah shima seluas 90 jung (252 hektar), tepatnya di jalur selatan Kadipaten Samarang ke arah Pengging. Tanah shima itu dinamai Dukuh Lemah Abang. Di situ Abdul Jalil meninggalkan lagi sembilan orang santri untuk mengatur pembagian tanah bagi penduduk yang ingin menetap. Demikianlah, tanpa mengalami hambatan berarti, gagasan Abdul Jalil tentang masyarakat ummah diterima dan didukung oleh seluruh penguasa pesisir utara Nusa Jawa seperti adipati Demak, Raden Patah; adipati Pati, Raden Kayu Bralit; adipati Lasem, Pangeran Mahdum Ibrahim; adipati Tuban, Arya Sidik; adipati Siddayu, Pangeran Yusuf Shiddiq; adipati Gresik, Pangeran Zainal Abidin; ratu Giri, Prabu Satmata; dan bupati Surabaya, Pangeran Ali Rahmatullah.

Sesungguhnya, di balik penerimaan dan dukungan terhadap gagasan masyarakat ummah oleh para penguasa muslim di sepanjang pesisir utara Nusa Jawa itu bukan sekadar dilatari oleh kuatnya ghirah keislaman untuk mewujudkan khilafah Islamiyyah sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya. Sebab, jauh di relung-relung jiwa para penguasa tersebut tersembunyi rasa muak dan jijik terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya yang carut-marut dengan nilai-nilai yang jungkir balik membingungkan.

Para adipati dan bupati muslim yang tinggal di bekas wilayah Majapahit merasakan jepitan keadaan yang semrawut seiring mundurnya kerajaan tua itu. Bagaikan hidup di negeri asing dengan nilai-nilai yang rancu, mereka menyaksikan kebejatan dan kebobrokan perilaku manusia terpampang di depan mata. Hari-hari mereka lewati dengan menyaksikan manusia menjadi binatang bagi sesamanya. Di tengah ketercekikan mereka oleh keadaan yang tidak menentu itu, hadirnya sebuah tawaran tentang tatanan baru yang disebut masyarakat ummah yang bertolak dari usaha meneladani kepemimpinan dan kekuasaan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya, tentunya menjadi keniscayaan yang tak bisa mereka ingkari.

Gambaran kacau dan rancu tentang manusia bermoral bejat dan berjiwa bobrok setidaknya disaksikan sendiri oleh Abdul Jalil ketika masuk ke pedalaman Majapahit. Sejak menginjakkan kaki di Kadipaten Terung hingga masuk ke Daha melewati Citra Wulan, Wirasabha, ia benar-benar terperangah oleh kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, Abdul Jalil mendengar dan menyaksikan sendiri berbagai peristiwa yang menyesakkan dada itu berjungkir balik. Ujung dari semua simpulannya tentang berbagai peristiwa adalah muncul penilaiannya yang menyatakan betapa sesungguhnya tatanan hidup manusia di pedalaman Majapahit jauh lebih bejat dan lebih bobrok dibandingkan keadaan di pedalaman Bumi Pasundan.

Perempat awal abad kelima belas Saka

Rembang senja menghias di langit Majapahit. Gemilang matahari kebesaran tenggelam di balik samudera kehidupan. Malam yang gelap telah mengintai, dengan gumpalan awan hitam menggantung di cakrawala. Saat itu suasana menjadi remang-remang sehingga segala sesuatu yang berada di bawah langit menjadi samar-samar dan sulit dikenali tanpa bantuan cahaya penerangan.

Rembang senja yang remang-remang itu pula yang sejatinya sedang terjadi di cakrawala jiwa manusia-manusia yang mempermaklumkan dirinya sebagai bagian dari kebesaran dan keagungan Majapahit. Cahaya kebenaran yang menyinari hati mereka telah redup. Di tengah suasana hati yang remang-remang itu mereka tidak dapat lagi membedakan secara semestinya apa yang disebut baik dan buruk, benar dan salah, mulia dan hina, adil dan tidak adil, beradab dan biadab. Bahkan, di ambang kegelapan cakrawala jiwanya itu mereka telah menjelma menjadi hantu-hantu jahil yang liar, buas, kejam, rakus, licik , dan tengik.

Memang, di usia senjanya Majapahit bukan lagi sang surya yang memancarkan kebesaran dan keagungan bagi manusia. Surya Majapahit telah tenggelam ke dasar samudera kejahilan. Yang tersisa hanya hamparan kegelapan, tempat hantu-hantu dan setan gentayangan yang mengancam keselamatan manusia. Segala sesuatu yang tergelar di bawah langit Majapahit telah berubah. Segala sesuatu yang sebelumnya sangat dihargai dan dimuliakan tiba-tiba menjelma menjadi rongsokan tak berharga. Kebesaran, keagungan, kemuliaan, dan kehormatan yang pernah menjadi kebanggaan tiba-tiba berubah asing dan tak dikenal lagi. Kesucian dan keluhuran yang pernah menjadi dambaan tiba-tiba lenyap bagai tertelan bumi.

Kutaramanawa Dharmashastra � kitab perundang-undangan hukum Majapahit � yang selama beratus tahun dijunjung sebagai hukum suci, telah menjadi lembaran-lembaran keropos tak berharga. Sebab, para aparat penegak hukum seperti hakim (pamegat), jaksa (adhyaksa), penasihat hukum (panji), pengawal hukum (bhayangkara) telah menganggap nilai-nilai luhur keadilan yang menjiwai Kutaramanawa tidak lebih dari barang dagangan murah. Bagaikan pedagang kecil menjajakan barang dagangan di pasar, mereka berkeliling menawar-nawarkan pasal-pasal hukum dengan harga murah.

Akibat nilai-nilai luhur keadilan Kutaramanawa sudah diinjak-injak, dikencingi, dan diberaki oleh para aparat penegak hukum, kehidupan manusia pun berlangsung tanpa ditandai rambu-rambu dan aturan. Akibatnya, ketertiban, keamanan, ketenteraman, dan kedamaian menghilang dari permukaan bumi. Sebuah tindak kejahatan tidak lagi dianggap sebagai kejahatan jika pelaku kejahatan dapat membayar para aparat penegak hukum. Hukum hanya berlaku bagi kawula alit yang bodoh dan miskin. Para ningrat darah biru dan saudagar kaya berjalan melenggang di atas permadani ketidakbersalahan.

Karena nilai-nilai luhur Kutaramanawa telah menjadi barang dagangan yang memperkaya para aparat penegaknya, dan sebaliknya hukum menjadi malapetaka bagi kawula miskin yang hina dan papa, akhirnya lahir hukum jalanan yang diprakarsai kawula alit, yang jauh lebih kejam dari pasal-pasal Kutaramanawa. Jika di dalam Kutaramanawa terdapat pasal-pasal tindak pidana (astacorah) yang mengancam hukuman mati bagi pencuri dengan tambahan perampasan terhadap seluruh harta benda beserta anak-anak dan istrinya untuk dipersembahkan kepada raja, maka menurut hukum jalanan seorang pencuri harus dijatuhi hukuman picis; tubuhnya diikat dan ditempatkan di perempatan jalan. Setiap orang yang lewat di situ wajib menyayat tubuhnya dengan bambu tipis (welat) dan mengolesi bekas sayatan itu dengan larutan asam dan garam. Hukuman picis diberlakukan sampai si terhukum mati.

Hukum jalanan yang tak kalah kejam dari hukuman picis adalah hukum pendem. Seorang terhukum, konon, tubuhnya akan dipendam sebatas leher. Kepala terhukum digunduli. Setelah itu didatangkan puluhan ekor ayam kelaparan yang tidak diberi makan selama tiga hari. Kemudian, sambil bersorak-sorak orang-orang menaburkan butiran jagung ke atas kepala si terhukum yang menyembul di permukaan tanah. Hukuman ini diberlakukan sampai si terhukum mati. Namun apa pun namanya, semua hukum jalanan tetap diperuntukkan bagi kalangan kawula alit sendiri. Para ningrat berdarah biru dan orang-orang kaya pemilik uang tidak pernah menjadi korban hukum jalanan.

Coreng-moreng kehidupan Majapahit di usia senjanya tidak hanya mengubah citra agung dan luhur manusia menjadi keropos dan busuk, bahkan telah pula menjelmakan citra suci dan mulia ajaran agama menjadi wajah-wajah hantu yang menakutkan. Citra ajaran Syiwa-Budha yang luhur mulia yang selama beratus tahun memancar gemilang menerangi kebesaran dan keagungan Majapahit telah meredup dan tenggelam. Kejernihan Tauhid Syiwa-Budha telah keruh bercampur lumpur klenik kalangan jelata sehingga sulit dikenali lagi. Kemudian muncul wajah baru, agama ruh dan hantu yang rendah dan penuh dilingkari kepercayaan kalangan jelata yang sarat gegwantuhuwan (Jawa Kuno: takhayul) menyesatkan.

Pengetahuan Brahman (Brahmajnana) yang tinggi dan mulia, yang selama ratusan tahun menjadi ajaran Tauhid rahasia di perguruan-perguruan luhur Majapahit, telah pudar kehilangan makna. Sebagai ganti, muncul ajaran rendah kalangan jelata yang menyeret manusia pada pengingkaran terhadap kemuliaan manusia sebagai pengejawantahan Brahman. Tantra-sadhana yang selama ratusan tahun diyakini memiliki tujuan utama mencapai kesempurnaan (siddhi) telah kabur dan menyeleweng jauh. Yang kemudian dikenal sebagai penggantinya adalah ajaran-ajaran olah kanuragan yang hanya mengajarkan kesaktian dan kedigdayaan, yakni ajaran kalangan jelata yang memerangkap manusia pada sifat adigang-adigung, sapa sira sapa ingsun. Upacara pancamakara yang sakral dan rahasia tiba-tiba menjelma dalam bentuk upacara pemujaan bhairawa-bhairawi haus darah yang gemar menyantap wadal, tumbal, dan mayat.

Di ujung usia senjanya Majapahit benar-benar telah menjadi negara yang tidak berdaya, keropos, berkarat, busuk, dan bejat. Manusia-manusia yang membusuk di kerajaan tua itu bukan hanya mereka yang menjadi nayakapraja, melainkan mereka yang disebut pemuka agama pun ikut membusuk akibat mengikuti nilai-nilai rendah kalangan jelata yang bertentangan dengan kebenaran, akal sehat, kemuliaan, dan keadilan. Ibarat sebatang pohin yang diganyang kawanan ulat ganas, Majapahit perlahan-lahan tetapi pasti telah meranggas, keropos, membusuk, dan akan tumbang digeragoti zaman.

Menurut guru adiraja di Terung, kekuasaan Majapahit mulai terasa melemah ketika memasuki usia hampir dua abad. Hal itu diawali oleh rangkaian panjang yang sambung-menyambung dan susul-menyusul dari peristiwa perebutan takhta penuh warna kekerasan dan pertumpahan darah, laksana guncangan gempa telah merobohkan satu demi satu tiang-tiang penyangga kerajaan yang sudah tua.

Guncangan dahsyat yang awal sekali melanda Majapahit adalah saat terjadi pertempuran antara Bhre Wirabhumi, putera Prabu Hayam Wuruk dari selir yang menjadi penguasa Blambangan, dan Prabu Wikramawarddhana, menantu Prabu Hayam Wuruk. Perang perebutan takhta itu berlarut-larut dengan tempo lamban, bergerak maju dan berhenti, kemudian maju lagi (Jawa Kuno: paregreg). Perang paregreg inilah yang telah menguras kekuatan Majapahit dan perlahan-lahan meruntuhkan tiang-tiang penyangganya ke jurang kebinasaan.

Guncangan susulan terjadi saat Bhre Daha, putera Bhre Wirabhumi, mengangkat senjata hendak merebut takhta dari tangan Prabu Stri Suhita. Kekuatan Bhre Daha ditumpas oleh Ario Damar, putera Dyah Kertawijaya, adik tiri Prabu Stri Suhita. Namun, baru saja gerakan makar Bhre Daha ditumpas, Pasunggiri mengangkat senjata. Pasunggiri pun ditumpas oleh Ario Damar. Belum dingin api pergolakan di Pasunggiri, tiba-tiba kerajaan Gegel di Bali bergolak mengangkat senjata. Lagi-lagi Ario Damar berhasil meredamnya.

Kemunculan Ario Damar ke pentas sejarah Majapahit ternyata membangkitkan rasa takut sejumlah kerabat kerajaan yang berambisi menduduki takhta. Mereka bersekongkol mempengaruhi Prabu Stri Suhita agar menjauhkan Ario Damar dari ibu kota Majapahit dengan dalih diangkat menjadi adipati Palembang. Ario Damar bahkan dibebani tugas utama membawa kembali Palembang � yang sudah dikuasai para petualang Cina � ke pangkuan Majapahit. Keberadaan Ario Damar yang jauh dari ibu kota itu, diakui atau tidak, telah menjadikan Majapahit kehilangan salah satu tiang penyangganya.

Sesungguhnya tengara bakal terjadinya guncangan yang lebih dahsyat di Majapahit sudah sejak awal ditangkap oleh para bijak bestari. Menurut mereka, selama berkuasa, Prabu Stri Suhita lebih banyak berperan sebagai boneka bagi Bhre Parameswara, suaminya. Prabu Stri Suhita hampir tidak pernah menunjukkan keberadaan dirinya kepada dunia sebagai Maharaja agung Majapahit yang sebenarnya. Ia hanya menjadi bayang-bayang suaminya. Padahal, Bhre Parameswara bukan orang cerdas apalagi bijaksana. Hari-hari dari rentang kehidupan Bhre Parameswara lebih banyak diwarnai kemewahan, sanjungan, dan penumpukan kekayaan.

Akibat kegemaran Bhre Parameswara menikmati kemewahan, sanjungan, dan menumpuk kekayaan, berkerumunlah di sekitarnya para penjilat berakhlak bejat dan berjiwa bobrok. Bhre Parameswara yang bertubuh tambun dan berperut buncit telah menjadi tak lebih berharga dari sebongkah bangkai busuk yang dikerumuni lalat-lalat menjijikkan. Bagi Bhre Parameswara dan begundal-begundalnya, nilai kesetiaan, kejujuran, keteguhan, kesederhanaan, dan keberanian tidak lagi dijadikan ukuran utama untuk menilai keberadaan seorang abdi negara. Mereka yang paling pintar menyanjung, menjilat, dan menyenangkan hati atasan, itulah abdi negara yang dinilai terbaik dan terkasih.

Di tengah hiruk keadaan yang menyedihkan itu, tersingkirlah satu demi satu para kerabat kerajaan dan pejabat-pejabat unggul yang berjiwa luhur dan setia. Sebagai ganti, tampil pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan piawai menyediakan kemewahan bagi atasan. Manusia-manusia unggul seperti Ratu Angabhaya Bhre Narapati dihukum mati. Mahapatih Kanaka yang berwawasan luas dan berpandangan jauh kedepan dipensiun mendadak. Ario Damar, sang pahlawan perang yang tangguh dan tak terkalahkan disingkirkan jauh-jauh dari ibu kota.

Kebijakan menyingkirkan manusia-manusia unggul untuk diganti orang kebanyakan yang mencitrai kekuasaan Prabu Stri Suhita itu, disadari atau tidak disadari telah mengakibatkan merosotnya wibawa pemerintah. Sebab, pejabat-pejabat yang berasal dari kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan menyanjung itu umumnya manusia berjiwa kerdil yang tidak cerdas, sempit wawasan, dan picik pandangan. Mereka memang orang-orang yang patuh, setia, dan selalu menyenangkan atasan, namun mereka bukanlah orang-orang berjiwa besar yang memahami makna kebesaran, keagungan, dan kemuliaan.

Jauh hari sebenarnya sudah banyak yang meramalkan akhir kekuasaan Prabu Stri Suhita akan diwarnai guncangan dahsyat yang mungkin akan mengantarkan Majapahit ke jurang keruntuhan. Sebab, kenyataan menunjukkan betapa sejak Prabu Stri Suhita menikah dengan Bhre Parameswara, hingga usia tua mengintai, tidak dikaruniai seorang pun keturunan. Itu berarti, jika Prabu Stri Suhita mangkat akan terjadi ketegangan di antara kerabat kerajaan untuk menentukan hak pewarisan atas takhta kerajaan Majapahit.

Sesungguhnya, meski Prabu Stri Suhita tidak berketurunan, ia masih memiliki dua adik lelaki dari selir-selir ayahandanya, Prabu Wikramawarddhana. Yang pertama, Dyah Kertawijaya. Yang kedua, Bhre Tumapel. Itu berarti, menurut ketentuan yang berlaku umum, sepeninggal Prabu Stri Suhita, yang berhak mewarisi takhta kekuasaan Majapahit adalah Dyah Kertawijaya karena usianya jauh lebih tua dibandingkan Bhre Tumapel.

Sekalipun ketentuan umum menetapkan pewaris takhta sepeninggal Prabu Stri Suhita adalah Dyah Kertawijaya, dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Masalah utama yang dianggap mengganjal oleh kaluarga kerajaan adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa selir Prabu Wikramawarddhana yang melahirkan Dyah Kertawijaya merupakan perempuan berdarah Sunda, puteri Rakryan Pitar, salah seorang mantri pakira-kiran Sri Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sang Mokteng Bubat, maharaja Sunda yang terbunuh di Bubat. Rakryan Pitar merupakan perwira pengikut maharaja Sunda yang selamat dari malapetaka Bubat dan kemudian mengabdi kepada Prabu Singhawarddhana, Bhre Paguhan, yakni ayahanda Prabu Wikramawarddhana.

Dyah Kertawijaya rupanya sadar bahwa pergantian kekuasaan di Majapahit setelah Prabu Stri Suhita meletakkan takhta akan mengalami keruwetan yang menimbulkan perpecahan, terutama yang naik takhta Majapahit adalah dirinya. Hal itu setidaknya sudah disadarinya sejak kakak tirinya, Prabu Stri Suhita, memegang tampuk kekuasaan menggantikan ayahandanya. Sebagai calon pewaris takhta Majapahit, ternyata ia tidak memperoleh gelar tituler apa pun dari Prabu Stri Suhita. Sementara itu, adiknya dianugerahi gelar tituler Bhre Tumapel. Ia tahu semua itu akibat keberadaan dirinya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda.

Tengara terjadinya guncangan dahsyat yang ditangkap Dyah Kertawijaya mulai terasa setelah Prabu Stri Suhita mangkat dan ia naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Saat itu, seperti perulangan peristiwa lama pengangkatan Jayanegara, maharaja berdarah campuran Majapahit-Dharmasraya, merebaklah kasak-kusuk di lingkaran kerabat maharaja dan pejabat-oejabat kerajaan yang tidak puas menerima Sri Prabu Kertawijaya sebagai maharaja Majapahit. Mereka seolah-olah tidak utuh menerima kehadiran pangeran berdarah campuran Majapahit-Sunda itu menduduki takhta yang dibangun oleh keringat dan darah orang-orang Singasari.

Dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak kalangan keluarga kerajaan yang tidak menghendakinya duduk di atas takhta Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya berusaha memperoleh dukungan dari berbagai pihak yang dianggapnya dapat memperkuat kedudukannya. Dalam upaya memperoleh dukungan itulah Sri Prabu Kertawijaya melakukan kesalahan yang pernah dilakukan Prabu Stri Suhita.

Sebagai seorang manusia, Sri Prabu Kertawijaya memang tidak luput dari sifat lalai. Itu terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dilakukannya saat menjadi maharaja Majapahit. Entah sadar entah tidak, kesalahan Prabu Stri Suhita yang sudah ia ketahui akibat buruknya itu justru dilanjutkannya. Tanpa pertimbangan yang matang ia mengangkat pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan. Ia beranggapan pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan terkenal akan kesetiaan dan kepatuhannya. Di atas semua pertimbangan, meski menduduki jabatan yang tinggi sekalipun, mereka tidak akan mungkin merebut takhta Majapahit.

Pertimbangan Sri prabu Kertawijaya ternyata keliru. Hal itu menimbulkan sakit hati para ningrat darah biru Majapahit. Dan yang lebih parah, para pejabat yang berasal dari kalangan orang kebanyakan itu ternyata tidak memiliki pandangan jauh ke depan, juga tidak pula memiliki naluri kebesaran dan keagungan. Cakrawala pemikiran mereka umumnya sangat sempit. Setinggi apa pun jabatan yang mereka pegang ternyata tidak banyak mengubah cara pikir, cara pandang, dan cara hidup mereka. Sejauh-jauh mereka memandang ke depan hanya kepentingan pribadi dan kepentingan keluarga mereka saja yang terlihat. Ketika ada pihak lain yang bersedia memberikan tawaran yang lebih menguntungkan baik itu berupa jabatan, tanah, perempuan cantik, atau sekadar uang maka mereka pun dengan mudah terbeli dengan imbalan yang murah.

Sri Prabu Kertawijaya memang lalai dalam hal mengangkat pejabat. Namun, harus diakui bahwa dialah satu-satunya generasi akhir pewaris takhta Majapahit yang memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan seperti para leluhurnya. Dialah satu-satunya maharaja Majapahit yang tanggap dengan perubahan-perubahan yang sedang terjadi di negerinya. Bahkan, dialah maharaja pertama yang berani menentang arus demi menyongsong perubahan. Dialah maharaja Majapahit pertama yang memberi kepercayaan besar kepada orang-orang Islam.

Menurut catatan para adipati di pesisir, sejak usia muda, dengan kecerdasan yang dimiliki ditambah wawasan yang luas, Sri Prabu Kertawijaya telah menangkap tengara bakal terjadi angin perubahan dahsyat yang menentukan hidup dan matinya Majapahit. Pertama-tama, ia menyaksikan kehadiran orang-orang muslim dengan ajaran Islam yang sederhana dan mengajarkan kesederajatan itu makin lama makin menguat pengaruhnya. Di kutaraja Majapahit, terutama di pesisir utara Nusa Jawa. Semakin lama ia mengamati pertumbuhan dan perkembangan orang-orang muslim, semakin sadarlah ia bahwa gelombang kehadiran Islam tidak akan bisa dibendung lagi.

Menurut perhitungan Sri Prabu Kertawijaya yang menerobos jauh ke depan, kehadiran ajaran Islam cepat atau lambat akan menjadi badai yang menyebabkan gelombang perubahan dahsyat. Gelombang perubahan dahsyat yang akan mengempaskan dan mengubur Majapahit ke dasar lautan sejarah selama-lamanya. Jika tidak dihadapi secara bijaksana, gelombang perubahan itu akan menimbulkan banyak korban sia-sia.

Kesadaran Prabu Kertawijaya itu setidaknya telah menjadikannya sebagai satu-satunya pewaris takhta Majapahit yang memiliki hubungan baik dengan orang-orang muslim. Melalui hubungan baik dengan orang-orang muslim itulah ia menguasai arus berita. Melalui orang-orang muslim itu pula ia bisa mengetahui berbagai perubahan yang sedang terjadi baik di wilayah Majapahit maupun di mancanegara. Semakin banyak berita yang diketahuinya, semakin luaslah cakrawala pandangnya dalam memahami kencangnya tiupan angin perubahan.

Hubungan Sri Prabu Kertawijaya dengan orang-orang muslim ternyata makin meluas dan tidak sekadar terkait dengan arus berita. Boleh jadi karena sering bertukar pikiran, ia diketahui sangat tertarik dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam. Nilai-nilai Islam yang oleh orang-orang Majapahit dianggap rendah hasil bangsa biadab dari golongan Mleccha, justru dijadikan sandaran olehnya untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah, lurus dan bengkok, adil dan tidak adil.

Salah seorang tokoh muslim yang sering diajaknya bertukar pikiran tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam adalah Kakek bantal (banyaga wantal), sesepuh Nagari Gresik, yang bernama asli Sayyid Malik Ibrahim. Ia merasa cocok dengan Kakek Bantal. Segala saran dan nasihat Kakek Bantal selalu diikutinya, termasuk saat ia diminta menikahi seorang muslimah asal negeri Campa bernama Darawati.

Setelah menikahi Darawati, untuk memperkuat kedudukan sebagai bakal pewaris takhta Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya mengawini beberapa orang puteri dari kerabatnya ditambah puteri-puteri dari para pejabat dan agamawan Majapahit. Melalui pernikahan politis itu ia berusaha membangun kesetiaan di antara kerabatnya, nayakapraja, dan agamawan Majapahit. Namun, di balik semua itu sesungguhnya ia berusaha keras membuka cakrawala pemikiran dan pandangan para pengikutnya agar lebih luas dan menembus jauh ke depan sebagaimana pandangan para leluhur seperti Prabu Kertanegara, Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Prabu Stri Tribhuwanatunggadewi, Prabu Rajasanegara, mahapatih Gajah Mada, dan Prabu Wikramawarddhana.

Usaha Dyah Kertawijaya membuka cakrawala pemikiran dan pandangan para pengikutnya tidak sekadar dilakukan melalui musyawarah pertukaran pikiran, melainkan pula melalui pembagian gelar tituler baru kepada keturunan dan sanak keluarga kerajaan seperti Bhre Kretabhumi, Bhre Singapura, Bhre Kabalan, Tuhan Galuh, dan Tuhan Majaya. Namun, segala usaha itu tidak semua berhasil baik karena komplotan manusia berjiwa kerdil dengan wawasan sempit yang menjamur di Majapahit terbukti lebih kuat menancapkan kuku-kuku tajam kekuasaannya. Keberadaan Sri Prabu Kertawijaya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda dan berpandangan jauh ke depan tetap menumbuhkan benih-benih kekhawatiran dan ketakutan yang berujung pada suburnya rasa ketidakpuasan di lingkungan kerabat maharaja dan pejabat kerajaan.

Kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Sri Prabu Kertawijaya bakal menjadi penghancur Majapahit tiba-tiba meluas dan membara bagai api dalam sekam. Seiring putaran waktu diketahuilah bahwa salah satu di antara kerabat kerajaan yang gencar menyebarkan kasak-kusuk itu adalah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan. Dengan dukungan putera-puteri dan menantunya, yaitu Bhre Kretabhumi, Sang Nrpati Pamotan, Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, dan Sri Parameswari ing Lasem, Dyah Wijayakumara menempatkan Sri Prabu Kertawijaya sebagai sasaran bidik utama dari fitnah yang dirancangnya.

