Kamis, 23 Maret 2017

BERBAGI

Berbagi Keberlebih-Kelimpahan

     Setelah meninggalkan Caruban, tanah kelahiran yang telah mengukir beribu-ribu kenangan manis dan pahit, Abdul Jalil dengan didampingi Shafa, istrinya, pergi ke pedalaman Nusa Jawa, dengan mula-mula memasuki tlatah Galuh Pakuwan yang sudah menjadi bagian Caruban. Hari-hari dan pekan-pekan selama perjalanan dilaluinya dalam kesendirian dua anak manusia, yang seperti leluhurnya, Adam dan Hawa, hidup berdua di alam perawan berkawan burung-burung dan margasatwa yang bergembira menyanyikan senandung Kehidupan memuji Yang Mahahidup. Lalu, tanpa sadar ia merasakan semacam pesona Kehidupan surgawi: bentangan gunung dan bukit, lembah dan ngarai, jeram dan aliran sungai, padang rumput dan hutan perawan dengan gemericik air, kicau burung, jerit margasatwa, dengung serangga, ranum buah-buahan, wangi bunga-bunga, harum ilalang, dan segar embun yang memukau kesadaran manusiawi.

Abdul Jalil yang selama bertahun-tahun terseret pusaran arus Kehidupan, teraduk-aduk di tengah gelombang perubahan yang diciptanya, tertegun dan tersilap oleh pesona ketenang-tenteraman alam yang membentangkan keindahan ciptaan Ilahi tak tergambarkan. Setiap pagi menjelang, ketika matahari merekah diufuk timur dan hangat cahayanya mengangkat gumpalan kabut dari permukaan bumi, ia menghirup keharuman napas hutan yang wangi. Ia menangkap kebijaksanaan hutan mengalir memenuhi jiwanya, laksana mata air memenuhi telaga dan mengalir ke sungai. Setiap siang membentangkan cakrawala, ketika burung-burung beterbangan dan margasatwa berkejaran mencari makan, ia menyantap buah-buahan hutan dan meminum madu hutan yang menyegarkan kesadaran manusiawinya. Setiap malam datang mengerudungi bumi dengan selimut hitam, ketika hewan malam bersenandung merindukan bulan dan bintang-bintang, ia menikmati hangatnya pelukan Sang Kekasih yang acapkali kerahiman-Nya mengejawantah dalam wujud manusiawi sang istri: Shafa.

Di tengah hamparan alam bebas, Abdul Jalil merasakan kebebasan elangnya terbang tinggi di angkasa meninggalkan hiruk pikuk kehidupan di bumi. Ia terpesona oleh keleluasaan langit ruhani yang membentangkan kesunyian tanpa batas. Ia terpesona oleh citra keperawanan alam yang telanjang, seolah melemparkannya ke gugusan ingatan purba kehidupan manusiawi leluhur, Adam dan Hawa. Di tengah keterpesonaan itu, ia bersyair memuji Keagungan dan Kemuliaan Sang Pencipta. Suaranya yang merdu tetapi tegar menggema di tengah suara alam yang mendendangkan nyanyian pepujian atas Keagunngan Sang Pencipta.

Wahai Kekasih / di dalam hutan rimba-Mu / di tengah hewan-hewan-Mu / di tengah alam ciptaan-Mu / Engkau limpahkan kenyamanan melebihi kuta, desa dan gubukku // seluruh makhluk ciptaan-Mu / hadir telanjang tanpa topeng-topeng / nyanyian pepujian yang mereka lantunkan memuji-Mu / polos dan terbuka tanpa polesan / merdu tanpa kepalsuan // di hutan bebas inikah kediaman akhirku di dunia? / di alam bebas inikah elangku bisa terbang tinggi menggapai citra hampa-Mu? / di sini, dihutan-Mu, aku bersimpuh tanpa daya menghadap-Mu / aku persembahkan diriku, utuh, meski kehidupan palsu duniawi telah mencabik-cabik jiwaku //

Keindahan alam ciptaan Ilahi bagaimanapun bukanlah sesuatu yang langgeng. Baik keindahan alam yang terbentang maupun makhluk yang terpesona memandangnya, semua tidaklah abadi. Semua terbatas dan dibatasi oleh waktu yang ganas yang selalu menghancurkan tiap-tiap ciptaan tanpa belas kasihan. Keindahan bumi, bulan, bintang, matahari, hewan, manusia, bahkan surga pun pasti berakhir jika waktunya tiba. Hanya keindahan Sang Penguasa waktu yang selalu kekal dan abadi. Sebagaimana hukum alam (sunnatullah) yang berlaku, keindahan perjalanan Abdul Jalil yang memesona laksana perjalanan di surga itu pun akhirnya berakhir sesuai waktunya.

Ketika suatu pagi Abdul Jalil berjalan ke sungai kecil berair jernih untuk mengambil air dengan tabung bambu, tiba-tiba ia tersentak kaget ketika melihat bayangannya terpantul di permukaan air. Ia merasakan sekujur tubuhnya gemetar dan dadanya berdegup keras. Ia menajamkan pandangan. Jelas sudah, bayangan itu bukan bayangan dirinya: wajah sangar, kulit gelap, tubuh bongkok, tangan sangat panjang sampai melebihi lutut, mata terbelalak lebar, hidung besar, dan mulut jelek dengan gigi tak beraturan. Lalu, bayangan itu secara menakjubkan bangkit dari dalam air tanpa basah tubuhnya. Tanpa mengucap salam atau memperkenalkan diri, bayangan manusia buruk rupa itu sekonyong-konyong bertanya, �Siapakah engkau, o manusia jelek pengambil air?�

Terheran-heran Abdul Jalil menajamkan pandangan untuk menegaskan sosok bayangan itu. Dengan suara bergetar ia berkata, �Aku seorang pengembara papa bernama Abdul Jalil. Asalku dari Caruban Larang. Balik, siapakah engkau ini, o makhluk yang muncul dari air?�

�Aku? Namaku Abdul Jalil seperti engkau. Asalku juga dari Caruban Larang. Tapi aku tidak mengenalmu. Perwujudanmu sangat buruk, sampai-sampai hatiku gemetar ketakutan melihat sosokmu.�

�Engkau mengatakan perwujudanku buruk?�

�Ya, engkau manusia buruk rupa. Kenapa? Apakah engkau tidak sadar jika perwujudanmu sangat buruk dan menakutkan? Apakah engkau tidak melihat keberadaan bayangan dirimu yang palsu? Aku tahu siapa engkau sebenarnya. Engkau adalah makhluk jejadian yang membayangkan keberadaan dirimu sebagai Abdul Jalil, guru manusia asal Caruban Larang. Padahal, engkau hanyalah orang yang terseret angan-angan kosongmu menjadi orang lain. Engkau terperangkap khayalan nirwujudmu. Engkau tidak mengenal dengan benar guru manusia itu,� kata manusia buruk rupa itu dengan suara menggetarkan seolah diiringi bunyi derik ribuan jangkrik dari napasnya.

�Bukankah Abdul Jalil, guru manusia itu, adalah aku?� tukas Abdul Jalil terheran-heran.

�Aku tidak mengenalmu, o Pengaku-aku,� seru manusia buruk rupa itu sembari menunjukkan giginya yang tak teratur dan bibirnya yang tebal dalam seringai mengerikan. �Sebab, Abdul Jalil, guru manusia, yang pernah aku kenal adalah seorang manusia berlebih-kelimpahan. Dia manusia yang selalu merasa berat menanggung keberlebih-kelimpahannya, sehingga hari-hari dari hidupnya tidak pernah dilaluinya tanpa membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya. Ia terus membagi. Membagi. Seribu kali membagi. Dengan membagi, beban keberlebih-kelimpahannya akan berkurang.�

�Jika engkau bertanya kepada hutan, sungai, pohon, batu, matahari, bulan, bintang dan margasatwa tentang siapa Abdul Jalil maka engkau akan mendapati jawaban yang sama: dia, Abdul Jalil, adalah guru sang pembagi keberlebih-kelimpahan. Dia, guru manusia, yang selalu berkorban tanpa pamrih. Sebab, berkorban membagi-bagi diri, baginya, adalah membebaskan diri dari beban yang terus melimpahinya. Ya, itulah Abdul Jalil yang aku kenal, guru manusia yang selalu membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya. Sementara, engkau, manusia buruk rupa yang mengaku-aku Abdul, apakah yang engkau sudah lakukan selama di hutan ini? Bukankah hari-harimu hanya engkau isi dengan menerima dan menikmati keramahan alam, seolah engkau orang yang berkurang-kesusutan. Siapakah engkau ini sesungguhnya, o manusia buruk rupa?�

Abdul Jalil terperangah kaget. Ia merasakan wajahnya panas tertampar oleh ucapan makhluk buruk rupa itu. Bukan. Bukan hanya tamparan yang ia rasakan menghantam wajahnya. Rasa malu pun ia rasakan tiba-tiba menyesaki jiwanya. Rasa malu yang bergelegak dan meluap-luap membanjiri seluruh jaringan tubuhnya mulai dari ujung kaki naik terus ke ubun-ubun. Sekejap kemudian, ia tiba-tiba mendapati sekujur tubunya sudah basah diguyur keringat dingin. Lalu dengan hati risau ia membalikkan badan dan pergi meninggalkan manusia buruk rupa yang telah membuatnya malu itu. Namun, manusia buruk rupa itu mengejar dan memanggil-manggilnya dengan suara serak, �Abdul Jalil! Abdul Jalil! Berhentilah! Tunggu aku! Aku bukanlah orang lain. Aku adalah bayang-bayangmu! Jangan tinggalkan aku!�

Dengan keringat bercucuran, Abdul Jalil berjalan menembus kelengangan hutan. Ia tidak melihat lagi bayangan manusia buruk rupa yang mengejarnya. Namu, saat ia melintasi sebuah tikungan jalan setapak berbatu di lereng sebuah bukit, tiba-tiba ia terpekik kaget. Rupanya, di tengah kecamuk pikirannya yang galau ia telah menabrak seseorang yang sedang tersungkur di jalan. Raung kesakitan dan makian kemarahan terdengar bersahutan seperti pekik elang dan desau angin yang menampar tebing batu yang tinggi menjulang.

Dengan mata ditajamkan, Abdul Jalil menegaskan pandangannya ke sosok yang baru saja ditabraknya. Ia terkejut dan merasakan bulu kuduknya meremang saat mendapati kenyataan betapa sosok orang yang ditabraknya itu, wajah dan perawakannya sangat mirip dengannya. Anehnya, sosok itu luar biasa tambun. Saking tambunnya, tubuh sosok itu seperti terbentuk dari gumpalan daging. Hanya wajah sosok tambun itu saja yang mirip dengannya. Lalu, dengan suara yang direndahkan dan hati kebat-kebit ia berkata, �Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Siapakah engkau ini, o Tuan? Kenapa engkau tersungkur di tengah jalan?�

Sosok tambun mirip Abdul Jalil itu dengan gerakan lamban dan sangat susah payah, berkata terbata-bata dengan suara serak seperti kambing mengembik, �Maafkan aku, o Saudara. Bukan maksudku tidur-tiduran di jalan untuk menikmati hangatnya matahari sebagaimana anjing berjemur kehangatan matahari. Bukan pula maksudku menghalang-halangi orang-orang yang berjalan. Sebaliknya, ini yang harus engkau ketahuhi, aku adalah manusia malang yang tidak kuat lagi menanggung beban keberlebih-kelimpahan yang menghimpitku laksana bongkahan batu gunung. Kakiku tidak cukup kuat menahan beban keberlebih-kelimpahan yang memberati tubuhku. Itu sebabnya, aku tersungkur tak berdaya karena napas dan tenagaku hampir habis menahan beban keberlebih-kelimpahan yang terus bertambah menindihku dari waktu ke waktu. Aku sudah tidak kuat menahan. Aku merasakan diriku seperti jembatan bambu rapuh yang tidak kuat lagi menahan arus sungai yang meluap ganas akibat banjir di hulu. Aku hanya bisa menunggu datangnya orang-orang yang dengan suka rela menolongku; membagi keberlebih-kelimpahanku kepada mereka yang membutuhkan. Aku hanya bisa menunggu. Menunggu. Seribu kali menunggu. Dan engkau barusan tadi malah menabrakku. Apakah dengan suka rela mau menolongku? Apakah engkau bersedia membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada mereka yang membutuhkan?�

�Maafkan aku, o Saudaraku,� sahut Abdul Jalil dengan hati diliputi kepedihan, �Aku akan membawamu berkeliling ke mana pun engkau inginkan. Aku akan membagi-bagi keberlebih-kelimpahanmu kepada mereka yang membutuhkan. Apa pun akan aku lakukan untuk membantumu. Tetapi, izinkan aku akan berpamitan kepada istri yang sedang menungguku,� dengan tanpa menoleh sedikit pun ia berlari meninggalkan sosok tambun itu. Ia berlari ke tempat istrinya menunggu.

Ketika Abdul Jalil mendapati istrinya sedang duduk memakan buah-buahan dan meminum madu hutan, ia mendekat dan berkata, �Tadi aku ke sungai untuk mengambil air. Sekarang aku sudah kembali. Tapi tidak setetes pun air yang kubawa.�

�Apakah yang telah terjadi dalam perjalananmu, o Suamiku?� tanya Shafa menangkap sasmita bahwa suaminya telah mengalami sesuatu.

�Di pinggir sungai tadi aku melamu dan jatuh tertidur di bawah pohon besar. Aku terbangun ketika seekor kucing hutan mencakar dan menggigit dadaku. Waktu ia melihat aku terbangun, ia lari ketakutan. Tetapi, buru-buru ia kuhentikan dan kutanya kenapa lari ketakutan dariku. Bukankah ia telah berjasa membangunkan aku dari tidur lelap? Lalu ia menjawab, ia lari karena telah melukaiku. Lalu kukatakan kepadanya begini: masakan seekor kucing hutan dapat melukai singa? Kubuka jubahku, dadaku memang tidak luka oleh cakaran dan gigitannya. Lalu kucing hutan itu merunduk malu dan menjilati kakiku.�

�Ketika kucing hutan itu pergi ke hutannya dan aku mengisi tabung bambu dengan air, tiba-tiba muncul seekor sapi betina yang berjalan terseok-seok dan menangis kesakitan. Dia mengeluh kepadaku telah berbilang pekan ini sekujur tubuhnya meriang kesakitan. Pasalnya, air susunya tidak ada yang mengisap dan tidak pula ada yang memerah. Dia meratap dan memohon kepadaku untuk menolongnya: memeras air susunya dan membagi-bagikan air susu itu kepada siapa pun di antara bayi yang membutuhkan susu. Aku tidak kuasa menolak keinginan makhluk mulia yang menderita sakit karena tidak bisa mendermakan keberlebih-kelimpahannya kepada sesama. Lalu aku menemuimu, meminta pendapatmu apakah engkau berkenan membantuku memerah susu sapi yang kesakitan itu, dengan imbalan engkau akan beroleh manfaat dari susunya. Itulah sebabnya, o Istriku, aku kembali tanpa membawa air setetes pun,� kata Abdul Jalil.

Shafa tertawa. Lalu dengan manja ia bertanya, �Adakah sesuatu pesan di balik ceritamu itu, o Suamiku?�

Abdul Jalil memandang ke atas, melihat langit dari sela-sela rimbunan pohon. Setelah itu, ia menunduk dan berkata dengan suara lain, �Dalam perjalananku mengambil air di sungai tadi, aku melihat bayanganku di permukaan air. Tapi, aku tidak lagi mengenalinya karena dia begitu buruk rupa dan mengerikan. Lalu seperti seekor kucing hutan liar yang ganas, ia mencakar dan menggigit kesadaranku. Aku terbangun. Dan, kudapati betapa diriku telah menjadi orang lain yang tidak kukenal. Aku, Abdul Jalil, guru manusia, yang dikenal orang sebagai sang pemberi yang selalu membagi-bagi tubuh dan jiwanya laksana Raja Bagiratha tiba-tiba telah menjelma menjadi makhluk papa, sang penerima dan penikmat kelezatan dunia. Sungguh muak aku melihat cermin diriku seperti itu.�

�Bayanganku telah membangunkan kesadaranku bahwa aku adalah manusia yang dianugerahi keberlebih-kelimpahan, seperti sapi perah betina dianugerahi keberlebih-kelimpahan susu. Dan seperti sapi perah betina yang kesakitan tidak diperah, begitulah kesakitan kurasakan merejam tubuh dan jiwaku saat aku tidak membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada sesama. Sungguh, telah berkali-kali aku sampaikan kepadamu bahwa Kehidupan makhluk tidaklah kekal. Bukan hanya bumi, bulan, bintang, matahari, dan planet-planet yang tidak kekal, bahkan surga dan neraka pun tidak kekal. Sebagaimana yang telah engkau yakini, Kehidupan di bumi ini hanya sekejap. Kita semua sedang berjalan menuju persemayaman Sang Maut, alamat Cinta Sejati bertakhta. Kita tidak boleh dan tidak bisa bahkan tidak mungkin berhenti. Kita harus berjalan menuju-Nya sambil melepas segala sesuatu yang melekat pada diri kita. Kita harus melepas semua sampai kita telanjang seperti bayi yang tidak mengenal sesuatu yang lain kecuali puting susu ibunya. Begitulah sebaiknya kita dalam kembali kepada-Nya. Sebagai orang yang sedang berjalan menuju-Nya, tetapi menanggung beban keberlebih-kelimpahan dari-Nya, maka wajiblah bagiku untuk meneruskan perjalanan di bawah naungan-Nya dan membagi-bagi keberlebih-kelimpahan yang dianugerahkan-Nya itu kepada yang membutuhkan. Aku tidak ingin menjadi makhluk tambun yang terkapar sekarat di jalanan, akibat menanggung derita tertimbun oleh keberlebih-kelimpahan yang tidak dibagi.�

Shafa tersenyum dan bangkit. Sambil menunduk menyentuh kaki Abdul Jalil, dia berkata lembut, �Aku tahu siapa sejatinya engkau, o Suamiku. Aku telah menyaksikan keindahan telaga sunyi di matamu. Aku telah merasakan kesejukan angin di desah napasmu. Aku telah menyaksikan kegagahan sayap-sayapmu yang laksana rajawali terbang mengarungi langit sunyi. Aku telah mendengarkan bagaimana merdu suaramu menyanyikan pepujian atas keagungan-Nya. Bahkan di atas semua penyaksian itu, aku telah merasakan keberadaan dirimu secara utuh. Sungguh, telah kukenal engkau melebihi yang lain. Karena itu, o Suamiku, ke mana pun engkau pergi aku akan selalu ikut. Apa pun yang engkau perintahkan aku akan patuhi. Apa pun yang engkau teladankan aku akan ikuti. Bagiku, berlaku ketentuan suci seorang istri setia laksana Sati, yang mengabdi kepada suami ibarat pepatah �ke surga ikut ke neraka tersangkut-paut�. Demikianlah ungkapan dari lubuk jiwaku terdalam terhadapmu, o Suamiku.�

Setelah meninggalkan Kehidupan hutan, Abdul Jalil dengan didampingi istri berjalan melintasi lembah, gunung, sungai, sawah, dan padang belantara, dengan sesekali singgah di desa, dukuh, padepokan, dan asrama-asrama. Sepanjang perjalanannya itu ia laksana gumpalan awan di angkasa, dengan kegembiraan raya mencurahkan keberlebih-kelimpahannya seperti hujan kepada siapa saja yang membutuhkannya: ia mengobati yang sakit, menghibur yang dirundung kesedihan, memberi obor yang dalam kegelapan, menguatkan yang lemah, memberi makan yang lapar, mengulurkan tangan kepada yang meminta, memberi petunjuk kepada yang sesat jalan, mengajarkan jalan Kebenaran yang lurus, memacu kesadaran manusia agar berjuang mewujudkan diri menjadi adimanusia, dan yang tak pernah terlupakan adalah memberitakan kabar langit tentang bakal datangnya kawanan Ya�juj wa Ma�juj, pengikut Dajjal, yaitu kawanan �manusia berekor�, binatang yang berpikir, manusia pembawa hewan buas yang bakal menjatuhkan umat manusia ke jurang kebinasaan.

Sebagai guru manusia, Abdul Jalil paham jika manusia-manusia yang dihadapinya adalah kawanan-kawanan manusia tak berpribadi yang akal budi dan jiwanya dibentuk oleh lingkungan yang penuh diliputi rasa takut, yaitu manusia-manusia yang sejak bayi sudah ditakut-takuti takhayul dan kurafat. Ia paham bahwa manusia satu dengan manusia yang lain diikat oleh jalinan tali-temali nilai yang sama, yakni nilai-nilai yang dibangun di atas rasa takut pada sesuatu di luar diri manusia. Itu sebabnya, di dalam membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya kepada masyarakat semacam itu, ia memutuskan untuk mengikat rangkaian itu pada satu simpul utama yang kuat, yaitu mengikat kabar langit tentang kawanan manusia berekor yang membahayakan Kehidupan umat manusia sebagai simpul utama. Ia barharap, rasa takut orang-orang terhadap kabar langit itu mengalahkan semua rasa takut mereka terhadap hantu takhayul di sekitar mereka. Lalu, melalui simpul utama itu ia berharap dapat memperkuat simpul yang lain dari semua jalinan nilai yang akan diubahnya. Demikianlah, tanpa kenal siang dan malam, di tengah kesibukan membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya, ia menyampaikan kabar langit yang dahsyat itu kepada siapa saja yang datang kepadanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers