Kamis, 23 Februari 2017

CATURBHASA MANDALA

Caturbhasa Mandala

Semakin sering berbincang-bincang, semakin besar rasa ingin tahu Syaikh Jumad al-Kubra untuk mengetahui pandangan-pandangan dan gagasan Abdul Jalil dalam melakukan perubahan. Pada pertemuan berikut, tanpa basa-basi dia langsung bertanya tentang hal-hal yang terkait penyucian bumi. �Jika boleh tahu, kenapa Tuan Syaikh mendahulukan penyucian nafs al-Ammarrah dari tanah?� �

Sebab, Banu al-Jann tinggal di dalam perut bumi. Asal Tuan tahu, perut bumi ini sebagian berupa air dan sebagia lagi berupa api yang berwarna merah menyala. Almarhum Ario Damar Adipati Palembang pernah mengajakku masuk ke perut bumi mengunjungi puak-puak dari Banu al-Jann. Mereka tinggal di bagian api yang merah menyala. Karena itu, jika mereka keluar ke permukaan bumi maka lazimnya melalui kawah gunung berapi, gua-gua, atau setiap lubang yang terhubung dengan perut bumi. Sebagaimana lahar gunung berapi yang berbahaya, nafs al-Ammarrah perlambang api dari Sang Bumi harus disucikan terlebih dulu. Di Nusa Jawa, para tapa yang waskita sudah mengetahui sejak lama bahwa anasir api dari Sang Bhumi telah menjadi penyebab utama dari tumpahnya darah manusia-manusia. Lantaran itu, jika anasir api sebagai perlambang nafs al-Ammarah dari Sang Bhumi tidak didahulukan penyuciannya, aku khawatir manusia-manusia penghuni Nusa Jawa akan segera habis dimangsa Banu al-Jann yang merupakan salah satu aspek pengejawantahan Sang Maut,� jelas Abdul Jalil.

�Tapi Tuan Syaikh, bukankah perlambang-perlambang nafs itu sejatinya hanya menyangkut pencerahan jiwa manusia?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra belum paham dengan penjelasan Abdul Jalil. �Kenapa Tuan Syaikh menggunakannya untuk bumi, yaitu tempat tinggal manusia? Apakah menurut Tuan Syaikh, bumi itu makhluk hidup yang memiliki jiwa sehingga perlu disucikan jiwanya?�

�Bagiku, semua makhluk memiliki jiwa, apakah mereka bisa bergerak atau tidak. Gumpalan batu, besi, dan makhluk-makhluk tak terbayangkan yang merupakan benda-benda tak bergerak sesungguhnya bukanlah benda mati yang tidak memiliki jiwa. Mereka sesungguhnya hidup dan memiliki jiwa. Sebagian besar di antara mereka malah berasal dari makhluk seperti kita (QS. al-Isra: 49-51), meski benda-benda itu dalam penglihatan mata indriawi kita tidak dapat bergerak dan tidak dapat menyelamatkan diri sendiri (QS. al-Furqan: 3). Tidakkah Tuan Syaikh mengetahui jika gunung-gunung yang tidak bergerak itu sejatinya bertasbih kepada Allah, sebagaimana burung-burung bertasbih kepada Allah (QS. al-Anbiya�: 79; Shad: 18)?�

�Di dalam pandanganku, meski benda-benda tak bergerak itu tidak dapat mengusahakan keselamatan diri sendiri, mereka dapat mempengaruhi jiwa manusia. Kekuatan jiwa yang memancar dari benda-benda itu dapat mempengaruhi kesadaran manusia sehingga manusia terikat untuk mencintai dan memuliakan mereka secara berlebihan. Tidak kurang di antara manusia harus saling bunuh akibat kecintaan berlebih terhadap benda-benda tak bergerak tersebut. Bahkan, tidak kurang manusia yang keblinger kiblat imannya karena mempertuhankan mereka,� kata Abdul Jalil.

�Tentang dalil-dalil yang Tuan Syaikh kemukakan, aku sudah tahu. Tentang pengaruh benda-benda mati terhadap jiwa manusia pun aku sudah tahu. Tapi dalam kenyataan, aku belum beroleh pencerahan ruhani untuk bisa mempersaksikan Kebenaran Sejati di balik dalil-dalil tersebut dengan mata batin. Aku mohon petunjuk dan bimbingan dati Tuan Syaikh agar aku dapat mencapai maqam itu. Aku yakin Tuan Syaikh pasti sudah mencapai maqam tersebut. Sebab, guru kami, almarhum Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi, tidak akan memerintahkan aku untuk menyampaikan taj kepada Tuan Syaikh jika maqam ruhani Tuan Syaikh lebih rendah dari beliau,� kata Syaikh Jumad al-Kubra merendah.

Mendengat kata-kata Syaikh Jumad al-Kubra yang bernada memuji dan meninggikan dirinya, Abdul Jalil mengalihkan pembicaraan seolah-olah tak mendengarnya, �Jika Tuan pernah membaca kisah perjalanan Isra� wa Mi�raj yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, Tuan Syaikh akan mendapati satu kisah perjumpaan beliau dengan Sang Bhumi (ad-dunya�) yang digambarkan sebagai seorang perempuan tua bangka tak berdaya. Kenapa dalam kisah itu Nabi Muhammad Saw. menyaksikan Sang Bhumi sebagai perempuan tua bangka tak berdaya? Menurut hematku, penglihatan beliau adalah penglihatan seorang Rasulullah, yang tidak pernah tertarik dengan gemerlap duniawi. Itu adalah penglihatan ruhaniah seorang manusia agung yang tercerahkan kesadarannya dan menyaksikan segala sesuatu di sekitarnya dengan mata batin yang cemerlang. Sehingga, keberadaan dunia dipandangnya seperti sosok perempuan tua bangka tak berdaya.� �

Sebaliknya, bagi para petani, para pemuja kesuburan, dan para pecinta kehidupan duniawi yang hidupnya bergantung pada kekayaan dan kesuburan bumi, Sang Bhumi dilihatnya sebagai Ibunda Agung, gudang keindahan yang tiada tara, pinggangnya ramping, payudaranya ranum, pinggul dan pahanya mekar, merangsang harapan keibuan yang tak terbatas (Lalitasahasranama sargha 79), bumi yang subur tempat bagi manusia bersandar hidup, baik di kala lahir maupun mati. Asal dari ibu bumi akan kembali ke ibu bumi. Itulah keyakinan mereka yang diwariskan dari keturunan satu ke keturunan yang lain. Keberadaan Sang Bhumi, pemilik kesuburan itu, digambarkan oleh pemujanya seperti ini: Dia, Ibunda Prthiwi, melulurteguhkan yang membangkitkan semangat, sekali lagi dan sekali lagi, dia tertawa dengan mata merah padam berkilat dan mengucapkan bahasa ruh yang tak terpahami dengan bibir berlepotan darah dan madhu yang diminumnya (Markandeyapurana sargha 83). Itulah gambaran Sang Bhumi, Ibunda Prthiwi, sang peminum darah dan madhu yang sejak zaman purwakala sudah disembah oleh penduduk Nusa Jawa.�

�Sungguh luar biasa kedahsyatan Dewi Bhumi yang disembah penduduk negeri ini. Sungguh aku takjub dengan kehebatan Tuan Syaikh yang ingin menutup tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi melalui dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Lemah Jenar,� kata Syaikh Jumad al-Kubra.

�Perlu Tuan ketahui, aku tidak punya hak untuk menutup tempat pemujaan apa pun. Aku hanya berupaya untuk membuat tawar pengaruh darah dan mayat pada tempat-tempat Sang Bhumi dipuja baik melalui bhumisoddhana maupun bhutasuddhi. Tempat-tempat yang disebut Kabhumian (Kebumen), Patanahan, Palemahan, Dara, dan ksetra-ksetra adalah tempat-tempat para perawan (dara) dipersembahkan sebagai korban sembelihan. Hatiku tidak cukup kuat untuk menyaksikan upacara semacam itu dilakukan orang di sekitarku. Jiwaku tidak bisa berdiam diri membiarkan pembunuhan-pembunuhan atas nama kepercayaan terhadap Sang Bhumi. Selain itu, ibunda asuhku, Nyi Indang Geulis, memang memintaku untuk berjuang keras mengakhiri upacara korban manusia itu. Dan, yang paling penting, Syiwa sendiri telah berkehendak untuk menyingsingkan wajah-Nya yang menakutkan (Bhairawa) untuk digantikan dengan wajah-Nya yang memancar penuh kasih sayang (Shankara). Syiwa telah menetapkan bahwa untuk bertemu dengan-Nya, para pemuja-Nya dapat menjumpai-Nya di mana saja karena Dia berada di dalam diri manusia yang memahami Kulatattwa.�

�Karena itu, tugas utamaku sebagai ulama pewaris Nabi Saw. di tengah perubahan ini, selain menyampaikan kepada penduduk Nusa Jawa kabar Kebenaran Tauhid Islam, mengubah nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai baru seiring tuntutan zaman, aku juga berkewajiban mengakhiri secara bijaksana pembunuhan-pembunuhan manusia untuk upacara keagamaan. Salah satu upaya yang mampu kulakukan adalah mengusahakan suatu ikhtiar dengan membuat tawar daya shakti yang memancar dari ksetra-ksetra dan tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi yang mengerikan itu. Jadi, yang aku lakukan hanya membuat tawar daya shakti. Sekali-kali tidak menutup. Munculnya dukuh-dukuh Lemah Abang sesungguhnya baru pada perintisan belaka dari usahaku tersebut. Aku masih butuh waktu lama dan dukungan dari semua pihak untuk menjalankan tugas berat itu, sampai terbentuknya Dukuh Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Lemah Jenar,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

�Subhanallah,� gumam Syaikh Jumad al-Kubra takjub. �Rupanya guru kami Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi sudah mengetahui tugas rahasia Tuan Syaikh yang begitu berat. Rupanya beliau tahu tajdid yang Tuan jalankan itu lebih dari sekadar mengubah tatanan kehidupan manusia. Itu sebabnya, beliau memerintahkan kami untuk menyampaikan taj dan ikut serta terlibat dalam perubahan yang Tuan lakukan. Terimalah taj ini sebagai penghormatan dari guru suci kami Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi.�

�Guru ruhani Tuan, Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi, memang seorang arif yang waskita,� sahut Abdul Jalil menerima taj dari tangan Syaikh Jumad al-Kubra. �Tetapi, tentang pembicaraan kita tadi hendaknya tetap Tuan rahasiakan kepada yang tidak berhak mengetahui. Tentang taj pemberian guru suci Tuan, hendaknya Tuan rahasiakan juga.�

�Itu sudah pasti, Tuan Syaikh,� kata Syaikh Jumad al-Kubra dengan mata berbinar menyiratkan kegembiraan. �Sejak di Malaka, ya, sejak di Malaka, aku sudah mendengar tentang Nusa Jawa yang masih dihuni oleh pemuja berhala yang suka minum darah dan mengorbankan manusia untuk santapan bhairawa-bhairawi sesembahannya. Aku sendiri sangat tertarik mendengar cerita itu. Karena itu, salah satu kehadiranku di Nusa Jawa ini selain mencari sang mujaddid untuk menyampaikan taj, juga untuk menyebarkan ajaran Kebenaran Islam kepada penduduk. Ternyata, atas kehendak Allah kita dipertemukan. Karena itu, sesuai amanat almarhum guru kami dan dorongan jiwaku, aku berharap Tuan memperkenankan aku untuk berjuang bahu-membahu bersama dalam menata kehidupan baru umat manusia di Nusa Jawa ini.�

�Sungguh aku sangat bergembira jika Tuan Syaikh hendak bergabung dengan kami. Tetapi, perlu aku beri tahukan kepada Tuan Syaikh bahwa dalam hal Tauhid orang-orang di Nusa Jawa sudah sangat paham secara mendalam. Sebab, sejak zaman purwakala mereka sudah menganut ajaran Tauhid, baik yang mereka sebut Kapitayan maupun ilmu Tauhid yang mereka istilahkan Adwayashastra. Mereka juga bukan kawanan orang bodoh yang puas dan percaya begitu saja dengan penjelasan dalil-dalil naqli yang beku. Bahkan, sejumlah pendeta Syiwa-Budha yang menjadi pengikutku dengan mudah dapat mengikuti sistem bepikir yang kuajarkan. Padahal, sistem berpikir yang kuajarkan itu hanya lazim digunakan di kalangan cendikiawan Baghdad,� ujar Abdul Jalil menegaskan.

�Aku akan selalu ingat-ingat petunjuk Tuan,� kata Syaikh Jumad al-Kubra. �Tapi, ada satu hal yang ingin aku peroleh dan perkenan Tuan Syaikh.�

�Apa itu?�

�Karena pembukaan dukuh-dukuh seperti Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Lemah Jenar masih butuh waktu lama sampai selesainya pembukaan dukuh-dukuh Lemah Abang, bagaimana jika Tuan mengijinkan aku untuk mengambil bagian dalam pembukaan dukuh-dukuh tersebut. Aku siap mengorbankan jiwa dan raga untuk menyelesaikan tugas mulia tersebut,� kata Syaikh Jumad al-Kubra.

�Jika demikian, aku sarankan sebaiknya Tuan membuka tempat-tempat bernama Lemah Putih. Aku akan menemui Prabu Satmata untuk membicarakan hal itu.�

�Prabu Satmata? Siapakah dia?�

�Prabu Satmata adalah khallifah Giri Kedhaton. Dia putera saudara sepupu Tuan, Syaikh Maulana Ishak. Dia keturunan Sayyid Amir Ahmad Khan Jalaluddin seperti kita. Dia seorang pengamal Tarekat Ni�matullah. Almarhum ayahandanya, Syaikh Maulana Ishak, adalah mursyid Tarekat Ni�matullah yang tinggal di Pasai. Sekarang ini yang menggantikan Syaikh Maulana Ishak sebagai mursyid di Nusa Jawa adalah Prabu Satmata,� kata Abdul Jalil.

Keinginan Syaikh Jumad al-Kubra untuk bahu membahu dengan Abdul Jalil dalam upaya membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi, ternyata berkaitan dengan rencana Raden Kusen sang penguasa tiga kadipaten (Terung-Bubat-Surabaya) untuk menutup ksetra-ksetra di wilayah kekuasaannya. Rupanya, berbeda pandang dengan orang-orang yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh di pedalaman dan amuk yang dilakukannya dengan tulah Sang Naga Shesa, Raden Kusen justru memandang hal tersebut berasal dari kelalaiannya dalam menjalankan amanat guru yang dimuliakannya, Raden Ali Rahmatullah Susuhunan Ampel Denta.

Beberapa hari sebelum wafat Raden Ali Rahmatullah telah menyampaikan wasiat agar para putera, dan muridnya berusaha secara bijak mengakhiri upacara pengorbanan manusia di wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Ternyata, sampai setahun wafatnya Raden Ali Rahmatullah, amanat itu belum juga dijalankan. Lantaran itu, terjadinya peristiwa buruk itu oleh Raden Kusen dianggap sebagai peringatan dari gurunya. Dengan pandangan seperti itu, Raden Kusen bertekad menjalankan amanat tersebut. Di depan para putera Raden Ali Rahmatullah, Prabu Satmata, Khalifah Husein, Yusuf Siddhiq, dan Arya Bijaya Orob, dia dengan tegas akan membuat ketetapan untuk menutup ksetra-ksetra di wilayah kekuasannya. Ksetra yang pertama-tama ditutup adalah Ksetra Nyu Denta (Jawa Kuno: Kelapa Gading) yang terletak sekitar lima yojana di sebelah timur Masjid Ampel Denta.

Abdul Jalil yang menangkap tengara tidak baik sebagai akibat penutupan ksetra itu tidak bisa berdiam diri dan berusaha keras mencegah pelaksanaan rencana tersebut. Tanpa menunda waktu, di depan para peserta pertemuan, Abdul Jalil mengemukakan pandangan bahwa kebijakan menutup Ksetra Nyu Denta tidak bisa dilakukan oleh seorang penguasa kadipaten karena akan menimbulkan akibat buruk yang tidak diinginkan.