Sri Prabu Kertawijaya terbukti tidak bisa menghindari bidikan fitnah yang disebar Dyah Wijayakumara. Sebab, kenyataan membuktikan bahwa ia tidak saja telah mengawini Darawati, seorang muslimah asal negeri Campa, tetapi telah mengawini pula Retno Subanci, Cina muslimah puteri Encik Ban Chun, saudagar asal Nagari Gresik. Bahkan, ia juga terbukti mengangkat kemenakan Darawati yang bernama Ali Rahmatullah menjadi pangeran Majapahit dan menabalkannya sebagai bupati Surabaya. Pada saat bersamaan ia juga mengangkat kakak Ali Rahmatullah yang bernama Ali Murtadho menjadi imam Masjid di Nagari Gresik dengan gelar Ratu Pandhita. Sementara sepupu mereka, Raden Burereh (Abu Hurairah), diangkat menjadi leba (mangilala drwya haji) di Wirasabha (Mojoagung) dan yang mengurusi kepentingan orang-orang muslim di sana.

Kasak-kusuk gencar yang menuduh Sri Prabu Kertawijaya bakal menjadi penghancur Majapahit sempat memanas saat Pangeran Ali Rahmatullah dilantik menjadi bupati Surabaya oleh Arya Sena, pecat tandha di Terung, yang mewakili maharaja. Pelantikan bupati Surabaya itu dianggap sebagai bukti nyata dari usaha penghancuran Majapahit karena pusat pangkalan angkatan laut Majapahit yang terletak di Surabaya dimasukkan ke dalam kekuasaan Pangeran Ali Rahmatullah. Itu berarti, kekuatan laut Majapahit telah diserahkan kepada orang asing yang beragama Islam. Sehingga, cepat atau lambat orang-orang Islam bakal meluluhlantakkan kerajaan warisan Prabu Kertarajasa Jayawarddhana itu.

Seiring memanasnya keadaan akibat semakin meluasnya fitnah yang disebar Dyah Wijayakumara, kecurigaan terhadap langkah-langkah kebijakan Sri Prabu Kertawijaya pun makin menajam. Sejak peristiwa pelantikan bupati Surabaya, hampir setiap mata dan telinga di kutaraja seolah-olah diarahkan untuk mengawasi setiap kebijakan, ucapan, tindakan, dan bahkan gerak-gerik Sri Prabu Kertawijaya. Setiap mata dan telinga kerabat maharaja, juga mata dan telinga nayakapraja, juga mata dan telinga dayang-dayang, juga mata dan telinga para pemikul tandu, semuanya, tiba-tiba mengawasi maharajanya dengan penuh kecurigaan dan kebencian.

Puncak ketidakpuasan, kebencian, dan kecurigaan terhadap Sri Prabu Kertawijaya akhirnya meledak juga menjadi malapetaka bagi Majapahit. Menurut cerita, kira-kira dua tahun setelah kematian Darawati, tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba maharaja tua itu mengikrarkan diri memeluk Islam di bawah bimbingan saudagar muslim asal negeri Cina, Abdurrahman Tan King Ham. Kabar keislaman maharaja Majapahit itu segera menyulut kegemparan di kutaraja Majapahit dan juga daerah-daerah yang jauh dari ibu kota.

Dyah Wijayakumara beserta putera-puteri dan menantunya sambil tersenyum-senyum mencermati perkembangan berita yang menggemparkan itu. Bagaikan kawanan singa yang tengah mengintai, mereka menunggu kesempatan lengahnya calon mangsa. Saat mereka melihat waktu yang tepat untuk menerkam mangsa sudah datang, dengan didukung sejumlah pejabat Majapahit yang terbakar api amarah, mengamuklah mereka di Bangsal Manguntur. Mereka tahu, pada saat mereka mengamuk para pengawal yang sudah terhasut dan tidak puas itu telah meninggalkan maharajanya seorang diri.

Menurut cerita para adipati pesisir, dalam keadaan tanpa pengawal seorang pun Sri Prabu Kertawijaya yang sudah tua dikepung beramai-ramai oleh Dyah Wijayakumara serta pengikut-pengikutnya. Mereka kemudian mendaulat Sri Prabu Kertawijaya agar turun takhta saat itu juga. Dyah Wijayakumara beralasan apa yang ia lakukan itu adalah demi keselamatan Majapahit.

Ternyata Sri Prabu Kertawijaya tidak memenuhi tuntutan Dyah Wijayakumara. Ia bangkit dari singgasana dengan menghunus keris pusaka Kyai Nagasasra. Namun, apalah daya seorang maharaja tua di tengah kepungan orang-orang yang sudah dirasuk amarah itu. Dengan tanpa kenal belas kasihan para pengepung beramai-ramai menghujani tubuh maharaja dengan panah. Gugurlah maharaja tua itu di Bangsal Manguntur dengan puluhan anak panah menghiasi tubuhnya. Tragedi kematian Sri Prabu Kertawijaya yang memilukan itu diabadikan dengan nama Anumerta Prabu Angkawijaya, yang bermakna �Maharaja yang gugur laksana Raden Angkawijaya, putera Arjuna.� Sri Prabu Kertawijaya dikebumikan secara Islam di Kertawijayapura, tidak jauh dari makam istrinya, Ratu Darawati.

Seperti sudah bisa diduga, sepeninggal Sri Prabu Kertawijaya naiklah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan sebagai maharaja Majapahit. Ia ditabalkan dengan nama Abhiseka Sri Prabu Rajasawarddhana. Namun, sejarah kemudian mencatat bahwa Sri Prabu Rajasawarddhana bukanlah pewaris takhta Majapahit yang bisa dibandingkan dengan Sri Prabu Kertawijaya dalam segala hal. Ia maharaja yang lemah. Gemilang kemewahan, sanjungan, dan penghormatan berlebihan telah menambah parah kelemahannya. Kenyataan kemudian menunjukkan betapa ia tidak cukup kuat menahan badai perlawanan yang timbul akibat kematian Prabu Kertawijaya.

Kerabat kerajaan yang menjadi anggota rajasabha (majelis raja) belum utuh mengakuinya sebagai maharaja Majapahit. Hal itu masih disusul oleh munculnya gelombang perlawanan dari putera-puteri, saudara, menantu, besan, dan para pengikut setia Prabu Kertawijaya sehingga terseretlah Sri Prabu Rajasawarddhana yang lemah itu ke dalam pusaran masalah yang membingungkan. Sebagai raja yang lemah dan berwawasan sempit, ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah yang sedang membelitnya. Tinta hitam sejarah kemudian mencatat, belum genap dua tahun berkuasa di atas takhta Majapahit, di tengah amukan badai yang bertiup dari segala arah, Sri Prabu Rajasawarddhana tiba-tiba hilang ingatan. Gila!

Para anggota rajasabha dan pejabat-pejabat kerajaan yang mendukung Sri Prabu Rajasawarddhana mulai cemas ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana maharaja Majapahit yang mereka dukung itu mulai sering mengomel dan tertawa sendiri. Mereka sadar, usaha apa pun yang akan mereka lakukan untuk menutupi kenyataan tidak akan bisa membendung berita-berita tentang sang maharaja yang hilang ingatan. Aib memalukan itu akhirnya menyebar sebagai berita menggemparkan ketika pecah peristiwa berdarah di Bangsal Manguntur saat diadakan pasewakan agung. Menurut para saksi mata, tanpa hujan tanpa angin, tanpa sebab dan tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Sri Prabu Rajasawarddhana mengamuk dan mengakibatkan beberapa orang pengawal dan dayang terbunuh.

Para putera dan menantu Sri Prabu Rajasawarddhana berusaha meredam berita dengan mengancam akan menghukum mati mereka yang hadir di pasewakan agung jika menyebar-nyebarkan peristiwa memalukan itu. Kemudian untuk menyembuhkan ingatan ayahandanya, mereka menghibur dan mengajak ayahandanya bercengkrama di atas perahu yang berlayar di segara (danau buatan) yang terletak di selatan kraton. Mereka berharap usaha itu akan berhasil menyembuhkan ayahandanya. Namun, tanpa terduga sang maharaja yang sudah hilang ingatan itu melemparkan dirinya ke tengah segara hingga tewas.

Menurut catatan, Sri Prabu Rajasawarddhana diperabukan dengan upacara besar. Abunya kemudian didharmakan di Sepang. Saat dilakukan upacara sraddha untuk menyucikan arwahnya, putera-puteri dan menantunya mengadakan pesta besar dengan persembahan perahu bunga (banawa sekar) yang indah dan peristiwa itu diabadikan sebagai kidung oleh Pu Tanakung. Sementara itu, untuk mengenang peristiwa kematiannya yang tragis, para kerabat kerajaan, terutama para keturunan Sri Prabu Kertawijaya memberinya gelar kebesaran yang bersifat mengejek, yaitu Bhre Pamotan Sang Sinagara (Jawa Kuno: Bhre Pamotan yang melemparkan diri ke segara).

Setelah kematian Sri Prabu Rajasawarddhana, Majapahit terseret ke dalam arus kekacauan yang membingungkan. Kutaraja Majapahit yang selama berbilang abad selalu tenang, aman, dan tenteram berubah menjadi tempat penuh penjarahan, perampokan, pencurian, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang tak terkendali. Tragisnya, para pelaku kejahatan itu bukan hanya para bromocorah, melainkan yang tak kalah ganas dan brutal adalah para prajurit kerajaan yang terhimpit kemiskinan akibat tidak menerima upah. Majapahit benar-benar terpuruk dalam kekacauan dan ketidakpastian. Sementara itu, para pewaris takhta terus berselisih memperebutkan mahkota seolah tidak sadar bahwa tengara kebinasaan sedang mengintai mereka.

Setelah tiga tahun diombang-ambingkan kekacauan dan ketidakpastian tanpa maharaja, akhirnya para kerabat kerajaan, terutama yang menjadi anggota rajasabha, sadar bahwa apa pun yang terjadi Majapahit wajib memiliki maharaja. Para anggota rajasabha kemudian sepakat menunjuk putera Sri Prabu Kertawijaya yang lahir dari Rani Daha sebagai pewaris takhta, yakni Dyah Suryyawikrama Bhre Wengker. Dyah Suryyawikrama diangkat menjadi maharaja Majapahit dengan nama Abhiseka Hyang Purwawisesa.

Naiknya Hyang Purwawisesa ke puncak takhta Majapahit berhasil meredam gejolak. Namun, keadaan Majapahit benar-benar terpuruk dan membutuhkan perjuangan keras untuk menatanya kembali. Itu sebabnya, hampir seluruh waktu Hyang Purwawisesa digunakan untuk menata pemerintahan baru yang porak-poranda. Mula-mula ia tangani hal-hal yang terkait dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di ibu kota. Setelah itu ia adakan perbaikan militer. Namun, usaha itu terbentur berbagai rintangan karena perekonomian buruk dan terutama mental pejabat yang keropos. Lantaran sibuk menata ibu kota yang sarat berisi pejabat berakhlak bejat dan berjiwa bobrok maka kerajaan-kerajaan bawahan yang jauh dari ibu kota tak terhiraukan. Kerajaan-kerajaan itu banyak yang diam-diam melepaskan diri dari Majapahit.

Menata kembali Majapahit yang dipenuhi pejabat berjiwa kerdil, berakhlak bejat, berjiwa bobrok, berwawasan sempit, dan berpandangan dangkal bukanlah pekerjaan yang ringan. Hari demi hari dilalui Hyang Purwawisesa dengan kerja keras yang sangat menguras tenaga. Usai berjuang keras selama hampir sepuluh tahun, Hyang Purwawisesa jatuh sakit dan akhirnya mangkat dalam usia yang belum setengah abad. Hyang Purwawisesa diperabukan dan dicandikan di dalam Puri.

Sepeninggal Hyang Purwawisesa tiba-tiba muncul Bhre Pandan Salas, seorang anak muda yang berambisi tinggi dan mamiliki banyak pengikut di ibu kota. Bhre Pandan Salas merasa berhak atas takhta Majapahit karena ayahandanya, Bhre Parameswara, merupakan suami Prabu Stri Suhita. Dalam sebuah musyawarah singkat yang dihadiri sebagian kecil anggota rajasabha, terutama para kerabat yang mendukungnya, disepakatilah bahwa Bhre Pandan Salas menjadi maharaja Majapahit menggantikan Hyang Purwawisesa.

Kemunculan Bhre Pandan Salas yang mendadak langsung menimbulkan badai perlawanan dari berbagai penjuru. Para kerabat kerajaan, terutama kekuatan yang mendukung keturunan Sri Prabu Kertawijaya, menolak pengangkatan Bhre Pandan Salas sebagai maharaja Majapahit. Akhirnya, tidak sampai dua tahun memerintah, terjadi kerusuhan besar yang menyebabkan Bhre Pandan Salas melarikan diri dari ibu kota.

Setelah Bhre Pandan Salas lari, rajasabha memutuskan yang berhak menjadi maharaja Majapahit adalah Dyah Suraprabhawa, putera Sri Prabu Kertawijaya dengan Rani Pandan Salas. Dyah Suraprabhawa saat itu sudah berusia setengah abad. Dyah Suraprabhawa naik takhta dengan gelar Sri Adi-Suraprabhawa Singhawikramawarddhana Giripati Prasutabhupatiketubhuta. Di bawah kepemimpinan Sri Adi-Suraprabhawa, keamanan dan ketenteraman ibu kota dapat dicapai. Namun seperti Hyang Purwawisesa, ia tidak dapat mencegah lepasnya kerajaan-kerajaan kecil yang jauh dari ibu kota.

Selama menduduki takhta Majapahit, Sri Adi-Suraprabhawa melanjutkan sejumlah kebijakan yang sudah dilakukan oleh ayahandanya, Sri Prabu Kertawijaya. Ia sadar bahwa jaringan kekuatan Islam yang sudah terbentuk harus lebih diperkuat. Itu sebabnya, tak lama setelah dilantik ia memanggil Pangeran Ali Rahmatullah, bupati Surabaya, dan kakaknya, Pangeran Ali Murtadho, Ratu Pandhita Gresik, ke Majapahit untuk membicarakan perbaikan hubungan antara pihak kerajaan dan kekuatan-kekuatan Islam di pesisir.

Tidak ada yang tahu apa isi pembicaraan Sri Adi-Suraprabhawa dengan Pangeran Ali Rahmatullah dan Pangeran Ali Murtadho. Orang hanya mengetahui dan mencatat bahwa pada awal kekuasaan Sri Adi-Suraprabhawa itu Pangeran Ali Murtadho dinaikkan kedudukannya dari imam masjid menjadi syahbandar di Gresik. Puteranya yang bernama Zainal Abidin diangkat menjadi adipati di Gresik. Puteranya yang lain yang bernama Yusuf Shiddiq diangkat menjadi adipati Siddhayu. Putera Pangeran Ali Rahmatullah yang bernama Pangeran Mahdum Ibrahim diangkat menjadi adipati Lasem. Selain itu, Raden Paku, cucu buyut mendiang Bhre Wirabhumi, diangkat menjadi nrpati di Giri dengan gelar Prabu Satmata (Jawa Kuno: nama Syiwa, Sang Girinatha, Raja Gunung).

Kebijakan lain yang dijalankan oleh Sri Adi-Suraprabhawa untuk meningkatkan hubungan baik dengan kekuatan Islam adalah mengangkat Raden Patah, saudaranya lain ibu, menjadi pecat tandha di Bintara, yakni pejabat bawahan adipati Demak, Lembusora. Raden Kusen, putera Ario Damar, kemenakannya yang belajar ilmu pemerintahan dan agama kepada bupati Surabaya, diangkat menjadi pecat tandha di Terung. Sri Adi-Suraprabhawa juga mengangkat Syaikh Suta Maharaja, saudaranya lain ibu, menjadi adipati Kendal. Bhattara Katwang, juga saudaranya lain ibu, adik kandung Hyang Purwawisesa, diangkat menjadi adipati Samarang.

Usaha Sri Adi-Suraprabhawa melanjutkan kebijakan ayahandanya ternyata dimanfaatkan oleh putera-puteri dan menantu Bhre Pamotan Sang Sinagara untuk menikamnya. Dengan mengulang kembali siasat lama � menyebarkan kasak-kusuk bahaya Islam dan kehancuran Majapahit � mereka berusaha menyusun kekuatan untuk menyingkirkan Sri Adi-Suraprabhawa dari takhta Majapahit. Demikianlah, saat merasa kekuatannya telah besar, putera-puteri dan menantu Bhre Pamotan Sang Sinagara melakukan pemberontakan. Ibu kota dibikin kacau. Sri Adi-Suraprabhawa melakukan perlawanan. Dengan tubuh penuh luka ia dan sebagian prajuritnya yang setia keluar dari ibu kota menuju Daha, namun ia mangkat di perjalanan.

Seperti sudah bisa diduga, yang menggantikan Sri Adi-Suraprabhawa sebagai maharaja Majapahit adalah Bhre Kretabhumi, putera Bhre Pamotan Sang Sinagara. Dengan dibantu saudara-saudaranya, Bhre Kretabhumi berusaha keras memantapkan kekuasaan sebagai maharaja Majapahit. Namun, tantangan dari kerabat kerajaan terutama dari keturunan Sri Prabu Kertawijaya dan Sri Adi-Suraprabhawa sangatlah keras. Ario Damar, adipati Palembang, tegas-tegas menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi. Tak lama sesudah itu Andayaningrat, adipati Pengging, menantu Sri Prabu Kertawijaya, ikut menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi.

Tindakan penguasa Palembang dan Pengging yang mewakili keturunan Sri Prabu Kertawijaya diikuti oleh Syaikh Suta Maharaja, adipati Kendal. Setelah itu Bhattara Katwang juga ikut menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi. Gerakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi tampaknya terus bergulir diikuti oleh para penguasa daerah lain yang mendukung keturunan Sri Prabu Kertawijaya.

Menyadari perubahan situasi yang tidak menguntungkan, Bhre Kretabhumi berusaha mencegah agar sikap menolak kepemimpinannya itu tidak berlanjut. Untuk itu, ia melakukan upaya memecah kekuatan para penentang dengan siasat �belah bambu�. Ia menitahkan adipati Pengging dan adipati Demak yang bernama Lembusora untuk menyerang Samarang dengan tuduhan makar. Andayaningrat tidak berani menentang titah maharaja Majapahit kemudian mengirim pasukan Pengging untuk mendukung kekuatan Demak. Dalam sebuah serangan mendadak yang dilakukan pasukan Demak dan Pengging, Bhattara Katwang melarikan diri dari kadipaten dan terus diburu oleh prajurit-prajurit Demak. Sayyid Waly al-Islam yang ikut mempertahankan Samarang, terbunuh dalam pertempuran. Sementara Syaikh Suta Maharaja, adipati Kendal, terluka dalam pertempuran lari ke muara dan meninggal di perjalanan. Lembusora kembali ke kadipaten Demak dengan membawa kemenangan besar.

Peristiwa penyerbuan pasukan Demak yang dipimpin Lembusora ke Samarang dengan cepat menyulut amarah putera-puteri Sri Prabu Kertawijaya. Mereka paham Bhre Kretabhumi bukanlah maharaja yang kuat dan tangguh. Itu sebabnya, mereka serentak menyatakan bela pati atas kematian dua orang saudara mereka, Syaikh Suta Maharaja dan Bhattara Katwang. Ario Damar membawa armada besar dari Palembang dan mendaratkan pasukan di Samarang (tempat mendarat itu kemudian disebut Pedamaran). Raden Patah dengan dibantu sepupunya, Ki Wanasalam, memimpin orang-orang Bintara dan Glagah Arum untuk memberontak terhadap atasannya, adipati Demak, Lembusora. Raden Kusen membawa pasukan dari Terung dan Surabaya ke Demak. Bahkan Adipati Andayaningrat yang merasa bersalah tiba-tiba mengirimkan pasukan Pengging untuk ikut menghukum Lembusora.

Diserbu beramai-ramai dari segala penjuru, Lembusora tak mampu melawan. Seluruh prajurit pengawal sang adipati yang gagah berani tewas terbunuh tanpa sisa. Lembusora sendiri terbunuh di dalam Balai Kadipaten Demak. Lembu Peteng, putera Lembusora yang masih kecil, kemudian dipungut sebagai anak angkat oleh Raden Patah.

Setelah berhasil menguasai Kadipaten Demak, Ario Damar sebagai sesepuh keturunan Sri Prabu Kertawijaya menetapkan Raden Patah menggantikan kedudukan Lembusora menjadi adipati Demak. Sementara itu, karena Bhattara Katwang hanya memiliki seorang puteri yang belum menikah, yaitu Sekar Kedaton, maka dinikahkanlah puteri itu dengan puteranya, Raden Sahun, yang masyhur disebut Pangeran Pandanarang. Lantaran pernikahan itu, Raden Sahun menggantikan kedudukan mertuanya, Bhattara Katwang, sebagai adipati Samarang. Sementara itu, kedudukan adipati Kendal diberikan kepada putera Syaikh Suta Maharaja, Pangeran Gandakusuma.

Menghadapi kekuatan putera-puteri Sri Prabu Kertawijaya, yang terbukti bersatu dan dengan mudah meluluhlantakkan Demak dan menewaskan Lembusora, Bhre Kretabhumi sadar bahwa ia tidak cukup kuat melawan mereka. Itu sebabnya, ia melakukan siasat merangkul lawan dengan mengakui Raden Patah sebagai adipati Demak menggantikan Lembusora. Sebagai bukti pengakuannya, Raden Patah dinyatakan sebagai putera angkatnya dan dianugerahi gelar Arya Sumangsang.

Sesungguhnya, di balik tindakan menunjuk Arya Sumangsang sebagai putera angkatnya, Bhre Kretabhumi justru ingin menghancurkan adipati Demak yang baru itu. Caranya, dengan menerapkan siasat lama, yaitu menempatkan sang adipati Demak sebagai sasaran bidik fitnah. Pertama-tama dengan anugerah nama Arya Sumangsang itu (Jawa Kuno: bangsawan tersangkut, ningrat tempelan), kedudukan adipati Demak yang baru itu sudah jelas tampak berbeda dalam pandangan para bangsawan Majapahit.

Setelah itu, sesuai keahliannya, Bhre Kretabhumi menyebar kasak-kusuk menuduh adipati Demak yang berdarah campuran Majapahit-Sunda-Cina-Palembang sebagai calon maharaja yang bakal menghancurkan Majapahit dari dalam. Bahkan lafal Demak (Jawa Kuno: hadiah) yang semula bermakna �ganjaran untuk tunjangan keluarga raja�, telah disimpangkan menjadi lafal nDemak (Jawa Kuno: menyerang) yang bermakna �menyerang dengan mendadak�.

Nah, dengan siasat lamanya itu Bhre Kretabhumi merasa tenang karena kedudukan Arya Sumangsang sudah �terpaku,� tidak bisa bergerak dengan leluasa untuk mengembangkan kekuasaan. Sebab para penguasa di sekitar Demak � yang masih segar ingatannya pada peristiwa penyerbuan Lembusora � akan bersiaga melindungi diri dari kemungkinan serangan mendadak adipati Demak yang baru itu. Itu berarti, Arya Sumangsang tidak akan gegabah melakukan kekerasan bersenjata untuk merebut takhta Majapahit karena harus berhadapan dengan kadipaten-kadipaten di sekitarnya.

Read More ->>

SANDYAKALA MAJAPAHIT

Sandyakala Majapahit

Abdul Jalil meninggalkan Caruban Larang dengan disertai Abdul Malik Israil, Syarif Hidayatullah, Raden Qasim, tiga puluh tiga murid Paguron Lemah Abang, dan sembilan belas santri Giri Amparan Jati. Ketika ia memasuki kadipaten-kadipaten yang pada masa lalu merupakan bagian Majapahit, sadarlah dia bahwa di balik segunung masalah yang sangat sulit dipecahkan di Caruban Larang itu sesungguhnya terhampar kemudahan di tempat yang selama ini dibayangkannya jauh lebih berat dibandingkan Caruban Larang. Kenyataan tak tersangka-sangka itu dialaminya ketika ia menghadap para adipati muslim yang menjadi penguasa di sepanjang pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan menerima sesuatu yang tidak asing, para raja muda itu menyambut dengan suka cita gagasan masyarakat ummah yang ditawarkan Abdul Jalil.

Memang, bagi setiap muslim yang memahami makna Kebenaran Islam secara benar, gagasan Abdul Jalil untuk menegakkan tatanan baru masyarakat ummah bukanlah sesuatu yang sama sekali baru dan asing. Sebab, kisah hidup Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya bukanlah sesuatu yang terpisah sama sekali dari ajaran Islam. Perikehidupan mereka sebagai pemimpin umat telah menjadi bagian dari harapan ideal yang diabadikan dalam kitab-kitab dan dilegendakan dari mulut ke mulut. Gagasan kekalifahan, diakui atau tidak, telah menjadi bayangan indah yang ingin diwujudkan oleh setiap muslim yang benar-benar memahami makna keislaman. Dan lantaran itu, tanpa kesulitan berarti para adipati muslim di sepanjang pesisir utara Nusa Jawa tidak sekadar menerima gagasan masyarakat ummah, tetapi bahkan menyatakan dukungan untuk mewujudkannya dalam kehidupan penduduk di wilayahnya masing-masing.

Mula-mula Abdul Jalil mendapat dukungan dari Pangeran Gandakusuma, Adipati Kendal, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera adipati pertama, Syaikh Suta Maharaja. Adipati yang juga kakak lain ibu Siti Zainab, istri Abdurrahman Rumi, ternyata sudah mendengar gegap gempita perubahan tatanan baru di Caruban Larang berdasarkan penuturan orang-orang Kendal yang tinggal di sana. Sebagai bukti penerimaan dan dukungannya, sang adipati menghadiahi Abdul Jalil tanah shima seluas 70 jung (196 hektar) yang terletak di antara Sungai Wela dan Sungai Salak. Tanah shima itu adalah tanah perbatasan yang diperebutkan antara adipati Bojong (Tegal), Pangeran Danaraja. Itu berarti, keberadaan tanah itu sebagai shima masih membutuhkan persetujuan dari adipati Bojong.

Abdul Jalil menempatkan sembilan santri Lemah Abang dan Giri Amparan Jati serta membuka pemukiman baru dan mengatur pembagian tanah garapan kepada penduduk yang ingin tinggal di situ. Sesuai petunjuk Sri Mangana, tugas utama mereka adalah menegakkan tatana sebagaimana yang berlaku di Lemah Abang, Japura. Mereka diharapkan dapat mempengaruhi penduduk desa sekitar dengan tatanan baru tersebut.

Dukungan adipati Kendal ternyata tidak hanya pemberian hadiah tanah shima. Sekitar 500 orang prajurit pilihan dikirimnya ke Caruban Larang untuk membantu perjuangan kalifah dan memberikan semangat kepada warga Kendal di Caruban Larang. Sang adipati tampaknya sadar bahwa warga Kadipaten Kendal yang tinggal di Caruban Larang berjumlah ribuan orang, terutama warga asal Kendal, Magelung, Getas, Pandes, dan Gebang. Sehingga, menurut sang adipati, kehancuran kalifah Caruban Larang akan bermakna kehancuran pula bagi warga Caruban Larang asal Kendal. Sebelum pergi meninggalkan kadipaten, Abdul Jalil mendapat kepastian bahwa sang adipati akan segera mewujudkan gagasan masyarakat ummah di Kadipaten Kendal.

Usai dari Kendal, Abdul Jalil dan rombongan menghadap adipati Samarang, Raden Sahun ibnu Abdillah, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera Ario Abdillah, adipati Palembang. Tanpa kesulitan berarti, adipati yang dikenal dengan sebutan Pangeran Pandanarang (nama tempat di dekat Langkat, Sumatera Selatan) menerima gagasannya dan menyatakan dukungan penuh, terutama setelah Abdul Jalil mengaku putera Ki Danusela, kuwu Caruban, dan murid ruhani almarhum Yang Mulia Ario Abdillah.

Raden Sahun adalah saudara lain ibu Raden Kusen. Ibunya yang bernama Nyimas Sahilan merupakan puteri Syarif Husein Hidayatullah, keturunan Arab yang menjadi pemuka penduduk Usang Sekampung. Lantaran perkawinan ibundanya dengan Ario Abdillah maka kakeknya diangkat menjadi bangsawan Palembang dengan gelar Menak Usang Sekampung. Boleh jadi karena ibundanya berdarah Arab maka Raden Sahun memiliki tubuh lebih tinggi, hidung lebih mancung, kumis dan cambang lebih lebat, serta suara yang lebih lantang dibandingkan orang-orang di sekitarnya.

Sekalipun ketampanan dan kegagahan Raden Sahun pada usianya yang hampir setengah abad itu tak tertandingi oleh orang-orang di sekitarnya, sungguh aneh ketika orang mengetahui bahwa sang adipati ternyata memiliki satu istri, yaitu sang permaisuri. Ya, hanya satu permaisuri tanpa selir seorang pun. Hal itu tidak lazim bagi seorang adipati. Kata orang, sesungguhnya sang adipati tidak berani memiliki selir karena takut dengan sang permaisuri. Pasalnya, sang permaisuri yang bernama Sekar Kedhaton itu adalah puteri Bhattara Katwang, adipati Samarang pertama. Sehingga, Raden Sahun merasa lebih �randah� kedudukannya dibandingkan istrinya. Namun, dengan hanya memiliki satu istri, tidak menjadikan sang adipati itu sedih dan malu. Sebaliknya, ia sangat memuji-muji istrinya yang setia dan telah memberinya lima putera, yaitu Pangeran Mangkubhumi, Pangeran Ketib, Pangeran Bojong, Nyimas Ilir, dan Pangeran Wotgalih.

Sebagaimana yang dilakukan adipati Kendal, sang adipati Samarang pun menghadiahi Abdul Jalil sebidang tanah shima seluas 90 jung (252 hektar), tepatnya di jalur selatan Kadipaten Samarang ke arah Pengging. Tanah shima itu dinamai Dukuh Lemah Abang. Di situ Abdul Jalil meninggalkan lagi sembilan orang santri untuk mengatur pembagian tanah bagi penduduk yang ingin menetap. Demikianlah, tanpa mengalami hambatan berarti, gagasan Abdul Jalil tentang masyarakat ummah diterima dan didukung oleh seluruh penguasa pesisir utara Nusa Jawa seperti adipati Demak, Raden Patah; adipati Pati, Raden Kayu Bralit; adipati Lasem, Pangeran Mahdum Ibrahim; adipati Tuban, Arya Sidik; adipati Siddayu, Pangeran Yusuf Shiddiq; adipati Gresik, Pangeran Zainal Abidin; ratu Giri, Prabu Satmata; dan bupati Surabaya, Pangeran Ali Rahmatullah.

Sesungguhnya, di balik penerimaan dan dukungan terhadap gagasan masyarakat ummah oleh para penguasa muslim di sepanjang pesisir utara Nusa Jawa itu bukan sekadar dilatari oleh kuatnya ghirah keislaman untuk mewujudkan khilafah Islamiyyah sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya. Sebab, jauh di relung-relung jiwa para penguasa tersebut tersembunyi rasa muak dan jijik terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya yang carut-marut dengan nilai-nilai yang jungkir balik membingungkan.

Para adipati dan bupati muslim yang tinggal di bekas wilayah Majapahit merasakan jepitan keadaan yang semrawut seiring mundurnya kerajaan tua itu. Bagaikan hidup di negeri asing dengan nilai-nilai yang rancu, mereka menyaksikan kebejatan dan kebobrokan perilaku manusia terpampang di depan mata. Hari-hari mereka lewati dengan menyaksikan manusia menjadi binatang bagi sesamanya. Di tengah ketercekikan mereka oleh keadaan yang tidak menentu itu, hadirnya sebuah tawaran tentang tatanan baru yang disebut masyarakat ummah yang bertolak dari usaha meneladani kepemimpinan dan kekuasaan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya, tentunya menjadi keniscayaan yang tak bisa mereka ingkari.

Gambaran kacau dan rancu tentang manusia bermoral bejat dan berjiwa bobrok setidaknya disaksikan sendiri oleh Abdul Jalil ketika masuk ke pedalaman Majapahit. Sejak menginjakkan kaki di Kadipaten Terung hingga masuk ke Daha melewati Citra Wulan, Wirasabha, ia benar-benar terperangah oleh kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, Abdul Jalil mendengar dan menyaksikan sendiri berbagai peristiwa yang menyesakkan dada itu berjungkir balik. Ujung dari semua simpulannya tentang berbagai peristiwa adalah muncul penilaiannya yang menyatakan betapa sesungguhnya tatanan hidup manusia di pedalaman Majapahit jauh lebih bejat dan lebih bobrok dibandingkan keadaan di pedalaman Bumi Pasundan.

Perempat awal abad kelima belas Saka

Rembang senja menghias di langit Majapahit. Gemilang matahari kebesaran tenggelam di balik samudera kehidupan. Malam yang gelap telah mengintai, dengan gumpalan awan hitam menggantung di cakrawala. Saat itu suasana menjadi remang-remang sehingga segala sesuatu yang berada di bawah langit menjadi samar-samar dan sulit dikenali tanpa bantuan cahaya penerangan.

Rembang senja yang remang-remang itu pula yang sejatinya sedang terjadi di cakrawala jiwa manusia-manusia yang mempermaklumkan dirinya sebagai bagian dari kebesaran dan keagungan Majapahit. Cahaya kebenaran yang menyinari hati mereka telah redup. Di tengah suasana hati yang remang-remang itu mereka tidak dapat lagi membedakan secara semestinya apa yang disebut baik dan buruk, benar dan salah, mulia dan hina, adil dan tidak adil, beradab dan biadab. Bahkan, di ambang kegelapan cakrawala jiwanya itu mereka telah menjelma menjadi hantu-hantu jahil yang liar, buas, kejam, rakus, licik , dan tengik.

Memang, di usia senjanya Majapahit bukan lagi sang surya yang memancarkan kebesaran dan keagungan bagi manusia. Surya Majapahit telah tenggelam ke dasar samudera kejahilan. Yang tersisa hanya hamparan kegelapan, tempat hantu-hantu dan setan gentayangan yang mengancam keselamatan manusia. Segala sesuatu yang tergelar di bawah langit Majapahit telah berubah. Segala sesuatu yang sebelumnya sangat dihargai dan dimuliakan tiba-tiba menjelma menjadi rongsokan tak berharga. Kebesaran, keagungan, kemuliaan, dan kehormatan yang pernah menjadi kebanggaan tiba-tiba berubah asing dan tak dikenal lagi. Kesucian dan keluhuran yang pernah menjadi dambaan tiba-tiba lenyap bagai tertelan bumi.

Kutaramanawa Dharmashastra � kitab perundang-undangan hukum Majapahit � yang selama beratus tahun dijunjung sebagai hukum suci, telah menjadi lembaran-lembaran keropos tak berharga. Sebab, para aparat penegak hukum seperti hakim (pamegat), jaksa (adhyaksa), penasihat hukum (panji), pengawal hukum (bhayangkara) telah menganggap nilai-nilai luhur keadilan yang menjiwai Kutaramanawa tidak lebih dari barang dagangan murah. Bagaikan pedagang kecil menjajakan barang dagangan di pasar, mereka berkeliling menawar-nawarkan pasal-pasal hukum dengan harga murah.

Akibat nilai-nilai luhur keadilan Kutaramanawa sudah diinjak-injak, dikencingi, dan diberaki oleh para aparat penegak hukum, kehidupan manusia pun berlangsung tanpa ditandai rambu-rambu dan aturan. Akibatnya, ketertiban, keamanan, ketenteraman, dan kedamaian menghilang dari permukaan bumi. Sebuah tindak kejahatan tidak lagi dianggap sebagai kejahatan jika pelaku kejahatan dapat membayar para aparat penegak hukum. Hukum hanya berlaku bagi kawula alit yang bodoh dan miskin. Para ningrat darah biru dan saudagar kaya berjalan melenggang di atas permadani ketidakbersalahan.

Karena nilai-nilai luhur Kutaramanawa telah menjadi barang dagangan yang memperkaya para aparat penegaknya, dan sebaliknya hukum menjadi malapetaka bagi kawula miskin yang hina dan papa, akhirnya lahir hukum jalanan yang diprakarsai kawula alit, yang jauh lebih kejam dari pasal-pasal Kutaramanawa. Jika di dalam Kutaramanawa terdapat pasal-pasal tindak pidana (astacorah) yang mengancam hukuman mati bagi pencuri dengan tambahan perampasan terhadap seluruh harta benda beserta anak-anak dan istrinya untuk dipersembahkan kepada raja, maka menurut hukum jalanan seorang pencuri harus dijatuhi hukuman picis; tubuhnya diikat dan ditempatkan di perempatan jalan. Setiap orang yang lewat di situ wajib menyayat tubuhnya dengan bambu tipis (welat) dan mengolesi bekas sayatan itu dengan larutan asam dan garam. Hukuman picis diberlakukan sampai si terhukum mati.

Hukum jalanan yang tak kalah kejam dari hukuman picis adalah hukum pendem. Seorang terhukum, konon, tubuhnya akan dipendam sebatas leher. Kepala terhukum digunduli. Setelah itu didatangkan puluhan ekor ayam kelaparan yang tidak diberi makan selama tiga hari. Kemudian, sambil bersorak-sorak orang-orang menaburkan butiran jagung ke atas kepala si terhukum yang menyembul di permukaan tanah. Hukuman ini diberlakukan sampai si terhukum mati. Namun apa pun namanya, semua hukum jalanan tetap diperuntukkan bagi kalangan kawula alit sendiri. Para ningrat berdarah biru dan orang-orang kaya pemilik uang tidak pernah menjadi korban hukum jalanan.

Coreng-moreng kehidupan Majapahit di usia senjanya tidak hanya mengubah citra agung dan luhur manusia menjadi keropos dan busuk, bahkan telah pula menjelmakan citra suci dan mulia ajaran agama menjadi wajah-wajah hantu yang menakutkan. Citra ajaran Syiwa-Budha yang luhur mulia yang selama beratus tahun memancar gemilang menerangi kebesaran dan keagungan Majapahit telah meredup dan tenggelam. Kejernihan Tauhid Syiwa-Budha telah keruh bercampur lumpur klenik kalangan jelata sehingga sulit dikenali lagi. Kemudian muncul wajah baru, agama ruh dan hantu yang rendah dan penuh dilingkari kepercayaan kalangan jelata yang sarat gegwantuhuwan (Jawa Kuno: takhayul) menyesatkan.

Pengetahuan Brahman (Brahmajnana) yang tinggi dan mulia, yang selama ratusan tahun menjadi ajaran Tauhid rahasia di perguruan-perguruan luhur Majapahit, telah pudar kehilangan makna. Sebagai ganti, muncul ajaran rendah kalangan jelata yang menyeret manusia pada pengingkaran terhadap kemuliaan manusia sebagai pengejawantahan Brahman. Tantra-sadhana yang selama ratusan tahun diyakini memiliki tujuan utama mencapai kesempurnaan (siddhi) telah kabur dan menyeleweng jauh. Yang kemudian dikenal sebagai penggantinya adalah ajaran-ajaran olah kanuragan yang hanya mengajarkan kesaktian dan kedigdayaan, yakni ajaran kalangan jelata yang memerangkap manusia pada sifat adigang-adigung, sapa sira sapa ingsun. Upacara pancamakara yang sakral dan rahasia tiba-tiba menjelma dalam bentuk upacara pemujaan bhairawa-bhairawi haus darah yang gemar menyantap wadal, tumbal, dan mayat.

Di ujung usia senjanya Majapahit benar-benar telah menjadi negara yang tidak berdaya, keropos, berkarat, busuk, dan bejat. Manusia-manusia yang membusuk di kerajaan tua itu bukan hanya mereka yang menjadi nayakapraja, melainkan mereka yang disebut pemuka agama pun ikut membusuk akibat mengikuti nilai-nilai rendah kalangan jelata yang bertentangan dengan kebenaran, akal sehat, kemuliaan, dan keadilan. Ibarat sebatang pohin yang diganyang kawanan ulat ganas, Majapahit perlahan-lahan tetapi pasti telah meranggas, keropos, membusuk, dan akan tumbang digeragoti zaman.

Menurut guru adiraja di Terung, kekuasaan Majapahit mulai terasa melemah ketika memasuki usia hampir dua abad. Hal itu diawali oleh rangkaian panjang yang sambung-menyambung dan susul-menyusul dari peristiwa perebutan takhta penuh warna kekerasan dan pertumpahan darah, laksana guncangan gempa telah merobohkan satu demi satu tiang-tiang penyangga kerajaan yang sudah tua.

Guncangan dahsyat yang awal sekali melanda Majapahit adalah saat terjadi pertempuran antara Bhre Wirabhumi, putera Prabu Hayam Wuruk dari selir yang menjadi penguasa Blambangan, dan Prabu Wikramawarddhana, menantu Prabu Hayam Wuruk. Perang perebutan takhta itu berlarut-larut dengan tempo lamban, bergerak maju dan berhenti, kemudian maju lagi (Jawa Kuno: paregreg). Perang paregreg inilah yang telah menguras kekuatan Majapahit dan perlahan-lahan meruntuhkan tiang-tiang penyangganya ke jurang kebinasaan.

Guncangan susulan terjadi saat Bhre Daha, putera Bhre Wirabhumi, mengangkat senjata hendak merebut takhta dari tangan Prabu Stri Suhita. Kekuatan Bhre Daha ditumpas oleh Ario Damar, putera Dyah Kertawijaya, adik tiri Prabu Stri Suhita. Namun, baru saja gerakan makar Bhre Daha ditumpas, Pasunggiri mengangkat senjata. Pasunggiri pun ditumpas oleh Ario Damar. Belum dingin api pergolakan di Pasunggiri, tiba-tiba kerajaan Gegel di Bali bergolak mengangkat senjata. Lagi-lagi Ario Damar berhasil meredamnya.

Kemunculan Ario Damar ke pentas sejarah Majapahit ternyata membangkitkan rasa takut sejumlah kerabat kerajaan yang berambisi menduduki takhta. Mereka bersekongkol mempengaruhi Prabu Stri Suhita agar menjauhkan Ario Damar dari ibu kota Majapahit dengan dalih diangkat menjadi adipati Palembang. Ario Damar bahkan dibebani tugas utama membawa kembali Palembang � yang sudah dikuasai para petualang Cina � ke pangkuan Majapahit. Keberadaan Ario Damar yang jauh dari ibu kota itu, diakui atau tidak, telah menjadikan Majapahit kehilangan salah satu tiang penyangganya.

Sesungguhnya tengara bakal terjadinya guncangan yang lebih dahsyat di Majapahit sudah sejak awal ditangkap oleh para bijak bestari. Menurut mereka, selama berkuasa, Prabu Stri Suhita lebih banyak berperan sebagai boneka bagi Bhre Parameswara, suaminya. Prabu Stri Suhita hampir tidak pernah menunjukkan keberadaan dirinya kepada dunia sebagai Maharaja agung Majapahit yang sebenarnya. Ia hanya menjadi bayang-bayang suaminya. Padahal, Bhre Parameswara bukan orang cerdas apalagi bijaksana. Hari-hari dari rentang kehidupan Bhre Parameswara lebih banyak diwarnai kemewahan, sanjungan, dan penumpukan kekayaan.

Akibat kegemaran Bhre Parameswara menikmati kemewahan, sanjungan, dan menumpuk kekayaan, berkerumunlah di sekitarnya para penjilat berakhlak bejat dan berjiwa bobrok. Bhre Parameswara yang bertubuh tambun dan berperut buncit telah menjadi tak lebih berharga dari sebongkah bangkai busuk yang dikerumuni lalat-lalat menjijikkan. Bagi Bhre Parameswara dan begundal-begundalnya, nilai kesetiaan, kejujuran, keteguhan, kesederhanaan, dan keberanian tidak lagi dijadikan ukuran utama untuk menilai keberadaan seorang abdi negara. Mereka yang paling pintar menyanjung, menjilat, dan menyenangkan hati atasan, itulah abdi negara yang dinilai terbaik dan terkasih.

Di tengah hiruk keadaan yang menyedihkan itu, tersingkirlah satu demi satu para kerabat kerajaan dan pejabat-pejabat unggul yang berjiwa luhur dan setia. Sebagai ganti, tampil pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan piawai menyediakan kemewahan bagi atasan. Manusia-manusia unggul seperti Ratu Angabhaya Bhre Narapati dihukum mati. Mahapatih Kanaka yang berwawasan luas dan berpandangan jauh kedepan dipensiun mendadak. Ario Damar, sang pahlawan perang yang tangguh dan tak terkalahkan disingkirkan jauh-jauh dari ibu kota.

Kebijakan menyingkirkan manusia-manusia unggul untuk diganti orang kebanyakan yang mencitrai kekuasaan Prabu Stri Suhita itu, disadari atau tidak disadari telah mengakibatkan merosotnya wibawa pemerintah. Sebab, pejabat-pejabat yang berasal dari kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan menyanjung itu umumnya manusia berjiwa kerdil yang tidak cerdas, sempit wawasan, dan picik pandangan. Mereka memang orang-orang yang patuh, setia, dan selalu menyenangkan atasan, namun mereka bukanlah orang-orang berjiwa besar yang memahami makna kebesaran, keagungan, dan kemuliaan.

Jauh hari sebenarnya sudah banyak yang meramalkan akhir kekuasaan Prabu Stri Suhita akan diwarnai guncangan dahsyat yang mungkin akan mengantarkan Majapahit ke jurang keruntuhan. Sebab, kenyataan menunjukkan betapa sejak Prabu Stri Suhita menikah dengan Bhre Parameswara, hingga usia tua mengintai, tidak dikaruniai seorang pun keturunan. Itu berarti, jika Prabu Stri Suhita mangkat akan terjadi ketegangan di antara kerabat kerajaan untuk menentukan hak pewarisan atas takhta kerajaan Majapahit.

Sesungguhnya, meski Prabu Stri Suhita tidak berketurunan, ia masih memiliki dua adik lelaki dari selir-selir ayahandanya, Prabu Wikramawarddhana. Yang pertama, Dyah Kertawijaya. Yang kedua, Bhre Tumapel. Itu berarti, menurut ketentuan yang berlaku umum, sepeninggal Prabu Stri Suhita, yang berhak mewarisi takhta kekuasaan Majapahit adalah Dyah Kertawijaya karena usianya jauh lebih tua dibandingkan Bhre Tumapel.

Sekalipun ketentuan umum menetapkan pewaris takhta sepeninggal Prabu Stri Suhita adalah Dyah Kertawijaya, dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Masalah utama yang dianggap mengganjal oleh kaluarga kerajaan adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa selir Prabu Wikramawarddhana yang melahirkan Dyah Kertawijaya merupakan perempuan berdarah Sunda, puteri Rakryan Pitar, salah seorang mantri pakira-kiran Sri Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sang Mokteng Bubat, maharaja Sunda yang terbunuh di Bubat. Rakryan Pitar merupakan perwira pengikut maharaja Sunda yang selamat dari malapetaka Bubat dan kemudian mengabdi kepada Prabu Singhawarddhana, Bhre Paguhan, yakni ayahanda Prabu Wikramawarddhana.

Dyah Kertawijaya rupanya sadar bahwa pergantian kekuasaan di Majapahit setelah Prabu Stri Suhita meletakkan takhta akan mengalami keruwetan yang menimbulkan perpecahan, terutama yang naik takhta Majapahit adalah dirinya. Hal itu setidaknya sudah disadarinya sejak kakak tirinya, Prabu Stri Suhita, memegang tampuk kekuasaan menggantikan ayahandanya. Sebagai calon pewaris takhta Majapahit, ternyata ia tidak memperoleh gelar tituler apa pun dari Prabu Stri Suhita. Sementara itu, adiknya dianugerahi gelar tituler Bhre Tumapel. Ia tahu semua itu akibat keberadaan dirinya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda.

Tengara terjadinya guncangan dahsyat yang ditangkap Dyah Kertawijaya mulai terasa setelah Prabu Stri Suhita mangkat dan ia naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Saat itu, seperti perulangan peristiwa lama pengangkatan Jayanegara, maharaja berdarah campuran Majapahit-Dharmasraya, merebaklah kasak-kusuk di lingkaran kerabat maharaja dan pejabat-oejabat kerajaan yang tidak puas menerima Sri Prabu Kertawijaya sebagai maharaja Majapahit. Mereka seolah-olah tidak utuh menerima kehadiran pangeran berdarah campuran Majapahit-Sunda itu menduduki takhta yang dibangun oleh keringat dan darah orang-orang Singasari.

Dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak kalangan keluarga kerajaan yang tidak menghendakinya duduk di atas takhta Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya berusaha memperoleh dukungan dari berbagai pihak yang dianggapnya dapat memperkuat kedudukannya. Dalam upaya memperoleh dukungan itulah Sri Prabu Kertawijaya melakukan kesalahan yang pernah dilakukan Prabu Stri Suhita.

Sebagai seorang manusia, Sri Prabu Kertawijaya memang tidak luput dari sifat lalai. Itu terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dilakukannya saat menjadi maharaja Majapahit. Entah sadar entah tidak, kesalahan Prabu Stri Suhita yang sudah ia ketahui akibat buruknya itu justru dilanjutkannya. Tanpa pertimbangan yang matang ia mengangkat pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan. Ia beranggapan pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan terkenal akan kesetiaan dan kepatuhannya. Di atas semua pertimbangan, meski menduduki jabatan yang tinggi sekalipun, mereka tidak akan mungkin merebut takhta Majapahit.

Pertimbangan Sri prabu Kertawijaya ternyata keliru. Hal itu menimbulkan sakit hati para ningrat darah biru Majapahit. Dan yang lebih parah, para pejabat yang berasal dari kalangan orang kebanyakan itu ternyata tidak memiliki pandangan jauh ke depan, juga tidak pula memiliki naluri kebesaran dan keagungan. Cakrawala pemikiran mereka umumnya sangat sempit. Setinggi apa pun jabatan yang mereka pegang ternyata tidak banyak mengubah cara pikir, cara pandang, dan cara hidup mereka. Sejauh-jauh mereka memandang ke depan hanya kepentingan pribadi dan kepentingan keluarga mereka saja yang terlihat. Ketika ada pihak lain yang bersedia memberikan tawaran yang lebih menguntungkan baik itu berupa jabatan, tanah, perempuan cantik, atau sekadar uang maka mereka pun dengan mudah terbeli dengan imbalan yang murah.

Sri Prabu Kertawijaya memang lalai dalam hal mengangkat pejabat. Namun, harus diakui bahwa dialah satu-satunya generasi akhir pewaris takhta Majapahit yang memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan seperti para leluhurnya. Dialah satu-satunya maharaja Majapahit yang tanggap dengan perubahan-perubahan yang sedang terjadi di negerinya. Bahkan, dialah maharaja pertama yang berani menentang arus demi menyongsong perubahan. Dialah maharaja Majapahit pertama yang memberi kepercayaan besar kepada orang-orang Islam.

Menurut catatan para adipati di pesisir, sejak usia muda, dengan kecerdasan yang dimiliki ditambah wawasan yang luas, Sri Prabu Kertawijaya telah menangkap tengara bakal terjadi angin perubahan dahsyat yang menentukan hidup dan matinya Majapahit. Pertama-tama, ia menyaksikan kehadiran orang-orang muslim dengan ajaran Islam yang sederhana dan mengajarkan kesederajatan itu makin lama makin menguat pengaruhnya. Di kutaraja Majapahit, terutama di pesisir utara Nusa Jawa. Semakin lama ia mengamati pertumbuhan dan perkembangan orang-orang muslim, semakin sadarlah ia bahwa gelombang kehadiran Islam tidak akan bisa dibendung lagi.

Menurut perhitungan Sri Prabu Kertawijaya yang menerobos jauh ke depan, kehadiran ajaran Islam cepat atau lambat akan menjadi badai yang menyebabkan gelombang perubahan dahsyat. Gelombang perubahan dahsyat yang akan mengempaskan dan mengubur Majapahit ke dasar lautan sejarah selama-lamanya. Jika tidak dihadapi secara bijaksana, gelombang perubahan itu akan menimbulkan banyak korban sia-sia.

Kesadaran Prabu Kertawijaya itu setidaknya telah menjadikannya sebagai satu-satunya pewaris takhta Majapahit yang memiliki hubungan baik dengan orang-orang muslim. Melalui hubungan baik dengan orang-orang muslim itulah ia menguasai arus berita. Melalui orang-orang muslim itu pula ia bisa mengetahui berbagai perubahan yang sedang terjadi baik di wilayah Majapahit maupun di mancanegara. Semakin banyak berita yang diketahuinya, semakin luaslah cakrawala pandangnya dalam memahami kencangnya tiupan angin perubahan.

Hubungan Sri Prabu Kertawijaya dengan orang-orang muslim ternyata makin meluas dan tidak sekadar terkait dengan arus berita. Boleh jadi karena sering bertukar pikiran, ia diketahui sangat tertarik dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam. Nilai-nilai Islam yang oleh orang-orang Majapahit dianggap rendah hasil bangsa biadab dari golongan Mleccha, justru dijadikan sandaran olehnya untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah, lurus dan bengkok, adil dan tidak adil.

Salah seorang tokoh muslim yang sering diajaknya bertukar pikiran tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam adalah Kakek bantal (banyaga wantal), sesepuh Nagari Gresik, yang bernama asli Sayyid Malik Ibrahim. Ia merasa cocok dengan Kakek Bantal. Segala saran dan nasihat Kakek Bantal selalu diikutinya, termasuk saat ia diminta menikahi seorang muslimah asal negeri Campa bernama Darawati.

Setelah menikahi Darawati, untuk memperkuat kedudukan sebagai bakal pewaris takhta Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya mengawini beberapa orang puteri dari kerabatnya ditambah puteri-puteri dari para pejabat dan agamawan Majapahit. Melalui pernikahan politis itu ia berusaha membangun kesetiaan di antara kerabatnya, nayakapraja, dan agamawan Majapahit. Namun, di balik semua itu sesungguhnya ia berusaha keras membuka cakrawala pemikiran dan pandangan para pengikutnya agar lebih luas dan menembus jauh ke depan sebagaimana pandangan para leluhur seperti Prabu Kertanegara, Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Prabu Stri Tribhuwanatunggadewi, Prabu Rajasanegara, mahapatih Gajah Mada, dan Prabu Wikramawarddhana.

Usaha Dyah Kertawijaya membuka cakrawala pemikiran dan pandangan para pengikutnya tidak sekadar dilakukan melalui musyawarah pertukaran pikiran, melainkan pula melalui pembagian gelar tituler baru kepada keturunan dan sanak keluarga kerajaan seperti Bhre Kretabhumi, Bhre Singapura, Bhre Kabalan, Tuhan Galuh, dan Tuhan Majaya. Namun, segala usaha itu tidak semua berhasil baik karena komplotan manusia berjiwa kerdil dengan wawasan sempit yang menjamur di Majapahit terbukti lebih kuat menancapkan kuku-kuku tajam kekuasaannya. Keberadaan Sri Prabu Kertawijaya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda dan berpandangan jauh ke depan tetap menumbuhkan benih-benih kekhawatiran dan ketakutan yang berujung pada suburnya rasa ketidakpuasan di lingkungan kerabat maharaja dan pejabat kerajaan.

Kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Sri Prabu Kertawijaya bakal menjadi penghancur Majapahit tiba-tiba meluas dan membara bagai api dalam sekam. Seiring putaran waktu diketahuilah bahwa salah satu di antara kerabat kerajaan yang gencar menyebarkan kasak-kusuk itu adalah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan. Dengan dukungan putera-puteri dan menantunya, yaitu Bhre Kretabhumi, Sang Nrpati Pamotan, Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, dan Sri Parameswari ing Lasem, Dyah Wijayakumara menempatkan Sri Prabu Kertawijaya sebagai sasaran bidik utama dari fitnah yang dirancangnya.

Sri Prabu Kertawijaya terbukti tidak bisa menghindari bidikan fitnah yang disebar Dyah Wijayakumara. Sebab, kenyataan membuktikan bahwa ia tidak saja telah mengawini Darawati, seorang muslimah asal negeri Campa, tetapi telah mengawini pula Retno Subanci, Cina muslimah puteri Encik Ban Chun, saudagar asal Nagari Gresik. Bahkan, ia juga terbukti mengangkat kemenakan Darawati yang bernama Ali Rahmatullah menjadi pangeran Majapahit dan menabalkannya sebagai bupati Surabaya. Pada saat bersamaan ia juga mengangkat kakak Ali Rahmatullah yang bernama Ali Murtadho menjadi imam Masjid di Nagari Gresik dengan gelar Ratu Pandhita. Sementara sepupu mereka, Raden Burereh (Abu Hurairah), diangkat menjadi leba (mangilala drwya haji) di Wirasabha (Mojoagung) dan yang mengurusi kepentingan orang-orang muslim di sana.

Kasak-kusuk gencar yang menuduh Sri Prabu Kertawijaya bakal menjadi penghancur Majapahit sempat memanas saat Pangeran Ali Rahmatullah dilantik menjadi bupati Surabaya oleh Arya Sena, pecat tandha di Terung, yang mewakili maharaja. Pelantikan bupati Surabaya itu dianggap sebagai bukti nyata dari usaha penghancuran Majapahit karena pusat pangkalan angkatan laut Majapahit yang terletak di Surabaya dimasukkan ke dalam kekuasaan Pangeran Ali Rahmatullah. Itu berarti, kekuatan laut Majapahit telah diserahkan kepada orang asing yang beragama Islam. Sehingga, cepat atau lambat orang-orang Islam bakal meluluhlantakkan kerajaan warisan Prabu Kertarajasa Jayawarddhana itu.

Seiring memanasnya keadaan akibat semakin meluasnya fitnah yang disebar Dyah Wijayakumara, kecurigaan terhadap langkah-langkah kebijakan Sri Prabu Kertawijaya pun makin menajam. Sejak peristiwa pelantikan bupati Surabaya, hampir setiap mata dan telinga di kutaraja seolah-olah diarahkan untuk mengawasi setiap kebijakan, ucapan, tindakan, dan bahkan gerak-gerik Sri Prabu Kertawijaya. Setiap mata dan telinga kerabat maharaja, juga mata dan telinga nayakapraja, juga mata dan telinga dayang-dayang, juga mata dan telinga para pemikul tandu, semuanya, tiba-tiba mengawasi maharajanya dengan penuh kecurigaan dan kebencian.

Puncak ketidakpuasan, kebencian, dan kecurigaan terhadap Sri Prabu Kertawijaya akhirnya meledak juga menjadi malapetaka bagi Majapahit. Menurut cerita, kira-kira dua tahun setelah kematian Darawati, tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba maharaja tua itu mengikrarkan diri memeluk Islam di bawah bimbingan saudagar muslim asal negeri Cina, Abdurrahman Tan King Ham. Kabar keislaman maharaja Majapahit itu segera menyulut kegemparan di kutaraja Majapahit dan juga daerah-daerah yang jauh dari ibu kota.

Dyah Wijayakumara beserta putera-puteri dan menantunya sambil tersenyum-senyum mencermati perkembangan berita yang menggemparkan itu. Bagaikan kawanan singa yang tengah mengintai, mereka menunggu kesempatan lengahnya calon mangsa. Saat mereka melihat waktu yang tepat untuk menerkam mangsa sudah datang, dengan didukung sejumlah pejabat Majapahit yang terbakar api amarah, mengamuklah mereka di Bangsal Manguntur. Mereka tahu, pada saat mereka mengamuk para pengawal yang sudah terhasut dan tidak puas itu telah meninggalkan maharajanya seorang diri.

Menurut cerita para adipati pesisir, dalam keadaan tanpa pengawal seorang pun Sri Prabu Kertawijaya yang sudah tua dikepung beramai-ramai oleh Dyah Wijayakumara serta pengikut-pengikutnya. Mereka kemudian mendaulat Sri Prabu Kertawijaya agar turun takhta saat itu juga. Dyah Wijayakumara beralasan apa yang ia lakukan itu adalah demi keselamatan Majapahit.

Ternyata Sri Prabu Kertawijaya tidak memenuhi tuntutan Dyah Wijayakumara. Ia bangkit dari singgasana dengan menghunus keris pusaka Kyai Nagasasra. Namun, apalah daya seorang maharaja tua di tengah kepungan orang-orang yang sudah dirasuk amarah itu. Dengan tanpa kenal belas kasihan para pengepung beramai-ramai menghujani tubuh maharaja dengan panah. Gugurlah maharaja tua itu di Bangsal Manguntur dengan puluhan anak panah menghiasi tubuhnya. Tragedi kematian Sri Prabu Kertawijaya yang memilukan itu diabadikan dengan nama Anumerta Prabu Angkawijaya, yang bermakna �Maharaja yang gugur laksana Raden Angkawijaya, putera Arjuna.� Sri Prabu Kertawijaya dikebumikan secara Islam di Kertawijayapura, tidak jauh dari makam istrinya, Ratu Darawati.

Seperti sudah bisa diduga, sepeninggal Sri Prabu Kertawijaya naiklah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan sebagai maharaja Majapahit. Ia ditabalkan dengan nama Abhiseka Sri Prabu Rajasawarddhana. Namun, sejarah kemudian mencatat bahwa Sri Prabu Rajasawarddhana bukanlah pewaris takhta Majapahit yang bisa dibandingkan dengan Sri Prabu Kertawijaya dalam segala hal. Ia maharaja yang lemah. Gemilang kemewahan, sanjungan, dan penghormatan berlebihan telah menambah parah kelemahannya. Kenyataan kemudian menunjukkan betapa ia tidak cukup kuat menahan badai perlawanan yang timbul akibat kematian Prabu Kertawijaya.

Kerabat kerajaan yang menjadi anggota rajasabha (majelis raja) belum utuh mengakuinya sebagai maharaja Majapahit. Hal itu masih disusul oleh munculnya gelombang perlawanan dari putera-puteri, saudara, menantu, besan, dan para pengikut setia Prabu Kertawijaya sehingga terseretlah Sri Prabu Rajasawarddhana yang lemah itu ke dalam pusaran masalah yang membingungkan. Sebagai raja yang lemah dan berwawasan sempit, ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah yang sedang membelitnya. Tinta hitam sejarah kemudian mencatat, belum genap dua tahun berkuasa di atas takhta Majapahit, di tengah amukan badai yang bertiup dari segala arah, Sri Prabu Rajasawarddhana tiba-tiba hilang ingatan. Gila!

Para anggota rajasabha dan pejabat-pejabat kerajaan yang mendukung Sri Prabu Rajasawarddhana mulai cemas ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana maharaja Majapahit yang mereka dukung itu mulai sering mengomel dan tertawa sendiri. Mereka sadar, usaha apa pun yang akan mereka lakukan untuk menutupi kenyataan tidak akan bisa membendung berita-berita tentang sang maharaja yang hilang ingatan. Aib memalukan itu akhirnya menyebar sebagai berita menggemparkan ketika pecah peristiwa berdarah di Bangsal Manguntur saat diadakan pasewakan agung. Menurut para saksi mata, tanpa hujan tanpa angin, tanpa sebab dan tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Sri Prabu Rajasawarddhana mengamuk dan mengakibatkan beberapa orang pengawal dan dayang terbunuh.

Para putera dan menantu Sri Prabu Rajasawarddhana berusaha meredam berita dengan mengancam akan menghukum mati mereka yang hadir di pasewakan agung jika menyebar-nyebarkan peristiwa memalukan itu. Kemudian untuk menyembuhkan ingatan ayahandanya, mereka menghibur dan mengajak ayahandanya bercengkrama di atas perahu yang berlayar di segara (danau buatan) yang terletak di selatan kraton. Mereka berharap usaha itu akan berhasil menyembuhkan ayahandanya. Namun, tanpa terduga sang maharaja yang sudah hilang ingatan itu melemparkan dirinya ke tengah segara hingga tewas.

Menurut catatan, Sri Prabu Rajasawarddhana diperabukan dengan upacara besar. Abunya kemudian didharmakan di Sepang. Saat dilakukan upacara sraddha untuk menyucikan arwahnya, putera-puteri dan menantunya mengadakan pesta besar dengan persembahan perahu bunga (banawa sekar) yang indah dan peristiwa itu diabadikan sebagai kidung oleh Pu Tanakung. Sementara itu, untuk mengenang peristiwa kematiannya yang tragis, para kerabat kerajaan, terutama para keturunan Sri Prabu Kertawijaya memberinya gelar kebesaran yang bersifat mengejek, yaitu Bhre Pamotan Sang Sinagara (Jawa Kuno: Bhre Pamotan yang melemparkan diri ke segara).

Setelah kematian Sri Prabu Rajasawarddhana, Majapahit terseret ke dalam arus kekacauan yang membingungkan. Kutaraja Majapahit yang selama berbilang abad selalu tenang, aman, dan tenteram berubah menjadi tempat penuh penjarahan, perampokan, pencurian, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang tak terkendali. Tragisnya, para pelaku kejahatan itu bukan hanya para bromocorah, melainkan yang tak kalah ganas dan brutal adalah para prajurit kerajaan yang terhimpit kemiskinan akibat tidak menerima upah. Majapahit benar-benar terpuruk dalam kekacauan dan ketidakpastian. Sementara itu, para pewaris takhta terus berselisih memperebutkan mahkota seolah tidak sadar bahwa tengara kebinasaan sedang mengintai mereka.

Setelah tiga tahun diombang-ambingkan kekacauan dan ketidakpastian tanpa maharaja, akhirnya para kerabat kerajaan, terutama yang menjadi anggota rajasabha, sadar bahwa apa pun yang terjadi Majapahit wajib memiliki maharaja. Para anggota rajasabha kemudian sepakat menunjuk putera Sri Prabu Kertawijaya yang lahir dari Rani Daha sebagai pewaris takhta, yakni Dyah Suryyawikrama Bhre Wengker. Dyah Suryyawikrama diangkat menjadi maharaja Majapahit dengan nama Abhiseka Hyang Purwawisesa.

Naiknya Hyang Purwawisesa ke puncak takhta Majapahit berhasil meredam gejolak. Namun, keadaan Majapahit benar-benar terpuruk dan membutuhkan perjuangan keras untuk menatanya kembali. Itu sebabnya, hampir seluruh waktu Hyang Purwawisesa digunakan untuk menata pemerintahan baru yang porak-poranda. Mula-mula ia tangani hal-hal yang terkait dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di ibu kota. Setelah itu ia adakan perbaikan militer. Namun, usaha itu terbentur berbagai rintangan karena perekonomian buruk dan terutama mental pejabat yang keropos. Lantaran sibuk menata ibu kota yang sarat berisi pejabat berakhlak bejat dan berjiwa bobrok maka kerajaan-kerajaan bawahan yang jauh dari ibu kota tak terhiraukan. Kerajaan-kerajaan itu banyak yang diam-diam melepaskan diri dari Majapahit.

Menata kembali Majapahit yang dipenuhi pejabat berjiwa kerdil, berakhlak bejat, berjiwa bobrok, berwawasan sempit, dan berpandangan dangkal bukanlah pekerjaan yang ringan. Hari demi hari dilalui Hyang Purwawisesa dengan kerja keras yang sangat menguras tenaga. Usai berjuang keras selama hampir sepuluh tahun, Hyang Purwawisesa jatuh sakit dan akhirnya mangkat dalam usia yang belum setengah abad. Hyang Purwawisesa diperabukan dan dicandikan di dalam Puri.

Sepeninggal Hyang Purwawisesa tiba-tiba muncul Bhre Pandan Salas, seorang anak muda yang berambisi tinggi dan mamiliki banyak pengikut di ibu kota. Bhre Pandan Salas merasa berhak atas takhta Majapahit karena ayahandanya, Bhre Parameswara, merupakan suami Prabu Stri Suhita. Dalam sebuah musyawarah singkat yang dihadiri sebagian kecil anggota rajasabha, terutama para kerabat yang mendukungnya, disepakatilah bahwa Bhre Pandan Salas menjadi maharaja Majapahit menggantikan Hyang Purwawisesa.

Kemunculan Bhre Pandan Salas yang mendadak langsung menimbulkan badai perlawanan dari berbagai penjuru. Para kerabat kerajaan, terutama kekuatan yang mendukung keturunan Sri Prabu Kertawijaya, menolak pengangkatan Bhre Pandan Salas sebagai maharaja Majapahit. Akhirnya, tidak sampai dua tahun memerintah, terjadi kerusuhan besar yang menyebabkan Bhre Pandan Salas melarikan diri dari ibu kota.

Setelah Bhre Pandan Salas lari, rajasabha memutuskan yang berhak menjadi maharaja Majapahit adalah Dyah Suraprabhawa, putera Sri Prabu Kertawijaya dengan Rani Pandan Salas. Dyah Suraprabhawa saat itu sudah berusia setengah abad. Dyah Suraprabhawa naik takhta dengan gelar Sri Adi-Suraprabhawa Singhawikramawarddhana Giripati Prasutabhupatiketubhuta. Di bawah kepemimpinan Sri Adi-Suraprabhawa, keamanan dan ketenteraman ibu kota dapat dicapai. Namun seperti Hyang Purwawisesa, ia tidak dapat mencegah lepasnya kerajaan-kerajaan kecil yang jauh dari ibu kota.

Selama menduduki takhta Majapahit, Sri Adi-Suraprabhawa melanjutkan sejumlah kebijakan yang sudah dilakukan oleh ayahandanya, Sri Prabu Kertawijaya. Ia sadar bahwa jaringan kekuatan Islam yang sudah terbentuk harus lebih diperkuat. Itu sebabnya, tak lama setelah dilantik ia memanggil Pangeran Ali Rahmatullah, bupati Surabaya, dan kakaknya, Pangeran Ali Murtadho, Ratu Pandhita Gresik, ke Majapahit untuk membicarakan perbaikan hubungan antara pihak kerajaan dan kekuatan-kekuatan Islam di pesisir.

Tidak ada yang tahu apa isi pembicaraan Sri Adi-Suraprabhawa dengan Pangeran Ali Rahmatullah dan Pangeran Ali Murtadho. Orang hanya mengetahui dan mencatat bahwa pada awal kekuasaan Sri Adi-Suraprabhawa itu Pangeran Ali Murtadho dinaikkan kedudukannya dari imam masjid menjadi syahbandar di Gresik. Puteranya yang bernama Zainal Abidin diangkat menjadi adipati di Gresik. Puteranya yang lain yang bernama Yusuf Shiddiq diangkat menjadi adipati Siddhayu. Putera Pangeran Ali Rahmatullah yang bernama Pangeran Mahdum Ibrahim diangkat menjadi adipati Lasem. Selain itu, Raden Paku, cucu buyut mendiang Bhre Wirabhumi, diangkat menjadi nrpati di Giri dengan gelar Prabu Satmata (Jawa Kuno: nama Syiwa, Sang Girinatha, Raja Gunung).

Kebijakan lain yang dijalankan oleh Sri Adi-Suraprabhawa untuk meningkatkan hubungan baik dengan kekuatan Islam adalah mengangkat Raden Patah, saudaranya lain ibu, menjadi pecat tandha di Bintara, yakni pejabat bawahan adipati Demak, Lembusora. Raden Kusen, putera Ario Damar, kemenakannya yang belajar ilmu pemerintahan dan agama kepada bupati Surabaya, diangkat menjadi pecat tandha di Terung. Sri Adi-Suraprabhawa juga mengangkat Syaikh Suta Maharaja, saudaranya lain ibu, menjadi adipati Kendal. Bhattara Katwang, juga saudaranya lain ibu, adik kandung Hyang Purwawisesa, diangkat menjadi adipati Samarang.

Usaha Sri Adi-Suraprabhawa melanjutkan kebijakan ayahandanya ternyata dimanfaatkan oleh putera-puteri dan menantu Bhre Pamotan Sang Sinagara untuk menikamnya. Dengan mengulang kembali siasat lama � menyebarkan kasak-kusuk bahaya Islam dan kehancuran Majapahit � mereka berusaha menyusun kekuatan untuk menyingkirkan Sri Adi-Suraprabhawa dari takhta Majapahit. Demikianlah, saat merasa kekuatannya telah besar, putera-puteri dan menantu Bhre Pamotan Sang Sinagara melakukan pemberontakan. Ibu kota dibikin kacau. Sri Adi-Suraprabhawa melakukan perlawanan. Dengan tubuh penuh luka ia dan sebagian prajuritnya yang setia keluar dari ibu kota menuju Daha, namun ia mangkat di perjalanan.

Seperti sudah bisa diduga, yang menggantikan Sri Adi-Suraprabhawa sebagai maharaja Majapahit adalah Bhre Kretabhumi, putera Bhre Pamotan Sang Sinagara. Dengan dibantu saudara-saudaranya, Bhre Kretabhumi berusaha keras memantapkan kekuasaan sebagai maharaja Majapahit. Namun, tantangan dari kerabat kerajaan terutama dari keturunan Sri Prabu Kertawijaya dan Sri Adi-Suraprabhawa sangatlah keras. Ario Damar, adipati Palembang, tegas-tegas menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi. Tak lama sesudah itu Andayaningrat, adipati Pengging, menantu Sri Prabu Kertawijaya, ikut menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi.

Tindakan penguasa Palembang dan Pengging yang mewakili keturunan Sri Prabu Kertawijaya diikuti oleh Syaikh Suta Maharaja, adipati Kendal. Setelah itu Bhattara Katwang juga ikut menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi. Gerakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi tampaknya terus bergulir diikuti oleh para penguasa daerah lain yang mendukung keturunan Sri Prabu Kertawijaya.

Menyadari perubahan situasi yang tidak menguntungkan, Bhre Kretabhumi berusaha mencegah agar sikap menolak kepemimpinannya itu tidak berlanjut. Untuk itu, ia melakukan upaya memecah kekuatan para penentang dengan siasat �belah bambu�. Ia menitahkan adipati Pengging dan adipati Demak yang bernama Lembusora untuk menyerang Samarang dengan tuduhan makar. Andayaningrat tidak berani menentang titah maharaja Majapahit kemudian mengirim pasukan Pengging untuk mendukung kekuatan Demak. Dalam sebuah serangan mendadak yang dilakukan pasukan Demak dan Pengging, Bhattara Katwang melarikan diri dari kadipaten dan terus diburu oleh prajurit-prajurit Demak. Sayyid Waly al-Islam yang ikut mempertahankan Samarang, terbunuh dalam pertempuran. Sementara Syaikh Suta Maharaja, adipati Kendal, terluka dalam pertempuran lari ke muara dan meninggal di perjalanan. Lembusora kembali ke kadipaten Demak dengan membawa kemenangan besar.

Peristiwa penyerbuan pasukan Demak yang dipimpin Lembusora ke Samarang dengan cepat menyulut amarah putera-puteri Sri Prabu Kertawijaya. Mereka paham Bhre Kretabhumi bukanlah maharaja yang kuat dan tangguh. Itu sebabnya, mereka serentak menyatakan bela pati atas kematian dua orang saudara mereka, Syaikh Suta Maharaja dan Bhattara Katwang. Ario Damar membawa armada besar dari Palembang dan mendaratkan pasukan di Samarang (tempat mendarat itu kemudian disebut Pedamaran). Raden Patah dengan dibantu sepupunya, Ki Wanasalam, memimpin orang-orang Bintara dan Glagah Arum untuk memberontak terhadap atasannya, adipati Demak, Lembusora. Raden Kusen membawa pasukan dari Terung dan Surabaya ke Demak. Bahkan Adipati Andayaningrat yang merasa bersalah tiba-tiba mengirimkan pasukan Pengging untuk ikut menghukum Lembusora.

Diserbu beramai-ramai dari segala penjuru, Lembusora tak mampu melawan. Seluruh prajurit pengawal sang adipati yang gagah berani tewas terbunuh tanpa sisa. Lembusora sendiri terbunuh di dalam Balai Kadipaten Demak. Lembu Peteng, putera Lembusora yang masih kecil, kemudian dipungut sebagai anak angkat oleh Raden Patah.

Setelah berhasil menguasai Kadipaten Demak, Ario Damar sebagai sesepuh keturunan Sri Prabu Kertawijaya menetapkan Raden Patah menggantikan kedudukan Lembusora menjadi adipati Demak. Sementara itu, karena Bhattara Katwang hanya memiliki seorang puteri yang belum menikah, yaitu Sekar Kedaton, maka dinikahkanlah puteri itu dengan puteranya, Raden Sahun, yang masyhur disebut Pangeran Pandanarang. Lantaran pernikahan itu, Raden Sahun menggantikan kedudukan mertuanya, Bhattara Katwang, sebagai adipati Samarang. Sementara itu, kedudukan adipati Kendal diberikan kepada putera Syaikh Suta Maharaja, Pangeran Gandakusuma.

Menghadapi kekuatan putera-puteri Sri Prabu Kertawijaya, yang terbukti bersatu dan dengan mudah meluluhlantakkan Demak dan menewaskan Lembusora, Bhre Kretabhumi sadar bahwa ia tidak cukup kuat melawan mereka. Itu sebabnya, ia melakukan siasat merangkul lawan dengan mengakui Raden Patah sebagai adipati Demak menggantikan Lembusora. Sebagai bukti pengakuannya, Raden Patah dinyatakan sebagai putera angkatnya dan dianugerahi gelar Arya Sumangsang.

Sesungguhnya, di balik tindakan menunjuk Arya Sumangsang sebagai putera angkatnya, Bhre Kretabhumi justru ingin menghancurkan adipati Demak yang baru itu. Caranya, dengan menerapkan siasat lama, yaitu menempatkan sang adipati Demak sebagai sasaran bidik fitnah. Pertama-tama dengan anugerah nama Arya Sumangsang itu (Jawa Kuno: bangsawan tersangkut, ningrat tempelan), kedudukan adipati Demak yang baru itu sudah jelas tampak berbeda dalam pandangan para bangsawan Majapahit.

Setelah itu, sesuai keahliannya, Bhre Kretabhumi menyebar kasak-kusuk menuduh adipati Demak yang berdarah campuran Majapahit-Sunda-Cina-Palembang sebagai calon maharaja yang bakal menghancurkan Majapahit dari dalam. Bahkan lafal Demak (Jawa Kuno: hadiah) yang semula bermakna �ganjaran untuk tunjangan keluarga raja�, telah disimpangkan menjadi lafal nDemak (Jawa Kuno: menyerang) yang bermakna �menyerang dengan mendadak�.

Nah, dengan siasat lamanya itu Bhre Kretabhumi merasa tenang karena kedudukan Arya Sumangsang sudah �terpaku,� tidak bisa bergerak dengan leluasa untuk mengembangkan kekuasaan. Sebab para penguasa di sekitar Demak � yang masih segar ingatannya pada peristiwa penyerbuan Lembusora � akan bersiaga melindungi diri dari kemungkinan serangan mendadak adipati Demak yang baru itu. Itu berarti, Arya Sumangsang tidak akan gegabah melakukan kekerasan bersenjata untuk merebut takhta Majapahit karena harus berhadapan dengan kadipaten-kadipaten di sekitarnya.

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers