Selasa, 31 Januari 2017

PANGLIMA PUTERI CARUBAN

Panglima Puteri Caruban

Sementara Ki Gedeng Leuwimunding dan pasukan beserta tetunggul Rajagaluh berpacu menuju ke Leuwimunding, pasukan Caruban Larang yang dipimpin Nyi Mas Gandasari tanpa terduga berbalik arah ketika sampai di hutan Gintung di utara Waringin. Pasukan Caruban tidak melanjutkan perjalanan ke arah Leuwimunding, sebaliknya mereka kembali ke Kadipaten Palimanan. Tanpa menimbulkan suara, di bawah lindungan hutan yang lebat dan kabut tebal serta bentangan malam yang hitam, pasukan itu bergerak melintasi hamparan alang-alang, menyeberangi sungai, dan menjelang tengah malam muncul kembali di Balerante yang sudah ditinggalkan pasukan Rajagaluh sore hari sebelumnya.

Malam itu pangkalan pertahanan Balerante hanya dijaga oleh sekitar tiga puluh orang prajurit sehingga tanpa kesulitan berarti Balerante berhasil dikuasai pasukan Caruban. Satu regu penyergap telah melumpuhkan para penjaga. Setelah mengamankan keadaan, pasukan itu diperintahkan untuk beristirahat. Sebab, dengan menguasai Balerante yang jaraknya hanya dua tiga pal dari Kadipaten Palimanan, kemenangan pasukan Caruban sudah terbayang di depan mata sehingga mereka harus beristirahat mengumpulkan tenaga untuk penyerangan esok hari.

Malam itu ketika para prajurit dan tetunggul Caruban Larang sedang beristirahat sambil membayangkan kemenangan esok hari, di tengah liputan kabut bergumpal dan bentangan selimut kegelapan, penduduk Palimanan, tidak kenal tua, muda, laki-laki, perempuan, dan bahkan anak-anak, tiba-tiba keluar beramai-ramai dari rumah masing-masing dengan membawa obor, parang, arit, cangkul, bedog, pentung, dan pisau. Mereka berjalan dalam iring-iringan kecil menuju ujung desa dan bergabung dengan tetangga lain yang sudah berkumpul di sana.

Mereka berbicara satu sama lain dan kemudian membentuk kerumunan-kerumunan kecil seperti kawanan lebah yang mendengung-dengung di sarangnya.

Kerumunan penduduk itu terjadi karena tersebar kabar yang mengatakan saat matahari terbit di cakrawala timur esok pagi, Sri Mangana akan pergi ke Kadipaten Palimanan dengan diiringi pasukannya yang gagah perkasa. Bagaikan memiliki terkaman daya sihir yang dahsyat, kabar kedatangan Sang Ratu Caruban Larang itu menggerakkan seluruh penduduk Palimanan keluar rumah. Mereka seolah-olah dicekam oleh daya pukau yang dahsyat sehingga mereka ingin menekuk lutut di hadapan Duli Paduka Yang Mulia Sri Mangana, ratu yang mereka cintai dan hormati. Hasrat sangat kuat untuk menyembah sang ratu membuat mereka tak kenal tengah malam, tak kenal gelap, tak kenal dingin, di bawah selimut kabut yang pekat, mereka keluar dari rumah masing-masing untuk menuju ke Kadipaten Palimanan.

Malam yang membentangkan selimut hitam di langit Caruban telah menjelmakan keindahan sangat menakjubkan ketika bentangan cakrawalanya ditebari beribu-ribu obor yang menyala di desa-desa yang terletak di sekitar Kadipaten Palimanan hingga desa-desa di lereng Gunung Ceremai. Bagaikan kawanan kunang-kunang yang terbang dalam kerumunan di tengah kegelapan malam, beribu-ribu obor itu terlihat bergerak menuju satu arah. Mereka itulah penduduk dari berbagai desa yang beriring-iringan menuju Kadipaten Palimanan untuk menyambut kehadiran Sri Mangana beserta pasukannya esok hari.

Kehadiran penduduk itu mengejutkan pasukan Caruban Larang yang beristirahat di Balerante. Beberapa prajurit jaga dengan tergopoh-gopoh melaporkan kejadian itu kepada Nyi Mas Gandasari yang terheran-heran menyaksikan orang-orang desa melewati Balerante. �Apakah yang sesungguhnya terjadi? Kenapa mereka beramai-ramai menuju Kadipaten Palimanan? Apakah mereka akan membela sang adipati untuk melawan kita?� tanya Nyi Mas Gandasari ingin tahu.

�Kami sudah menanyai mereka, Nyi Mas, � kata prajurit penjaga.

�Apa jawaban mereka?�

�Mereka hendak pergi ke Kadipaten Palimanan untuk menyambut kehadiran Yang Mulia Sri Mangana. Kata orang, besok pagi Yang Mulia Sri Mangana akan ke Kadipaten Palimanan bersama pasukannya.�

�O begitu.� Nyi Mas Gandasari terburu-buru menemui Syarif Hidayatullah untuk membicarakan hal itu. Ternyata, baik Syarif Hidayatullah maupun tetunggul Caruban Larang yang lain sudah mengetahui peristiwa tak terbayangkan itu. Mereka akhirnya bersepakat untuk membatalkan serangan kilat ke Kadipaten Palimanan esok hari. Mereka tahu bahwa Kadipaten Palimanan bakal kembali ke pangkuan Sri Mangana tanpa perlu menumpahkan darah setetes pun.

Sementara itu, Arya Kiban Adipati Palimanan yang hanya dijaga oleh sekitar seratus orang pengawal tidak dapat berkata-kata ketika memperoleh laporan tentang gerakan beribu-ribu orang yang berbondong-bondong menuju Kadipaten Palimanan. Ia menduga ribuan orang yang bergerak ke Ndalem Kadipatennya itu adalah pasukan Caruban yang dipimpin Sri Mangana. Arya Kiban tiba-tiba merasa seolah-olah sedang mengalami mimpi buruk yang menakutkan. Entah apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja ketika ia berdeham menenangkan diri, ia seperti mendengarkan suara dehamnya bergema di dalam relung-relung jiwanya. Ada semacam kengerian dan kelengangan yang menerkam jiwanya yang tengah diguncang ketakutan. Dan tanpa sadar, dengan suara bergetar ia berkata kepada para pengawalnya, �Kita harus meninggalkan kadipaten sekarang juga.�

Tanpa menunggu waktu, para prajurit pengawal yang juga dicekam ketakkutan itu berhamburan sibuk mengumpulkan istri-istri, anak-anak, dan harta benda sang adipati. Arya Kiban yang gelisah terlihat berdiri kebingungan di Balai Witana. Wajahnya pucat. Dahinya penuh dengan butiran peluh. Tubuhnya basah. Dan napasnya tersengal ketika di benaknya berkelebatan beribu-ribu wajah prajurit Caruban yang menyeringai ganas. Wajah-wajah itu beringas dan buas. Kemudian beribu-ribu mulut menjijikkan dengan gigi bertaring tajam berkerumun dan mengepung menggeram-geram seolah-olah hendak merobek-robek tubuhnya. Bagai orang terbangun dari mimpi buruk, sang adipati berdiri menggigil sambil menyandarkan tubuh pada tiang saka. Ia benar-benar ketakutan. Dengan tatap mata nanar ia menyaksikan para prajurit pengawalnya menyelamatkan harta bendanya dariNdalem Kadipaten. Ia sudah memutuskan, apa pun yang terjadi ia harus secepatnya menjauh dari sini.

Ketika beratus-ratus nyala obor sudah terlihat di sekitar alun-alun Kadipaten Palimanan, Arya Kiban merasakan bulu kuduknya meremang. Ia mendengar teriakan-teriakan marah dan caci maki yang menghujatnya dengan kata-kata kotor yang pernah didengarnya. Ia sadar bahwa tengara kebinasaan sedang mengintai seiring hadirnya orang-orang yang sudah seperti keranjingan setan itu. Bagai disentakkan dari tidur, ia dengan kebingungan melompat ke atas tandu dan dilarikan oleh para pengawalnya untuk menyusul rombongan pengawal lain yang sudah berangkat terlebih dahulu membawa anak-anak dan istri-istrinya.

Anggapan Arya Kiban bahwa ia akan dapat lolos dari sergapan musuh dengan secepatnya keluar lewat pintu belakang ternyata keliru. Saat ia dan para pengawal berada pada jarak sekitar tiga pal di barat Ndalem Kadipaten, ia menyaksikan beratus-ratus bahkan beribu-ribu obor yang menyala laksana lautan api bertebaran di segenap penjuru. Nyala obor itu makin lama makin dekat ke arahnya dengan suara gemuruh derap kaki dan celoteh yang menggema di kegelapan malam.

�Apa yang harus kita lakukan?� gumam Arya Kiban kebingungan.

�Yang Mulia harus menyamar,� kata kepala pengawal.

�Menyamar bagaimana? Menyamar sebagai apa?� Arya Kiban memburu.

�Yang Mulia harus turun dari tandu,� kata kepala pengawal tegas. �Kemudian melepas pakaian dan seluruh atribut adipati. Yang Mulia harus menyamar sebagai penduduk desa.�

�Bagaimana dengan istri-istri dan anak-anakku?�

�Mereka juga harus menyamar.�

Akhirnya, di tengah kengerian yang mencekam, Arya Kiban beserta keluarga dan para pengawal memutuskan untuk menyamar sebagai penduduk desa. Mereka melepas seluruh pakaian dan perhiasan yang gemerlapan yang melumuri wajah dan tangan dengan tanah basah. Mereka teraduk-aduk bersama-sama dengan beribu-ribu orang yang bergerak dalam kerumunan-kerumunan menuju Kadipaten Palimanan. Dan akhirnya, dengan sangat susah payah sang adipati bersama rombongannya berhasil meloloskan diri menuju arah Rajagaluh.

Pagi itu ketika matahari merangkak di ufuk timur terlihat pemandangan yang menakjubkan di Kadipaten Palimanan. Sejauh mata memandang, lautan manusia terhampar memenuhi seluruh penjuru sejak Balai Witana hingga alun-alun, bahkan di luar gerbang kadipaten. Mereka adalah penduduk Palimanan yang datang ke tempat itu sejak malam untuk menghaturkan sembah kepada junjungan mereka Sri Mangana. Hingga matahari naik sepenggalah mereka baru diberi tahu jika Sri Mangana bersama pasukannya akan muncul dari gerbang timur. Ketika akhirnya derit roda kereta perang terdengar di gerbang timur kadipaten, semua orang serentak mengarahkan pandangan ke sana.

Di bawah bayangan gerbang yang memanjang, terlihat pemandangan yang menakjubkan semua orang: sebuah kereta perang dari kayu berukir dengan hiasan emas yang ditarik empat ekor kuda putih keluar dari gerbang diiringi beratus-ratus pasukan berkuda yang diikuti beribu-ribu pasukan tombak. Di samping kanan kereta perang itu terlihat panji-panji hitam bertuliskan kalimah La ilaha illa Allah Muhammad rasul Allah dalam bentuk gambar harimau. Panji-panji itulah yang disebut �Macan Ali�, pataka kebesaran Caruban Larang. Di bawah naungan payung kutlima yang dipegang seorang pengawal ratu, Sri Mangana berdiri tegak dengan surban dan jubah putih berkibaran. Tangan kirinya memegang busur. Tangan kanannya memegang keris Kanta Naga yang terselip di dadanya. Benderang cahaya matahari pagi yang bersinar dari arah belakang, menjelmakan Sri Mangana seolah-olah dewa perang yang turun ke bumi. Dan sebuah pemandangan menakjubkan lain terpampang tatkala kereta perang Paksi Naga Liman yang dikendarai Sri Mangana melaju melintasi alun-alun. Bagaikan digerakkan oleh kekuatan raksasa tak terlihat, tiba-tiba lautan manusia yang melimpah di alun-alun hingga Balai Witana Kadipaten Palimanan itu serentak bersujud dan menyampaikan puja dan puji kepada Ratu Sri Mangana; suaranya menggemuruh sambung-menyambung memenuhi angkasa.

Raja adil disembah, raja lalim disanggah. Begitu kata pepatah. Kehadiran Sri Mangana di Kadipaten Palimanan merupakan bukti nyata dari kebenaran pepatah itu. Penduduk Palimanan yang sejak lahir telah mengenal Sri Mangana sebagai ratunya terbukti tidak dapat dibelokkan kiblat kesetiaannya oleh para petualang, seperti Ki Gedeng Kiban, Ki Gedeng Tegal Karang, Ki Gedeng Kenanga, Ki Demang Dipasara, dan Ki Demang Ardisora. Meski bertahun-tahun para petualang itu menanamkan keyakinan bahwa ratu yang harus disembah oleh penduduk Palimanan adalah Prabu Chakraningrat Yang Dipertuan Rajagaluh, rasa tunduk dan pengabdian mereka terbukti tetap terarah pada junjungan mereka yang sebenarnya, Sri Mangana; sang ratu yang termasyhur adil dan bijaksana. Itu sebabnya, ketika mereka mendengar kabar bahwa ratu mereka akan datang ke Kadipaten Palimanan dengan pasukannya maka mereka pun menyambutnya dengan sukacita. Bahkan, untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, sejak berangkat dari rumah mereka membawa berbagai jenis senjata. Mereka bertekad akan berkorban jiwa dan raga untuk membela sang ratu yang mereka junjung tinggi dan muliakan itu.

Abdul Jalil yang menunggang kuda di samping kereta perang Sri Mangana hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala saat menyaksikan beribu-ribu orang bersujud menyambut kehadiran ayahandanya. Ia tiba-tiba disentakkan oleh kesadaran bahwa gagasannya tentang masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah pada dasarnya adalah gagasan yang sangat bertentangan dengan adat kebiasaan yang dianut penduduk bumi putera negeri ini. Ia sadar, gagasan yang diilhami pembentukan masyarakat di Yatsrib pada zaman Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat itu memiliki perbedaan mendasar dalam hal adat kebiasaan masyarakat pendukungnya. Orang-orang Arab dan Yahudi, sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga sekarang tidak memiliki adat kebiasaan bersujud kepada manusia, meski kepada seorang maharaja. Sementara itu, di Bumi Pasundan dan Majapahit, keyakinan tentang Dewaraja yang mewajibkan manusia untuk menekuk lutut menyembah sesamanya justru merupakan keniscayaan. Dengan demikian, menurut hematnya, dibutuhkan kebiasaan yang lebih keras untuk mengubah adat kebiasaan penduduk itu dengan resiko gagal sama sekali atau berhasil lewat penyesuaian-penyesuaian.

Meski tidak mengetahui apa yang berkecamuk di dalam benak Abdul Jalil, Sri Mangana saat menerima para pemuka warga di Balai Witana Kadipaten Palimanan menyatakan bahwa sejak saat ini tatanan yang diberlakukan di Palimanan adalah sama dengan tatanan yang diberlakukan di Caruban. Salah satu tatanan di Caruban yang harus dijalankan saat itu juga adalah meninggalkan adat kebiasaan penduduk untuk bersembah sujud di hadapan raja. Masyarakat Caruban yang ingin menunjukkan hormat kepada rajanya cukup dengan menghadap dan bersalaman sambil mencium tangan raja. Para pemuka warga, tentu sangat terkejut mendengar peraturan baru itu. Namun mereka tidak berani menolaknya. Meski dengan terheran-heran, mereka menyatakan ketundukan dan kesetiaan untuk mengikuti apa saja yang ditetapkan oleh Sri Mangana. Bahkan, mereka menyatakan bahwa ketundukan dan kesetiaan mereka tidak pernah luntur meski selama bertahun-tahun berada di bawah tekanan Ki Gedeng Kiban dan kawan-kawannya yang berkuasa dengan mengatasnamakan warga Palimanan.

Sri Mangana memahami bahwa selama ini baik penduduk maupun para pemukanya telah menjadi korban dari para penguasa gadungan yang mengatasnamakan penduduk untuk meraih kekuasaan. Lantaran itu, di hadapan para pemuka penduduk dan seluruh yang hadir di Balai Witana Kadipaten Palimanan, ia menetapkan keputusan bahwa wilayah Palimanan telah kembali ke pangkuan Caruban Larang dan akan diatur seperti wilayah Caruban Larang yang lain. Maksudnya, setiap penduduk Palimanan yang kini disebut dengan nama masyarakat akan mendapat jatah tanah secukupnya sebagai hak milik. Seperti penduduk Caruban Larang yang lain, masyarakat Palimanan diperkenankan untuk memilih pemimpin di antara mereka sendiri.

Keputusan Sri Mangana itu disambut dengan sukacita oleh seluruh penduduk. Dengan air mata bercucuran mereka menyampaikan puja dan puji kepada ratu yang mereka junjung tinggi. Di tengah semarak kebahagiaan yang meluap-luap itu, para penduduk Palimanan seolah-olah lupa pada peraturan baru yang barusan ditetapkan Sri Mangana: tanpa ada yang memerintah, mereka secara serentak beramai-ramai bersujud dan memuji-muji Sri Mangana sebagai raja yang adil dan bijaksana.

Sementara itu, kabar jatuhnya Kadipaten Palimanan tanpa meneteskan darah setitik pun benar-benar membuat mulut para tetunggul Rajagaluh bungkam. Mereka tidak bisa berkata sesuatu sebab mereka benar-benar merasa terkecoh oleh siasat cemerlang Sri Mangana yang memancing mereka dengan taktik seolah-olah akan menyerang Leuwimunding. Dan mulut mereka pun makin bungkam manakala mendapat laporan susulan bahwa beberapa jenak setelah menguasai Kadipaten Palimanan, Sri Mangana beserta semua pasukannya telah bergerak ke Rajagaluh dan bahkan mengepung Kutaraja dari timur, selatan, dan barat.

�Kita memang tidak bisa berbuat apa-apa.� Pangeran Arya Mangkubhumi akhirnya membuka mulut meski terlihat tak bersemangat. �Tetapi, sudah menjadi tugas kita untuk menyelamatkan Sri Baginda dari kepungan musuh.�

�Tapi Yang Mulia, hamba mendapat laporan bahwa pasukan-pasukan yang membantu Caruban berasal dari Demak dan Majapahit. Malahan, pasukan dari Majapahit katanya menggunakan senjata setan jelmaan naga api. Sepanjang malam senjata-senjata setan itu memuntahkan api dari mulutnya sehingga membakar hutan di selatan kutaraja,� kata Ki Gedeng Leuwimunding.

�Bagaimana engkau percaya senjata itu jelmaan naga api?� tanya Pangeran Arya Mangkubhumi.

�Kata orang, senjata itu memiliki mulut seperti naga yang bisa menyemburkan api. Senjata itu hanya digunakan pada malam hari. Jikalau pagi datang senjata-senjata itu dimasukkan ke dalam kotak-kotak dan diselimuti kain hitam. Bukankah hanya setan yang keluar pada malam hari?� kata Ki Gedeng Leuwimunding.

Pangeran Arya Mangkubhumi terdiam. Ia sendiri sebenarnya bingung mendengar cerita-cerita menakutkan tentang senjata setan bernama gurnita yang digunakan pasukan Majapahit asal Terung. Ia tidak tahu senjata pusaka apa sebenarnya gurnita itu. Menurut kabar yang didengarnya, senjata-senjata setan itu sebesar pohon dan memiliki mulut seperti naga yang mengeluarkan api. Sebagaimana kabar yang menebar, ia diam-diam meyakini bahwa senjata bernama gurnita itu memang pusaka yang digerakkan oleh daya sakti sebangsa ruh naga api. Kayakinannya itu makin kuat manakala ia mendapat laporan bahwa pemimpin pasukan Majapahit itu adalah Ki Wedung, pendeta bhairawa pemimpin ksetra yang baru saja memeluk agama Islam.

Dengan meyakini bahwa pasukan Majapahit menggunakan senjata berkekuatan setan, Pangeran Arya Mangkubhumi sadar bahwa cepat atau lambat kekuatan yang dimiliki Rajagaluh akan runtuh. Sebab, diakui atau tidak diakui, semangat pasukan yang dipimpinnya mengalami keruntuhan akibat menyebarnya cerita tentang kehebatan senjata setan itu. Namun, ia juga sadar bahwa menyelamatkan ayahandanya dari kebinasaan adalah kewajiban utama yang tak bisa diabaikannya. Itu sebabnya, dengan mengancam akan menghukum mati siapa saja di antara tetunggul dan prajurit Rajagaluh yang meninggalkan tugas, ia memerintahkan penyerangan besar-besaran terhadap pasukan Caruban yang mengepung Rajagaluh. �Ki Gedeng Leuwimunding menggempur pasukan musuh yang di sebelah timur. Celeng Igel menggempur pasukan musuh di sebelah barat. Aku sendiri akan menerobos ke kutaraja dari arah utara. Apa pun yang terjadi, raja harus diselamatkan dari musuh,� kata Pangeran Arya Mangkubhumi.

�Besok pagi, seiring terbitnya sang surya, hamba akan menggempur musuh,� kata Ki Gedeng Leuwimunding bersemangat. �Hamba berharap pasukan dari Sumedang, Maleber, Taraju, Panembong, dan Palimanan berkenan hamba pimpin sehingga hamba dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.�

�Engkau tidak perlu ragu tentang itu. Aku sudah memberi perintah kepada para kepala pasukan agar mematuhimu. Tetapi, yang terpenting engkau harus meyakinkan pasukanmu bahwa jumlah kita lebih banyak dibanding jumlah musuh. Kita masih memiliki sedikitnya 50.000 orang prajurit, sedangkan kekuatan pihak Caruban kurang dari 20.000 orang. Jadi, dengan sedikit memacu semangat pastilah kita akan meraih kemenangan. Yakinkan mereka bahwa kemenangan akan berpihak kepada kita,� kata Pangeran Arya Mangkubhumi.

�Hamba akan menjalankan tugas sebaik-baiknya,� Ki Gedeng Leuwimunding menyembah. �Hamba mohon restu, mudah-mudahan pasukan yang hamba pimpin berhasil meraih kemenangan.�

Kabut pagi masih menyelimuti lembah yang memisahkan Sungai Waringin dan Kutaraja Rajagaluh ketika satu detasemen pasukan yang dipimpin Ki Demang Surabangsa mengendap-ngendap menuruni tebing sungai dan menyusuri alirannya ke arah hulu. Di dalam sungai itu mereka berjalan tertatih-tatih di atas bebatuan yang licin. Semangat di dalam jiwa mereka meningkat karena yakin akan mudah mengalahkan musuh yang tidak dibantu oleh kekuatan setan jika bertempur pada siang hari. Tugas mereka pagi itu adalah menghancurkan kotak-kotak setan yang dijadikan senjata andalan pasukan Majapahit.

Usaha pasukan Rajagaluh untuk menyergap pasukan Majapahit yang bersenjata naga setan dilakukan setelah para tetunggul Rajagaluh mendapat laporan tempat senjata-senjata setan itu �tidur�. Tanpa menguji ulang kesahihan laporan itu, Pangeran Arya Mangkubhumi yang sudah dicekam kebingungan memerintahkan Ki Demang Surabangsa untuk menghancurkan senjata-senjata setan itu pada pagi hari, yakni saat setan-setan tidur.

Ketika kabut mulai menipis, mereka mendaki tebing sungai. Sambil merangkak mereka merayap ke arah hutan di timur sungai. Mereka membayangkan tidak lama lagi bakal menemukan kotak-kotak setan pasukan Majapahit yang sedang tidur. Namun, saat mereka sampai di tepi hutan dan mendongakkan kepala ke atas, bukan kotak-kotak setan yang mereka temukan melainkan beratus-ratus wajah beringas dengan mata menyala dan mulut menyeringai yang memandang ganas ke arah mereka. Dan yang paling mencengangkan, tangan-tangan dari pemilik wajah beringas itu menggenggam sebilah tombak yang diarahkan kepada mereka.

�He, kenapa berhenti?� teriak seorang prajurit Rajagaluh dari tebing sungai. �Ayo jalan terus!�

Tidak ada jawaban dari arah depan. Beberapa jenak suasana terasa lengang dan mencekam. Namun, sejurus kemudian terdengar teriakan yang diikuti menghamburnya para prajurit yang merayap di dekat hutan ke arah sungai.

�Lari!�

�Kita dijebak!�

Berpuluh-puluh prajurit yang sudah menirap di atas rumput terkejut dan tidak dapat lagi menahan diri. Sambil berteriak-teriak mereka berdiri dan mengambil langkah seribu mengikuti kawan-kawannya. Mereka berlari tanpa aturan, saling tabrak, saling dorong, saling desak, saling sikut, dan saling mengumpat. Suasana di atas tebing sungai benar-benar kacau. Semua prajurit Rajagaluh berlomba untuk lari sekencang-kencangnya menuruni tebing. Namun malang tak dapat dielakkan, pasukan Majapahit asal Terung yang sudah menunggu sejak pagi itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan jeritan perang menggetarkan, mereka melemparkan tombak-tombak ke arah pasukan Rajagaluh yang semrawut di sisi timur sungai.

Terdengar pekik tertahan ketika tombak-tombak yang dilempar pasukan Terung menghujam punggung para prajurit Rajagaluh hingga tembus ke dada. Setelah itu terlihat pemandangan mengerikan; berpuluh-puluh tubuh bertumbangan tanpa nyawa di atas tanah berumput. Darah menggenang dan lengking kematian terdengar sambung-menyambung diikuti ratap kesakitan.

Para prajurit Terung sendiri adalah orang-orang yang sudah terlatih dalam pertempuran. Mereka sangat terampil menggunakan senjata. Begitu selesai melemparkan tombak-tombaknya, mereka menerjang musuh sambil mencabut keris yang terselip di perut. Dan bagaikan orang keranjingan setan, mereka mengamuk dan membinasakan setiap musuh yang berada di dekatnya. Para prajurit Rajagaluh yang lari berdesak-desak di dalam aliran sungai mereka jadikan sasaran utama amukan. Tebing sungai yang semula hijau dirambati rumput dan sulur-suluran tiba-tiba berubah warna. Aliran sungai yang semula jernih mendadak menjadi merah. Dalam peristiwa mengerikan itu Ki Demang Surabangsa tewas terbunuh. Mayatnya terlihat meringkuk di antara tumpukan mayat prajurit yang melindunginya.

Ketika bala bantuan Rajagaluh yang dipimpin Ki Demang Dipasara datang, prajurit-prajurit Majapahit serentak berbalik arah dan menghilang di antara rimbunan hutan dengan meninggalkan ratusan mayat bergelimpangan di aliran sungai. Rupanya mereka sadar bahwa tugas utama mereka adalah menjaga kotak-kotak berisi senjata gurnita, bukan bertempur muka lawan muka dengan pasukan musuh.

Kehancuran pasukan Rajagaluh yang dipimpin Ki Demang Surabangsa dialami juga oleh pasukan Rajagaluh yang lain. Celeng Igel, perwira asal Sumedang yang memimpin pasukan Sumedang dan Panembong, lari terbirit-birit ketika pasukannya dihancurkan oleh pasukan Naga Laut yang dipimpin Abdul Halim Tan Eng Hoat di garis pertahanan barat. Ngabehi Ardisora yang memimpin pasukan asal Taraju dan Maleber dihancurkan oleh pasukan Liman Bhuwana yang dipimpin Syarif Hidayatullah di garis pertahanan timur. Bahkan, pasukan induk Rajagaluh yang dipimpin Ki Gedeng Leuwimunding yang berhasil menerobos pertahanan pasukan Caruban di garis pertahanan timur dapat dipukul mundur oleh pasukan Nyi Mas Gandasari yang dibantu pasukan Pangeran Soka.

Dengan semua kekalahan itu tampaknya tidak ada yang bisa dilakukan pasukan Rajagaluh, kecuali bertahan di dalam kubu pertahanan kutaraja. Para tetunggul Rajagaluh sudah bertekad untuk mempertahankan kutaraja sampai titik darah yang penghabisan. Batang-batang pohon dan berbagai jenis benda telah mereka jadikan halang rintang di jalan-jalan yang dijaga oleh prajurit-prajurit pemanah. Kediaman para pangeran yang telah dikosongkan mereka jadikan kubu pertahanan. Bahkan, tumpukan-tumpukan batu di sepanjang dinding yang mengitari Bangsal Kaprabon mereka siapkan sebagai senjata cadangan.

Menghadapi siasat Rajagaluh yang menggelar rencana perang kuta, Sri Mangana hanya tersenyum menerima laporan-laporan dari para pengintainya. Selaku agra-senapati Caruban Larang, ia tidak berpikir sedikit pun untuk memerintahkan penyerbuan besar-besaran pasukannya ke kutaraja Rajagaluh yang sudah terkepung itu. Ia bahkan menjalankan siasat yang tak pernah terpikirkan lawan, yakni membiarkan seluruh penghuni kutaraja Rajagaluh dicekam kecemasan dan ketakutan akibat sepanjang malam mendengar suara gemuruh senjata gurnita yang memekakkan telinga dan mengguncang dada. Secara diam-diam ia meminta kepada sahabat-sahabatnya para mantan pendeta bhairawa untuk masuk ke kuta pada malam hari dan menculik satu demi satu prajurit Rajagaluh yang berjaga malam.

Siasat Sri Mangana meruntuhkan semangat lawan ternyata menunjukkan hasil gemilang. Setelah empat hari dibingungkan oleh gemuruh senjata setan gurnita, penduduk Kutaraja Rajagaluh dicekam oleh rasa takut akibat munculnya makhluk-makhluk sejenis raksasa yang berkeliaran di dalam kuta dan menculik satu atau dua prajurit Rajagaluh untuk dijadikan santapan. Meski belum satu pun korban penculikan itu ditemukan, cerita-cerita mengerikan tentang makhluk-makhluk raksasa itu telah berkembang sedemikian rupa hingga membuat mereka yang mendengar terbelalak ketakutan.

Dicekam kecemasan, ketakutan, kebingungan, dan kekurangan tidur, para prajurit Rajagaluh yang bertahan di kutaraja terombang-ambing dalam ketidakpastian. Ketika ketidakpastian itu makin menggumpal laksana awan hitam, diam-diam para prajurit Rajagaluh melarikan diri dalam kelompok-kelompok kecil meninggalkan kutaraja. Sejumlah perwira yang kebingungan diam-diam membawa pergi keluarganya dari kutaraja dengan menyamar sebagai penduduk biasa. Untuk meyakinkan pasukan Caruban yang mengepung kuta bahwa mereka penduduk biasa, mereka keluar dari kuta dengan membawa tikar, sirih, padi, ubi, ayam, dan kambing.

Ketika para tetunggul Rajagaluh memperoleh laporan tentang pelarian prajurit-prajurit tersebut, keadaan sudah parah. Persediaan gabah di lumbung kraton lebih dari separo raib. Sejumlah pos penjagaan dijaga oleh orang-orangan dari jerami. Tombak, pedang, panah, busur, dan gada bertumpuk-tumpuk di sejumlah barak. Prajurit yang tersisa pun semangatnya sangat merosot. Dan saat dihitung, jumlah mereka sudah berkurang lebih dari separo, termasuk perwira-perwira yang lari bersama keluarganya.

Kabar larinya para prajurit dari kutaraja itu berusaha ditutup keras oleh para tetunggul Rajagaluh. Perintah Pangeran Arya Mangkubhumi �bersikaplah seolah-olah tidak terjadi sesuatu agar musuh tidak mengetahui peristiwa memalukan ini� dijalankan dengan patuh oleh prajurit yang tersisa. Namun, tetap juga kabar memalukan tersebut menyebar bagaikan sekam diterbangkan angin, terutama saat perwira-perwira yang menyingkir tertangkap oleh prajurit Caruban yang curiga dengan barang bawaan mereka yang mewah. Dari mulut merekalah kabar itu menyebar.

Kendati sudah mengetahui kabar larinya para prajurit dari Kutaraja Rajagaluh, Sri Mangana tidak mengambil tindakan apa pun. Arus berita yang menumpuk di kemahnya dibiarkan menggunung. Tampaknya sang kalifah ingin mengalahkan musuh tanpa menumpahkan banyak darah. Semakin sedikit darah yang tumpah akan semakin baik, begitu ia berkata kepada para penasihatnya.

Para penasihat kalifah seperti Pangeran Raja Sanghara, Syaikh Ibrahim Akbar, Syaikh Lemah Abang, dan Syaikh Bentong dapat memahami perasaan sang kalifah yang tidak cukup tega untuk menumpahkan darah Prabu Chakraningrat dan keluarganya, yang bagaimanapun adalah saudara sedarah dan sedagingnya. Namun beda dengan para penasihat, para tetunggul Caruban yang bertempur di medan perang tidak memahami pemikiran dan perasaan Sri Mangana. Mereka bersikukuh memohon agar sang kalifah secepatnya memerintahkan penyerangan ke kubu pertahanan musuh yang sedang lemah. Dengan semangat berkobar-kobar mereka menyampaikan alasan-alasan tentang pentingnya serangan akhir ke kutaraja musuh untuk meraih kemenangan gemilang. �Jika kita berhasil menduduki Rajagaluh, berarti kita mencatat sejarah bahwa inilah kemenangan pertama umat Islam di negeri ini,� kata Pangeran Sabrang Lor didukung tetunggul yang lain.

Akhirnya, setelah didesak dari berbagai sisi Sri Mangana menyetujui serangan besar-besaran terhadap Kutaraja Rajagaluh yang sudah terkepung itu. Dengan dada dikobari kebanggaan, mereka kemudian bermusyawarah merencanakan siasat penyerbuan. Berdasar laporan para pengintai, mereka mengetahui bahwa titik terlemah dari pertahanan Rajagaluh adalah di gapura alit yang terletak di utara kutaraja. Meski parit yang melingkari gapura alit lebih luas dan jaraknya lebih jauh dibanding parit lain, penjagaan di tempat itu amat lemah karena pos-pos jaganya ditunggui orang-orangan dari jerami.

Rencana yang dirancang manusia sering kali meleset jauh dari harapan. Beda yang dibayangkan dalam angan-angan, beda pula yang dihadapi dalam kenyataan. Ketika beribu-ribu pasukan Caruban mulai menyerbu Kutaraja Rajagaluh, terlihatlah manusia mengepung dari selatan, timur, barat, dan utara laksana gelombang samudera mengepung pulau karang di tengah lautan. Umbul-umbul, bendera, panji-panji, dan tombak teracung naik dan turun bagaikan hutan diterpa angin. Pekik peperangan menggemuruh laksana bukit runtuh. Kaki kuda berlomba dengan kaki para prajurit menuju gerbang di empat penjuru kuta dan yang terbesar di gapura alit di utara kuta.

Ketika cipratan air terdengar dari parit yang terinjak ribuan pasang kaki, disusul prajurit-prajurit yang berebut masuk membelah air menuju ujung parit hingga air merendam dada mereka, terjadi peristiwa yang mencengangkan dan membuat terbelalak mata para penyerbu. Saat itu para penyerbu mendadak terpaku serentak bagai orang kebingungan dan kehilangan akal. Mereka tertegun-tegun bagaikan sedang berada di alam mimpi. Darah mereka tersirap manakala menyaksikan air yang menggenangi parit di sekeliling baluwarti itu menggelegak panas. Beberapa prajurit yang berada di garis depan terlihat berlari-lari menjauhi parit seperti orang tersiram air panas. Yang lebih aneh lagi, mereka menyaksikan dinding-dinding baluwarti yang terbuat dari kayu kusam dan berlumut di depan mereka tiba-tiba hilang dari penglihatan. Mereka merasa seolah-olah telempar ke suatu dunia lain yang tak mereka kenal.

Menghadapi kenyataan mencengangkan itu, para prajurit Caruban yang sebagian besar belum terbebas sama sekali dari kekuasaan takhayul tidak dapat menahan diri. Sambil berteriak-teriak ketakutan mereka berhamburan melarikan diri ke garis belakang. Para kepala pasukan yang berteriak-teriak memerintahkan mereka untuk mundur secara teratur tidak digubris sama sekali. Prajurit Caruban terus berlarian sambil melolong-lolong dengan wajah pucat dan peluh bercucuran menyimbah tubuh.

Kegagalan serangan besar-besaran pasukan Caruban itu membingungkan para tetunggul dan bahkan Nyi Mas Gandasari sendiri selaku panglima. Mereka segera berkumpul di kemah Sri Mangana untuk memohon petunjuk bagaimana mengatasi masalah membingungkan tersebut. Mereka tidak tahu kekuatan sihir apa sebenarnya yang digunakan oleh para tetunggul Rajagaluh hingga membuat para penyerbu lari terbirit-birit ketakutan.

Sri Mangana yang sejak awal tidak berminat menyerbu Kutaraja Rajagaluh terlihat diam menghadapi para tetunggulnya yang kebingungan. Beberapa jenak kemudian, sambil menarik napas panjang ia berkata, �Sesungguhnya, tanpa diserbu pun Rajagaluh akan jatuh. Tetapi kita tidak cukup memiliki kesabaran untuk menunggu barang tiga atau empat hari lagi. Kita cenderung terbawa perasaan bangga diri dan menganggap remeh lawan. Kini, setelah gagal, apa yang harus kita lakukan untuk memulihkan semangat prajurit kita yang runtuh?�

�Kami merasa bersalah, Pamanda Ratu,� ucap Pangeran Sabrang Lor lirih. �Ini akan menjadi pelajaran bagi kami selanjutnya. Sekarang kami memang kebingungan karena tidak mampu memulihkan semangat prajurit yang runtuh. Kami mohon petunjuk dan perintah dari Pamanda Ratu untuk mengatasi hal ini.�

Sri Mangana diam. Ia merenungkan rangkaian cerita kegagalan yang sulit diterima nalar itu. Sebagai orang yang pernah menggeluti ajaran bhairawa, ia menangkap sasmita bahwa peristiwa semacam itu hanya mungkin terjadi akibat daya sakti sebuah Sangga Kamulan, terutama daya sakti yang terpancar dari Palinggih. Di Palinggih itulah sakti dari Purusa dan Atma yang disebut Dewi Mayasih memancarkan daya kekuatan gaibnya. Rupanya, di Palinggih Sangga Kamulan itulah daya sakti Dewi Mayasih memancar ke empat penjuru sebagai Ratu Tangkep Langit, Ratu Teba, Ratu Jalawung, dan Ratu Pangandangan sehingga membuat para penyerbu kebingungan. Ya, daya sakti Dewi Mayasih itulah yang telah menggagalkan serbuan besar-besaran pasukan Caruban ke Kutaraja Rajagaluh.

Beberapa jurus tenggelam dalam renungan dan memahami akar masalah, Sri Mangana tanpa terduga tiba-tiba memerintahkan Pangeran Soka untuk menemui pihak Rajagaluh. Pangeran Soka ditugaskan menyampaikan pesan Sri Mangana kepada Prabu Chakraningrat. Setelah Pangeran Soka pergi ke Rajagaluh, Sri Mangana mendaulat Nyi Mas Gandasari untuk mewakilinya merundingkan perdamaian dengan pihak Rajagaluh. �Pergilah engkau menemui Prabu Chakraningrat di kratonnya. Bertindaklah atas namaku untuk mengajak dia berunding tentang kemungkinan damai antara Caruban Larang dan Rajagaluh.�

Nyi Mas Gandasari dengan takzim menerima tugas itu. Namun, para tetunggul Caruban sangat terkejut dengan keputusan yang mereka anggap tidak lazim. Mereka terheran-heran dan saling pandang seolah berkata, �Bagaimana mungkin Caruban yang sudah berada di atas angin tiba-tiba mengirim utusan untuk merundingkan perdamaian? Bukankah dengan satu pukulan saja Rajagaluh akan tersungkur?

Meski terheran-heran dengan keputusan Sri Mangana, tampaknya para tetunggul Caruban tidak ada yang berani mengungkapkan rasa penasarannya itu. Tampaknya mereka masih ingat bagaimana saat mereka mendesakkan keinginan untuk menyerbu ke Rajagaluh yang berakhir dengan kegagalan itu. Lantaran itu, mereka hanya menunggu hasil dari keputusan kalifah Caruban tersebut. Demikianlah, dengan didampingi Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki Tedeng, dan Ki Sukawiyana, Nyi Mas Gandasari pergi ke Kuta Rajagaluh untuk bertemu dengan Prabu Chakraningrat.

Kabar yang disampaikan Pangeran soka tentang kedatangan Nyi Mas Gandasari ke kraton Rajagaluh seketika menggemparkan pihak Rajagaluh. Para prajurit menari-nari kegirangan dan berebut ke gerbang selatan untuk melihat dari dekat panglima puteri Caruban yang sudah melegenda kecantikannya. Malahan, para tetunggul yang penasaran dengan kabar kecantikan Nyi Mas Gandasari berebut ingin mendampingi Prabu Chakraningrat dalam perundingan damai itu.

Kegemparan yang terjadi di Kutaraja Rajagaluh mencapai puncak ketika suatu pagi Nyi Mas Gandasari dengan didampingi Pangeran Soka dan dikawal empat prajurit bertombak muncul di gerbang selatan. Dengan dandanan mengagumkan bak seorang bidadari, Nyi Mas Gandasari melangkah dengan anggun melewati gerbang. Para prajurit yang berdesak-desak di sepanjang kanan dan kiri jalan terlihat berwajah tolol dengan mulut terngaga ketika memandang Nyi Mas Gandasari berjalan perlahan menuju ke Bangsal Kaprabon. Bahkan saat tubuh Nyi Mas Gandasari dan rombongan lenyap di balik pagar, mereka masih terperangah saling pandang kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecakkan mulut.

Ternyata bukan hanya para prajurit dan perwira Rajagaluh yang terpukau oleh daya pesona kecantikan Nyi Mas Gandasari. Prabu Chakraningrat yang sudah uzur pun tidak mampu menyembunyikan hasrat hatinya yang terpesona dan terkagum-kagum pada kecantikan Nyi Mas Gandasari sehingga lupa jika nyawanya sedang diintai maut. Saat bertemu dengan Nyi Mas Gandasari di Bangsal Kaprabon, Prabu Chakraningrat sedikit pun tidak menyinggung masalah perundingan damai. Bagaikan seseorang yang berhasrat membeli perhiasan yang indah, sang Prabu menanyai Nyi Mas Gandasari tentang ini dan itu, terutama asal usul negeri dan keluarganya. Bahkan, tanpa rasa malu sedikit pun sang raja yang jika berbicara sering terbatuk-batuk itu menyampaikan lamaran agar Nyi Mas Gandasari bekenan menjadi istri kesayangannya. �Jika engkau bersedia menjadi istriku, o Cantik,� kata Prabu Chakraningrat terbatuk-batuk. �Apa pun yang engkau inginkan akan aku penuhi. Seluruh kraton ini beserta isinya akan menjadi milikmu,� katanya merayu.

Nyi Mas Gandasari sebenarnya marah dengan tindakan Prabu Chakraningrat yang dianggapnya tidak tahu diri itu. Namun demi menjalankan tugas dari ayahanda angkatnya, ia harus berpura-pura sangat bersukacita menerima lamaran laki-laki tua bangka itu. Dengan senyum yang dipaksakan ia berkata, �Hamba menerima lamaran Paduka dengan sangat gembira. Tetapi sebelum pernikahan dilakukan, sebagaimana kelaziman adat kebiasaan, hamba ingin melakukan pemujaan ke Sangga Kamulan leluhur paduka. Hamba ingin memohon perkenan dan restu arwah para leluhur Rakanda Prabu agar kehadiran hamba diterima.�

Prabu Chakraningrat merasakan hatinya diguyur air dingin dan nyawanya seolah terbang ke angkasa mendengar jawaban Nyi Mas Gandasari, terutama saat ia dipanggil dengan sebutan �Rakanda Prabu�. Tanpa menunggu waktu dan tanpa berpikir lebih jauh, ia memperkenankan dan bahkan mengantar sendiri Nyi Mas Gandasari ke Sangga Kamulan. Ketika beberapa pengawal raja mendekat, dihardiknya dengan kasar. Akhirnya, hanya Prabu Chakraningrat, Nyi Mas Gandasari, Pangeran Soka, beserta keempat pengawalnya yang pergi ke Sangga Kamulan yang terletak di dalam puri kedaton.

Sangga Kamulan, tempat arwah leluhur Prabu Chakraningrat dipuja, adalah sebuah bangunan suci yang terletak di bagian utara puri. Panjangnya sekitar empat belas depa, lebar tiga belas depa, dan dilingkari tembok bata setinggi tiga depa. Di dalam Sangga Kamulan terdapat empat bangunan utama, yaitu Kamulan, Palinggih, Angrurah, dan Pahyasan. Satu-satunya pintu masuk ke Sangga terletak di selatan dan disebut pamedalan. Di Sangga Kamulan itulah ibunda, kakek, dan nenek Prabu Chakraningrat dari pihak ibu dipuja sebagai Dewa Pitara.

Karena Sangga Kamulan adalah bangunan suci yang hanya boleh dimasuki raja dan keluarga maka Pangeran Soka dan keempat pengawal Nyi Mas Gandasari tidak diperkenankan masuk. Mereka diminta menunggu di depan Pamedalan. Nyi Mas Gandasari yang bakal menjadi keluarga raja tampak kebingungan karena baru pertama kali ia berada di suatu Sangga Kamulan. Ia tidak tahu di mana letak bangunan Palinggih yang dimaksud oleh Sri Mangana. Ia menoleh ke arah pamedalan untuk meminta petunjuk kepada para pengawalnya yang berdiri di depan gapura. Dengan isyarat tangan, salah satu pengawal yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ki Tameng menunjuk letak Palinggi itu tepat di utara sangga yang berseberangan dengan gapura pamedalan.

Prabu Chakraningrat yang sudah dimabuk pesona tampaknya sudah tidak memperhatikan gerak-gerik Nyi Mas Gandasari yang mencurigakan. Bahkan saat Nyi Mas Gandasari mengangkat kandaga emas (peti kecil) di atas Palinggih, Prabu Chakraningrat tidak mengetahuinya karena pandangannya terarah pada pinggul Nyi Mas Gandasari.

Prabu Chakraningrat baru tersadar dirinya telah tertipu ketika ia melihat Nyi Mas Gandasari membalikkan badan. Ia terkejut bukan alang kepalang melihat kandaga emas di Palinggih sudah berada di pelukan Nyi Mas Gandasari. Namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Nyi Mas Gandasari sudah melayangkan pukulan menyilang ke arah dagu kanannya. Tanpa sempat berteriak, penguasa Rajagaluh yang sudah tua itu terbanting tubuhnya ke tanah dan pingsan. Sementara itu, dengan gerakan trengginas bagaikan burung sikatan yang lincah, Nyi Mas Gandasari melesat keluar gapura pamedalan.

Rupanya, semua peristiwa yang terjadi di dalam Sangga Kamulan tidak luput dari intaian para pengawal raja yang diam-diam mengikuti ke Sangga Kamulan, meski telah dihardik agar menyingkir oleh sang raja. Saat Nyi Mas Gandasari baru menginjakkan kaki di luar gapura pamedalan, teriakan-teriakan para pengawal raja itu sudah terdengar sahut-menyahut dan sambung-menyambung ke segenap penjuru. Tak kurang dari sepuluh pengawal bersenjata lengkap terlihat berdiri menghadang di depan gapura pamedalan.

Andaikata para pengawal Nyi Mas Gandasari adalah prajurit biasa, mungkin akan terjadi pertempuran sengit. Namun, para pengawal yang sesungguhnya adalah para bekas penguasa ksetra itu memiliki ilmu kadigdayan jauh melebihi prajurit biasa. Mereka tidak memberi kesempatan banyak bagi para pengawal raja untuk menyerang. Dengan menggeram, Ki Tameng tiba-tiba melompat ke depan dan menyergap leher salah seorang pengawal raja. Kemudian dengan kekuatan yang menakjubkan ia mengangkat pengawal itu dengan satu tangan ke atas dan membantingnya ke bawah dengan cara terbalik. Terdengar suara tulang pecah ketika kepala pengawal itu remuk menghantam lantai. Setelah itu, dengan gesit Ki Tameng melompat dan mencengkeram leher salah seorang pengawal yang lain. Mata para pengawal raja terbelalak saat mereka mendengar suara tulang leher patah yang diikuti ambruknya tubuh kawan mereka dengan kepala terkulai.

Menyaksikan peristiwa mengerikan yang berlangsung secepat kilat itu, para pengawal raja berhamburan melarikan diri sambil berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya. Sementara itu, dengan isyarat tangan, Nyi Mas Gandasari beserta keempat pengawalnya membagi diri ke dalam tiga kelompok. Satu ke utara, satu ke timur, dan satu lagi ke barat. Bagaikan angin berembus di musim penghujan, para pendekar itu melesat meninggalkan Sangga Kamulan ke arah yang dituju masing-masing. Para pengawal raja dan prajurit lain yang memburu dari belakang tidak mampu mengimbangi kecepatan lari mereka apalagi, hujan yang mulai melebat menghalangi pandangan.

Tawaran perundingan damai Caruban Larang dan Rajagaluh yang disodorkan Nyi Mas Gandasari pada dasarnya adalah siasat yang disusun sangat cermat oleh Sri Mangana. Ibarat pepatah �sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui�, Sri Mangana dengan sangat teliti sudah memperhitungkan keuntungan ganda dari siasatnya itu. Pertama-tama, ia telah memperhitungkan bahwa Prabu Chakraningrat yang dikenalnya sebagai lelaki mata keranjang tentu akan mengabaikan tawaran perdamaian karena terpesona oleh kemolekan Nyi Mas Gandasari. Setelah itu, ia yakin bahwa Nyi Mas Gandasari dengan kecerdasannya akan dapat memasuki Sangga Kamulan dan membawa lari kandaga emas berisi abu jenasah dari guru Prabu Chakraningrat, seorang pertapa perempuan bernama Nagagini, yang dimasukkan ke dalam cupu emas berbentuk ular yang disebut oray mas. Ia sangat yakin Nyi Mas Gandasari dan Pangeran Soka beserta keempat pengawalnya akan mampu membuka gerbang Kuta Rajagaluh dari dalam.

Dengan perhitungan cermat itulah ketika Nyi Mas Gandasari dan rombongan berjalan menuju gerbang selatan Kutaraja Rajagaluh, Sri Mangana menyebar puluhan orang pengintai untuk mengawasi keadaan di dalam kuta. Ternyata penjagaan di gerbang timur, barat, dan utara kosong ditinggal pergi prajurit. Prajurit berbondong-bondong menuju gerbang selatan untuk menyaksikan dari dekat kecantikan Nyi Mas Gandasari yang menurut cerita bagaikan Suprabha, bidadari dari Indraloka yang bermata bintang dan berpinggul indah. Setelah itu Sri Mangna mengirim perintah kepada Pangeran Raja Sanghara, Tun Abdul Qadir, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Pangeran Sabrang Lor, dan pemimpin pasukan Caruban lain yang bersiap-siap di barat, timur, dan utara Kuta Rajagaluh untuk menyiagakan penyerbuan. Untuk menyemangati para prajurit disebarkan kabar bahwa penyerbuan ke Kutaraja Rajagaluh itu akan dipimpin sendiri oleh Sri Mangana.

Awan hitam menggantung di langit dan mulai menebarkan titik-titik hujan ketika Sri Mangana keluar dari kemahnya. Sejurus ia menyapukan pandangan ke langit. Setelah berdiri beberapa jenak dengan penuh wibawa di depan kemahnya, ia mengangkat tangan kanannya ke atas dan berseru, �Berdiri dan angkat tinggi-tinggi panji-panji dan senjatamu. Berteriaklah sekeras-kerasnya agar musuh-musuhmu runtuh nyalinya!�

Seiring seruan Sri Mangana, bangkitlah beribu-ribu prajurit Caruban yang sejak pagi meniarap di sekitar perkemahan kalifah hingga tepi parait yang menghampar di selatan gerbang. Ribuan prajurit itu berlindung di balik alang-alang dan tumpukan jerami kering hingga tak terlihat dari arah gerbang. Begitu bangkit, mereka serentak mengacungkan tombak, panji-panji, umbul-umbul, dan bendera diikuti pekik peperangan yang sambung-menyambung. Dan saat Sri Mangana menaiki kereta perangnya, para prajurit pembawa tombak membenturkan pangkal tombaknya ke tanah secara serentak berulang-ulang sehingga bumi bergetar bagai dilanda gempa.

Gegap-gempita pasukan Caruban di seberang gerbang selatan menarik perhatian para prajurit Rajagaluh yang berkerumun di bagian dalam gerbang selatan kuta untuk menunggu Nyi Mas Gandasari kembali dari Bangsal Kaprabon. Mereka sangat terkejut dan kebingungan ketika melihat beribu-ribu pasukan Caruban telah memenuhi tepi parit sambil mengacungkan tombak dan panji-panji, menyanyikan lagu-lagu dan menantang perang.

�Apakah yang telah terjadi?�

�Bukankah Nyi Mas Gandasari masih di kraton?�

�Apakah perundingan damai gagal?�

�Bagaimana nasib Nyi Mas Gandasari?�

Ketika prajurit Rajagaluh sedang kebingungan melihat ancaman serbuan lawan dari luar gerbang selatan, tiba-tiba gerbang timur, barat, dan utara kutaraja secara berurutan dibuka dari dalam oleh Nyi Mas Gandasari, Pangeran Soka, Ki Tameng, Ki Waruanggang, Ki Tedeng, dan Ki Sukawiyana. Begitu melihat gerbang terbuka, beribu-ribu prajurit Caruban yang sudah bersiaga mengepung kuta berhamburan dan saling berpacu menerobos gerbang. Namun, di mulut gerbang mereka tertahan oleh tubuh kawan-kawannya. Yang belakang mendorong. Yang depan menggeliat berusaha lepas dari himpitan. Yang tengah terjepit dan terdorong-dorong.

Sambil bersorak-sorai mengacung-acungkan tombak dan panji-panji, di tengah hujan lebat dan guntur bersahut-sahutan, prajurit Caruban mengalir masuk bagaikan air bah. Gerbang timur, barat, dan utara berubah laksana pintu air yang jebol mengalirkan air bah yang berpusar dan teraduk-aduk memenuhi penjuru kuta. Prajurit mengalir ke jalan-jalan dan lorong-lorong kuta untuk mencari musuh-musuhnya. Cipratan air yang terinjak ribuan kaki terdengar menggiriskan. Setiap kali para prajurit itu menjumpai prajurit musuh, tanpa ampun mereka akan menggulung dan menghempaskannya menjadi serpihan daging dan genangan darah.

Perwira dan prajurit Rajagaluh yang berada di gerbang selatan bergegas menyambut serbuan musuh yang menggelombang dari ketiga penjuru. Mereka membawa senjata apa saja yang mereka temukan untuk menghadang serbuan musuh yang mengamuk bersama hujan dan angin. Namun, usaha mereka tampaknya sia-sia. Sebab, tanpa peduli dengan pagar pedang dan hutan tombak yang menghadang, pasukan Caruban terus menerjang ke depan dengan meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Mereka bergerak menerjang dan menggulung apa saja yang menghadang. Mereka mengalir bagaikan air hujan yang memenuhi seluruh lorong, jalanan, dan selokan kutaraja.

Di tengah hiruk pikuk pertempuran yang terjadi di jalan-jalan, terutama di gerbang selatan, Pangeran Arya Mangkubhumi yang berada di dalam purinya tampak terkejut ketika mendengar suara berisik di halaman. Ia sadar suara berisik itu bukanlah guntur atau curahan air hujan, melainkan semacam gemerincing senjata yang beradu dan jeritan-jeritan orang kesakitan.

Perang! Itulah kesan awal yang ditangkapnya. Dengan benak dipenuhi tanda tanya ia bergegas keluar kamar dan menjulurkan kepala ke jendela. Dan kepalanya bagai disambar petir ketika dari jendela itu dilihatnya para prajurit pengawalnya sedang bertempur di gerbang puri. Para pengawal dengan gigih berusaha keras menahan serbuan musuh yang menerobos gerbang. Menyaksikan pemandangan tak terduga itu, ia merasakan dadanya sesak dan tenggorokannya kering sehingga untuk meludah pun ia tidak mampu. Apa yang sesungguhnya yang terjadi, gumamnya berulang-ulang dalam hati.

Sewaktu melihat dua tiga orang pengawalnya roboh bersimbah darah di babat senjata musuh, tanpa sadar ia lari ke dalam kamar dan menyambar tombak yang terletak di raknya. Saat itu tidak ada yang terlintas di dalam pikirannya kecuali ikut mengadu jiwa bersama para pengawal dan menikam siapa saja di antara musuh yang mendekat. Namun, sebelum ia melibatkan diri dalam pertempuran tiba-tiba ia melihat Ki Demang Suradipa dan sepuluh orang pengawalnya berlari ke arah puri dengan napas terengah-engah sambil berseru, �Yang Mulia! Yang Mulia!�

Pangeran Arya Mangkubhumi yang sudah berada di pintu puri berdeham dan bertanya, �Ki Demang! Apa yang terjadi? Ada apa ini? Kenapa ada yang menyerang puriku?�

�Orang-orang Caruban telah masuk kuta dan membuat kerusakan, Yang Mulia.�

�Apa? Orang-orang Caruban? Bagaimana mungkin itu terjadi? Bukankah mereka membuat tawaran damai?� gumam Pangeran Arya Mangkubhumi terheran-heran.

�Mereka telah menipu kita, Pangeran. Nyi Mas Gandasari dan Pangeran Soka beserta keempat pengawalnya telah membuka gerbang timur, barat, dan utara dari dalam,� kata Ki Demang Suradipa.

�Jagad Dewa Bhattara!�

�Orang-orang Caruban masuk kuta, mengalir seperti air bah. Mayat prajurit kita bergelimpangan di mana-mana. Darah mengalir seperti sungai. Bangunan-bangunan dirobohkan. Mereka seperti orang-orang kerasukan setan,� lapor Ki Demang Suradipa dengan air mata bercucuran membasahi pipinya yang sudah basah.

�Mana tetunggul Rajagaluh yang lain?� Pangeran Arya Mangkubhumi mengangkat alis kirinya.

�Ki Gedeng Leuwimunding, Ki Dipati Kiban, Celeng Igel, Sanghyang Sutem, Sanghyang Tubur, dan Sanghyang Gempol berhasil meloloskan diri ke utara melewati gapura alit. Mereka lari dengan menyamar sebagai pengungsi,� kata Ki Demang Suradipa.

�Bajingan! Pengecut mereka,� kata Pangeran Arya Mangjubhumi dengan wajah merah padam. �Bagaimana nasib Ramanda Prabu?�

�Kami belum mendapat kabar tentang beliau.�

�Bagaimana ini? Bukankah tugas kalian mengawal keamanan raja?� bentak Pangeran Arya Mangkubhumi. �Bagaimana mungkin kalian bisa mengaku tidak tahu nasib rajamu?�

�Ampun Yang Mulia,� Ki Demang Suradipa mengiba. �Semua pengawal raja diperintahkan menyingkir oleh Sang Prabu sewaktu beliau menemui Nyi Mas Gandasari.�

Pangeran Arya Mangkubhumi tiba-tiba memucat wajahnya. Kemudian dengan suara bergetar ia bertanya. �Di mana kalian terakhir melihat raja?�

�Di Sangga Kamulan, Yang Mulia.�

�Ayo, kalian ikut aku mencari beliau.� Pangeran Arya Mangkubhumi melesat keluar puri dengan langkah lebar. Namun, baru sampai di teras puri ia sudah menyaksikan beratus-ratus prajurit Caruban memenuhi halaman purinya. Sisa-sisa prajurit pengawalnya dengan sekuat tenaga berusaha menahan serangan musuh, meski tubuh mereka sudah penuh luka. Sebagai putera mahkota yang sejak kecil dididik dengan adat kebiasaan ksatria, ia tidak gentar menghadapi musuh yang menghadang berapa pun jumlahnya. Dengan wajah ia menoleh sambil berkata kepada pengawal Ki Demang Suradipa, �Kemarikan busurmu! Aku akan hadapi mereka sebagai ksatria! Ayo, ambil anak panahku di kamar. Layani aku!�

Ketika Pangeran Arya Mangkubhumi menghajar musuh-musuhnya dengan tembakan-tembakan anak panah dibantu Ki Demang Suradipa, terdengar gedoran-gedoran kayu yang ditendang di segenap penjuru puri. Rupanya musuh sudah berhasil masuk. Tetapi, ia tidak menghiraukan dan terus menghujani musuh dengan panah. Ia terus menembakkan panah-panahnya kendati mendengar jerit tangis para perempuan dari dalam puri. Ia terus membidik musuh-musuhnya ketika berpuluh-puluh anak panah yang ditembakkan musuh menghambur ke arahnya.

Read More ->>

Senin, 30 Januari 2017

PERANG CARUBAN-RAJAGALUH

Perang Caruban-Rajagaluh

Kabar terpukul mundurnya pasukan Rajagaluh di berbagai garis depan medan tempur oleh laskar muslim Caruban diterima Prabu Chakraningrat dengan darah mendidih dan kepala nyaris meledak. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa para ksatria yang dibangga-banggakan dan diunggulkannya itu bisa kalah oleh para laskar, kawanan gelandangan rendah yang tidak ketahuan asal usulnya dan tidak memiliki ketrampilan perang. Bagaimana mungkin para ksatria mulia yang gagah perkasa bisa dikalahkan kaum sudra hina dan mleccha rendahan, gumamnya berulang-ulang sambil hilir mudik di balairung.

Ketika Pangeran Arya Mangkubhumi dan para tetunggul menghadap, Prabu Chakraningrat tidak dapat menahan amarah. Dengan suara dikobari api ia menghardik putera mahkota dan para perwiranya, �Aku berpikir kalian telah menjadi lemah karena sibuk berpesta pora dan mengumbar kesenangan. Sungguh memalukan, para ksatria kebanggaan Rajagaluh bisa dengan mudah dikalahkan oleh orang-orang rendah dari kalangan sudra, paria, mleccha, domba, kewel, dan potet.�

Pangeran Arya Mangkubhumi dan para tetunggul diam. Mereka membiarkan sang raja melampiaskan amarah. Baru setelah amarah sang raja mereda, mereka menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya dari kekalahan pasukan yang dipimpinnya. Prabu Chakraningrat sendiri akhirnya tidak bisa berkata apa-apa kecuali menerima kenyataan itu meski merasa pahit dan getir. Bahkan saat para tetunggul yang dibanggakannya itu memohon agar ia menantang perang Sri Mangana demi menyelamatkan harga diri para ksatria, ia penuhi juga tanpa bertanya ini dan itu. Demikianlah, demi mempertahankan harga diri dan kehormatan para ksatria, ia memerintahkan sang manghuri (sekretaris negara) untuk menuliskan ucapannya ke atas sepucuk surat yang ditujukan kepada saudaranya, Sri Mangana.

Betapa menyedihkan manusia yang hidup bermegah-megah dilimpahi kekayaan dalam mimpi, namun melarat dan sengsara ketika terbangun. Betapa kasihan manusia yang menyambut bangsa lain dengan kehormatan dan kemuliaan, namun memperlakukan bangsa sendiri sehina dan senista binatang. Betapa memalukan manusia yang merusakbinasakan budaya leluhurnya, namun membangun budaya bangsa lain yang tak dikenalnya. Betapa dungu manusia yang mengusir para ksatria mulia dari takhta persahabatan, namun menjadikan para gelandangan sebagai sahabat. Betapa pandirnya manusia yang digambarkan pepatah �anak di pangkuan dilepaskan, beruk di hutan disusukan�.

Menerima dan membaca surat dari Prabu Chakraningrat, Sri Mangana tersenyum. Ia kemudian memerintahkan Haji Musa, adik Syaikh Bentong, untuk menuliskan surat balasan kepada Yang Dipertuan Rajagaluh.

Apa yang engkau inginkan, wahai pecinta dunia? Apakah engkau belum puas dengan istana-istana indah dan gemerlap yang engkau bangun dari tetesan darah dan keringat kawulamu? Apakah engkau belum puas menipu kawulamu dengan cerita-cerita palsu tentang Dewaraja? Apakah engkau berpikir bahwa kehidupan di dunia ini adalah kekal dan abadi seperti abadinya kekuasaan yang engkau kangkangi?

Aku katakan kepadamu, o pecinta dunia, bahwa kehidupan selalu mengalir seperti sungai. Sebagaimana rembulan memiliki saat purnama dan saat sabit, demikianlah kehidupan selalu berubah dan berganti-ganti. Hanya mereka yang dungu dan pandir yang menganggap kehidupan tidak berubah. Hanya mereka yang berhati batu yang menganggap kehidupan di dunia ini mandeg. Hanya mereka yang buta oleh kenikmatan nafsulah yang mengingkari perubahan sebagai keniscayaan hidup di dunia.

Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan kata-kataku, o pecinta dunia! Bahwa telah aku saksikan dan aku dengar sendiri, bagaimana jiwa para pecinta dunia membeku dan kaku seperti mayat dibungkus selimut. Aku saksikan dan aku dengar jiwa mereka menjelma menjadi hantu menakutkan yang dikitari oleh pengikut-pengikutnya, para dukun dan tukang sihir dan peramal. Kemudian, dengan menyeringai bengis hantu itu memamerkan taringnya, yang membuat seluruh kawula tersungkur ketakutan. Dan bagaikan serigala lapar, begitulah hantu jelmaan para pecinta dunia itu menginjak-injak tubuh manusia, mengalirkan darah orang-orang tak bersalah, mengisap darah orang miskin dan papa, menjilati nanah busuk para gelandangan, dan menakut-nakuti musuh-musuhnya dengan pedang berkarat.

Apakah sesungguhnya yang engkau inginkan, wahai pecinta dunia? Apakah engkau ingin tetap menjadi penguasa duniamu yang berkarat dan membusuk? Ataukah engkau ingin menjadi hantu yang berkeliaran memamerkan taring untuk menakut-nakuti kawulamu?

Prabu Chakraningrat terbakar amarah saat membaca surat balasan dari Sri Mangana. Ia menitahkan sang manghuri untuk membalasnya dengan isi yang lebih tegas.

Aku merasa sebaiknya Tuan menghadapkan pasukan Caruban dengan Rajagaluh sebagai pertarungan ksatria melawan ksatria, sebagaimana pertarungan antara Kurawa dan Pandawa di Kurusetra. Sebagai saudara yang dididik dengan nilai-nilai ksatria dan hidup sesuai dharma ksatria, aku memohon kepada Tuan, agar Tuan tidak mempermalukan saudara Tuan di depan arwah leluhur, dengan membiarkan saudara Tuan menghadapi kawanan gelandangan yang Tuan pelihara. Marilah kita bertempur sebagai ksatria!

Sri Mangana tersenyum bangga membaca surat balasan dari Prabu Chakraningrat. Ia sadar, cepat atau lambat Caruban memang harus terlibat perang dengan Rajagaluh, bahkan mungkin dengan Talaga, Galuh Pakuan, dan Dermayu. Namun, surat balasan yang dikirim oleh penguasa Rajagaluh telah mendorongnya untuk mempercepat keterlibatan Caruban di medan tempur. Sebab, apa pun yang terjadi ia tidak sampai hati melukai hati seorang ksatria dengan menorehkan luka akibat sayatan rasa malu.

Sri Mangana sendiri adalah ratu yang dipercaya oleh maharaja Pakuan Pajajaran, Prabu Guru Dewata Prana, untuk menjaga kekuasaan laut kerajaan Sunda. Ia dikenal sebagai ahli strategi perang (yuddhawira sadah) dan cakap dalam peperangan (yuddha-nipuna). Itu sebabnya, ia tidak akan mungkin menolak tantangan Prabu Chakraningrat. Ia pasti akan meladeni tantangan perang penguasa Rajagaluh itu secara ksatria. Namun sesuai gelarnya, Sri Mangana, yang berarti cahaya kekuasaan ular laut, ia bukanlah orang yang gegabah dalam mengambil keputusan. Ia sangat berhati-hati. Dan dalam hal tantangan Prabu Chakraningrat, ia tahu pasti bahwa Yang Dipertuan Rajagaluh itu tidak bertindak sendiri. Ia mengetahui di belakang saudara tirinya itu tersembunyi kekuatan penguasa Galuh Pakuan, Talaga, Dermayu, Palutungan, Maleber, Panembong, Taraju, Sumedang Larang, dan Batu Layang.

Untuk menghadapi kekuatan Rajagaluh yang diam-diam didukung banyak pihak itu dibutuhkan siasat yang tepat sekaligus penataan kekuatan yang baik dan tak terbaca lawan. Ia sadar bahwa dalam menghadapi Rajagaluh, ia tidak sekadar dituntut menyiagakan kekuatan pasukannya untuk bertempur, tetapi juga menyiapkan kemungkinan terjadinya serangan tak terduga dari Talaga, Galuh Pakuan, dan Dermayu. Ia benar-benar sadar betapa kekuatan pasukannya yang kurang dari 30.000 orang ditambah sekitar 4.600 laskar muslim itu tidak mungkin dibenturkan dengan pasukan Rajagaluh yang jumlah pasukannya 100.000 orang lebih.

�Menurut perkiraanmu, kapan kira-kira bala bantuan dari timur sampai ke Caruban?� tanya Sri Mangana kepada Abdul Jalil, yang dipanggilnya ke Ndalem Pekalipan beberapa saat setelah ia menerima surat tantangan dari Prabu Chakraningrat.

�Ananda perkirakan dalam sepekan ini mereka mestinya sudah sampai ke sini,� kata Abdul Jalil menjelaskan. �Apakah keadaan di medan tempur mengalami perubahan sehingga Ramanda Ratu menanyakan mereka?�

�Di medan tempur laskar muslim Caruban tetap menang, namun Prabu Chakraningrat mengirimkan surat tantangan langsung kepadaku. Dia mengajak perang terbuka antara Rajagaluh dan Caruban,� kata Sri Mangana.

�Ramanda Ratu akan melayani tantangan itu?�

�Hmm,� Sri Mangana mengangguk dan berkata, �Jika tidak dilayani, nanti orang akan menganggap islam sebagai agama yang tidak mengajarkan nilai-nilai ksatria. Islam akan dianggap sebagai agama yang dipeluk para pembual dan penipu yang berjiwa pengecut. Tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan orang-0rang Rajagaluh ketika mereka mendengar Sayyid Habibullah al-Mu�aththal kabur dari Caruban?�

�Tapi, Rajagaluh dibantu banyak pihak. Jumlah pasukannya jauh lebih besar dibanding jumlah pasukan Caruban. Kalau harus dibenturkan berhadap-hadapan, tentunya pasukan Caruban akan kalah,� gumam Abdul Jalil.

�Justru itu yang diinginkan Prabu Chakraningrat. Karena itu, dia menantang perang antar ksatria, sebagaimana saat Kurawa bertempur dengan Pandawa dalam Bharatayudha,� kata Sri Mangana.

�Aku memang sudah mengambil keputusan untuk menyiasati keadaan ini.�

�Aku akan menunda mengirimkan surat balasan kepada Prabu Chkraningrat selama sepekan. Biarkan dia berpikir aku ketakutan menerima tantangannya. Tetapi, selama sepekan itu aku akan membuat kejutan-kejutan untuknya.�

�Sesungguhnya Allah SWT. bersama hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.�

Selama rentang waktu sepekan sambil menunggu kedatangan bala bantuan dari luar Caruban, Sri Mangana melakukan tindakan-tindakan mengejutkan yang bertujuan meruntuhkan semangat pihak Rajagaluh. Tanpa terduga-duga ia mengumumkan terbentuknya kesatuan Naga Laut yang dipimpin oleh Bhatamantri (perwira tinggi) Abdul Halim Tan Eng Hoat, Cina muslim asal Majapahit, putera Abdurrahman Tan King Ham. Kesatuan baru itu terdiri atas seribu pasukan laut Caruban ditambah dua ribu laskar muslim Cina. Abdul Halim Tan Eng Hoat dibantu oleh tiga orang bhrtyamantri (perwira menengah), yaitu Tumenggung Jaya Orean, Abdul Karim Wang Tao, dan Abdul Razaq Wu Lien.

Kabar itu oleh Sri Mangana sengaja disebarkan ke Palimanan dan Rajagaluh sehingga para tetunggul Rajagaluh bertanya-tanya tentang tujuan utama di balik pembentukan kesatuan Naga Laut. Namun, saat para tetunggul Rajagaluh membicarakan kesatuan baru itu tiba-tiba Sri Mangana mengumumkan terbentuknya kesatuan Liman Bhuwana yang dipimpin oleh Bhatamantri Syarif Hidayatullah, wali nagari Gunung Jati. Kesatuan baru itu terdiri atas seribu pasukan berkuda dan seribu pasukan tombak Caruban ditambah dua ribu laskar muslim Arab dan Persia. Syarif Hidayatullah dibantu lima orang bhrtyamantri, yaitu Syaikh Duyuskhani, Abdul Rahim Rumi, Abdul Rahman Rumi, Abdul Qadir al-Baghdady, dan Abdul Qahhar al-Baghdady.

Ketika orang-orang Rajagaluh masih sibuk membicarakan kesatuan Naga Laut dan Liman Bhuwana, Sri Mangana mengumumkan lagi pembentukan kesatuan baru, yaitu Paksi Raja yang dipimpin Bhatamantri Tun Abdul Qadir, wali nagari Sindangkasih, pemimpin para pemberontak asal Malaka. Kesatua Paksi Raja terdiri atas seribu pasukan laut Caruban ditambah tiga ribu laskar muslim asal Malaka, Campa, Keling, Pegu, Yawana, Kendal, dan Palembang. Tun Abdul Qadir dibantu empat bhrtyamantri, yaitu wali nagari Gegesik, Li Han Siang, Syaikh Bentong, dan Haji Shang Shu.

Ketika para tetunggul Rajagaluh dengan sangat hati-hati membicarakan pembentukan tiga kesatuan baru itu, terjadi peristiwa yang mengguncangkan jiwa mereka. Tanpa terduga-duga, tiba-tiba saja Sri Mangana menunjuk seorang pendekar puteri termasyhur, Nyi Mas Gandasari, sebagai agra-senopati (panglima tinggi) Caruban Larang.

Kabar pengangkatan Nyi Mas Gandasari dengan cepat berkobar membakar amarah para tetunggul Rajagaluh bagaikan api membakar ilalang. Para tetunggul Rajagaluh merasakan panas api membakar tubuh mereka dari telapak kaki hingg ujung rambut. Keputusan itu dianggap sebagai tamparan bagi para tetunggul Rajagaluh. Sebab, menurut mereka, pengangkatan Nyi Mas Gandasari pada dasarnya adalah siasat licik Sri Mangana untuk menghalang-halangi Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan, dalam peperangan Caruban-Rajagaluh. Menurut mereka, Sri Mangana memanfaatkan kepercayaan yang diyakini banyak orang yang menyatakan bahwa Prabu Surawisesa tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh seorang perempuan hing wanojaha kang pangawijing. Semenjak lama sudah tersebar kasak-kusuk yang menyatakan bahwa Nyi Mas Gandasari sengaja diasuh sejak kecil oleh Sri Mangana karena disiapkan untuk tujuan menghadapi Prabu Surawisesa.

Sebenarnya, mereka yang merasa gerah dan tidak suka dengan pengangkatan Nyi Mas Gandasari sebagai agra-senapati Caruban bukan hanya pihak Rajagaluh. Sejumlah pemuka masyarakat dan tetunggul Caruban Larang pun diam-diam banyak yang menyayangkan keputusan Sri Mangana yang mereka anggap tidak bijaksana. Mereka menganggap seorang perempuan terlarang menjadi pemimpin laki-laki, apalagi dalam perang. Mereka memang tidak berani terang-terangan menentang keputusan Sri Mangana, tetapi bara api ketidakpuasan telah mereka sulut di dalam jiwa para pengikutnya. Dan bara api itu terlihat kobarannya manakala Angga, wali nagari Kuningan, dan Ki Demang Singagati, mantri kepercayaannya, dengan terang-terangan mengemukakan keberatan mereka kepada Sri Mangana atas penunjukan Nyi Mas Gandasari sebagai agra-senapati Caruban.

Menghadapi keberatan wali nagari Kuningan dan Ki Demang Singagati itu, Sri Manganan mengumpulkan para pemuka masyarakat dan tetunggul Caruban untuk memusyawarahkan keputusannya tersebut. Ternyata, terjadi beda pendapat yang sengit tentang masalah itu. Para pemuka warga keturunan Campa menyatakan dukungan penuh karena adat istiadat mereka menganut asas keibuan sehingga tampilnya pemimpin perempuan dapat diterima asalkan memiliki kemampuan. Syaikh Duyuskhani dan para pengikutnya mendukung Nyi Mas Gandasari dengan alasan agra-senapati perempuan adalah seorang sayyidah keturunan Fatimah az-Zahrah, puteri Nabi Muhammad Saw.. Namun, para pemuka warga Arab, Cina, dan Pegu menyatakan keberatan atas dasar ketentuan syari�at Islam. Menurut mereka, tidak ada satu pun dalil yang membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki.

Sadar bahwa perbedaan pendapat di tengah suasana genting akan sangat merugikan, akhirnya Sri Mangana memutuskan untuk memegang sendiri jabatan agra-senapati Caruban Larang dan memilih dua orang panglima wakil senapati di medan tempur, yaitu wali nagari Kuningan dan Nyi Mas Gandasari. Ia menyatakan bahwa keputusannya itu untuk menguji kemampuan mereka berdua di bidang olah tempur dan keprajuritan. Keputusan Sri Mangana disepakati oleh semua pihak, meski di dalam hati masih ada pihak yang tidak puas dengan keterlibatan perempuan dalam masalah pertempuran. Pihak itu beranggapan tempat perempuan berkiprah bukan di medan tempur, melainkan di dapur dan kamar tidur.

Ketika surat jawaban kepada Prabu Chakraningrat baru saja dikirim dan ketika orang masih sibuk membicarakan langkah-langkah Sri Mangana yang menggemparkan, terjadi kegemparan lain di Muara Jati. Orang-orang yang tinggal di sekitar pelabuhan dikejutkan oleh mendaratnya bala bantuan dari luar Caruban Larang. Mula-mula orang menyaksikan sekitar seribu pasukan turun dari kapal-kapal di pelabuhan Muara Jati. Pasukan itu mengibarkan umbul-umbul dan bendera warna merah dan hitam. Panji-panjinya berwarna hitam bergambar bulan sabit yang ditulisi kaligrafi La ilaha illa Allah. Penduduk dengan terheran-heran melihat pasukan itu berbaris menuju Kuta Caruban dengan membawa kotak-kotak besar berjumlah sekitar dua puluh lima buah. Pasukan itu merupakan bala bantuan dari Majapahit asal Kadipaten Terung yang dipimpin oleh Ki Wedung, adik kandung Patih Demak Ki Wanasalam. Kotak-kotak besar yang dibawa pasukan Majapahit itu disebut gurnita (Jawa Kuni: halilintar, gemuruh, gaduh). Konon berasal dari Palembang. Jika tutup-tutup kotak itu dibuka akan terdengar suara gemuruh dan kilatan halilintar yang akan membakar apa saja yang ada di depannya.

Tidak lama setelah pasukan Majapahit asal Kadipaten Terung meninggalkan Muara Jati, mendaratlah secara berturut-turut pasukan dari berbagai kadipaten lain, yaitu seribu orang pasukan dari Kadipaten Demak dipimpin oleh Pangeran Sabrang Lor, putera Adipati Demak Raden Patah. Pasukan ini mengibarkan panji-panji hijau bergambar kura-kura dan petir. Setelah itu mendarat sekitar lima ratus orang pasukan dari Kadipaten Samarang dipimpin Pangeran Welang, mengibarkan panji-panji kuning bergambar kepala yaksa. Disusul tujuh ratus orang pasukan dari Kadipaten Kendal, dipimpin Pangeran Soka, mengibarkan panji-panji putih bergambar kepala harimau; lima ratus orang pasukan dari Kadipaten Japara dipimpin Pangeran Luhung, mengibarkan panji-panji hitam bergambar bintang dan api menyala; lima ratus orang dari Giri Kedhaton dipimpin Ki Buyut Gresik, mengibarkan panji-panji putih bergambar trisula; tujuh ratus orang pasukan dari Surabaya dipimpin Pangeran Kejawan, mengibarkan panji-panji merah bergambar ayam jago. Tak ketinggalan rombongan kecil para pendeta bhairawa dari berbagai ksetra yang dihubungi oleh Nyi Indang Geulis dan Nyi Muthmainah, ikut berdatangan ke Caruban Larang untuk membantu Sri Mangana bertempur menghadapi Rajagaluh.

Kehadiran bala bantuan dari luar Caruban menimbulkan semarak yang membangkitkan semangat penduduk Caruban. Sepanjang jalan menuju Kuta Caruban orang-orang terlihat berdiri di pinggir jalan mengelu-elukan mereka. Alun-alun Kuta Caruban yang biasanya lengang tiba-tiba hiruk pikuk diwarnai prajurit yang mempersiapkan barisan dan peralatan tempur.

Di tengah hiruk persiapan perang pasukan Caruban itu terjadi peristiwa tidak tersangka-sangka dan tak terbayangkan sebelumnya. Para pendeta bhairawa pemimpin ksetra-ksetra yang datang ke Caruban menyatakan diri sebagai pemeluk Islam. Keinginan itu lahir terutama setelah mereka berbincang-bincang dengan Sri Mangana dan Abdul Jalil serta setelah mereka menyaksikan sendiri lambang-lambang pada panji-panji yang dikibarkan pasukan dari berbagai kadipaten muslim yang mereka kesankan sebagai lambang Syiwa. Mereka makin yakin bahwa Islam adalah penjelmaan baru Syiwa-Budha, apalagi setelah mereka mengetahui sendiri bentuk pemerintahan kalifah Caruban yang menganut asas kesederajatan dan tidak membeda-bedakan manusia berdasar keturunan, yaitu tatanan ideal yang diidamkan oleh para penganut ajaran bhairawa.

Dengan disaksikan para sesepuh dan tetunggul Caruban, Balal Bisvas, wali nagari Gegesik, pertama-tama menyatakan memeluk Islam beserta seluruh keluarga dan pengikutnya. Ia mendapat nama baru Suranenggala. Setelah itu Ki Wedung, pemimpin pasukan Terung, menyatakan bahwa dia sudah mengucapkan dua kalimah syahadat di Wirasabha, beberapa saat sebelum berangkat ke Caruban. Wiku Suta Lokeswara tak ketinggalan mengikrarkan keislaman dan memperoleh nama baru Ki Waruanggang. Sanghyang Bango Samparan, pemimpin ksetra di Gunung Cangak, mengikrarkan keislaman dan memperoleh nama baru Ki Tameng. Wiku Danumaya, putera Ajar Semana, pemimpin ksetra di Gunung Merapi, sepupu Nyi Indang Geulis, menyatakan memeluk Islam dan memperoleh nama baru Ki Tedeng. Sementara Ki Golok Cabang, putera Sanghyang Nago, pemimpin ksetra Gunung Ciangkup, menyatakan memeluk Islam dan memperoleh nama baru Ki Sukawiyana.

Kabar masuk Islamnya para pendeta bhairawa pemimpin ksetra itu sangat mengejutkan orang-orang Rajagaluh sekaligus menyulut api amarah mereka. Mereka merasa telah dikhianati oleh para pemangsa manusia itu. Beberapa waktu lalu mereka telah mengirimkan utusan yang membawa berbagai hadiah dan persembahan ke Gunung Ciangkup, Gunung Kumbha (ng), Gunung Cangak, dan Arga Liwung untuk mendapat dukungan dari ksetra-ksetra tersebut. Meski belum memperoleh kepastian dukungan, mereka sangat yakin bahwa para pemimpin ksetra itu akan mendukung mereka. Ternyata, tanpa mereka duga-duga, para pemimpin ksetra di gunung-gunung keramat itu malah datang kepada Sri Mangana dan menyatakan memeluk Islam. Berarti, pihak yang mereka bayangkan akan menjadi kawan justru menjadi lawan.

Kemarahan yang sudah membakar para tetunggul Rajagaluh itu seketika berubah menjadi kecemasan ketika mereka mendengar kabar dari para telik sandhi bahwa Pangeran Raja Sanghara (Sansekerta: Raja Penghancur Jagad), adik kandung Sri Mangana, telah meninggalkan Kraton Pakuan Pajajaran. Sang pangeran pergi dengan membawa lima ratus orang pasukan berkuda. Tidak ada yang tahu ke mana ia dan pasukannya pergi. Belakangan muncul kabar yang menyatakan Pangeran Raja Sanghara bersama pasukan berkudanya muncul di Kuta Caruban dan menyatakan ikrar memeluk Islam.

Lembah Girinatha yang terhampar di kaki Gunung Ceremai diselimuti kabut pagi yang membekukan mayat-mayat yang bergelimpangan di atas rerumputan. Cahaya matahari pagi yang menyapu permukaan bumi telah menjelmakan lembah itu seolah-olah terbakar api. Merah. Semerah darah yang mengering di tubuh tak bernyawa itu.

Itulah pemandangan hasil pertempuran di hari pertama antara pasukan Caruban Larang yang dipimpin oleh wali nagari Kuningan dan pasukan Rajagaluh yang dipimpin oleh Adipati Palimanan Arya Kiban. Mayat-mayat yang bergelimpangan itu sebagian besar adalah mayat-mayat prajurit Rajagaluh.

Kata orang, kemenangan yang diraih wali nagari Kuningan pada pertempuran hari pertama itu banyak ditentukan oleh siasat cemerlang pihak Kuningan yang mengutamakan penghancuran cerita kemasyhuran gajah tunggangan Adipati Palimanan. Untuk menandingi gajah terkenal itu, wali nagari Kuningan mengendarai kuda hitam bernama Sang Winduhaji, konon berupa kuda perkasa keturunan kuda sembrani yang bisa terbang.

Saat dua panglima itu berhadap-hadapan di medan tempur, sasaran utama yang diincar-incar oleh wali nagari Kuningan bukanlah Adipati Kiban, melainkan gajah tunggangannya yang ditakuti oleh prajurit Kuningan. Demikianlah, saat wali nagari Kuningan yang dibantu Ki Demang Singagati, Ki Anggarunting, dan Ki Anggasura berhasil menjungkalkan Sang Bango dengan tujuh batang tombak di lehernya, semangat pasukan Kuningan pun menjadi berkobar-kobar. Sebaliknya, semangat pasukan Rajagaluh padam. Akhirnya, pada pertempuran hari pertama itu pasukan Rajagaluh berantakan. Barisan depan bertumbangan bagaikan alang-alang dibabat parang. Barisan belakang mundur ke Palimanan, sedangkan barisan tengah lari tunggang langgang meninggalkan senjatanya. Bahkan, Adipati Kiban sendiri lari terbirit-birit dari medan tempur tak tentu arah sehingga saat orang-orang menemukannya ia dalam keadaan bingung di pantai Dermayu.

Keberhasilan gemilang memukul berantakan pasukan Rajagaluh membuat dada wali nagari Kuningan membusung dan kepalanya membesar. Ia mabuk kemenangan. Tanpa berpikir lebih jauh, dengan kegembiraan meluap-luap ia memerintahkan pasukannya untuk memburu dan memusnahkan sisa-sisa pasukan Rajagaluh. Para prajurit Kuningan yang juga sedang mabuk kemenangan dengan gembira berangkat menunaikan perintah. Tanpa kenal lelah, sejak sore hingga malam mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil dan berkeliaran di sekitar lembah Girinatha untuk memburu dan memusnahkan sisa-sisa pasukan Rajagaluh yang mereka temukan.

Ketika matahari terbit di hari kedua peperangan, kelompok-kelompok kecil pasukan Kuningan telah kembali dari perburuan. Sebagian mereka terlihat memanggul lima atau enam kepala musuh. Sebagian lagi terlihat mengikat rambut sepuluh sampai lima belas kepala musuh di pelana kudanya. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang membawa satu kepala. Dengan langkah terseok mereka kembali ke induk pasukan. Sekalipun kebanggaan akan kemenangan terlihat membias di wajah mereka, di pagi hari pada perang hari kedua itu mereka terlihat sangat lelah dan mengantuk. Mereka tampak kurang bersemangat saat menata barisan, padahal hari itu mereka harus bersiap-siaga menghadapi pertempuran.

Dalam pertempuran di hari kedua, pasukan Rajagaluh yang berpangkalan di Kepuh berjumlah sekitar 10.000 orang dan dipimpin oleh Ki Gedeng Leuwimunding. Pasukan itu terdiri atas tiga ribu pasukan tombak, dua ribu pasukan pedang, seribu pasukan gada, seribu pasukan berkuda, dan tiga ribu pasukan panah. Sejak dini hari Ki Gedeng Leuwimunding sudah menerima laporan kekalahan Adipati Kiban. Itu sebabnya, ia sangat berhati-hati pada pertempuran hari kedua itu. Ia memutuskan untuk menggunakan formasi tempur yang disebut kananabyuha (Sansekerta: gelar perang �hutan�), karena formasi tempur Bajrapanjarabyuha (Sansekerta: gelar perang �sangkar intan�) yang digunakan Adipati Kiban terbukti dapat dihancurkan musuh.

Pagi hari ketika pasukan Kuningan sedang mengatur barisan di lembah Girinatha, Ki Gedeng Leuwimunding menempatkan tiga ribu pasukan panahnya di hutan Kepuh yang terletak di utara Girinatha dalam bentuk setengah lingkaran. Tiga ribu pasukan tombak ditempatkannya di selatan hutan dalam jarak sekitar satu pal. Mereka ditugaskan menunggu kedatangan pasukan Kuningan. Dengan kibaran umbul-umbul dan bendera warna kuning serta merah, prajurit-prajurit penombak itu menghentakkan tombaknya ke tanah secara serentak hingga terdengar suara gemuruh bagaikan gempa. Kemudian, secara bergantian mereka menantang-nantang dan mengejek-ejek pasukan Kuningan.

Ki Gedeng Leuwimunding yang duduk gagah di atas gajah tunggangannya di dalam hutan terlihat gelisah, meski dikitari pasukan berkuda dan pasukan pembawa gada. Ketika di kejauhan ia menyaksikan debu mengepul dan titik-titik hitam bergerak ke arahnya, ia memanggil para perwiranya dan mewanti-wanti, �Pasukan Kuningan sudah bergerak kemari. Jangan ada yang menyerang sebelum ada perintahku.� Setelah menyampaikan beberapa petunjuk, ia menyemangati pasukannya dengan janji. �Siapa saja yang dapat membawa satu kepala musuh akan mendapat sepuluh pikul padi (6,2 kuintal).�

Gelar perang Kananabyuha yang digelar di hutan Kepuh oleh Ki Gedeng Leuwimunding ternyata berhasil mengecoh pasukan lawan. Pasukan Kuningan yang pada hari sebelumnya meluluhlantakkan pasukan Adipati Kiban sangat marah ditantang dan diejek oleh pasukan tombak Rajagaluh. Dengan dada dikobari api amarah, mereka menyerang pasukan tombak Rajagaluh. Sambil memaki-maki mereka berpacu menerjang musuh laksana awan hitam tertiup angin. Kaki-kaki kuda yang berkeringat saling mendahului dengan kaki prajurit pembawa pedang dan pasukan tombak. Namun, saat jarak mereka dengan pasukan terdepan Rajagaluh hanya sekitar tiga puluh tombak tiba-tiba mereka mendengar pasukan Rajagaluh berteriak keras secara serentak. Mereka terkejut mendengar suara gemuruh laksana halilintar itu.

Seketika terlihat pemandangan mengerikan. Di tengah suara gemuruh itu beribu-ribu tombak tampak melesat bagaikan awan hitam. Pasukan Kuningan yang sudah berlari ke arah musuh tersentak kaget. Pasukan berkuda yang berada di barisan terdepan serentak menarik tali kekang keras-keras. Sementara pasukan pedang dan tombak yang melaju berusaha menghentikan laju kakinya dengan mata memandang ngeri ke atas. Namun, usaha mereka terlambat. Dalam sekejap terdengar jerit kematian yang diikuti bertumbangannya tubuh kuda dan penunggangnya serta tubuh prajurit Kuningan ke tanah bagai batang padi tertiup angin.

Menyaksikan pemandangan tak terduga itu, para kepala pasukan Kuningan berteriak-teriak memerintahkan mundur pasukannya. Namun, pekik kesakitan dan jerit kematian para prajurit menenggelamkan suara mereka. Prajurit-prajurit Kuningan di barisan tengah tetap merangsak ke depan, terutama ketika mereka melihat pasukan tombak musuh melarikan diri setelah melempar tombaknya.

�Mereka lari!�

�Kejar!�

Melihat barisan tengah pasukan Kuningan menerjang ke depan untuk memburu pasukan tombak Rajagaluh, Ki Gedeng Leuwimunding menyadari bahwa saat pembalasan telah tiba. Dari atas gajah tunggangannya, ia menunggu dengan hati cemas masuknya pasukan Kuningan ke dalam jarak tembak pasukan panahnya. Waktu tiba-tiba ia rasakan berjalan sangat lambat.

Sementara itu, wali nagari Kuningan yang menyadari bahwa pasukannya sedang memasuki perangkap musuh berusaha meneriaki mereka agar mundur. Namun sampai suaranya serak, para prajurit yang sudah mabuk kemenangan itu terus memburu pasukan musuh yang lari ke arah hutan. Saat prajurit-prajuritnya berada di tepi hutan, ia terperangah menyaksikan gemuruh bayangan hitam bagai kawanan serangga melesat dari antara pepohonan hutan. Rupanya, bayangan hitam mirip serangga itu adalah hujan anak panah. Bagaikan sedang bermimpi, sang adipati menyaksikan prajurit-prajuritnya berjumpalitan dan bertumbangan ke tanah dengan tubuh memerah dihiasi anak panah. Pasukan berkuda yang dibanggakannya bergelimpangan di tanah meregang nyawa.

Wali nagari Kuningan yang masih terbelalak menyaksikan kehancuran pasukannya, tiba-tiba merasakan bulu kuduknya berdiri ketika melihat beratus-ratus pasukan berkuda musuh yang diikuti beribu-ribu pasukan pedang dan gada keluar berbondong-bondong dari balik pohon-pohon hutan bagaikan kawanan semut menyerbu ke arahnya. Umbul-umbul dan bendera yang dikibarkan musuh berkebaran di tengah acungan tombak dan kelebatan pedang. Pekik peperangan terdengar menggemuruh, sahut-menyahut, dan sambung-menyambung laksana guruh. Pasukan Kuningan yang kelelahan dan mengantuk serta kehilangan semangat tempur itu melakukan perlawanan dengan sisa kekuatan yang ada. Tetapi, perlawanan setengah hati itu akhirnya membuat mereka semburat tak tentu arah; sebagian meloloskan diri ke lereng Gunung Ceremai, namun sebagian terbesar di antara mereka menghadap Sang Maut.

Dengan susah payah wali nagari Kuningan, Ki Demang Singagati, Ki Anggasura, dan Ki Anggarunting berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan Rajagaluh. Meski mereka berhasil selamat mencapai Pancalang dan meneruskan perjalanan ke Kuningan, pasukan mereka sudah hancur binasa. Tidak kurang dari tiga ribu prajurit Kuningan terbunuh pada hari kedua pertempuran. Sedang pihak Rajagaluh hanya kehilangan sekitar empat ratus prajurit. Menurut sisa-sisa prajurit Kuningan yang berhasil meloloskan diri, mayat kawan-kawan mereka bergelimpangan antara hutan Kepuh hingga Pancalang. Sebagian besar di antara mayat-mayat itu saat ditemukan sudah tidak berkepala lagi.

Kabar kehancuran pasukan Kuningan disambut pilu di seluruh Caruban. Tidak kenal siang tidak kenal malam, orang membicarakan kekalahan pahit itu dengan kecemasan dan ketakutan berlebihan. Sejumlah besar pengungsi di Kalisapu diam-diam mulai meninggalkan gubuk dan tendanya menuju Mundu, Pengarengan, bahkan ke Bojong, Kendal, Samarang, dan Demak. Pada saat seperti itu tiba-tiba berkeliaran �kambing hitam� yang dijadikan sasaran hujatan dan kecaman karena dianggap sebagai binatang celaka paling bersalah yang menjadi penyebab kekalahan itu. Kambing hitam itulah Syaikh Lemah Abang.

Entah siapa yang memulai, di tengah kecemasan dan ketakutan yang mencekam jiwa penduduk dan pengungsi Caruban, tersebar kasak-kusuk yang mengaitkan kekalahan pasukan Kuningan dengan khotbah-khotbah Abdul Jalil kepada para laskar muslim di Pancalang, Jamaras, Plumbon, dan Gunung Jati. Akibat Syaikh Lemah Abang melarang para pejuang muslim membawa jimat dan pusaka sakti saat berperang, begitu kasak-kusuk itu menyebar, maka kebinasaan pun dialami pasukan Kuningan yang maju ke medan perang tanpa membawa �bekal� apa pun. Bahkan, di dalam khotbah-khotbahnya itu Syaikh Lemah Abang mengajarkan orang-orang untuk mencintai kematian dan mencari mati sehingga mengakibatkan kehancuran bagi pasukan Kuningan.

�Pokoknya, mulai sekarang jangan didengar khotbah syaikh sesat itu.�

�Kita sebut saja dia dengan gelar Sang Pengkhotbah Kematian.�

�Aku dengar-dengar, arwah prajurit-prajurit Kuningan yang terbunuh sekarang ini menjadi budak Syaikh Lemah Abang. Mereka sengaja dikorbankan untuk menambah hebat ilmunya.�

Ketika Sri Mangana mendengar kasak-kusuk yang menghujat Syaikh Lemah Abang sebagai orang yang paling bersalah dalam kekalahan pasukan Kuningan, ia mengumpulkan seluruh pemuka masyarakat dan tetunggul Caruban di Bangsal Manguntur. Wali nagari Kuningan yang hadir didampingi Ki Demang Singagati, Ki Anggasura, dan Ki Anggarunting dengan berurai air mata menyatakan penyesalannya kepada Sri Mangana atas ketidakmampuan mereka dalam memimpin pasukan.

Sri Mangana yang sudah memperoleh laporan lengkap tentang jalannya pertempuran, dengan penuh wibawa mengingatkan wali nagari Kuningan tentang kekeliruan-kekeliruan yang telah dilakukannya selama pertempuran. �Ada tiga sebab utama yang menurut hematku menjadi penyebab dari kekalahanmu. Pertama-tama, saat engkau tidak menyetujui kebijakanku menunjuk Nyi Mas Gandasari sebagai agra-senapati. Tanpa mengetahui kemampuan orang lain, engkau hanya mengemukakan alasan bahwa seorang perempuan tidak boleh memimpin para lelaki. Sekarang ini, kenyataan menunjukkan bahwa engkau dan pasukanmu yang bertempur di Kepuh hancur berantakan digilas pasukan Leuwimunding. Sementara Nyi Mas Gandasari yang membawa pasukan Liman Bhuwana berhasil menghancurkan pasukan Rajagaluh di Tegal Karang. Bahkan dua orang manggala Rajagaluh, yaitu Tumenggung Bhaya Pethak dan Arya Pekik, menyerah dan ditawan. Bagaimana ini? Apakah aku yang salah memilih orang atau engkau yang terlalu takkabur dan menilai diri terlalu tinggi?�

�Kami mengaku salah, Paduka,� kata wali nagari Kuningan pasrah.

�Kekeliruanmu yang kedua,� kata Sri Mangana dingin, �setelah mengalahkan pasukan adipati Palimanan, engkau mabuk kemenangan dan lupa daratan. Engkau memerintahkan pasukanmu untuk memburu musuh dan memberikan hadiah bagi tiap kepala musuh yang didapatkan masing-masing prajurit. Itu perintah apa? Tidakkah engkau sadar jika kebiasaan memenggal kepala dan merusak jenasah dalam perang adalah kebiasaan buruk orang-orang kafir yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam? Bagaimana mungkin engkau sebagai pemimpin orang-orang beriman bisa memerintahkan orang memenggal kepala mayat dan merusak jenasah?�

�Kami khilaf, Paduka,� wali nagari Kuningan berkata lemah. �Kami mohon dihukum.�

�Aku tahu, engkau ingin membalas tindakan yang sama yang dilakukan musuh terhadap pasukanmu. Tetapi, engkau lupa bahwa memenggal kepala mayat dan merusak jenasah diharamkan dalam Islam. Sepanjang sejarah yang diteladankan Nabi Muhammad Saw., tidak pernah terjadi tindakan merusak dan memenggal kepala mayat. Bahkan saat jenasah Sayyidina Hamzah, pamanda Nabi Muhammad Saw., dirusak orang-orang kafir Quraisy dan jantungnya dimakan oleh Hindun, tidak menjadikan beliau dan orang-orang Islam gelap mata dan meniru tindakan Hindun. Sebab, kalau tindakan merusak jenasah Sayyidina Hamzah itu dibalas dengan cara yang sama, apa yang membedakan seseorang itu masuk ke dalam golongan beriman dan bukan golongan beriman? Apa yang membedakan keharusan seorang muslim untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. jika mereka meniru tindakan Hindun?�

�Kami salah. Kami benar-benar salah dan tak berguna. Kami mohon diberi hukuman.�

�Dan kesalahanmu yang ketiga, engkau dan seluruh pasukan yang engkau pimpin menggantungkan hidup dan mati pada jimat dan pusakan bikinan dukun dan jawara lepus. Aku tidak tahu sudah berapa banyak dana yang engkau hamburkan untuk membeli keris, cincin bermata akik, badong, akar bahar, kutang antakusuma, kuku dan kumis macan, rajah-rajah, juga kalung rantai babi yang engkau anggap bertuah. Aku juga tidak tahu berapa banyak dana yang dibelanjakan prajuritmu untuk membeli benda-benda tak berguna itu. Yang aku tahu, semua jimat dan pusaka yang dijadikan bekal andalan oleh prajuritmu itu tidak berguna. Buktinya, mereka terbunuh beramai-ramai di medan perang. Mana kekuatan sakti dari benda-benda itu?�

�Aku tidak melarang siapa pun di antara penduduk Caruban untuk memiliki benda-benda apa pun yang disukainya. Tetapi sebagai seorang pemimpin, aku mencontohkan bahwa hidupku tidak tergantung pada benda apa pun. Perlu kalian ketahui, semua benda-benda kraton yang pernah dianggap bertuah, yang berasal dari Gunung Ciangkup, Gunung Kumbha (ng), Gunung Cangak, Gunung Liwung, dan Gunung Merapi seperti caping, badong, bedog, baju waring, topong, umbul-umbul, dan batok bolu telah aku buang ke lautan. Segala benda bertuah tidak lagi dimiliki oleh kalifah Caruban. Sebab, tuah dan keramat, bagi kalifah, tidak terletak di benda-benda tetapi di dalam diri manusia. Beritakan apa yang aku katakan ini kepada semua orang. Kabarkan kepada mereka bahwa di kraton Caruban sudah tidak ada benda-benda pusaka karena semua tuah dan keramat telah disatukan di dalam diri orang yang paling takwa di antara manusia,� kata Sri Mangana.

Para hadirin diam mendengar uraian Sri Mangana. Sebagian di antara mereka memahami simpang-siur yang berkembang selama ini adalah sesuatu yang salah. Namun di antara para hadirin, yang paling merasa gerah adalah para jawara, dukun, dan jajadug. Mereka seolah-olah ditampar oleh kalifah Caruban di hadapan orang banyak tanpa bisa membela diri. Saat api amarah di pedalaman jiwa mereka bagaikan hutan terbakar, berkelebatanlah bayangan Abdul Jalil di benak mereka sebagai sasaran yang harus mereka lumat dan musnahkan.

Sri Mangana yang menangkap pertanda ketidakpuasan atas ucapannya, kemudian melanjutkan kata-katanya, �Sekarang ini telah terbukti bahwa Angga, wali nagari Kuningan, gagal menjalankan tugas sebagai panglima yang mewakili senapati di medan tempur. Pasukannya yang berjumlah empat ribu telah terbunuh lebih dari tiga ribu orang. Sisanya yang kembali ke Kuningan menurut laporan hanya tiga ratus orang. Yang lain hilang entah ke mana. Sebaliknya, Nyi Mas Gandasari, panglima puteri Caruban dengan dukungan wali nagari Gunung Jati, menunjukkan keberhasilan dalam menjalankan tugasnya.�

�Dengan kenyataan ini, jelas-jelas sekarang hanya Nyi Mas Gandasari satu-satunya panglima yang mewakili senapati di medan tempur. Sebab, pasukannya masih utuh. Karena itu, aku tawarkan kepada siapa saja di antara pendekar laki-laki di Caruban ini yang merasa mampu menggantikan kedudukan Nyi Mas Gandasari. Silakan maju ke depan untuk menggantikannya. Ambillah kedudukan panglima Caruban dan rebutlah kemenangan yang gemilang daripada yang sudah ditunjukkan Nyi Mas Gandasari. Tetapi ingat, jabatan panglima bukan untuk main-main dan coba-coba karena yang dipertaruhkan dalam pertempuran ini adalah nyawa prajurit Caruban yang memiliki anak-anak dan istri. Sehingga, kegagalan dalam menjalankan tugas akan mendapat imbalan hukuman pancung. Tawaranku ini berlaku kapan saja dan tidak dibatasi waktu. Siapa saja pendekar yang berani dan mampu silakan menggantikan Nyi Mas Gandasari, sebab, yang kita butuhkan dalam pertempuran ini adalah kenyataan dan bukannya dalil-dalil yang masih diperdebatkan kebenarannya.�

Para tetunggul dan pemuka masyarakat Caruban menunduk diam. Mereka tidak ada yang berani mengangkat wajah menatap Sri Mangana. Mereka merasa tidak bisa menyampaikan hujah-hujah lagi untuk menentang penunjukan Nyi Mas Gandasari sebagai panglima yang sudah membuktikan kehebatannya di medan perang. Namun, di kalangan para jawara, dukun, dan jajadug, keadaan yang diwarnai nuansa ketidakpuasan itu tetap saja dikaitkan dengan keberadaan sang kambing hitam Abdul Jalil. Sambil mengedipkan mata satu sama lain, mereka bersepakat untuk menyamakan sudut pandang bahwa pengangkatan Nyi Mas Gandasari sebagai panglima puteri Caruban pada dasarnya lebih disebabkan karena dia adalah saudara tua Syaikh Lemah Abang, tukang sihir yang sudah menguasai Sri Mangana dengan kekuatan sihirnya.

Ibarat pepatah �nasi sudah menjadi bubur�, tidak ada gunanya kekalahan pasukan Kuningan disesali. Sebab sesuai hukum perang, ada pihak yang kalah dan ada pula pihak yang menang. Sesungguhnya, kekalahan pasukan Kuningan di hutan Kepuh telah diimbangi dengan kekalahan pasukan Rajagaluh pimpinan Tumenggung Bhaya Petak dan Arya Pekik di Tegal Karang. Bahkan kemenangan Nyi Mas Gandasari itu semakin meruntuhkan semangat para tetunggul Rajagaluh yang sudah dicekam oleh keyakinan bahwa kekalahan Prabu Surawisesa terletak di tangan prajurit perempuan. Semangat mereka bertambah padam terutama setelah Yang Dipertuan Galuh Pakuan menarik pasukannya yang diperbantukan ke Rajagaluh.

Kabar ditariknya sekitar 30.000 orang pasukan Galuh Pakuan dari Rajagaluh diterima pihak Caruban dengan gembira. Setelah memperhitungkan secara matang kekuatan dan kelemahan Rajagaluh, Sri Mangana memutuskan untuk melakukan serangan besar-besaran ke Kutaraja Rajagaluh dengan menggunakan kekuatan pasukan gabungan Caruban Larang dan pasukan dari kadipaten-kadipaten pesisir Nusa Jawa. Dengan serangan serentak itu dipastikan Rajagaluh akan kalang kabut, terutama saat mereka mendengar keterlibatan pasukan Majapahit dan Demak. Dengan melibatkan pasukan Majapahit asal Terung, kata Sri Mangana dalam hati, pihak Rajagaluh pasti runtuh nyalinya.

Memang, sejak kedatangan pasukan Majapahit asal Terung dengan kotak-kotak sakti yang disebut gurnita, orang tak henti-hentinya berbicara tentang senjata dahsyat asal Palembang itu. Baik prajurit Rajagaluh, baik prajurit Caruban Larang, seperti tak kenal bosan membicarakan kotak-kotak keramat itu. Ada yang menduga kotak-kotak itu berisi arwah dan ada pula yang menduga berisi mayat orang sakti. Bahkan tak kurang ada yang menduga kotak-kotak itu berasal dari kahyangan dan merupakan anugerah dewa-dewa.

Dalam masalah menata kekuatan dan siasat perang, Sri Mangana sangat tertutup. Berbeda dengan masalah-masalah pemerintahan yang selalu dimusyawarahkannya dengan banyak pihak, dalam mengatur siasat perang ia hanya mengajak bicara beberapa gelintir orang yang dianggapnya memiliki kemampuan di bidang tersebut. Untuk menjalankan rencana penyerbuan ke Kutaraja Rajagaluh, Sri Mangana mengajak musyawarah Pangeran Raja Sanghara, Pangeran Sabrang Lor, Nyi Mas Gandasari, dan Tun Abdul Qadir.

Dalam rencana penyerbuan ke Kutaraja Rajagaluh itu, ia mengemukakan gagasan untuk membagi kekuatan Caruban menjadi dua. Kekuatan pertama akan diserahkan kepada Nyi Mas Gandasari dengan tugas utama menyerang Kuta Rajagaluh dari timur. Kekuatan kedua akan dipimpinnya sendiri dengan tugas utama menyerang Kuta Rajagaluh dari selatan. �Pasukan yang aku bawa hanya sepertiga dari seluruh kekuatan pasukan gabungan. Aku memiliki banyak informasi bahwa ibukota Rajagaluh hanya dijaga oleh pasukan pengawal raja. Seluruh kekuatan Rajagaluh disiagakan di Palimanan.�

�Apakah tidak mungkin saat kita mengepung Kuta Rajagaluh, pihak musuh yang berpangkalan di Palimanan tiba-tiba menerobos dan menyerang Kuta Caruban?� tanya Pangeran Sabrang Lor.

�Paman sudah memperhitungkan itu, Ananda,� kata Sri Mangana tenang. �Pertama-tama, kita harus memancing pasukan Rajagaluh di Palimanan agar keluar dari pangkalan dengan cara seolah-olah kita akan menyerang Leuwimunding. Saat mereka keluar, pasukan kita akan masuk ke Palimanan. Dari Palimanan kita langsung menggempur Rajagaluh. Sementara itu, Kuta Caruban sudah kosong dari penduduk dan dijaga oleh dua ribu pasukan yang terlatih. Andaikata pihak Rajagaluh menerobos dan menyerang Kuta Caruban, para prajurit pengawal kuta akan melawan dengan melakukan perang kuta. Mereka akan menimbulkan kesulitan bagi pasukan Rajagaluh karena mereka lebih menguasai keadaan kuta dibanding pasukan Rajagaluh,� Sri Mangana menjelaskan.

�Jika demikian, apa tugas kami sebagai pasukan dari luar Caruban?� tanya Pangeran Sabrang Lor.

�Ananda kami tunjuk sebagai panglima bagi pasukan dari pesisir. Ananda akan membawa pasukan yang Ananda pimpin bersama pasukanku ke Rajagaluh. Kita akan bahu membahu merebut ibukota musuh dengan terlebih dulu merebut Palimanan.�

Akhirnya, semua hadirin sepakat mendukung rencana yang diajukan Sri Mangana. Nyi Mas Gandasari, panglima puteri Caruban, ditugaskan memimpin penyerbuan ke Kuta Rajagaluh dari arah timur, dengan membawahi 20.000 orang prajurit. Ia dibantu oleh perwira-perwira dan penasihat-penasihat unggul, seperti Pangeran Soka, Pangeran Pandyunan, Pangeran Kadhyaksan, Wali Nagari Gegesik, Abdul Karim Wang Tao, Wali Nagari Gunung Jati, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Wali Nagari Susukan, Abdul Razaq Wu Lien, Wali Nagari Cangkuang, Abdul Qadir al-Baghdady, Syaikh Bentong, Li Han Siang, Abdul Qahhar al-Baghdady, Syaikh Ibrahim Akbar, dan Haji Shang Shu. Sedangkan Sri Mangana akan memimpin 6.000 prajurit gabungan Caruban dan Demak, dibantu oleh perwira-perwira dan penasihat-penasihat unggulan seperti Pangeran Raja Sanghara, Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Luhung, Pangeran Kejawan, Wali Nagari Losari, Syaikh Duyuskhani, Wali Nagari Sindangkasih, Abdul Malik Israil, Ki Wedung, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki Tedeng, Ki Sukawiyana, dan Syaikh Lemah Abang.

Dalam rencana penyerbuan itu, Raden Qasim dan Raden Mahdum Ibrahim tidak dilibatkan. Mereka diminta oleh Sri Mangana dan Abdul Jalil untuk kembali ke Surabaya menemui ayahandanya, dengan alasan untuk memohonkan doa bagi kemenangan pasukan Caruban. Namun saat Raden Mahdum Ibrahim bergeming dengan tatap mata curiga menerima tugas itu, Abdul Jalil mendekatinya dan berbisik lirih, �Semalam ayahanda Raden mendatangiku lewat �alam al-khayal. Beliau berpamitan akan kembali ke hadirat-Nya.�

Raden Mahdum Ibrahim tersentak kaget. Dengan suara bergetar ia berkata lirih, �Semalam saya juga bermimpi didatangi beliau. Tapi, beliau tidak berkata apa-apa. Beliau hanya tersenyum.�

�Beliau juga mendatangi Sri Mangana dan memberi isyarat akan kembali ke hadirat-Nya.�

�Apakah beliau tidak berpesan apa-apa?� tanya Raden Mahdum Ibrahim.

�Beliau tidak berpesan apa-apa. Tetapi aku bisa menduga-duga, beliau tidak ingin kabar wafatnya diketahui banyak orang. Beliau ingin dimakamkan sendiri oleh tangan putera-putera dan cucu-cucunya,� kata Abdul Jalil menarik napas berat.

Raden Mahdum Ibrahim tertunduk diam. Setelah itu, ia menyalami dan merangkul Abdul Jalil sambil membisikkan sesuatu.

Sementara itu, saat Sri Mangana dan para tetunggul Caruban menyusun siasat penyerbuan besar-besaran, Ki Gedeng Leuwimunding dan pasukannya justru sedang merayakan pesta kemenangan. Di tengah hujan yang terus menerus mengguyur bumi, prajurit Leuwimunding terlihat menari-nari dan melantunkan tembang sambil menenggak arak dan merangkul ronggeng. Mereka tenggelam dalam sukacita dimabuk kemenangan. Mereka seolah-olah tidak peduli kawan-kawan mereka dihancurkan pasukan Caruban di Tegal Karang. Mereka terus menari-nari, menembang, menenggak arak, berteriak-teriak, menikmati kehangatan tubuh ronggeng dan perempuan penghibur.

Ketika pesta merayakan kemenangan itu sudah berlangsung empat hari, Ki Gedeng Leuwimunding berencana menghentikannya dan menata kembali pasukannya untuk pertempuran berikutnya. Kemenangan mutlak yang diraihnya di hutan Kepuh telah membuat dadanya membusung dan kepalanya membesar. Pujian dan sanjungan yang diterimanya dari Prabu Chakraningrat dan tetunggul Rajagaluh telah membuatnya mabuk kebesaran dan lupa diri. Itu sebabnya, dengan keyakinan diri berlebih ia menyatakan kepada para tetunggul Rajagaluh bahwa pada hari kelima kemenangannya, ia akan menggempur Kuta Caruban. �Aku sudah beroleh kepastian bahwa Kuta Caruban sesungguhnya kosong ditinggalkan penduduknya. Dengan pasukan yang aku pimpin, ditambah pasukan yang dipimpin Ki Demang Surabangsa dan Ngabehi Ardisora, aku yakin bisa menghadiahkan kemenangan kepada Sang Prabu Chakraningrat,� Ki Gedeng Leuwimunding berkata jumawa.

Kesombongan Ki Gedeng Leuwimunding ternyata tidak berlangsung lama. Pada saat ia menghadiri jamuan yang diadakan Adipati Kiban di Balai Witana Kadipaten Palimanan bersama para tetunggul Rajagaluh, wajahnya menjadi pucat pasi ketika ia diberi tahu oleh Pangeran Arya Mangkubhumi bahwa sekitar 15.000 orang prajurit Caruban sedang bergerak dari Tegal Karang menuju Glagahamba terus ke Babakan. �Menurut laporan para telik sandhi, pasukan itu bergerak terus ke barat. Dan menurut dugaan, pasukan itu akan menyerbu Leuwimunding,� kata Pangeran Arya Mangkubhumi.

Ki Gedeng Leuwimunding yang saat datang ke Kadipaten Palimanan terlihat membusungkan dada dan mendongakkan kepala saat berjalan, tiba-tiba meringkuk tanpa daya mendengar ucapan Pangeran Arya Mangkubhumi. Wajahnya pucat. Bibirnya pun mendadak bergetar dan lututnya gemetaran. Kemudian dengan suara tergagap-gagap ia menggumam, �Kalau demikian, saya harus ke sana. Ya, ya, saya harus segera ke Leuwimunding.� �

Itu memang harus engkau lakukan,� sergah Pangeran Arya Mangkubhumi tak senang, �sebab jatuhnya Leuwimunding adalah sama maknanya dengan jatuhnya Kutaraja Rajagaluh.�

�Bagaimana dengan rencana penyerbuan hamba ke Kuta Caruban, o Pangeran?� tanya Ki Gedeng Leuwimunding untuk menutupi kegentaran yang merayapi hatinya. �Apakah harus dibatalkan?�

�Jika engkau menginginkan pasukanmu dijagal di sana, berangkatlah ke Kuta Caruban.�

�Dijagal?� Ki Gedeng Leuwimunding tercengang. �Bukankah Kuta Caruban sudah kosong?�

�Bodoh kau!� teriak Pangeran Arya Mangkubhumi jengkel. �Yang Dipertuan Caruban menyiagakan pasukan pilihan di kutarajanya. Entah berapa ribu jumlahnya, yang jelas, pamanku yang cerdik dan perkasa itu sengaja memasang jebakan untuk memerangkap orang-orang sombong seperti engkau.�

�Kalau demikian, hamba mohon restu, Pangeran.� Ki Gedeng Leuwimunding menyembah. �Hamba dan pasukan akan berangkat ke Leuwimunding sekarang juga.�

�Berangkatlah,� kata Pangeran Arya Mangkubhumi dingin. �Kita nanti bertemu di Leuwimunding karena pasukanku sudah berangkat lebih dulu ke sana.�

Read More ->>

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

PENULIS

Followers