Dengan suara direndahkan tetapi tegas, ia berkata, �Kami yakin, kebijakan mengakhiri upacara korban manusia itu adalah mulia. Kami juga yakin amanat almarhum saudara kami Raden Ali Rahmatullah bukanlah tindakan menutup ksetra-ksetra secara langsung berdasar ketetapan penguasa kadipaten. Sebab, sepengetahuan kami, Paduka Susuhunan sangat tidak menyukai hal-hal yang bersifat kekerasan. Kami sangat yakin di alam kuburnya dia akan kecewa jika ada keluarga atau murid yang menutup ksetra berdasar wewenang seorang adipati.�

�Kenapa kami katakan dia kecewa dengan cara itu? Sebab kalau ia memilih cara langsung seperti itu, tentunya sebagai raja Surabaya ia sudah melakukannya sejak lama. Kenyataannya, ia membiarkan Ksetra Nyu Denta seperti adanya. Jadi, menurut kami, yang ia inginkan adalah mengakhiri upacara korban manusia, sekali-kali bukan sekadar menutup ksetra. Sebab, upacara-upacara korban manusia tidak selalu dilakukan di ksetra. Di tempat pemujaan Sang Bhumi, di bangunan-bangunan besar yang butuh wadal, di tempat-tempat orang mencari pesugihan, bahkan saat orang mengamalkan ilmu kadigdayan pun korban manusia bisa dilakukan. Karena itu, kami kurang sepakat jika Yang Mulia Adipati Bubat akan membuat ketetapan menutup ksetra-ksetra di wilayah kekuasaannya. Hal itu tidak saja akan menyulut kekisruhan besar akibat perlawanan para pendeta, penduduk sekitar, dan �penguasa ksetra�, tetapi yang terpenting, ketetapan itu tidak mengakhiri kebiasaan korban manusia.�

Raden Kusen menarik napas berat dan mengangguk-angguk. Dia bisa menerima pandangan Abdul Jalil, namun dia tidak memiliki pilihan lain untuk menjalankan amanat gurunya tercinta itu. Akhirnya, setelah termenung lama dia bertanya kepada Abdul Jalil, �Aku memang sudah memikirkan tentang kemungkinan itu. Tetapi, apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi wasiat guruku? Adakah engkau memiliki jalan keluar agar kami dapat memenuhi wasiat terakhirnya?�

�Beberapa hari lalu kami telah memperbincangkan usaha-usaha membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi dengan Yang Mulia Pangeran Arya Pinatih di Giri Kedhaton. Malahan, sore tadi kami juga memperbincangkan masalah yang sama dengan saudara kami, Syaikh Jumad al-Kubra. Ternyata, sekarang ini Paman akan melaksanakan penutupan ksetra-ksetra sesuai amanat almarhum saudara kami. Itu berarti, Allah telah mengatur semuanya. Maksud kami, amanat menutup ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi itu tetap akan kita jalankan, namun tidak melalui cara menutup berdasar titah adipati, sebaliknya dengan cara membuat tawar daya shaktinya. Kami yakin, jika ksetra-ksetra sudah kehilangan daya shakti maka ia akan ditinggalkan orang. Dengan begitu, tanpa ditutup pun ksetra itu akan dilupakan orang. Cara ini memang butuh waktu, namun bisa menghindari kemungkinan kisruh,� kata Abdul Jalil.

�Apakah engkau akan membuat tempat seperti Lemah Abang di dekat Ksetra Nyu Denta?�

�Bukan hanya Lemah Abang, Paman. Kami juga berencana membuka tempat-tempat bernama Lemah Putih, Lemah Ireng, dan Lemah Jenar,� kata Abdul Jalil.

�Lemah Abang, Lemah Putih, Lemah Ireng, dan Lemah Jenar?� gumam Raden Kusen dengan kening berkerut. Dia diam beberapa jenak. Sejurus kemudian dia berkata, �Apakah itu bermakna engkau akan mendirikan caturbhasa mandala? Apakah itu berarti engkau akan mendirikan empat wilayah lemah larangan (tanah terlarang)?�

�Tepatnya memang demikian, Paman,� Abdul Jalil terhenyak karena kerangka pikirannya telah ditebak oleh Raden Kusen. Setelah termangu sejenak ia menjelaskan, �Tetapi, tempat-tempat yang kami dirikan bukan hanya di empat tempat sebagaimana caturbhasa mandala yang didirikan Bhattara Parameswara di Sagara, Sukayajna, Kukub, dan Kasturi. Caturbhasa mandala yang kami dirikan itu akan kami pilih letaknya di sejumlah �titik rawan� di Nusa Jawa. Dan melalui tempat-tempat itu, insya Allah, daya shakti ksetra-ksetra akan tawar sehingga pada akhirnya tidak akan ada lagi pembunuhan terhadap manusia sebagai upacara persembahan kepada bhuta dan kala.�

�Tapi, kalau engkau mau membuat caturbhasa mandala dan lemah larangan di banyak tempat, siapa yang akan menjadi penjaganya? Siapakah yang akan menjadi Nawadewata? Siapa yang akan engkau tunjuk sebagai lambang Wisynu, Sambhu, Iswara, Rudra, Brahma, Maheswara, Mahadewa, Sangkhara, dan Paramasyiwa?�

�Kami belum bisa menentukan siapa saja mereka itu. Tetapi, kami sudah membicarakan masalah tersebut dengan almarhum saudara kami, Raden Ali Rahmatullah, dan Prabu Satmata serta Adipati Demak tentang perlunya dibentuk suatu Majelis Guru Suci (Syura al-Masyayikh) untuk mempersatukan dan sekaligus menjadi naungan ruhani bagi kadipaten-kadipaten di Nusa Jawa. Maksudnya, melalui Majelis Guru Suci yang merupakan lambang Nawadewata itulah kita dapat menyatukan semua kekuasaan yang terpecah-pecah,� jawab Abdul Jalil.

Raden Kusen tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya terguncang-guncang. Dia merasa geli mendengar gagasan Abdul Jalil. Setelah rasa gelinya berkurang, dia berkata sambil tersenyum, �Majelis Guru Suci? Majelis Susuhunan, maksudmu? Apakah itu bukan perbuatan musyrik, menempatkan manusia sebagai jelmaan Tuhan?�

�Justru dengan gagasan caturbhasa mandala, lemah larangan, dan Majelis Guru Suci sebagai lambang Nawadewata itu, kami ingin mengubah gagasan lama ke gagasan baru yang berdasar Tauhid,� kata Abdul Jalil.

�Maksudmu?�

�Lambang Nawadewata sebagai penjaga caturbhasa mandala dan lemah larangan akan kami ubah menjadi Majelis Guru Suci yang sembilan, yang disebut Wali Songo, yaitu sembilan sahabat Tuhan. Itu berarti, dari sisi Tauhid para guru suci yang tergabung di dalam Wali Songo bukan lagi berkedudukan sebagai jelmaan Guru Suci yang bersthana di Kailasa, yaitu Syiwa, melainkan hanya sebagai sembilan orang sahabat Tuhan. Lantaran itu, di saat para guru suci yang menjadi anggota Wali Songo itu wafat, kuburnya tidak akan dipuja dan disembah orang. Sementara dari sisi kekuasaan duniawi, para raja yang selama ini dianggap sebagai dewaraja (tuhan) akan berubah kedudukannya karena secara ruhani mereka berada di bawah Majelis Wali Songo,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

�Ah, aku paham sekarang,� kata Raden Kusen manggut-manggut. �Gagasan tentang Majelis Guru Suci yang disebut Wali Songo, kalau tidak salah, adalah kelanjutan dari gagasanmu yang mengubah gelar Buyut menjadi Ki Ageng dan gelar Rama menjadi Ki Lurah. Kalau itu, aku setuju. Sebab, bagiku, yang penting di atas perubahan adalah alasan-alasan yang berdasar Tauhid. Tapi, siapa kira-kira yang engkau anggap pantas menempati kedudukan pemimpin Wali Songo yang dalam gagasan Nawadewata itu berkedudukan sama dengan Paramasyiwa?�

�Prabu Satmata, Ratu Giri Kedhaton yang sudah dikenal penduduk sebagai titisan Sang Girinatha.�

�Itu bagus sekali. Aku setuju. Aku berharap dengan gagasan itu, perubahan besar akan cepat terjadi di tengah jungkir baliknya tatanan kehidupan di negeri ini. Tetapi, ada satu hal yang perlu engkau jelaskan tentang mandala-mandala yang bakal engkau dirikan itu. Bagaimana caramu meyakinkan penduduk bahwa mandala-mandala tersebut memang sebuah mandala dan bukan hunian biasa?� tanya Raden Kusen ingin tahu.

�Kami akan menandai tiap mandala yang kami dirikan dengan aturan ketat yang wajib dipatuhi oleh penghuninya. Maksud kami, kami akan mendirikan dukuh-dukuh yang semua penduduknya menjalankan syari�at Islam secara ketat, terutama dalam hal berpakaian, berpantang makanan dan minuman, berpantang dalam bertindak asusila, bersikap hidup luhur, dan sebagainya,� kata Abdul Jalil.

�Menjalankan syari�at Islam secara ketat sebagai tanda mandala-mandala? Aku belum paham maksudmu. Ini membingungkan.�

�Maaf, Paman. Paman pasti telah paham bahwa sudah ditetapkan peraturan di dalam Satyabrata dan Yamabrata Silakrama tentang peraturan hidup para wiku yang ketat. Sepanjang yang kami ketahui, peraturan-peraturan untuk para wiku tersebut sangat mirip dengan syari�at Islam,� jelas Abdul Jalil.

�Mirip bagaimana?� sergah Raden Kusen. �Aku tidak pernah membandingkan peraturan hidup para wiku dengan syari�at Islam. Jadi, jelaskan kepada kami supaya kami paham.�

�Dalam hal berpakaian, para penghuni caturbhasa mandala yang kami dirikan akan kami perintahkan untuk mengikuti peraturan yang berlaku bagi para wiku, yaitu berkepala gundul (amundi), menutupi kepala dengan destar (adestar), memakai surban (abebed sirah), berkopiah tarbus besar (aketu agung). Tapi, agak sedikit berbeda dengan para wiku, dalam hal berpakaian (bhusana), para penghuni mandala kami hanya menggunakan kain penutup bagian tubuh atas (dodot), sekali-kali mereka tidak menggunakan hiasan-hiasan dari emas dan perak, kecuali memakai aksamala, yaitu kalung dari untaian buah genitri sebagai biji tasbih. Kami kira, dalam hal tata cara berpakaian, peraturan yang diikuti oleh para wiku sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sedangkan yang sangat membedakan antara para wiku dan para penghuni mandala yang kami dirikan terletak pada penyebaran tata cara berpakaian. Jika para wiku mengenakan pakaian itu untuk kalangan mereka maka bagi pengikut kami pakaian itu akan dijadikan pakaian resmi penduduk sekitar mandala tanpa memandang apakah mereka itu wiku atau sekadar orang dari kalangan sudra papa.�

�Sementara itu, dalam hal menjalankan pantangan-pantangan terhadap makanan dan minuman, para penghuni mandala akan kami wajibkan menjalani keberpantangan makanan dan minuman sebagai seorang wiku berpantang, yaitu pantang memakan babi peliharaan (celengwanwa), anjing (sona), kucing (kuwuk), tikus, ular (ula), harimau (macan), kukur (ruti), kalajengking (teledu), hewan merayap (galing), musang (rase), kera (wre), kera hitam (lutung), tupai (wut), katak besar (wiyung), kadal (dingdang kadal), burung buas (krurapaksi), burung bulu hitam (nila paksi), kakaktua (atat), beo (siyung), jalak, hewan berjari lima, hewan yang hidup di dalam tanah (bhuhkrim), ulat tanah (kutisa), hewan dan cacing kecil-kecil menjijikkan (pramikimi), lalat (laler), nyamuk (namuk), pijat-pijat (tinggi), kutu (tuma), dan kutu anjing (limpit). Mereka juga kami tekankan untuk menjauhi minuman keras (apaya-paya) dan makanan najis (camah) sebagaimana laku seorang wiku.�

�Dalam kehidupan sehari-hari, para penghuni mandala juga kami wajibkan mengikuti sikap hidup para wiku yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu yang bersifat pengendalian diri untuk menyucikan hati (snanawidhi), seperti tidak suka marah (akrodha), tidak rakus (alobha), tidak suka bertengkar (tan awawida), tidak gampang bingung (sammoha), tidak berutang-piutang dengan bunga (rna-rni), tidak mencuri atau mengambil paksa hak orang lain (angalap), tidak memberi makan pencuri (aweh pangan maling), tidak menyuruh mencuri (akon maling), tidak bersahabat dengan pencuri (tan amitra maling), menghindari tindakan tidak mengembalikan barang pinjaman keluarga (anelang drewyaning sanak tan pangulihaken), tidak mengambil hak orang lain secara diam-diam (angutil), tidak merampok (ambegal), tidak singgah di tempat perjudian meski kehujanan dan kepanasan, menjalankan semua pantangan dan larangan (heyepadeva), dan yang terpenting adalah mengendalikan diri dari desakan-desakan ikatan kehidupan duniawi (wyawahara).�

�Sebaliknya, para penghuni mandala harus meniru sikap hidup para wiku, yang menghiasi diri dengan perilaku luhur dan mulia, seperti suka mengampuni (ksama), punya rasa malu (lajja), jujur (satya), tidak menyakiti (ahimsa), murah hati (daya), lurus hati (arjawa), kuat mengendalikan pikiran (dama), tulus lahir dan batin (cauca), suka bersedekah (dana), kuat mengendalikan panca indera (indriya samyana), selalu berpegang pada akhlak (susila) dan kebijaksanaan (jnana), selalu mandi setiap hari untuk membersihkan diri (madyus acuddha sarira), memakai bedak wewangian (bhasma), menyucikan diri dengan air pembasuh (syiwambha), melakukan sembahyang (puja parikrama) tiga kali sehari (trisandya) yaitu pada subuh, tengah hari, dan malam bertasbih memuja Tuhan (mamuja), berdoa (majapa), dan melatih diri menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar sanghyang anusthana). Bukankah segala apa yang menjadi tatanan hidup para wiku itu jika kita bandingkan dengan ketentuan-ketentuan di dalam syari�at Islam pada dasarnya tidak jauh berbeda?�

�Jadi, Paman, dengan menjalankan hidup sehari-hari berdasar syari�at Islam yang ketat, terutama dalam hal berpakaian, berpantang makanan, menjauhi minuman keras, dan berperilaku luhur dalam hidup sehari-hari, akan memberi kesan kepada penduduk Nusa Jawa bahwa orang-orang yang tinggal di Dukuh Lemah Abang, Lemah Jenar, Lemah Ireng, dan Lemah Putih adalah para wiku yang wajib dimuliakan. Jika di antara penduduk di keempat mandala itu terbukti ada yang melanggar peraturan karena rakus dan sombong, ia akan terkena hukuman seperti hukuman yang dikenakan pada seorang wiku, yaitu dianggap panten. Ia akan dikucilkan (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen). Bahkan, jika tidak mau bertobat juga maka pelanggar itu akan dicambuk dan diusir dari mandala. Sebab, orang semacam itu tidak pantas tinggal di caturbhasa mandala.�

�Selain semua ketentuan di atas, para penghuni caturbhasa mandala juga dibiasakan untuk berpuasa setiap hari Soma (Senin) dan Wrehaspati (Kamis). Dengan begitu, penduduk sekitar akan menganggap mereka sebagai para wiku yang suka berpuasa, pengikut sang purohita para dewa, yaitu wiku suci di swarga: Bhagawan Wrehaspati. Dan yang tak kalah penting, mereka wajib mengabdikan diri pada kehidupan ruhani dan harus bertindak melayani kebutuhan penduduk sekitar sebagaimana yang dilakukan para wiku. Perlu Paman ketahui, peraturan yang sudah kami terapkan di sejumlah Dukuh Lemah Abang selama ini telah menunjukkan hasil menggembirakan. Penduduk di sekitar Lemah Abang mulai meninggalkan praktik-praktik lama yang berhubungan dengan upacara mengorbankan manusia. Mereka mulai menerapkan nilai-nilai keislaman tanpa sadar karena mereka menganggapnya sebagai amaliah dari ajaran para wiku Syiwa-Budha,� ujar Abdul Jalil.

�Jika demikian, apa yang membedakan penduduk dukuh-dukuh yang engkau buka dengan para wiku?�

�Pertama-tama dalam hal mencari nafkah, Paman. Jika para wiku tidak boleh berjual beli (tan adol awlya) maka penghuni dukuh boleh berjual beli. Kedua, semua penduduk dukuh yang berkhitan, sementara para wiku tidak. Ketiga, tata cara bersembahyang Islam yang dilakukan dengan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk tasyahud. Keempat, arah kiblat ke Baitullah.�

�Jika memang demikian, aku setuju dengan gagasanmu. Tapi, bagaimana jika nanti ada yang menanyakan tentang nama ajaran yang engkau sampaikan lewat caturbhasa mandala itu? Apakah akan disebut Islam atau madzhab baru Syiwa-Budha?�

�Kami tetap menyebut ajaran Islam, yang bermakna Jalan Keselamatan bagi manusia. Tetapi, sejak semula kami sudah menyampaikan kepada para penghuni dukuh untuk menyatakan bahwa Islam adalah penyempurna Syiwa-Budha. Lantaran itu, jika ada penganut Syiwa-Budha yang menganggap bahwa apa yang kami ajarkan itu adalah suatu madzhab baru dari agama mereka, kami tidak punya hak untuk melarangnya. Sebab yang paling penting bagi kami bukanlah nama dan bentuk rupa suatu ajaran agama, melainkan hakikat Tauhid yang tersembunyi di balik kebenaran agama itulah yang utama,� kata Abdul Jalil tegas.

Read More ->>

Senin, 20 Februari 2017

RAHASIA DUKUH LEMAH ABANG

Rahasia Dukuh Lemah Abang

Pada hari kedua selama tinggal di Kraton Surabaya, Abdul Jalil berkenalan dengan seorang syaikh asal Ferghana, suatu wilayah di Khanat Bukhara, Syaikh Jumad al-Kubra. Ia putera Syaikh Kasah al-Ferghani bin Syaikh Jamaluddin Husein. Jadi, masih kerabat Abdul Jalil karena kakek buyut mereka sama, yaitu Sayyid Amir Ahmad Syah Jalaluddin. Syaikh Kasah al-Ferghani adalah adik lain ibu Syaikh Ibrahim as-Samarkandy, ayahanda Raden Ali Rahmatullah. Menurut Syaikh Jumad al-Kubra, ibundanya lahir dari keluarga saudagar keturunan Bulgari-Kozhak asal Samara, kota di hulu Sungai Wolga yang bermuara ke Laut Kaspia.

Di negerinya, Syaikh Kasah al-Ferghani dikenal sebagai guru Tarekat Kubrawiyyah. Syaikh Kasah al-Ferghani mengambil baiat kepada Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi dan kemudian ditunjuk sebagai khalifahnya. Karena menginginkan puteranya menjadi guru tarekat yang lebih sempurna dan lebih masyhur dari dirinya, maka putera sulungnya sejak berusia sembilan tahun sudah diserahkan pengasuhannya kepada Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi. �Ayahanda asuh dan mursyidku, Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi-lah, yang menganugerahiku nama Jumad al-Kubra. Namaku sendiri yang asli adalah Taras,� papar Jumad al-Kubra.

Boleh jadi karena berdarah campuran dari bermacam-macam bangsa, bentuk fisik Syaikh Jumad al-Kubra sangat berbeda dengan orang-orang di Kraton Surabaya. Lantaran itu, dia menjadi pusat orang-orang di sekitarnya. Bentuk tubuhnya tentu lebih tinggi dan lebih besar dibanding orang-orang di sekitar. Kulitnya sangat putih hingga terkesan bule (albino). Hidungnya yang mancung dikesankan seperti hidung Petruk. Matanya yang bening kecoklatan dikesankan seperti mata kucing. Rambut dan cambangnya yang coklat kemerahan dikesankan seperti rambut singa. Sungguh, penampilan Syaikh Jumad al-Kubra menimbulkan keheranan orang-orang Surabaya. Itu sebabnya, para pelayan di Kraton Surabaya sering terlihat berkerumun memandanginya bagaikan melihat makhluk aneh. Bahkan, saat mendengar dia berbicara dalam bahasa Melayu dengan logat aneh, orang-orang menduganya sebagai makhluk berasal dari negeri Atas Angin, negeri asing di angkasa.

Di lingkungan keluarga Raden Ali Rahmatullah sendiri, Syaikh Jumad al-Kubra sangat dihormati. Menurut cerita, bentuk fisiknya mirip dengan kakek mereka, Syaikh Ibrahim as-Samarkandy. Bahkan, yang membuatnya makin disegani adalah kenyataan yang menunjuk bahwa dia adalah wakil (khalifah) Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi, seorang mursyid besar Tareka Kubrawiyyah. Lantaran itu, ketika dia memberikan khirqah (jubah sufi) kepada Raden Ahmad yang berkedudukan sebagai pengganti (khatib) ayahandanya, orang langsung menganggap hal itu sebagai pengukuhannya sebagai mursyid Tarekat Kubrawiyyah di Nusa Jawa.

Sementara itu, kepada Abdul Jalil, Syaikh Jumad al-Kubra mengungkapkan bahwa kehadirannya ke Nusa Jawa pada dasarnya untuk memenuhi amanat almarhum guru ruhaninya tercinta, Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi. �Kira-kira tiga puluh tahun silam, syaikh kami telah menyuruhku berkelana untuk mencari seorang mujaddid (pembaharu) yang melakukan tajdid (pembaharuan) di suatu negeri. Jika sudah bertemu, aku diperintahkan untuk menyerahkan taj (mahkota sufi) kepadanya. Aku juga diperintahkan untuk ikut serta mengambil bagian dalam gerakan pembaharuan tersebut. Demi kepatuhanku kepada guruku, aku berkelana berkeliling ke berbagai belahan dunia untuk mencari sang mujaddid tersebut. Tetapi mulai negeri Khanat Bukhara, Khanat Jaghatai, Kipchak, Mameluk, Khurasan, Baghdad, Hijaz, Yaman, hingga Gujarat tidak kutemukan adanya gema pembaharuan dalam tatanan kehidupan manusia. Aku tidak menemukan sang mujaddid tersebut sehingga aku mulai meragukan kebenaran wasiat syaikh kami.�

�Baru sekitar enam bulan silam, ketika aku datang ke Malaka menemui saudaraku lain ibu, Dara Putih, yang tinggal di kampung Pulau Upih, aku diberi tahu tentang terjadinya suatu pembaharuan dalam tatanan kehidupan di negeri Jawa yang dipelopori oleh seorang syaikh asal Malaka, yaitu Syaikh Lemah Abang. Karena itu, aku buru-buru datang ke Jawa untuk mencari tahu tentang sang pembaharu itu. Aku merasa sangat beruntung dapat bertemu dengan sang mujaddid, yang ternyata tiada lain adalah kerabatku sendiri, Tuan Syaikh Datuk Abdul Jalil, keturunan Sayyid Amir Ahmad Syah Jalaluddin,� kata Syaikh Jumad al-Kubra dengan mata berbinar-binar.

�Orang sering kali terlalu melebih-lebihkan sesuatu secara kurang tepat,� kata Abdul Jalil datar dan merendah. �Apa yang sudah aku lakukan dalam perubahan di negeri ini sesunggunya bukanlah pembaharuan. Aku katakan bukan pembaharuan karena ibarat pohon-pohon di kebun, tatanan baru yang aku tegakkan itu sesungguhnya sudah ada lembaganya, namun merana dan terbengkalai akibat tidak diurus dan tidak dipelihara dengan baik. Jadi, upayaku selama ini hanya berusaha menyuburkan lembaga-lembaga itu agar tumbuh dan berkembang menjadi pohon-pohon yang berbuah lebat. Dalam upaya menyuburkan lembaga itu, aku hanya memangkas bagian-bagian tanaman yang sudah layu dan kemudian mencangkokkan bagian yang terpangkas itu dengan bagian-bagian dari pohon lain yang baik. Sekali lagi aku tegaskan, aku bukanlah mujaddid.�

Syaikh Jumad al-Kubra tertawa. Ia menangkap isyarat bahwa Abdul Jalil tidak suka dipuji. Ia bahkan menangkap kesan Abdul Jalil adalah seorang malamit, orang yang menyembunyikan kesempurnaan batiniahnya dengan penampilan yang hina dan tercela.

Didorong rasa ingin tahu yang kuat untuk mengetahui keberadaan Abdul Jalil sebagai mujaddid sejati sesuai amanat guru ruhaninya, Syaikh Jumad al-Kubra terus bertanya kepada Abdul Jalil, �Menurut kabar yang kami dengar, Tuan Syaikh dikenal orang dengan sebutan Syaikh Lemah Abang karena Tuan Syaikh mengawali perubahan tatanan kehidupan penduduk dari tempat-tempat bernama Lemah Abang. Apakah dukuh-dukuh Lemah Abang yang Tuan dirikan itu memang tanahnya berwarna merah? Ataukah Tuan Syaikh sesungguhnya telah menemukan kibrit ahmar (belerang merah) sehingga Tuan Syaikh menamai tempat-tempat itu dengan perlambang tanah merah?�

�Tanah Abang? Kibrit ahmar? Belerang merah? Kibrit ahmar yang bisa mengubah logam menjadi emas?� gumam Abdul Jalil dengan kening berkerut dan muka tidak senang, �Jika nama Lemah Abang Tuan tafsirkan terkait dengan kibrit ahmar , itu boleh saja. Tetapi, jika penafsiran Tuan itu aku benarkan maka Tuan dan orang-orang yang paham terhadap makna kibrit ahmar akan menganggap aku manusia sombong yang suka memamerkan diri sebagai pemilik kesadaran tertinggi dan pengetahuan yang langka. Jadi menurutku, sekali-kali tidak seperti itu makna di balik nama Lemah Abang. Sedikit pun nama Lemah Abang tidak terkait dengan kibrit ahmar, meski orang bisa menafsirkan bahwa lewat dukuh-dukuh Lemah Abang, �manusia-manusia logam� bisa ditempa menjadi �manusia-manusia emas�.�

�Aku kira nama Lemah Abang sedikit pun tidak terkait dengan kibrit ahmar. Pertama-tama, aku sengaja memilih nama Lemah Abang karena terkait dengan pengetahuan rahasia yang disebut perundagian, yang salah satu tata caranya menggunakan sarana sejenis wafak yang menggunakan aksara AH dan ANG, yang melambangkan makna laki-laki dan perempuan. Itu terkait dengan pemujaan Dewi Bhumi, Prthiwi. Yang kedua, nama Lemah Abang aku maksudkan untuk menandai perubahan suatu rentangan zaman, di mana kesadaran manusia yang kacau telah diarahkan ke kesadaran Tauhid, ibarat penyucian diri manusia dari jiwa-jiwa rendah. Lemah Abang merupakan perlambang penyucian jiwa tanah dari kuasa nafsu-nafsu rendah bendawi. Lantaran itu, dengan jiwa tanah yang suci itu, aku berharap akan lahir adimanusia (insan kamil) yang lepas dari ikatan kuat jiwa bumi.�

�Apakah itu berarti nama Lemah Abang terkait dengan penyucian nafs al-Ammarrah yang berwarna merah?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra ganti mengerutkan kening heran.

Abdul Jalil mengangguk, �Ya. Sederhana sekali, �kan,?�

�Kenapa Tuan Syaikh memilih perlambang nafs al-Ammarrah?� Syaikh Jumad al-Kubra minta penjelasan. �Bukankah masih ada nafs lain yang juga harus disucikan?�

�Sesungguhnya, tempat-tempat yang akan aku buka untuk menyampaikan Kebenaran bukan hanya akan dinamai Lemah Abang. Aku sudah merencanakan untuk membuka tempat-tempat baru yang disebut Lemah Ireng (tanah hitam), Lemah Putih (tanah putih), dan Lemah Jenar (tanah kuning). Ketiga nama terakhir itu mengandung perlambang nafs al-Lawwammah (hitam), nafs al-Muthma�inah (putih), dan nafs as-Sufliyah (kuning),� ujar Abdul Jalil.

�Kenapa Tuan Syaikh harus menyucikan tanah? Adakah rahasia di balik itu? Bukankah menyucikan tanah itu tidak dikenal dalam ajaran Islam?�

�Sesungguhnya, aku hanya mengikuti tata cara yang sudah pernah dilakukan orang-orang di masa silam yang pernah hidup di Nusa Jawa. Mereka menyebut penyucian tanah dengan istilah bhumisoddhana.�

�Bhumisoddhana? Upacara apa itu?�

�Sejak masa purwakala, para orang tapa waskita yang datang dari berbagai negeri sudah melakukan penyucian tanah Nusa Jawa dalam upaya menentukan tempat yang hak untuk berpijak bagi manusia. Karena itu, tempat yang hak itu dibatasi oleh dharma (anusuk). Tetapi, apa yang aku lakukan bukan sekadar menyucikan tanah yang disebut bhumisoddhana, melainkan juga menyucikan anasir tanah yang membentuk tubuh manusia yang disebut bhuta-suddhi,� kata Abdul Jalil menjelaskan.

�Berarti sebelum ini sudah ada orang yang melakukannya?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra.

�Yang aku ketahui, manusia yang untuk kali pertama melakukan penyucian terhadap tanah Nusa Jawa adalah Dang Hyang Semar, seorang nabi dari zaman purwakala. Setelah itu secara berturut-turut bhumisoddhana dilakukan oleh Rishi Agastya putera Varuna, Prabu Isaka putera Prabu Anggajali, Prabu Writhikandayun putera Rishi Kandiawan, Rishi Trenawindu putera Rishi Agasti, Aryya Bharad dari Lemah Citra, Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi, Sang Pranajaya dari Tumapel, dan Pu Gajah Mada Mahapatih Majapahit,� kata Abdul Jalil.

�Apakah para tapa itu juga menggunakan sarana-sarana sebagaimana yang Tuan lakukan?�

�Ya,� sahut Abdul Jalil. �Menurut ibunda asuhku, Nyi Indang Geulis, sarana yang digunakan oleh beliau-beliau itu untuk menyucikan tanah Nusa Jawa meliputi lambang-lambang yang terkait dengan empat macam warna (catur warna) yaitu hitam, kuning, merah, dan putih.�

�Apakah warna-warna itu harus dikaitkan dengan tanah?� tanya Syaikh Jumad al-Kubra.

�Tidak selalu tanah,� jawab Abdul Jalil. �Ada yang melambangkan warna merah dengan api sehingga mereka melakukan upacara agni hotra di sejumlah tempat. Ada yang melambangkan warna merah dengan darah sehingga mereka melakukan upacara darah. Tetapi, sesuai petunjuk ibunda asuhku, cara yang aku lakukan untuk menyucikan jiwa Sang Bhumi yang kesuburannya dipuja manusia adalah dengan lambang-lambang yang terkait dengan wahana dari Sang Kesuburan, Bhattari Sri, yang dilambangkan dalam wujud empat jenis burung, yaitu kitiran (perkutut), puter, wuru-wuru spang (deruk merah), dan dara wulung (merpati hitam).�

�Menurut perlambang purwakala, dari burung kitiran memancar wija �Ong� dari Hakini Shakti yang mengejawantah dalam perwujudan benih putih (beras). Dari burung puter memancar wija �Wang� dari Waruna yang mengejawantah dalam perwujudan benih kuning (kunyit), Penguasa perairan yang bersemayam di atas makara putih. Dari burung wuru-wuru spang memancar wija �Rang� dari Agni yang mengejawantah dalam perwujudan benih merah (jawawut). Dari burung dara wulung memancar wija �Lang� dari Prthiwi yang mengejawantah dalam perwujudan benih hitam (ketan ireng). Keempat wahana Bhattari Sri itu, menurut ibundaku, adalah lambang Prthiwi (tanah), Apah (air), Agni (api), dan Bayu (angin). Jika keempat jiwa bumi yang menjadi wahana Bhattari Sri tersebut sudah tersingkap maka akan terbit Akasha, yaitu anasir kelima yang melambangkan hakikat sejati dari jiwa Sang Bhumi yang merupakan pengejawantahan Paramakhasa-rupi (Akasha Agung).�

�Jika Tuan bertanya kenapa aku melakukan penyucian bumi yang tidak lazim dilakukan orang Islam? Pertama-tama akan aku beritahukan kepada Tuan bahwa alasan utamaku melakukan penyucian tanah adalah demi keselamatan manusia-manusia penghuni negeri berpulau-pulau di tengah samudera ini. Sebab, menurut hadits Rasulullah Saw., sebelum Adam a.s., leluhur manusia dicipta dari tanah, dunia ini dihuni oleh Banu al-Jann yang dicipta dari api beracun. Mereka itu, menurut dalil-dalil Kitab Suci, suka berperang dan menumpahkan darah sesamanya. Saat Adam a.s. akan diturunkan ke dunia, Banu al-Jann diusir ke tempat-tempat di tengah samudera raya. Karena itu, Nusa Jawa dan pulau-pulau lain di tengah samudera pada akhirnya dihuni oleh Banu al-Jann. Sebagaimana Sang Iblis yang tidak senang dengan kehadiran makhluk baru yang disebut Adam a.s., demikianlah puak-puak Banu al-Jann sangat tidak senang dengan anak keturunan Adam a.s. ke tempat-tempat yang mereka huni. Tidak berbeda dengan Sang Iblis, Banu al-Jann menganggap Adam a.s. dan keturunannya sebagai makhluk yang lebih rendah derajatnya, sebagaimana manusia memandang binatang. Pada saat-saat tertentu mereka melakukan perburuan untuk memangsa manusia. Jadi, usahaku melakukan penyucian jiwa tanah, salah satu alasannya adalah bertujuan membentengi manusia dari pengaruh keganasan Banu al-Jann.�

�Alasan yang lain, Sang Bhumi adalah pengejawantahan aspek keibuan dari Brahman yang mencipta dan memberi makan dunia (Shri-mata). Sebagaimana hukum kehidupan, Sang Bhumi wajib memberi apa yang harus diberi dan sekaligus berhak meminta apa yang harus diminta. Karena itu, siapa di antara makhluk penghuni bumi yang paling banyak mengambil keuntungan dari bumi maka dia wajib mempersembahkan lebih banyak kepada Sang Bhumi. Dengan begitu, bagi manusia yang menjadi pemuja dan pendamba bumi, mereka akan menjadi hamba dari bumi. Mereka itulah yang harus memberi persembahan darah kepada Ibunda Prthiwi yang selalu haus darah dan madhu,� kata Abdul Jalil.

�Adakah keterkaitan makna rahasia di balik empat macam warna penyucian bumi?�

�Semua tergantung keyakinan. Jika orang menganggap tidak ada kaitan antara sarana-sarana yang aku tebarkan dengan tawarnya pengaruh jahat Banu al-Jann dan meredanya kehausan darah Sang Prthiwi, maka hal itu sah saja. Tetapi, bagi padanganku pribadi, apa yang aku lakukan dalam penyucian tanah itu dapat disandarkan pada peristiwa yang pernah dilakukan Rasulullah Saw. saat menempatkan bunga kurma di atas kuburan seseorang. Saat itu beliau bersabda, sebelum bunga itu kering maka ahli kubur yang ada di kuburan itu terhindar dari siksa malaikat. Bagi mereka yang belum terbuka, tidak mempercayai bahwa bunga kurma dapat menghentikan tindakan malaikat penyiksa di alam kubur. Mereka akan menganggap hadist itu palsu. Karena itu, bagiku, masalah itu hanya bisa dipandang dari sudut keyakinan dan mata batin. Orang boleh percaya dan boleh juga tidak. Demikian juga dengan apa yang aku lakukan dalam upaya membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra dan tempat-tempat Sang Bhumi dipuja dengan menggunakan tu-mbal manusia, boleh dipercaya dan boleh pula tidak,� ujar Abdul Jalil menegaskan.

�Aku percaya dengan apa yang Tuan Syaikh lakukan,� kata Syaikh Jumad al-Kubra.

Read More ->>

Minggu, 12 Februari 2017

PERUBAHAN

Perubahan Demi Perubahan

Ketika sampai di pelabuhan Gresik, Abdul Jalil dan rombongan bersembahyang di tajug agung Gresik yang terletak di depan kediaman syahbandar. Tetapi, saat beristirahat ia terkejut ketika mengetahui penduduk di sekitar tajug agung berbicara dalam bahasa sehari-hari dengan menggunakan kata ganti diri ingsun. Hal itu mengagetkan karena barang setahun lalu ketika ia menghadap Prabu Satmata di Puri Giri Kedhaton, penduduk yang tinggal di sekitar pelabuhan Gresik masih menggunakan kata ganti diri nghulun atau kawula. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Syaikh Garigis, yang bernama asli Mathori, imam tajug agung Gresik, ia beroleh jawaban bahwa perubahan yang terjadi di Kadipaten Gresik dan Giri Kedhaton memang baru berlangsung barang lima bulan silam. �

Atas titah Sri Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul Khalifatullah Prabu Satmata, seluruh penduduk di tlatah Giri Kedhaton diwajibkan menggunakan kata ganti diri ingsun. Titah itu kemudian diikuti adipati Gresik dan Siddhayu. Malahan, jabatan kepala wisaya dan kepala desa di Giri Kedhaton pun telah dirubah. Jabatan Buyut diganti Ki Ageng. Jabatan Rama diganti Ki Lurah. Para pemimpin wisaya di Giri Kedhaton sekarang ini semuanya menggunakan gelar Ki Ageng seperti di Wanjang, Siwalan, Sumengka, Cangkir, dan Damyan. Kalau tidak salah, pekan depan ini Kadipaten Gresik dan Siddhayu akan ikut juga,� ujar Syaikh Garigis.

Abdul Jalil senang mendengar perubahan itu. Karena itu, ia dan rombongan pergi ke puri Giri Kedhaton untuk menemui Prabu Satmata. Tetapi, di Puri Giri Kedhaton ia ditemui oleh Pangeran Arya Pinatih, paman angkat Prabu Satmata, yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun. Pangeran Arya Pinatih memberi tahu Abdul Jalil jika Prabu Satmata dan putera ketiganya, Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur, barang sehari lalu telah pergi ke Surabaya. �Katanya hendak bertemu dengan Raden Kusen Adipati Terung sekalian berziarah ke Ampel Denta,� kata Pangeran Arya Pinatih.

Pangeran Arya Pinatih adalah paman angkat Prabu Satmata. Dia adik kandung Nyai Pinatih, ibu angkat Prabu Satmata. Meski lahir dari keluarga bangsawan Pinatih dari ksatria Manggis, sejak kecil dia diasuh di Gresik secara Islam oleh kakak kandungnya. Dia sangat dihormati sebagai mursyid Tarekat Kubrawiyyah, yaitu tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Najamuddin Kubra al-Khwarazm. Dia mengambil baiat kepada Raden Ali Murtadho, Raja Pandita Susuhunan Gresik, kakak Raden Ali Rahmatullah. Oleh Raden Ali Murtadho, ia ditunjuk sebagai wakilnya (khalifah). Lantaran selama bertahun-tahun mengajarkan Tarekat Kubrawiyyah di Tajug Agung Giri Kedhaton yang terletak di depan Bangsal Sri Manganti, yaitu kraton Prabu Satmata yang terletak di selatan Puri Giri Kedhaton, maka dia dikenal orang dengan sebutan Syaikh Manganti.

Kemapanan sebagai seorang pangeran kaya raya dan sekaligus khalifah tarekat yang dimuliakan manusia ternyata tidak menjadikan Pangeran Arya Pinatih berpuas diri menikmatinya. Di usianya yang makin senja itu dia sering meninggalkan kediamannya untuk mendakwahkan Kebenaran Islam di pedalaman. Melalui salah seorang kepala wisaya di Tumapel yang menjadi muridnya, yaitu Kyayi Gribik, dia menyebarkan pengaruh Islam di pedalaman hingga ke daerah Sengguruh dan Lumajang di selatan. Hanya pada saat-saat tertentu saja dia kembali ke padepokannya di selatan atau ke purinya yang terletak di Kedhanyang di selatan Puri Giri Kedhaton. Dia dikaruniai dua putera, Pangeran Pringgabhaya dan Pangeran Kedhanyang.

Kedatangan Abdul Jalil dan rombongan yang tak terduga ternyata dengan cepat didengar oleh keluarga Prabu Satmata. Rupanya, selama ini orang-orang sudah banyak membicarakan pandangan-pandangannya yang aneh dan tidak lazim. Itu sebabnya, belum lama Abdul Jalil berbincang-bincang dengan Pangeran Arya Pinatih, putera-putera Prabu Satmata disertai Pangeran Pringgabhaya dan Pangeran Kedhanyang bermunculan dan saling memperkenalkan diri. Para putera Prabu Satmata itu adalah Pangeran Tegal Wangi Dalem Lor, Pangeran Ardi Pandan Dalem Kidul, Pangeran Kembangan Dalem Kulon, dan Pangeran Waruju. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka memohon kepada Pangeran Arya Pinatih agar diperkenankan ikut berbincang-bincang dengan Abdul Jalil.

Selama berbincang-bincang dengan Pangeran Arya Pinatih dan para putera Prabu Satmata, Abdul Jalil menangkap keluasan wawasan dan kedalaman pengetahuan para pangeran tersebut. Tetapi, ia sangat terkejut ketika Pangeran Arya Pinatih menyinggung-nyinggung nama Hasan Ali, orang asal Caruban yang mengaku murid Syaikh Lemah Abang yang bernama asli San Ali Anshar. �Aku curiga dengan pengakuannya. Karena yang kuketahui, nama asli Syaikh Lemah Abang adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil,� kata Pangeran Arya Pinatih.

Abdul Jalil tercenung. Ia tiba-tiba teringat pada Syaikh Datuk Kahfi, guru terkasih sekaligus ayahanda asuhnya, yang pernah menuturkan perihal Raden Anggaraksa, putera Rsi Bungsu yang setelah memeluk Islam diberi nama Hasan Ali. Sesaat ia menangkap sasmita tidak baik tentang Hasan Ali yang mengaku muridnya itu, apalagi dengan menyebutnya dengan nama San Ali Anshar. Ingatan Abdul Jalil pun melesat pada dua orang adik iparnya, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar al-Baghdady, yang pernah menuturkan pengkhianatan Ali Anshar. Jangan-jangan, pikir Abdul Jalil, Ali Anshar yang sudah berada di Jawa itu melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan dengan mengatasnamakan dirinya.

Menangkap gelagat tidak baik itu, Abdul Jalil buru-buru menolak pengakuan sepihak Hasan Ali itu dengan pernyataan tegas, �Sesungguhnya, Hasan Ali itu putera Rsi Bungsu, adik dari ibunda asuhku. Dia cucu Prabu Surawisesa, penguasa Galuh Pakuan. Namanya yang asli Raden Anggaraksa. Dia dinamai Hasan Ali oleh ibunda asuhku setelah memeluk agama Islam. Tetapi, kami tidak pernah saling bertemu muka. Karena itu, kalau dia mengaku murid Syaikh Lemah Abang, San Ali Anshar, mungkin itu benar. Tetapi, pasti bukan kami yang dimaksud. Kami sendiri memiliki nama kecil San Ali, namun kami bukan San Ali Anshar. Kami curiga nama itu digunakan seorang pengkhianat bernama Ali Anshar asal negeri Persia yang pernah kukenal di Baghdad. Kepadaku, dia mengaku berasal dari Tabriz dan menggunakan Ali Anshar at-Tabrizi. Belakangan aku diberi tahu jika dia berasal dari Isfahan.�

�Sejak awal aku memang sudah curiga,� kata Pangera Arya Pinatih, �Sebab, di hadapanku ia mengaku bernama Hasan Ali, murid dari Syaikh Lemah Abang, San Ali Anshar. Sedangkan di hadapan Prabu Satmata ia mengaku bernama Bango Samparan, putera Rsi Bungsu dari Pajajaran. Kepada aku, ia mengaku ingin belajar tentang ilmu Kebenaran dari Tareka Kubrawiyyah, namun kepada Prabu Satmata ia mengaku ingin belajar ilmu terawangan dari Tarekat Ni�matullah. Aku makin curiga ketika murid-muridku melaporkan Hasan Ali itu panda mempertunjukkan ilmu sihir.�

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia benar-benar melihat gelagat tidak baik dari keberadaan Hasan Ali yang mengaku muridnya itu, terutama dalam kaitan dengan San Ali Anshar. Sejenak setelah itu tiba-tiba Ruh al-Haqq di kedalaman kalbunya memberi tahu bahwa justru lewat Hasan Ali dan San Ali Anshar itulah jalan penistaan dan penghinaan yang harus dilaluinya akan terwujud menjadi kenyataan. Ya, lewat Hasan Ali dan Ali Anshar itulah ikatan perjanjianmu dengan Sang Bhumi akan tergenapi, kata Ruh al-Haqq.

Beberapa jenak Abdul Jalil terdiam. Ia segera sadar bahwa jalan kenistaan yang dilaluinya rupanya harus melewati sosok Hasan Ali dan Ali Anshar al-Isfahani. Lantaran itu, ia kemudian menjelaskan dengan jujur masalah perikatan janjinya dengan Sang Bhumi kepada Pangeran Arya Pinatih. Meski awalnya terkejut, pangeran asal Bali yang sudah merasakan pahit getirnya kehidupan itu menyatakan dukungan penuh kepada Abdul Jalil untuk menunaikan tugas mulia itu. Kedua orang putera sang pangeran dan para putera Prabu Satmata pun menyatakan dukungan. Bahkan, Pangeran Arya Pinatih dengan tegas meminta Abdul Jalil untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra di Giri Kedhaton. �Terus terang, aku sudah tidak tahan setiap waktu mendengar ibu-ibu meratap dan hilang ingatan karena anaknya dijadikan korban persembahan di ksetra. Upacara-upacara itu harus diakhiri. Aku dan kemenakanku, Prabu Satmata, sudah berkali-kali mencari jalan terbaik untuk menutup ksetra-ksetra itu. Tapi, belum juga bertemu caranya. Lantaran itu, aku yakin dia akan sepaham denganku, mendukung sepenuhnya usahamu menutup tempat-tempat kebusukan (putikeswara) itu dengan cara membuat tawar daya shaktinya,� kata Pangeran Arya Pinatih.

�Ada berapakah jumlah ksetra di Giri Kedhaton?� tanya Abdul Jalil.

�Ada empat, yaitu Ksetra Adhidewa, Mangare, Dara, dan Indrabhawana.�

Peristiwa amuk yang dilakukan Raden Kusen Adipati Terung ternyata sangat menggemparkan dan menjadi pembicaraan ramai penduduk dari pedalaman hingga pesisir. Hal itu diketahui Abdul Jalil tak lama setelah ia menginjakkan kaki si Surabaya. Sejak turun di panambangan ia sudah mendapati orang-orang sudah membicarakan peristiwa aneh di Japan, Wirasabha, dan Terung. Ketika di Kraton Surabaya ia mendapati hampir semua putera, kerabat dekat, dan siswa Raden Ali Rahmatullah berkumpul di situ. Mereka tampaknya ingin memecahkan masalah rumit, terutama yang sedang membelit penguasa Terung. Di antara mereka itu terlihat Raden Ahmad, Raden Mahdum Ibrahim, Raden Mahmud, Raden Hamzah, Ibrahim al-Gujarati, Raden Kusen, Prabu Satmata, Raden Zainal Abidin Adipati Gresik, Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur, Khalifah Husein, Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, dan Arya Bijaya Orob Adipati Tedunan.

Saat beramah-tamah dan saling mengabarkan keselamatan masing-masing, banyak yang bertanya kepada Abdul Jalil tentang perkembangan Caruban setelah memenangkan peperangan melawan Rajagaluh. Abdul Jalil yang sangat prihatin atas �perang� lanjutan setelah kemenangan itu dengan kurang bersemangat menjelaskan, �Apa yang disabdakan Rasulullah Saw. tentang perang yang lebih besar dari Perang Badar telah terjadi di Rajagaluh sekarang ini. Masing-masing orang berperang melawan nafs mereka masing-masing. Karena itu, aku cepat-cepat meninggalkan mereka yang sedang berlomba mengumbar nafsu berkuasa itu. Sekarang ini Sri Mangana beserta para gede sedang sibuk menata pemerintahan baru di Rajagaluh.�

�Kenapa Paman justru meninggalkan Caruban pada saat-saat seperti itu?� tanya Raden Ahmad heran. �Bukankah sekarang ini Paman lebih dibutuhkan di sana?�

�Kalau aku tidak meninggalkan Caruban, fitnah akan bertebaran lebih dahsyat. Orang-orang yang sudah mabuk kekuasaan itu akan memfitnahku dengan tuduhan macam-macam, pada ujungnya yang terkena akibat buruk adalah Sri Mangana. Dengan kepergianku dari Caruban, Sri Mangana dan para gede akan bisa bertindak lebih leluasa menata pemerintahan baru di Rajagaluh,� jawab Abdul Jalil.

�Siapa kira-kira yang jadi penguasa Rajagaluh?�

�Kalau tidak keliru, para gedeng sepakat mengajukan Ki Sukawiyana dari Gunung Ciangkup sebagai calon penguasa Rajagaluh. Aku kira itu pilihan yang tepat. Sebab, Ki Sukawiyana adalah putera Sanghyang Nago yang sangat ditakuti dan disegani. Dia bekas penguasa ksetra. Dengan begitu, orang-orang Rajagaluh pasti tidak ada yang berani menentangnya,� kata Abdul Jalil.

�Yang memilih adipati para gedeng?� sergah Raden Ahmad bagai tak percaya. �Berarti, gagasan wilayah al-Ummah benar-benar dijalankan di Caruban?�

�Tentu saja. Lantaran itu, penduduk Caruban menyebut negerinya Garage, Nagara Gede. Maksudnya, negara yang dipimpin dan diatur oleh para gede. Sedangkan negeri lain masih dikuasai oleh raja,� kata Abdul Jalil.

Setelah membicarakan keadaan di Rajagaluh dan Caruban, terutama pelaksanaan gagasan wilayah al-Ummah, para putera Raden Ali Rahmatullah memberi tahu Abdul Jalil bahwa gagasan wilayah al-Ummah yang pernah ditawarkannya itu sebagian sudah dijalankan di Surabaya, Terung, dan Bubat atas permintaan ayahanda mereka. �Ayahanda kami sebelum wafat telah meminta kepada saudara kami, Raden Kusen, untuk membuat ketetapan mengganti gelar Buyut bagi kepala wisaya dengan gelar Ki Ageng, dan mengganti pula gelar Rama bagi para kepala desa dengan gelar Ki Lurah,� kata Raden Hamzah memaparkan.

�Aku juga sudah melihat perubahan itu di pesisir sejak berangkat dari Caruban. Tapi, benarkah daerah pedalaman yang masuk wilayah Terung dan Bubat juga diubah?� tanya Abdul Jalil ingin tahu.

�Ya, Paman. Semua wisaya dan desa di Kadipaten Surabaya, Terung, dan Bubat telah diubah serentak,� Raden Hamzah menjelaskan. �Wisaya Bukul dipimpin oleh Ki Ageng Bukul, Syaikh Mahmudin, putera Ki Buyut Bukul. Wisaya Sumber Urip dipimpin Ki Ageng Banyu Urip, Ki Wiryo Saroyo, putera Ki Bang Kuning. Wisaya Sapanjang dipimpin oleh Ki Ageng Sapanjang, yaitu adik kami sendiri, Raden Mahmud. Pendek kata, semua wisaya di tlatah Terung dan Bubat seperti Wringin Sapta, Lemah Tulis, Pagedangan, Pagerwaja, Sukadana, Talsewu, Hanyiru, Awang-Awang, Penggiring, Terung, Kapulungan, Kejapanan, Gerongan, Gunung Gangsir, Pandakan, dan Tunggul Wulung semuanya sudah dipimpin oleh para Ki Ageng.�

�Berarti perubahan yang dilakukan para adipati di pesisir itu sesungguhnya mengikuti Surabaya,� kata Abdul Jalil. �Sebab di Bojong, Kendal, Samarang, dan Giri Kedhaton aku mendapati perubahan yang sama di sana.�

�Itu memang benar, Paman. Ayahanda kami juga mengirim utusan ke Giri Kedhaton, Tuban, Demak, Lasem, Japara, Kendal, dan Bojong untuk melakukan perubahan tersebut. Kira-kira tiga bulan lalu, saudara kami Adipati Tedunan Arya Bijaya Orob dan Adipati Siddhayu Yusuf Siddhiq juga mulai melaksanakan perubahan tersebut di wilayahnya,� kata Raden Ahmad.

�Mudah-mudahan dengan memandang kebesaran ayahandamu, perubahan besar bagi tatanan kehidupan di Majapahit akan segera terwujud,� kata Abdul Jalil berharap.

�Tapi, Paman, terus terang saja sampai saat ini kami belum paham dengan makna yang sebenarnya di balik perubahan gelar-gelar jabatan tersebut. Sungguh, ketetapan itu dibuat saudara kami semata-mata karena kepatuhan dan penghormatannya kepada ayahanda kami. Karena kami semua mengetahui jika gagasan itu asalnya dari Paman maka kami mohon penjelasan langsung dari Paman, kenapa gelar-gelar jabatan Buyut dan Rama harus diubah. Kenapa gelar Buyut harus diubah menjadi Ki Ageng dan gelar Rama diubah menjadi Ki Lurah? Kenapa pula para kawula diharuskan menggunakan kata ganti diri ingsun?� tanya Raden Qasim.

�Semua itu tentu terkait dengan tatanan kehidupan lama ke baru. Maksudku, perubahan nilai-nilai lama ke nilai-nilai baru, perubahan dari Tauhid lama ke Tauhid baru yang murni.�

�Tapi kami tidak melihat makna apa-apa di balik perubahan itu, Paman,� Raden Ahmad menyela. �Sebab yang diganti itu, menurut hemat kami, hanya istilah-istilah gelar belaka, yaitu dari Buyut menjadi Ki Ageng, dari Rama menjadi Ki Lurah. Bukankah keberadaan Buyut dan Ki Ageng sesungguhnya tetap sama, yaitu kepala wisaya? Bukankah keberadaan Rama dan Lurah juga sama, yaitu kepala desa?�

�Dilihat dari sisi tata pemerintahan memang tidak ada yang berubah. Sebab, baik gelar Buyut dan Ki Ageng pada dasarnya tetap merupakan gelar bagi mereka yang berkedudukan sebagai kepala wisaya. Demikian juga gelar Rama dan Lurah tetap merupakan gelar bagi kepala desa. Tetapi, jika kita memandang perubahan itu dari sudut pandangan Tauhid maka kita akan segera melihat perbedaan yang mencolok di antara perubahan gelar-gelar tersebut, bagaikan perbedaan malam dengan siang,� tegas Abdul Jalil.

�Kami belum paham, Paman.�

�Sepengetahuanmu, jika seorang Buyut meninggal, apa yang dilakukan oleh kawula di wisaya yang dipimpinnya? Begitu pun jika seorang Rama meninggal, apa yang dilakukan oleh kawula di desa yang dipimpinnya?� tanya Abdul Jalil memancing. �

Penduduk akan memuja batu tanda kematian sang Buyut dan sang Rama sebagai Kabuyutan dan punden Karaman, Paman,� tukas Raden Qasim mulai menangkap makna ucapan Abdul Jalil.

�Dapatkah engkau menghitung jumlah kabuyutan dan punden karaman di wilayah Majapahit atau bahkan yang ada di Kadipaten Surabaya dan Terung saja?�

�Tentu tidak bisa, Paman. Jumlahnya beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu.�

�Nah, dengan diubahnya istilah Buyut menjadi Ki Ageng dan istilah Rama menjadi Ki Lurah, apakah menurutmu arwah mereka akan dipuja oleh penduduk setelah mereka meninggal dunia?� tanya Abdul Jalil.

�Tentu saja tidak, Paman,� Raden Qasim mengangguk-angguk paham.

�Karena itu, dalam upaya menegakkan Tauhid, ketika ayahandamu akan wafat, beliau �menemuiku� dan menyatakan tidak ingin kematiannya diketahui penduduk. Beliau ingin dikuburkan oleh putera-putera dan kerabat secara diam-diam. Beliau tidak ingin makamnya dipuja seperti pendharmaan raja-raja,� kata Abdul Jalil.

�Kami paham, Paman,� kata Raden Ahmad. �Tapi kenapa gelar Sri, Prabu, Adipati, dan Ratu tidak ikut diubah? Bukankah raja-raja itu jika mangkat arwahnya dipuja di candi-candi?�

�Belum waktunya. Kalau kita terburu-buru melakukan perubahan sebelum waktunya, yang akan terjadi adalah kekacauan yang mungkin berujung pada kegagalan. Itu sebabnya, kita harus sabar.�

�Kami paham, Paman. Tapi, mohon Paman jelaskan kepada kami kenapa kita harus merubah tata cara berbahasa dan terutama mengubah kata ganti diri dari nghulun dan kawula menjadi ingsun?� tanya Raden Ahmad.

�Perubahan itu tentu terkait dengan Tauhid, Raden. Ajaran luhur Islam tentang Tauhid, terutama gagasan wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh), tidak akan bisa terwujud di dalam kenyataan jika masing-masing manusia masih menekuk lutut dan merendahkan diri sendiri sebagai budak bagi sesama. Aku kira engkau telah paham bahwa saat Islam pertama kali didakwahkan, masalah pembebasan budak-budak menjadi garapan utama dari perjuangan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat. Hal itu terjadi bukan karena Islam agama pembebas budak, melainkan lebih karena Islam adalah ajaran Tauhid sejati yang membawa manusia kepada pemujaan satu Ilah: al-Ahad.�

�Jika engkau bertanya kenapa aku memiliki gagasan untuk mengubah kata ganti nghulun dan kawula menjadi ingsun atau aku, maka dasar utama alasanku adalah semata-mata karena Tauhid itu sendiri. Maksudku, keberadaan penduduk Arab dan Majapahit harus dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Jika pada zaman Nabi Muhammad Saw. para sahabat berusaha menebus budak-budak Muslim dengan membayar uang tebusan, hal itu tidak akan mungkin bisa dilakukan di Majapahit. Kenapa? Sebab, di Majapahit setiap manusia adalah budak bagi raja dan keluarganya. Itu berarti, bukan uang tebusan budak yang dibutuhkan di negeri seperti Majapahit, melainkan perubahan tatanan nilai-nilai dan kepercayaan baru yang menolak hegemoni pemikiran yang merendahkan manusia. Ya, yang dibutuhkan di Majapahit adalah perubahan cara pikir dan cara pandang yang bertolak dari nilai-nilai luhur penegakan Tauhid. Dengan penjelasanku ini, mudah-mudahan engkau dapat memahami semua gagasan yang aku sampaikan mulai perubahan gelar jabatan, kata ganti diri, sampai gagasan wilayah al-Ummah. Semua itu tujuan utamanya adalah sama, yaitu penegakan Tauhid,� tegas Abdul Jalil.

Read More ->>

Kamis, 09 Februari 2017

TU-LAH SANG NAGA SHESHA

Tu-lah Sang Naga Shesha

Ketika Abdul Jalil dan Syaikh Bentong baru saja melepas pengikut-pengikutnya yang ditugaskan menjadi pamancangah menmen, tanpa terduga-duga datanglah tiga orang pengikutnya secara hampir bersamaan. Yang pertama, Kyayi Tapak Menjangan, kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Kendal. Kedua, Ki Wujil Kunting, kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Samarang. Ketiga, Ki Saridin, kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Japara. Mereka datang berurutan dengan membawa kabar yang sama: di sejumlah desa baru di Kadipaten Kendal, Wirasari, Pengging, dan Lasem telah terjadi peristiwa aneh dan menggemparkan penduduk. �

Jika waktu candikala (senja) datang, bayi-bayi menangis sepanjang malam hingga pagi. Banyak di antara bayi-bayi itu kemudian jatuh sakit dan mati. Gadis-gadis yang belum baligh (dewasa) secara berbarengan tidak sadarkan diri. Mereka menjerit-jerit dan kejang-kejang. Setelah sadar, mereka menuturkan bahwa tubuhnya telah dimasuki ruh kakek atau neneknya. Sedangkan yang tidak pernah sadar, menjadi hilang ingatan. Gila. Ibu-ibu muda banyak membunuhi bayinya tanpa sebab yang jelas. Anak-anak lelaki pun menunjukkan perilaku aneh. Tanpa sebab jelas mereka mengomel, marah-marah, mengamuk, merusak barang-barang, dan bahkan menyerang orang-orang yang berada di dekatnya. Tidak peduli bapak, ibu, adik, dan kakek, semua diserang. Bahkan, sejumlah laki-laki dewasa tanpa sebab yang jelas pula tiba-tiba menganiaya istri dan anak-anaknya sampai mati. Pendek kata, semua orang ketakutan karena penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi di dalam keluarga itu bisa mengenai siapa saja,� kata Kyayi Tapak Menjangan.

Ki Saridin membenarkan penuturan Kyayi Tapak Menjangan dan menambahkan, �Malahan yang sedang marak di Wirasari adalah tawur antar desa. Rumah-rumah dibakar. Lumbung-lumbung dibakar. Pedati, gerobak, wluku, lesung, dan barang apa saja yang ditemui dibakar. Bahkan, sawah-sawah pun dibakar. Penduduk tak bersalah, tak peduli orang tua, perempuan, dan anak-anak diburu-buru, dianiaya, dan dibunuh. Pendek kata, semua orang di sana tidakannya seperti orang kesurupan setan,� kata Ki Saridin.

Abdul Jalil menarik napas berat. Ia merasa perasaan aneh yang dialaminya belakangan ini, yang membuatnya seolah-olah harus pergi meninggalkan gubuknya, ternyata memang isyarat gaib yang diterimanya dalam kaitan dengan peristiwa bersifat adiduniawi sebagaimana dikabarkan ketiga pengikutnya tersebut. Dan ia makin yakin ketika tak lama berbincang-bincang dengan pengikut-pengikut setianya itu, datang pula ke gubuknya dua pengikutnya yang lain, Ki Babat Penjalin, kepala dukuh Lemah Abang di Pamotan, dan Kyayi Menjangan Tumlaka, kepala dukuh Lemah Abang di Giri Kedhaton. Mereka berdua menyampaikan kabar yang sama, yaitu tentang peristiwa aneh yang terjadi pula di Japan, Terung, dan Wirasabha.

Di antara kabar tentang peristiwa aneh dari para pengikutnya itu, yang paling mengejutkannya adalah berita yang disampaikan Kyayi Menjangan Tumlaka tentang amuk yang dilakukan Yang Dipertuan Terung Raden Kusen. Menurut kabar yang didengarnya, penguasa Terung yang dikenal gagah berani dan jago perang itu suatu malam mengamuk seperti orang keranjingan setan. Ia menghunus keris pusakanya dan menikam puterinya sendiri hingga tewas. Para dayang dan prajurit yang menjaga kaputren dibunuh semua. Belum puas dengan apa yang dilakukannya, putera Ario Damar itu membakar Kraton Katerungan dan semua bangunan di sekitarnya sampai rata dengan tanah. Bahkan, dengan amarah yang masih berkobar-kobar Raden Kusen memerintahkan prajuritnya untuk membuat tambak (bendungan) yang menutup aliran Bengawan Terung. Setelah itu, ia dan keluarga pindah ke Bubat. �Menurut kabar yang kami dengar, amuk yang dilakukan oleh Yang Dipertuan Terung itu terjadi akibat kekecewaan mendalam yang dialaminya setelah mengetahui puterinya yang bernama Mas Ayu Tunjung, yang belum menikah dan dijaga ketat di kaputren telah hamil,� kata Kyayi Menjangan Tumlaka.

Abdul Jalil merasakan dadanya sesak. Ia cepat menangkap kebenaran cerita bahwa peristiwa yang dialami Raden Kusen itu sejatinya tidak memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa aneh yang baru saja dikabarkan oleh para pengikutnya. Ia sangat yakin tindakan amuk Raden Kusesn adalah tindakan wajar bagi seorang penguasa Majapahit yang masih memegang kuat nilai-nilai lama saat mengalami kekecewaan dan dibakar api amarah. Celakanya, peristiwa itu terjadi bertepatan waktu dengan maraknya kabar tentang peristiwa-peristiwa aneh di berbagai tempat. Lantaran itu, orang cenderung mengaitkannya satu sama lain. Untuk mengingatkan para pengikutnya agar tidak terjebak pada cara berpikir otak-atik mathuk, Abdul Jalil bertanya kepada Kyayi Tapak Menjangan, �Andaikata engkau, o Saudaraku, belum mengikuti ajaranku dan mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh Adipati Terung, apakah yang akan engkau lakukan?�

Kyayi Tapak Menjangan, bangsawan asal Pajang yang menjadi kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Kendal, dengan ucapan tegas berkata, �Tentu kami akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Yang Mulia Adipati Terung. Anak gadis kami yang memalukan itu tentu akan kami bunuh. Bahkan, lelaki yang telah menistanya akan kami bunuh bersama seluruh keluarganya.�

�Itu berarti, peristiwa yang dialami Pamanda Adipati Terung itu tidak ada kaitan dengan peristiwa aneh yang marak belakangan ini. Jadi, jangan dikait-kaitkan,� kata Abdul Jalil.

�Kami rasa, apa yang Kangjeng Syaikh ucapkan memang benar adanya,� kata Kyayi Menjangan Tumlaka. �Kami pun berpikiran seperti itu. Tetapi, peristiwa aneh dan kejadian menyedihkan di Terung itu telah menjadi bahan pembicaraan seru di kalangan penduduk. Orang-orang begitu ramai menggunjing keadaan mengerikan itu. Mereka bilang, semua kekisruhan itu akibat kutukan. Para janggan dan dukun menyatakan bahwa penduduk yang mendapat tanah bagian dari para adipati itu telah mendirikan bangunan-bangunan tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku di kalangan perundagian sehingga mereka terkena tu-lah Sang Naga Shesha.�

�Tu-lah Sang Naga Shesha?� gumam Abdul Jalil.

�Ya,� kata Kyayi Menjangan Tumlaka. �Naga Shesha yang disebut juga dengan nama Naga Basuki atau Naga Karkotaka. Kami kira Kangjeng Syaikh sudah paham soal itu.�

Abdul Jalil menekur sambil memegangi dagunya. Ia menangkap suatu tengara kerumitan yang bakal memerangkap penduduk ke lingkaran jalan buntu, karena terjebak dengan keyakinan-keyakinan purwa yang sudah menebarkan jaring-jaringnya yang mengikat akal budi. Sang Naga Shesha, menurut keyakinan penduduk, adalah raja ular yang sesekali menampakkan wujud sebagai ular berkepala seribu dan kadang-kadang berupa badai merah yang merusak. Dia bersemayam di dalam bumi dan selalu menyemburkan api yang membakar pada senja hari.

Naga Shesha di dalam khazanah cerita Jawa adalah nama naga jelmaan Wisynu, Sang Basuki, yang bermakna penyelamat. Seiring berkembangnya ilmu perundagian (arsitektur), yang menempatkan kepercayaan terhadap Sang Naga Shesha sebagai bagian dari ilmu tata letak tanah, maka penduduk Nusa Jawa meyakini keberadaan ular tersebut dalam kaitan dengan perundagian. Ketika peradaban Majapahit merosot, sistem pengetahuan itu berkembang menjadi sistem yang lebih luas dan mencakup pula pengetahuan tentang hari baik dan hari buruk, yang intisarinya kira-kira seperti ini: �Jika seseorang ingin selamat (basuki), hendaknya jangan berhadapan muka dengan Naga Basuki yang menyemburkan api membakar tiap senjakala.� Bertolak dari keyakinan itu, agar manusia bisa mencapai keselamatan hidup, maka mereka harus mengetahui keberadaan Sang Naga Shesha, terutama arahnya menghadap.

Kepercayaan terhadap Naga Shesha pada masa kejayaan Majapahit memang berbeda dengan yang berkembang kemudian. Jika kaum cerdik cendikia pada masa kejayaan Majapahit, terutama para undagi, mengetahui tentang sistem pengetahuan tersebut dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh para guru suci berdasar rontal Hasta Bhumi dan Wiswakarma, maka di tengah kemerosotan Majapahit, ilmu perundagian ikut merosot, membaur dengan kepercayaan takhayul Campa sehingga menjadi sistem pengetahuan yang dikenal dengan sebutan petungan nagadina, yaitu sistem pengetahuan yang jauh lebih luas dan lebih njlimet dibanding ilmu perundagian. Bahkan, yang menyedihkan, bagian terbesar dari sistem petungan nagadina itu hanya didasari pada kerangka berpikir otak-atik mathuk.

Kabar peristiwa-peristiwa aneh yang disampaikan para kepala dukuh Lemah Abang itu ternyata tidak berhenti pada pengaitan tu-lah Sang Naga Shesha, tetapi lebih berbahaya adalah tersebarnya kasak-kusuk yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman para dewa, karena orang-orang telah meninggalkan ajaran leluhur untuk mengikuti ajaran baru dari negeri asing. Yang tak kalah berbahaya, kasak-kusuk itu mengaitkan peristiwa aneh tersebut dengan pembukaan dukuh-dukuh Lemah Abang yang tidak sesuai dengan tatanan umum yang berlaku. Dukuh-dukuh Lemah Abang yang dibuka, yang katanya diperuntukkan bagi para wiku, ternyata dijadikan hunian penduduk dari berbagai kalangan. �Hal itulah yang menurut desas-desus telah menimbulkan tu-lah Sang Naga Shesha dan sekaligus amarah para dewa. Lantaran itu, kata mereka, selama menunggu giliran Dukuh Lemah Abang tertimpa bencana, desa-desa di sekitarnya dulu yang menanggung akibat buruk itu,� kata Kyayi Menjangan Tumlaka.

Abdul Jalil menunduk memegangi keningnya. Di benaknya tiba-tiba berkelebat gambaran menyedihkan tentang dukuh-dukuh Lemah Abang yang dikucilkan orang. Tidak cukup di situ, berkelebatan pula gambaran tentang dukuh-dukuh Lemah Abang ramai-ramai diserang penduduk dan dibakar. Di tengah gambaran kobaran api itu berkelebat pula wajah para janggan dan dukun yang menghasut penduduk untuk membenci dan memusuhi warga Dukuh Lemah Abang. Tetapi, kelebatan-kelebatan bayangan itu tidak lama memasuki benaknya. Ia menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam. Ia memasrahkan semua urusan kepada Allah. �Ya Allah, semua kejadian baik dan kejadian buruk mutlak berasal dari kehendak-Mu. Karena itu, kami pasrahkan semua kepada-Mu,� katanya dalam hati.

Setelah berdiam beberapa jenak, ia berkata dengan suara tegar, �Sekarang kembalilah kalian semua ke dukuh masing-masing. Pasrahkan semua kepada Allah. Tetap teguhlah kalian pada prinsip Ngalah. Yakinlah bahwa para janggan, dukun, dan pedagang jimat yang menunggu musibah besar atas Lemah Abang itu akan kecewa karena fitnah yang mereka sebarkan tidak pernah terbukti.�

Sadar peristiwa aneh yang tak terduga itu bakal menjadi petaka besar bagi perubahan yang sedang dirintisnya, Abdul Jalil buru-buru pergi ke Caruban untuk menemui Sri Mangana dan ibunda asuhnya. Ia ingin meminta petunjuk mereka tentang apa yang harus dilakukannya tentang peristiwa-peristiwa aneh yang dialami penduduk Wirasari, Lasem, Pengging, Japan, Terung, dan Wirasabha. Secara kebetulan, saat Abdul Jalil datang, Sri Mangana dan permaisuri sedang memperbincangkan masalah tersebut dengan Raden Sepat, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki Tedeng, dan Ki Sukawiyana. Raden Sepat adalah undagi (arsitek) termasyhur dari Majapahit yang dikirim Adipati Terung untuk membantu perluasan Tajug Agung Caruban. Dari Raden Sepatlah kabar tentang peristiwa aneh di Japan, Terung, dan Wirasabha itu sampai ke Caruban.

�Jadi peristiwa serupa juga terjadi di Wirasari, Pengging, dan Lasem?� kata Sri Mangana menoleh ke arah permaisurinya dan kemudian berkata kepada Abdul Jalil, �Kami semua sebenarnya sedang membicarakan masalah itu dan berkeinginan memanggilmu. Ternyata engkau sudah datang sendiri. Jadi, biarlah ibundamu yang akan menjelaskannya karena dia tahu banyak tentang masalah itu.�

�Sesungguhnya, apa yang terjadi dengan peristiwa aneh itu, o Ibunda Ratu?�

�Kalau melihat gelagatnya dan penjelasan dari Yang Mulia Raden Sepat, penduduk yang tinggal di pemukiman baru itu terkena tu-lah Sang Naga Shesha, Sang Kalaraja, dan Sang Kala Greha. Sebab, mereka telah melanggar tempat-tempat terlarang,� kata Nyi Indang Geulis.

�Melanggar tempat-tempat terlarang?� gumam Abdul Jalil. �Apakah yang ibunda maksud peristiwa itu berkaitan dengan tempat-tempat khusus seperti Bale Panca Rsi, Bale Panangkilan, Bale Cakrawarti, dan Bale Kapeningan di suatu tempat?�

�Tepat seperti itu. Orang-orang Islam baru (mu�alaf) yang tidak paham tentang Wiswakarmatmaja Tattwa dengan semau-maunya membuka pemukiman baru, bahkan membangun rumah di atas lambang (bangunan lain) secara sembarangan tanpa melakukan upacara prascita (penyucian). Akhirnya, mereka menjadi watang akreb dan berada dalam keadaan yang berbahaya. Kalau sudah begitu, yang disalah-salahkan adalah agama Islam dan terutama ajaranmu yang membuat orang-orang menjadi liar dan tidak tahu aturan,� kata Nyi Indang Geulis.

�Ananda siap menerima curahan segala kesalahan, o Ibunda,� kata Abdul Jalil tenang. �Tetapi, apa yang ananda lakukan, menurut hemat ananda, tidak mungkin menimbulkan keanehan-keanehan seperti itu. Sebab, sebelum ananda membuka dukuh-dukuh Lemah Abang, ananda sudah bertemu dengan para penghuni purwa Nusa Jawa, yaitu para bhuta dan kala dari antara Banu al-Jann. Kami sudah mengadakan kesepakatan dengan mereka. Dan sepengetahuan ananda, mereka tidak mungkin cedera janji seperti manusia. Sementara soal tata cara penyucian tanah, ananda sudah mengikuti semua petunjuk Ibunda Ratu. Jadi, ananda berpikir, pasti ada sebab-sebab lain yang menimbulkan keadaan aneh tersebut.�

�Apakah engkau benar-benar melakukan penyucian tanah dengan upacara pracista seperti yang aku ajarkan?� tanya Nyi Indang Geulis.

�Ananda sudah melakukan semua petunjuk Ibunda Ratu. Karena itu, dukuh-dukuh Lemah Abang yang diniatkan sebagai Jajar Lemah (tanah yang boleh ditempati semua kalangan) tetap terhindar selamat dari peristiwa aneh tersebut. Bahkan, sesuai keinginan Ibunda untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra dan tempat-tempat pemujaan Prthiwi, ananda telah pula melakukan penyucian tanah yang disebut bhumisoddhana dan bhuta-suddhi, dan tentu saja ditambah usaha batin ananda agar apa yang Ibunda Ratu inginkan itu dapat ananda penuhi.�

�Mohon maaf, Tuan Syaikh,� Raden Sepat menyela. �Apakah dalam penyucian tanah itu, Tuan menggunakan sarana jimat yang dirajah aksara AH dan ANG yang dipadukan menjadi satu? Sebab, sesuai petunjuk Wismatattwa, semua bangunan yang berdasarkan widhi widana harus memakai sarana jimat lambang perempuan dan laki-laki yang disatukan dan ditanam di bawah hulu bangunan.�

Abdul Jalil tersentak kaget mendengar pertanyaan Raden Sepat. Cakrawala jiwanya yang semula tertutup kabut tiba-tiba bersinar cemerlang bagai ditimpa matahari. Kemudian dengan suara lain ia berkata, �Kami sudah melakukan itu semua, Yang Mulia. Tapi, kami jadi sadar bahwa justru di situlah letak masalah yang sesungguhnya hingga timbul berbagai masalah aneh sekarang ini.�

�Apakah Tuan Syaikh menggunakan sarana jimat atau batu merah, emas, perak, atau tembaga?�

�Ketika kami menutup Kabhumian di Caruban, yang kami tanam sebagai lambang aksaran AH dan ANG adalah lingga dari puncak Gunung Pulasari dan yoni yang dipuja di Kabhumian. Bahkan, karena perlambang aksara AH dan ANG itulah kami kemudian menamai dukuh-dukuh baru yang kami buka itu dengan Lemah Abang, yang bermakna persatuan lambang laki-laki dan perempuan. Lemah Abang adalah perlambang AH dan ANG, manusia perempuan dan laki-laki, keturunan Adam a.s. dan Hawa a.s.. Lemah Abang adalah perlambang Prthiwi (tanah) yang membentuk tubuh dan jiwa (nafs) manusia, sekaligus perlambang Wisynu (Sang Pemelihara, Rabb) yang memancarkan Ruh Kebenaran (Ruh al-Haqq) dari Paramasyiwa (Rabb ar-Arbab),� papar Abdul Jalil.

�Kami paham itu, Tuan Syaikh. Tetapi, maksud kami, sarana jimat apakah yang Tuan gunakan untuk ditanam di bawah hulu bangunan? Sebab, hal itu sangat menentukan dalam suatu upacara penyucian tanah,� tanya Raden Sepat.

�Kami tidak mengikuti aturan yang lazim, Yang Mulia,� kata Abdul Jalil menjelaskan. �Sebab, yang kami sucikan bukan sepetak atau dua petak tanah, melainkan tanah se-Nusa Jawa. Tanah Majapahit dan Pasundan. Bahkan di balik itu, kami ingin menutup ksetra-ksetra dan tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi yang meminta korban manusia dengan cara membuat tawar daya shakti dari tempat-tempat tersebut. Kami sudah mengikat suatu perjanjian dengan Ibunda Prthiwi, Sang Bhumi. Itu sebabnya, kami tidak menggunakan sarana jimat yang lazim.�

�Jika boleh tahu, sarana apakah itu?� tanya Raden Sepat makin penasaran.

�Darah dan keakuan kami.�

�Maksudnya?�

�Pertama-tama, di setiap Dukuh Lemah Abang yang kami buka, kami harus menumpahkan darah sebagai ganti bagi korban-korban yang selama ini dijadikan persembahan di situ. Karena itu, sesuai jumlah dukuh Lemah Abang yang kami buka, seperti itulah jumlah luka bekas sayatan yang ada pada tubuh kami,� kata Abdul Jalil sambil menyingsingkan lengan jubahnya dan menunjukkan bekas luka sayatan yang menghiasi lengannya bagai ukiran.

Semua mata memandang lengan Abdul Jalil sambil menggelengkan kepala. Nyi Indang Geulis sendiri merasakan jantungnya berhenti dan keteguhan hatinya runtuh. Meski ia berusaha menahan rasa iba yang menguasai jiwanya, tak urung ia menitikkan air mata. Dengan suara tersendat bercampur isak pedih ia bertanya lirih, �Kenapa engkau tidak pernah bercerita kepada kami tentang perjanjianmu dengan Ibunda Prthiwi?�

�Ananda kira itu tidak perlu, Ibunda Ratu,� kata Abdul Jalil menutup kembali lengan jubahnya. �Ananda paham, apa yang dilakukan Ibunda Bhumi itu hanyalah suatu ujian. Ujian untuk menguji putera-puteranya, manusia-manusia yang rela berkorban sebagaimana pengorbanan Ibunda Bhumi yang merelakan tubuhnya diinjak-injak dan dilukai oleh putera-puteranya. Dan ananda, selaku putera Ibunda Bhumi, ingin membuktikan bahwa di antara putera-putera Sang Bhumi itu ada yang rela berkorban tanpa meminta imbalan apa-apa. Itu berarti, ananda ingin menunjukkan pada Ibunda Bhumi bahwa ada puteranya yang melebihinya dalam berkorban. Sebab, dengan cara melebihi keikhlasan Ibunda Bhumi saja kekuatan �haus darah� dari Sang Prthiwi itu dapat ditawarkan.�

�Apakah cukup dengan menumpahkan darahmu di dukuh-dukuh Lemah Abang?�

�Tentu saja tidak, o Ibunda Ratu. Sebab, yang lebih mendasar dari perjanjian kami dengan Ibunda Bhumi adalah jati diri kami yang dijadikan jimat di bawah hulu bangunan. Maksud ananda, sebagaimana jimat yang ditanam di bawah hulu bangunan, demikianlah jati diri kami wajib diinjak-injak dan direndahkan oleh setiap manusia yang menghuni permukaan bumi. Itu berarti, setiap manusia harus merendahkan dan menista ananda sebagaimana mereka memperlakukan bumi,� kata Abdul Jalil tegas.

�Kenapa engkau mau mengikat perjanjian seperti itu?� tanya Nyi Indang Geulis dengan air mata bercucuran. �Sungguh aku tak pernah mengira jika permintaanku itu akan berakibat menyengsarakanmu, o Puteraku.�

�Sesungguhnya, ananda sudah menawarkan nyawa ananda kepada Ibunda Bhumi sebagai tebusan bagi upacara korban persembahan manusia. Tetapi, Ibunda Bhumi tidak berkenan. Penebusan seperti itu, menurut Ibunda Bhumi, bisa dilakukan oleh banyak orang. Ibunda Bhumi ingin yang lebih dari itu, yaitu ingin melihat pengorbanan orang-orang yang ikhlas keakuannya diinjak-injak dan dinista sepanjang zaman. Bahkan, dalam perjanjian itu telah ditetapkan pula bahwa jika suatu saat keberadaan ananda diangkat melebihi letak kedudukan tanah, maka saat itulah Ibunda Bhumi akan meminum kembali darah dari manusia-manusia melalui caranya sendiri.�

�Apakah peristiwa-peristiwa aneh itu engkau anggap terkait dengan perjanjianmu?�
�Ananda kira demikian, o Ibunda Ratu,� kata Abdul Jalil. �Sebab, di berbagai tempat ananda mendengar bahwa nama ananda dipuja-puja sebagai dewa penolong dan dipuji setinggi langit oleh kalangan kawula. Dengan demikian, melalui peristiwa aneh itu Sang Bhumi telah mengingatkan kembali kepada ananda akan perjanjian itu dengan caranya. Itu berarti, sekaranglah saatnya orang-orang harus memulai penistaan terhadap ananda. Dan bagi ananda, apa yang dikehendaki Ibunda Bhumi itu sebagai suatu yang wajar dan tidak berlebihan. Sebab, dari Ibunda Bhumilah jasad ananda ini terbentuk. Dari Ibunda Bhumi juga makanan yang memelihara keutuhan jasad ananda ini berasal. Karena itu, jika Ibunda Bhumi menghendaki darah ananda maka ananda akan selalu siap menyediakannya demi kepuasannya. Ananda akan menunjukkan kepada Ibunda Bhumi bahwa tidak semua putera Bhumi adalah makhluk perusak dan penghancur ibunya. Ananda ingin menunjukkan bahwa tidak semua putera-putera Bhumi adalah manusia tak tahu budi. Ananda akan menunjukkan bahwa ananda adalah putera Ibunda Bhumi yang tahu berterima kasih karena ananda telah memakan sesuatu dari Ibunda Bhumi secara haqq dan tidak berlebihan. Ananda ingin menunjukkan bahwa ananda adalah putera Bhumi yang lebih ikhlas dan lebih tanpa pamrih dalam berkorban dibanding Sang Bhumi sendiri.�

Tanpa kembali ke gubuknya di Lemah Abang, Abdul Jalil meninggalkan Caruban dengan disertai Abdul Malik Israil, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Raden Sulaiman, Raden Sahid, dan Liu Sung. Ketika bertemu dengan Adipati Bojong Pangeran Danareja, Abdul Jalil diberi tahu di Kadipaten Bojong secara berangsur-angsur sudah diberlakukan tatanan yang sama dengan yang berlaku di Caruban. Jabatan Buyut sebagai kepala wisaya telah diganti dengan jabatan Ki Gede. Jabatan Rama sebagai kepala desa telah diganti, namun bukan Ki Kuwu, melainkan Ki Lurah. �Perubahan itu terutama kami berlakukan di wilayah pesisir. Nanti jika tepat waktunya, daerah pedalaman pun akan menyusul,� kata Pangeran Danareja.

�Wisaya mana sajakah yang sudah diubah?� tanya Abdul Jalil.

�Wilayah pesisir, terutama yang dipimpin oleh pengikut-pengikut Kangjeng Syaikh, yaitu Wanasari, Talang, Pangkah, Suradadi, dan Patarukan.�

Setelah berbincang-bincang lama tentang makna Tauhid di balik perubahan jabatan-jabatan pemerintahan, Abdul Jalil dan rombongan meninggalkan Kadipaten Bojong. Mereka mengunjungi Dukuh Lemah Abang di Kadipaten Kendal, Abdul Jalil memberi tahu tentang perikatan janjinya dengan Sang Bhumi. Kyayi Tapak Menjangan terkejut mendengarnya dan tak dapat mengucapkan kata-kata, kecuali mengungkapkan tanda tanya seseorang yang kebingungan, �Bagaimana mungkin kami bisa ikut-ikutan menista dan merendahkan Kangjeng Syaikh? Bagaimana cara kami melakukannya?�

�Sekarang ini diam adalah yang utama,� kata Abdul Jalil tegas. �Katakan kepada seluruh warga Lemah Abang untuk tidak sekali-kali memuji aku. Maksudku, jika kalian tidak bisa menista dan merendahkan aku maka sebaiknya kalian diam dan tidak memuji aku sekecil apa pun. Diam. Diam. Seribu kali diam.�

Setelah dari Lemah Abang, Abdul Jalil dan rombongan menghadap Pangeran Gandakusuma, adipati Kendal. Sebagaimana di Bojong, usai berbincang tentang peristiwa aneh di pedalaman, sang adipati memberi tahu Abdul Jalil bahwa di wilayah kekuasaannya pun sedang berlangsung pergantian istilah jabatan kepala wisaya dan Buyut menjadi Ki Gede dan jabatan kepala desa dari Rama menjadi Ki Lurah. Tak berbeda dengan Bojong, di Kendal pun perubahan itu dimulai di wilayah pesisir, yaitu di Wisaya Pakalongan, Kedungwuni, Jalasakti, Banyuputih, dan Kaliwungu. Dalam upaya memacu semangat perubahan sang adipati, Abdul Jalil memaparkan makna di balik perubahan-perubahan jabatan itu.

�Sesungguhnya, perubahan istilah itu bukan sekadar mengganti nama, Yang Mulia. Tetapi, ada penegakan Tauhid di dalamnya. Karena itu, pahala Allah yang tak terhingga tercurah kepada mereka yang berjuang menegakkan Tauhid di bumi Allah,� kata Abdul Jalil. Sebagaimana Pangeran Danareja Adipati Bojong, Pangeran Gandakusuma pun berjanji kepada Abdul Jalil akan secepatnya melakukan perubahan serentak di seluruh wilayah kekuasaannya.

Ketika singgah di pelabuhan Samarang, Abdul Jalil mendapati kenyataan yang sama dengan di Bojong dan Kendal, yaitu terjadinya penggantian istilah jabatan pemerintahan. Sementara itu, selain mendapati orang-orang ramai membicarakan peristiwa aneh di Wirasari, Pengging, Kendal, dan Lasem, ia juga beroleh kabar dari para pelaut bahwa di Japara saat itu sedang dibangun pabrik mesiu dan pengecoran bedil besar (Jawa Kuno: meriam) yang dikerjakan oleh orang-orang Cina ahli senjata asal Palembang, Terung, dan Lawe, ditambah orang-orang asal Kerala di pantai Malabar. Yang disebut bedil besar adalah sejenis gurnita, namun bahan yang digunakan dari besi atau perunggu. Sebutan bedil sendiri berasal dari kata �wedhil�, yaitu istilah yang digunakan oleh orang-orang Kerala.

Senjata bedil dan bedil besar sudah digunakan barang seratus tahun silam oleh orang-orang Majapahit yang membelinya dari pedagang-pedagang India. Sebelumnya, pedagang-pedagang India membeli senjata-senjata api tersebut dari saudagar-saudagar Turki. Kira-kira lima puluh tahun silam, usaha membuat sendiri bedil besar dilakukan untuk kali pertama oleh Ario Damar Adipati Palembang, dengan dibantu ahli-ahli mesiu Cina Palembang dan orang-orang Kerala. Usaha membuat bedil besar, memang dimungkinkan karena tekniknya jauh lebih sederhana dibanding bedil yang rumit. Meski begitu, sejumlah bedil besar hasil pengecoran di Palembang itu meledak saat dicoba dan menelan korban jiwa. Meski bedil besar buatan Palembang belum sempurna, Ario Damar berhasil membangun pabrik mesiu besar di sana.

Ketika Raden Sahun, putera Ario Damar, menjadi adipati Samarang, dibangunlah pabrik pengecoran logam di situ dengan bantuan orang-orang Persia dan Turki yang bermukim di Kerala. Di Samarang itulah bedil besar berhasil disempurnakan dengan pasokan mesiu dari Palembang. Sejak itu bedil besar buatan Samarang diperdagangkan ke berbagai negeri seperti Pasai, Kedah, Malaka, Aceh, Tamiang, bahkan Siam dan Pegu. Tetapi, demi alasan kekuasaan keturunannya, Ario Damar melarang penjualan bedil besar dan mesiu kepada orang-orang Majapahit dan Sunda. Itu sebabnya, orang-orang Majapahit tetap membeli bedil besar dari saudagar-saudagar India dengan harga yang sangat mahal. Bahkan di tengah kemelut perebutan takhta, raja-raja Majapahit tidak mampu lagi membeli bedil besar.

Lantaran kebijakan Ario Damar seperti itu, keberadaan bedil besar banyak didapati orang di Kadipaten Samarang, Demak, Madura, dan Terung, tempat putera-puteranya menjadi penguasa di situ. Malahan, di tengah kekacauan yang berlangsung tak kunjung berhenti di ibu kota Majapahit, hampir seluruh bedil besar milik kerajaan dikuasai oleh Raden Kusen Adipati Terung. Itu sebabnya, di antara penguasa-penguasa Majapahit, kekuatan tempur yang dimiliki Kadipaten Terunglah yang paling kuat karena selain memiliki pasukan gurnita, juga memiliki pasukan bedil besar dan bedil. Di berbagai medan tempur, termasuk dalam peperangan dengan Patih Mahodara, selalu saja pihak Terung beroleh kemenangan.

Seiring perputaran waktu, seiring mangkatnya Ario Damar, pabrik mesiu di Palembang dan pengecoran logam di Samarang mengalami kemunduran dan kemudian ditutup. Pasukan Demak, Samarang, dan Madura tidak lagi menggunakan bedil besar. Satu-satunya putera Ario Damar yang masih menggunakan bedil besar adalah Raden Kusen, Yang Dipertuan Terung. Dan kini, ketika keberadaan bedil besar sudah dilupakan orang, tiba-tiba saja terdengar kabar bahwa di Japara sedang dibangun pabrik mesiu baru, sekaligus dengan pengecoran logam untuk membuat bedil besar. Penggunaan senjata gurnita dalam pertempuran Caruban-Rajagaluh oleh pasukan Terung, rupanya sangat memukau Pangeran Sabrang Lor, anak menantu Raden Patah Adipati Demak, yang ikut terlibat pertempuran membela Caruban. Lantaran itu, tak lama setelah kembali dari Caruban, ia memerintahkan untuk membangun pabrik mesiu dan pengecoran bedil besar di Japara dengan bantuan para ahli dari Palembang, Terung, Lawe, dan Kerala.

Kabar pembangunan pabrik mesiu dan pengecoran bedil besar di Japara, bagi Abdul Jalil merupakan tengara yang mengisyaratkan pertumpahan darah antarmanusia di masa depan bakal lebih dahsyat dibanding masa-masa sebelumnya. Penggunaan senjata gurnita untuk menembaki kutaraja Rajagaluh sehingga bangunan-bangunan, pagar kuta, pohon-pohon, manusia, dan margasatwa habis terbakar, paling tidak adalah sebuah gambaran kebinasaan yang sempat mencengangkan Abdul Jalil. Padahal, kerusakan yang diakibatkan bedil besar tentu jauh lebih dahsyat dibanding gurnita, apalagi dibanding senjata-senjata jenis manjanik (pelontar api). Kini, senjata yang dahsyat itu, bedil besar, malah dibuat secara besar-besaran di Japara. Itu berarti, zaman kerusakan akibat datangnya pasukan Dajjal, yang disebut Ya�juj wa Ma�juj, sang perusak yang membawa senjata-senjata penyembur api, telah dekat. Zaman Ya�juj wa Ma�juj dengan bala tentaranya yang berkeliaran merusak bumi telah dekat, dekat, katanya dalam hati.

Ketika membayangkan kedatangan bala tentara Ya�juj wa Ma�juj yang ganas, yang melengkapi diri dengan senjata-senjata penyembur api, tiba-tiba Abdul Jalil tercekat kaget. Di benaknya tiba-tiba membayang bangunan-bangunan peracikan mesiu dan pengecoran bedil besar di bumi Japara. Jika orang-orang Japara membuat bedil besar, katanya dalam hati, apakah itu tidak mengandung makna bahwa mereka pun pada hakikatnya ikut andil dalam upaya merusak bumi. Sebab, penanda utama dari keberadaan Ya�juj wa Ma�juj adalah kawanan manusia yang menggunakan senjata penyembur api untuk menghancurkan bumi dan merampas kehidupan umat manusia.

Dengan pemikiran bahwa senjata-senjata yang disebut bedil besar adalah senjata penghancur yang digunakan Ya�juj wa Ma�juj, Abdul Jalil merasa dadanya sesak dan tenggorokannya kering. Ada semacam rasa sedih menggelayuti jiwanya saat mengingat prajurit-prajurit Japara yang gagah perkasa di medan tempur. Ia sangat menyayangkan bakal hilangnya jiwa ksatria dari pejuang-pejuang itu jika sudah menggunakan senjata bedil besar. Tanpa sadar ia menengadah dan mengangkat tangan ke atas sambil berdoa, �Ya Allah, jangan Engkau golongkan putera-putera kami ke dalam kawanan Ya�juj wa Ma�juj perusak bumi. Jangan pula Engkau jadikan putera-putera kami sebagai kawanan pembawa senjata penyembur api. Jangan Engkau berikan putera-putera kami kemenangan jika mereka menggunakan senjata-senjata penyembur api. Jadikanlah mereka sebagai umat yang membawa rahmat bagi alam semesta.�

Lantaran tidak ingin terkena pengaruh daya setani senjata penyembur api, yaitu senjata yang digunakan Ya�juj wa Ma�juj untuk merusak Kehidupan di muka bumi, usai berdoa Abdul Jalil meminta tukang perahu cepat-cepat meninggalkan Kadipaten Samarang tanpa singgah ke Demak maupun Japara. Ia meminta tukang perahu langsung ke pelabuhan Gresik. Kepada salah seorang warga Lemah Abang, ia mengirim pesan kepada Ki Saridin, kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Japara, agar mengingatkan semua warganya untuk tidak dekat-dekat dengan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan pabrik mesiu dan pengecoran bedil besar tersebut.

Read More ->>

Rabu, 08 Februari 2017

KEANEHAN-KEANEHAN

Keanehan-Keanehan

Ketika gemuruh perubahan melanda Bumi Pasundan bagaikan bah membanjiri aliran sungai kehidupan, membobol kemandekan di Rajagaluh dan Dermayu, Abdul Jalil yang sedang berkeliling ke berbagai tempat di Rajagaluh untuk menyampaikan ajaran Sasyahidan tiba-tiba memutuskan kembali ke gubuknya di Lemah Abang. Ia menarik diri dari hiruk pikuk semangat perubahan manusia yang meluap-luap dan menyambar-nyambar dengan ganas itu. Ia menghindar dari gelegak semangat perubahan yang membuat orang-orang berkeliaran, berdesak-desakan, berhimpitan, jungkir balik, tumbang, bangkit kembali, dan kemudian berpacu menyongsong cakrawala baru yang penuh harapan. Ia ingin menjauh dari semua itu. Di dalam gubuknya yang selalu penuh sesak oleh murid-murid, ia sering terlihat duduk merenung menapaki jejak-jejak yang telah dilewatinya.

Di tengah perenungannya menapaki jejak-jejak perubahan yang berliku itu, Abdul Jalil menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat hatinya lega, namun sekaligus khawatir. Lega karena sebuah bentangan cakrawala baru yang gemilang dengan manusia-hewan dan manusia saling berpacu untuk mewujudkan diri menjadi adimanusia. Tetapi, ia juga khawatir karena di tengah gelombang perubahan itu ia melihat terbuka celah-celah bagi sebuah kemungkinan buruk, di mana manusia-manusia yang menjelma menjadi makhluk bayangan nirwujud dan adimanusia-adimanusia yang bakal menduduki puncak-puncak kekuasaan duniawi akan rawan terperosok ke jurang nista pemberhalaan diri sebagai fir�aun-fir�aun.

Di tengah perenungan menilai kembali liku-liku perubahan itu, tiba-tiba muncul Angga, wali nagari Kuningan, di gubuk Abdul Jalil. Kemenakan Sri Mangana itu dengan bingung mengungkapkan kerumitan hidupnya yang nyaris tak bisa diatasinya. Dia mengaku seperti orang yang dibelit ular raksasa gaib. Dia merasa seolah-olah terkungkung oleh kekuatan dahsyat tak kasatmata sehingga untuk bernapas pun sulit. �Semua seperti buntu. Ke mana pun aku hendak melangkah, yang aku temukan adalah bentangan tembok besar. Bahkan yang aku rasakan sekarang, aku seperti berada di dalam kuburan. Tubuhku seperti dihimpit bumi. Aku benar-benar tersiksa, o Saudaraku. Tolonglah aku. Aku tidak mau mati dalam keadaan tidak tahu arah seperti ini,� keluh Angga sambil memegangi kepalanya.

�Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu, o Saudaraku terkasih?� tanya Abdul Jalil.

�Aku ingin engkau membaiat aku. Bimbinglah aku ke jalanmu. Aku sangat yakin engkaulah yang bisa menolongku dari kesempitan yang kualami ini,� kata Angga sambil memegangi tangan Abdul Jalil.

�Apa yang engkau alami ini, menurut hematku, karena engkau telah banyak melupakan-Nya. Karena itu, kembalilah kepada-Nya. Ingatlah Dia sebanyak mungkin, niscaya engkau akan lepas dari penderitaanmu.�

�Aku sudah mengingat-Nya terus dengan bersembahyang. Malahan aku terus memanjatkan doa kepada-Nya. Tetapi, semua bagaikan buntu. Allah yang kusembah tidak menjawab doa-doaku. Padahal, menurut kakek, nenek, ibunda, ayahanda, dan guru agamaku, Allah itu Maha Pemurah. Maha Pengasih. Maha Mengabulkan doa. Kenyataannya, apa yang aku inginkan tidak ada yang terpenuhi sehingga aku jadi ragu dengan semua pelajaran agama yang telah kuperoleh sejak kecil,� kata Angga.

�Jika demikian, kenapa engkau mau minta bimbinganku? Bukankah yang akan aku sampaikan kepadamu tidak akan jauh berbeda dengan apa yang telah disampaikan keluarga dan gurumu?� Abdul Jalil balik bertanya.

�Tidak. Aku yakin yang akan engkau ajarkan tidak sama dengan mereka. Di tengah kesempitan yang menyesakkan ini aku justru melihat bayanganmu berkelebat memasuki ingatanku seperti cahaya matahari menerangi malam yang gelap gulita. Aku yakin isyarat yang aku terima itu benar, meski selama ini yang kuingat tentangmu adalah kecemburuan dan kebencian. Aku yakin hanya engkaulah yang bisa menunjukkan jalan Kebenaran sehingga aku terlepas dari himpitan kehidupan yang menyiksa ini,� kata Angga tiba-tiba merangkul lutut Abdul Jalil.

�Tegaklah dengan gagah menghadapi tantangan hidup, O Saudaraku,� kata Abdul Jalil menegakkan badan Angga. �Aku tidak keberatan membimbingmu ke jalan Kebenaran, asalkan engkau mau menerima syarat utamanya.�

�Apakah syarat itu, o Saudaraku?� tanya Angga ingin tahu.

�Pertama-tama, engkau harus keluar dari dirimu. Maksudku, engkau harus bersedia meninggalkan segala sesuatu yang engkau miliki di dunia ini, terutama keakuanmu yang kerdil. Sebab, keakuanmu yang kerdil itulah yang selama ini telah membuatmu keliru dalam memahami keberadaan-Nya.�

�Apa pun yang engkau tunjukkan akan aku jalankan, apa pun tantangannya.�

Sebagaimana prinsip Abdul Jalil bahwa masalah baiat adalah masalah kesadaran pribadi akibat tergugahnya hati nurani, ia pun membaiat Angga dan mengajarkan jalan lurus (sabil huda) sesuai ajaran Tarekat Akmaliyyah. Abdul Jalil berharap, dengan setia menekuni jalan yang diajarkannya, sang burung gagak akan menjelma sebagai rajawali, rajadiraja burung, pecinta angkasa kesunyian yang perkasa. Tetapi, keterbukaan Abdul Jalil dalam menerima Angga sebagai pengikut ruhani ternyata dianggap sebagai sesuatu yang kurang tepat sehingga menimbulkan ketidaksukaan pengikutnya yang lain. Beberapa murid terang-terangan menyatakan ketidakpahaman mereka terhadap kehadiran Angga di Lemah Abang, terutama dengan baiatnya sebagai pengamal Tarekat Akmaliyyah. Bahkan Liu Sung, pemuka suku Tungsiang Caruban yang selama perang dengan Rajagaluh ditugaskan menjaga Kuta Caruban, tiba-tiba datang ke Lemah Abang dan menyatakan keheranannya atas kesudian Abdul Jalil menerima Angga sebagai pengikut. �Kami khawatir dia akan melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji dengan membawa-bawa nama Tuan Syaikh. Itu akan merugikan semua orang, terutama Tuan Syaikh sendiri. Bukankah selama ini dia sudah sering mempermalukan Sri Mangana dengan tingkahnya yang tidak terpuji?� kata Liu Sung.

�Sesungguhnya, Angga hanyalah manusia sengsara yang menjadi korban dari lingkungan yang membentuknya. Sejak kecil dia hanya menjadi alat orang-orang sekitarnya untuk melampiaskan dendam sehingga dia kebingungan saat menerima akibat dari tindakan-tindakan yang tidak disadarinya,� Abdul Jalil menjelaskan.

�Apakah itu bukan akibat dia selalu dimanja oleh keluarganya?� tanya Liu Sung.

�Paduka Khalifah telah bercerita banyak kepadaku tentang Angga,� kata Abdul Jalil dengan suara perlahan. �Betapa sejak kecil Angga dan saudara-saudaranya sudah dicekoki oleh dendam dan kebencian terhadap kakeknya, Prabu Guru Dewata Prana, dan terutama kepada para pendeta kerajaan. Itu sebabnya, dalam setiap perbedaan sekecil apa pun dengan pihak kerajaan Sunda selalu ditanggapinya secara berlebihan, seolah-olah maharaja Sunda dan semua kekuatan pendukungnya adalah musuh utama yang harus dibinasakan.�

�Kenapa bisa begitu, Tuan Syaikh? Bukankah Prabu Guru Dewata Prana itu kakeknya? Kenapa pula dia sangat membenci pendeta-pendeta kerajaan?�

�Ini sebenarnya rahasia keluarga. Tetapi, kalau kita mengetahuinya maka kita akan paham kenapa Angga dan saudara-saudaranya begitu membenci kakek dan kerabatnya, terutama pendeta-pendeta kerajaan.�

�Bolehkah saya sedikit mengetahuinya?� tanya Liu Sung penasaran.

�Cerita kebencian keluarga Angga itu bermula dari kisah lama tentang nenek Angga yang bernama Jata Mernam, yaitu selir Prabu Guru Dewata Prana, yang oleh orang-orang Caruban dipanggil dengan nama Aci Putih. Sebutan Aci Putih itu sesungguhnya bukan tanpa alasan. Beberapa waktu sebelum kelahiran puterinya yang kelak diberi nama Dewi Siliwangi, Prabu Guru Dewata Prana bermimpi buruk bahwa dari dalam kratonnya tiba-tiba muncul mata air yang berbual-bual, yang makin lama airnya makin menggenangi seluruh kraton. Bahkan akhirnya air itu berubah menjadi bah yang melanda seluruh wilayah kerajaan. Maharaja dan keluarga beserta seluruh kawula hanyut tersapu bah. Mimpi buruk itu oleh para pendeta yang menjadi penasihat ruhaninya ditafsirkan sebagai suatu tengara buruk bagi kerajaan Sunda akibat tersiarnya agama baru. Mereka menganggap bah itu adalah agama baru, yaitu Islam. Dan, mata air itu adalah keluarga maharaja sendiri, yaitu selir bernama Jata Mernam, satu-satunya keluarga maharaja yang beragama Islam.�

Para pendeta menyatakan jika hal itu dibiarkan maka keturunan Jata Mernam akan menimbulkan kerusakan dan kebinasaan bagi kerajaan Sunda. Sebab, yang akan menentang agama baru itu bukan hanya para nayakapraja kerajaan, tetapi juga para bhuta yang tidak suka dengan agama baru tersebut. Lantaran itu, agar mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan, harus diadakan upacara kurban persembahan kepada para bhuta (bhutayajna). Dan sebagai korban persembahan (aci) untuk para bhuta, yang paling tepat adalah selir Prabu Guru Dewata Prana: Puteri Jata Mernam. Dengan demikian, tidak saja para bhuta akan bisa diredam kemarahannya, tetapi mata air itu dengan sendirinya tidak akan lagi mengalirkan sumbernya.

Dengan alasan demi keselamatan kerajaan dan seluruh kawula, Prabu Guru Dewata Prana akhirnya merelakan selirnya, Puteri Jata Mernam, dijadikan aci. Tetapi, dengan alasan Puteri Jata Mernam masih hamil maka pelaksanaan korban itu menunggu hingga ia dilahirkan. Demikianlah, setelah melahirkan seorang bayi perempuan yang dinamai Dewi Siliwangi, Puteri Jata Mernam dijadikan korban untuk para bhuta. Bayi Dewi Siliwangi dijauhkan dari kraton dengan cara dikembalikan kepada kakek dan neneknya, Haji Ma Huang dan Nyi Rara Rudra yang tinggal di Caruban.

Peristiwa mengorbankan Puteri Jata Mernam ini sangat memukul jiwa keluarga Haji Ma Huang dan Nyi Rara Rudra, bahkan penduduk Caruban yang beragama Islam. Lantaran itu, untuk menandai peristiwa tersebut penduduk Caruban sepakat menyebut Puteri Jata Mernam dengan nama Nyi Aci Putih, yang bermakna puteri suci yang menjadi korban persembahan bhutakala. Prabu Guru Dewata Prana sendiri oleh penduduk Caruban disebut dengan gelar Prabu Siliwangi, yaitu sebutan menurut nama puterinya yang lahir dari Puteri Jata Mernam. Hal itu dimaksudkan agar sang prabu selalu teringat kepada keberadaan puterinya, Siliwangi, sekaligus selalu mengingat peristiwa keji itu.

Dewi Siliwangi, ibunda Angga, dibesarkan oleh lingkungan orang-orang yang kecewa dan sakit hari dengan peristiwa itu. Lantaran itu, saat dewasa ia diam-diam menaruh dendam kepada ayahandanya yang sampai hati menjadikan ibundanya sebagai korban persembahan. Ketika ia menikah dan berketurunan, semua puteranya sejak kecil sudah diwarisi bibit kebencian kepada kakeknya, Prabu Guru Dewata Prana, yang dianggapnya sebagai pembunuh ibundanya. �Nah, dari cerita rahasia keluarga ini kita akan memahami kenapa Angga dan saudara-saudaranya begitu membenci kakeknya dan para pendeta kerajaan,� kata Abdul Jalil.

Liu Sung menarik napas berat. Sejenak setelah itu ia menggumam lirih, �Pantas saja Sri Mangana selama ini membiarkan Angga dan saudara-saudaranya bersikap memusuhi sanak kerabatnya sendiri sehingga terkesan ia memanjakan mereka. Rupanya, Sri Mangana bisa memahami hal itu dan memanfaatkannya untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya.�

�Sri Mangana memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan?� Apa maksudmu?� tanya Abdul Jalil.

�Kami kira, penempatan ayahanda Angga sebagai gedeng di Kemuning dan pengangkatan Angga sebagai penguasa di Kuningan bukan tanpa maksud apa-apa. Tetapi, bukanlah hal itu bisa ditafsirkan bahwa dengan kebijakan itu Sri Mangana dengan cerdik dapat menjaga perbatasan Caruban dengan Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh?�

�Kalau itu, benar sekali. Bahkan karena alasan itu, perbatasan Caruban di selatan ditetapkan di Cigugur, yang mengandung makna suara gemuruh guruh (Sunda: gugur: guruh, gugur), lambang Rudra (Yang Berteriak), perwujudan Syiwa yang dahsyat dan akan menggugurkan semua kekuatan semua makhluk yang akan melintasinya. Sri Mangana seolah memberi peringatan kepada ayahanda dan para saudaranya agar mereka tidak melewati Cigugur. Sebab, Cigugur tidak saja mengandung perlambang nama Rudra, tetapi juga menyembunyikan lambang penderitaan dan rasa sakit hati ibunda Puteri Jata Mernam, Nyi Rara Rudra,� kata Abdul Jalil.

�Seperti itukah makna rahasia di balik nama Cigugur?� gumam Liu Sung terkagum-kagum. �Makanya, selama ini pasukan Galuh dan Talaga seperti tabu melintasi Cigugur. Bahkan kami dengar cerita, Angga dan pengawalnya yang lari ke Kuningan tidak diburu lagi oleh musuhnya ketika memasuki Cigugur. Sungguh mengagumkan kecerdikan Sri Mangana dalam menggunakan perlambang untuk menggetarkan nyali musuh-musuhnya.�

�Tahukah engkau tentang hikmah di balik peristiwa itu?�

�Tentu saja Tuan Syaikh yang lebih tahu.�

�Pertama-tama, tafsiran para pendeta atas mimpi Prabu Guru Dewata Prana itu benar, namun sedikit meleset. Sebab, mata air yang berbual-bual di dalam kraton yang bakal menjadi bah itu bukanlah Puteri Jata Mernam, melainkan putera Prabu Guru Dewata Prana yang lain, yaitu Pangeran Walangsungsang. Para pendeta keliru dalam menafsirkan mata air dengan perempuan dan pancuran dengan laki-laki sehingga Pangeran Walangsungsang luput dari bidikan tafsir mimpi mereka. Sekarang mimpi itu mewujud menjadi kenyataan. Mata air yang berbual-bual dari dalam kraton itu kini telah menjadi bah. Rajagaluh sudah diempaskan. Dermayu tergulung. Bahkan aku mengira, pada gilirannya nanti seluruh Bumi Pasundan, termasuk kraton Pakuan Pajajaran, akan tenggelam dilanda bah Islam yang disebarkan Pangeran Walangsungsang,� kata Abdul Jalil.

�Apakah itu berarti bahwa usaha apa pun yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya tidak dapat menolak takdir Ilahi, begitukah Tuan Syaikh?� tanya Liu Sung.

�Itulah makna hakiki dari peristiwa itu,� tegas Abdul Jalil. �Pada dasarnya manusia tidak memiliki kehendak apa pun kecuali apa yang dikehendaki Allah (QS. at-Takwir: 29). Lantaran itu, sekeras apa pun perjuangan orang seorang dalam berusaha, menurut para arif billah, tidak akan menembus tirai takdir (sawabiq al-himami la takhriqu aswar al-aqdar).�

�Jika demikian, sungguh kasihan Angga dan keluarganya yang masih belum dibebaskan-Nya dari terkaman dendam yang merusak jiwa,� kata Liu Sung.

�Lantaran itu, aku menerima kehadirannya dengan rasa syukur dan kemudian memenuhi keinginannya untuk dibaiat. Aku yakin, kehadirannya ke sini bukanlah atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak-Nya jua. Aku yakin Allah akan mengakhiri semua dendam yang menguasai jiwanya dengan lantaran amaliah yang kuajarkan. Mudah-mudahan semua kotoran jiwa Angga akan bisa disucikan sehingga dia secepatnya sadar jika dendam kesumat itu hanya membuat rusaknya jiwa,� kata Abdul Jalil.

�Kami juga berharap demikian, Tuan Syaikh.�

Hari-hari selama di Lemah Abang, meski diliputi suasana tenang dan tenteram dengan gelak tawa dan canda ria orang-orang yang patuh dan selalu setia melayaninya, ternyata tidak mampu meredam gejolak jiwa Abdul Jalil yang laksana samudera diaduk badai. Di tengah panah waktu yang melesat, ia merasakan jiwanya seperti kapal yang terombang-ambing dipermainkan gelombang lautan ganas. Bahkan, jauh di kedalaman palung jiwanya ia merasakan tarikan dan sentakan yang menggerus pantai kesadarannya, seolah-olah terkaman kekuatan gaib yang akan melemparkannya dari gubuknya. Ia seolah-olah diseret oleh suatu kekuatan adiduniawi untuk pergi meninggalkan gubuknya tanpa alasan yang jelas. Apa yang dirasakannya sebagai sesuatu yang aneh ditangkapnya sebagai tengara bakal terjadi sesuatu yang akan membuatnya meninggalkan gubuknya, meski ia tidak tahu kapan hal itu akan terjadi.

Ketika ia mengaitkan antara gelegak jiwanya dan liku-liku perjalanan hidupnya di tengah arus perubahan yang telah dilaluinya, ia mendadak terkejut sendiri. Sebab, di hadapannya terpampang dengan jelas sebuah kenyataan yang mengejutkan dan membuatnya makin sadar diri akan kekurangannya. Ia menyaksikan kenyataan betapa tugas yang dijalankannya sebagai penyulut api perubahan belumlah tuntas. Pekerjaan besar untuk menata nilai-nilai kehidupan sebuah bangsa yang ambruk masih belum selesai. Kenyataan itu membuatnya sadar, sekalipun setiap usai memimpin sembahyang isya ia selalu mengajarkan kepada murid-muridnya tentang jalan lurus (sabil huda) bagi manusia di dalam menuju Kebenaran, yaitu jalan lurus yang membebaskan manusia dari rasa takut atas segala sesuatu selain Yang Mahabenar, yang membebaskan manusia dari keputusasaan, yang membebaskan manusia dari perangkap penderitaan dan kesengsaraan, yang membebaskan manusia dari kejahilan, yang membebaskan manusia dari khayalan sesat tentang Kematian maupun Kehidupan, yang menuntun manusia pada Kebenaran hakiki; pada kenyataannya ia tetap merasakan betapa semua itu masih belum cukup. Ya, ia merasa masih belum cukup memberi kepada manusia. Ia merasa selama ini masih belum cukup menyampaikan Kebenaran hakiki kepada manusia. Ia merasa betapa masih cukup banyak tugas yang diembannya dalam membentangkan cakrawala baru itu yang belum terselesaikan dan bahkan terbengkalai.

Sadar bahwa tugas belum selesai dan sesuatu yang tak menyenangkan bakal terjadi, Abdul Jalil buru-buru mengumpulkan mereka yang selama ini telah menunaikan tugas untuk mencatat dan menyusun cerita-cerita, dongeng-dongeng, adab, dan ajaran hidup yang berdasar Tauhid. Karya mereka itulah yang bakal digunakan untuk memperkuat nilai-nilai baru yang telah ditebarnya, yaitu nilai-nilai baru berdasar penghormatan dan keseimbangan yang bakal menggantikan nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai tuntutan perubahan. Di antara mereka itu adalah Raden Sahid, Raden Sulaiman, Ki Gedeng Pasambangan, Syaikh Abdul Malik Israil, Syaikh Bentong, Ki Sarajaya, dan Ki Luwung Seta. Ia merasa senang saat mengetahui mereka ternyata telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, meski belum sempurna.

Raden Sulaiman yang mendampingi Syaikh Bayanullah di Gunung Gundul telah mencatat cerita-cerita dan dongeng keislaman, Persia, dan Melayu. Raden Sulaiman menjelaskan, selama tinggal bersama Syaikh Bayanullah ia telah menyusun sejumlah naskah yang berkaitan dengan tarikh dan keteladanan Nabi Muhammad Saw. yang diberinya judul Babad Makah, Kitab Bayanullah, Hikayat Sayyid Abdullah, Nurbuat, Babar Nabi, Hikayat Nabi Muhammad, Carita Paras Nabi, dan Carita Nabi Nikah. Semua naskah masih ditulis dalam bentuk prosa dengan catatan-catatan. Raden Sahid yang selama beberapa waktu mendampingi Raden Qasim untuk mencatat cerita dan dongeng yang dituturkan Syaikh Bayanullah, mengaku pula bahwa ia telah menyusun sejumlah naskah yang berkaitan dengan kisah kepahlawanan dan pelajaran tasawuf. Ia telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Kitab Martabat Alam Tujuh, Tapel Adam, Kitab Nur Muhammad, Serat Menak, Suluk Rumeksa Ing Wengi, dan saduran Nawa Ruci.

Ki Gedeng Pasambangan mengaku telah mencatat cerita dan dongeng yang terkait dengan adab keluarga muslim. Ia telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Kitab Fatimah, Ilmu Adab, Kitab Piwulang Istri, Smaragama, Carita Panganten Tujuh, Doa dan Mantra Kaluwarga, Doa Istifal, Doa Gua Hira. Syaikh Abdul Malik Israil mengaku telah menyusun cerita dan dongeng serta tuntunan amaliah yang terkait dengan Bani Israil. Ia telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Carita Nabi Yusuf, Sajarah Para Anbiya, Tujuh Asma� Suryaniyyah, Asma� Qamar, Asma� Asha Musa, Doa Nabi Sulaiman, Doa Nabi Daniyyal, dan saduran Kitab Jaljalut. Sementara Syaikh Bentong menyusun naskah yang terkait dengan pranata mangsa dan dongeng Campa. Ia mengaku telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Primbon Palintangan, Primbon Mujarobat, Doa Dzulfaqor, Mantra Tulak Bala, Kitab Ayat Lima Belas, Kitab Ayat Pitu, dan Pantun Sang Kodok.

Abdul Jalil gembira mengetahui naskah-naskah yang dibutuhkannya sebagai salah satu sandaran perubahan nilai-nilai itu telah tersusun, meski masih dalam bentuk prosa dan sebagian masih belum selesai. Dengan suara berkobar-kobar penuh semangat ia berkata, �Ibarat orang maju ke medan perang, semua naskah itu adalah senjata ampuh yang akan menjadi salah satu penentu kemenangan. Lantaran itu, yang kita butuhkan sekarang adalah para prajurit yang unggul dan pandai dalam menggunakan senjata tersebut.�

�Tapi, bagaimana caranya? Apakah naskah itu ditulis dalam jumlah banyak dan kemudian disebarkan ke berbagai tempat?� tanya Abdul Malik Israil.

�Tentu saja tidak mungkin melakukan cara itu,� kata Abdul Jalil. �Sebab, penduduk di Pasundan dan Majapahit yang bisa baca dan tulis hanya kalangan kraton. Padahal, kita ingin menyebarkan ini ke seluruh penduduk. Menurutku, semua naskah harus disebarkan dari mulut ke mulut hingga dipahami semua orang.�

�Aku belum paham maksudmu, o Saudaraku,� kata Abdul Malik Israil.

�Pertama-tama, kita harus mengubah sebagian naskah itu ke dalam bentuk sastra yang mudah dipahami kalangan bawah. Untuk itu, aku akan minta kepada dua orang kepercayaanku, Ki Sarajaya dan Ki Luwung Seta, untuk menuangkan naskah-naskah itu ke dalam bentuk tembang sederhana seperti smaradhana, sinom, lambang, durma, pangkur, pucung, gambuh, kinanthi, dandang gendis, dan megatruh. Setelah itu, kita akan memperbanyak pamancangah menmen, yaitu tukang dongeng keliling yang bertugas menjajakan cerita dan dongeng dari naskah-naskah tersebut kepada penduduk,� kata Abdul Jalil.

�Aku sangat setuju dengan cara itu. Aku sendiri sudah menyiapkan sejumlah muridku untuk tugas itu,� tukas Syaikh Bentong. �Tapi, bagaimana dengan bekal kehidupan mereka selama menjalankan tugas?�

�Tentu saja dari kita,� kata Abdul Jalil. �Selama ini aku sudah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membiayai Raden Sahid dan kawan-kawannya yang berkeliling di pedalaman sebagai pamancangah menmen. Jika ada yang bertanya dari mana aku beroleh uang dan perhiasan? Aku katakan, sebagian aku dapat utang dari Li Han Siang dan sampai sekarang belum lunas.�

Syaikh Abdul Malik Israil yang mendengar ucapan Abdul Jalil tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan menahan geli dia berkata, �Kehendak Allah memang aneh dan sering tak bisa dipahami. Orang-orang yang memiliki iktikad baik untuk berkhidmat kepada masyarakat justru diberi kesempitan dalam kebutuhan duniawi sehingga berutang kesana-kemari. Sementara orang yang berkhidmat kepada diri pribadi justru dilimpahi perbendaharaan duniawi hingga jiwanya terkubur di bawah benda-benda. Aneh sekali. Aneh.�

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers